Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
dan wanita-wanita yang ditalak
يَتَرَبَّصۡنَ
hendaklah mereka menahan
بِأَنفُسِهِنَّ
dengan diri mereka
ثَلَٰثَةَ
tiga kali
قُرُوٓءٖۚ
suci (dari haid)
وَلَا
dan tidak
يَحِلُّ
halal/boleh
لَهُنَّ
bagi mereka
أَن
bahwa
يَكۡتُمۡنَ
mereka menyembunyikan
مَا
apa
خَلَقَ
menjadikan
ٱللَّهُ
Allah
فِيٓ
didalam
أَرۡحَامِهِنَّ
rahim mereka
إِن
jika
كُنَّ
mereka adalah
يُؤۡمِنَّ
mereka beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِۚ
akhirat
وَبُعُولَتُهُنَّ
dan suami-suami mereka
أَحَقُّ
lebih berhak
بِرَدِّهِنَّ
kembali/merujuki mereka
فِي
pada
ذَٰلِكَ
demikian
إِنۡ
jika
أَرَادُوٓاْ
mereka (suami) menghendaki
إِصۡلَٰحٗاۚ
ishlah/kebaikan
وَلَهُنَّ
dan bagi mereka
مِثۡلُ
seperti
ٱلَّذِي
yang
عَلَيۡهِنَّ
atas mereka
بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
dengan cara yang baik
وَلِلرِّجَالِ
dan para lelaki/suami
عَلَيۡهِنَّ
atas mereka
دَرَجَةٞۗ
derajat/satu tingkat kelebihan
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَزِيزٌ
Maha Perkasa
حَكِيمٌ
Maha Bijaksana
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
dan wanita-wanita yang ditalak
يَتَرَبَّصۡنَ
hendaklah mereka menahan
بِأَنفُسِهِنَّ
dengan diri mereka
ثَلَٰثَةَ
tiga kali
قُرُوٓءٖۚ
suci (dari haid)
وَلَا
dan tidak
يَحِلُّ
halal/boleh
لَهُنَّ
bagi mereka
أَن
bahwa
يَكۡتُمۡنَ
mereka menyembunyikan
مَا
apa
خَلَقَ
menjadikan
ٱللَّهُ
Allah
فِيٓ
didalam
أَرۡحَامِهِنَّ
rahim mereka
إِن
jika
كُنَّ
mereka adalah
يُؤۡمِنَّ
mereka beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِۚ
akhirat
وَبُعُولَتُهُنَّ
dan suami-suami mereka
أَحَقُّ
lebih berhak
بِرَدِّهِنَّ
kembali/merujuki mereka
فِي
pada
ذَٰلِكَ
demikian
إِنۡ
jika
أَرَادُوٓاْ
mereka (suami) menghendaki
إِصۡلَٰحٗاۚ
ishlah/kebaikan
وَلَهُنَّ
dan bagi mereka
مِثۡلُ
seperti
ٱلَّذِي
yang
عَلَيۡهِنَّ
atas mereka
بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
dengan cara yang baik
وَلِلرِّجَالِ
dan para lelaki/suami
عَلَيۡهِنَّ
atas mereka
دَرَجَةٞۗ
derajat/satu tingkat kelebihan
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَزِيزٌ
Maha Perkasa
حَكِيمٌ
Maha Bijaksana
Terjemahan
Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau haid). Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu) atau menahan (diri mereka) dari kawin (selama tiga kali quru') yang dihitung dari mulainya dijatuhkan talak. Dan quru' adalah jamak dari qar-un dengan mematahkan qaf, mengenai hal ini ada dua pendapat, ada yang mengatakannya suci dan ada pula yang mengatakannya haid. Ini mengenai wanita-wanita yang telah dicampuri. Adapun mengenai yang belum dicampuri, maka tidak ada idahnya berdasarkan firman Allah, "Maka mereka itu tidak mempunyai idah bagimu. Juga bukan lagi wanita-wanita yang terhenti haidnya atau anak-anak yang masih di bawah umur, karena bagi mereka idahnya selama tiga bulan. Mengenai wanita-wanita hamil, maka idahnya adalah sampai mereka melahirkan kandungannya sebagaimana tercantum dalam surah At-Thalaq, sedangkan wanita-wanita budak, sebagaimana menurut hadis, idah mereka adalah dua kali quru' (Dan mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah pada rahim-rahim mereka) berupa anak atau darah haid, (jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suami mereka) (lebih berhak untuk merujuk mereka) sekalipun mereka tidak mau dirujuk (di saat demikian), artinya di saat menunggu itu (jika mereka menghendaki perbaikan) sesama mereka dan bukan untuk menyusahkan istri. Ini merupakan dorongan bagi orang yang berniat mengadakan perbaikan dan bukan merupakan syarat diperbolehkannya rujuk. Ini mengenai talak raj`i dan memang tidak ada orang yang lebih utama daripada suami, karena sewaktu masih dalam idah, tidak ada hak bagi orang lain untuk mengawini istrinya. (Dan para wanita mempunyai) dari para suaminya (hak-hak yang seimbang) dengan hak-hak para suami (yang dibebankan kepada mereka) (secara makruf) menurut syariat, baik dalam pergaulan sehari-hari, meninggalkan hal-hal yang akan mencelakakan istri dan lain sebagainya. (Akan tetapi pihak suami mempunyai satu tingkat kelebihan) tentang hak, misalnya tentang keharusan ditaati disebabkan maskawin dan belanja yang mereka keluarkan dari kantong mereka. (Dan Allah Maha Tangguh) dalam kerajaan-Nya, (lagi Maha Bijaksana) dalam rencana-Nya terhadap hak-hak-Nya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 228
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan di atas istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat 228
Allah memerintahkan kepada wanita-wanita yang diceraikan dan telah dicampuri, sedangkan mereka mempunyai masa quru', hendaklah mereka menunggu selama tiga kali quru'. Yakni salah seorang dari mereka yang dicerai oleh suaminya melakukan idahnya selama tiga kali quru', kemudian kawin jika dikehendaki.
