Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱذۡكُرُواْ
dan ingatlah
نِعۡمَةَ
nikmat
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَمِيثَٰقَهُ
dan perjanjianNya
ٱلَّذِي
yang
وَاثَقَكُم
Dia janjikan kepadamu
بِهِۦٓ
dengannya
إِذۡ
ketika
قُلۡتُمۡ
kamu mengatakan
سَمِعۡنَا
kami dengar
وَأَطَعۡنَاۖ
dan kami taat
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَلِيمُۢ
Maha Mengetahui
بِذَاتِ
dengan/terhadap isi
ٱلصُّدُورِ
hati
وَٱذۡكُرُواْ
dan ingatlah
نِعۡمَةَ
nikmat
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَمِيثَٰقَهُ
dan perjanjianNya
ٱلَّذِي
yang
وَاثَقَكُم
Dia janjikan kepadamu
بِهِۦٓ
dengannya
إِذۡ
ketika
قُلۡتُمۡ
kamu mengatakan
سَمِعۡنَا
kami dengar
وَأَطَعۡنَاۖ
dan kami taat
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَلِيمُۢ
Maha Mengetahui
بِذَاتِ
dengan/terhadap isi
ٱلصُّدُورِ
hati
Terjemahan
Ingatlah nikmat Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah Dia ikatkan kepadamu ketika kamu mengatakan, “Kami mendengar dan kami menaati.” Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.
Tafsir
(Dan ingatlah olehmu karunia Allah kepadamu) maksudnya agama Islam (dan perjanjian-Nya yang telah diikat erat-Nya denganmu) artinya yang telah diperbuat-Nya denganmu (ketika kamu mengatakan) kepada Nabi ﷺ sewaktu baiat kepadanya (Kami dengar dan kami taati) mengenai apa juga yang engkau suruh atau pun larang, baik yang kami sukai maupun yang kami benci (dan bertakwalah kamu kepada Allah) jangan sampai melanggar perjanjian itu (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati) yakni apa yang terdapat di dalamnya apa lagi yang terdapat di luarnya.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 7-11
Dan ingatlah karunia Allah kepada kalian dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan-Nya dengan kalian, ketika kalian mengatakan, "Kami dengar dan kami taat." Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati (kalian).
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.
Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka (untuk berbuat jahat) dari kalian. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakal.
Ayat 7
Allah ﷻ berfirman mengingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin akan semua nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka dalam syariat yang telah ditetapkan-Nya untuk mereka, yaitu berupa agama Islam yang agung ini; dan Dia mengutus kepada mereka rasul yang mulia, serta apa yang telah diambil-Nya dari mereka berupa perjanjian dan kesediaan untuk berbaiat kepada rasul, bersedia mengikutinya, menolong dan mendukungnya, menegakkan agamanya dan menerimanya, serta menyampaikannya (kepada orang lain) dari dia.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan ingatlah karunia Allah kepada kalian dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan-Nya dengan kalian, ketika kalian mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’." (Al-Maidah: 7)
Baiat inilah yang dimaksud ketika mereka mengucapkannya kepada Rasulullah ﷺ saat mereka masuk Islam. Saat itu mereka mengatakan, "Kami berjanji setia kepada Rasulullah ﷺ untuk mendengar dan menaatinya dalam keadaan kami sedang bersemangat dan dalam keadaan kami sedang tidak bersemangat. Kami mengesampingkan kepentingan pribadi kami dan tidak akan menentang perintah yang dikeluarkan oleh ahlinya."
Dan Allah ﷻ telah berfirman: “Dan mengapa kalian tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul menyeru kalian supaya beriman kepada Tuhan kalian. Dan sesungguhnya Dia telah mengambil perjanjian kalian jika kalian adalah orang-orang yang beriman.” (Al-Hadid: 8)
Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan peringatan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah telah mengambil janji dari mereka bahwa mereka bersedia akan mengikuti Nabi Muhammad ﷺ dan taat kepada syariatnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
Menurut pendapat yang lain, hal ini merupakan peringatan terhadap anak Adam karena Allah telah mengambil janji dari mereka ketika mereka dikeluarkan oleh Allah dari tulang sulbinya dan mengambil kesaksian dari diri mereka melalui firman-Nya: "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Al-A'raf: 172) Demikianlah menurut pendapat Mujahid dan Muqatil ibnu Hayyan, tetapi pendapat yang pertama lebih jelas, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan As-Suddi, kemudian dipilih oleh Ibnu Jarir.
Firman Allah ﷻ: “Dan bertakwalah kepada Allah.” (Al-Maidah: 7)
Hal ini mengukuhkan dan memacu untuk tetap berpegang kepada takwa dalam semua keadaan.
Selanjutnya Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang tersimpan di dalam hati mereka berupa rahasia dan bisikan-bisikan hati. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi (hati kalian).” (Al-Maidah: 8)
Ayat 8
Firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah.” (Al-Maidah: 8)
Yakni jadilah kalian orang-orang yang menegakkan kebenaran karena Allah, bukan karena manusia atau karena harga diri.
“Menjadi saksi dengan adil.” (Al-Maidah: 8)
Maksudnya menegakkan keadilan, bukan kezaliman.
