Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
هَادُواْ
Yahudi
وَٱلصَّـٰبِـُٔونَ
dan Shabi-in
وَٱلنَّصَٰرَىٰ
dan Nasrani
مَنۡ
orang/siapa
ءَامَنَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَعَمِلَ
dan beramal
صَٰلِحٗا
saleh
فَلَا
maka tidak ada
خَوۡفٌ
kekhawatiran
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
وَلَا
dan tidak
هُمۡ
mereka
يَحۡزَنُونَ
(mereka) bersedih hati
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
هَادُواْ
Yahudi
وَٱلصَّـٰبِـُٔونَ
dan Shabi-in
وَٱلنَّصَٰرَىٰ
dan Nasrani
مَنۡ
orang/siapa
ءَامَنَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَعَمِلَ
dan beramal
صَٰلِحٗا
saleh
فَلَا
maka tidak ada
خَوۡفٌ
kekhawatiran
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
وَلَا
dan tidak
هُمۡ
mereka
يَحۡزَنُونَ
(mereka) bersedih hati
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabiin, dan Nasrani, siapa yang beriman kepada Allah, hari Akhir, dan beramal saleh, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih.
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang mukmin orang-orang Yahudi) menjadi mubtada (kaum Shabiin) satu sekte dari Yahudi (dan orang-orang Nasrani) yang menjadi badal dari mubtada ialah (siapa saja yang benar-benar beriman) dari kalangan mereka (kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati) dalam menghadapi hari kemudian sebagai khabar dari mubtada dan yang menunjukkan kepada khabarnya inna.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 68-69
Katakanlah, "Wahai Ahli Kitab, kalian tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kalian menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al-Qur'an yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka, maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang kafir itu.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Sabi-in, dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Ayat 68
Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya untuk mengatakan: “Wahai Ahli Kitab, kalian tidak dipandang beragama sedikit pun.” (Al-Maidah: 68)
Yaitu sama sekali bukan sebagai pemeluk agama.
“Hingga kalian menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil.” (Al-Maidah: 68)
Yakni hingga kalian beriman kepada semua apa yang terkandung di dalam kitab-kitab yang ada di tangan kalian, yang diturunkan oleh Allah melalui nabi-nabi-Nya, dan mengamalkan semua apa yang terkandung di dalamnya. Antara lain berisikan wajib beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ dan perintah mengikutinya, iman kepada kerasulannya serta menaati syariatnya. Karena itulah menurut Al-Laits ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, disebutkan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (menegakkan ajaran-ajaran) Al-Kitab yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (Al-Maidah: 68) Makna yang dimaksud ialah Al-Qur'an yang agung.
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka.” (Al-Maidah: 68)
Tafsir ayat ini telah disebutkan di atas.
“Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Al-Maidah: 68)
Yakni jangan kamu sedihkan perihal mereka dan janganlah kamu merasa gentar dalam menghadapi sikap mereka yang demikian itu.
Ayat 69
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin.” (Al-Maidah: 69)
Yaitu kaum muslim.
“Orang-orang Yahudi.” (Al-Maidah: 69)
Yakni orang-orang yang memegang kitab Taurat.
“Dan orang-orang Sabiin.” (Al-Maidah: 69)
Mengingat pemisahnya terlalu jauh, maka peng-'ataf-an ini dinilai baik jika dengan rafa' (hingga dibaca was sabi-un, bukan was sabi- in, pent.) Kaum Sabi-in adalah segolongan orang dari kalangan umat Nasrani dan orang-orang Majusi yang tidak mempunyai agama.
Demikianlah menurut Mujahid; dan dari Mujahid disebutkan bahwa mereka adalah segolongan dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Majusi. Sa'id ibnu Jubair mengatakan, mereka adalah segolongan orang dari kaum Yahudi dan Nasrani. Menurut Al-Hasan dan Al-Hakam, mereka sama dengan orang-orang Majusi. Menurut Qatadah, mereka adalah suatu kaum yang menyembah malaikat dan shalat dengan menghadap ke arah selain kiblat serta membaca kitab Zabur. Wahb bin Munabbih mengatakan, mereka adalah suatu kaum yang mengenal Allah semata, tetapi tidak mempunyai syariat yang mereka amalkan, dan mereka tidak melakukan suatu kekufuran pun.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum yang tinggal di daerah yang bertetangga dengan negeri Irak, tepatnya di Kausa. Mereka beriman kepada semua nabi, puasa setiap tahunnya selama tiga puluh hari, dan mengerjakan shalat menghadap ke negeri Yaman setiap harinya sebanyak lima kali. Pendapat yang lain mengatakan selain itu.
Adapun orang-orang Nasrani, seperti yang telah dikenal; mereka adalah orang-orang yang berpegang kepada kitab Injil. Makna yang dimaksud ialah bahwa setiap golongan beriman kepada Allah dan hari kemudian serta hari kembali dan hari pembalasan pada hari kiamat nanti, dan mereka mengamalkan amal saleh. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan terealisasikan kecuali jika sesuai dengan syariat Nabi Muhammad sesudah beliau diutus kepada semua makhluk, baik jenis manusia maupun jin. Maka barang siapa yang menyandang sifat ini, disebutkan oleh firman-Nya:
“Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka.” (Al-Maidah: 69) Yakni tidak ada kekhawatiran dalam menghadapi masa depan, tidak pula terhadap masa lalu mereka.
“Dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Maidah: 69)
Tafsiran terhadap hal yang serupa telah disebutkan di dalam tafsir surat Al-Baqarah dengan keterangan yang cukup hingga tidak perlu lagi diulangi di sini.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang beriman, yaitu umat Islam, orang-orang Yahudi, sha'bi'in, dan orang-orang Nasrani, barang siapa di antara mereka yang beriman kepada Allah dengan selalu mengesakan dan beribadah hanya kepada-Nya, percaya kepada hari kemudian sebagai wahana untuk pemberian ganjaran atau hukuman dari perbuatan mereka, dan selalu berbuat kebajikan sesuai dengan tuntunan Allah yang terdapat dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an, maka tidak ada rasa khawatir sedikit pun pada mereka dan mereka tidak perlu untuk bersedih hati karena Allah selalu akan memberikan jalan keluar terbaik bagi semua persoalan yang dihadapi. Allah menegaskan bahwa sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, yaitu berupa ikrar mereka untuk beriman kepada Allah dan melaksanakan ajaran Taurat yang merupakan syariat bagi mereka, dan untuk mengingatkannya, telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul yang diberi tugas untuk menjelaskan ajaran kitab suci itu. Akan tetapi, kenyataannya ternyata tidak seperti yang diinginkan. Setiap datang seorang rasul kepada mereka untuk mengingatkan ikrar tersebut dengan membawa atau menyampaikan ajaran agama, tetapi jika apa yang dibawa atau disampaikan itu adalah yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan ajaranajarannya dan bahkan sebagian yang lain, seperti Nabi Zakaria dan Nabi Yahya, mereka bunuh dengan keji.
