Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَنۡ
dan siapa
أَظۡلَمُ
lebih aniaya
مِمَّن
dari orang
مَّنَعَ
mencegah
مَسَٰجِدَ
masjid-masjid
ٱللَّهِ
Allah
أَن
bahwa
يُذۡكَرَ
disebut
فِيهَا
didalamnya
ٱسۡمُهُۥ
namaNya
وَسَعَىٰ
dan ia berusaha
فِي
dalam
خَرَابِهَآۚ
merobohkannya
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itulah
مَا
tidak
كَانَ
ada
لَهُمۡ
bagi mereka
أَن
bahwa
يَدۡخُلُوهَآ
mereka memasukinya
إِلَّا
kecuali
خَآئِفِينَۚ
orang-orang takut
لَهُمۡ
bagi mereka
فِي
di
ٱلدُّنۡيَا
dunia
خِزۡيٞ
kehinaan
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
فِي
di
ٱلۡأٓخِرَةِ
akhirat
عَذَابٌ
siksa
عَظِيمٞ
besar
وَمَنۡ
dan siapa
أَظۡلَمُ
lebih aniaya
مِمَّن
dari orang
مَّنَعَ
mencegah
مَسَٰجِدَ
masjid-masjid
ٱللَّهِ
Allah
أَن
bahwa
يُذۡكَرَ
disebut
فِيهَا
didalamnya
ٱسۡمُهُۥ
namaNya
وَسَعَىٰ
dan ia berusaha
فِي
dalam
خَرَابِهَآۚ
merobohkannya
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itulah
مَا
tidak
كَانَ
ada
لَهُمۡ
bagi mereka
أَن
bahwa
يَدۡخُلُوهَآ
mereka memasukinya
إِلَّا
kecuali
خَآئِفِينَۚ
orang-orang takut
لَهُمۡ
bagi mereka
فِي
di
ٱلدُّنۡيَا
dunia
خِزۡيٞ
kehinaan
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
فِي
di
ٱلۡأٓخِرَةِ
akhirat
عَذَابٌ
siksa
عَظِيمٞ
besar
Terjemahan
Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang masjid-masjid Allah digunakan sebagai tempat berzikir di dalamnya dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya, kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan mendapat azab yang berat di akhirat.
Tafsir
(Dan siapakah yang melarang menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya) misalnya salat dan bertasbih (dan berusaha untuk merobohkannya) baik dengan jalan meruntuhkan mesjid itu maupun dengan menggagalkan orang untuk mengunjungi dan memasukinya. Ayat ini turun menceritakan perbuatan orang-orang Romawi yang telah merobohkan Baitulmakdis atau orang-orang musyrik Mekah yang menghalang-halangi Nabi ﷺ ketika mengunjungi Baitullah pada tahun perjanjian Hudaibiah. (Mereka itu tidak sepatutnya memasukinya kecuali dengan rasa takut). Kalimat ini kalimat berita dengan arti perintah, artinya ancamlah mereka itu dengan jihad, sehingga tidak seorang pun masuk ke dalamnya dengan rasa aman. (Mereka di dunia mendapat kehinaan) atau kenistaan disebabkan terbunuh, ditawan atau membayar upeti (dan di akhirat mereka mendapat siksa yang besar) neraka.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 114
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya. Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan, dan di akhirat mendapat siksa yang berat.
Ayat 114
Mufassirin berbeda pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan orang-orang yang menghalang-halangi manusia untuk menyebut asma Allah di dalam masjid-masjid Allah dan mereka berusaha merusaknya. Pendapat mereka tersimpul ke dalam dua pendapat berikut.
Pendapat pertama, menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya.” (Al-Baqarah: 114)
Mujahid mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani, mereka melemparkan kotoran ke dalam Baitul Maqdis dan menghalang-halangi manusia untuk melakukan shalat.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan berusaha merobohkannya" (Al-Baqarah: 114). Mereka adalah Bukhtanasar dan para prajuritnya yang pernah merusak Baitul Maqdis dengan bantuan orang-orang Nasrani.
Sa'id telah meriwayatkan dari Qatadah bahwa mereka adalah musuh-musuh Allah, yaitu orang-orang Nasrani. Karena terdorong oleh kebencian mereka terhadap orang-orang Yahudi, maka mereka meminta bantuan kepada Raja Bukhtanasar dari Babil yang Majusi itu untuk merusak Baitul Maqdis.
As-Suddi mengatakan, mereka membantu Bukhtanasar merusak Baitul Maqdis hingga benar-benar rusak, dan Bukhtanasar memerintahkan supaya bangkai-bangkai dilemparkan ke dalamnya. Sesungguhnya orang-orang Romawi mau membantu Bukhtanasar merusak BaituI Muqaddas karena orang-orang Bani Israil telah membunuh Nabi Yahya ibnu Nabi Zakaria. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Al-Hasan Al-Basri.
