Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلۡيَوۡمَ
pada hari ini
أُحِلَّ
dihalalkan
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلطَّيِّبَٰتُۖ
yang baik-baik
وَطَعَامُ
dan makanan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
ٱلۡكِتَٰبَ
Kitab
حِلّٞ
halal
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَطَعَامُكُمۡ
dan makananmu
حِلّٞ
halal
لَّهُمۡۖ
bagi mereka
وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
مِنَ
dari
ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ
wanita-wanita mukmin
وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
مِنَ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
ٱلۡكِتَٰبَ
kitab
مِن
dari
قَبۡلِكُمۡ
sebelum kalian
إِذَآ
jika
ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ
kamu memberikan kepada mereka
أُجُورَهُنَّ
mas kawin mereka
مُحۡصِنِينَ
mengawininya
غَيۡرَ
bukan
مُسَٰفِحِينَ
berzina
وَلَا
dan tidak
مُتَّخِذِيٓ
menjadikannya
أَخۡدَانٖۗ
gundik
وَمَن
dan barang siapa
يَكۡفُرۡ
kafir/ingkar
بِٱلۡإِيمَٰنِ
dengan/sesudah beriman
فَقَدۡ
maka sungguh
حَبِطَ
terhapus
عَمَلُهُۥ
amalnya
وَهُوَ
dan dia
فِي
di
ٱلۡأٓخِرَةِ
akhirat
مِنَ
dari/termasuk
ٱلۡخَٰسِرِينَ
orang-orang yang rugi
ٱلۡيَوۡمَ
pada hari ini
أُحِلَّ
dihalalkan
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلطَّيِّبَٰتُۖ
yang baik-baik
وَطَعَامُ
dan makanan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
ٱلۡكِتَٰبَ
Kitab
حِلّٞ
halal
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَطَعَامُكُمۡ
dan makananmu
حِلّٞ
halal
لَّهُمۡۖ
bagi mereka
وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
مِنَ
dari
ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ
wanita-wanita mukmin
وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
مِنَ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
ٱلۡكِتَٰبَ
kitab
مِن
dari
قَبۡلِكُمۡ
sebelum kalian
إِذَآ
jika
ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ
kamu memberikan kepada mereka
أُجُورَهُنَّ
mas kawin mereka
مُحۡصِنِينَ
mengawininya
غَيۡرَ
bukan
مُسَٰفِحِينَ
berzina
وَلَا
dan tidak
مُتَّخِذِيٓ
menjadikannya
أَخۡدَانٖۗ
gundik
وَمَن
dan barang siapa
يَكۡفُرۡ
kafir/ingkar
بِٱلۡإِيمَٰنِ
dengan/sesudah beriman
فَقَدۡ
maka sungguh
حَبِطَ
terhapus
عَمَلُهُۥ
amalnya
وَهُوَ
dan dia
فِي
di
ٱلۡأٓخِرَةِ
akhirat
مِنَ
dari/termasuk
ٱلۡخَٰسِرِينَ
orang-orang yang rugi
Terjemahan
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.
Tafsir
(Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik) artinya yang enak-enak (Dan makanan-makanan orang-orang yang diberi kitab) maksudnya sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani (halal bagi kamu dan makananmu) yang kamu sajikan kepada mereka (halal pula bagi mereka. Dan wanita-wanita yang merdeka di antara wanita-wanita mukmin serta wanita-wanita merdeka dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu) halal pula kamu kawini (apabila kamu telah membayar maskawin mereka) atau mahar (dengan maksud mengawini mereka) sehingga terpelihara kehormatan (bukan dengan maksud berzina) dengan mereka secara terang-terangan (dan bukan pula untuk mengambil mereka sebagai gundik) atau melakukan perzinaan dengan mereka secara sembunyi-sembunyi. (Dan siapa yang kafir terhadap iman) artinya murtad (maka sungguh telah hapuslah amalnya) amal saleh sebelum itu hingga tidak dianggap diberi pahala (dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi) yakni jika ia meninggal dalam keadaan demikian itu.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 5
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka. Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian, bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka sia-sialah amalannya dan di akhirat dia termasuk orang-orang merugi.
Setelah Allah ﷻ menyebutkan hal-hal kotor yang diharamkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, juga setelah menyebutkan hal-hal yang baik-baik yang dihalalkan untuk mereka, sesudah itu Allah ﷻ berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik.” (Al-Maidah: 5) Kemudian Allah ﷻ menyebutkan hukum sembelihan dua Ahli Kitab. Yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, melalui firman-Nya: “Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu dihalalkan bagi kalian.” (Al-Maidah: 5)
Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, ‘Atha’, Al-Hasan, Mak-hul, Ibrahim An-Nakha'i, As-Suddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan mereka (orang-orang Ahli Kitab). Masalah ini telah disepakati di kalangan para ulama, bahwa sesungguhnya sembelihan Ahli Kitab itu halal bagi kaum muslim, karena mereka pun mengharamkan sembelihan yang diperuntukkan bukan selain Allah dan dalam sembelihan mereka tidak disebutkan kecuali hanya nama Allah, sekalipun mereka berkeyakinan terhadap Allah hal-hal yang Allah ﷻ Maha Suci lagi Maha Agung dari apa yang mereka katakan.
Telah disebutkan di dalam kitab shahih, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang menceritakan bahwa dia memenuhi timba dengan lemak pada hari Perang Khaibar, lalu lemak itu ia bawa sendiri seraya berkata, "Pada hari ini aku tidak akan memberi seorang pun lemak ini." Lalu ia menoleh dan ternyata ada Nabi ﷺ yang memandangnya seraya tersenyum. Dari hadits ini ulama fiqih menyimpulkan, boleh mengambil makanan dan sejenisnya yang diperlukan dari kumpulan ganimah sebelum dibagikan, tetapi sebatas yang diperlukan secara wajar. Hal ini masalahnya jelas.
Tetapi ulama fiqih dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Syafii, dan mazhab Hambali menyimpulkan dalil dari hadits ini sebagai bantahan terhadap mazhab Maliki yang melarang memakan apa yang menurut keyakinan orang-orang Yahudi haram dari sembelihan mereka, seperti lemak dan lain-lainnya yang diharamkan atas mereka. Mazhab Maliki mengharamkan kaum muslim memakannya dengan berdalilkan firman-Nya: “Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.” (Al-Maidah: 5) Mereka (mazhab Maliki) mengatakan bahwa lemak dan sejenisnya bukan termasuk makanan mereka (Ahli Kitab).
Sedangkan jumhur ulama membantah pendapat mereka (mazhab Maliki) dengan berdalilkan hadits di atas. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan lagi mengingat masalahnya berkaitan dengan masalah 'ain (barang), karena barangkali lemak tersebut merupakan lemak dari bagian yang diyakini oleh mereka (Ahli Kitab) halal, seperti lemak yang ada pada bagian punggung dan usus serta lain-lainnya. Dalil lain yang lebih baik daripada ini ialah sebuah hadits yang disebutkan di dalam kitab shahih, bahwa penduduk Khaibar mengirimkan seekor kambing panggang kepada Rasulullah ﷺ, sedangkan mereka telah membubuhi racun pada kakinya.
Nabi ﷺ menyukai kaki kambing, maka Nabi ﷺ memakan sebagian darinya sekali suap. Tetapi kaki kambing itu memberitahukan kepada Nabi ﷺ bahwa ia telah diracuni. Maka Nabi ﷺ memuntahkannya kembali. Tetapi tak urung hal tersebut mempunyai pengaruh pada gigi seri dan urat nadi jantung beliau. Pada saat itu yang ikut makan bersama beliau adalah Bisyr ibnul Barra ibnu Ma'rur, tetapi ia tidak tertolong lagi dan meninggal dunia. Maka wanita Yahudi yang membubuhkan racun itu dibunuh. Ia bernama Zainab. Segi pengambilan dalil dari hadits ini ialah bahwa Nabi ﷺ, dan orang yang menemaninya bertekad untuk memakan kiriman tersebut, tanpa bertanya apakah mereka membuang darinya hal-hal yang menurut keyakinan mereka diharamkan, berupa lemak atau tidak. Di dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ dijamu oleh seorang Yahudi yang menyuguhkan makanan kepadanya berupa roti yang terbuat dari tepung jewawut dan lemak.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa pernah dibacakan kepada Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazyad sebagai berikut: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, telah menceritakan kepadaku An-Nu'man ibnul Munzir, dari Makhul yang mengatakan bahwa Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An'am: 121) Kemudian Allah ﷻ menasakhnya (merevisinya) karena belas kasihan kepada kaum muslim. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.” (Al-Maidah: 5) Dengan demikian, ayat ini menasakh ayat tersebut dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab dihalalkan. Apa yang dikatakan oleh Makhul ini masih perlu dipertimbangkan lagi. Karena sesungguhnya dibolehkan-Nya sembelihan Ahli Kitab bukan berarti memastikan bolehnya memakan sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya, mengingat mereka (Ahli Kitab) selalu menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, juga atas kurban-kurbannya, sedangkan mereka menganggap hal ini sebagai sesuatu yang ritual.