Ayat ini dari segi pengertiannya tidak ada perbedaannya dari ayat 62 surah al-Baqarah. Ia diulang kembali, dengan susunan yang berbeda. Sejalan dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 62, yang memerintahkan kepada Muhammad supaya mengatakan kepada Ahli Kitab, bahwa mereka belum dipandang beragama selama mereka belum beriman kepada Allah dengan sesungguhnya dan mengamalkan tuntunan Taurat dan Injil serta ajaran Al-Qur'an, maka pada ayat ini Allah menerangkan bahwa hal itu berlaku pada pengikut-pengikut semua rasul sebelum Muhammad yaitu Yahudi, Nasrani dan shabiin (bukan Yahudi dan Nasrani). Jika mereka menjalankan petunjuk-petunjuk agamanya sebelum terjadi perubahan oleh tangan mereka, tentulah mereka tidak khawatir pada hari kemudian dan mereka yang menemui Nabi Muhammad tetapi menentangnya atau pura-pura beriman, manakala mereka itu bertobat dan beramal saleh tentulah mereka tidak khawatir pada hari kemudian, karena seseorang itu tidak ada kelebihannya kecuali jika ia beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian serta beramal saleh.
Manusia mempunyai dua macam kekuatan: pertama, kekuatan di bidang teori dan kedua, kekuatan di bidang praktek atau amaliah. Kekuatan di bidang teori barulah mencapai kesempurnaannya jika manusia itu mempunyai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan manusia baru mencapai kesempurnaan, jika sampai pada pengetahuan tentang sesuatu yang paling mulia yaitu Allah Tuhan Yang Maha Esa dan Mahakuasa membangkitkan dan menghimpun manusia di padang mahsyar. Dengan demikian pengetahuan yang paling mulia adalah keimanan kepada Allah dan hari kemudian. Amal kebaikan yang paling mulia adalah berbakti kepada Allah dan berusaha menyampaikan hal-hal yang bermanfaat kepada manusia. Jadi orang-orang yang menghadap Allah dengan keimanan dan amalan-amalan seperti ini tentulah dia tidak akan khawatir sedikit pun terhadap huru-hara dan bencana hari kiamat dan mereka tidak bersedih hati terhadap nikmat dunia yang tidak pernah mereka rasakan ketika hidup di dunia.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TUGAS RASUL
Ayat 67 yang akan kita tafsirkan ini iaiah menjelaskan tugas yang dipikulkan Allah kepada Rasulnya, Nabi Muhammad ﷺ. Dan di samping diberi tugas, Allah pun memberikan jaminan-Nya pula atas keselamatan diri beliau selama melakukan tugas. Sebab itu maka ayat ini dimulai dengan ucapan,
Ayat 67
“Wahai Rasul"
Sebagaimana kita ketahui, Allah tidak pernah memanggil Nabi kita dengan menyebut namanya, melainkan menyebut tugas atau jabatannya. Dan panggilan “Wahai Rasul" akan mengingatkan beliau tugas yang dipikulkan ke atas pundaknya, “Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepada engkau dari Tuhan engkau." Ini adalah perintah tegas dari Allah bahwasanya segala wahyu yang telah diturunkan Allah kepadanya, hendaklah beliau sampaikan langsung kepada umat, tidak boleh ada yang disembunyikan, sebab samalah artinya dengan tidak menyampaikan sama sekali.
Sama juga dengan kita, umat Muhammad sendiri, kalau kita mengaku percaya kepada Allah dan Rasul, hendaklah kita percaya dalam keseluruhan, bukan percaya setengah-setengah, atau percaya mana yang enaknya saja. Maka tiadalah dapat diragukan lagi, bahwasanya perintah itu telah dijalankan oleh Rasul dengan selengkapnya, tidak ada yang dikuranginya dan tidak ada yang disembunyikannya, manisnya ataupun pahitnya. Beliau telah melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Beliau telah tegak dengan teguhnya ketika gelombang kesukaran datang lantaran melakukan tugas itu. Beliau telah sabar menderita di waktu ditimpa berbagai kesulitan, sampai dibenci, diperangi, diusir, dan mau dibunuh berkali-kali.
Ketika masih di Mekah 13 tahun, tidak berhenti-henti siang-malam beliau melakukan tugas itu, walaupun demikian dahsyat tantangan dan fitnah dari kaum Quraisy. Beliau tidak berpindah dari Mekah sebelum ada perintah pindah dan hijrahnya ke Madinah, bukanlah karena lari dari tugas, melainkan karena hendak menyusun kekuatan bagi menegakkan dakwah yang beliau bawa. Seluruh tenaga telah beliau tumpahkan, sejak dari masa sembunyi-sembunyi mengadakan dakwah di rumah Arqam bin Abil Arqam, sampai pindah dan sampai pelita agama bernyala dan musuh tunduk takluk dan masuk ke dalam Islam berduyun-duyun.
Setelah beliau hampir selesai menjalankan tugas itu, setelah datang ilham kepada beliau bahwa sudah dekat masanya beliau meninggalkan umat ini, maka beliau pun pergilah mengerjakan haji, yaitu yang dikenal dengan Haji Wada'. Haji selamat tinggal, di waktu itulah beliau menerima pengakuan umatnya bahwa memang risalah yang ditugaskan kepada dirinya itu telah dipenuhinya.
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Umatnya telah memberikan kesaksian bahwa risalah itu telah beliau sampaikan, dan amanah itu telah beliau tunaikan. Beliau telah bertanya kepada mereka itu di dalam suatu pertemuan yang besar, dalam khutbahnya seketika Haji Wada'. Sahabat-sahabatnya yang hadir di waktu itu lebih kurang berjumlah 40.000 orang. Sebagaimana terdapat sebuah hadits yang shahih, dirawikan oleh Muslim, dari Jabir bin Abdullah. Bahwasanya Rasulullah ﷺ di dalam khutbahnya pada hari itu telah berkata, “Wahai sekalian manusia! Kamu semuanya ini bertanggung jawab. Apakah pendapatmu?" Mereka menjawab, “Kami naik saksi bahwasanya engkau telah melakukan nasihat!" Mendengar jawaban itu, Rasulullah mengangkat kepalanya menadahkan tangannya ke langit lalu dikembangkannya menghadapi mereka semua, lalu dia berkata, “Ya Allah! Bukankah telah aku sampaikan?'1
Menurut riwayat Bukhari dan Muslim, ketika Masruq (Tabi'in) bertanya kepada Aisyah, adakah ayat yang tidak disampaikan oleh Nabi, Aisyah menjawab, “Barangsiapa yang mengatakan kepada engkau bahwa Muhammad pernah menyembunyikan apa yang diturunkan Allah kepadanya, berdustalah orang itu."