Pendapat kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa Ibnu Zaid pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya.” (Al-Baqarah: 114) Mereka adalah orang-orang musyrik yang berusaha menghalang-halangi Rasulullah ﷺ pada hari Hudaibiyyah untuk memasuki kota Mekah, hingga Rasul ﷺ terpaksa menyembelih hadyu (binatang kurban) di Zu Tuwa dan beliau mengadakan perjanjian perdamaian dengan mereka, dan beliau ﷺ bersabda kepada mereka (kaum musyrik):
“Tiada seorang pun yang dihalang-halangi untuk memasuki Baitullah; dahulu ada seorang lelaki berjumpa dengan pembunuh ayahnya dan saudaranya, tetapi dia tidak berani menghalang-halanginya (untuk memasuki Baitullah).” Maka mereka (kaum musyrik) menjawab, "Tidak boleh masuk ke dalam kota kami orang-orang yang telah membunuh ayah-ayah kami dalam Perang Badar, sedangkan di antara kami masih ada yang hidup’."
Sehubungan dengan firman-Nya, "Dan berusaha untuk merobohkannya" (Al-Baqarah: 114), Ibnu Jarir mengatakan, "Dikatakan demikian karena mereka menyetop orang-orang yang meramaikan Baitullah dengan berzikir menyebut asma-Nya dan datang kepadanya untuk menunaikan ibadah haji dan umrah."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah disebutkan dari Salamah bahwa Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadits berikut, bahwa orang-orang Quraisy melarang Nabi ﷺ melakukan shalat di dekat Ka'bah Masjidil Haram. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya.” (Al-Baqarah: 114)
Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang pertama dengan alasan bahwa orang-orang Quraisy tidak ada yang berupaya untuk merusak Ka'bah. Adapun orang-orang Romawi, memang mereka berusaha melakukan pengrusakan terhadap Baitul Maqdis.
Menurut kami, pendapat yang lebih kuat hanya Allah yang mengetahuinya adalah pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Zaid dan riwayat yang dikemukakan dari Ibnu Abbas.
Dikatakan demikian karena apabila orang-orang Nasrani menghalang-halangi orang-orang Yahudi melakukan sembahyang di Baitul Maqdis, berarti agama mereka lebih lurus daripada agama orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani lebih dekat (kepada kebenaran) daripada mereka (orang-orang Yahudi). Sedangkan bila yang dimaksudkan oleh Allah adalah perbuatan orang-orang Yahudi, hal tersebut tidak dapat diterima, mengingat mereka telah dilaknat sebelum itu melalui lisan Nabi Daud dan Nabi Isa ibnu Maryam karena perbuatan durhaka mereka, dan mereka adalah orang-orang yang melampaui batas.
Lagi pula setelah Allah mengarahkan celaan-Nya kepada sikap orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, maka Allah mengarahkan celaan-Nya terhadap kaum musyrik, yaitu mereka yang mengusir Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya dari Mekah; mereka juga menghalang-halangi Rasul ﷺ dan para sahabatnya untuk melakukan shalat di Masjidil Haram. Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang Quraisy belum pernah berusaha merusak Ka'bah, dapat dijawab kerusakan apa lagi yang lebih besar daripada kerusakan yang telah mereka lakukan? Mereka telah mengusir Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya dari Mekah, juga menguasai Mekah dengan berhala-berhala mereka dan tandingan-tandingan serta sekutu-sekutu Allah yang dijadikan oleh mereka sendiri, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya: “Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalang-halangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak tahu.” (Al-Anfal: 34) .
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap konsisten mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah: 17-18) Merekalah orang-orang kafir yang menghalang-halangi kalian dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan)nya.
“Dan kalau tidaklah karena adanya laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bisa jadi kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa pengetahuan kalian (tentulah Allah tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.” (Al-Fath: 25)
Karena itulah Allah ﷻ menyebutkan di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap konsisten mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tiada takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah.” (At-Taubah: 18) Apabila keadaan orang yang bersifat demikian (yakni mereka yang disebutkan dalam ayat terakhir ini) terusir dari masjid-masjid Allah dan dihalang-halangi untuk mendatanginya, maka kerusakan apa lagi yang lebih besar daripada hal tersebut? Makna yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid ialah bukan dengan menghiasinya dan menegakkan gambarnya saja, melainkan dengan melakukan zikrullah di dalamnya, menegakkan syariat Allah di dalamnya, dan membersihkannya dari kotoran dan kemusyrikan.
Firman Allah ﷻ: “Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah).” (Al-Baqarah: 114)
Ungkapan ayat ini merupakan kalimat berita, tetapi makna yang dikandungnya adalah anjuran. Dengan kata lain, janganlah kamu biarkan mereka memasukinya jika kalian mampu, kecuali di bawah perjanjian gencatan senjata dan mau membayar jizyah. Karena itulah ketika Rasulullah ﷺ membuka kota Mekah, pada tahun berikutnya (yakni tahun sembilan) beliau diperintahkan menyerukan maklumat berikut ini di Mina: “Ingatlah, tidak boleh melakukan haji sesudah tahun ini seorang musyrik pun; dan tidak boleh tawaf di Baitullah seorang pun yang telanjang. Dan barang siapa yang masih mempunyai waktu (perjanjian), maka batasnya ialah sampai berakhirnya waktu (perjanjian)nya.”
