Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
janganlah
تَقۡرَبُواْ
kamu mendekati
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَأَنتُمۡ
dan kalian
سُكَٰرَىٰ
mabuk
حَتَّىٰ
sehingga
تَعۡلَمُواْ
kamu mengetahui/mengerti
مَا
apa
تَقُولُونَ
kamu ucapkan
وَلَا
dan janganlah
جُنُبًا
dalam keadaan junub
إِلَّا
kecuali
عَابِرِي
sekedar
سَبِيلٍ
berlalu
حَتَّىٰ
sehingga
تَغۡتَسِلُواْۚ
kamu mandi
وَإِن
dan jika
كُنتُم
kalian adalah
مَّرۡضَىٰٓ
sakit
أَوۡ
atau
عَلَىٰ
atas/dalam
سَفَرٍ
perjalanan
أَوۡ
atau
جَآءَ
datang
أَحَدٞ
seseorang
مِّنكُم
diantara kamu
مِّنَ
dari
ٱلۡغَآئِطِ
tempat buang air
أَوۡ
atau
لَٰمَسۡتُمُ
kamu menyentuh
ٱلنِّسَآءَ
perempuan
فَلَمۡ
maka/kemudian tidak
تَجِدُواْ
kamu mendapatkan
مَآءٗ
air
فَتَيَمَّمُواْ
maka bertayamumlah kamu
صَعِيدٗا
debu/tanah
طَيِّبٗا
bersih
فَٱمۡسَحُواْ
maka sapulah
بِوُجُوهِكُمۡ
dengan/pada mukamu
وَأَيۡدِيكُمۡۗ
dan tanganmu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَفُوًّا
Maha Pemaaf
غَفُورًا
Maha Pengampun
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
janganlah
تَقۡرَبُواْ
kamu mendekati
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَأَنتُمۡ
dan kalian
سُكَٰرَىٰ
mabuk
حَتَّىٰ
sehingga
تَعۡلَمُواْ
kamu mengetahui/mengerti
مَا
apa
تَقُولُونَ
kamu ucapkan
وَلَا
dan janganlah
جُنُبًا
dalam keadaan junub
إِلَّا
kecuali
عَابِرِي
sekedar
سَبِيلٍ
berlalu
حَتَّىٰ
sehingga
تَغۡتَسِلُواْۚ
kamu mandi
وَإِن
dan jika
كُنتُم
kalian adalah
مَّرۡضَىٰٓ
sakit
أَوۡ
atau
عَلَىٰ
atas/dalam
سَفَرٍ
perjalanan
أَوۡ
atau
جَآءَ
datang
أَحَدٞ
seseorang
مِّنكُم
diantara kamu
مِّنَ
dari
ٱلۡغَآئِطِ
tempat buang air
أَوۡ
atau
لَٰمَسۡتُمُ
kamu menyentuh
ٱلنِّسَآءَ
perempuan
فَلَمۡ
maka/kemudian tidak
تَجِدُواْ
kamu mendapatkan
مَآءٗ
air
فَتَيَمَّمُواْ
maka bertayamumlah kamu
صَعِيدٗا
debu/tanah
طَيِّبٗا
bersih
فَٱمۡسَحُواْ
maka sapulah
بِوُجُوهِكُمۡ
dengan/pada mukamu
وَأَيۡدِيكُمۡۗ
dan tanganmu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَفُوًّا
Maha Pemaaf
غَفُورًا
Maha Pengampun
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub). Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dekati salat) artinya janganlah salat (sedangkan kamu dalam keadaan mabuk) disebabkan minum-minuman keras. Asbabun nuzulnya ialah orang-orang salat berjemaah dalam keadaan mabuk (sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan) artinya sadar dan sehat kembali (dan tidak pula dalam keadaan junub) disebabkan bersetubuh atau keluar mani. Ia manshub disebabkan menjadi hal dan dipakai baik buat tunggal maupun buat jamak (kecuali sekadar melewati jalan) artinya selagi musafir atau dalam perjalanan (hingga kamu mandi lebih dulu) barulah kamu boleh melakukan salat itu. Dikecualikannya musafir boleh melakukan salat itu ialah karena baginya ada hukum lain yang akan dibicarakan nanti. Dan ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah larangan terhadap mendekati tempat-tempat salat atau mesjid, kecuali sekadar melewatinya saja tanpa mendiaminya. (Dan jika kamu sakit) yakni mengidap penyakit yang bertambah parah jika kena air (atau dalam perjalanan) artinya dalam bepergian sedangkan kamu dalam keadaan junub atau berhadas besar (atau seseorang di antaramu datang dari tempat buang air) yakni tempat yang disediakan untuk buang hajat artinya ia berhadas (atau kamu telah menyentuh perempuan) menurut satu qiraat lamastum itu tanpa alif, dan keduanya yaitu baik pakai alif atau tidak, artinya ialah menyentuh yakni meraba dengan tangan. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Umar, juga merupakan pendapat Syafii. Dan dikaitkan dengannya meraba dengan kulit lainnya, sedangkan dari Ibnu Abbas diberitakan bahwa maksudnya ialah jimak atau bersetubuh (kemudian kamu tidak mendapat air) untuk bersuci buat salat yakni setelah berusaha menyelidiki dan mencari. Dan ini tentu mengenai selain orang yang dalam keadaan sakit (maka bertayamumlah kamu) artinya ambillah setelah masuknya waktu salat (tanah yang baik) maksudnya yang suci, lalu pukullah dengan telapak tanganmu dua kali pukulan (maka sapulah muka dan tanganmu) berikut dua sikumu. Mengenai masaha atau menyapu, maka kata-kata itu transitif dengan sendirinya atau dengan memakai huruf. (Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun).
Tafsir Surat An-Nisa': 43
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. Dan jika kalian sakit atau sedang dalam safar (perjalanan) atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci); sapulah muka kalian dan tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Allah ﷻ melarang orang-orang mukmin melakukan shalat dalam keadaan mabuk yang membuat seseorang tidak menyadari apa yang dikatakannya. Dan Allah melarang pula mendekati tempat shalat (yaitu masjid-masjid) bagi orang yang mempunyai jinabah (hadas besar), kecuali jika ia hanya sekadar melewatinya dari suatu pintu ke pintu yang lain tanpa diam di dalamnya. Ketentuan hukum ini terjadi sebelum khamr (miras) diharamkan, seperti yang ditunjukkan oleh hadits yang telah kami ketengahkan dalam tafsir ayat surat Al-Baqarah, yaitu pada firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr (miras) dan judi.” (Al-Baqarah: 219), hingga akhir ayat.
Rasulullah ﷺ membacakannya (sebanyak tiga kali) kepada Umar. Maka Umar berkata, "Ya Allah, jelaskanlah kepada kami masalah khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Ketika ayat ini diturunkan, maka Nabi ﷺ membacakannya kepada Umar. Lalu Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang masalah khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Setelah itu mereka tidak minum khamr dalam waktu-waktu shalat, hingga turun ayat berikut: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90) sampai dengan firman-Nya: “Maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al-Maidah: 91) Maka barulah Umar mengatakan, "Kami berhenti, kami berhenti."
Menurut riwayat Israil, dari Abi lshaq, dari Umar ibnu Syurahbil, dari Umar ibnul Khattab mengenai kisah pengharaman khamr yang di dalamnya antara lain disebutkan: Maka turunlah ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” (An-Nisa: 43); Tersebutlah bahwa juru seru Rasulullah ﷺ (yakni tukang azan) apabila mengiqamahkan shalat menyerukan seruan berikut, yaitu: "Jangan sekali-kali orang yang sedang mabuk mendekati shalat!" Demikianlah lafal hadits menurut riwayat Imam Abu Dawud.