Karena itulah dilarang memakan sembelihan selain mereka (Ahli Kitab) dari kalangan orang-orang musyrik dan orang-orang yang serupa dengan ahli musyrik. Mengingat ahli musyrik tidak menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, bahkan dalam memakan daging yang biasa mereka makan tidak bergantung sama sekali kepada hasil sembelihan. Bahkan mereka biasa memakan bangkai, lain halnya dengan selain mereka dan orang-orang yang serupanya dari kalangan orang-orang Samirah dan Sabiah serta orang-orang yang mengakui dirinya memegang agama Nabi Ibrahim, Nabi Syis, dan nabi-nabi lainnya, menurut salah satu pendapat di antara dua pendapat yang dikatakan oleh para ulama.
Lain pula halnya dengan sembelihan orang-orang Nasrani Arab, seperti Bani Taglab, Bani Tanukh, Bani Buhra, Bani Juzam, Bani Lukhm dan Bani Amilah, serta lain-lainnya yang serupa; sembelihan mereka tidak boleh dimakan, menurut jumhur ulama.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Ubaidah yang menceritakan bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, "Janganlah kalian memakan sembelihan Bani Taglab, karena sesungguhnya mereka memegang agama Nasrani hanya dalam masalah meminum khamrnya saja." Hal yang sama dikatakan oleh ulama Khalaf dan ulama Salaf yang bukan hanya seorang.
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab dan Al-Hasan, bahwa keduanya berpandangan membolehkan memakan hasil sembelihan orang-orang Nasrani Bani Taglab. Mengenai orang-orang Majusi, sekalipun dipungut jizyah dari mereka karena disamakan kedudukannya dengan Ahli Kitab, tetapi sesungguhnya hasil sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan kaum wanita mereka tidak boleh dinikahi. Lain halnya dengan pendapat Abu Tsaur Ibrahim ibnu Khalid Al-Kalbi, salah seorang ulama fiqih pengikut mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal.
Ketika Abu Tsaur mengatakan pendapatnya ini dan dikenal sebagai suatu pendapat darinya, maka ulama fiqih mendebatnya, sehingga Imam Ahmad yang dijuluki dengan sebutan Abu Tsaur juga sama dengan namanya mengatakan sehubungan dengan masalah sembelihan ahli Majusi, seakan-akan Ibrahim ibnu Khalid berpegang kepada keumuman makna hadits yang diriwayatkan secara mursal dari Nabi ﷺ yang mengatakan: “Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) sama dengan perlakuan terhadap Ahli Kitab.” Akan tetapi hadits dengan lafal ini masih belum terbukti kekuatannya mengingat yang terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari dari Abdur Rahman ibnu Auf hanya disebutkan seperti berikut: “Bahwa Rasulullah ﷺ memungut jizyah dari orang-orang Majusi tanah Hajar.”
Sekiranya kesahihan hadits ini dapat dipertanggungjawabkan, maka pengertian umumnya ditakhsis oleh pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.” (Al-Maidah: 5) Mafhum mukhalafah (difahami secara kebalikan) dari ayat ini jelas menunjukkan bahwa makanan atau sembelihan selain Ahli Kitab dari kalangan pemeluk agama lainnya tidak halal.
Firman Allah ﷻ: “Dan makanan kalian dihalalkan (pula) bagi mereka.” (Al-Maidah: 5)
Artinya, dihalalkan bagi kalian memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian. Hal ini bukan merupakan berita mengenai hukum untuk mereka, kecuali bila dipandang dari segi makna sebagai berita tentang apa yang pernah diperintahkan kepada mereka, yaitu harus memakan sembelihan yang disebutkan nama Allah atasnya, baik dari kalangan mereka sendiri ataupun dari kalangan agama lain.
Akan tetapi, makna yang pertama lebih kuat, yang mengatakan bahwa kalian diperbolehkan memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian, sebagaimana kalian pun boleh memakan hasil sembelihan mereka. Hal ini termasuk ke dalam Bab 'Timbal Balik dan Saling Memberi.’ Perihalnya sama dengan masalah ketika Nabi ﷺ memberikan pakaiannya kepada Abdullah ibnu Ubai ibnu Abu Salul (seorang munafik militan) ketika mati, lalu baju Nabi ﷺ dipakaikan kepadanya sebagai kain kafannya. Mereka mengatakan bahwa dahulu Abu Salul pernah memberi pakaian kepada Al-Abbas (paman Nabi ﷺ) ketika tiba di Madinah dengan pakaiannya, maka Nabi ﷺ membalas kebaikannya itu dengan kebaikan lagi. Mengenai sebuah hadits yang disebutkan di dalamnya hal berikut, yaitu: “Janganlah kamu berteman kecuali orang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” Maka makna hadits ini diinterpretasikan sebagai suatu anjuran yang disunatkan, bukan perintah wajib.
Firman Allah ﷻ: “Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita-wanita yang beriman.” (Al-Maidah: 5)
Yakni dihalalkan untuk kalian menikahi wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang beriman. Ayat ini merupakan pendahuluan bagi firman selanjutnya, yaitu firman-Nya: “Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian.” (Al-Maidah: 5) Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan al-muhsanat ialah wanita-wanita merdeka, bukan budak belian.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid, bahwa sesungguhnya yang dimaksud Mujahid dengan istilah muhsanat adalah wanita-wanita merdeka. Dengan demikian, berarti barangkali yang dimaksud oleh Ibnu Jarir ialah apa yang dia riwayatkan darinya (Mujahid). Dapat pula diinterpretasikan bahwa yang dimaksud dengan al-hurrah (wanita merdeka) ialah wanita yang menjaga kehormatannya, seperti yang disebutkan di dalam riwayat lainnya yang bersumber dari Mujahid. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran.
Karena dengan pengertian demikian akan terhindarlah gabungan pengertian yang menunjukkan kepada wanita zimmi, sedangkan dia tidak memelihara kehormatannya. Sehingga keadaannya rusak sama sekali dan mengawininya berarti akan terjadi hal seperti yang disebut di dalam peribahasa "dapat kurma buruk dan takaran yang rusak.” Menurut makna lahiriah ayat, makna yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari perbuatan zina.
Sama halnya dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya: “Sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya.” (An-Nisa: 25) Kemudian para ulama dan ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan firman-Nya: “Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kltab sebelum kalian.” (Al-Maidah: 5) Apakah yang dimaksud adalah mencakup semua wanita Ahli Kitab yang memelihara kehormatannya, baik yang merdeka ataupun budak? Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari kalangan ulama Salaf yang menafsirkan muhsanah dengan pengertian wanita yang memelihara kehormatannya.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah wanita-wanita israiliyat, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii. Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan wanita Ahli Kitab yang muhsanah ialah yang zimmi, bukan yang harbi, karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian.” (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat. Sesungguhnya Ibnu Umar berpendapat, tidak boleh mengawini wanita Nasrani, dan ia mengatakan, "Aku tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada wanita yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa. Sedangkan Allah ﷻ telah berfirman: “Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” (Al-Baqarah: 221)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim ibnu Sulaiman Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik (yakni Al-Muzanni), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Sami, dari Abu Malik Al-Gifari, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diturunkan firman-Nya: “Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221) Maka orang-orang menahan dirinya dari mereka hingga turunlah ayat berikutnya dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya: ‘Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian.” (Al-Maidah: 5) Maka orang-orang mulai menikahi wanita-wanita Ahli Kitab.
Sesungguhnya ada segolongan di antara sahabat yang menikahi wanita-wanita Nasrani dan mereka memandangnya diperbolehkan karena berdasarkan firman-Nya: “Dan wanita-wanita yang memelihara kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian.” (Al-Maidah: 5) Mereka menilai ayat ini mentakhsis pengertian yang terkandung di dalam ayat surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221) sekalipun dikatakan bahwa wanita Ahli Kitab termasuk ke dalam pengertian umum makna yang dikandungnya; jika tidak, berarti tidak ada pertentangan antara ayat ini dan ayat yang sebelumnya.