Hal tersebut dilakukan sesuai dengan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28)
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa makna ayat ini ialah 'tidaklah layak bagi mereka (orang-orang musyrik) memasuki masjid-masjid Allah kecuali dalam keadaan takut terhadap kesiagaan dan kewaspadaan kaum mukmin yang selalu mengintai akan memukul mereka, terlebih lagi bila kaum musyrik tersebut menguasai masjid-masjid Allah dan melarang kaum mukmin untuk memasukinya'.
Dengan kata lain, keadaan yang seharusnya tiada lain kecuali seperti itu, seandainya saja tiada kezaliman dari pihak orang-orang kafir dan selain mereka. Menurut pendapat yang lain, makna ayat ini mengandung berita gembira dari Allah buat kaum muslim, bahwa kelak kaum muslim akan menguasai Masjidil Haram, juga masjid-masjid lain. Kelak kaum musyrik akan tunduk kepada mereka, hingga tiada seorang pun dari kalangan mereka yang masuk ke dalam Masjidil Haram kecuali dengan rasa takut.
Ia akan takut ditangkap, lalu dihukum atau dibunuh jika tidak mau masuk Islam. Sesungguhnya Allah menunaikan janji ini seperti yang disebutkan di atas, yaitu kaum musyrik dilarang memasuki Masjidil Haram. Dan Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar tidak membiarkan ada dua agama di Jazirah Arabia; hendaklah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani diusir. Segala puji dan anugerah adalah milik Allah.
Hal tersebut tiada lain karena menghormati Masjidil Haram dan membersihkan kawasan tersebut yang merupakan tempat kelahiran seorang rasul yang diutus oleh Allah buat seluruh umat manusia dengan membawa berita gembira sebagai juru ingat. Hal tersebut merupakan kehinaan bagi kaum musyrik di dunia, karena pembalasan itu tiada lain disesuaikan dengan jenis perbuatannya. Maka sebagaimana orang-orang musyrik itu pernah melarang kaum mukmin untuk memasuki Masjidil Haram, kini mereka dilarang memasukinya. Sebagaimana mereka pernah mengusir kaum mukmin dari Mekah, maka mereka pun harus diusir.
Firman Allah ﷻ: “Dan di akhirat mereka mendapat azab yang berat.” (Al-Baqarah: 114)
Hal itu sebagai balasan atas perbuatan mereka yang berani menodai kesucian Baitullah dan menghinanya dengan memasang banyak berhala di sekitarnya, menyeru selain Allah di dalamnya, tawaf dengan telanjang bulat, dan perbuatan-perbuatan mereka yang lain yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang yang menafsirkannya sebagai Baitul Maqdis, hal ini bersumber dari Ka'b Al-Ahbar yang pernah mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Nasrani ketika berhasil menguasai Baitul Maqdis, mereka melakukan pengrusakan.
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ serta menurunkan firman-Nya kepadanya, yaitu: “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya. Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut.” (Al-Baqarah: 114), hingga akhir ayat. Tiada seorang Nasrani pun di muka bumi ini yang memasuki Baitul Maqdis kecuali dalam keadaan takut.
Menurut As-Suddi, sekarang tiada seorang Romawi pun di muka bumi ini yang memasukinya kecuali dalam keadaan takut lehernya akan dipancung, atau ditakuti dengan keharusan membayar jizyah.
Qatadah berpendapat, orang-orang Romawi tidak berani memasuki Baitul Maqdis kecuali dengan sembunyi-sembunyi.
Menurut kami penafsiran terakhir ini dapat dimasukkan ke dalam makna umum ayat ini; karena sesungguhnya ketika orang-orang Nasrani itu berbuat zalim terhadap Baitul Maqdis dengan mencemarkan Sakhrah yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi, dalam ibadah, maka orang-orang Nasrani tersebut memperoleh hukumannya menurut syara' dan takdir dengan mendapat kehinaan padanya, kecuali hanya dalam masa-masa tertentu mereka dapat memasuki Baitul Maqdis.
Demikian pula halnya orang-orang Yahudi; ketika mereka melakukan kedurhakaan di dalamnya yang lebih besar daripada kedurhakaan orang-orang Nasrani, mereka pun mendapat hukuman yang lebih besar. Mereka menafsirkan makna kehinaan di dunia dengan munculnya Imam Mahdi, seperti yang dikatakan oleh As-Suddi dan Ikrimah serta Wail ibnu Daud.
Sedangkan menurut Qatadah, mereka diharuskan membayar jizyah dengan patuh pada saat mereka dalam keadaan tunduk.
Pendapat yang benar, takwil dari makna kehinaan di dunia lebih umum daripada semuanya.
Telah diriwayatkan di dalam sebuah hadits yang menerangkan tentang memohon perlindungan kepada Allah dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad; telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ayyub ibnu Maisarah ibnu Halas, bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadits berikut dari Bisyr ibnu Artah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ acapkali mengucapkan doa berikut: “Ya Allah, jadikanlah akibat semua urusan kami kebaikan belaka, dan lindungilah kami dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.”
Hadits ini berpredikat hasan, tetapi tidak terdapat di dalam kitab Sittah; dan pemilik hadits ini (yaitu Bisyr ibnu Artah yang terkadang disebut dengan nama Ibnu Abu Artah) tidak mempunyai hadits lain kecuali hadits ini dan hadits lainnya yang mengatakan: "Tangan-tangan tidak boleh dipotong dalam peperangan."