Ibnu Abu Syaibah menuturkan sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Sammak ibnu Harb yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Mus'ab ibnu Sa'd menceritakan hadits berikut dari Sa'd yang mengatakan, "Telah diturunkan empat buah ayat berkenaan dengan kami (orang-orang Ansar). Pada awal mulanya ada seorang lelaki dari kalangan Ansar membuat jamuan makanan, lalu ia mengundang sejumlah orang dari kalangan Muhajirin dan sejumlah orang dari kalangan Ansar untuk menghadirinya. Maka kami makan dan minum hingga kami semua mabuk, kemudian kami saling membangga-banggakan diri. Lalu ada seorang lelaki mengambil rahang unta dan memukulkannya ke hidung Sa'd hingga hidung Sa'd terluka karenanya. Itu terjadi sebelum ada pengharaman khamr. Lalu turunlah firman-Nya: 'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk.' (An-Nisa: 43), hingga akhir ayat."
Hadis yang lengkap ada pada Imam Muslim melalui riwayat Syu'bah. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ahlus Sunan kecuali Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Sammak dengan lafal yang sama.
Penyebab lain berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali ibnu Abu Thalib yang menceritakan, “Abdur Rahman ibnu Auf membuat suatu jamuan makanan buat kami, lalu ia mengundang kami dan memberi kami minuman khamr. Lalu khamr mulai bereaksi di kalangan sebagian dari kami, dan waktu shalat pun tiba. Kemudian mereka mengajukan si Fulan sebagai imam. Maka si Fulan membaca surat Al-Kafirun dengan bacaan seperti berikut, ‘Katakanlah, wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami menyembah apa yang kalian sembah’ (dengan bacaan yang keliru sehingga mengubah artinya secara fatal). Maka Allah menurunkan firman-Nya: ‘Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan’.” (An-Nisa: 43)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkan melalui Abdu ibnu Humaid, dari Abdur Rahman Ad-Dusytuki dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi selanjutnya mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri, dari ‘Atha’ ibnus Said, dari Abu Abdur Rahman, dari Ali bahwa dia (Ali) dan Abdur Rahman serta seorang lelaki lainnya pernah minum khamr, lalu Abdur Rahman shalat menjadi imam mereka dan membaca surat Al-Kafirun, tetapi bacaannya itu ngawur dan keliru. Maka turunlah firman-Nya: “Janganlah kalian shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk.” (An-Nisa: 43)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai melalui hadits As-Sauri dengan lafal yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Ibnu Humaid, dari Jarir, dari ‘Atha’, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami yang menceritakan bahwa Ali bersama sejumlah sahabat pernah diundang ke rumah Abdur Rahman ibnu Auf, lalu mereka makan, dan Abdur Rahman menyajikan khamr kepada mereka, lalu mereka meminumnya. Hal ini terjadi sebelum ada pengharaman khamr. Lalu datanglah waktu shalat, maka mereka mengajukan Ali sebagai imam mereka, dan Ali membacakan kepada mereka surat Al-Kafirun, tetapi bacaannya tidak sebagaimana mestinya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk.” (An-Nisa: 43)
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnul Minhal, telah menceritakan kepada kami Haminad, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Abdur Rahman ibnu Habib (yaitu Abu Abdur Rahman As-Sulami), bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah membuat suatu jamuan makanan dan minuman. Lalu ia mengundang sejumlah sahabat Nabi ﷺ. Kemudian ia shalat Magrib bersama mereka, yang di dalamnya ia membacakan surat Al-Kafirun dengan bacaan seperti berikut, "Katakanlah, 'Wahai orang-orang kafir, aku menyembah yang kalian sembah dan kalian menyembah apa yang aku sembah, dan aku menyembah apa yang kalian sembah; bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami'." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” (An-Nisa: 43)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan kisah ayat ini, bahwa sejumlah kaum lelaki datang dalam keadaan mabuk; hal ini terjadi sebelum khamr diharamkan. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Janganlah kalian shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk.” (An-Nisa: 43), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh Abu Razin dan Mujahid.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa mereka selalu menjauhi mabuk-mabukan di saat hendak menghadapi shalat lima waktu, kemudian hal ini dimansukh dengan pengharaman khamr.