Orang-orang Ahli Kitab disebutkan secara terpisah dari orang-orang musyrik dalam berbagai tempat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (Al-Bayyinah: 1)
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, ‘Apakah kalian (mau) masuk Islam’? Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk." (Ali Imran: 20), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah ﷻ: “Bila kalian telah membayar maskawin mereka.” (Al-Maidah: 5) Yaitu maskawin mereka.
Dengan kata lain, sebagaimana mereka menjaga kehormatannya, maka berikanlah kepada mereka maskawinnya dengan senang hati. Jabir ibnu Abdullah, Amir Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seorang lelaki bila menikahi seorang wanita, lalu wanita itu berbuat zina sebelum digaulinya, maka keduanya harus dipisahkan, dan pihak wanita diharuskan mengembalikan maskawin yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak laki-laki. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari mereka.
Firman Allah ﷻ: “Dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (Al-Maidah: 5)
Sebagaimana disyaratkan ihsan, yakni menjaga diri dari perbuatan zina pada pihak wanita, hal yang sama disyaratkan pula pada pihak laki-laki, yaitu hendaknya pihak laki-laki pun menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Karena itulah disebutkan 'tidak dengan maksud berzina dengan kata musafihina yang artinya laki-laki tukang zina yang tidak pernah kapok melakukan maksiat dan tidak pernah menolak terhadap wanita yang datang kepadanya.
“Tidak pula menjadikannya gundik-gundik.” (Al-Maidah: 5)
Yakni para kekasih, hidup bagaikan suami istri tanpa ikatan nikah. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Karena itulah Imam Ahmad ibnu Hanbal rahimahullah berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita pelacur sebelum ia bertobat dari perbuatannya. Bilamana wanita itu masih tetap sebagai pelacur, tidak sah dikawini oleh lelaki yang menjaga kehormatannya.
Dikatakan tidak sah pula menurut Imam Ahmad bila seorang lelaki pezina melakukan akad nikah kepada seorang wanita yang memelihara kehormatannya, sebelum lelaki yang bersangkutan bertobat dan menghentikan perbuatan zinanya, karena berdasarkan ayat ini. Juga berdasarkan sebuah hadits yang mengatakan: "Lelaki pezina yang telah dihukum dera tidak boleh kawin kecuali dengan orang (wanita) yang serupa dengannya (yakni pezina lagi).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Al-Hasan yang telah menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku berniat tidak akan membiarkan seseorang yang pernah berbuat zina dalam Islam menikahi wanita yang menjaga kehormatannya." Maka Ubay ibnu Ka'b berkata kepadanya, "Wahai Amirul Muminin, syirik lebih besar (dosanya) daripada perbuatan itu, tetapi terkadang diterima bila ia bertobat."
Hal ini akan dibahas secara rinci pada tafsir firman-Nya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nur: 3) Karena itulah dalam surat ini Allah ﷻ berfirman: “Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka sia-sialah amalannya, dan di hari kiamat dia termasuk orang-orang merugi.” (Al-Maidah: 5)
Ayat ini masih berkaitan dengan ayat yang lalu memberikan jawaban atas pertanyaan orang yang beriman tentang apa saja yang dihalalkan bagi mereka. Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan, yakni binatang halal yang disembelih Ahli Kitab itu halal bagimu selagi tidak bercampur dengan barang-barang yang haram, dan makananmu halal pula bagi mereka, maka kamu tidak berdosa memberikannya kepada mereka. Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuanperempuan yang beriman dan halal pula menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, yakni melangsungkan akad nikah secara sah, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Demikian Allah menetapkan hukum-hukum-Nya untuk dijadikan tuntunan bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. Setelah Allah menjelaskan hukum tentang makanan dan hewanhewan sembelihan yang dihalalkan dan menjelaskan ketentuan menyangkut wanita-wanita yang boleh dinikahi, pada ayat ini Allah menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara beribadah kepada Allah dimulai dengan salat sebagai ibadah yang paling mulia. Ayat ini memberikan petunjuk tentang persiapan yang harus dilakukan ketika hendak melakukan salat, yaitu cara menyucikan diri dengan berwudu, tayamum, dan mandi. Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah membulatkan hati hendak melaksanakan salat, sedangkan kamu saat itu dalam keadaan tidak suci atau berhadas kecil, maka berwudulah, yaitu dengan cara basuhlah wajahmu dengan air dari ujung tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke ujung dagu dan bagian antara kedua telinga, dan basuhlah tanganmu sampai ke siku, dan sapulah sedikit atau sebagian atau seluruh kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu dalam keadaan junub, yakni keluar mani karena bersetubuh atau karena sebab lain, maka mandilah, yakni basuhlah dengan air seluruh badanmu. Dan jika kamu sakit yang menghalangi kamu menggunakan air karena khawatir penyakitmu bertambah parah atau memperlambat kesembuhan kamu, atau kamu berada dalam perjalanan yang dibenarkan agama dan dalam jarak tertentu, atau kembali dari tempat buang air, yakni kakus, setelah selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni persentuhan dalam arti pertemuan dua alat kelamin yang berbeda atau dalam arti persentuhan kulit seorang laki-laki dan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, tidak dapat menggunakannya, baik karena tidak ada, tidak cukup, atau karena sakit, maka bertayamumlah dengan debu yang baik, yakni debu yang bersih dan suci; yaitu dengan cara sapulah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah Yang Mahakuasa tidak ingin menyulitkan kamu dan tidak menghendaki sedikit pun kesulitan bagimu dengan mengharuskan kamu berwudu ketika tidak ada air atau ketika dalam keadaan sakit yang dikhawatirkan kamu bertambah sakit apabila anggota badanmu terkena air, tetapi Dia hendak membersihkan kamu, menyucikan kamu dari dosa maupun dari hadas, dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, dengan meringankan apa yang menyulitkan kamu agar kamu bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadamu.
Ayat ini menerangkan tiga macam hal yang halal bagi orang mukmin, yaitu:
1. Makanan yang baik-baik, seperti dimaksud pada ayat keempat. Kemudian disebutkan kembali pada ayat ini untuk menguatkan arti baik itu dan menerangkan bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik itu tidak berubah.
2. Makanan Ahli Kitab. Makanan di sini menurut jumhur ulama ialah sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka pada waktu itu mempunyai kepercayaan bahwa haram hukumnya memakan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Selama mereka masih mempunyai kepercayaan seperti itu, maka sembelihan mereka tetap halal. Sedangkan makanan lainnya seperti buah-buahan, dan sebagainya dikembalikan saja hukumnya kepada jenis yang pertama yaitu tayyibat, apabila termasuk golongan makanan yang baik-baik boleh dimakan, kalau tidak (khabais), haram dimakan. Adapun sembelihan orang kafir yang bukan Ahli Kitab haram dimakan.
3. Mengawini perempuan-perempuan merdeka (bukan budak) dan perempuan-perempuan mukmin dan perempuan Ahli Kitab hukumnya halal. Menurut sebagian mufasir yang dimaksud al-muhsanat ialah perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dirinya.
Laki-laki boleh mengawini perempuan-perempuan tersebut dengan kewajiban memberi nafkah, asalkan tidak ada maksud-maksud lain yang terkandung dalam hati seperti mengambil mereka untuk berzina dan tidak pula untuk dijadikan gundik. Ringkasnya laki-laki mukmin boleh mengawini perempuan-perempuan Ahli Kitab dengan syarat-syarat seperti tersebut di atas. Tetapi perempuan-perempuan Islam tidak boleh kawin dengan laki-laki Ahli Kitab apalagi dengan laki-laki kafir yang bukan Ahlil Kitab. Kemudian akhir ayat kelima ini memperingatkan, bahwa barang siapa yang kafir sesudah beriman, maka semua amal baik yang pernah dikerjakannya akan hapus semuanya dan di akhirat termasuk orang yang rugi.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TENTANG YANG HALAL
Ayat 4
“Mereka bertanya kepada engkau, apakah yang dihalalkan bagi mereka."
Susunan ayat ini sejalan dengan “asosiasi" pikiran manusia. Yang di dalam bahasa Arab dinamai iltizam. Yaitu jika telah diterangkan mana yang haram dimakan, dengan sendirinya manusia ingin tahu mana yang halal. Itu sebabnya mereka bertanya, “Katakanlah: Telah dihalalkan bagi kamu yang baik-baik
Di sini terkandunglah ruh syari'at, yaitu semangat ajaran agama. Yang dihalalkan Allah adalah yang baik-baik. Ada pun yang diharamkan, teranglah bahwa dia itu tidak baik, atau rijsun: kotor, keji, tidak sesuai dengan rasa halus kemanusiaan. Di dalam ayat yang pertama tadi sudah mulai diterangkan setengah daripada makanan yang baik-baik itu, yaitu bahimatui yaitu binatang-binatang ternak; unta, sapi dan kerbau, kambing dan biri-biri atau domba. Sedang babi, selain babi hutan ada lagi babi ternak. Maka babi ternak ini sudah termasuk yang haram, sebab tadi sudah dijelaskan. Selain dari binatang ternak, maka binatang hutan yang tidak buas, boleh pula kamu buru dan kamu makan. Binatang buruan ialah: rusa, kijang, pelanduk, kambing hutan, dan seumpamanya.
