Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يُظَٰهِرُونَ
(mereka) menzhihar
مِن
dari
نِّسَآئِهِمۡ
istri-istri mereka
ثُمَّ
kemudian
يَعُودُونَ
mereka kembali
لِمَا
terhadap apa-apa
قَالُواْ
mereka katakan/ucapkan
فَتَحۡرِيرُ
maka memerdekakan
رَقَبَةٖ
seorang budak
مِّن
dari
قَبۡلِ
sebelum
أَن
bahwa
يَتَمَآسَّاۚ
keduanya bercampur
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
تُوعَظُونَ
kamu diajar
بِهِۦۚ
dengannya
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِمَا
terhadap apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
خَبِيرٞ
Maha Mengetahui
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يُظَٰهِرُونَ
(mereka) menzhihar
مِن
dari
نِّسَآئِهِمۡ
istri-istri mereka
ثُمَّ
kemudian
يَعُودُونَ
mereka kembali
لِمَا
terhadap apa-apa
قَالُواْ
mereka katakan/ucapkan
فَتَحۡرِيرُ
maka memerdekakan
رَقَبَةٖ
seorang budak
مِّن
dari
قَبۡلِ
sebelum
أَن
bahwa
يَتَمَآسَّاۚ
keduanya bercampur
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
تُوعَظُونَ
kamu diajar
بِهِۦۚ
dengannya
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِمَا
terhadap apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
خَبِيرٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu berhubungan badan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Tafsir
(Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan) tentang zihar ini, seumpama dia bersikap berbeda dengan apa yang telah dikatakannya itu, yaitu dengan cara tetap memegang istri yang diziharnya. Sedangkan perbuatan ini jelas bertentangan dengan maksud tujuan daripada perkataan zihar, yaitu menggambarkan istri dengan sifat yang menjadikannya haram bagi dia (maka memerdekakan seorang budak) maksudnya wajib atasnya memerdekakan seorang budak (sebelum kedua suami istri itu bercampur) bersetubuh. (Demikianlah yang diajarkan kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan).
Tafsir Surat Al-Mujadilah: 2-4
Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan RasulNya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'd ibnu Ibrahim dan Ya'qub.
Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ma'mar ibnu Abdullah ibnu Hanzalah, dari Yusuf ibnu Abdullah ibnu Salam, dari Khuwailah binti Sa'labah yang mengatakan, "Demi Allah, berkenaan dengan diriku dan Aus ibnus Samitlah Allah menurunkan permulaan surat Al-Mujadilah." Khuwailah melanjutkan kisahnya, "Saat itu aku menjadi istrinya (Aus ibnus Samit), sedangkan dia seorang yang sudah lanjut usia dan perangainya menjadi buruk.
Dan pada suatu hari ia masuk menemuiku, lalu aku mengajukan protes terhadapnya tentang sesuatu, maka dia marah. Akhirnya ia mengatakan, 'Engkau bagiku seperti punggung ibuku.' Setelah itu Aus ibnus Samit keluar dan duduk di tempat perkumpulan kaumnya selama sesaat, kemudian ia kembali masuk menemuiku. Tiba-tiba berahinya memuncak, dia menginginkan diriku. Maka aku berkata, 'Jangan, demi Tuhan yang jiwa Khuwailah ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, jangan kamu bergaul denganku dulu setelah engkau mengucapkan kata-kata itu kepadaku sebelum Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang masalah kita ini sesuai dengan hukum-Nya.' Cegahanku tiada artinya baginya, dia memelukku dengan paksa.
Maka aku membela diri agar lepas dari pelukannya, dan aku dapat mengalahkannya karena tenaganya telah melemah mengingat usianya yang telah lanjut. Kusingkirkan dia dari tubuhku, kemudian aku keluar dari rumah menuju ke tempat salah seorang tetangga wanitaku. Lalu aku meminjam pakaian darinya dan langsung keluar menuju ke tempat Rasulullah ﷺ Setelah sampai di hadapan beliau ﷺ , aku duduk dan menceritakan kepada beliau apa yang telah kualami dengan suamiku, dan aku mengadu kepada beliau tentang perangainya yang buruk." Rasulullah ﷺ hanya menjawab, "Wahai Khuwailah, anak pamanmu (suamimu) itu telah lanjut usia, maka bertakwalah kepada Allah terhadapnya." Khuwailah melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, belum lagi aku beranjak, maka turunlah ayat Al-Qur'an mengenai diriku, dan Rasulullah ﷺ kelihatan seperti orang yang tertutup (tak sadarkan diri) sebagaimana biasanya bila wahyu sedang turun kepadanya.
Setelah wahyu selesai, keadaan beliau kembali seperti semula, lalu bersabda kepadaku, 'Wahai Khuwailah, sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu-Nya berkenaan dengan masalahmu dan suamimu.' Lalu Rasulullah ﷺ membacakan kepadaku firman berikut: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Mujadilah: 1) sampai dengan firman-Nya: dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Al-Mujadilah: 4) Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku, 'Perintahkanlah kepada suamimu untuk memerdekakan seorang budak.' Aku menjawab, 'Wahai Rasulullah, dia tidak memiliki harta untuk memerdekakan budak.' Rasulullah ﷺ bersabda, 'Maka hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.' Aku berkata, 'Demi Allah, sesungguhnya dia benar-benar seorang yang sudah lanjut usianya, dia tidak kuat mengerjakan puasa.' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Maka hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin sebanyak satu wasaq kurma.' Aku berkata, 'Demi Allah, ya Rasulullah, dia tidak memiliki makanan sebanyak itu.' Maka Rasulullah ﷺ bersabda, 'Kami akan membantunya dengan satu faraq kurma.' Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku pun akan membantunya dengan satu faraq kurma lainnya.' Rasulullah ﷺ bersabda, 'Kamu benar dan berbuat baik.
Sekarang pergilah, dan sedekahkanlah kurma ini sebagai kifarat suamimu, kemudian perintahkanlah kepada anak pamanmu itu (suamimu) agar berbuat baik'." Khuwailah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Nabi ﷺ itu. Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits ini di dalam Kitabut Thalaq, bagian dari kitab sunannya melalui dua jalur dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar dengan sanad yang sama. Dan di dalam lafal Imam Abu Dawud disebutkan Khuwailah binti Sa'labah. Disebut pula dengan nama Khuwailah binti Malik ibnu Sa'labah, tetapi adakalanya disingkat hingga menjadi Khuwailah; pada garis besarnya di antara pendapat-pendapat tersebut tidak ada pertentangan, karena satu sama lainnya berdekatan; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Inilah pendapat yang benar sehubungan dengan latar belakang turunnya surat ini. Adapun mengenai hadits Salamah ibnu Sakhr, sama sekali tidak mengandung pengertian yang menunjukkan bahwa ia melatarbelakangi turunnya surat ini, melainkan suatu kasus yang semakna dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam surat ini, yaitu kifarat memerdekakan budak, atau puasa, atau memberi makan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, dari Muhammad ibnu Amr ibnu ‘Atha’, dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Salamah ibnu Sakhr Al-Ansari yang mengatakan, "Aku adalah seorang lelaki yang dianugerahi kekuatan bersetubuh melebihi apa yang dipunyai oleh selainku.