Para imam yang empat mengecualikan keumuman makna ayat ini berkenaan dengan budak wanita apabila diceraikan. Maka sesungguhnya dia melakukan idahnya hanya selama dua kali quru', mengingat segala sesuatunya adalah separuh dari wanita yang merdeka; sedangkan quru' tidak dapat dipecahkan, maka digenapkanlah baginya dua kali quru'. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi Al-Madani, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Bilangan talak budak perempuan adalah dua kali talak, dan idahnya adalah dua kali haid.”
Hadits diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah, tetapi Muzahir ini berpredikat dha’if. Al-Hafidzh Ad-Daruqutni, begitu pula yang lainnya, mengatakan bahwa yang benar ialah hadits ini merupakan ucapan Al-Qasim ibnu Muhammad sendiri. Tetapi Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Atiyyah Al-Aufi, dari Ibnu Umar secara marfu. Imam Daruqutni mengatakan bahwa yang benar adalah apa yang diriwayatkan oleh Salim dan Nafi', dari Ibnu Umar adalah perkataan Ibnu Umar sendiri (yakni mauquf, bukan marfu'). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Umar ibnul Khattab.
Para ulama mengatakan, belum pernah diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat mengenai masalah ini. Sebagian ulama Salaf mengatakan, bahkan idah budak perempuan itu sama dengan wanita merdeka, mengingat keumuman makna ayat di atas (Al-Baqarah: 228). Mengingat masalah ini merupakan hal yang bersifat pembawaan, maka tidak ada perbedaan antara wanita yang merdeka dan budak wanita. Pendapat ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr dari Muhammad ibnu Sirin dan sebagian penganut mazhab Zahiri, tetapi Abu Umar menilainya dha’if.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Ayyasy), dari Amr ibnu Muhajir, dari ayahnya, bahwa Asma (anak perempuan Yazid ibnus Sakan Al-Ansariyah) telah menceritakan hadits berikut: Ia pernah diceraikan di masa Rasulullah ﷺ, sedangkan saat itu masih belum ada idah bagi wanita yang diceraikan. Maka Allah menurunkan firman-Nya-ketika Asma ditalak, yakni firman yang menerangkan tentang idah wanita yang diceraikan. Dengan demikian, Asma merupakan wanita pertama yang diturunkan berkenaan dengannya masalah idah wanita yang diceraikan. Yang dimaksud adalah firman-Nya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (Al-Baqarah: 228) Hadits ini gharib bila ditinjau dari segi (jalur) ini.
Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat tentang makna yang dimaksud dari istilah quru'. Apakah makna yang sebenarnya? Ada dua pendapat mengenainya, yaitu: Pendapat pertama. Yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci.
Imam Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta'-nya, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika memasuki darah haid-nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya). Ketika hal tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengatakan bahwa Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah ulama yang membantah; mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya: “Tiga kali quru'.” (Al-Baqarah: 228) Maka Aisyah berkata, "Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apa yang dimaksud dengan quru’. Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci."
Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai seorang pun dari kalangan ahli fiqih kami melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru' adalah masa suci)." Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah.
Imam Malik meriwayatkan pula dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya, lalu si istri memasuki masa haidnya yang ketiga, berarti dia telah terlepas dari suaminya dan suaminya terlepas darinya." Selanjutnya Imam Malik mengatakan, "Memang demikianlah yang berlaku di kalangan kami." Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Zaid ibnu Sabit, Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman, Aban ibnu Usman, ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, Qatadah, dan Az-Zuhri serta tujuh orang ahli fiqih lainnya.
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang, serta Daud dan Abu Tsaur. Pendapat ini sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman-Nya: “Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (mengalami) idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1) Yakni di masa sucinya. Juga karena mengingat masa suci waktu si suami menjatuhkan talak padanya terhitung, maka hal ini menunjukkan bahwa masa suci merupakan salah satu quru' yang tiga yang diperintahkan bagi si istri untuk menjalaninya.
Karena itulah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang ada dalam idahnya, masa idahnya habis dan terpisah dari suaminya bila ia memasuki masa haidnya yang ketiga. Batas minimal masa yang di jalani oleh seorang istri hingga masa idahnya habis ialah tiga puluh dua hari dan dua lahzah. Abu Ubaidah dan lain-lainnya mengatakan demikian dengan berpegang kepada perkataan seorang penyair, yaitu Al-A'sya: “Setiap tahun kamu selalu menggeluti perang, sekalipun jauh, tekad dan semangatmu tetap menyala, banyak harta benda (ganimah) yang kamu peroleh, dan kamu dari keturunan yang terhormat, sekalipun tersia-siakan di dalamnya masa suci istri-istrimu.” Penyair memuji seorang Amir Arab yang lebih senang memilih berperang daripada tinggal di rumah, hingga terlewatkanlah masa-masa suci istri-istrinya; ia tidak menyetubuhi mereka di masa-masa tersebut.
Pendapat kedua. Yang dimaksud dengan quru' ialah masa haid. Karena itu, menurut pendapat ini seorang istri masih belum habis masa idahnya sebelum bersuci dari haid yang ketiga kalinya. Ulama lainnya menambahkan harus mandi terlebih dahulu dari haidnya. Batas minimal waktu yang di jalani oleh seorang wanita hingga sampai habis masa idahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu lahzah.
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah yang menceritakan, "Kami pernah berada di hadapan Khalifah Umar ibnu Khattab Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata kepadanya, 'Sesungguhnya suamiku telah menceraikan aku selama sekali atau dua kali haid. Lalu ia datang kepadaku, sedangkan aku telah melepaskan bajuku dan pintuku telah kututup.' Maka Umar berkata kepada Abdullah ibnu Mas'ud, 'Menurut pendapatku, dia telah menjadi istrinya, hanya shalat masih belum dihalalkan baginya.' Ibnu Mas'ud berkata, 'Aku pun berpendapat demikian'."
Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Ubadah ibnus Samit, Anas ibnu Malik, Ibnu Mas'ud, Mu'az, Ubay ibnu Ka'b, Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim, Mujahid, ‘Atha’, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Asy-Sya'bi, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Suddi, Makhul, Adh-Dhahhak, dan ‘Atha’ Al-Khurrasani. Mereka semua mengatakan bahwa quru' artinya haid.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang paling shahih di antara kedua riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan, "Para pembesar sahabat Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa quru' artinya haid." Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Ats-Tsauri, Al-Auza'i, ibnu Abu Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnul Mugirah, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda kepadanya: “Tinggalkanlah shalat dalam hari-hari quru'-mu (haidmu).” Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru' artinya haid, maka hal ini lebih shahih, tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim sebagai perawi yang majhul (tak dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal quru' di dalam percakapan orang-orang Arab menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan suatu hal yang telah menjadi kebiasaan kedatangannya, lagi dalam waktu yang telah dimaklumi, juga kepada kepergian sesuatu hal yang biasa kepergiannya dalam waktu yang telah dimaklumi. Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang bersekutu antara haid dan suci. Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul. Menurut Al-Asmu'i, quru' artinya waktu. Abu Amr ibnul Ala mengatakan bahwa orang-orang Arab menamakan haid dengan sebutan quru', begitu pula masa suci. Dengan kata lain, haid dan suci dinamakan quru'. Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang dimaksud dengan quru' ialah haid dan suci; dan sesungguhnya mereka hanya berselisih pendapat tentang makna yang dimaksud dari ayat ini, yaitu terdiri atas dua pendapat.
Firman Allah ﷻ: “Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” (Al-Baqarah: 228) Yakni kandungan atau masa haidnya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Adh-Dhahhak serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang.
Firman Allah ﷻ: ”Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (Al-Baqarah: 228) Ayat ini mengandung makna ancaman yang ditujukan kepada mereka jika mereka menentang kebenaran.
Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatunya dalam masalah ini dikembalikan kepada pihak wanita, karena hal ini tidak dapat diketahui kecuali dari pihak mereka sendiri; dan sulit untuk menegakkan bayyinah (bukti) pada kebanyakannya untuk membuktikan hal tersebut. Karena itu, segala sesuatu dikembalikan kepada mereka. Lalu mereka diancam oleh ayat ini agar jangan sekali-kali mereka memberitahukan kecuali hanya kebenaran belaka, mengingat adakalanya pihak wanita mau mempercepat masa idahnya atau berkeinginan memperpanjang masa idahnya karena ada maksud-maksud tertentu. Karena itulah seorang istri diperintahkan agar menceritakan hal yang sebenarnya dalam hal ini tanpa menambah-nambahi atau mengurangi.
Firman Allah ﷻ: “Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah.” (Al-Baqarah: 228)
Maksudnya, suami yang menceraikannya lebih berhak untuk merujukinya selagi ia masih berada dalam idahnya, jika tujuan rujuk itu adalah untuk perdamaian dan kebaikan. Hal ini berlaku bagi wanita-wanita yang ditalak raj'i. Adapun bagi wanita-wanita yang diceraikan secara bain, maka di saat turunnya ayat ini belum ada yang namanya talak bain. Talak bain baru ada setelah dibatasi sampai tiga kali. Adapun di saat ayat ini diturunkan, maka seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya sebanyak seratus kali.
Ketika mereka dibatasi oleh ayat sesudahnya hanya tiga kali talak, maka baru muncul di kalangan orang-orang ada wanita yang ditalak bain dan yang bukan talak bain (talak raj'i). Apabila Anda renungkan masalah ini, maka tampak jelas bagi Anda kelemahan metode yang ditempuh oleh sebagian ulama Usul, yaitu mereka yang menyimpulkan dalil dari ayat ini tentang masalah kembalinya damir yang ada padanya. Dengan kata lain, apakah damir tersebut men-takhsis (mengkhususkan) pengertian lafal umum yang sebelumnya ataukah tidak? Karena sesungguhnya tamsil yang ada pada ayat ini bersifat tidak mutlak seperti apa yang mereka sebutkan.
Firman Allah ﷻ: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.” (Al-Baqarah: 228)
Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka seimbang dengan hak yang ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu, hendaklah masing-masing pihak dari keduanya menunaikan apa yang wajib ia tunaikan kepada pihak lain dengan cara yang patut (baik). Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim, dari Jabir, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda dalam haji wada'nya: “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian halalkan farji mereka dengan kalimat Allah. Maka bagi kalian atas mereka hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang lelaki (yang kalian benci) menginjak permadani (rumah) kalian. Dan jika mereka mengizinkan hal tersebut, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan berilah mereka pangan dan sandang dengan baik (patut) .”
Di dalam hadits Bahz ibnu Hakim, dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, apakah hak istri seseorang di antara kami?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Hendaknya kamu memberi makan dia jika kamu makan, memberi pakaian kepadanya jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah, jangan pula berkata-kata buruk serta jangan pula mengisolasinya kecuali di dalam lingkungan rumah.”
Waki' meriwayatkan dari Basyir ibnu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya aku benar-benar suka berhias diri untuk istriku, sebagaimana istriku suka berhias untukku." Ibnu Abbas mengatakan demikian karena Allah ﷻ telah berfirman: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut (baik).” (Al-Baqarah: 228) Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Firman Allah ﷻ: “Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan di atas istrinya.” (Al-Baqarah: 228)
Yakni keutamaan dalam hal pembawaan, akhlak, kedudukan, taat pada perintah, berinfak, mengerjakan semua kepentingan, dan keutamaan di dunia serta akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa: 34)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 228) Yakni Maha Perkasa dalam pembalasan-Nya terhadap orang yang durhaka kepada-Nya dan menentang perintah-Nya, lagi Maha Bijaksana dalam perintah, syariat, dan takdir-Nya.