“Dan apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap, padahal telah kamu biasakan mereka berburu, yang kamu ajar mereka daripada apa yang diajarkan Allah kepada kamu."
Yaitu.hasil perburuan yang kamu dapat dari memakai binatang-binatang yang telah khusus diajar buat berburu. Seumpama anjing perburu, serigala, elang, dan sebagainya yang diajar buat berburu binatang dan burung, sehingga binatang-binatang itu karena sudah terlatih berburu, pandailah mereka mengejar perburuan dan menangkapnya untuk diserahkan kepada tuannya.
“Maka makanlah apa yang mereka tangkap buat kamu, dan sebutlah nama Allah atasnya." Maka hasil perburuan, yaitu binatang buruan atau burung yang ditangkap oleh anjing pemburu atau'serigala atau elang itu, setelah
ditangkap lalu digunggungnya dan dibawanya kepada kamu, bolehlah buruan itu kamu makan. Sebab meskipun binatang itu telah ditangkap oleh anjing pemburu dan lainnya tadi, namun karena dia telah diajar untuk itu, nyatalah ditangkapnya bukan buat dirinya, melainkan buat tuan yang mengajarnya. Maka sebutlah, “Bismillah," ketika menerimanya, apatah lagi ketika mulai melepaskan binatang-binatang pemburu itu. Yaitu ketika binatang itu sampai ke dalam tanganmu tidak bernyawa lagi,
“Dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah amat cepat perkiraan-Nya. “
Diperingatkan agar takwa kepada Allah di ujung ayat; dan diperingatkan pula bahwa perkiraan Allah adalah cepat, supaya di dalam menerima hasil perburuan yang dibawa binatang itu ditilik benar-benar, apakah binatang itu benar-benar dibawanya untuk tuannya, atau pun telah mati karena dimakannya untuk dirinya sendiri. Karena kalau sudah mati untuk makanannya sendiri, samalah hukumnya dengan bangkai sebagai yang tersebut di dalam ayat 3 tadi, yang diharamkan nomor (9) yang mati dimakan binatang buas.
Sebab anjing dan serigala adalah termasuk binatang buas, yang makanannya pun menjadi dihukumkan bangkai juga. Tetapi kalau digunggungnya saja, belum sampai dimakannya, walaupun sudah mati sebelum sampai ke tanganmu, halal itu kamu makan, walaupun belum sampai kamu sembelih. Abu Tsalabah meminta fatwa Rasulullah ﷺ (menurut hadits yang dirawikan oleh an-Nasa'i) tentang hasil perburuan yang dibawakan anjing pemburu itu. Beliau bersabda.
“Jika ada pada engkau anjing pemburu, maka makanlah dari apa yang digunggungnya untuk engkau. “ (HR an-Nasa'i)
Abu Tsalabah bertanya, “Masih hidup atau sudah mati?" Beliau jawab, “Benar," Dan ditanyakan pula tentang buruan yang mati karena dipanahnya. Maka beliau pun menjawab,
“Makanlah apa yang telah dikembalikan kepada engkau oleh panah engkau. “
Masih hidup atau pun sudah mati. Abu Tsalabah pun bertanya, “Bagaimana kalau binatang itu hilang, tidak bertemu. Yaitu jatuh ke tempat jauh, dicari tidak bertemu. Rasulullah pun menjawab, “Meskipun hilang tidak bertemu, kemudian setelah dicari-cari baru ketemu. Itu pun boleh engkau makan asal belum berbau busuk, atau tidak bertemu di tubuh itu bekas panah yang lain."
Beginilah beberapa peraturan tentang perburuan.
Ayat 5
“Pada hani ini tetak dihalalkan untuk kamu yang baik-baik."
Di dalam ayat ini diulang sekali lagi, bahwa mulai hari ini sudahlah dihalalkan kepada kamu makanan yang baik-baik. Sebagaimana yang telah diterangkan pada ayat pertama, sebagian yang baik-baik itu sudah terang, yaitu binatang ternak. Makanan yang baik ialah yang tidak ditolak oleh perasaan halus sebagai manusia. Dimisalkan bangkai meskipun belum ada misalnya ayat yang mengharamkan, namun tabiat manusia yang sehat, tidaklah suka memakan bangkai. Demikian juga memakan atau menyusup darah. Apatah lagi kalau orang melihat bagaimana sukanya babi kepada segala yang kotor, dia akan jijik makan babi. Kemudian, selain dari macam-macam yang keji yang telah diharamkan pada ayat (3) di atas tadi, datang pulalah hadits menerangkan mana selain itu yang tidak baik dimakan. Di antaranya ialah hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ashhabus Sunan, Sabda Rasulullah,
“Telah melarang Rasulullah sau:. memakan tiap-tiap binatang bumi yang bertaring, dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkeraman dari burung." (HR Imam Ahmad, Bukhari, dan Ashhabus Sunan)
Dan sebuah hadits lagi dari Abu Tsalabah,
“Tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas, maka memakannya adalah haram." (HR Imam Ahmad, Bukhari, dan Ashhabus Sunan)
Tetapi madzhab Imam Malik berpendapat bahwasanya selain yang haramnya terdaftar dalam Al-Qur'an bukanlah menjadi haram, melainkan makruh saja. Dalam hal ini madzhab Malik agak luas, sehingga yang selain yang tersebut dalam Al-Qur'an bagi beliau hanya semata-mata makruh. Tetapi madzhab Syafi'i agak mempersempit. Bagi beliau, apa yang disebut dalam hadits Ibnu Abbas dan Abu Tsalabah itu sama haramnya dimakan dengan yang telah terdaftar di Al-Qur'an.
Maka kucing, anjing, serigala, singa, harimau, beruang, dan tikus, demikian juga burung elang dan segala burung yang makannya mencengkeram, yaitu makan daging, dalam madzhab Syafi'i haram dimakan, dalam madzhab Maliki semata makruh. Yaitu makruh pada hukum, berarti dibenci, yang bukan berarti bahwa ada orang dalam madzhab Maliki yang mengatakan makruh itu yang makan anjing atau makan kucing.
Keterangan dari madzhab-madzhab seumpama perbedaan pendapat di antara kedua madzhab yang besar ini, Maliki yang berpendapat bahwa larangan-larangan yang tersebut di hadits itu hanya membawa kepada hukum makruh, dan Madzhab Syafi'i membawa kepada hukum haram, hanyalah semata-mata untuk kita tinjau belaka. Sebab di dalam surah al-A'raaf ayat 157, kita bertemu ayat tentang tugas Nabi kita Muhammad ﷺ menjadi Rasul yang wajib kita imani, di antaranya ialah,
“Dia menghalalkan untuk mereka mana yang baik-baik dan mengharamkan untuk mereka mana yang buruk-buruk." (al-A'raaf: 157)
Maka kita sendiri pun dapat pulalah menimbang bahwa selain dari yang telah tersebut pada ayat ini atau ditambah pada hadits kita pun dapat membedakan mana makanan yang baik dan mana yang buruk-buruk. Apabila kecerdasan kita telah bertambah tinggi, bertambah haluslah perasaan kita. Misalnya memakan daging ular. Kalau menurut madzhab Maliki tadi tentu makruh saja, tetapi dalam diri kita sendiri ada rasa jijik, maka haramlah dia buat kita. Maka selain dari yang terdaftar dalam Al-Qur'an dan ditambahkan oleh hadits-hadits tadi, sangatlah bergantung kepada kehalusan perasaan kita.
MEMELIHARA ANJING
Apabila kita menyelidiki ayat yang tengah kita tafsirkan ini dengan saksama dan mendalam, kita mendapat kesimpulan bahwasanya beberapa binatang, termasuk anjing, boleh diajar dan dipergunakan buat berburu. Dan hasil perburuan yang ditangkap oleh binatang yang telah diajar itu disebut muka-llibiina artinya ialah mengajar dan mendidik beberapa binatang buat berburu. Kalimat mukallibiina diambil dari kalimat kilab, artinya anjing sebab yang terbanyak dipakai buat itu ialah anjing. Sebab itulah maka diambil dari pokok kata kilab, karena itu banyak terpakai.