Dan pada hadits yang lain, riwayat Bukhari dan Muslim juga, Aisyah berkata, “Kalau Muhammad hendak menyembunyikan sesuatu dari Al-Qur'an, niscaya akan disembunyikannya ayat yang mengenai dirinya sendiri yang berisi tempelak. Dan engkau sembunyikan di dalam diri engkau barang yang Allah menyatakannya, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah yang lebih berhak engkau takuti." (Yang tersebut dalam surah al-Ahzaab)
Berkata pula Bukhari, berkata az-Zuhri, “Dari Allah datang risalah, atau Rasul kewajiban menyampaikan, atas kita kewajiban taat."
“Dan Allah melindungi engkau daripada manusia." Inilah jaminan Allah atas Rasul-Nya. Bahwa segala maksud jahat manusia atas dirinya, tidaklah akan berhasil, karena Allah Ta'aala selalu melindungi. Sebab itu janganlah dia khawatir di dalam melakukan dakwah. Di dalam ayat ini Allah mengatakan “Ya'shimuka," yang kita artikan memperlindungi memakai Fi'il Mudhari', yang mengandung masa sekarang (haal) dan akan datang (istiqbaf) Artinya selalu beliau diperlindungi Allah.
Sebagaimana ditulis Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Arlamun Nubuwwah bahwa sejak mula menjadi Rasul, Allah telah memberinya perlindungan dengan berbagai jalan. Mula sekali, yang dipakai Allah buat me-lindungi Nabi Muhammad dari bahaya, ialah paman beliau, Abi Thalib. Dia disegani oleh orang Quraisy, sebab dia adalah pemimpin mereka yang disegani dan dipatuhi. Diciptakan Allah rasa cinta dalam hati Abi Thalib kepada Muhammad, meskipun dia tidak memeluk Islam. Di sini terkandung satu hikmat tinggi dari kehendak Allah. Karena kalau Abi Thalib masuk Islam, tentulah mereka tidak segan lagi kepadanya. Tetapi sebab mereka masih bersatu agama, Quraisy segan mengganggu Muhammad karena menghargai Abi Thalib dan segan pula akan wibawanya.
Kemudian Abi Thalib meninggal. Dalam masa Abi Thalib telah meninggal, didatangkan Allah pula alat perlindungan yang baru, yaitu datangnya kaum Anshar dari Madinah yang bersedia harta benda dan jiwa raga mereka buat membela beliau, sehingga beliau pun bersedia Hijrah ke Madinah. Lantaran kesediaan mereka membela Rasul, dengan harta benda dan jiwaraga itulah maka mereka diberi gelar al-Anshar, (pembela-pembela)
Dalam pada itu jika kita perhatikan seluruh hidup beliau, baik seketika masih di Mekah, atau dalam perjalanan Hijrah ke Madinah, atau sebelum sampai di Madinah, berpuluh kali diadakan orang percobaan-percobaan membunuh beliau namun semuanya itu tidak berhasil.
Pamannya, Abu Lahab, sendiri pernah dihasut dan dibujuk oleh kaum Quraisy supaya membunuh Muhammad. Mereka berkata, “Hai Abu Utbah (salah satu gelar Abu Lahab, karena seorang di antara anaknya bernama Utbah), engkau adalah pemimpin kami. Engkau lebih utama di sisi kami daripada Muhammad. Sayang sekali Abi Thalib selalu membelanya dan menghalang-halangi kami buat menentukan sikap kepada Muhammad. Kalau engkau yang membunuh Muhammad itu, Abi Thalib dan Hamzah tidak akan berani buka mulut. Dengan demikian engkau terlepas dari tuntutan darahnya, dan kami semua akan membayar diyat dari engkau akan tetap di-pandang sebagai pemimpin dari kaummu."
Mendengar rayuan demikian, Abu Lahab lupa diri, lalu berkata, “Saya akan kerjakan sebagaimana yang kamu minta." Karena jawabnya yang demikian, semua bergembira ria dan semua memujinya. Dan namanya di sanjung-sanjung dalam upacara-upacara yang diadakan. Dikatakan bahwa dia seorang yang setia mempertahankan agama nenek moyang yang telah dirusak binasakan oleh anak saudaranya.
Pada suatu malam, turunlah Abu Lahab dari tempat dia mengintip, padahal Rasulullah ﷺ sedang shalat. Istrinya sendiri, Ummi Jamil memanjat dinding memerhatikan perbuatan suaminya, dan mendekati tempat Rasulullah berkhalwat. Didapatinya Rasulullah sedang sujud. Abu lahab datang; setelah dekat benar, dia bersorak keras-keras yang maksudnya supaya mendengar sorak itu Muhammad ﷺ akan timbul takut. Namun Rasulullah masih tetap shalat, masih tetap sujud, sejenak pun suara itu seakan-akan tidak didengarnya. Tetapi setelah Abu Lahab dan istrinya Ummi jamil hendak melangkahkan kaki ke muka, hendak menikam Nabi ﷺ, kaki mereka tidak dapat diangkat, sehingga terpakulah mereka di tempat itu sampai datang waktu Shubuh. Dan Rasulullah pun selesailah mengerjakan shalat malamnya. Dan melihat itu, berkatalah Abu Lahab, “Ya Muhammad, lepaskanlah kami!" Rasulullah menjawab, “Selama kalian keduanya masih ada maksud menganiayaku, selama itu pula kalian masih akan terpaku di tempat kalian berdiri itu." Maka dengan segera Abu Lahab menjawab, “Mulai sekarang maksud itu telah kami lepaskan!" Jawab Rasul, “Kalau begitu baiklah!" Lalu beliau berdoa kepada Allah, tidak beberapa lama kemudian mereka pun terlepas.
Ada pula seorang dari Thaif, namanya Kandah bin Asad. Dia terkenal kuat dan perkasa. Dia datang dari Thaif ke Mekah, menyatakan kepada kaum Quraisy bahwa bersedia membunuh Muhammad, asal dapat upah yang patut. Permintaannya itu dikabulkan oleh kaum Quraisy dan kepadanya disediakan upah besar. Maka diintipnyalah Rasulullah yang akan pergi shalat ke Masjidil Haram pagi-pagi di tengah jalan di antara Rul'ah si dengan si Uqaal. Hendak membawa semacam pelating atau ketapel (umban tali), yang kalau kena tepat pada kepala, kepala bisa pecah. Seketika kelihatan olehnya Rasulullah saw, dicobanyalah mengayunkan umban tali (mizraaq) yang di tangannya itu. Tetapi ajaib! Seketika dia memulai memutar-mutarkan umban tali yang berisi batu berat itu, sebelum terlepas keluar, dadanya sendirilah yang ditumbuknya, sehingga si Kandah terpelanting jatuh. Hampir dia mati karena umban talinya sudah jadi bumerang mengenai dirinya sendiri.