Telah disebutkan di dalam kitab Shahihain dari An-Nu'man ibnu Basyir yang menceritakan bahwa ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pemberian yang berharga. Ibunya bernama Amrah binti Rawwahah berkata, "Aku tidak rela sebelum kamu mempersaksikan pemberian ini kepada Rasulullah ﷺ." Ayahnya datang menghadap Rasulullah ﷺ untuk meminta kesaksian atas pemberian tersebut. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: "Apakah semua anakmu diberi hadiah yang serupa?" Ayahku menjawab, "Tidak." Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, "Bertakwalah kamu kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anakmu." Dan Rasulullah ﷺ bersabda pula, "Sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas kezaliman." An-Nu'man ibnu Basyir melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ayahnya pulang dan mencabut kembali pemberian tersebut darinya.
Firman Allah ﷻ: “Dan jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil.” (Al-Maidah: 8)
Artinya, jangan sekali-kali kalian biarkan perasaan benci terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil kepada mereka, tetapi amalkanlah keadilan terhadap setiap orang, baik terhadap teman ataupun musuh. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 8)
Yakni sikap adilmu lebih dekat kepada takwa daripada kamu meninggalkannya. Fi'il yang ada dalam ayat ini menunjukkan keberadaan masdar yang dijadikan rujukan oleh damir-nya; perihalnya sama dengan hal-hal yang serupa lainnya dalam Al-Qur'an dan lain-lainnya. Sama halnya dengan pengertian yang ada di dalam firman-Nya: “Dan jika dikatakan kepada kalian, ‘Kembali (saja)lah’ maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian.” (An-Nur: 28)
Adapun firman Allah ﷻ: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 8) Ungkapan ini termasuk ke dalam pemakaian af'alut tafdil di tempat yang tidak terdapat pembandingnya sama sekali. Perihalnya sama dengan apa yang terdapat di dalam firman Allah ﷻ yang lain, yaitu: “Penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (Al-Furqan: 24) Yakni seperti pengertian yang terkandung dalam perkataan seorang wanita dari kalangan sahabat Nabi ﷺ kepada Umar , "Kamu lebih kasar dan lebih keras, jauh (bedanya) dengan Rasulullah ﷺ."
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Maidah: 8) Maksudnya, Dia kelak akan membalas kalian atas apa yang telah Dia ketahui dari amal perbuatan yang kalian kerjakan. Jika amal itu baik, maka balasannya baik; dan jika amal itu buruk, maka balasannya akan buruk pula. Untuk itu selaras dengan pengertian ini disebutkan dalam firman selanjutnya:
Ayat 9
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Maidah: 9)
Yakni ampunan bagi dosa-dosa mereka dan pahala yang besar, yaitu surga yang merupakan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Surga tidak dapat diperoleh karena amal perbuatan mereka, melainkan hanya semata-mata sebagai rahmat dan kemurahan dari-Nya; sekalipun penyebab sampainya rahmat tersebut kepada mereka adalah karena amal perbuatan mereka, sebab Allah ﷻ sendirilah yang menjadikan penyebab-penyebab untuk memperoleh rahmat, kemurahan, ampunan, dan rida-Nya. Segala sesuatunya dari Allah dan milik Allah, segala puji dan anugerah adalah milik Allah.
Ayat 10
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.” (Al-Maidah: 10) Hal ini merupakan sikap adil dari Allah ﷻ dan hikmah serta keputusan-Nya yang tiada kezaliman padanya, bahkan Dia Pemberi keputusan Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana serta Maha Kuasa.
Ayat 11
Firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kalian.” (Al-Maidah: 11)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri yang menceritakannya dari Abu Salamah, dari Jabir, bahwa Nabi ﷺ turun istirahat di suatu tempat peristirahatan, dan orang-orang (para sahabat) memencar untuk bernaung di bawah pepohonan, lalu Nabi ﷺ menggantungkan senjata (pedang)nya di sebuah pohon. Lalu datanglah seorang Arab Badui ke tempat pedang Rasulullah ﷺ, kemudian ia mengambil pedang itu dan menghunusnya. Sesudah itu ia datang kepada Nabi ﷺ, mengancamnya seraya berkata, "Siapakah yang akan melindungi dirimu dariku?" Nabi ﷺ menjawab, "Allah ﷻ." Orang Arab Badui itu mengucapkan kata-kata berikut, "Siapakah yang melindungimu dariku?" (diucapkannya sebanyak dua atau tiga kali). Sedangkan Nabi ﷺ menjawabnya dengan kalimat, "Allah." Maka tangan orang Arab Badui itu lumpuh dan pedang terjatuh dari tangannya. Kemudian Nabi ﷺ memanggil para sahabatnya dan menceritakan kepada mereka tentang orang Arab Badui yang duduk di sebelahnya, tetapi Nabi ﷺ tidak menghukumnya.
Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah menceritakan hal yang serupa, dan ia menyebutkan bahwa ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Arab Badui yang bermaksud membunuh Rasulullah ﷺ, lalu mereka mengutus orang Arab Badui itu (salah seorang dari mereka yang pemberani).
Ia menakwilkan dengan pengertian tersebut akan firman-Nya: “Ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat).” (Al-Maidah: 11) hingga akhir ayat.
Kisah orang Arab Badui yang bernama Gauras ibnul Haris ini disebutkan di dalam kitab shahih. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kalian.” (Al-Maidah: 11) Demikian itu karena ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Yahudi membuat suatu jamuan makan untuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya dengan maksud hendak membunuh mereka semua.
Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya yang memberitahukan perihal rencana kaum Yahudi itu. Maka Nabi ﷺ tidak datang ke jamuan makan itu dan hanya memerintahkan kepada para sahabat untuk mendatanginya. Maka mereka datang ke jamuan makan tersebut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abu Malik mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ka'b ibnul Asyraf (pemimpin Yahudi) dan teman-temannya ketika mereka bermaksud melakukan pengkhianatan terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya; hal ini mereka rencanakan di rumah Ka'b ibnul Asyraf. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, Mujahid, dan Ikrimah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Nadir ketika mereka bermaksud menimpakan batu penggilingan gandum ke tubuh Rasulullah ﷺ ketika Rasulullah ﷺ datang kepada mereka meminta bantuan berkenaan dengan diat orang-orang Amiriyin. Mereka menyerahkan tugas ini kepada Amr ibnu Jahsy ibnu Ka'b untuk melakukannya, dan mereka memerintahkan kepadanya apabila Nabi ﷺ telah duduk di bawah tembok dan mereka berkumpul menemuinya, hendaknya Amr menjatuhkan batu penggilingan gandum itu dari atas tembok tersebut. Maka Allah memperlihatkan kepada Nabi ﷺ makar jahat mereka itu. Akhirnya Nabi ﷺ kembali lagi ke Madinah, diikuti oleh para sahabatnya. Berkenaan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:
“Dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu bertawakal.” (Al-Maidah: 11)
Yaitu barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan menutupi semua kesusahannya dan memeliharanya dari kejahatan manusia serta melindunginya. Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar para sahabat berangkat memerangi mereka. Akhirnya pasukan kaum muslim mengepung mereka dan mengalahkan serta mengusir mereka.
Tuntunan tersebut di atas merupakan bagian dari nikmat Allah yang harus disyukuri sekaligus merupakan perjanjian yang harus ditaati sebagaimana tersebut pada permulaan surat ini. Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu, berupa tuntunan agama dan nikmat-Nya yang bermacam-macam yang dianugerahkan kepadamu dan perjanjianNya yang telah diikatkan dengan kamu, yakni perjanjian yang diambil melalui Rasulullah berupa ketaatan kepada Allah, baik dalam hal yang mudah maupun yang sulit, dan perjanjian-perjanjian lain yang diikatkan dengan kamu ketika kamu mengatakan, Kami dengar, yakni kami mengetahui dan memahami perjanjian itu, dan kami taati semua yang dinyatakan dalam perjanjian itu, baik berupa perintah maupun larangan. Dan bertakwalah kepada Allah, janganlah kamu melanggar perjanjian itu, sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati setiap makhluk-Nya.
Ayat selanjutnya memberikan tuntunan agar umat Islam berlaku adil, tidak hanya kepada sesama umat Islam, tetapi juga kepada siapa saja walaupun kepada orang-orang yang tidak disukai. Wahai orangorang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan, yakni orang yang selalu dan bersungguh-sungguh menegakkan kebenaran, karena Allah, ketika kalian menjadi saksi maka bersaksilah dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, yakni kepada orang-orang kafir dan kepada siapa pun, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil terhadap mereka. Berlaku adillah kepada siapa pun, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, baik yang kamu lahirkan maupun yang kamu sembunyikan.
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mengingat nikmat-Nya, yaitu peraturan-peraturan agama yang telah ditetapkan kepada mereka. Dengan datangnya agama Islam hilanglah permusuhan, timbullah persaudaraan. Sesudah itu Allah mengingatkan akan perjanjian yang pernah diikrarkan yaitu janji patuh dan taat kepada Nabi Muhammad ﷺ baik pada waktu susah maupun senang, mengikuti segala perintahnya dan akan meninggalkan segala larangannya dengan penuh kepatuhan dan ketaatan. Pada akhir ayat ini, Allah memerintahkan supaya kaum Muslimin tetap bertakwa kepada Allah, menjaga supaya jangan sampai lupa kepada nikmat-Nya dan jangan sampai melanggar janji yang sudah diikrarkan, baik secara terang terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Sebab Allah Maha Mengetahui segala yang tersimpan di dalam hati manusia.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
WUDHU DAN TAYAMUM
Di dalam surah an-Nisaa' ayat 43, kita baru diberi keterangan tentang tayamum saja, tetapi di dalam ayat 6 ini kita tambahi penjelasan yang penting lagi, yaitu tentang wudhu. Setelah diterangkan soal makanan, sebab per-nikahan ialah kelanjutan hidup manusia dan soal pernikahan yang halal sekarang akan dijelaskan lagi soal menghadapkan diri, beribadah kepada Allah; yaitu shalat. Makan, beristri, dan shalat bertali berkelindan dalam hidup Mukminin. Dengan sesama manusia seorang Mukmin membuat akad berbagai macam janji. Dengan istri seorang Mukmin diakadkan dengan nikah. Dengan shalat manusia pun mengikat akad dengan Allah.
“Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, dan hidupku dan matiku, adalah untuk Allah, Rabbal ‘Alamin,"
Tetapi sebelum shalat bersihkan diri terlebih dahulu dan berwudhulah,
Ayat 6
“Wahai orang-orang yang berilman! Apabila kamu bendiri akan shalat, maka basuhlah muka kamu dan tangan kamu sampai kepada siku kamu."
Maka ambillah air yang bersih basuhlah muka kamu terlebih dahulu. Inilah yang pertama; membasuh muka! Dapatlah diketahui apa yang dikatakan muka, yaitu ke atasnya sampai batas tumbuh rambut, ke bawahnya sampai ke ujung dagu, ke kiri kanannya sampai ke telinga.