Menurut satu riwayat dari Ibnu Abi Hatim, diterimanya dari Sa'id bin Jubair, diterimanya pula dari Adi bin Hatim dan Zaid bin Muhalhil, keduanya orang Thaif, sebab turun ayat ini ialah bahwa Adi bin Hatim dan Zaid bin
Muhalhil ini pernah datang kepada Rasulullah ﷺ menanyakan, “Ya Rasulullah! Kalau tadi engkau menerangkan makanan yang haram kami makan, sekarang kami mohon pula bertanya mana makanan yang halal." Lalu turunlah ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau manakah yang dihalalkan? Katakanlah, ‘Dihalalkan bagi kamu mana yang baik-baik.'“ Sampai terakhir ayat. Said menjelaskan, yaitu sembelihan yang halal, sebab tadi sudah diterangkan mana yang haram, kami sekarang ingin diterangkan pula mana yang halal.
Maka datanglah penjelasan bahwa yang halal ialah yang baik-baik dan di antara yang baik-baik itu ialah hasil perburuan yang didapat dengan perantaraan binatang-binatang, termasuk anjing, yang telah diajar buat berburu.
Jelas di sini bahwasanya memelihara anjing buat berburu tidaklah terlarang. Malahan salah satu makanan yang halal ialah hasil perburuan yang dibawa oleh anjing itu.
Menurut satu riwayat lagi yang disampaikan oleh Ibnu Hatim juga, tentang sebab turunnya ayat ini, ialah satu riwayat dari Abu Rafi, Maula Rasulullah ﷺ. Abu Rafi menceritakan bahwa dia pernah disuruhkan oleh Rasulullah ﷺ membunuhi segala anjing, lalu dibunuhinya. Maka datanglah banyak orang kepada Rasulullah ﷺ bertanya, “Apakah lagi yang halal bagi kami dari umat yang telah engkau suruh membunuhinya ini?" Rasulullah berdiam sejenak. Lalu turunlah ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau dari hal manakah yang dihalalkan?" Sampai terakhir ayat. Setelah itu berkatalah Rasulullah ﷺ,
“Apabila seseorang menghalaukan anjing, dengan membaca, ‘Bismillah,' lalu anjing itu menggonggong … itu kepadanya, maka boleh dia makan apa yang tidak dimakan oleh anjing itu."
Dari keterangan ayat ini jelas bahwa boleh memelihara anjingyangdiajar berburu bahkan boleh memakan buruan yang digunggung anjing itu kembali kepada tuannya sekadarkan ditinggalkan saja dari apa yang telah digigitnya, maka Imam Malik mengeluarkan pendirian yang tegas, bahwasanya ayat yang mengandung kata mukallibiim telah kuat daripada hadits yang menyuruh membasuh tujuh kali; sekali dengan tanah, terhadap bejana yang dijilat anjing. Beliau bertanya, “Kalau binatang buruan yang dibawa oleh anjing itu halal dimakan menurut Al-Qur'an, mengapa air ludahnya dibenci, sehingga jadi wajib membasuh bejana yang dijilatnya tujuh kali?"
Tetapi timbul satu masalah yang rumit tentang memelihara anjing itu. Menurut beberapa riwayat, di antaranya dari Ibnu jarir yang diterimanya dari khadam Rasulullah yang bernama Abu Rafi tadi, bahwa pada suatu hari Malaikat Jibril datang, dan dia terus meminta izin kepada Rasulullah hendak masuk ke rumah beliau. Lalu Rasulullah berkata, “Engkau telah aku izinkan masuk ke dalam rumahku, wahai utusan Allah!" Lalu Jibril menjawab, “Itu memang! Tetapi kami tidak mau masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing"
Berkata Abu Rafi, “Setelah mendapat jawaban yang demikian dari Jibril, maka Rasulullah memerintahkan daku membunuhi sekalian anjing yang ada dalam kota Madinah, sehingga sampailah aku kepada seorang pe-rempuan yang memelihara anjing, yang selalu menyalak menjaga perempuan itu. Anjing itu tidak aku bunuh karena kasihan kepada perempuan itu, dan aku pun kembali kepada Rasulullah ﷺ lalu aku kabarkan bahwa tugas itu telah aku laksanakan, cuma tinggal seekor anjing kepunyaan seorang perempuan. Lalu Rasulullah menyuruh aku kembali ke tempat perempuan itu, lalu anjingnya aku bunuh juga.
Setelah anjing perempuan itu aku bunuh, aku pun kembali kepada Rasulullah ﷺ Maka datanglah banyak orang kepada Nabi, lalu bertanya, “Ya Rasulullah! Apakah lagi yang dihalalkan untuk kami, dari umat ini, kalau semuanya sudah habis?"
Mendengar pertanyaan itu Rasulullah ﷺ berdiam sejenak, kemudian turunlah ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau mana yang dihalalkan."
Dari segala beban yang didapat ini, baik dari ayat yang tengah kita tafsirkan, atau dari hadits-hadits tersebut tadi, nyatalah bahwa memelihara anjing adalah salah satu kebiasaan yang penting dari kehidupan orang di masa itu, yang digunakan untuk berburu. Tetapi satu masa Rasulullah memerintahkan untuk membunuhi sekalian anjing, terutama karena Jibril tidak mau masuk ke dalam rumah yang ada anjing.
Kemudian datanglah ayat yang kita tafsirkan ini, menyatakan hasil buruan yang digunggung anjing perburu, boleh dimakan.
Kemudian datanglah satu hadits yang di-rawikan oleh Muslim dan Imam Ahmad, yang diterimanya dari sahabat jabir,
“Berkaca (Jabir), ‘Rasululah ﷺ pernah memerintahkan kami membunuhi anjing, sehingga seorang perempuan datang dari desa membawa anjingnya, anjing itu pun kami bunuh juga. Kemudian Rasulullah telah melarang kami membunuhnya dan beliau bersabda, ‘Kamu bunuh saja anjing hitam yang ada dua titik (di atas kedua matanya), sebab itu adalah setan.'" (HR Muslim dan Imam Ahmad)
Dari keterangan hadits ini jelas sekali bahwa mulanya Nabi membunuh sekalian anjing, kemudian melarangnya, atau menyuruh menghentikan pembunuhan anjing, kecuali anjing hitam pekat yang ada tanda putih atau kuning, di atas matanya.
Dan bertemu pula satu hadits yang dirawi-kan oleh Abu Dawud dan ad-Darimi daripada Abdullah bin Mughaffal, dari Nabi ﷺ,
“Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Kalau bukanlah anjing itu satu di antara umat, sesungguhnya aku perintahkan membunuhnya semua. Maka bunuh sajalah anjing hitam pekat!'" (HR Abu Dawud dan ad-Darimi)
Di sini kita mendapat kesimpulan bahwa perintah membunuh atau memusnahkan anjing secara besar-besaran itu hanya sekali kejadian, yaitu setelah Jibril tidak mau masuk rumah beliau, karena di dalam rumah beliau ada anjing.
Pada ijtihad, penyusun tafsir ini, dan moga-moga ijtihad ini jangan salah, besar kemungkinan bahwa pada waktu itu penyakit anjing gila sedang menular. Kedatangan Jibril yang tidak mau masuk rumah yang ada anjing memberi kita isyarat bahwa beliau diberi tahu dengan wahyu bahwa penyakit itu sedang menular. Itu sebabnya beliau suruh musnahkan anjing. Tetapi setelah bahaya itu tak ada lagi, beliau suruh hentikan pembunuhan anjing besar-besaran itu, hanya beliau suruh saja membunuh anjing hitam pekat yang bertanda putih atau kuning di atas matanya. Dan beliau katakan pula bahwa anjing adalah suatu umat Allah juga. Bahwasanya baik jenis binatang-binatang yang merangkak di atas bumi atau burung-burung yang terbang di udara, semuanya itu adalah umat-umat seperti kita juga, memang jelas diterangkan Allah dalam Al-Qur'an, surah al-An'aam ayat 38.
Ini jelas lagi oleh sebuah hadits yang di-rawikan oleh Bukhari dan Muslim, dari lbnu Umar;, beliau itu berkata,
“Rasulullah ﷺ telah memerintahkan membunuh anjing, kecuali anjing untuk berburu, anjing untuk gembala kambing, dan anjing untuk gembala yang lain." (HR Bukhari dan Muslim)
Kemudian datang pula hadits yang menjelaskan lagi,
“Dan tidaklah ada dari ahli suatu rumah yang mengikat anjing, melainkan akan berkuranglah amalnya tiap hari satu qirath. Kecuali anjing buat berburu atau anjing buat menjaga kebun atau anjing buat gembala kambing." (HR Tirmidzi dan an-Nasa'i)
Imamul Haramain mengeluarkan pendapat demikian, “Sejak itu tetaplah hukum syara' melarang membunuh sekalian anjing, sebab tidak ada mudharat, sampai pun kepada anjing yang hitam pekat pakai tanda putih di sebelah atas matanya itu."