Setelah menjelaskan masalah perempuan yang ditalak suaminya, berikut ini Allah menjelaskan idah mereka. Dan para istri yang diceraikan bila sudah pernah dicampuri, belum menopause, dan tidak sedang hamil, wajib menahan diri mereka menunggu selama tiga kali quru, yaitu tiga kali suci atau tiga kali haid. Tenggang waktu ini bertujuan selain untuk membuktikan kosong-tidaknya rahim dari janin, juga untuk memberi kesempatan kepada suami menimbang kembali keputusannya. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, baik berupa janin, haid, maupun suci yang dialaminya selama masa idah. Ketentuan di atas akan mereka laksanakan dengan baik jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka berhak menjatuhkan pilihannya untuk kembali kepada istri mereka dalam masa idah itu, jika mereka menghendaki perbaikan hubungan suami-istri yang sedang mengalami keretakan tersebut. Dan mereka, para perempuan, mempunyai hak seimbang yang mereka peroleh dari suaminya dengan kewajibannya yang harus mereka tunaikan menurut cara yang patut sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. 3 yaitu derajat kepemimpinan karena tanggung jawab terhadap keluarganya. Allah Mahaperkasa atas orang-orang yang mendurhakai aturan-aturan yang telah ditetapkan, Mahabijaksana dalam menetapkan aturan dan syariat-NyaTalak yang memungkinkan suami untuk merujuk istrinya itu dua kali. Setelah talak itu jatuh, suami dapat menahan untuk merujuk istrinya dengan baik atau melepaskan dengan menjatuhkan talak yang ketiga kalinya dengan baik tanpa boleh kembali lagi sesudahnya. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka seperti maskawin, hadiah, atau pemberian lainnya, kecuali keduanya khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah karena tidak ada kecocokan. Jika kamu, para wali, khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah dalam berumah tangga, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang harus diberikan oleh istri berupa maskawin yang pernah ia terima dari suaminya sebagai pengganti untuk menebus dirinya. 4 Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggar ketetapan Allah berupa perintah dan laranganNya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan maka mereka itulah orang-orang zalim yang menganiaya diri sendiri. Talak yang masih memungkinkan suami untuk merujuk istrinya hanya dua kali, dan disebut talak raj'i. Suami tidak boleh meminta kembali pemberian yang sudah diberikan kepada istrinya bila telah bercerai. Suami bahkan dianjurkan menambah lagi pemberiannya sebagai mutah untuk menjamin hidup istrinya itu di masa depan.
3
Dalam ayat ini dijelaskan hukum talak sebagai penyempurnaan bagi hukum-hukum yang tersebut pada ayat-ayat sebelumnya. Apabila istri yang mempunyai masa haid, dicerai oleh suaminya, maka hendaklah dia bersabar menunggu tiga kali quru', baru boleh kawin dengan laki-laki yang lain.
Tiga kali quru' ialah tiga kali suci menurut pendapat jumhur ulama ). Ini dinamakan masa idah, yaitu masa harus menunggu. Selama dia masih dalam masa idah, ia tidak boleh menyembunyikan apa yang telah terjadi dalam kandungannya, apakah dia telah hamil ataukah dalam haid kembali. Setiap istri yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, dia harus jujur, mengakui terus terang apa yang telah terjadi dalam rahimnya.
Pada masa jahiliyah, di kalangan istri-istri yang tidak jujur, sering tidak mengatakan bahwa dirinya telah hamil. Setelah idah-nya habis dia kawin lagi dengan laki-laki lain, maka tidak lama sesudah kawin lahir anaknya, terjadilah perselisihan dan pertengkaran antara kedua suami istri. Apabila mantan suami tidak mengakui bahwa itu anaknya, maka teraniayalah bayi yang tidak bersalah itu, disebabkan ibunya tidak jujur ketika masih dalam masa idah. Ada pula terjadi pada masa itu, istri tidak mau berterus terang bahwa idah-nya sudah habis, dia mengatakan masih dalam haid, maksud dia berbohong itu, agar suaminya tetap memberi belanja kepadanya selama dia dalam idah, maka turunlah ayat ini melarang istri yang dicerai menyembunyikan apa yang terjadi dalam rahimnya. Selama perempuan yang ditalak itu masih dalam idah, suami boleh rujuk, itulah yang lebih baik jika niat rujuknya ingin membina kembali rumah tangganya yang baik. Cukuplah waktu idah itu bagi suami untuk berpikir apakah ia akan rujuk kembali (lebih-lebih sudah ada anak) atau akan bercerai.
Tetapi kalau rujuk itu bukan didorong oleh maksud yang baik, yakni hanya untuk membalas dendam, atau untuk menyusahkan dan menyakiti istri, maka perbuatan seperti ini dilarang Allah dan itu perbuatan zalim terhadap perempuan. Talak yang dijatuhkan kepada istri seperti ini, bernama talak raj'i yaitu talak yang masih boleh rujuk sebelum habis masa idah.
Kemudian firman Allah yang mengatakan bahwa perempuan itu mempunyai hak yang seimbang dengan laki-laki dan laki-laki mempunyai kelebihan satu tingkat dari istrinya, adalah menjadi dalil bahwa dalam amal kebajikan mencapai kemajuan dalam segala aspek kehidupan, lebih-lebih dalam lapangan ilmu pengetahuan, perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun demikian hak dan kewajiban itu disesuaikan dengan fitrahnya baik fisik maupun mental. Umpamanya seorang istri mempunyai kewajiban mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak dan memelihara kesehatannya, menjaga kebersihan dan rahasia rumah tangga dan lain-lain. Sedang suami sebagai kepala keluarga bekerja dan berusaha untuk mencari nafkah yang halal guna membelanjai istri dan anak-anak. Dalam keluarga/rumah tangga, suami dan istri adalah mitra sejajar, saling tolong menolong dan bantu membantu dalam mewujudkan rumah tangga sakinah yang diridai Allah ﷻ Perbedaan yang ada adalah untuk saling melengkapi dan kerjasama, bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dalam membina rumah tangga bahagia.
Meskipun nafkah keluarga merupakan kewajiban suami, bukan berarti istri tidak boleh membantu nafkah keluarga, tetapi bila istri mengeluarkan biaya/nafkah rumah tangga, itu hanya sebagai tabarru' bukan sebagai kewajiban. Bila suami jatuh miskin, karena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau sakit yang menjadikan ia tidak bisa memberi nafkah, maka istri berkewajiban membantu biaya rumah tangga, tetapi bila suami sudah berkemampuan memberi nafkah, maka ia wajib mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh istri, kecuali istri tersebut rela tidak diganti, maka nafkah yang telah dikeluarkannya menjadi bantuan suka rela kepada rumah tangga.