Dan siapakah yang lebih zalim, berdosa, memusuhi Allah, dan menentang perintah-Nya dari pada orang yang melarang di dalam masjidmasjid Allah untuk beribadah dan menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya dengan menghentikan syiar-syiar agama di dalamnya, merusak kesucian agama yang menyebabkan mereka melupakan Penciptanya, menyebarkan kemungkaran di masyarakat, dan membuat kerusakan di bumi' Mereka tidak pantas mema sukinya kecuali dengan rasa takut, tunduk, taat, dan patuh kepada Allah. Mereka mendapat kehinaan di dunia sebagai akibat dari kezaliman mereka, dan di akhirat mendapat azab yang berat dalam neraka Jahanam yang merupakan tempat menetap yang paling hina. Ayat ini Allah turunkan sebagai jawaban atas sikap kaum kafir Mekah yang mela rang Nabi Muhammad salat di MasjidilharamDan milik Allah timur dan barat. Artinya, Allah adalah Tuhan bumi seluruhnya. Ke mana pun kamu menghadap ketika menunaikan salat, di sanalah wajah Allah, yaitu kiblat yang diinginkan Allah bagimu. Sungguh, Allah Mahaluas, tidak sempit dan tidak terbatas, Maha Mengetahui siapa yang menghadap kepada-Nya di mana pun ia berada. 116.
Di antara tindakan orang yang paling zalim ialah:
1. Menghalang-halangi orang menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya. Termasuk di dalamnya menghalang-halangi segala perbuatan yang berhubungan dengan urusan agama, seperti mempelajari dan mengamalkan agama, iktikaf ), salat, zikir dan sebagainya.
2. Merobohkan masjid-masjid Allah (tempat ibadah). Termasuk di dalamnya perbuatan, usaha, atau tindakan yang bertujuan untuk merusak, merobohkan, serta menghalang-halangi pendirian masjid dan sebagainya.
Kedua macam perbuatan itu merupakan perbuatan zalim, karena mengakibatkan hilangnya syiar agama Allah. Para mufasir sependapat bahwa ayat di atas mengisyaratkan "tindakan yang umum" dan "tindakan yang khusus".
"Tindakan yang umum" ialah segala macam tindakan yang berhubungan dengan menghalang-halangi manusia beribadah di dalam masjid dan tindakan merobohkan masjid-masjid Allah (tempat ibadah). "Tindakan yang khusus" ialah bahwa ayat di atas diturunkan untuk menjelaskan atau mengisyaratkan bahwa telah terjadi suatu peristiwa dalam sejarah yang sifatnya sama dengan sifat-sifat tindakan atau perbuatan yang disebut di dalam ayat. Para mufasir berbeda pendapat tentang peristiwa yang dimaksud oleh ayat ini.
Pendapat pertama: Ayat di atas mengisyaratkan tindakan orang-orang musyrik Mekah yang menghalang-halangi keinginan Rasulullah ﷺ beserta para sahabatnya yang hendak mengerjakan ibadah umrah pada bulan Zulhijah tahun ke 6 Hijri (bulan Maret 628 M). Sikap kaum Musyrik itu akhirnya melahirkan Perjanjian Hudaibiah ). Timbulnya keinginan itu kembali karena dalam Perjanjian Hudaibiah Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat dibolehkan memasuki kota Mekah pada tahun setelah perjanjian itu ditanda-tangani. Tindakan mereka inilah yang dimaksud Allah dengan menghalang-halangi manusia menyebut nama Allah di dalam Masjidilharam dan usaha merobohkan masjid. )
Pendapat golongan pertama ini selanjutnya menegaskan bahwa pada lanjutan ayat terdapat perkataan:
?Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). ?(al-Baqarah/2:114)
Ayat ini menggambarkan bahwa akan tiba saatnya kaum Muslimin memasuki kota Mekah dengan aman dan tenteram dan orang musyrik Mekah akan memasuki Masjidilharam dengan penuh rasa takut. Hal ini terbukti di kemudian hari dengan terjadinya pembebasan kota Mekah oleh kaum Muslimin dan orang musyrik Mekah meninggalkan agama mereka dan masuk agama Islam.
Pendapat kedua: Ayat di atas mengisyaratkan tindakan raja Titus (70 M) dari bangsa Romawi, anak dari kaisar Vespacianus, yang menghancurkan Haikal Sulaiman dan tempat-tempat ibadah orang-orang Yahudi dan Nasrani di Yerusalem.
Tindakan orang musyrik Mekah menghalang-halangi Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin memasuki kota Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah dan tindakan raja Titus menghancurkan Baitulmakdis, termasuk di dalam "tindakan yang umum". Sedang yang dimaksud "tindakan khusus" yang sesuai dengan ayat ini ialah pendapat kedua karena adanya perkataan "merobohkan masjid" Allah di dalam ayat. Kaum musyrik Mekah tidak pernah merobohkan Masjid Allah dalam arti yang sebenarnya; mereka hanya mengotori Baitullah dan menghalangi kaum Muslim beribadah. Sedang Titus dan tentaranya benar-benar telah merobohkan Baitullah di Yerusalem dan membunuh orang-orang yang beribadah kepada Allah.