Dan secara zaman modern sekarang ini, kita mengemukakan pula pendapat—moga-moga pendapat itu benar—bahwa satu-satu waktu akan berjangkit lagi penyakit anjing gila yang berbahaya itu. Penyakit anjing gila memang sangat berbahaya, boleh disamakan dengan setan. Mungkin di antara anjing-anjing yang banyak itu, anjing hitam yang bertanda putih itu sangat mudah dijangkiti penyakit anjing gila. Kalau keluar hasil penyelidikan ahli kesehatan dan permakluman pemerintah bahwa sedang berjangkit penyakit anjing gila, hendaklah kita patuhi petunjuk pemerintah. Kalau perlu dengan membunuh anjing yang kita pelihara sendiri.
Berkata pula lbnu Abdil Bar, “Di dalam segala hadits-hadits ini dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa kita boleh memelihara anjing buat berburu dan buat menjaga ternak. Demikian juga buat menjaga kebun, untuk menambah penjagaan, dan makruh memelihara anjing untuk keperluan lain. Kecuali yang termasuk dalam arti berburu dan lain-lain yang disebutkan itu, ialah memelihara anjing untuk mengambil suatu manfaat dan menolak satu mudharat. Yaitu dengan jalan qias kepada yang ditentukan Nabi itu. Lebih jelas makruhnya lagi kalau tidak ada keperluannya. Sebab kalau ada orang memelihara anjing, takutlah orang akan masuk ke rumah itu, dan malaikat pun tidak mau masuk ke rumah yang ada anjing." Demikian keterangan dari Ibnu Abdil Bar.
Al-Qasimi dalam tafsirnya mengatakan bahwa arti yang tersimpan di dalam hadits-hadits ini, yang berkenaan dengan ibadah, ialah karena kotor ludah anjing itu. Kalau dipelihara dalam rumah, maka tidaklah akan selalu terjaga jika ada bejana yang dijilatnya. Tentu saja kalau kebersihan bejana yang dijilat anjing itu dilengahkan, Allah akan mengurangi pahala amalan satu qirath tiap hari.
Seorang ulama besar, Amr bin Ubaid pernah diajak bertukar pikiran oleh khalifah Abu Ja'far al-Manshur tentang hadits-hadits bahwa malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada anjing ini, gerangan apa sebabnya. Ulama itu tidak dapat menjawab. Lalu al-Manshur menyatakan pendapatnya, “Barangkali karena anjing itu suka menyalak tetamu dan menimbulkan takut orang yang datang untuk meminta atau menanyakan sesuatu."
Dari segala keterangan ini jelaslah,
1. Memelihara anjing untuk keperluan berburu, menjaga kebun, dan menjaga ternak dibolehkan. Malahan hasil perburuan yang dibawakan anjing pemburu boleh dimakan. Diterangkan oleh Al-Qur'an sendiri.
2. Membunuh anjing secara permusnahan hanya boleh kalau penyakit anjing gila sedang berjangkit.
3. Memusnahkan anjing-anjing dengan semena-mena, dilarang oleh Nabi. Sebab anjing itu sebangsa umat Allah juga. Lantaran itu memperburukan anjing jika masuk ke dalam kampung, kadang-kadang anjing kepunyaan orang lain, tidaklah sesuai dengan rasa agama yang mendalam.
4. Memelihara anjing untuk menjaga dan memelihara keamanan rumah dari bahaya maling, adalah boleh. Yaitu dengan mengqiaskan kepada anjing-anjing yang dibolehkan Rasulullah ﷺ memeliharanya tadi.
5. Memelihara anjing karena kemewahan saja adalah makruh. Dan tidak sesuai dengan jiwa Islam memasang tanda “Awas Anjing" di muka rumah supaya orang jangan mendekat.
6. Anjing-anjing yang dididik dan diajar oleh polisi untuk pencari orang jahat adalah termasuk hal yang dibenarkan oleh agama.
7. Anjing itu diburu-buru, dikejar, dilempari dengan penuh benci, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Islam yang awam, bukanlah hal yang sesuai dengan ruh syari'at islam.
Kemudian terusan ayat, “,Dan makanan orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagi kamu, dan makanan kamu pun halal bagi mereka."
Ini pun suatu peraturan yang lebih luas lagi. Bahwasanya makanan orang Yahudi dan Nasrani halal kita memakannya. Tentu yang lebih ditekankan di sini ialah penyembelihan mereka. Halal orang Islam memakan daging sapi yang disembelih oleh Ahlul Kitab, halal memakan daging kornet dalam kaleng yang dibuat di negeri Kristen atau di negeri Yahudi. Halal kita menerima makanan yang dikirim oleh Nasrani atau Yahudi yang menjadi tetangga kita dan halal pula kita menghadiahkan makanan kepada mereka.
Terhadap ayat yang sejelas dan seterang ini masih juga ada orang yang ragu, sehingga mereka mempersempit keluasan yang diberikan agama. Ada yang berkata bahwa Ahlul Kitab sama juga dengan musyrik, sebab mereka memperserikatkan Allah dengan Isa al-Masih, mengatakan al-Masih anak Allah. Padahal soal ini telah diperbincangkan di dalam Al-Qur'an, bahkan diperbincangkan sebelum ini dalam surah an-Nisaa' dan akan dibicarakan lagi beberapa ayat sesudah ini di dalam surah ini sendiri. Soal orang Nasrani mempersekutukan al-Masih dengan Allah adalah masalah yang berdiri sendiri. Sekarang datang ayat ini menjelaskan soal makanan. Teranglah bahwa ayat ini menegaskan, meskipun mereka Nasrani atau Yahudi mempunyai kepercayaan lain terhadap Isa al-Masih, namun makanan mereka halal kamu makan.
Bagi kita yang hidup di zaman sekarang amat penting ayat ini menjadi pegangan. Hubungan antara bangsa bertambah lebih rapat daripada dahulu. Kita telah masuk ke dalam negeri-negeri Kristen dan masuk juga ke dalam restoran orang Yahudi. Maka selain dari bangkai, darah daging babi, atau yang disembelih buat berhala, bolehlah kita makan daging-daging halal yang mereka sembelih.
Yang kerap kali menimbulkan was-was adalah binatang itu mereka sembelih secara Islam atau tidak?
Lebih dahulu hendaklah kita ingat benar bagaimana cara menyembelih menurut peraturan Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda dalam hadits yang shahih; riwayat Imam Ahmad dan Muslim, dan Ashhabus Sunan,
“Apabila kamu membunuh, hendaklah baik-baik membunuh itu. Dan apabila kamu menyembelih, hendaklah baik-baik menyembelih itu; hendaklah menajamkan seseorang kamu akan pisaunya, dan menyenangkan akan penyembelihannya." (HR Imam Ahmad, Bukhari, dan Ashhabus Sunan)
Hadits ini bukan saja memperingatkan supaya baik-baik menyembelih sembelihan dengan senjata pisau yang amat tajam, sehingga lekas hendaknya matinya, jangan sampai lama dia menderita. Bahkan juga terlebih dahulu diperingatkan jika melakukan pembunuhan, hendaklah baik-baik pula melakukannya. Yaitu jikalau hakim memutuskan hukum bunuh kepada seseorang, hendaklah dilakukan dengan sebaik-baiknya pula, sehingga orang yang menjalani hukuman itu jangan lama menderita. Ini telah dilakukan oleh negara-negara yang berkesopanan itu. Misalnya hukuman Giolletine di Perancis; sekali pancung pisau jatuh, leher putus dalam sedetik saja. Hukuman Kursi Listrik di Amerika, hukuman tembak dengan 12 peluru, dan di Saudi Arabia hukuman Pancung dengan pedang yang amat tajam, musti sekali pancung putus. Seperti yang telah dilaksanakan terhadap Pengeran Faisal bin Mussae bin Abdul Aziz di lapangan pusat kota Riyadh pada Juni 1975. Hukuman Gantung sebagaimana di Mesir. Sebab itu tercelalah menurut hadits ini menghukum mati dengan menyiksa lama; sebagaimana banyak hukuman dilakukan di abad-abad pertengahan. Orang dimasukkan ke dalam tong yang di dalamnya diberi paku, lalu tong itu diguling-gulingkan, atau dititiki air setitik demi setitik pada ubun-ubunnya, sehingga beberapa jam kemudian baru mati karena sangat dinginnya air itu. Selain dari itu, ada pula larangan keras dari Rasulullah ﷺ melakukan mengoyak-ngoyak mayat sebagai melepaskan sakit hati setelah dia mati! Ada yang diturih perutnya, dirobek dadanya, dikeluarkan hati jantungnya, dan sebagainya.