Adh-Dhahhak mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa yang dimaksud bukanlah mabuk karena khamr, melainkan mabuk karena tidur (yakni tertidur lelap sekali). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Tetapi Ibnu Jarir memberikan komentarnya, "Yang benar, makna yang dimaksud adalah mabuk karena khamr." Ibnu Jarir mengatakan bahwa larangan ini tidak ditujukan kepada mabuk yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak dapat memahami khitab (perintah) karena hal ini disamakan hukumnya dengan orang gila. Sesungguhnya larangan ini hanyalah ditujukan kepada mabuk yang orang yang bersangkutan masih dapat memahami taklif (kewajiban). Demikianlah kesimpulan dari komentar Ibnu Jarir. Pendapat ini disebutkan pula tidak hanya oleh seorang dari kalangan ulama Usul Fiqh, yaitu bahwa larangan ini ditujukan kepada orang yang dapat memahami ucapan, bukan orang mabuk yang tidak mengerti apa yang diucapkan kepadanya, karena sesungguhnya pemahaman itu merupakan syarat bagi taklif.
Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ialah sindiran yang mengandung arti larangan terhadap orang yang mabuk berat, mengingat mereka diperintahkan pula untuk melakukan shalat lima waktu di sepanjang malam dan siang hari. Dengan demikian, si pemabuk berat selamanya tidak dapat mengerjakan shalat lima waktu pada waktunya masing-masing. Hal ini sama pengertiannya dengan makna firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102) Ayat ini mengandung makna perintah yang ditujukan kepada mereka agar mereka bersiap-siap mati dalam keadaan memeluk agama Islam dan selalu menetapi ketaatan kepada Allah yang merupakan realisasi dari hal tersebut.
Dan firman-Nya: “Hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” (An-Nisa: 43) Hal ini merupakan pendapat terbaik yang dikatakan sehubungan dengan definisi mabuk, yaitu orang yang bersangkutan tidak mengerti apa yang diucapkannya. Karena orang yang sedang mabuk itu bacaan Al-Qur'annya pasti akan ngawur dan tidak direnungi serta tidak ada kekhusyukan dalam bacaannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Sammad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Apabila seseorang di antara kalian mengantuk, sedangkan ia dalam shalat, hendaklah ia bersalam, lalu tidur hingga ia mengerti (menyadari) apa yang diucapkannya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid, tanpa Imam Muslim. Adapun Imam Muslim, dia meriwayatkannya juga. Imam An-Nasai meriwayatkan melalui hadits Ayyub dengan lafal yang sama, tetapi pada sebagian lafal hadits disebutkan: “karena barangkali ia mengucapkan istigfar, tetapi justru memaki dirinya sendiri.”