Manakala bulan Ramadan masuk, maka aku men-zihar istriku hingga lepas bulan Ramadan, karena takut bila di suatu malam aku tidak dapat menahan berahiku yang akibatnya persetubuhan terus berlanjut sampai siang harinya, sedangkan diriku tidak mampu menghentikannya. Di suatu malam ketika istriku sedang melayaniku, tiba-tiba bagian yang merangsang dari istriku terbuka, maka aku tidak dapat menguasai diriku lagi dan langsung menggaulinya.
Pada pagi harinya aku menemui kaumku dan kuceritakan kepada mereka peristiwa yang kualami itu. Aku katakan kepada mereka, 'Marilah kita bersama-sama menghadap kepada Nabi ﷺ , lalu aku akan menceritakan kepadanya perihalku itu.' Mereka menjawab, 'Tidak, demi Allah, kami tidak mau karena kami khawatir bila akan ada wahyu yang diturunkan berkenaan dengan kita, atau Rasulullah ﷺ mengucapkan sesuatu menyangkut perihal kita yang berakibat akan membuat kita malu. Sebaiknya engkau sendirilah yang menghadap kepada beliau dan engkau lebih bebas untuk mengutarakannya.' Maka aku pun pergi menghadap kepada Nabi ﷺ , lalu kuceritakan kepada beliau perihal diriku itu, dan beliau ﷺ bersabda kepadaku, 'Kamu benar melakukannya?' Aku menjawab, 'Ya, aku benar melakukannya.' Beliau bertanya lagi, 'Kamu benar melakukannya?' Aku menjawab, 'Ya, aku telah melakukannya.' Beliau ﷺ bertanya lagi, 'Kamu benar melakukannya?' Aku menjawab, 'Ya, dan sekarang aku berserah diri kepada hukum Allah subhanahu wa ta’ala Sanksi apa pun yang harus kuterima, maka aku dengan rela menerimanya.' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Merdekakanlah seorang budak!' Maka aku memukul bagian belakang leherku dengan tanganku seraya berkata, 'Tidak, demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, aku tidak mempunyai apa pun selain istriku.' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut!' Aku menjawab, 'Wahai Rasulullah, tiada lain apa yang telah menimpa diriku itu melainkan karena puasa.' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Maka bersedekahlah kamu!' Aku menjawab, 'Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya kami jalani malam hari kami tadi dalam keadaan lapar, karena kami tidak mempunyai makanan untuk makan malam kami.' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Pergilah kamu kepada amil zakat orang-orang Bani Zuraiq, dan katakanlah kepadanya bahwa hendaknya dia memberimu zakat.
Lalu berikanlah sebagian darinya sebanyak satu wasaq kurma untuk makan enam puluh orang miskin, kemudian lebihannya adalah untukmu dan orang-orang yang berada dalam tanggunganmu.' Aku pulang kepada kaumku dan kukatakan (kepada mereka), 'Aku menjumpai kesempitan dan pendapat yang buruk pada kalian, dan kujumpai pada Rasulullah ﷺ keluasan dan berkah. Sesungguhnya beliau telah memerintahkan kepadaku untuk mengambil zakat kalian, maka berikanlah zakat itu kepadaku.' Maka mereka memberikan zakatnya kepadaku." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, tetapi Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dengan singkat dan ia menilainya hasan.
Makna lahiriah konteks hadits ini menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi sesudah kisah Aus ibnus Samit dan istrinya (Khuwailah binti Sa'labah), sebagaimana yang tersimpulkan dari konteks hadits ini dan hadits yang sebelumnya setelah direnungkan secara mendalam. Khasif telah meriwayatkan dari Mujahid dan Ibnu Abbas, bahwa lelaki yang mula-mula men-zihar istrinya adalah Aus ibnus Samit, saudara lelaki Ubadah ibnus Samit. Istrinya bernama Khuwailah binti Sa'labah ibnu Malik.
Disebutkan bahwa setelah suaminya men-zihar-nya, ia merasa takut bila zihar itu merupakan suatu talak, lalu ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aus telah men-zihar-ku; dan sesungguhnya jika kami bercerai, niscaya binasalah kami. Sesungguhnya telah kugelarkan perutku untuknya, dan dengan setia aku menemaninya." Khuwailah mengadukan hal tersebut seraya menangis, sedangkan wahyu masih belum ada yang menerangkan masalah tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. (Al-Mujadilah: 1) sampai dengan firman-Nya: dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Al-Mujadilah: 4) Maka Rasulullah ﷺ memanggil Aus ibnus Samit dan bersabda, "Mampukah kamu membeli seorang budak untuk kamu merdekakan?" Aus menjawab, "Tidak, demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak mempunyai kemampuan untuk itu." Maka Rasulullah ﷺ menghimpun dana untuknya hingga cukup untuk membeli budak, lalu budak yang telah dibeli itu dimerdekakan oleh Rasulullah ﷺ untuk kifarat Aus, setelah itu Aus kembali lagi kepada istrinya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Ibnu Abbas dan kebanyakan ulama berpendapat seperti apa yang telah kami kemukakan di atas; dan hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu. (Al-Mujadilah: 2) Kata zihar berasal dari zahar, artinya punggung, Dahulu di masa Jahiliah apabila seseorang dari mereka men-zihar istrinya, ia mengatakan kepada istrinya, "Engkau menurutku sama dengan punggung ibuku," yakni punggungnya sama dengan punggung ibunya.
Kemudian menurut istilah syara' kata zihar ini bisa saja diberlakukan terhadap anggota tubuh lainnya secara analogi (kias). Dahulu di masa Jahiliah zihar dianggap sebagai talak, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kemurahan bagi umat ini. Dia tidak menjadikannya sebagai talak, dan pelakunya hanya dikenai sanksi membayar kifarat, berbeda dengan apa yang berlaku di kalangan mereka di masa Jahiliah. Hal yang sama telah dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Abu Hamzah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu di masa Jahiliah apabila seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Engkau menurutku sama dengan punggung ibuku," maka istrinya itu haram baginya.
Dan orang yang mula-mula men-zihar istrinya di masa Islam adalah Aus. Saat itu istrinya adalah anak perempuan pamannya yang dikenal dengan nama Khuwailah binti Sa'labah. Di suatu hari ia men-zihar istrinya, lalu ia menyesali perbuatannya, dan berkata, "Menurutku dirimu tiada lain telah haram dariku," dan istrinya mengatakan hal yang sama. Akhirnya Aus berkata kepada istrinya, "Pergilah kepada Rasulullah ﷺ " Maka istri Aus datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan ia menjumpai di sisi Rasulullah ﷺ terdapat sisir yang beliau gunakan untuk menyisiri rambutnya Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Wahai Khuwailah, Allah tidak memerintahkan sesuatu pun kepada kami sehubungan dengan kasusmu itu Lalu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah ﷺ , dan Rasulullah ﷺ bersabda, "Wahai Khuwailah, bergembiralah!" Khuwailah menjawab, "Semoga kebaikan saja adanya." Maka Rasulullah ﷺ membacakan kepadanya firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. (Al-Mujadilah: 1) sampai dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. (Al-Mujadilah: 3) Khuwailah berkata, "Dari manakah kami mendapatkan budak? Demi Allah, dia tidak mempunyai seseorang selain diriku." Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut. (Al-Mujadilah: 4) Khuwailah berkata, "Demi Allah, seandainya dia (suaminya) tidak minum sebanyak tiga kali seharinya, niscaya pandangannya hilang (kabur, karena kelaparan)." Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. (Al-Mujadilah: 4) Khuwailah berkata lagi, "Dari manakah kami mendapatkan makanan sebanyak itu, sedangkan makanan kami hanyalah satu kali seharinya?" Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar diambilkan kurma sebanyak setengah wasaq, yaitu tiga puluh sa', karena satu wasaq sama dengan enam puluh sa'.