Akhirnya dengan kesakitan dia pun bangkit dan terus lari, meninggalkan tempat itu dan datang kembali ke tempat kaum Quraisy. Lalu mereka bertanya, “Apa kabar?" Kandah menjawab, “Cobalah lihat olehmu, tidakkah kamu menampak beberapa ekor unta besar mengejar di belakangku, sampai aku lari terbirit-birit kemari?" Orang-orang itu menjawab, “Kami tidak melihat apa-apa!"
“Celakalah kalian, aku melihatnya, seram sekali!" jawabnya.
Setelah itu tidak ditunggunya lama lagi, si Kandah pun lari dan lari terus, sampai kembali ke Thaif. Sampai di kampungnya dia diejek orang, dikatakan pengecut, besar mulut. Dia menjawab, “Saya tidak menyalahkan kamu! Sebab kamu belum mengalami yang aku alami!"
Hal-hal begini banyak bertemu selama Rasulullah saw, berada di Mekah.
Setelah beliau hijrah pun berturut-turut kita telah melihat bagaimana Allah melindungi dia dari marabahaya manusia. Orang telah ber-mufakat hendak membunuh dia pada malam dia hijrah itu. Seratus unta disediakan Quraisy bagi barangsiapa yang berhasil membunuhnya, sehingga rumahnya telah dikepung malam hari dan akan diserbu sedang dia tidur. Tetapi di saat yang amat penting di tengah malam, kira-kira di antara pukul 1 dan pukul 2, semua yang mengepung itu mengantuk dan tertidur. Di waktu itulah beliau keluar rumah dengan selamat, dan tempat dia tidur digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mereka terbangun pagi-pagi, mereka dapati yang tidur di tempat tidurnya bukan dia, melainkan Ali bin Abi Thalib. Karena bukan Ali yang dicari, maka Ali tidak dibunuh.
Beliau bersembunyi ke dalam gua di puncak Gunung Tsur. Setelah beliau dan Abu Bakar masuk ke dalam gua itu, seekor laba-laba membuat sarangnya di pintu gua, sehingga ketika para pengejar hendak memeriksa gua, mereka mengundurkan diri saja, karena mereka lihat jaring laba tidak putus, tandanya belum ada orang yang masuk ke dalamnya. Padahal kalau pengejar-pengejar itu menekurkan kepala saja sedikit, akan kelihatanlah orang yang bersembunyi di dalam. Sedang kaki orang-orang yang mencari itu kelihatan oleh beliau dan Abu Bakar dari tempat mereka bersembunyi.
Setelah tiga hari tiga malam sembunyi di dalam gua itu, dalam perjalanan ke Madinah, dia dikejar oleh Suraqah bin Malik, yang sangat mengharap dapat upah dari Quraisy kalau dapat membunuh beliau. Dia kejar Nabi dengan kudanya, tetapi setelah dekat kepada Nabi dan Abu Bakar yang berjalan lambat, tiap dia mencoba hendak mengangkat senjata, kaki kudanya terbenam masuk pasir. Setelah dialaminya itu sampai tiga kali, lalu dengan tenang dia mendekati Nabi dan meminta maaf, serta memohon supaya dia didoakan. Rasulullah saw, mengabulkan permohonannya, dia beliau doakan. Ketika dia akan pulang ke Mekah, ditawarkan makanan dan bekal beliau berdua di jalan. Tawarannya itu ditolak Nabi dengan baik dan beliau minta saja kepadanya supaya dia jangan turut campur pula dalam pekerjaan mengejar-ngejar beliau sebagai orang Quraisy itu. Suraqah berjanji bahwa dia tidak akan campur lagi dalam perbuatan itu.
Sampai di Madinah, orang Yahudi Bani Nadhir telah mencoba hendak menjatuhi beliau dengan lesung batu dari atas sutuh rumah, tetapi beliau selamat dari maksud jahat mereka itu. Dan setelah selesai beliau menaklukkan benteng Khaibar, seorang perempuan Yahudi telah memberikan kaki kambing beracun yang sudah dipanggang untuk beliau. Itu pun beliau selamat. Dalam Perang Uhud beliau sampai luka karena tempat beliau telah dikepung musuh. Beliau mendapat luka-luka dari serbuan itu, tetapi luka-luka itu tidak sampai memengaruhi keteguhan hati beliau memimpin umat, sampai beberapa tahun di belakang.
Menurut riwayat Ibnu Jarir, bahwa dalam satu perjalanan berperang menghadapi musuh, beliau berteduh melepaskan lelah di waktu Zhuhur di bawah sebuah pohon kayu yang rindang, dan beliau pun tertidur. Sedang pengawal pengawal beliau terlengah, datang seorang Badwi pihak musuh menyelusup ke tempat beliau istirahat itu, lalu diambilnya pedang beliau yang tersangkut di dahan kayu itu, lalu dikaiskannya Rasulullah dengan kaki-nya, sehingga terbangun. Disentaknya pedang Nabi itu lalu diancamnya Rasulullah ﷺ dengan bertanya, “Siapa yang akan dapat menghalangiku sekarang jika engkau aku bunuh?" Dengan serta-merta Rasulullah menjawab, “Allah!" Mendengar jawaban itu, tiba-tiba gemetarlah tangan Badwi tersebut dan terlepas pedang dari tangannya.
Menurut satu riwayat, setelah pedang itu jatuh, lalu dipungut oleh Rasulullah, sebab pedangnya sendiri. Sekarang beliau pula yang mengacungkan pedangkepada Badwi itu seraya bertanya pula, “Siapa yang akan menghalangiku kalau aku bunuh engkau sekarang?" Dengan menyerahkan diri Badwi itu menjawab, “Tidak ada yang akan melindungiku!" Lalu orang itu dibebaskan oleh Rasulullah dan disuruh pergi. Satu riwayat pula mengatakan, bahwa lantaran kebesaran maaf Nabi kepadanya itu, dia pun masuk Islam.
Satu riwayat lagi, dari Ibnu Jarir, demi karena sangat takut agaknya, atau menyesal dia empaskan kepalanya kepada pohon kayu itu sampai pecah dan dia mati. Mungkin kejadian ini dua kali.