Lanjutan ayat menerangkan sifat-sifat yang harus dilakukan oleh manusia ketika memasuki masjid Allah, dengan tunduk, patuh dan memurnikan ketaatannya hanya kepada Allah semata. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa manusia dilarang memasuki masjid Allah dengan sikap-angkuh dan ria ). Dilarang memasuki masjid orang yang bermaksud menghalangi manusia beribadah di dalamnya, dan orang-orang yang bermaksud merusak atau merobohkannya.
Pada akhir ayat, Allah mengancam orang yang melakukan tindakan-tindakan di atas dengan kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Kehinaan di dunia mungkin berupa malapetaka, kehancuran dan segala macam kehinaan baik yang langsung atau tidak langsung dirasakan oleh manusia. Bentuk azab di akhirat hanya Allah yang lebih mengetahuinya.
Allah melarang manusia melakukan segala macam tindakan yang berhubungan dengan menghalang-halangi manusia berdoa, salat, iktikaf, mempelajari agama, beribadah dan perbuatan-perbuatan yang lain dalam menegakkan syiar agama Allah di dalam masjid-masjid-Nya serta usaha merusak dan merobohkannya.
Perbuatan itu zalim dalam pandangan Allah, karena langsung atau tidak langsung berakibat lenyapnya agama Allah di bumi. Perbuatan itu demikian zalimnya sehingga Allah mengancam para pelakunya dengan kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Yang diperintahkan Allah ialah agar manusia memakmurkan masjid-masjid Allah, mendirikan dan memeliharanya dengan baik, masuk ke dalamnya dengan rasa tunduk dan berserah diri kepada Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 111
“Dan mereka berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk ke surga melainkan siapa-siapa yang jadi Yahudi dan Nasrani.'"
Inilah perkataan sombong dari Yahudi dan Nasrani, yaitu mereka berkata bahwa yang akan masuk surga hanyalah siapa yang menjadi Nasrani atau Yahudi. Mengapa mereka berkata demikian? Inilah karena agama telah mereka jadikan golongan. Mereka tidak lagi menilai iman dan amal saleh seseorang sebab yang mereka pertahankan ialah golongan. Apatah lagi memang jelas dengan memakai nama Yahudi, yaitu nama suku yang terbesar dari dua belas suku Bani Israil dan nama Nasrani, negeri Nazaret tempat lahir Nabi Isa, maka agama sudah menjadi nama golongan. Sebab itu, dijelaskan oleh lanjutan ayat, “Yang begitu hanyalah angan-angan mereka." Yaitu satu ucapan yang tidak beralasan, yang hanya timbul dari angan-angan dan khayat belaka.
“Katakanlah, ‘Tunjukkan atasan kamu jika memang kamu orang-orang yang benar."
Apa sebabnya Yahudi mengatakan surga hanya untuk orang yang jadi Yahudi, apa alasannya dan buktinya.
Orang Nasrani berkata begitu pula, “Surga hanya untuk orang Nasrani." Apa sebabnya? Mengapa Yahudi tak boleh masuk?
Mereka diminta mengeluarkan alasan atau dalil yang masuk akal, bukan hanya amani, yaitu angan-angan, khayat-khayat yang bersimpang siur.
Tunjukkan alasanmu! Inilah satu pokok yang ditegakkan oleh ajaran Islam di dalam
menjunjung tinggi agama. Suatu dakwaan yang tidak ada alasan, tidaklah dapat diterima. Orang Yahudi mengatakan bahwa yang akan masuk surga hanya orang Yahudi! Orang Nasrani mengatakan begitu pula, surga hanya untuk orang Nasrani. Mana alasan? Apa sebab? Ayat yang selanjutnya membantah perkataan itu,
Ayat 112
“Sekali-kali tidak!"
Perkataan yang benar ialah, “Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, dan dia pun berbuat baik, maka untuknyalah pahalanya di sisi Tuhannya."
Menyerahkan diri kepada Tuhan, tunduk dengan segenap jiwa dan raga, tidak membantah dari tidak mendurhakai, tidak menolak kebenaran. Lalu dibuktikan dengan kemudian berbuat baik, beramal. Bukan mengakui menyerah kepada Tuhan dengan mulut saja, melainkan mesti ada bukti. Itulah yang akan beroleh pahala dan beroleh surga Allah. Tidak peduli apakah dia orang Arab atau Yahudi, Nasrani, atau Shabi'in. Pendirian ini pada ayat 62 pun telah diterangkan.
“Dan tidaklah ada ketakutan atas mereka." Artinya, tidak ada rasa takut akan mendapat adzab dan siksa dan murka Ilahi karena diri telah menyerah kepada-Nya sejak semula dan amal pun telah diperbuat.
“Dan tidaklah Mereka akan berduka cita."
Tidak akan berduka cita bahwa amalan tidak akan diterima dan usaha mereka akan sia-sia belaka sebab tujuan hidup telah disediakan untuk Tuhan.