Lalu beliau ﷺ bersabda, "Hendaklah ia memberi enam puluh orang miskin (dengan kurma ini) setelah itu ia boleh rujuk kembali kepadamu." Sanad hadits ini dinilai baik lagi kuat, tetapi konteksnyagarib. Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Abul Aliyah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman Al-Harawai, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Asim, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Abul Aliyah yang mengatakan bahwa Khaulah binti Dulaij adalah istri seorang lelaki dari kalangan Ansar yang matanya telah rabun, miskin, lagi buruk perangainya.
Dan tersebutlah bahwa di masa Jahiliah dahulu apabila seorang lelaki hendak menceraikan istrinya, ia mengatakan kepadanya, "Engkau bagiku sama seperti punggung ibuku." Tersebutlah pula bahwa Khaulah mempunyai seorang anak atau dua orang anak dari suaminya itu. Dan pada suatu hari Khaulah bertengkar dengan suaminya mengenai sesuatu, maka suaminya berkata kepadanya, "Engkau bagiku sama dengan punggung ibuku." Lalu Khaulah pergi dengan pakaian yang seadanya hingga masuk ke rumah Siti Aisyah , saat itu Rasulullah ﷺ sedang berada di rumahnya.
Khaulah menjumpai Aisyah sedang membasuh sebagian dari kepala Rasulullah ﷺ , lalu Khaulah menghadap kepada beliau dengan ditemani anaknya dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku matanya sudah rabun, miskin, tidak punya apa-apa, lagi buruk perangainya. Dan sesungguhnya aku bertengkar dengannya tentang sesuatu, lalu dia marah dan mengatakan, 'Engkau bagiku sama dengan punggung ibuku,' sedangkan dia tidak bermaksud menceraikanku, dan aku mempunyai seorang atau dua orang anak darinya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Sepanjang pengetahuanku, tiada lain kamu telah menjadi haram baginya." Khaulah berkata, "Aku mengadukan perihalku kepada Allah semoga Dia menurunkan wahyu berkenaan dengan masalahku dan ayah dari anak perempuanku ini." Siti Aisyah berputar, lalu membasuh sisi lain dari kepala Rasulullah ﷺ Maka Khaulah pun berputar mengikuti Aisyah, dan berkata lagi, "Wahai Rasulullah, suamiku sudah rabun matanya, miskin, lagi buruk perangainya; aku mempunyai seorang atau dua orang anak darinya, dan sesungguhnya aku bertengkar dengannya mengenai sesuatu hal hingga ia marah, lalu berkata, 'Engkau bagiku sama dengan punggung ibuku,' sedangkan dia tidak bermaksud menceraikanku." Khaulah binti Dulaij berkata, bahwa lalu Rasulullah ﷺ mengangkat kepalanya memandang ke arahnya dan bersabda, "Menurut pengetahuanku engkau ini tiada lain telah haram baginya." Khaulah berkata, "Aku mengadukan (halku ini) kepada Allah, semoga Dia menurunkan pemecahan masalahku dan ayah anak perempuanku ini." Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Siti Aisyah melihat roman muka Rasulullah ﷺ berubah, maka ia segera berkata kepada Khaulah, "Mundurlah kamu, mundurlah kamu." Maka Khaulah pun menjauh, dan Rasulullah ﷺ ditinggalkan dalam keadaan kesendiriannya selama yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala Setelah wahyu selesai, beliau bertanya, "Wahai Aisyah, ke manakah wanita tadi?" Maka Aisyah memanggil Khaulah.
Setelah datang, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Sekarang pulanglah kamu dan kembalilah dengan membawa suamimu." Khaulah bergegas pergi, lalu datang lagi dengan membawa suaminya. Ketika Rasulullah ﷺ melihat suaminya, ternyata keadaannya seperti yang digambarkan oleh istrinya, yaitu matanya sudah rabun, miskin, lagi buruk perangainya. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, "Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang: 'Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya.' (Al-Mujadilah: 1) sampai dengan firman-Nya: 'Dan orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan.' (Al-Mujadilah: 3) Lalu Nabi ﷺ bertanya, "Apakah kamu mempunyai budak untuk kamu merdekakan sebelum kamu kembali menggauli istrimu?" Suami Khaulah menjawab, "Tidak." Rasulullah ﷺ bertanya, "Kuatkah kamu puasa selama dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya aku jika tidak makan sebanyak dua atau tiga kali hampir saja penglihatanku lenyap." Rasulullah ﷺ bertanya, "Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?" Ia menjawab, "Tidak, kecuali bila engkau membantuku." Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah ﷺ membantunya dan bersabda, "Berilah makan enam puluh orang miskin (dengan bantuanku ini)." Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah menghindarkan talak dan menjadikannya (kasus ini) sebagai zihar.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Ibnul Musanna, dari Abdul A'la, dari Daud yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abul Aliyah, kemudian disebutkan hal yang semisal, tetapi dengan kisah yang lebih ringkas dari pada konteks di atas. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa dahulu ila dan zihar merupakan talak di masa Jahiliah, lalu Allah subhanahu wa ta’ala memberikan batas waktu bagi ila selama empat bulan, dan menetapkan kifarat bagi zihar. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan hal yang semisal.
Imam Malik telah menyimpulkan bahwa orang kafir tidak termasuk ke dalam pengertian ayat ini, karena ada firman-Nya yang menyebutkan, "Minkum, "yakni dari kalian. Khitab atau pembicaraan ditujukan hanya kepada kaum mukmin. Tetapi jumhur ulama menyanggahnya dan mengatakan bahwa hal seperti ini dikategorikan ke dalam pengertian prioritas terhadap mayoritas, sedangkan dalam makna ayat ini tidak ada pengertian yang menunjuk ke arah itu.
Jumhur ulama dalam jawabannya terhadap Imam Malik mengambil dalil dari firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menyebutkan: istri mereka. (Al-Mujadilah: 3) Bahwa budak perempuan tidak ada zihar terhadapnya, dan tidak termasuk ke dalam khitab ayat ini. Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menyebutkan: padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (Al-Mujadilah: 2) Yakni seorang wanita tidaklah menjadi seorang ibu bagi seorang lelaki yang mengatakan kepadanya, "Engkau bagiku seperti punggung ibuku, atau engkau mirip ibuku, atau engkau seperti ibuku," sesungguhnya ibu lelaki yang bersangkutan hanyalah wanita yang melahirkannya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Dan sesungguhnya mereka benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. (Al-Mujadilah: 2) Maksudnya, ucapan yang keji lagi batil.
Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Al-Mujadilah: 2) Yaitu terhadap apa yang telah kamu kerjakan di masa Jahiliah. Demikian pula halnya kata-kata yang keluar dari lisan tanpa disengaja karena terpeleset lidah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mendengar seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Wahai saudaraku." Maka Nabi ﷺ bertanya, "Dia saudara perempuanmu?" Ini merupakan protes, tetapi kata-kata tersebut tidak menjadikan istrinya sebagai saudara perempuannya hanya dengan kata-kata itu, mengingat dia mengucapkan kata-katanya itu tanpa sengaja. Dan seandainya dia mengeluarkan kata-katanya itu dengan sengaja, niscaya istrinya itu haram baginya, karena sesungguhnya menurut pendapat yang shahih tidak ada bedanya antara ibu dan wanita lainnya dari kalangan para mahram seperti saudara perempuan, bibi dan ayah, dan bibi dari ibu, dan lain sebagainya yang serupa.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3) Ulama Salaf dan para imam berbeda pendapat mengenai makna yang dimaksud oleh firman-Nya: kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3) Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'kembali' ialah kembali mengulangi kata-kata zihar-nya, tetapi pendapat ini batil. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan pendapat Daud yang diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Bukair ibnul Asyaj dan Al-Farra, serta segolongan ulama ilmu kalam (tauhid).
Imam Syafii mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah hendaknya si suami tetap memegang istrinya sesudah ia men-zihar--nya selama suatu masa yang memungkinkan baginya dalam masa itu menjatuhkan talaknya, tetapi dia tidak menjatuhkannya. Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, makna yang dimaksud ialah bila suami yang bersangkutan hendak kembali menyetubuhi istri yang telah di-zihar-nya, atau bertekad akan menyetubuhinya, maka istrinya itu tidak halal baginya sebelum ia membayar kifarat zihar-nya.
Telah diriwayatkan pula dari Malik, bahwa makna yang dimaksud ialah tekad untuk menyetubuhi atau tekad untuk tetap memegangnya sebagai istri. Dan menurut riwayat lain yang bersumberkan darinya, makna yang dimaksud ialah hendak menyetubuhi. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bila si suami kembali melakukan zihar lagi sesudah zihar diharamkan dan hukum Jahiliah mengenainya dihapuskan (yakni zihar sama dengan talak).
Maka manakala seorang lelaki men-zihar istrinya, berarti istrinya itu haram baginya, dan status haramnya itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan membayar kifaratnya. Pendapat ini pulalah yang dianut oleh murid-murid Imam Abu Hanifah dan Al-Al-Laits ibnu Sa'd. Ibnu Lahi'ah mengatakan, telah menceritakan kepadaku ‘Atha’, dari Sa' id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3) Yakni mereka bermaksud akan menyetubuhi istri-istri mereka yang telah mereka haramkan atas diri mereka melalui zihar.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah menyetubuhi kemaluan. Al-Hasan menilai tidak mengapa melakukan persetubuhan di luar kemaluan sebelum yang bersangkutan membayar kifarat zihar-nya. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum kedua suami istri itu bercampur. (Al-Mujadilah: 3) Yang dimaksud dengan bercampur ialah nikah (jimak). Hal yang sama telah dikatakan oleh ‘Atha’, Az-Zuhri, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Az-Zuhri mengatakan bahwa tidak boleh bagi suami yang telah men-zihar istrinya mencium istri yang di-zihar-nya, tidak boleh pula menyetubuhinya sebelum ia membayar kifarat zihar-nya. Ahlus Sunan telah meriwayatkan melalui hadits Ikrimah, dari Ibnu Abbas: ". bahwa seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah men-zihar istriku, lalu aku menyetubuhinya sebelum kubayar kifaratnya." Rasulullah ﷺ balik bertanya, "Apakah yang mendorongmu melakukan hal itu? Semoga Allah merahmatimu." Lelaki itu menjawab, "Aku melihat kemilauan gelang kakinya yang terkena sinar rembulan." Rasulullah ﷺ bersabda: Jangan kamu dekati dia sebelum kamu kerjakan apa yang telah diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib shahih.
Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Ikrimah secara mursal. Menurut Imam An-Nasai, yang berpredikat mursal-lah yang lebih mendekati kebenaran. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak. (Al-Mujadilah: 3) Yakni memerdekakan seorang budak secara utuh, sebelum yang bersangkutan menggauli istri yang telah di-zihar-nya. Dalam ayat ini sebutan raqabah atau budak tidak diikat dengan keimanan, sedangkan di dalam kifarat membunuh diikat dengan keimanan.
Maka Imam Syafii rahimahullah menakwilkan kemutlakan dalam ayat ini, bahwa ia diikat dengan pengertian budak yang ada pada kifarat pembunuhan; mengingat subjeknya sama, yaitu memerdekakan budak. Dan Imam Syafii mendukung pendapatnya ini dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik berikut sanadnya, dari Mu'awiyah ibnul Hakam As-Sulami sehubungan dengan kisah seorang budak perempuan berkulit hitam. Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Merdekakanlah dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman. Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits ini di dalam kitab musnadnya, demikian pula Imam Muslim di dalam kitab sahihnya.
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Numair, dari Ismail ibnu Muslim ibnu Yasar, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang menceritakan pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ , lalu bertanya, "Sesungguhnya aku telah men-zihar istriku dan aku menggaulinya sebelum kubayar kifaratnya." Rasulullah ﷺ balik bertanya, "Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, 'Sebelum keduanya bercampur'?" Lelaki itu menjawab, "Aku terangsang olehnya." Rasulullah ﷺ bersabda: Tahanlah dirimu (dari bersetubuh) hingga kamu membayar kifaratmu. Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa tiada suatu riwayat dari Ibnu Abbas yang lebih baik daripada ini; Ismail ibnu Muslim orangnya masih diperbincangkan, tetapi banyak ulama yang mengambil riwayat darinya.
Di dalam hadits ini terkandung hukum fiqih yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak memerintahkan kepada lelaki itu kecuali hanya membayar satu kali kifarat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Demikianlah yang diajarkan kepadamu. (Al-Mujadilah: 3) Yakni sebagai peringatan bagimu. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 3) Yaitu mengetahui semua yang bermaslahat lagi sesuai dengan keadaan kalian. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. (Al-Mujadilah: 4) Dalam penjelasan yang lalu telah dikemukakan hadits-hadits yang memerintahkan hal ini secara tertib, sebagaimana telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain mengenai kisah seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya dalam bulan Ramadan.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. (Al-Mujadilah: 4) Artinya, Kami perintahkan demikian itu agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan itulah hukum-hukum Allah. (Al-Mujadilah: 4) Yakni batasan-batasan yang diharamkan-Nya, maka janganlah kamu melanggarnya. dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Al-Mujadilah: 4) Yaitu orang-orang yang tidak beriman dan tidak mau menetapi hukum-hukum syariat ini serta tidak meyakini bahwa mereka akan selamat dari musibah. Keadaan yang sebenarnya tidaklah seperti apa yang diduga oleh mereka, bahkan bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat nanti."