Dalam masyarakat, perempuan boleh berlomba dengan laki-laki untuk mencari kemajuan dan berbuat amal kebajikan. Kalau ada orang menuduh, bahwa Islam tidak memberi kemerdekaan asasi kepada perempuan, itu adalah tuduhan yang tidak benar. Islamlah yang mula-mula mengangkat derajat perempuan setinggi-tingginya, sebelum dunia yang maju sekarang ini sanggup berbuat demikian. Sudah sejak 14 abad yang lalu Islam memberikan hak dan kewajiban kepada perempuan dan laki-laki, sedangkan dunia lain pada waktu itu masih dalam gelap gulita. Seorang suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan rumah tangga dengan memberikan biaya rumah tangga yang diperoleh dengan jalan yang halal. Demikian Allah mengatur hubungan suami istri dengan cara-cara yang harmonis untuk mencapai kebahagiaan hidup dalam berumah tangga.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SUMPAH MENJAUHI ISTRI (AL-ILAA')
Karena sudah mulai membicarakan sumpah maka ada pula orang yang bersumpah tidak akan mendekati istrinya sekian lamanya. Sumpah demikian bernama ilaa'. Dia belum datang talak. Orang kampung saya di Minangkabau menyebut laki-laki yang merajuk dari istrinya sekian lama itu ialah mengutil. Mungkin kata elak dan mengelak-elak berasal dari bahasa Arab ilaa ‘ tadi.
Ayat 226
“Dan bagi orang-orang yang bensumpah hendak benjauh dini dari isbti-isbti meneka (hendaklah) menunggu (pating lama) empat bulan."
Kadang kalanya terjadi suasana muram dalam rumah tangga. Si laki-laki marah. Lantaran marahnya itu dia hendak melakukan suatu sikap kepada istrinya itu. Sikap itu ada yang terlarang, ada yang diboleh-bolehkan, tetapi dibenci, tetapi ada pula yang diatur. Yang terlarang ialah dhirar, yaitu tidak pulang-pulang saja kepada istri, tidak memberi nafkah, tetapi tidak pula diceraikan. Hanya hendak menunjukkan kekuasaan saja. Yang diboleh-kan, tetapi dibenci, yaitu segera melafalkan talak, bercerai. Tentang bercerai atau talak ada peraturannya kelak. Yang ketiga ialah marah yang teratur, yang gunanya sekadar memberi nasihat saja, yakni ilaa', yaitu bersumpah “demi Allah, tidak akan pulang-pulang". Diatur di ayat ini ilaa' hanya boleh paling lama empat bulan."Maka, jika mereka kembali (sesudah itu)," yaitu sesudah empat bulan,
“Maka, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Terlebih dahulu setelah selesai empat bulan, hendaklah dibayarkannya kaffarah sumpah mengucil empat bulan itu. Dan, boleh juga, kalau marahnya sudah reda, dia pulang kembali sebelum empat bulan sebab empat bulan adalah paling lama. Bila dia hendak pulang, wajiblah dia membayar kaffarah. Nama-nama kebesaran Tuhan yang menjadi kunci-kunci ayat, sebagai Pengampun, seakan-akan kepada si suami dianjurkan meniru sifat Tuhan itu. Mengapa lama-lama mengucil, sedangkan Tuhan lagi Pengampun, teladanilah itu dan ampunilah istri kamu, hapuskanlah marah dari hatimu. Dengan sifat Tuhan Penyayang, diperingatkan bahwa seyogianyalah si suami memperdalam rasa rahim, cinta sayang terhadap istri. Dengan berpisah empat bulan, kedua belah pihak tentu telah rindu-merindui. Apatah lagi masa empat bulan dipisahkan atau terpisah dari suami, adalah masa yang tersedih bagi seorang perempuan. Kedua pihak dalam masa empat bulan sudah dapat menyelidiki kesalahan masing-masing dan kalau berjumpa kembali, kasih sayang akan lebih mesra.
Ayat 227
“Dan jika mereka berazam hendak menalak maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Mengetahui."
Karena hal ini adalah kemerdekaan pribadi seseorang, Allah tidak akan melarang dia menalak istrinya sesudah dia mengucil selama empat bulan itu. Akan tetapi, Allah Maha Mendengar; Allah dengar walaupun suara hatinya dan Allah lebih mengetahui apa yang terkandung dalam pikirannya ketika dia berazam hendak menalak. Talak yang telah dipikirkan sejak lama bukanlah talak orang marah. Talak demikian jatuh kalau dijatuhkan. Akan tetapi, apa sebab engkau talak dia? Hanya karena sebab yang dicari-cari saja atau memang karena engkau telah pertimbangkan bahwa pergaulan engkau dengan dia tidak bisa dilangsungkan lagi? Apakah karena selisih sudah sangat mendalam? Ibarat patah, ialah patah tebu, tak dapat dipertemukan lagi? Oleh karena Allah mendengar dan mengetahui, berpikirlah dengan baik-baik apabila hari empat bulan telah hampir habis. Di sini timbul masalah khilafiyah di antara ulama fiqih. Kata setengah dari mereka, apabila misalnya bersumpah mengucil satu bulan, rupanya belum satu bulan telah ingin pulang, wajiblah is membayar kajfarah sumpah.
Kalau sudah cukup waktu empat bulan, berhaklah hakim campur tangan menanyainya, akan kembalikah kepada istrinya atau akan cerai?
Kalau dia pulang kembali, selesailah perkara. Dia diampuni, Artinya, tidak usah membayar kaffarah. Akan tetapi, kalau dia tidak mau menceraikan, hakim berhak menerangkan kepadanya bahwa saat itu dia telah bercerai. Sebab, dalam Islam terlarang keras menggantung tidak bertali terhadap istri. Kalau sengajanya hendak menasihati, empat bulan sudah cukup.
TALAK
Ayat 228
“Dan perempuan-perempuan yang ditalak itu hendaklah menahan diri mereka tiga kali bensih."