Niscaya lebih baik dilebihkan sedikit, sehingga terkena semua. Setelah selesai membasuh muka, basuh pulalah kedua tangan, dimulai dari yang kanan, sampai kedua mata siku. Itulah yang kedua.
“Dan sapulah kepala kamu." Sampai kepada tidak usah dibasuh, tetapi disapu saja dengan air; menurut contoh Rasulullah ialah dibasahi kedua telapak tangan, lalu disapukan sejak dari pangkal tempat tumbuh rambut di kening dan diteruskan ke belakang, sampai ke kuduk. Itulah yang ketiga.
“Dan (basuhlah) kaki kamu sampai kepada kedua mata kaki." Sampai di kaki dibasuh kembali; itulah yang keempat! Batas mata kaki sudah terang, dan meliputi kaki itu akan seluruh ujung kaki yang di bawah mata kaki itu menurut tertib yang telah ditentukan Allah, itulah yang bernama wudhu. Dengan demikian, teranglah bahwasanya akan memulai shalat tidaklah sah kalau terlebih dahulu tidak melakukan wudhu itu, yang sedang memulai akan melakukannya kita telah memasang niat akan menghadap Allah dengan hati yang suci dan bersih, tulus dan iklas, yang diperlihatkan dengan melakukan memberikan anggota badan yang telah ditentukan Allah itu.
Imam Ghazali di dalam kitab al-Ihya menuliskan hikmat wudhu itu dengan indah sekali. Bahwasanya kita membasuh muka, ialah karena di wajah kita itu terletak mata dan telinga kita, mulut dan hidung kita, yang tiap waktu giat menghubungkan diri kita dengan kehidupan; melihat, mendengar, membaui, dan bercakap. Banyaklah bagian muka itu menampak dan mendengar segala macam hal di dalam dunia ini. Maka sebelum kita bershalat menghadap Allah, kita bersihkanlah dahulu muka itu dari pengaruh yang lain tadi, yang banyak atau sedikit membawa kesan kepada jiwa kita. Entah mulut bercakap telanjur salah, entah lidah dan bibir telanjur memakan barang yang tidak bersih di sisi Allah, entah hidung salah mencium dan membaui sesuatu, entah mata salah lihat dan telinga salah dengar. Inilah yang kita basuh, kita bersihkan sebelum berdiri menghadap Allah. Demikian juga membasuh tangan; entah terjemba oleh tangan ini, entah terpegang perkara yang membawa kontak buruk kepada jiwa. Kita bersihkan dia dahulu sebelum menghadap Allah. Demikian juga kaki ini, entah melangkah dia ke tempat yang tidak berkenan di sisi Allah. Kita bersihkan terlebih dahulu, karena kita akan berdiri lurus di hadapan Allah. Karena kata Ghazali selanjutnya untuk membersihkan diri kita sama sekali dari najis, tentu kita tidak sanggup dan Allah pun tidak menyuruhkan yang demikian. Bukankah perut kita ini kantong najis? Dan darah yang mengalir dalam tubuh kita itu pun najis? Lantaran itu perbuatan kita berwudhu, kalau hanya ditilik zahirnya saja, belumlah dapat menghilangkan perbuatan najis, namun kita telah membersihkan apa yang dapat dibersihkan, bagian badan yang penting, yang aktif dalam kehidupan, sebagai tanda bahwa hati kita sendiri telah kita bersihkan.
“Dan jika kamu sedang berjunub maka bersucilah komu."Junub ialah keadaan sesudah bersetubuh atau keluar mani karena yang lain, misalnya mimpi! Ketika itu letih lelahlah segala persendian dan urat saraf, sebab mani itu adalah sari seluruh badan. Setelah kamu dalam keadaan junub itu, kamu adalah dalam keadaan tidak bersih atau tidak suci, maka belumlah sah kamu shalat kalau hanya semata-mata dengan berwudhu saja. Melainkan hendaklah kamu bersuci dengan memandikan seluruh badanmu, yang di dalam surah an-Nisaa' ayat 43 pun dahulu telah diterangkan dengan kata maka mandilah kamu. Dengan ini mendapat pengertianlah kita bahwa cara membersihkan diri di dalam hendak mengerjakan ibadah shalat itu ialah dua macam; pertama wudhu mengenai anggota wudhu yang telah disebutkan; kedua mandi wajib karena junub. Selain dari itu ada pula semacam mandi lagi, yaitu mandi yang sangat dianjurkan walaupun tidak junub, sekurang-kurangnya sekali se-jumat, yaitu pada tiap-tiap hari Jum'at, ketika akan berangkat pergi ke masjid.
Tetapi karena agama tidak memberatkan suatu perintah ketika terdapat masyaqqat mengerjakannya, selalu terdapat juga pengecualian. Sebab itu berkatalah lanjutan ayat, “Dan jika kamu sedang sakit." Entah karena demam sehingga tidak dapat menyinggung air, atau karena luka yang tidak boleh kena air, atau karena sakit itu payah engkau akan dapat mencari air. “Atau dalam perjalanan." Yang dinamai musafir, meninggalkan rumah tangga pergi keluar karena suatu urusan. “Atau datang seorang kamu dari jamban." Artinya habis buang air, baik buang air besar atau buang air kecil.