Dan mereka yang menzihar istrinya, lalu menyesali perbuatannya, kemudian segera menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan kepada istrinya itu, maka mereka para suami yang telah menzihar istrinya itu diwajibkan membayar kafarat, yakni tebusan dengan memerdekakan seorang budak sebelum suami istri itu bercampur kembali seperti sebelum menziharnya. Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu, kaum muslim tentang hukum zihar dan panduan membayar tebusannya, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan agar orang-orang beriman menyadari kemahatelitian Allah sehingga tidak berbuat curang dalam hidupnya. 4. Maka barang siapa yang tidak menemukan, tidak memiliki uang untuk memerdekakan hamba sahaya karena harganya mahal, maka dia wajib membayar kafarat zihar dengan berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur kembali. Barang siapa tidak mampu, membayar kafarat zihar dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, maka ia wajib membayar kafarat zihar dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah, Allah menjelaskan hukum zihar dan kafarat-nya agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan benar-benar berpegang kepada Al-Qur'an dan Sunah-Nya dan itulah hukum-hukum Allah tentang zihar dan kafarat-kafaratnya; dan Allah memperingatkan bahwa bagi orang-orang yang mengingkarinya, yakni hukum zihar, akan mendapat azab yang sangat pedih di akhirat, karena mengatakan yang bukan-bukan, mengharamkan menggauli istri yang dihalalkan Allah.
Pada ayat-ayat ini diterangkan syarat-syarat bagi suami-istri agar dapat bercampur atau melaksanakan perkawinan kembali jika mereka telah bercerai, yaitu pihak suami wajib membayar kafarat. Kewajiban membayar kafarat itu disebabkan telah terjadinya zihar dan adanya kehendak suami mencampuri istrinya ('aud).
Dalam ayat ini diterangkan tiga tahap kafarat zihar. Tahap pertama harus diupayakan melaksanakannya. Kalau tahap pertama tidak sanggup dilaksanakan, boleh menjalankan tahap kedua. Bila tahap kedua juga tidak sanggup melaksanakannya, wajib dijalankan tahap ketiga. Tahap-tahap itu ialah:
1. Memerdekakan seorang budak sebelum melaksanakan persetubuhan kembali. Ini adalah ketetapan Allah yang ditetapkan bagi seluruh orang yang beriman, agar mereka berhati-hati terhadap perbuatan mungkar dan membayar kafarat itu sebagai penghapus dosa perbuatan mungkar. Allah memperhatikan dan mengetahui semua perbuatan hamba-Nya, dan akan mengampuni semua hamba-Nya yang mau menghentikan perbuatan mungkar dan melaksanakan hukum-hukum Allah. Pada saat ini perbudakan telah hapus dari permukaan bumi, karena itu kafarat tingkat pertama ini tidak mungkin dilaksanakan lagi. Memerdekakan budak sebagai kafarat, termasuk salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yang pernah membudaya di kalangan bangsa-bangsa di dunia, seperti yang terjadi di Amerika, Eropa, dan lain-lain. Oleh karena itu, agama Islam adalah agama yang berusaha menghapus perbudakan dan menetapkan cara-cara untuk melenyapkannya dengan segera.
2. Jika yang pertama tidak dapat dilakukan, hendaklah puasa dua bulan berturut-turut. Berturut-turut merupakan salah satu syarat dari puasa yang akan dilakukan itu. Hal ini berarti jika ada hari-hari puasa yang tidak terlaksana seperti puasa sehari atau lebih kemudian tidak puasa pada hari yang lain dalam masa dua bulan itu, maka puasa itu tidak dapat dijadikan kafarat, walaupun tidak berpuasa itu disebabkan perjalanan jauh (safar) atau sakit. Puasa itu harus dilakukan sebelum melakukan persetubuhan suami istri.
3. Jika yang kedua tidak juga dapat dilaksanakan, maka dilakukan tahap ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.
Zihar adalah semacam sumpah, yaitu sumpah suami yang menyatakan bahwa istrinya haram dicampuri seperti haramnya mencampuri ibunya. Oleh karena itu, yang wajib membayar kafarat ialah suami yang melakukan zihar saja, karena dialah yang bersumpah, sedang istri yang tidak pernah melakukan zihar tidak wajib membayar kafarat.
Jumlah atau bentuk kafarat zihar yang ditetapkan itu adalah jumlah atau bentuk yang sangat tinggi, apalagi jika diingat bahwa hukum itu berlaku bagi seluruh kaum Muslimin, baik yang kaya atau yang miskin. Bagi seorang yang kaya tidak ada kesulitan membayar kafarat itu, tetapi merupakan hal yang sulit dan berat membayarnya bagi orang-orang miskin.
Menghadapi masalah yang seperti ini, syariat Islam mempunyai prinsip-prinsip yang dapat meringankan suatu beban yang dipikulkan Allah kepada kaum Muslimin, yaitu prinsip, "Kesukaran itu menimbulkan kemudahan," asal saja kesukaran itu benar-benar suatu kesukaran yang tidak dapat diatasi, disertai dengan keinginan di dalam hati untuk mencari keridaan Allah.
Sehubungan dengan ini, pada kelanjutan hadis Khuwailah binti Malik yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dikatakan:
Maka Rasulullah ﷺ berkata, "Hendaklah ia memerdekakan seorang budak." Khaulah berkata, "Ia tidak sanggup mengusahakannya." Nabi berkata, "(Kalau demikian) maka ia berpuasa dua bulan berturut-turut." Khaulah berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ia (suamiku) adalah seorang yang telah tua bangka, tidak sanggup lagi berpuasa." Nabi berkata, "Maka hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin." Khaulah berkata, "Ia tidak mempunyai sesuatu pun yang akan disedekahkannya." Rasulullah ﷺ Berkata, "(Kalau demikian) maka sesungguhnya aku akan membantunya dengan segantang tamar." Khaulah berkata, "Dan aku akan membantunya pula dengan segantang tamar." Berkata Rasulullah saw, "Engkau benar-benar baik, pergilah, maka beritahukanlah atas namanya, beri makanlah dengan tamar ini enam puluh orang fakir-miskin." (Riwayat Abu Dawud)
Pada riwayat yang lain diterangkan bahwa Khaulah mengatakan kepada Rasulullah ﷺ bahwa orang yang paling miskin di negeri ini adalah keluarganya. Maka Rasulullah ﷺ menyuruh Khaulah membawa kurma sebagai kafarat itu pulang ke rumahnya untuk dimakan keluarganya sendiri.