Dalam riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dari Jabir bin Abdillah, bahwa dalam Peperangan Dzatir beliau pernah berteduh berlepas lelah di sebuah kebun kurma. Sedang beliau duduk di dekat sebuah sumur sambil mengunjurkan kakinya, datanglah seorang musuh, bernama al-Warits dari Bani Najjar. Dia bertekad bulat hendak membunuh Nabi dengan pedang Nabi sendiri. Lalu kawan-kawannya bertanya, “Bagaimana caranya engkau hendak membunuhnyar Dia menjawab, “Akan aku pinjam pedangnya, setelah pedang itu ada pada tanganku, terus sekali aku tetak dia!" Setelah berkata demikian, dia pun datang mendekati Rasulullah, lalu dipinjamnya pedang beliau, katanya hendak menciumnya dan mematut-matut pedang itu. Pedang itu diserahkan Nabi kepadanya dengan tidak merasa syak wasangka sedikit pun. Tetapi sesampai dalam tangannya, tangan itu gemetar dan pedang itu terjatuh, sebelum sempat diangkatnya.
Lalu dengan tenang Rasulullah ﷺ berkata, “Rupanya Allah telah menghalangi maksud jahatmu!"
Sungguhpun demikian, jaminan perlindungan yang diberikan Allah kepada diri beliau, namun orang yang mencintai beliau masih tetap mengadakan pengawalan atas diri beliau. Sehingga menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim dan Abu Syekh yang mereka terima dari Mujahid, tatkala di Mekah pun pamannya Abi Thalib telah memerintahkan orang mengawai beliau. Bahkan dalam pertemuan Rasulullah dengan kaum Anshar dari Madinah yang 73 orang banyaknya, dua di antaranya perempuan yang mengawal beliau ketika itu ialah pamannya Abbas sendiri. Dan menurut riwayat dari Imam Ahmad, dari Aisyah, pernah seorang sahabatnya bernama Sa'ad bin Malik mengawal beliau semalam-malaman, sampai beliau tertidur dengan nyenyaknya.
Hadits-hadits dan riwayat ini menunjukkan bahwasanya meskipun Allah telah memberikan jaminan pengawalan dan perlin
dungan atas diri beliau, sehingga selamat dari marabahaya, namun mereka tidaklah lengah dari menjaga Nabi, sebab di samping perlindungan Allah, hendaklah ada pula ikhtiar manusia.
Penutup ayat,
“Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang kafir."
Ujung ayat ini memberi peringatan kepada orang yang beriman, bahwasanya segala rencana orang kafir, yang tidak mau menerima kebenaran itu tidaklah akan berhasil. Allah tidak akan memberi mereka petunjuk, sebab sejak semula mereka telah menempuh jalan yang salah. Maka segala siasat mereka, baik menghalangi dan menghambat rencana Rasulullah, maupun usaha hendak mengganggu diri beliau sendiri tidaklah akan berhasil. Kebenaran ajaran Allah cepat ataupun lambat pasti akan jelas juga.
Dalam ayat ini kita menampak betapa beratnya tugas seorang Rasul, demikian juga tugas orang yang hendak menyambung usaha Rasul. Kebenaran mesti disampaikan, tidak boleh takut dan gentar. Tidak boleh diterangkan separuh dan disembunyikan separuh, walaupun akan membawa akibat kebencian manusia atas diri. Allah tetap menjamin keselamatan orang yang berjuang menegakkan kebenaran Allah. Kalau tidak celaka, kata Allah, tidaklah akan celaka. Kalau belum ajal berpantang mati.
Dengan ini pula kita mendapat kenyataan bahwasanya Rasul ﷺ tidaklah mempunyai dua kaji, yang disebut kaji nyata dan kaji tersembunyi, kaji lahir dan kaji batin. Ada yang disampaikan dan ada yang tidak. Ada yang dinyatakan kepada orang-orang banyak dan ada pula yang hanya bisik-bisikan kepada sahabat-sahabat tertentu, dan tidak diberitahukan kepada orang lain. Sebagaimana yang didakwakan oleh setengah ahli Thariqat, yang mengatakan bahwa thariqatnya itu diterima dari ahli syekh, dan syekh itu menerima dari syekhnya pula, sampai kepada seorang sahabat Nabi, misalnya Sayyidina Aii atau Salman al-Farisi, yang diterima mereka dengan rahasia dari Rasulullah ﷺ
Ada orang mengambil alasan dari hadits yang dirawikan oleh Abu Hurairah r.a., bahwa dia (Abu Hurairah) pernah mengatakan bahwa dia mendengar dari Rasulullah ﷺ beberapa perkataan, tetapi Abu Hurairah sendiri tidak berani membukanya kepada orang lain sebab mesti dirahasiakan. Setelah diselidiki hadits shahih, yang dirawikan oleh ahli-ahli hadits kenamaan dengan sanad yang baik. Tetapi maksudnya bukanlah bahwa Abu Hurairah ada menyimpan ilmu kebatinan yang diterima dengan bisik-bisik, tetapi Abu Hurairah menerima berita dari Rasulullah ﷺ bahwa sepeninggal beliau wafat kelak, akan timbal fitnah dan huru-hara besar. Mungkin nama-nama orang yang akan mengacau itu ada diterangkan Rasulullah kepada Abu Hurairah, tetapi Abu Hurairah takut menyebut nama itu sebab ketika itu orang-orangnya masih hidup. Bahkan Abu Hurairah pernah berdoa, “Biarlah kiranya nyawaku dicabut Allah, sebelum aku menyaksikan kanak-kanak menjadi penguasa negeri atau menjadi amir!"
Rupanya doanya dikabulkan Allah sehingga dia meninggal pada tahun 57 Hijriyah, naiklah Yazid bin Mu'awiyah menggantikan ayahnya Mu'awiyah bin Abu Sufyan menjadi Khalifah. Setelah zaman Yazid terjadilah kekacauan-kekacauan besar, penyerbuan ke Mekah, penyerbuan ke Madinah, sehingga beribu orang sahabat Rasulullah ﷺ yang mati terbunuh, dan pembunuhan kepada Husain bin Ali di Padang Karbala. Dengan ini teranglah untuk umatnya, cuma perhitungan beliau dalam perkembangan politik setelah beliau wafat kelak disampaikannya kepada Abu Hurairah, dan oleh Abu Hurairah sendiri beberapa hal dirahasiakannya karena takut jiwanya sendiri terancam. Dan dengan ini
pula maka teranglah apa yang dimaksudkan oleh sabda Rasulullah ﷺ bahwa beliau telah meninggalkan ajaran agama yang lengkap tidak ada yang tersembunyi.
“Malamnya serupa dengan siangnya.