“Atau kamu telah menyentuh perempuan-perempuan" Di sini dalam bahasa yang dipakai di dalam ayat disebutkan laamastum, dari pokok kata mulamasah, yang berarti telah terjadi sentuh-menyentuh. Lantaran menilik isi kata yang demikian, dapatlah dipahamkan bahwa ini bukan lagi semata-mata bersentuh kulit, melainkan kata-kata yang halus me-nyindirkan kata persetubuhan, yang dalam Al-Qur'an mengenai persetubuhan itu tidak sekali juga dipakai kata yang tepat menuju itu. “Padahal kamu tidak mendapat air"
Maka jika terjadi salah satu dari keempat sebab itu, yakni:
1. Sakit yang menyebabkan tidak dapat bersentuh dengan air.
2. Dalam perjalanan karena sukarnya air.
3. Kembali dari buang air besar atau buang air kecil, padahal air tidak ada.
4. Bersentuhan dengan perempuan, padahal air tidak ada atau tidak dapat menyentuh air karena ada sakit.
“Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik Maka sapulah muka kamu dan tangan kamu dengan dia." Dengan ini dijelaskan lagi ayat 43 dari surah an-Nisaa' yang dahulu.
Di dalam ayat ini dapatlah kita memahami bahwa tayamum adalah ganti air, untuk wudhu dan untuk mandi wajib. Inilah yang disebut di dalam kitab-kitab fiqih, terutama di dalam Kitabut Thaharah, dua macam hadats; yaitu hadats besar dan hadats kecil. Keadaan sesudah bersetubuh atau keluar mani dari sebab yang lain, dan selesai haid dan nifas bagi perempuan, semuanya itu adalah di dalam keadaan berhadats besar sebelum mandi.
Sehabis buang air besar dan kecil, sehabis keluar angin (kentut) atau sehabis tidur, atau setelah menyentuh kemaluan sendiri, terjadilah hadats kecil, maka wajiblah berwudhu kalau akan shalat atau akan thawaf di Ka'bah. Kalau air tidak ada atau sukar mendapat air, atau tidak boleh menyentuh air karena sakit, maka tayamum jadi pengganti wudhu dan pengganti mandi junub. Dengan tayamum hadats besar dan hadats kecil jadi hilang, dan kita telah suci untuk mengerjakan shalat. Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik. Artinya ambillah tanah yang baik, yang nyata tidak ada najis padanya; pukulkanlah kedua belah telapak tangan kepada tanah yang baik itu, pertepukkan kedua tangan sesudah itu, embus debunya lalu sapukan atau barutkan ke muka sekali dan terus tangan yang kiri menyapu ujung tangan yang kanan sampai ke pergelangan dan tangan yang kanan menyapu tangan yang kiri pula sampai ke pergelangan; sekali pula. Keterangan panjang lebar sudah kita perdapat ketika menafsirkan ayat tayamum yang pertama pada surah an-Nisaa' Maka tersebutlah di dalam Al-Qur'an dan Sunnah tentang hal-hal yang membatalkan wudhu, yaitu karena keluar sesuatu dari kedua pelepasan, muka dan belakang (qubul dan dubur) termasuk keluar angin atau keluar madzi (air bergetah) dari kemaluan muka, selain itu panjang lebar juga perbincangan para ulama fiqih tentang tidur yang macam mana yang membatalkan wudhu. Dan jadi perbincangan juga tentang bersentuh kulit laki-laki dan perempuan, atau bersentuh kulit istri, yaitu persentuhan yang tidak ada hambatan (di balik kain)
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud dan Ibnu Umar dari sahabat Rasulullah, dan az-Zuhri dari Tabi'in, menyatakan batal wudhu karena bersentuh kulit laki-laki dan perempuan. Begitu pula pendapat Syafi'i. Tetapi ada riwayat bahwa Ali dan Ibnu Abbas dari sahabat, dan Thawus dan Atha dan Tabi'in, berpendapat tidak batal kalau hanya bersentuh kulit saja. Inilah madzhab Imam Hanafi dan madzhab Ahiul Bait. Yang setengahnya lagi menyatakan hanya batal wudhu kalau persentuhan itu dengan syahwat. Golongan ini menyatakan, sehingga menyentuh kulit laki-laki yang manis (amracf) pun bisa membatalkan wudhu kalau timbul syahwat. Sebab memang ada juga orang laki-laki yang timbul syahwatnya melihat anak laki-laki manis yang belum tumbuh kumisnya. Pangkal perlainan pendapat ialah pengertian sentuh (laamas, al-Iamsit) Setengah mengatakan menurut arti yang asli, yaitu sentuh; sebab itu jadi batal wudhu. Setengah mengambil arti majaz (sindiran), yaitu setubuh. Tetapi terdapat hadits-hadits yang shahih, terutama riwayat Aisyah bahwa Aisyah pernah memegang kaki Nabi sedang beliau shalat dan beliau shalat terus. Hadits istri beliau Ummu Salamah mengatakan pula bahwa dia pernah berebut mengambil wudhu dalam satu timba dengan Rasulullah, sehingga singgung-menyinggung dan sentuh-menyentuh sampai selesai wudhu, bahkan ada hadits menyatakan bahwa beliau pernah mencium istrinya sedang beliau berwudhu, setelah itu beliau terus shalat. Untuk memperluas pengetahuan tentang ini bacalah buku-buku fiqih yang memberikan keterangan-keterangan yang luas, Dalam bahasa Indonesia ialah seumpama karangan Prof. M. Hasbi ash-Shiddiqiy dan Syekh A. Hassan dan lain-lain.