Pada dasarnya agama Islam tidak menyetujui adanya zihar itu, bahkan memandangnya sebagai perbuatan mungkar dan dosa, karena perbuatan zihar itu adalah perbuatan yang tidak mempunyai dasar, mengatakan sesuatu yang bukan-bukan. Akan tetapi, karena zihar itu adalah suatu kebiasaan bangsa Arab Jahiliah, sedang untuk menghapus kebiasaan itu dalam waktu yang singkat akan menimbulkan kegoncangan pada masyarakat Islam yang baru tumbuh, sedang masyarakat itu berasal dari orang-orang Arab masa Jahiliah, maka agama Islam tidak langsung menghapuskan kebiasaan tersebut. Agama Islam menghilangkan semua akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan zihar itu dengan menetapkan waktu menunggu empat bulan. Dalam masa itu, suami boleh menceraikan istrinya atau membayar kafarat bagi yang ingin mencampuri istrinya kembali, yakni mencabut kembali ucapan zihar yang telah diucapkannya. Jadi zihar itu berasal dari hukum Arab masa Jahiliah yang telah dihapuskan oleh Islam. Oleh karena itu, bagi negara-negara atau umat Islam yang tidak mengenal zihar tersebut, tidak perlu mencantumkan hukum itu apabila mereka membuat suatu undang-undang perkawinan.
Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah menerangkan kewajiban membayar kafarat itu bagi suami yang telah menzihar istrinya adalah untuk memperdalam jiwa tauhid, mempercayai Nabi Muhammad ﷺ sebagai rasul Allah, dan agar berhati-hati mengucapkan suatu perkataan, sehingga tidak mengadakan kedustaan dan mengatakan yang bukan-bukan. Dengan demikian, tertanamlah dalam hati setiap orang yang beriman keinginan melaksanakan semua hukum-hukum Allah dengan sebaik-baiknya. Tertanam juga dalam hati mereka bahwa mengingkari hukum-hukum Allah itu akan menimbulkan kesengsaraan di dunia maupun di akhirat nanti.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-MUJAADILAH
(PEMBANTAHAN)
SURAH KE-58, 22 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
Surah ini diturunkan di Madinah. Namanya terkadang disebut al-Mujaadalah, yang artinya terjadi suatu perbantahan. Sebab itu nama ini diambil dari kalimat masdhar jaadala, yujaadilu, mujaa dalatan dan jidaalan. Tetapi bisa juga disebut al-Mujaadilah, artinya ialah perempuan yang mengajukan gugatan. Sebab asal-usul turunnya ayat ialah karena ada seorang perempuan yang datang bertanya kepada Rasulullah ﷺ lalu jawaban dari Rasulullah itu belum diterimanya dengan puas hati, sampai dia bertanya kembali kepada Rasulullah seakan-akan dia membantah atau membanding perkataan Nabi ﷺ Surah ini mengandung 22 ayat dan ia adalah surah yang ke-58 dalam susunan Mushaf al-‘Utsmani.
***
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
ZHIHAAR
Satu kebiasaan yang sangat ganjil dan buruk di zaman jahiliyyah di tanah Arab ialah perlakuan terhadap seorang istri yang tidak disukai lagi dengan ucapan yang disebut zhihaar. Pokok asal arti zhihaar ialah diambil dari kalimat punggung, atau bagian belakang dari istri. Yaitu seorang laki-laki yang tidak suka lagi kepada istrinya, dia mengucapkan kalimat berikut kepada istrinya,“Kau bagiku adalah sama dengan punggung ibuku." Dipahamkan dari ucapan itu ialah dia telah memandang istrinya itu sama dengan punggung ibunya. Niscaya kalau istri telah disamakan dengan punggung ibu, samalah artinya tidak akan dipegang lagi, tidak akan disentuh lagi seperti lazimnya sentuhan terhadap seorang istri. Dengan demikian samalah artinya bahwa dia telah disisihkan, meskipun tidak diucapkan lafazh cerai atau talak.
Niscaya adat buruk jahiliyyah itu tidak patut terjadi dalam kalangan orang Islam yang telah sadar bahwa maksud agama ialah tidak membuat kaum perempuan jadi terlantar. Namun hukum yang pasti belum ada, karena sejak pindah ke Madinah orang men-zhihaar istri itu belum pernah kejadian. Tiba-tiba pada suatu hari ada kejadian orang yang men-zhihaar itu. Dari Khaulah binti Tsalabah, “Terjadi demi Allah pada diriku dan diri Aus bin Shamit, Allah menurunkan pangkal dari surah al-Mujaadilah." Katanya selanjutnya, “Saya adalah istri dari Aus bin Shamit itu. Dan dia adalah seorang laki-laki yang telah tua dan perangainya sudah mulai buruk. Pada suatu hari dia pulang ke rumah, lalu aku tanyakan suatu hal, tetapi disambutnya dengan marah-marah, sehingga keluarlah ucapannya, ‘Kau bagiku adalah seperti punggung ibuku.'"
Lalu Khaulah melanjutkan ceritanya, “Setelah dia mengucapkan kata-kata itu, dia pun keluar dari rumah dan pergi duduk-duduk ke tempat berkumpul kaumnya sesaat lamanya. Setelah itu dia pun pulang kembali. Setelah itu rupanya dia ingin mendekatiku, hendak menyentuhku. Lalu dia aku tolak dan kataku, ‘Jangan dekat kepadaku! Demi Allah yang Khaulah ada dalam tangan-Nya. Engkau tidak boleh lagi mendekatiku setelah engkau mengucapkan kata-kata tadi itu, sampai datang hukum Allah dan Rasul-Nya pada kita.'"
Kata Khaulah selanjutnya, “Lagi dicobanya hendak menyerang dan memegangku, tetapi aku mengelak. Lalu terjadilah dia menarik dan aku mengelak, bersitegang. Akhirnya dia aku tendang, yaitu tendangan seorang perempuan yang masih kuat terhadap seorang laki-laki tua, sampai dia terjatuh. Maka segeralah aku pergi ke rumah tetangga, aku pinjam selendangnya, lalu aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ. Dan duduklah aku di hadapan beliau, aku ceritakan kepadanya apa yang telah aku alami itu dan aku mengeluh mengadukan kepada beliau tentang buruknya perangai suamiku itu, lalu berkatalah Rasulullah,“Anak pamanmu itu sudah tua sangat, takwalah kepada Allah dan rukunlah dengan dia."
Khaulah berkata selanjutnya, “Lalu aku jawab, aku belum akan pulang ke rumah, ya Rasulullah, sebelum datang ketentuan al-Qur'an tentang diriku."
Tiba-tiba datanglah keadaan yang biasa pada Rasulullah ketika wahyu turun, yaitu beliau seakan-akan pingsan sejenak, lalu beliau bangun. Lalu dia berkata kepadaku, “Hai Khaulah! Telah turun Al-Qur'an yang mengenai diri kau ini dan diri suamimu."
Lalu beliau bacalah ayat ini, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan seorang perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau." sampai kepada firman Allah,“Dan bagi orang-orang yang tidak mau percaya ada siksaan yang pedih." (al-Mujaadilah: 1-4)
Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Pulanglah dan beritahukan kepadanya supaya dia memerdekakan seorang budak!" Lalu kata Khaulah, “Aku berkata kepada beliau, Ya Rasulullah, tidaklah ada padanya harta untuk membeli budak yang akan dimerdekakan."
Maka kata Rasulullah ﷺ pula, “Kalau tak sanggup memerdekakan seorang budak, hendaklah dia puasa dua bulan berturut-turut."
Berkata Khaulah, “Aku berkata, Demi Allah, dia sudah tua, dia tidak kuat lagi mengerjakan puasa."