Inilah yang dinamai iddah talak, yaitu tiga quru', tiga edaran haid dan bersih. Menahan diri Artinya, belum boleh bersuami, lamanya tiga quru', tiga kali suci dari haid. Sengaja kita tidak membawa khilaf ulama dalam hal ini dan kita langsung saja menjelaskan bahwa penahanan diri selama tiga quru' itu untuk menjelaskan bersihnya perempuan itu dari kandungan anak dari suami yang menalaknya itu. Sebab itu, Rasulullah membimbing juga kesopanan menalak istri, yaitu jangan ditalak dia ketika dalam haid. Sayyidina Abdullah bin Umar sampai dicela oleh Rasulullah ﷺ karena dia menalak istri dalam keadaan haid. Ini karena kalau ditalak dalam keadaan haid, terlalu lama dia menunggu iddah, yaitu masa haid dia ditalak, suci pertama, haid kedua, suci kedua, haid ketiga, dan suci ketiga. Akan tetapi, kalau sehabis haid itu baru ditalak dan tidak disetubuhi lebih dahulu, dia hanya menunggu dua kali haid lagi, di suci ketiga dia telah boleh kawin pula, empat bulan telah habis, dengan sendirinya talak telah terjadi sehingga pintu buat dhirar atau menganiaya perempuan tidak terbuka, yang dinamakan menggantung tidak bertali. Menurut paham ini, bila perempuan itu datang kepada hakim nikah bahwa pada hari ini sudah cukup empat bulan suaminya tidak pulang-pulang, berhaklah dia menyatakan bahwa mulai hari itu dia tidak bersuami lagi. Hakim hanya tinggal mensahkan saja, asal cukup bukti memang telah habis empat bulan. Kata setengahnya lagi, jatuhnya talak dengan resmi ialah setelah dinyatakan oleh hakim.
“Dan tidaklah halal bagi mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah di dalam peranakan-peranakan mereka!' Artinya, kalau dia mengandung, wajiblah bagi dia memberitahukan hal itu sehingga nyata bahwa ayah anak yang dalam kandungan itu iaiah suami yang menyatakannya itu."Jika memang mereka beriman kepada Allah dan hari yang akhir" Ini diperingatkan benar agar jangan dibangkitkan dalam Islam kecurangan zaman jahiliyyah, yaitu perempuan sengaja menyembunyikan kandungannya lalu langsung bersuami dan anaknya dengan suami yang menceraikannya itu dipandang sebagai anak dari suaminya yang baru. Maka, kacaulah keturunan, orang mengasuh anak yang bukan anaknya. Ditambah lagi keterangannya oleh setengah ulama, termasuk juga kecurangan menyembunyikan haid yang keluar dari rahimnya, supaya lama iddahnya, supaya nafkah bekas suaminya masih lama diterimanya. Ini adalah perbuatan orang yang tidak beriman.
Kalau ternyata dia hamil, yang mendapat hak pertama sekali atasnya ialah bekas suaminya itu."Sedang suami mereka lebih berhak mengembalikan mereka kepada keadaan yang demikian, jika semuanya hendak mencari damai." Ditekankan dengan frase ingin mencari damai karena memang banyak orang yang keras mempertahankan diri menjadi lunak kembali setelah mengetahui bahwa dia akan menunggu kedatangan anak. Mungkin dia menyesal bercerai, mengingat bekas istrinya itu sedang mengandung anaknya. Dengan kata yang demikianpun dengan halus ditarik tangan orang lain, tangan keluarga ataupun hakim nikah buat berusaha mendamaikan orang ini supaya hidup rukun kembali. Sama-sama menunggu anak yang tercinta. Bukankah tadi dikatakan bahwa istri itu adalah sawah ladang kamu? Tempat kamu menanamkan benih kamu? Sekarang, benih itu akan tumbuh, bukankah lebih baik berdamai, surut sebagai sediakala?
Perhatikanlah di sini mulai bertemu perkataan,
“Jika mereka hendak mencari damai."
Di sini sudah bertemu orang lain, bukan kedua suami-istri saja lagi. Maka, dibukakanlah pintu bagi yang lain, yaitu keluarga-keluarga kedua belah pihak supaya berusaha agar mereka keduanya itu berdamai. Bujuklah mana yang keras di antara mereka supaya lunak hatinya, supaya damai kembali. Ingatlah anak yang dalam kandungan itu. Sebelum dia lahir, hendaknya ayahnya sudah pulang kembali. Jangan sampai setelah melihat dunia, dia tidak melihat wajah ayahnya."Jika mereka ingin mencari damai" Perkataan itu meninggalkan kesan yang dalam pada hati keluarga-keluarga, yang Artinya, ialah, “Hai kaum keluarga! Damaikanlah mereka. Kasihan anak.dalam kandungan."
“Dan bagi mereka (perempuan) adalah (hak) seumpama (kewajiban) yang atas mereka jua dengan patut." Inilah yang amat penting di dalam ayat ini mengenai orang perempuan. Mereka pun mempunyai hak di samping memikul kewajiban, sebagaimana juga orang laki-laki ada hak dan ada kewajiban. Bukanlah orang perempuan itu hanya wajib begini, mesti begitu, misalnya mesti khidmat kepada suami, tidak membantah, dan wajib selalu taat. Akan tetapi, dia juga mempunyai hak buat dihargai, berhak atas hak miliknya sebagaimana berhaknya atas dirinya sendiri. Sekiranya terjadi kekacauan di dalam rumah tangga, tidaklah boleh kepadanya saja ditimpakan kesalahan, tetapi ditilik, apakah di sini si suami juga ada kelalaian memenuhi kewajibannya?
“Dan laki-laki mempunyai derajat atas mereka!' !tu adalah suatu hal yang wajar di dalam rumah tangga yang hendak teguh berdiri.
Meskipun keduanya, laki dan istri, sama berhak dan sama berkewajiban, di dalam rumah tangga, sebagai dasar pertama dalam masyarakat yang besar, yang kepalanya hanya satu, yaitu suami. Sama juga dengan kapal besar tengah berlayar. Juru bantu atau masinis bertanggung jawab penuh dalam putaran mesin-mesin kapal, tetapi tanggung jawab terakhir adalah kepada satu orang jua, yaitu nakhoda kapal. Satu kapal dengan dua nakhoda tidak mungkin. Dan, segala otak yang sehat harus mengakui bahwa tanggung jawab terakhir dalam rumah tangga pastilah suami. Ini karena dia yang lebih mengetahui rahasia kekuatan dan kelemahan, bahaya dari luar dan rintangan yang akan diatasi. Suami-istri yang cerdik akan bermusyawarah dalam hal yang penting-penting di dalam rumah tangga. Tentang perbelanjaan, penambahan dan pengurangan anggaran, akan menerima menantu dan sebagainya, tetapi keputusan terakhir tetap pada suami. Di situlah laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi.