“Tidaklah Allah hendak membuat keberatan atas kamu, tetapi dia menghendaki untuk membersihkan kamu." Inilah alasan pokok maka ketika sukar mendapat air atau membawa kesusahan atau bertambah sakit karena memakai air, walaupun air ada, diizinkan menggantikannya dengan tayamum, karena Allah tidak hendak memberatkan hamba-Nya dalam hal yang akan menyusahkan dirinya. Sekeras-keras peraturan, tetapi ada pengecualian. Bukan saja dalam hal wudhu dan mandi junub, bahkan dalam hal shalat sendiri, dalam hal puasa, semuanya ada pengecualian. Tidak sanggup shalat berdiri boleh duduk, tidak sanggup duduk, boleh tidur. Dalam musafir boleh mengqashar menjamak, dalam perang boleh shalat satu rakaat sebagaimana telah dituntunkan di surah an-Nisaa'. Dan hal ini telah menjadi perundang-undangan atau kaidah dalam ilmu ushul fiqih seumpama,
“Masyaqqat membawa kemudahan. “
“Suatu hal kalau sudah amat sempit, menjadi lapang."
“Menolak yang akan merusak lebih didahulukan dari mencapai yang manfaat. “
“Yang darurat menyebabkan halalnya yang terlarang. “
“Hal yang diharamkan karena zatnya, diboleh-kan karena darurat. Dan hal yang diharamkan karena menutup pintu bahaya, dihalalkan kalau ada keperluan. “
Dan sebagainya.
Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa kehendak Allah yang utama ialah supaya kamu menjadi suci bersih. Yuthah hirakum, membersihkan kamu. Di sinilah sumber kata tentang thaharah, yang telah menjadi penga-jian pertama dalam seluruh kitab-kitab ilmu fiqih dalam sekalian madzhab. Sampai membicarakan air berpanjang lebar, air yang suci lagi menyucikan, atau air yang musta'mal, tentang air yang kurang dari dua kulah atau pun lebih. Cuma kadang-kadang, meskipun yang dimaksud oleh ulama-ulama itu adalah baik, mengasah otak untuk ijtihad, karena panjangnya pengkajian thaharah itu, ada orang yang mengkajinya sampai tiga empat tahun belum juga tamat. Padahal maksud agama bukan kesukaran melainkan kemudahan. Diganti air dengan tanah dan disuruh bertayamum karena sukarnya air, ialah karena maksud Allah tidak hendak memberati, akan tetapi tujuan Allah tetap, yaitu agar hamba-Nya tetap bersih dan suci. Kalau orang hanya berpikir sepintas-lalu, tentu dia akan bertanya-tanya, dengan air memang tercapai kebersihan, tetapi dengan tanah tidaklah tampak kebersihan itu. Tetapi kalau berpikir itu sudah lebih mendalam, teranglah bahwa mengganti dengan tanah sesudah air tidak ada atau tidak bisa dipakai, adalah suatu pembersihan juga; yaitu pembersihan dan kesucian yang telah tumbuh dari dalam jiwa seseorang, karena taatnya kepada Allah. Allah telah memerintahkan, sebab shalat hendaklah bersihkan diri dengan air wudhu atau mandi junub. Jangan shalat kalau belum bersih dan suci. Sekarang air tidak ada, namun perintah bersih suci itu dilaksanakan juga, sebagaimana mestinya. Belum mau berdiri shalat menghadap Allah sebelum syaratnya dilengkapi. Yaitu dilengkapi dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Allah sendiri.
“Dan Dia hendak menyempurnakan nikmat-Nya atas kamu." Maka dengan perintah ber-wudhu lebih dahulu, atau mandi bagi yang junub, dan mengganti keduanya dengan tayamum pada waktu air tidak ada atau membawa susah, adalah semuanya itu untuk menyempurnakan nikmat Allah bagi hamba-Nya. Nikmat Allah yang amat utama bagi Mukmin ialah pendidikan kebersihan dan kesucian itu, bersih suci jasmani dan ruhani. Dibersihkan terlebih dahulu anggota tubuh, lalu menghadap kepada Allah dengan segala ingatan kepada yang lain, dibersihkan dari sekalian pengaruh, dibulatkan pikiran kepada Allah, dimulai dengan Allahu Akbar; hanya Allah saja Yang Mahabesar; yang lain kecil dan tidak ada artinya. Ditutup dengan salam, Assalaamu'alaikum, dengan hati bersih membawa jiwa yang damai ke tengah-tengah masyarakat. Inilah nikmat yang dianugerahkan Allah yang tiada taranya bagi seorang Muslim.
Alangkah elok buah tempayang,
Sugi-sugi mengarang benih;
Alangkah elok orang shalat,
Hati suci mukanya bersih.
“Dan supaya kamu bersyukur." Dengan jasmani bersih dan hati suci, mengerjakan pula shalat dengan hati yang suci bersih dari pengaruh yang lain, bertimpalah datangnya nikmat, dirasai oleh jiwa sendiri. Banyak kesusahan yang dapat diatasi, karena shalat. Dengan shalat terlatihlah jiwa mensyukuri nikmat, sehingga berkekalan di dalam hidup, di waktu senang dan di waktu susah pun.
Untuk menyempurnakan kehendak Allah, agar umat yang beriman itu suci dan bersih, selalulah Nabi kita ﷺ memberikan contoh dan teladan, sehingga untuk menggenapkan ayat itu, hendaklah kita pelajari pula hadits-hadits Rasulullah ﷺ.