Aslama wajhahu berarti mereka telah menyerahkan diri kepada Tuhan. Itulah yang pasti masuk surga. Aslama menjadi yuslimu dan mashdar-nya atau pokok kata ialah Islam. Sebab itu, orang yang Islamlah yang akan masuk surga walaupun tadinya dia dari Yahudi, dari Nasrani, atau dari musyrik penyembah berhala. Dia tinggalkan ikatan diri dengan yang lain itu, dia bebaskan diri darinya dan menyerah buat kepada Tuhan. Dibuktikan pula dengan perbuatan. Sehingga walaupun ada orang yang menyebut dirinya telah Islam, tetapi sebutan saja, tidak diikuti oleh amal yang baik, tidaklah akan masuk ke surga. Tidaklah akan bebas dia daripada rasa ketakutan dan duka cita. Lantaran itu, nama Islam bukanlah nama golongan, bukan nama satu keturunan, dan bukan nama satu negeri. Islam itu ialah sikap hidup!
Pendirian yang masuk akal ini bolehlah dibandingkan dengan pendakwaan dan amani mereka tadi, mana yang masuk akal dan mana yang benar.
Ayat ini telah menyumbat mulut orang yang mengakui dirinya Islam, tetapi hanya mulut saja, padahal ketaatan kepada Tuhan tidak ada. Bukti amal tidak ada. Pengertian tentang arti menyerah kepada Allah tidak ada. Mereka Islam hanya karena keturunan atau tanda peta belaka. Maka sama sajalah keadaan mereka, sama-sama amani atau angan-angan dan khayat sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani itu pula.
Dan menjadi pelajaran lagi bagi kita orang Islam; sekali-kali jangan mengemukakan suatu pendirian kalau tidak dengan alasan. Hatu burhanakum, keluarkan alasanmu, telah menutup pintu taklid turut-turutan dengan serapat-rapatnya. Beragamalah dengan berpikir, pergunakanlah akal. Jangan hanya beragama karena pusaka saja.
Ayat 113
“Dan berkata orang Yahudi, Tidak ada orang-orang Nasrani itu atas sesuatu."
Pendeknya orang Nasrani itu tidak sebuah juga; kamilah yang benar! “Dan berkata orang-orang Nasrani, ‘Tidak ada orang Yahudi itu atas sesuatu jua."‘ Kamilah yang benar! “Padahal mereka membaca Kitab." Orang Yahudi membaca kitab Taurat; di dalamnya dinyatakan bahwa akan ada nabi yang akan menyambung usaha nabi-nabi yang terdahulu. Orang Nasrani pun membaca kitab, yaitu kitab Injil. Di dalamnya pun tersebut bahwa kedatangan Isa al-Masih adalah menggenapkan isi Taurat dan tidak akan mengubah isi Taurat. Di antara kitab dengan kitab tidak selisih, tetapi pengikut menjadi berselisih. Yang satu mengatakan yang lain tidak berdasar, tidak sebuah juga. Yang lain berkata pula."Begitu jugalah orang-orang yang tidak berpengetahuan, berkata seumpama kata mereka itu (pula)" Mengatakan diri awaklah yang lebih, orang lain tidak ada yang benar. Orang musyrikin Arab begitu pula berkata kepada Yahudi dan Nasrani. Orang Majusi Persia niscaya begitu pula bicara terhadap pemeluk agama atau golongan yang lain, yaitu sudah menjadi kebiasaan yang merata dan umum di antara sekalian orang yang memeluk agama tidak dengan pengetahuan.
“Maka, Allah akan memutuskan di antara mereka di Hari Kiamat pada barang yang telah Mereka perselisihkan itu."
Telah dapat dikira-kirakan apa keputusan yang akan diambil Tuhan terhadap mereka semuanya, baik dia bernama Yahudi, Nasrani, Majusi, orang Arab Mekah dan Madinah, orang Shabi'in, maupun yang lainnya, yang beragama tidak dengan pengetahuan itu, yang berkata bahwa yang benar adalah pihak mereka masing-masing saja. Yang lain ahli neraka semua. Hanya mereka yang akan masuk surga. Sudah tampak terlebih dahulu garis yang ditentukan Tuhan, yaitu siapa di antara mereka yang benar-benar berserah diri kepada Allah dan beramal yang baik?
Ayat 114
“Dan siapakah yang lebih aniaya dari orang-orang yang menghalang-halangi masjid-masjid Allah daripada akan disebut padanya nama-Nya seraya berusaha mereka pada meruntuhkannya?"
Meskipun Nabi Muhammad ﷺ telah datang membawa agama tauhid, membawa Islam, dan telah berdiri masjid Rasulullah di Madinah, perlindungan pada sekalian tempat beribadah menyembah Allah Yang Maha Esa dengan ayat ini telah dinyatakan. Masjid artinya ialah tempat sujud. Di ayat ini dipakai kata jamak yaitu masaajid, artinya semua tempat bersujud, semua tempat shalat (sembahyang). Dengan jalan pertanyaan yang bernama istifham-inkari yaitu pertanyaan berisi sanggahan keras, tempat-tempat beribadah itu telah dibela dengan ayat ini; siapa yang lebih zalim dari orang-orang yang menghalang-halangi masjid-masjid Allah? Artinya, tidak ada lagi orang yang lebih zalim dari orang yang berbuat demikian. Apatah lagi setelah menghalang-halang, berusaha pula meruntuh-nya. Orang-orang perusak masjid, penghancur rumah-rumah tempat beribadah itu memang jahat hatinya, jauh dari Tuhan, “Mereka itu tidaklah akan masuk ke dalamnya melainkan dengan ketakutan."