Ayat 68
“Katakanlah, wahai Ahlul Kitab, tidaklah kamu atas sebuah juga, sehingga kamu menegakkan Taurat dan Injil, dan apa yang diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu."
Artinya, bahwa segala pengakuan dan pendakwaan yang kamu kemukakan, wahai Ahlul Kitab, tidaklah ada artinya sama sekali, sebelum kamu benar-benar berpegang kepada dasar semula, yaitu Taurat dan Injil itu sendiri, demikian pun kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi yang lain yang telah terdahulu itu. Sebab pada pokoknya, isi kitab Taurat itu tidaklah bersalahan dengan pokok ajaran Al-Qur'an, sebab agama itu pada hakikatnya hanya satu. Sebab itu tegakkanlah Taurat dan Injil itu betul-betul jangan diselewengkan. Artinya menurut kemauan saja, hidupkanlah syari'atnya dan patuhilah hukumnya, dan hentikan apa yang dilarangnya. Karena menegakkan Taurat dan Injil, artinya menjunjung tinggi dengan kesadaran.
Meskipun banyak terdapat tahrif tambahan kata, perubahan yang disengaja atau tak disengaja, namun hukum yang pokok masih tetap utuh, dan menegakkan hukum itu, misalnya seruan kegagahan sebagai dalam Taurat atau cinta-kasih sebagai ajaran al-Masih, akan dapatlah mereka hidup dengan orang Islam, meskipun mereka tidak mau memeluk Islam. Tetapi kalau maksud Taurat atau Injil itu telah diselewengkan atau ketentuan yang telah berpengaruh dari pokok ajaran nabi-nabi itu sendiri, bukanlah agama yang tegak, melainkan hawa nafsu.
Ayat ini pun berisi anjuran supaya mereka menerima kembali, menyaring dan menyisihkan mana kata tambahan kemudian dan mana yang asli, lalu adakan kritik yang sehat, sebab hal ini pun telah dilakukan oleh sarjana-sarjana mereka sendiri, yang sudi melepaskan din daripada fanatik golongan dan ajaran turun-temurun, maka banyaklah mereka yang telah mengaku bahwasanya Taurat yang asli tidak ada lagi. Bahkan bagi orang Kristen sendiri, diakui bahwa keempat kitab Injil itu, adalah karangan dan susunan orang lain, sedang Injil al-Masih sendiri tidak ada bertemu.
Mereka tidak mau percaya kepada Al-Qur'an, mereka tetap kafir dan membantah. Tetapi mereka tidak pula dapat memungkiri, bahwa Taurat yang asli tidak ada lagi sekarang, dan orang Nasrani pun mengakui pula bahwa catatan Injil itu terlalu banyak, sehingga di antara yang satu dengan yang lain berbeda, lalu kemudian mereka putuskan saja bahwa empat Injil karangan Matius, Markus, Lukas, dan Yohannes sajalah yang disahkan. Padahal kalau diselidiki dengan saksama, cerita-cerita yang di antara satu sama lain tidak sama. Lantaran itu ayat ini menyerukan, kalau kamu wahai Ahlul Kitab tidak jua mau menerima kebenaran Al-Qur'an, cobalah tegakkan ajaran asli Taurat dan Injil. Sedang menegakkan Taurat dan Injil itu pun mereka tidak sanggup. Mereka telah terpaksa membuat suatu agama yang telah jauh dari pangkalan Taurat dan Injil yang asli.
Ayat ini sekali lagi menunjukkan betapa luasnya dan lapang dada (toleransi) Islam terhadap Ahlul Kitab. Kalau mereka tegakkan betul-betul ajaran asli Taurat dan Injil, niscaya mereka tidak akan membuat bohong, dan orang Kristen di zaman kejayaan Katolik tidaklah akan sampai membuat panitia Enquisisi memaksa orang menganut kepercayaan mereka, dan kalau tidak suka menganutnya orang itu akan dibunuh, disiksa, dihina, dicabut lidah, dikorek mata, digergaji badan, dan sebagainya. Dan kalau mereka tegakkan benar-benar hukum Taurat dan Injil, tidaklah akan terjadi serakah dan loba tamak orang Yahudi yang terkenal di seluruh dunia itu.
Demikian juga orang Kristen, tidaklah akan terjadi pemberontakan bangsa Eropa di zaman Renaisanse kepada kekuasaan gereja, kalau memang gereja menyebarkan cinta-kasih, bukan menyebarkan benci dan kekejaman. Ketahuilah bahwasanya kekejaman gereja di zaman tengah, yang di Eropa di waktu itu dinamai Zaman Gelap dan itulah di zaman modern kita ini ditiru diteladan oleh kaum komunis.
“Dan apa yang diturunkan Allah kepada engkau itu, bagi kebanyakan mereka hanyalah menambah kedurhakaan dan kekafiran jua."
Beginilah terjemahan yang kita ambil dari lanjutan ayat supaya dapat dipahamkan susun katanya menurut jalan bahasa Indonesia. Kalau diterjemahkan secara harfiyah begini bunyinya, “Dan sesungguhnya akan sangat menambahlah kebanyakan dari mereka apa yang diturunkan kepada engkau dari Allah engkau, kedurhakaan dan kekafiran."
Tegasnya, karena hawa nafsu mereka telah lebih memengaruhi cara mereka berpikir, apa pun kebenaran yang dibawa oleh AL-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ tidaklah akan menambah mereka dekat melainkan menambah mereka durhaka, menentang dan menolak mentah-mentah. Mereka telah menutup hati terlebih dahulu sehingga satu kebenaran pun tidak akan masuk. Demikian juga sampai kepada zaman kita sekarang ini. Meskipun Muhammad ﷺ telah memberikan uluran tangan, agar mereka menegakkan Taurat dan Injil supaya dapat bekerjasama menegakkan kebenaran dalam dunia ini, namun seruan itu akan tetap mereka tentang, mereka durhakai dan mereka tolak. Sebab yang mereka nilai bukan lagi kebenaran, tetapi kedaulatan cara
pemuka agama yang tidak boleh dibantah. Dan sampai kepada zaman kita sekarang ini sikap menentang mereka masih tetap ada dan lebih ngeri. Dengan kekuasaan yang ada pada golongan mereka, selalu mereka berusaha hendak mengganjakkan umat Islam daripada agamanya, dengan mengadakan Zending dan Misi ke dalam dunia Islam.
Di penutup ayat Allah berfirman,
“Maka janganlah engkau berduka cita tenhadap kaum yang kafir itu."