Dan wudhu itu sendiri hendaklah dilengkapi dengan berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan bersikat gigi. Perintah bersikat gigi, atau menggosok gigi, bersugi, sangatlah dipentingkan, sampai ketika perintah itu diulang-ulangkan oleh Rasulullah ﷺ. Ada sahabat berkata, “Saya sangka perintah menggosok gigi itu akan diwajibkan pula sebagaimana wajibnya shalat." Sampai pun di dalam mengerjakan puasa, perintah menggosok gigi itu dipentingkan juga. Sampai beliau tunjukkan kayu yang amat bagus penggosok gigi, yaitu urat kayu arak namanya; harum baunya, dan disunnahkan menggosok gigi dengan dia ketika akan shalat.
Gambarkanlah sendiri, betapa bersihnya seorang Mukmin itu; sekurangnya lima kali sehari semalam mereka berwudhu membersihkan anggota-anggota yang selalu dipakai praktis sehari-hari, bahkan sunnah pula membaru-barui wudhu; selalu pula gigi bersih digosok, sunnah tiap-tiap akan shalat, jadi sekurangnya lima kali pula sehari.
Beberapa orang tabib Eropa telah menyelidiki urat kayu arak itu. Mereka jadi heran, sehingga ada yang menganjurkan kepada pasiennya, gosoklah gigimu dengan “Kayu Muhammad!"
Pada suatu hari, Rasulullah bersama-sama sahabat beliau berjalan keluar kota. Mereka sampai ke dekat sebuah perkuburan. Beliau tertegun tegak sebentar, lalu beliau suruh ambilkan dua pelepah kurma yang masih baru, lalu beliau letakkan di atas dua buah kubur di situ. Kemudian beliau katakan bahwa beliau mendengar pekik gerung yang ngeri sekali dari dua orang yang berkubur di situ. Moga-moga kata beliau—rasa sejuk dan daun-daun itu akan dapat mendoakan mereka. Kesalahan yang seorang dari mereka adalah karena ketika hidupnya dia tidak suka istinja' sehabis kencing. Habis kencing tidak dibasuh atau dicucinya ujung kemaluannya.
Dan ingat pulalah perintah beliau tentang mandi. Selain dan mandi wajib, hendaklah mandi sekurang-kurangnya tiap-tiap pagi hari Jum'at, Padahal lantaran itu ada ulama mengatakan bahwa mandi sekali jum'at itu adalah wajib. Padahal sampai sekarang, konon-nya bangsa-bangsa di Eropa yang kelihatan bersih pakaian itu, ada yang mandi hanya sekali sebulan. Hanya bangsa Inggris, karena biasa menjajah di negeri-negeri Islam, telah belajar banyak mandi.
Sampai disebutkan pula oleh Rasulullah ﷺ bahwasanya mencabut bulu ketiak, mencabut bulu ari-ari dan mengerat kuku dan berkhitan adalah kebersihan yang fitri atau yang murni bagi manusia.
Ketika kaum Muslimin telah kalah di Spanyol, ketika diadakan pembersihan besar-besar oleh penguasa Kristen, malanglah nasib mereka itu, karena salah satu tanda dari orang Islam, yang akan menyebabkan sia-sia mereka yang masih tinggal di Spanyol diusir dari sana ialah karena mereka bersih-bersih.
Rupanya wudhu itu memang memberi bekas kepada kejernihan muka. Dan Rasulullah
saw, dalam hadits yang shahih pernah mengatakan bahwa salah satu dari tanda umatnya di akhirat kelak, ialah ghurran muhajjalin, berseri-seri wajah mereka karena wudhu.
Demikianlah, pada suatu hari pada tahun 1943 zaman kekuasaan Jepang, penuiis tafsir ini melawat ke Singapura bersama beberapa orang Jepang, menjadi tetamu mereka. Waktu Ashar telah hampir habis, padahal penulis mengqashar dan menjamak, sedang air belum juga bertemu. Maka sampailah kami ke sebuah taman, di sana ada air. Penulis terus mengambil wudhu dan shalat di rumput. Dan mereka menunggu. Setelah selesai penulis shalat, penulis temuilah mereka kembali. Serentak mereka mengatakan bahwa mukaku kelihatan lebih jernih daripada tadi sebelum shalat. Memang, sebab sehabis wudhu dan melakukan shalat, pikiran kita menjadi lapang dan wajah kita menjadi jernih.
Dan apabila hati telah lapang, wajah jadi jernih, apa pun tugas yang akan dilakukan, terasalah ringan. Inilah yang dikehendaki Allah dari umat Mukminin.
Dan pada hari Jum'at disuruh berpakaian bersih, bahkan berhias berharum-haruman ke masjid, karena akan bertemu dengan orang banyak dan akan duduk bershaf.
Ayat 7
“Dan ingatlah olehmu akan nikmat Allah atas kamu."
Nikmat yang diberikan kepada kamu ingatlah baik-baik. Dari berpecah belah kamu menjadi bersatu, dari gelap gulita kamu dibawa kepada Nur Islam. Dari bangsa yang tidak berarti, hanya jadi mangsa dari bangsa-bangsa yang kuat di kiri kanan tanah kelahiranmu, tersebab Islam kamu telah menjadi suatu umat yang kuat dan disegani. Dan ingat pulalah, “Dan perjanjian-Nya yang telah Dia janjikan-Nya kepada kamu, ketika kamu berkata, ‘Kami dengarkan dan kami taati/" Yakni ingatlah bahwa di saat-saat yang penting, di atas nama Allah, Nabi kamu dan pemimpin kamu Muhammad ﷺ telah memadu janji dengan kamu, baiat akan sehidup semati di dalam menegakkan agama Allah. Ketika baiat itu diambil kamu pun telah menyanggupinya, akan mendengar segala perintah dan akan taat melakukannya. Baik di waktu senang maupun di waktu susah, baik karena ada harapan keuntungan maupun akan meminta pengorbanan. Janji baiat di saat-saat penting diadakan Rasulullah ﷺ Yang termasyhur ialah barat dengan utusan-utusan al-Anshar di Aqabah (Mina) Demikian pula baiat di bawah pohon di Hudaibiyah, dan di dalam surah al-Mumtahanah, ketika Utsman bin Affan belum juga kembali dari tugasnya jadi utusan kepada orang Quraisy di Mekah. Dan diterangkan pula bahwa perempuan pun pernah diambil baiat mereka yang tersendiri, sebagai tersebut di dalam surah al-Mumtahanah.