Maka sabda Rasulullah ﷺ pula, “Maka hendaklah dia memberi makan enam puluh orang miskin."
Berkata Khaulah selanjutnya, “Aku jawab kepada Nabi ﷺ untuk memberi makan enam puluh orang miskin itu tidak pula ada padanya."
Lalu Rasulullah bersabda, “Biar aku bantu separuh dari makanan itu." Khaulah menyambut, “Ya Rasulullah, kalau demikian, biarlah aku juga membantu untuk yang separuh lagi."
Akhirnya bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Kau telah berlaku benar dan berbuat baik. Pulanglah segera dan beri makanlah enam puluh orang miskin itu. Setelah itu berlaku baiklah seterusnya kepada suamimu."
Sekianlah hadits yang dibawakan oleh Imam Ahmad tentang kisah Khaulah dengan suaminya, Aus bin Shamit, dia adalah saudara dari Ubadah bin Shamit.
Setelah Aus pulang kembali dari tempat pertemuan dengan kaumnya itu dan sampai di rumah, marahnya sudah turun dan dia sudah menyesal. Dia berkata, “Pada persangkaanku ucapanku tadi itu telah menyebabkan kita bercerai."
Lalu Khaulah menjawab, “Demi Allah, pada pendapatku yang serupa itu bukan talak." Kejadian di antaranya dengan suaminya itu, katanya, “Suamiku, Aus, telah mengawiniku di kala aku masih muda, di waktu itu aku masih cantik dan banyak yang suka kepadaku. Sebab ketika itu pun aku kaya, ada harta, ada keluarga besar. Tetapi setelah aku tua macam begini dan telah punah mudaku dan telah berserak-serak keluargaku, dilakukannyalah zhihaar kepada diriku, sekarang rupanya dia telah menyesal. Masih adakah harapan buat kami berkumpul kembali?"
Rasulullah ﷺ menjawab, “Pada pendapatku engkau telah haram baginya." Dan tak ada sesuatu pun ayat turun kepadaku mengenai soalmu ini."
Menurut riwayat yang disalinkan Syekh Syaltut itu, meskipun telah diberi keterangan demikian oleh Nabi ﷺ, namun Khaulah masih tetap duduk juga di hadapan Rasulullah. Dan dengan tidak merasa bosan dicobanya juga menanyakan sekali lagi kepada Nabi ﷺ, namun jawaban Nabi masih tetap seperti yang semula juga, yaitu pada pendapat beliau, Khaulah sudah haram atas Aus sebab sudah di-zhihaar-nya dan mengenai itu tidak ada turun ayat satu pun.
Lalu akhirnya Khaulah menghadapkan wajahnya ke langit, ditadahkannya tangannya dan dia berseru kepada Allah,“Tuhanku, kepada Engkaulah aku keluhkan kepapaan diriku dan kesepianku sendirian. Berat bagiku, ya Tuhan, akan berpisah dengan suamiku, ayah dari anak-anakku dan orang yang paling aku kasihi. Tuhanku, Engkau tahu, bahwa dan dia aku mempunyai beberapa anak-anak yang masih kecil-kecil. Jika aku yang mengasuh anak-anak itu akan kelaparanlah mereka, jika ayahnya yang pergi, akan hilanglah mereka."
Lalu diangkatnya mukanya sekali lagi dan berseru, “Tuhanku, hanya kepada Engkau saja aku keluhkan nasibku ini. Turunkanlah kiranya ke dalam lidah Nabi-Mu suatu firman yang akan melepaskan daku dari kesulitan ini."
Tidaklah berapa lama di antaranya, lalu bersabdalah Rasulullah menyuruh Khaulah menjemput suaminya pulang. Khaulah pun pergi dan suaminya pun terbawa, lalu Rasulullah ﷺ membaca keempat ayat yang telah disalinkan di atas. Lalu beliau bertanya, “Sanggupkah engkau memerdekakan seorang budak?"
Aus menjawab, “Aku tidak sanggup, demi Allah!"
Lalu Rasulullah bertanya pula, “Sanggupkah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut?"
Aus pun menjawab, “Demi Allah, ya Rasulullah, jangankan berpuasa, sedangkan terlambat makan saja satu kali atau dua kali satu hari, gelaplah mataku dan hendak mati aku rasanya."
Lalu Rasulullah bertanya pula, “Sanggupkah engkau memberi makan enam puluh orang miskin?"
Lalu Aus menjawab, “Tidak ada yang akan aku berikan, ya Rasulullah, kecuali jika engkau sudi membantu aku."
Lalu Rasulullah memberikan bantuan kepadanya, sejalan dengan yang diceritakan oleh Imam Ahmad di atas tadi. Maka dengan bantuan Rasulullah ﷺ itu dapatlah Aus membayar kafarat zhihaar-nya yaitu dengan memberi makan enam puluh orang miskin.
Said bin Jubair mengatakan bahwa ada dua buah perceraian cara jahiliyyah yang kurang baik. Pertama ialah zhihaar ini, dendanya ialah kafarat. Kedua ialah ilaa', yaitu mengucil tidak pulang-pulang kepada istri sampai berlarut-larut. Setelah masyarakat Islam diatur dengan peraturan Allah, maka ilaa' itu pun diberi batas, yaitu empat bulan. Sesampai empat bulan si laki-laki mesti mengambil kepastian, berdamai kembali atau menjatuhkan cerai. Kalau lebih empat bulan melakukan ilaa', tidak juga diceraikan, maka hakim berhak menceraikan keduanya.
Sekarang kita kembali menafsirkan ayat,
“Sesungguhnya Allah telah mendengari perkataan seorang perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu kepada Allah." Di sini Allah menjelaskan bahwa pengaduan perempuan itu didengar oleh Allah, keluhannya jadi pertimbangan oleh-Nya. Dan ini pun jadi peringatan bagi kita bahwa segala percakapan kita berdua saja dengan te-man, didengar juga oleh Allah.
“Dan Allah mendengar soal-jawab di antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat." (ujung ayat 1) Ini pun peringatan bagi kita:
1. Supaya dalam bertukar pikiran dengan sesama, hendaklah berhati-hati. Karena Allah selalu mendengarkannya dan selalu melihat segala gerak-gerik kita.
2. Bahwa pertukaran pikiran yang baik, perbantahan dalam mencari kebenaran, keluhan tulus ikhlas kepada Allah, setelah didengar dan dilihat oleh Allah, di dalam pertimbangan Allah Yang Mahabijaksana akan dapat diberi penyelesaian yang baik oleh Allah.
“Orang-orang yang menzjuhar istrinya di antara kamu, tidaklah istri-istrinya itu jadi ibu-ibu mereka." Artinya, meskipun mereka itu telah berkata bahwa istrinya itu baginya adalah serupa punggung ibunya, yang di zaman jahiliyyah berarti telah memandang istri itu haram disetubuhi karena telah diserupakan punggung ibunya. Namun istri itu tidaklah benar-benar statusnya menjadi seorang ibu baginya. “Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan kata-kata yang mungkar dan dusta." Dengan bunyi ayat yang setegas ini, jelaslah bahwa perbuatan menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu, itu suatu perbuatan yang mungkar, yang dicela dan tidak patut, lagi dusta atau bohong. Dan dengan demikian jelas pulalah bahwa perbuatan ini haram hukumnya menurut hukum Islam. Oleh sebab itu tidaklah layak bagi seorang yang beriman berbuat perbuatan jahiliyyah itu, padahal awak seorang Muslim. Berlakulah yang sopan menurut kesopanan Islam.