Padahal, apabila orang telah masuk ke sebuah tempat beribadah, baik dia masjid Islam, sinagog Yahudi, maupun gereja Nasrani, namun suasanadi dalamnya sudah lain. Orang-orang yang masuk ke dalamnya dengan hati lembut, telah menyediakan diri buat tafakur kepada Tuhan. Betapapun cara mereka beribadah, yang mereka seru hanya Yang Esa juga. Meskipun kadang-kadang bertemu ibadah yang bid'ah atau tambahan-tambahan, namun dia dapat diselesaikan apabila keinsafan beragama yang sejati sudah mendalam. Tetapi tidak boleh dihalangi, apatah lagi dirusak dan diruntuhkan.
“Untuk mereka di dalam dunia ini adalah kehinaan." Sebab mereka menjadi timbulan sumpah dan nista orang yang dianiaya. Orang menutup mulut hanyalah karena takut akan aniaya saja. Kadang-kadang apabila orang tidak tahan menderita lagi, orang akan me-renggutkan mereka dari kekuasaannya. Siang malam orang-orang yang zalim itu tidak akan bersenang diam karena hati kecil mereka sendiri telah merasa amat bersalah karena telah merusakkan tempat yang dimuliakan dan disucikan orang.
“Dan untuk mereka di akhirat adalah adzab yang besar."
Macam-macam pulalah riwayat ahli tafsir tentang sebab turun ayat ini. Kadang-kadang mereka bawakan hikayat seketika Nebukad-nesar menaklukkan Jerusalem lalu meruntuh dan menghancurkan Haikal Sulaiman atau Baitul Maqdis yang terkenal itu. Ada pula yang mengisahkan masuknya tentara Romawi ke Palestina 130 tahun setelah wafatnya Nabi Isa al-Masih lalu mereka hancurkan pula kembali bangunan-bangunan ibadah orang Yahudi. Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini adalah suatu bayangan bahaya besar yang akan datang kemudian hari dalam Islam sendiri, yaitu datangnya kaum Qaramithah menyerang Mekah merusak masjid dan mencungkil Hajarul Aswad (Batu Hitam) dan Ka'bah lalu membawanya ke Bahrain, pusat kedudukan mereka. Sampai 22 tahun lamanya batu mulia itu tertahan di sana. Dan ada juga menafsirkan ketika Tentara Salib menyerang negeri-negeri Islam dan meruntuhkan masjid-masjid.
Meskipun semuanya itu dipandang dari sanad riwayat tidaklah kuat untuk menjadi sebab turun ayat, ayat ini telah menjadi pendirian yang pokok dari Islam, yaitu membela dan mempertahankan serta menjaga kemuliaan tempat-tempat beribadah, baik tempat beribadah orang Yahudi mapun orang Nasrani, apatah lagi masjid-masjid Islam. Dengan pemeluk kedua agama itu pertukaran pikiran tentang itikad boleh diteruskan. Kepercayaan mereka yang salah boleh dibantah, akal dapat diadu dengan akal, tetapi sinagog, gereja, dan biara mereka tidak boleh diganggu. Tidak boleh diganggu adalah kata yang masih pasif. Melainkan lebih tegas lagi: wajib dibela dan dipertahankan. Malahan pembelaan terhadap tempat-tempat beribadah itulah yang menjadi dasar politik mendirikan pertahanan dalam Islam.
Artinya, membentuk tentara dalam Islam, menjadikan senjata dan kendaraan untuk perang. Semuanya itu tujuan pertama adalah guna mempertahankan dan membela sinagog, gereja, biara, dan masjid dari kezaliman luar. Pemeluk agama lain itu di dalam pemerintah Islam diberi jaminan dan dibela di dalam ibadah dan rumah suci mereka.
Sebab itu, ketika Sayyidina Abu Bakar akan menyuruh Usamah berperang atau menyuruh Khalid binal-Walid menaklukkan negeri-negeri taklukan Romawi yang beragama Nasrani, beliau pesankan yang terutama agar tumah-ru-mah ibadah jangan diganggu. Pendeta-pendeta yang sedang mengerjakan upacara agama jangan dihalangi. Itu pula sebabnya ketika Jerusalem ditaklukkan oleh tentara Islam, uskup Nasrani memohon Khalifah Umar bin Khaththab sendiri datang menerima penyerahan taktuk mereka dan langsung uskup itu diakui dalam jabatannya itu dengan tidak diganggu. Bahkan dalam Kerajaan Turki Ustmani, ketika Sultan Muhammad Penakluk (al-Fatih) menaklukkan Konstantinopel (1453), patrick Nasrani di sana beliau akui dan diangkat menjadi menteri untuk urusan agama mereka dalam perlindungan baginda. Sampai sekarang, Kerajaan Turki Utsmani telah habis dan Turki telah bertukar menjadi republik, namun Gereja Kristen Orthodox masih tetap berpusat di Konstantinopel. Patricknya yang tertinggi masih berkedudukan di negeri itu. Sebab yang terpenting ialah bahwa setelah negeri itu dikuasai oleh Kerajaan Turki Islam, kedudukan itu tidak diganggu sehingga tidak ada niat Gereja Orthodo x memindahkannya ke negeri lain sebab Konstantinopel dahulunya adalah pusat Kerajaan Byzantium.