“Dan Allah adalah Mahagagah lagi Bijaksana."
Allah Gagah untuk menghukum seorang suami yang memakai haknya yang berlebih itu dengan sewenang-wenang. Allah akan menghukum orang yang memandang bahwa teman hidupnya itu, perempuan, yang telah diserahkan Allah padanya sebagai amanah, adalah hanya untuk melepaskan nafsunya; bila senang kawini, tidak senang dilempar. Allah Mahagagah pula buat menghukum perempuan yang menuntut lebih daripada hak dan kewajibannya. Yang lupa bahwasanya betapa pun jua, tetapi tenaga perempuan tidaklah serupa dengan tenaga laki-laki di dalam menempuh gelombang hidup. Allah Mahabijaksana untuk menurunkan kebahagiaan kepada rumah tangga yang masing-masing anggotanya menjunjung tinggi kewajiban dan memakai hak masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Ayat 229
“Talak itu hanya dua kati, sesudah itu peganglah dengan sepatutnya atau lepaskan dengan cara yang baik."
Talak artinya lepas atau putus pertalian, habis pergaulan, bercerai, dan berpisah. Talak berarti lepas dari ikatan. Sebab, waktu nikah diadakan akad. Akad itu berarti ikatan, yaitu ijab qabul di antara wali dan mempelai laki-laki. Sebab itu, ada baiknya berpegang tangan di antara si wali dan si mempelai ketika akad itu guna melambangkan janji telah diikat. Dengan talak, berarti ikatan itu telah ditanggalkan atau dilepaskan. Rumah tangga yang didirikan oleh dua orang suami-istri selama ini dengan rukun dan damai, karena suatu hal terpaksa ditanggalkan ikatannya. Yang seperti itu sebaiknya hanya terjadi dua kali. Dengan ayat ini, sudah tegas bahwasanya yang dimaksud ialah si laki-laki mengucapkan lafal talaknya satu kali maka terjadilah cerai satu kali pula. Kemudian, karena kedua belah pihak sama-sama menyesal, mereka pun berkesurutan kembali. Si istri bergaul lagi dengan suaminya.
Ini dinamai rujuk, kalau iddah belum lepas. Kemudian, entah apa sebabnya mereka pun bercerai pula. Cerai yang kedua kali. Maka, di dalam ayat ini Tuhan memberi nasihat, sebaiknya sehingga dua kali itu sajalah bercerai. Sebab, orang-orang yang ada pertimbangan akan mengerti bahwa perceraian yang pertama mungkin karena belum dipikirkan matang. Biasanya kalau terjadi selisih, yang tampak hanya kesalahan saja. Akan tetapi, kalau sudah bercerai, teringatlah kembali kebaikan yang ada di kedua belah pihak. Sebaiknya rujuklah di dalam iddah supaya selesai perkara dan damai timbul kembali. Perceraian beberapa lama ini akan meninggalkan kesan mendalam pada jiwa masing-masing. Maka, kalau terjadi perceraian yang sekali lagi, yaitu cerai yang kedua, berpikirlah keduanya lebih mendalam. Pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah hendaklah menjadi pengajaran. Atau berkembalian dengan baik, secara patut dan tidak akan bercerAl-cerai lagi. Atau habislah sehingga itu, lepaskan dengan sebaik-baiknya. Dua kali bercerai sudahlah menjadi pengalaman bagi kedua belah pihak. Barangkali memang ada pendirian-pendirian masing-masing yang tidak bisa dipertemukan selama-lamanya. Elakkanlah supaya jangan sampai terjadi pula cerai yang ketiga, karena tidak akan dapat dipertemukan lagi. Si perempuan sudah patut menerima suami lain, barangkali dengan dia bisa cocok pergaulan. Si suami pun bisa memilih istri lain yang lebih sesuai perangai.
Dengan kalimat “talak itu hanya dua kali" sudah terang bahwa yang dimaksud ialah berpisah sampai dua kali, bukan mengucapkan lafal talak dalam satu majelis dua kali, apatah lagi tiga kali. Sebab, melafalkan talak dua kali atau tiga kali dalam satu majelis hanya akan menghasilkan pisah satu kali, bukan dua atau tiga kali. Dan, lagi perbuatan demikian sangat dimurkai Rasulullah sebab mengubah-ubah peraturan yang telah ditentukannya. Di zaman Rasulullah dan Sayyidina Abu Bakar, melafalkan talak dua atau tiga kali dalam satu majelis, hanya dihukumkan satu yang jatuh. Baru di zaman Umar dipandang jatuh dua dan jatuh tiga karena kata beliau orang sudah terlalu banyak mempermain-mainkan talak. Ini sebagai hukuman dari beliau. Akan tetapi, ijtihad Sayyidina Umar ini bukanlah suatu hal yang mesti diikut saja, sebab di dalam seratus macam ijtihad Umar, tentu ada juga satu-satu kali yang kurang tepat. Jika karena Umar memutuskan talak dua atau tiga di satu majelis dipandang jatuh dua dan jatuh tiga itu yang lebih benar, niscaya sunnah Rasul dan khalifah beliau yang pertama tidak diakui kebenarannya.
Di dalam kenyataan, kerap kali memang orang menjatuhkan talak dua atau talak tiga sekaligus itu adalah karena sedang sangat marah. Malahan ada orang yang karena marahnya menjatuhkan talak, “Aku talak engkau serumpun bambu!" Maka ulama-ulama fiqih pun berat kepada pertimbangan bahwasanya talak yang dijatuhkan karena sedang marah itu tidaklah jatuh.