Tidaklah layak menurut kesopanan Islam menyerupakan bagian badan istri yang menarik syahwat dan nafsu birahi, dengan bagian badan ibu. Misalnya menyamakan pinggulnya, halus perutnya, atau bentuk susunya. Tetapi kalau tidak mengandung nafsu birahi tidaklah mengapa, misalnya dikatakan budi pekertimu sama benar dengan budi pekerti ibuku. Engkau penyantun seperti ibuku. Masakanmu enak seenak masakan ibuku dan sebagainya.
Untuk kita camkan, hendaklah kita perhatikan sebuah hadits shahih yang dirawikan oleh Abu Dawud bahwa Rasulullah pernah mendengar seorang laki-laki memanggil istrinya dengan ucapan, “Ya ukhti, wahai saudara perempuanku." Lalu Rasulullah ﷺ bertanya, “Saudara perempuan kaukah dia?" Padahal sudah terang bahwa saudara perempuan haram dikawini. Rasulullah bertanya demikian menunjukkan bahwa beliau tidak suka istri dipanggil dengan ucapan saudara perempuan, meskipun dengan demikian nikahnya tidak batal. Ialah melanggar sopan santun perkataan.
Dan pada kita yang berbahasa Indonesia (Melayu) biasa kita ucapkan kepada istri kita sendiri adinda dan kepada adik kandung perempuan seibu sebapa kita ucapkan adinda juga, itu pun tidaklah terlarang. Tetapi kalau memang diniatkan dalam hati hendak menyerupakan istri dari pihak bagian tubuh yang menerbitkan nafsu birahi dengan ibu, atau dengan saudara perempuan yang haram dinikahi (mahram), memang haramlah jadinya dan jauhilah perbuatan itu. Adapun kalau terlanjur sebelum mengetahui hukumnya, mudah-mudahan diberi ampunlah oleh Allah. Seperti tersebut di ujung ayat, “Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Pemberi maaf lagi Pemberi ampun." (ujung ayat 2)
Sekarang dijelaskan kafaratnya, dendanya. “Dan orang-orang yang menzhihar terhadap setengah dari istri-istri mereka, kemudian mereka itu hendak menarik apa yang pernah mereka ucapkan itu." Kata Imam Syafi'i ialah bahwa mereka telah sadar dan menyesal. Imam Ahmad bin Hambal memberinya arti lebih tegas lagi, “Yaitu jika dia ingin bersetubuh kembali dengan istrinya yang telah di-zhihaar-nya itu." Imam Malik juga mengartikan demikian.
“Maka hendaklah dia merdekakan seorang budak sebelum keduanya bersentuh-sentuhan." Artinya, janganlah mendekat dahulu kepada istri itu, janganlah dipegang badannya sebelum memerdekakan seorang budak. Sudah terang bahwa arti yang hakiki dari bersentuh-sentuhan ialah bersetubuh. “Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia." Dengan menjadikan kafarat (denda), pertama memerdekakan budak, mengertilah kamu bahwa hal ini munkar dan dusta, serta tidak patut dilakukan oleh orang yang beriman. “Dan Allah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui." (ujung ayat 3). Islam sangat memujikan jika orang memerdekakan budak-budak itu, sehingga denda atau kafarat banyak yang disangkutkan dengan memerdekakan budak.
“Maka barangsiapa yang tidak mendapatnya." Artinya, tidak didapatnya budak yang akan dimerdekakan. Baik karena dia sendiri tidak mempunyai budak yang akan dimerdekakan, atau tidak mempunyai uang untuk pembeli budak yang akan dimerdekakan, atau memang budak itu sendiri tidak ada lagi seperti di zaman kita sekarang ini, “Maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut." Berturut-turut sebagaimana berturut-turutnya mengerjakan puasa bulan Ramadhan. Kalau Ramadhan hanya sebulan, kafarat ini jadi dua bulan. “Maka barangsiapa yang tidak kuat, maka hendaklah memberi makan enam puluh orang miskin." Tidak mendapat artinya ialah tidak sanggup. Mungkin karena kelemahan badan atau penyakit. Atau pekerjaannya yang selalu mendesak, sehingga waktu untuk beristirahat puasa sampai dua bulan, seorang diri, tidak beramai-ramai seperti dalam bulan Ramadhan, bolehlah digantinya dengan memberi makan enam puluh orang miskin.
“Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah dia batas-batas yang ditentukan Allah." Sebagai orang yang telah mengakui beriman kepada Allah dan Rasul, kita ada mempunyai batas-batas sendiri, undang-undang sendiri yang langsung datang dari Allah, bukan buatan manusia. Orang yang beriman mestilah tunduk dan setia memegang peraturan itu. “Dan bagi orang-orang yang kafir;" yaitu yang tidak mau menjalankan salah satu daripada ketiga tingkat kafarat itu menurut kesanggupannya, atau mengatakan bahwa peraturan itu tidak berlaku lagi sekarang karena sekarang dunia sudah modern, atau berkata bahwa peraturan dari Al-Qur'an itu lebih baik dibekukan saja; orang-orang yang bersikap demikianlah yang termasuk dalam sebutan orang yang kafir! Bagi mereka, “Ada adzab yang pedih." (ujung ayat 4)
Sungguhlah kisah Khaulah binti Tsalabah yang pergi bertukar pikiran dengan Nabi ﷺ ini suatu kisah yang meninggalkan kesan mendalam tentang kedudukan perempuan dalam Islam. Khaulah pun tahu bahwa orang tidak boleh bersuara agak keras di hadapan Nabi. Suaranya penuh keikhlasan, hatinya penuh kejujuran, sadar ataupun tidak sadar, dia menginginkan perubahan dalam nasib se-samanya kaum perempuan di zaman yang akan datang dengan adanya peraturan Islam yang lebih baik, dan lebih sempurna menjamin keutuhan rumah tangga daripada peraturan adat jahiliyyah. Semuanya itu didengar oleh Allah, sampai Dia menurunkan wahyu-Nya dan menetapkan peraturan yang Dia kehendaki.
Untuk mengenangkan kejadian yang sangat berkesan ini, surah ini pun diberi nama sebagai al-Mujaadalah, sebagai ingatan kepada perbantahan atau pertanyaan sanggah terhadap adat istiadat zhihaar yang buruk itu. Dan Nabi tidaklah membela aturan buruk itu, tetapi belum dapat menentukan sendiri hukumnya, karena beliau tidak mau mendahului wahyu! Setelah ayat pun turun, tegas dinyatakan bahwa pertukaran pikiran itu didengarkan oleh Allah ﷻ Tegas dinyatakan bahwa pengaduannya didengar oleh Allah. Tegas dinyatakan bahwa keluhannya didengar oleh Allah.