Oleh karena ayat ini, alhamdulillah, bersihlah sejarah perjuangan dan perkembangan Islam daripada meruntuhkan sinagog, gereja, atau biara. Malahan ketika Khalifah Umar bin Khaththab datang ke Syam menerima penyerahan takluk kaum Nasrani itu, hari telah petang, waktu asar sudah hampir habis, pada hal beliau sedang dalam pekarangan Gereja Qiyamat, yang menurut kepercayaan orang Nasrani dari sanalah Nabi Isa naik ke langit setelah dia bangkit dari kubur. Setelah beliau menyatakan bahwa beliau hendak shalat, pendeta di gereja itu mempersilakan beliau masuk saja agar beliau shalat secara Islam di pekarangan dalam itu. Tetapi beliau menolak dengan alasan, kalau beliau shalat ke dalam, takut kalau-kalau datang orang Islam yang di belakang hari yang mendengar beliau pernah shalat di sana, mereka pun meminta pula diizinkan shalat di situ sehingga orang Nasrani sendiri yang hendak beribadah cara agamanya jadi terganggu karenanya. Sebab itu, beliau shalat di luar pekarangannya saja. Sungguhpun begitu, sampai sekarang ini, kepada turis Islam yang berziarah ke gereja itu, pendeta-pendeta yang di sana masih dengan bangganya menunjukkan bahwa di tempat ini pernah Umar bin Khaththab shalat.
Namun, toleransi yang demikian luas dalam Islam telah disalahgunakan oleh pemeluk agama lain, terutama Nasrani. Di mana-mana negeri yang mereka merasa kuat, berebutlah mereka mendirikan gereja di daerah orang Islam sehingga ulama fiqih mengeluarkan berbagai hasil fiqih yang mengatur bahwa di daerah Islam tidak boleh didirikan gereja yang baru. Ulil amri Islam berhak mengaturnya.
Dan, di tanah air kita Indonesia, setelah negeri ini bebas dari penjajahan Belanda-Kristen, perlombaan mendirikan gereja di tanah-tanah orang Islam, meskipun di tempat itu tidak ada orang Kristen, bertambah hebat daripada waktu penjajahan sendiri meskipun golongan penduduk yang terbesar (mayoritas) adalah kaum Muslimin.
Apa sebabnya?
Karena umumnya, pemegang kekuasaan adalah orang yang mendapat pendidikan Belanda khususnya dan Barat umumnya, yang bagi mereka tidak peduli dan tidak jadi perhatian, apakah yang banyak itu gereja atau masjid. Dan, pendidikan Barat yang telah ber-urat-berakar itu menyebabkan timbulnya satu perasaan bahwa kalau mereka mempertahankan hak kaum Muslimin, mereka akan dituduh fanatik. Oleh karena takut dituduh fanatik itu, mereka akan marah dan sangat murka kepada orang Islam sendiri kalau orang Islam itu saja menentang orang mendirikan gereja di pekarangan kaum Muslimin.
Keluasan dada Islam yang ditanamkan oleh ayat yang bertuah ini adalah suatu peringatan keras yang wajib dipegang teguh oleh penguasa-penguasa Islam. Itu sebabnya, sampai sekarang orang Nasrani minoritas di negeri-negeri Islam, sebagaimana di Mesir, Suriah, Irak, dan di Transjordaria, masih tetap ada. Mereka itu telah diakui dan dilindungi (dzimmi) sejak empat belas abad yang telah lalu. Di Lebanon, mereka dapat mendirikan negara sendiri, di mana mereka dapat menjadi presiden menurut undang-undang dasar yang disokong oleh Prancis di waktu Lebanon mencapai kemerdekaannya. Tetapi orang Islam di Spanyol setelah pertahanan terakhir kerajaan Islam di Granada (Banil Ahmar) kalah, mereka yang tinggal di Spanyol dipaksa masuk Nasrani dengan keras dan masjid-masjid mereka dijadikan gereja. Yang masih saja berkeras memegang agamanya diusir besar-besaran berjuta banyaknya. Sebab itu, habis musnahlah minoritas Islam dari negeri Spanyol, Portugal, dan juga Prancis.
Ketika hebat peperangan Turki Utsmani dengan Rusia-Tsar di dalam abad kesembilan belas, Kerajaan Tsar menuntut Kerajaan Turki memberikan hak bagi Rusia memperlindungi umat Kristen di negeri Turki, padahal per-lindungan yang diberikan Turki kepada minoritas Kristen itu telah cukup baik. Malahan sampai sekarang ini, sebagaimana kami tuliskan di atas tadi, Gereja Orthodox Yunani yang banyak tersebar di Eropa Timur dan Rusia masih tetap berpusat di Istanbul dan Gereja Koptik masih tetap berpusat di Iskandariyah.