Jadi kalau melakukan penyembelihan, hendaklah dengan pisau sangat tajam, sehingga binatang yang disembelih itu jangan lama menderita, dan darahnya keluar dengan sempurna.
Penyembelihan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen yang berada di serata-rata apa yang dikehendaki Nabi ﷺ itu. Sehingga supaya binatang yang akan disembelih itu jangan lama menderita sakit, dan jangan tahu waktu dia akan disembelih, biasanya mereka pingsankan dahulu. Setelah pingsan, baru disembelih. Ada yang mereka pukul kepalanya sampai pening, ada yang mereka lakukan terlebih dahulu ke kamar yang dipenuhi gas, sehingga keluar dari sana dia pun lemas. Waktu itu baru disembelih. Padahal bagi setengah kita belumlah penyembelihan mencapai kemajuan demikian. Kita umumnya memakai pisau yang tajam menurut kehendak Rasulullah ﷺ. Tetapi sebelum disembelih, macam-macamlah penderitaan binatang itu; dijerat keempat kakinya, dia menggeretang hendak melepaskan diri, lalu diterajangkan supaya dia jatuh. Kadang-kadang terlepas ikatannya, berkelahi dahulu dengan orang-orang yang akan menyembelih. Akhirnya dia yang kalah karena dikeroyok bersama-sama. Setelah dia rebah baru disembelih.
Apabila orang Nasrani Barat melihat orang kita menyembelih kerbau, merekalah yang menuduh bahwa agama kita kejam. Dan apabila kita melihat mereka memingsankan binatang itu terlebih dahulu sebelum disembelih, kita katakan pula penyembelihannya tidak sah. Padahal penyembelihan cara mereka itutah yang lebih mendekati kehendak Rasululah ﷺ, yaitu jangan dibiarkan lebih lama binatang itu menderita.
Prof. Dr. Syekh Abdurrahman Taj, mantan Rektor al-Azhar, waktu melanjutkan sekolahnya di Sarbone University, sebagai seorang anak al-Azhar yang sangat tebal pengaruh hukum fiqih terhadap dirinya, disengajanya benar-benar pergi melihat bagaimana cara orang Perancis menyembelih penyembelihan di rumah potong. Maka dilihatnya bahwa binatang itu dipingsankan terlebih dahulu. Ketika disembelih dia tidak menggeretang-geretang lagi, dan mati dengan senangnya. Jadi penyembelihan itu terus berlaku, bukan di pingsankan sampai mati, lalu bangkai itu yang diiris-iris. Setelah melihat itu, beranilah beliau terus-terusan memakan daging sembelihan Kristen itu selama dia di Paris.
Penulis tafsir ini, sebelum membaca keterangan Prof. Dr. Abdurrahman Taj itu, pergi pula ke Amerika pada tahun 1952. Sengaja pula penulis pergi ke pabrik penyembelihan binatang ternak oleh satu perusahaan daging terbesar di AnArbord. Di sana orang menyembelih binatang ternak sebanyak 14.000 ekor dalam satu hari. Yang kelak dikirimkan ke kota-kota sekeliling dan setengahnya dikalengkan. Penulis menyaksikan bagaimana cara menyembelih sapi. Berpuluh ekor sapi yang akan disembelih dimasukkan dahulu ke dalam satu lori lalu didorong melalui satu ruangan yang ada gas. Sebelum masuk sapi-sapi itu masih tegak, tetapi setelah keluar dari ruangan itu, mereka telah tertidur semuanya, tetapi tidak mati.
Satu demi satu dipotonglah leher sapi itu oleh tukang potong. Geretangnya tidak banyak lagi, darahnya memancur keluar, lalu digantung dan dikuliti.
Rupanya teknik memingsankan itu sudah lebih maju. Sebab di waktu dahulu kabarnya memang diketuk kepalanya terlebih dahulu dengan besi besar, sehingga kelengar dan jatuh, baru disembelih. Maka berpikirlah kita, mana yang lebih mencapai kehendak Rasulullah, jika dibandingkan dengan sapi itu terlebih dahulu diperhembat-hembatkan, dijerat keempat kakinya, dibujuk-bujuk dan kadang-kadang dia melawan, lalu disesak bersama-sama, setelah kaki keempatnya terjerat, lalu diterjangkan sehingga dia jatah. Dipegang pula bersama-sama sampai diam. Setelah dia diam baru disembelih, sampai sebelum matinya dia mengempas-empaskan diri kesakitan? Mana yang lebih mendekati kehendak Rasulullah?
Penulis melihat pula di ruangan lain orang menyembelih kambing. Kambing itu ditangkap seekor-seekor, lalu digantungkan kakinya ke atas, dengan berbaris. Satu demi satu kambing-kambing itu disembelih dengan pisau sangat tajam, sebagaimana kita menyembelih juga. Dengan tidak dipingsankan terlebih dahulu. Tangan tukang-tukang potong itu sudah seperti mesin saja, roda mesin berputar, kambing itu satu demi satu tiba di hadapannya, pisau tajamnya lekat ke leher kambing itu mati.
Perbedaan dengan penyembelihan kita tentu ada. Mereka tidak membaca Bismillah ketika menyembelih. Tetapi itulah yang dihalalkan kita memakannya oleh ayat ini. Tentu Yahudi dan Nasrani tidak membaca Bismillah!
Padahal dalam kalangan kita Islam sendiri tentang membaca Bismillah ketika menyembelih itu adalah termasuk masalah khilafiyah. Telah menulis Sayyid Rasyid Ridha di dalam tafsirnya al-Manar.
“Dan perselisihan ulama tentang hukum tasmiyah (membaca Bismillah) itu. Sebab nash yang sharih mewajibkannya tidak terdapat, yang akan dapat menyebabkan ijma ulama atasnya. Meriwayatkan Ibnu juraij dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata tentang tafsir ayat ini, (ayat 4 surah al-Maa'idah) Tafsir beliau,
“Apabila telah engkau kirim binatang bu-ruanmu itu, maka bacalah Bismillah, dan jika engkau lupa tidaklah mengapa." Maka Ibnu Abbas berpendapat bahwa membaca Bismillah ketika melepaskan binatang pemburu itu adalah sunnah.
Dan diriwayatkan orang juga pendapat semacam itu dari Abu Hurairah dan telah terdahulu keterangan pendapat itu dari Thawus. Dan merawikan pula Bukhari dan an-Nasa'i dan Ibnu Majah dari hadits Aisyah bahwa suatu kaum bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Ya Rasulullah! Suatu kaum datang kepada kami membawakan kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah disebut nama Allah atasnya atau tidak," Maka menjawab Rasulullah ﷺ,
“Kamu sendiri membaca Bismillah atasnya makanlah!" (HR Bukhari, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Berkata yang merawikan, mereka itu masih dekat kepada zaman kufur. Artinya baru masuk Islam.
Selanjutnya Sayyid Rasyid Ridha menerangkan, “Ahli-ahli fiqih di kota-kota besar telah menyatakan pula pendapat, di antaranya berkatalah Imam Syafi'i, “Bahwasanya membaca Bismillah atas penyembelihan adalah mustahab (sangat disukai atau sunnah) Bukan wajib dan bukan syarat. Dan berkata Abu Hanifah dan Malik dan Ahmad menurut riwayat yang masyhur daripadanya, “Membaca Bismillah itu wajib, tetapi gugur wajibnya kalau lupa." Dan pada riwayat yang lain dari Imam Ahmad, “Dia adalah mutlak wajib." (Tafsir al-Manar juz 6, halaman 176)
Maka mendapatlah saya penjelasan di dalam batin sendiri setelah apa yang dibaca di dalam tafsir itu dan dibanding pula kepada kitab-kitab lain bahwasanya penyembelihan orang Nasrani atau Yahudi itu memang di-halalkan Allah aku makan, dan aku pun tidak ragu lagi karena aku lihat mereka tidak membaca Bismillah, setelah tuntunan hadits pun telah ada, yaitu daging yang tidak kita ketahui apakah dibacakan Bismillah ketika dipotong atau tidak, makan sajalah dengan awak sendiri membacakan Bismillah ketika memakannya. Dan meskipun sebagai seorang anggota Muhammadiyah, saya tidak begitu terikat kepada satu madzhab, namun anutan madzhab Syafi'i dari kecil memengaruhi juga kepada jiwa. Dengan membaca keterangan Imam Syafi'i bahwa membaca Bismillah hanya mustahak, bukan wajib dan bukan syarat, bertambahlah kepuasan jiwaku. Sehingga tidaklah saya ragu lagi memakan daging sapi atau kambing atau kerbau di negeri-negeri orang Kristen itu.