Kemudian, karena setengah hakim memutuskan menurut keputusan Umar, talak tiga di satu majelis dipandang benar-benar talak jatuh ketiganya, timbullah sesal dari kedua belah pihak sehingga kemudian dapat akal busuk, yaitu menyewa orang buat mengawini perempuan itu, dengan perjanjian lebih dahulu bahwa sehabis dicampurinya perempuan itu sekali, hendaklah diceraikannya. Maka, dicarilah orang-orang bodoh yang kurang-kurang akalnya, diupah kawin oleh si janda, dan selesai persetubuhan, perempuan itu diceraikannya dan upahnya diterima. Ini yang dinamai dalam hadits “taisul musta'ar" kambing (bandot) pinjaman. Nabi ﷺ telah bersabda,
“Dikutuk Allah orang yang jadi penghalal itu dengan orang yang dihalalkan untuknya." (Hadits shahih)
Pada hadits ini suami sewaan untuk sekali bersetubuh itu bukan disebut suami, melainkan seorang yang dipandang sebagai alat untuk menghalalkan bagi suami pertama tadi untuk rujuk kembali kepada istrinya yang sudah ditalak tiga kali. Dengan perbuatan yang jijik dan cemar ini, orang mencari dalih untuk melepaskan dirinya dari kesulitan yang dibuatnya sendiri. Dia langgar ketentuan dan hikmah Ilahi yang berkenaan dengan pem-bangunan rumah tangga lalu untuk itu mereka menempuh jalan yang dikutuk oleh Allah.
Sebab itu, ayat ini memberikan tuntunan, kalau terpaksa bercerai, cukuplah hingga dua kali. Malahan setelah cerai yang pertama, akan rujuk yang kedua sudahlah patut berpikir. Dan, setelah bergaul kembali, pikir-pikirkan benar terlebih dahulu baru bercerai. Cerai yang kedua hendaknya sehabis-habis pikir. Atau rujuk dan jangan bercerAl-cerai lagi. Atau kalau terpaksa bercerai juga yang kedua, habislah hingga itu. Dan, kalau bercampur kembali janganlah juga yang kedua, habislah hingga itu. Dan, kalau bercampur kembali janganlah bercerai lagi, tahanlah hangat dingini.
“Dan tidaklah halal bagi kamu bahwa kamu ambil dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka." Ini juga berisi pendidikan budi yang mendalam. Alangkah rendahnya budi orang yang ketika hati sedang lekat, istri dibelikan ini dibelikan itu, tetapi setelah cerai diminta kembali atau diambil kembali. Yang sudah diberikan sudahlah menjadi kepunyaannya, janganlah dirisaukan hubungan hati karena mencintai benda, “Kecuali jika keduanya takut bahwa keduanya tidak akan mendirikan batas-batas peraturan" Inilah perceraian yang terjadi karena keduanya sudah sama insaf bahwa pergaulan mereka tidak akan bisa diteruskan lagi. Si perempuan merasa lebih baik bercerai saja, si laki-laki mau asal diganti kerugiannya. Dalam saat seperti ini tangan ketiga sudah boleh campur memasuki untuk mencari penyelesaian. Sebab itu, di sambungan ayat disebut, “Maka, jika kamu takut mereka berdua tidak akan mendirikan peraturan-peraturan Allah maka tidaklah mengapa atas keduanya tentang apa yang ditebuskan si istri dengan dia." Di sini sudah disebut kamu, tidak khusus jadi urusan (mereka) berdua lagi. Kamu di sini pada tingkat pertama ialah keluarga, sedangkan tingkat terakhir ialah hakim. Setelah diselidiki memang terdapat sebab-sebab yang menunjukkan bahwa persuami-istrian orang tidak dapat dilanjutkan lagi, sebab si istri tidak dapat mempertanggungjawabkan lagi bahwa pergaulan ini akan selamat kalau diteruskan, sedangkan si suami mau menceraikan asal kerugiannya diganti. Inilah yang dinamai khulu' atau iwadh dan dinamai juga tebus talak. Maka, perempuan itu boleh menyerahkan barang-barang haknya meskipun hak itu adalah pembelian suaminya untuk dia. Sejak lekat ke badannya memang dialah yang empunya barang-barang itu. Dalam hal ini jelas sekali tentang adanya hak si perempuan, sebagaimana yang disebut pada ayat yang terdahulu tadi.
“Demikianlah peraturan-peraturan Allah maka janganlah kamu langgar akan dia. Dan, barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan Allah, itulah orang-orang yang zalim."
Laki-laki mengambil kembali barang yang diberikan, adalah melanggar peraturan Allah. Perempuan minta cerai dengan tidak ada alasan, adalah melanggar peraturan Allah.
Ayat 230
“Maka, jika dia talak (lagi) akan dia maka tidaklah halal baginya sesudah itu, sehingga dia (perempuan) kawin dengan suami yang lain."
Yang dimaksud di sini ialah orang telah bercerai dua kali tadi, yang telah diberi nasihat oleh ayat di atas supaya dicukupkanlah bercerai sampai dua kali. Rupanya terpaksa juga mereka bercerai, cerai yang ketiga. Kalau sudah terjadi cerai yang ketiga, si suami tidak boleh surut lagi. Selepas iddah perempuan itu, dia sudah boleh kawin dengan laki-laki yang lain pula. Riwayat laki yang pertama sudah habis hingga itu."Maka, jika ditalaknya (pula)" oleh suami yang kedua itu, “Maka, tidaklah mengapa bagi mereka berdua jika mereka berkem-balian, (yaitu) jika keras sangka mereka berdua bahwa mereka berdua akan dapat menegakkan peraturan-peraturan Allah." Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa bercerai dan berkembalian itu ialah jika terjadi perceraian dengan suami yang kedua itu, dengan suami kedua itu pun boleh berkembalian kembali, sebagaimana peraturan dengan suami pertama yang telah bercerai tiga kali itu. Artinya, suami kedua mempunyai hak-hak pula sebagai hak suami pertama tadi, boleh bercerai sampai dua kali atau tiga kali, sehingga perempuan itu bersuami lain pula. Setengah penafsir mengatakan bahwa kalau si perempuan bercerai lagi dengan suami yang kedua itu, suami yang pertama yang telah pernah talak tiga kali, boleh pula mengawininya. Memang keduanya itu bisa terjadi. Bahkan bisa juga terjadi, setelah bercerai dengan suami kedua satu kali dan dia tidak rujuk sebelum habis iddah, datang lagi laki-laki ketiga dan perempuan itu kawin pula dengannya.
“Dan begitulah peraturan-peraturan Allah, dinyatakan-Nya dia, untuk kaum yang (suka) mengetahui."
(ujung ayat 230)