“Dan takwalah kamu kepada Allah.'1 Wahai orang-orang yang beriman! Karena kamu adalah umat yang telah dipercaya untuk membantu Rasul di dalam menjalankan kewajiban yang suci, tetapi berat. Namun jika badanmu telah bersih, sekurangnya lima kali sehari kamu berwudhu untuk menghadap Allah dengan hati yang suci pula, kamu tegakkan shalatiljama'ah untuk menyatupadukan hatimu semuanya, dan kamu taat setia mendengar dan menjalankan bimbingan Rasulmu itu, niscaya tidaklah ada perkara berat yang tidak akan dapat dipikul dan tidaklah ada yang sukar yang tidak akan dapat diatasi.
“Sesungguhnya Allah amat mengetahui akan isi dada-dada kamu. “
Maka karena bagi Allah tidak dapat disembunyikan niat yang tidak ikhlas, bahkan Dia selalu memasang teropongnya, atas tiap-tiap isi dada kamu, selalulah adakan pembersihan itu. Janganlah dimungkiri perjanjian dengan Allah, jangan diingkari baiat dengan Rasul dan setialah memegang janji dengan sesamamu manusia, dan patuhilah janji dengan dirimu sendiri. Tegakkanlah ikhlas, hilangkanlah beramal karena riya.
Sebab itu dari wudhu dimulai pelaksanaan kebersihan, dengan shalat dilanjutkan pembersihan itu, karena langsung menghadapkan hati yang khusyu kepada Allah, dan selesai shalat menghadapi setiap tugas hidup dengan hati yang tulus ikhlas pula, dan kelak setelah meninggal dunia akan kembali menghadap Allah biqalbin salt min, dengan hati yang bersih suci pula.
Memang ada pertalian di antara kebersihan badan dengan kebersihan hati. Rasakan sendirilah apabila kain yang kotor telah ditanggalkan dari badan, lalu mandi dan bersabun. Setelah itu berwudhu dan shalat. Rasakan betapa lapangnya dada setelah habis mengerjakan ibadah itu.
Dan kebersihan hati tadi membawa pengaruh pula kepada kebersihan sikap hidup, keikhlasan dan kejujuran. Itu pula sebabnya maka shalat shubuh dan dzikir dan wirid sesudah shalat matahari pun terbit. Kita pun menerima hari yang baru dengan dada terbuka dan hati yang bersih. Pintu rezeki pun terbuka, dan alam yang berada keliling kita menjadi saksi bahwa kita semuanya selalu dalam perlindungan Allah ﷻ
Sebagaimana kita sebutkan ketika menafsirkan ayat tayamum dalam surah an-Nisaa' ayat 43 dahulu. (Juz 5), penggantian dengan tanah ketika air tidak dapat dipakai, pun menunjukkan kebersihan hati. Syah Waliyullah ad-Dahlawy secara filosifis telah menerangkan bahwa menggantikan air dengan tanah adalah mengingatkan manusia akan asal jadinya. Mendidik manusia berendah hati. Ingatlah ketika Rasulullah ﷺ masuk ke dalam kota Mekah untuk menaklukkannya, setelah 11 tahun dia terasing di Madinah, dengan penuh rindu agar satu waktu tanah tumpah darahnya itu dapat hendaknya dibebaskannya dari masyarakat jahiliyyah.
Ketika beliau memasuki kota itu, dengan penuh kemenangan, dan orang-orang yang dahulu memusuhi dan mengusirnya telah berdiri di pinggir jalan menonton kedatangannya dengan penuh ketakutan, kalau-kalau Nabi Muhammad saw, membalas dendam, tetapi apa yang beliau perbuat?
Beliau sedang mengendarai tunggangannya, tetapi beliau merunduk serendah-rendahnya ke bumi, sampai tangannya dapat mencapai tanah. Diambilnya tanah pasir itu segenggam, lalu ditaburkannya ke atas kepalanya sendiri. Untuk merekan perasaannya, jangan sampai merasa sombong atas kemenangannya.
Demikianlah sikap kita bila satu waktu mengganti air buat berwudhu dengan tanah buat tayamum.
Tujuannya ialah kebersihan lahir dan batin; dan kebersihan hidup. Sebagai penutup tafsiran ayat ini, kita kutipkan hadits,
“Telah merawikan Ibnu Jarir, dari Abu Umamah, berkata dia; Berkata Rasulullah ﷺ, “Barang-siapa yang berwudhu, lalu dibaguskannya wudhu itu, kemudian itu dia berdiri shalat, keluarlah dosa-dosanya dari pendengarannya dan penglihatannya dan kedua tangannya dan kedua kakinya." (HR Ibnu Jarir)