Muhammad ﷺ telah mengulurkan tangan perdamaian, menyeru mereka, walaupun tidak akan masuk ke dalam agama Islam, supaya mereka tegakkan saja Taurat dan Injil sebenar-benarnya, namun tangan yang diulurkan itu mereka tampar. Rasa damai disambut dengan rasa permusuhan. Sebab itu, Allah Ta'aala memberi ingat kepada Rasul-Nya agar jangan berkecil hati dan berduka cita menyambut sikap yang demikian. Sebab tidak ada satu kekuatan pun yang akan dapat menghalangi perkembangan kebenaran Islam.
Ujung ayat ini dapatlah kita jadikan pegangan di dalam menegakkan toleransi Islam terhadap kaum Yahudi dan Nasrani di segala zaman. Sebagaimana terjadi di negeri kita Indonesia ini. Cukuplah toleransi yang kita berikan kepada mereka, namun selalu perasaan kita disinggung. Dan sebagaimana terjadi akhir-akhir ini, setelah Indonesia merdeka, setelah komunis dapat dihancurkan, mereka berlomba dengan bantuan uang yang tidak terbatas dari luar negeri, mendirikan gereja-gereja di negeri-negeri yang seluruh penduduknya beragama Islam. Mereka tidak mengenal timbang rasa, karena begitulah yang mereka warisi sejak dari zaman nenek moyangnya dahulu kala. Jangan berduka cita dan janganlah berkecil hati melihat sikap yang demikian, tetapi rapatkanlah barisan dan selalulah adakan dakwah kepada kalangan
Islam sendiri supaya mereka memeluk agamanya dengan kesadaran. Jangan Islam asal nama saja. Karena hanya orang-orang yang lemah imanlah yang dapat dipengaruhi oleh pihak Kristen dan Yahudi yang seluruh sikapnya kepada kita adalah permusuhan belaka.
Jangan berduka cita melihat itu dan jangan kehilangan akal. Islam mempunyai toleransi yang begitu besar, karena dia yakin akan kebenaran ajarannya.
TOLERANSI ISLAM
Setelah Allah memberi peringatan kepada Rasul-Nya agar jangan berduka cita melihatkan kesempitan paham pemeluk agama yang lain itu—yang kita umat Muhammad merasakannya sampai sekarang—datanglah lanjutan ayat yang luar biasa menunjukkan berlapang dada.
Ayat 69
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman."
Yang dimaksud dengan orang-orang beriman di sini ialah orang-orang yang telah menyatakan percaya kepada Allah, percaya pula bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah Rasul Allah, dan percaya pula bahwa Al-Qur'an ialah wahyu Ilahi kepada Muhammad untuk menjadi tuntunan bagi kita, “Dan orang-orang Yahudi," yaitu umat yang mengaku sebagai pengikut Nabi Musa dan mengakui Taurat sebagai kitab wahyunya, “Dan (begitu juga) orang-orang Shabi'un." Di dalam Al-Qur'an kita bertemu nama-nama Shabi'un ini sampai tiga kali, yaitu pada ayat 62 dari surah al-Baqarah dan ayat 17 dari surah al-Hajj.
Diambil kepada pokok pangkal katanya, yaitu Shabr, berarti bahwa Shabi'un ialah orang-orang yang keluar dari Nasrani, atau sebagai Muslim dia keluar dari agama Islam, lalu membuat agama sendiri. Inilah pula artinya ketika Rasulullah mencela agama nenek moyangnya kaum Quraisy, maka kaum Quraisy menuduh beliau Shabi' dari agama yang dipeluk oleh nenek moyangnya.
Di negeri Irak sampai sekarang ini masih terdapat satu golongan agama yang dipanggilkan orang Shabi'in. Mereka percaya kepada Allah Yang Maha Esa tetapi oleh karena terlalu memperturutkan pikiran sendiri, mereka ti-dak lagi memeluk agama yang telah ada, lalu memeluk atau membuat agama sendiri. Kaum Shabrin di Irak itu dalam beberapa hal mempercayai ajaran Kristen, tetapi mereka pun mempercayai kekuatan bintang-bintang (astronomi), bahwa perjalanan bintang-bintang ada pengaruhnya kepada manusia, sehingga kebanyakan mereka menjadi tukang tenung nasib orang.
Menilik kepada pokok ambilan bahasa ini, maka penulis tafsir ini berpendapat bahwasanya gerakan-gerakan agama yang dicoba orang menyusun di zaman modern ini, seumpama Theosofi yang digerakkan oleh Annie Besart dan Madame Balavatsky di India berapa puluh tahun yang lalu, boleh juga dimasukkan dalam Shabi'in ini. Sebab maksud gerakan Theosofi ialah hendak mempersatukan atau mencari titik-titik pertemuan segaia agama yang ada, lalu Hikmat Ketuhanan. Mulanya mereka tidak bermaksud hendak membuat agama baru, melainkan hendak mempertemukan inti sari segala agama, memperdalam rasa keruhanian, tetapi akhirnya mereka tinggalkanlah segala agama yang pernah mereka peluk dan tekun dalam Theosofi.
Pada pendapat saya, meskipun di dalam tafsir-tafsir lama tidak bertemu pendapat seperti ini. Theosofi adalah semacam Shabi'in juga Sultan Jalaluddin Mohammad Akbar. Sultan Mongol Islam yang Agung di Hindustan yang terkenal itu pun mencoba pula mencari titik-titik pertemuan agama, lalu membangun agama baru, dinamai Diri llahy (agama Allah) Maka disuruhnyalah menyalin Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Persia, dan dipasangnya Api Suci Iran dalam Istana di Agra dan beliau suruh menghormati sapi dan meninggalkan memakan dagingnya dan beliau bertekun ibadah di dalam bulan puasa. Dan ini pun semacam Shabi'in.
“Dan Nashara,"yaitu pengikut-pengikut Isa al-Masih yang karena kelahiran beliau dengan ajaib dan karena mukjizat-mukjizat beliau yang luar biasa, setelah dia meninggalkan dunia, dia dianggap sebagai Allah, tegasnya yang Allah itu adalah dia. Dan dalam kitab mereka yang bernama Kisah Segala Rasul Fasal 11: 26 diakui bahwa sebutan mereka sebagai orang Kristen barulah terdengar setelah murid-muridnya menyebarkan ajaran Isa al-Masih, menurut tafsiran mereka di Anthiochia.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat dan dia pan mengamalkan yang saleh," yaitu apabila pemeluk segala agama dan adanya hari Kiamat, yaitu hidup yang kedua kali, lalu imannya itu diikutinya dengan perbuatan-perbuatan yang baik, “Maka tidaklah ada ketakutan atas mereka." Artinya tidaklah mereka akan ditimpa oleh rasa takut dan cemas dari mendengarkan tentang berita-berita adzab siksaan yang kelak akan diterima di hari Kiamat oleh orang-orang yang ingkar, tidak percaya, dan kufur kepada perintah-perintah Allah,
“Dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Artinya, tidaklah mereka akan ditimpa oleh rasa duka cita jika keuntungan yang ada pada hidup di dunia ini tidak dicapainya, tidaklah dia akan berduka cita kalau orang lain kaya raya dengan harta benda, sedang dia sendiri miskin dan papa, dan tidaklah dia akan berduka cita jika orang lain mencapai kemegahan, kedudukan atau pangkat, sedang dia sendiri tidak mendapat bagian dari itu. Sebab dia telah mendapat suka cita batin lantaran iman yang ada dalam dadanya.