Dan adalah nyata mereka menyembelih itu bukan buat berhala, tetapi semata-mata buat dimakan.
Hidangan dari Yahudi tidak meragukan sama sekali, sebab mereka pun tidak makan babi, tidak makan bangkai dan darah, dan penyembelihan untuk berhala.
Sedang orang Kristen, mereka pun tidak mau makan bangkai, makan dan minum darah dan mereka pun mengharamkan untuk berhala.
Sebab itu mereka menyembelih hanya semata-mata buat dimasak sebagaimana kita juga. Cuma babi bagi yang sebagian besar adalah halal. Kecuali beberapa sekte, sebagaimana Methodis dan Zevenadventist yang sama dengan Yahudi dan kita mengharamkan babi.
Maka kalau dalam jamuan orang Kristen, naik kapal udara yang tidak mengetahui corak-corak makanan kita, bolehlah kita katakan terus terang bahwa kita tidak memakan daging babi. Lancarnya hubungan internasional di zaman sekarang, telah menyebabkan manusia hormat-menghormati tentang pantang dan kebiasaan, apatah lagi berhubung dengan agama.
Ada pun lanjutan ayat bahwa makanan kita orang Islam pun halal mereka makan, dapatlah dipahami bahwa ini bukanlah taklif, atau perintah kepada mereka sendiri. Sebab dengan soal makanan, tentu mereka berpegang kepada syari'at mereka sendiri, bukan kepada syari'at kita. Maksud Allah memberi tahu bahwa makanan kita pun halal bagi mereka adalah jauh sekali; yaitu supaya di dalam pergaulan hidup seharbhari kita berlaku baik kepada mereka. Bukanlah tersebut di dalam hadits, sebagai di dalam surah an-Nisaa' telah kita tafsirkan juga, bahwa Rasulullah pada suatu hari menyembelih kambing, lalu me-nyuruhkan khadamnya mengantarkan dagingnya sebagai hadiah kepada orang Yahudi tetangganya? Apakah salahnya sebagai di negeri kita ini, dalam kota-kota besar kita bertetangga baik dengan penganut Nasrani lalu hadiah-menghadiahi makanan?
Apakah lagi di negeri-negeri sebagai Sipi-rok, Ambon, dan Minahasa dan lain-lain, terdapat pertetanggaan yang baik? Demikian juga di kota-kota besar yang lain. Bahkan ada lagi terdapat suatu kebiasaan yangganjil dalam kalangan orang Cina Kristen. Peranakkan di Makassar. Yaitu kalau akan menyembelih ayam atau ternak yang lain, orang-orang Kristen meminta tolong sembelihkan kepada orang Islam!
“Dan perempuan-perempuan merdeka daripada Mukminat dan perempuan-perempuan merdeka dari yang diberi Kitab sebelum kamu, apabila telah kamu berikan kepada mereka mahar mereka."
Sambungan ini bukan lagi soal makanan, melainkan soal perkawinan. Di sini diterangkan bahwa kamu orang Mukmin halal kawin dengan perempuan yang Mukminat dan halal pula kawin dengan perempuan Ahlul Kitab. Asal telah selesai dibayar maharnya. Dengan demikian teranglah bahwa seorang Mukmin, selain boleh mengawini perempuan sesama Islam, kalau ada jodoh dan nasib boleh pula mengawini perempuan Ahlul Kitab; Yahudi dan Nasrani. Artinya dengan tidak usah dia masuk Islam terlebih dahulu; sebab dalam hal agama tidak ada paksaan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 256 dahulu.
Dapatlah kita memahamkan sedalam-dalamnya betapa besar keluasan paham atau jiwa tasaamuh, atau toleransi yang terdapat dalam kedua kebolehan ini, yaitu boleh makan sembelihan mereka dan boleh mengawini pe-rempuan mereka. Ini adalah kebolehan yang diberikan kepada orang yang telah diseru pada permulaan pembukaan surah, di ayat 1 dan 2, yaitu, “Wahai orang-orang yang beriman!" Orang yang beriman niscaya telah ada sinar tauhid dalam dirinya; sekiranya dia ada seorang yang baik kalau bertetangga walaupun tetangganya lain agama, dan tidak ditakuti bahwa dia akan goyah dari agamanya karena berlain agama dengan istrinya. Dia akan tetap menjadi suami yang memimpin dalam rumah tangganya. Tentu dia akan memberikan contoh yang baik dalam kesalehan, ketaatan kepada Allah dan ibadah dan silaturrahmi. Sebagai suami tentu dia akan menjadi teladan yang baik bagi istrinya. Dan tentu dia pun akan berbaik-baik dengan seluruh ipar-besarnya yang berlain agama, ziarah-menziarahi, antar-mengantarkan makanan. Tetapi dapat pulalah kita mengambil paham dari ayat ini bahwa terhadap kepada laki-laki Islam yang lemah iman, keizinan ini tidak diberikan. Karena bagi yang lemah iman itu, “tukang pancing akan dilarikan ikan". Karena banyak kita lihat ketika negeri kita masih dijajah oleh Belanda yang berteguh dalam agama mereka, ada orang Islam tertarik nikah dengan perempuan Kristen, berakibat kucar-kacir agamanya, kacau balau kebangsaannya dan sengsara di akhir hidupnya. Hal ini sampai menjadi bahan roman yang indah dari salah seorang pahlawan kemerdekaan dan pujangga kita Abdul Muis, dengan bukunya Salah Asuhan.
Di dalam ayat ini bertemu perkataan Muh-shanat, yang kita artikan saja perempuan-perempuan merdeka, baik muhshanat Muk-minat orang Islam, atau muhshanat Ahlul Kitab. Dahulu telah pernah kita artikan kata muhshanat, yaitu perempuan yang terbenteng, artinya perempuan merdeka, perempuan baik-baik dan terhormat, bukan pezina dan budak-budak. Maka derajat mereka yang Mukminat dan Ahlul Kitab, sebagaimana istri laki-laki Islam yang beriman adalah disamakan oleh ayat ini. Ini dikuatkan benar-benar oleh sambungan ayat, “Dalam keadaan beraikah, bukan berzina dan bukan mengambil piaraan!' Dengan mulanya diberi ingat tentang membayar mahar terlebih dahulu dan ditekankan lagi dengan menyebut nikah, ditegaskanlah pendirian rumah tangga yang suci bersih, baik terhadap perempuan baik-baik sesama Islam atau perempuan baik-baik Ahlul Kitab. Itulah sebabnya maka dalam satu had its yang shahih Rasulullah mengatakan, hendaklah nikah itu diperlihatkan, diterangkan, sehingga
diketahui orang banyak, bahkan dianjurkan memukulkan duff, artinya genderang, tambur, atau dirayakan; asal jangan maksiat. Bukan berzina dan bukan memelihara perempuan di luar nikah, gendak atau gundik, atau nyai cara di Deli di zaman kemegahan kaum kapitalis tembakau dahulu.
“Dan barangsiapa yang menolak keimanan, maka sesungguhnya percumalah amalannya, dan adalah dia di akhirat dari golongan orang-orang yang rugi."
Ujung ayat ini umum bagi sekalian orang yang menolak hidup beriman dan memilih yang kufur. Dan boleh pula lebih dikhususkan kepada orang-orang Islam sendiri yang telah diberi izin bertoleransi yang demikian besar, boleh menikahi perempuan Ahlul Kitab. Yang mana, di antara mereka karena goyah iman, lalu lebih tertarik ke dalam agama istrinya, sehingga tinggal dan tanggallah imannya yang asal, dia sebagai tukang pancing yang dilarikan ikan, bukan dia yang menarik istrinya, melainkan dia yang terseret keluar dari Islam. Kalau sudah demikian, niscaya gugurlah dan percumalah segala amalannya yang selama ini, hiduplah dia menjadi orang kafir, dan kerugian besarlah yang akan dideritanya di akhirat.
Maka adalah orang yang langsung menjadi murtad, karena tarikan dan rayuan istri yang berlain agama, sehingga putuslah hubungannya dengan masyarakat Islam. Dan ada pula yang terkatung di tengah-tengah, tidak tentu lagi apa dia Islam apa dia Kristen, apa dia Yahudi. Sebab itu kebanyakan ulama menyatakan haram nikah orang laki-laki Islam yang imannya tidak kukuh, dengan perempuan Ahlul Kitab. Dan hendaklah dihalangi.