Maka timbullah pertanyaan, “Mengapa yang mula disebutkan ialah orang-orang yang beriman? Kemudian disebutkan pula, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian?" Jawabnya ialah bahwa orang-orang yang beriman yang disebut sebagai orang pertama tadi ialah segala orang yang telah mengakui dirinya Islam. Sebab apabila seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, terhitunglah dia seorang Muslim. Dalam hal yang demikian masih sama sajalah martabatnya dengan Yahudi, Shabi'in, dan Nashara.
Penafsir Abus-Su'ud menulis dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman tadi itu ialah semata-mata orang yang telah mengakui memeluk Islam, baik yang ikhlas maupun yang munafik sekalipun. Dan yang dimaksud dengan, “Barangsiapa yang beriman," kemudian itu, ialah iman yang semata-mata ikhlas, ataupun dengan memba-ruinya kembali dan menimbulkannya, sebagaimana keadaan orang-orang Islam yang masih munafik atau sekalian golongan. Dan faedah yang terkandung di dalam menyamaratakan bagi orang-orang yang ikhlas ialah untuk lebih menarik perhatian orang yang tetap dalam iman. Dengan menerangkan bahwa mengemudiankan dan menyebut sekali lagi sifat iman, tidak akan mengurangi martabat mereka sebagai contoh untuk orang-orang yang terdahulu dan dikenal itu, melainkan menambah teguhnya.
Ar-Razi menerangkan pula dalam tafsirnya, tadi Allah telah menyatakan bahwa Ahlul Kitab itu tidak punya pegangan sebuah jua pun, sebelum mereka menegakkan betul-betul Taurat dan Injil, artinya sebelum mereka memegang iman yang betul-betul. Sekarang Allah memperjelas lagi supaya hukum ini berlaku buat semua. Buat Yahudi, Nasrani, Shabi'in, dan orang-orang Islam yang mengaku beriman pun. Semua pengakuan itu tidak ada artinya, tidak ada faedahnya dan tidak akan membawa hasil apa-apa kalau tidak beriman kepada Allah dan hari Akhirat dan diikuti sebagai buktinya dengan amalan yang saleh. Karena manusia itu mempunyai dua kekuatan; yaitu kekuatan pandangan pikiran dan kekuatan amaliyah (kekuatan teori dan kekuataan praktik penulis) Timbullah kekuataan tinjauan pikiran tidak akan tercapai kalau tidak mau merenungkan kebenaran. Dan kekuatan amaliyah (praktik) tidak pula akan tercapai, kalau orang tidak bersunguh-sungguh bekerja.
Dan puncak yang mahaagung daripada ma'rifat pengenalan pikiran itu ialah mengenal ujud yang paling mulia, yaitu Allah ﷻ lebih sempurna ma'rifat kepada Allah itu kalau kita telah sampai kepada keyakinan bahwa Allah itu Mahakuasa menghidupkan, dan mematikan, dan membangkitkan kita kembali di hari Akhir. Sebab itu tidak syak lagi bahwa puncak iman ialah iman kepada Allah dan iman kepada adanya Hari Kemudian.
Adapun puncak amal perbuatan ada dua pula. Pertama selalu beramal yang memperbesar rasa perhambaan kepada yang disembah, yaitu Allah tadi.
Kedua berusaha memperbanyak perbuatan yang memberi manfaat kepada sesama makhluk. Kemudian itu Allah memberi kepastian bahwa barangsiapa menegakkan iman ini dan mengikutinya dengan amal, maka dia akan menghadapi hidup sekarang dan hidup yang akan datang dengan tidak ada rasa takut, cemas dan gentar, dan tidak ada rasa duka cita dan sedih hati.
Kata ar-Razi seterusnya, “Faedah menonjolkan kedua kata itu, yaitu takut dan duka cita, ialah karena ketakutan tumbuh karena mengenangkan zaman yang akan datang. Dan rasa duka cita timbul ialah karena mengenangkan zaman-zaman yang telah lampau."
Sekian kita kutipkan dari ar-Razi.
Lalu timbul pertanyaan, “Adakah agaknya orang yang terlepas dari kecemasan dan rasa takut memikirkan hari Kiamat? Padahal selain Nabi dan Rasul tidak ada yang maksum?"
Jawabnya ialah bahwa ayat ini menunjukkan jalan untuk kian lama kian menghindari rasa takut itu. Pertama dengan syarat, yaitu amal saleh. Dan seseorang tidak akan dapat menegakkan amal yang saleh, melainkan serentak berusaha pula menjauhi sekalian perbuatan maksiat. Kedua, kalau rasa takut masih ada juga, maka takut yang demikian tidak usah dicemaskan. Sebab dengan adanya rasa takut dalam diri seorang yang Mukmin, bertambah kuatlah dia beramal yang saleh dan bertambah berusahalah dia mendekati Allah.
Inilah salah satu ayat yang mengandung toleransi besar dalam Islam, Terdapatlah di sini bahwa Islam membuka dada yang lapang bagi sekalian orangyang ingin mendekati Allah dengan penuh iman dan amal saleh. Bahkan orang-orang yang telah mengaku beriman sendiri, orang-orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan iman, haruslah turut membuktikan imannya itu dengan amal yang saleh. Maka sebelum iman dibuktikan, yaitu memperdalam kesadaran akan adanya Allah dan beramal yang membawa faedah bagi sesama manusia, masih sama sajalah kedudukan di antara pemeluk segala agama, yang agamanya itu baru sebagai mereka dan cap saja. Maka apabila iman kepada Allah dan amal jasa kepada sesama manusia dengan sendirinya tegaklah agama yang sejati, tidak ada lagi rasa kebencian dan dendam, dan terbukalah hati menerima wahyu yang dibawa oleh sekalian Nabi, sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Dalam suasana yang demikian, maka iman pengikutan, Yahudi keturunan, Shabi'in turut-turutan dan Kristen karena dogma, akan segera sirna, dan timbullah kesatuan dan persatuan seluruh manusia dalam satu agama, yaitu agama yang benar-benar menyerah diri kepada Allah, itulah Islam.