Firman Allah ﷻ: “(Jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja hingga kalian mandi.” (An-Nisa: 43)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yasar,dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (jangan pula kalian hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja hingga kalian mandi (junub).” (An-Nisa: 43) Ibnu Abbas mengatakan, "Janganlah kalian memasuki masjid ketika kalian sedang dalam keadaan berjinabah, kecuali orang yang hanya sekadar lewat saja." Dengan kata lain, hanya sekadar lewat saja dan tidak duduk di dalamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Mas'ud, Anas, Abu Ubaidah, Sa'id ibnul Musayyab, Adh-Dhahhak, ‘Atha’, Mujahid, Masruq, Ibrahim An-Nakha'i, Zaid ibnu Aslam, Abu Malik, Amr ibnu Dinar, Al-Hakam ibnu Atabah, Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari, Ibnu Syihab, dan Qatadah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Al-Laits, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib mengenai firman Allah ﷻ: “Dan (jangan pula kalian hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub kecuali sekadar lewat saja.” (An-Nisa: 43); Sesungguhnya banyak kaum laki-laki dari kalangan Ansar pintu rumah-rumah mereka menghadap ke masjid. Apabila mereka mengalami jinabah, sedangkan mereka tidak mempunyai air, maka terpaksalah mereka harus mencari air, dan jalan yang paling dekat menuju tempat air tiada lain harus melalui masjid. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan (jangan pula kalian hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub kecuali sekadar lewat saja.” (An-Nisa: 43)
Kesahihan riwayat Yazid ibnu Abu Habib rahimahullah ini terbukti melalui sebuah hadits di dalam Sahih Bukhari yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tutuplah semua celah (pintu) yang menuju ke masjid, kecuali celah milik Abu Bakar.” Hal ini dikatakan oleh Nabi ﷺ dalam usia senjanya, sebagai pemberitahuan darinya bahwa Abu Bakar kelak akan memegang tampuk khalifah sesudahnya. Jalan menuju masjid kebanyakan hanya dipakai untuk keperluan-keperluan penting yang menyangkut kemaslahatan kaum muslim. Maka Nabi ﷺ memerintahkan agar menutup semua pintu yang menuju masjid, kecuali pintu milik Abu Bakar.
Adapun mengenai riwayat seseorang yang mengatakan bahwa yang tidak ditutup adalah pintu milik Ali, seperti yang disebut di dalam sebagian kitab sunan; hal ini merupakan suatu kekeliruan. Yang benar adalah riwayat yang ditetapkan di dalam kitab Sahih Bukhari tadi. Berangkat dari pengertian ayat ini, banyak kalangan imam yang menarik kesimpulan bahwa orang yang mempunyai jinabah diharamkan berdiam di dalam masjid, tetapi diperbolehkan baginya melewati masjid. Termasuk pula ke dalam pengertian jinabah yaitu wanita yang berhaid dan yang sedang nifas; tetapi ada sebagian ulama yang mengharamkan keduanya melewati masjid karena dikhawatirkan darahnya akan mengotori masjid.
Sebagian ulama mengatakan, jika masing-masing dari keduanya terjamin kebersihannya dan tidak akan mengotori masjid, maka keduanya boleh melewati masjid; tetapi jika tidak terjamin, hukumnya tetap haram, tidak boleh lewat masjid. Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Siti Aisyah yang menceritakan: Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepadaku, "Ambilkanlah kain penutup kepala dari dalam masjid." Maka Aku menjawab, "Sesungguhnya aku sedang berhaid." Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya haidmu bukan pada tanganmu." Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang serupa melalui Abu Hurairah Di dalam hadits ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa wanita yang berhaid boleh lewat di dalam masjid, dan wanita yang bernifas termasuk ke dalam pengertian wanita yang berhaid.
Imam Abu Dawud meriwayatkan melalui hadits Aflat ibnu Khalifah Al-Amiri, dari Jisrah (anak perempuan Dajajah), dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haid, tidak pula bagi orang yang berjinabah.”
Abu Muslim Al-Khattabi mengatakan bahwa jamaah menilai dha’if hadits ini. Mereka mengatakan bahwa Aflat adalah orang yang tidak dikenal. Akan tetapi, Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Abul Khattab Al-Hajri, dari Mahduj Az-Zuhali, dari Jisrah, dari Ummu Salamah, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang sama. Abu Zar'ah Ar-Razi mengatakan bahwa Jisrah mengatakan dari Ummu Salamah. Yang benar adalah Jisrah, dari Siti Aisyah.
Adapun mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Abu Isa At-At-Tirmidzi, dari Salim ibnu Abu Hafsah, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Wahai Ali, tidak halal bagi seseorang yang berjinabah di dalam masjid ini selain aku dan kamu.” Hadis ini dha’if dan tidak kuat, karena sesungguhnya Salim yang disebut dalam sanadnya berpredikat matruk (tak terpakai hadisnya); dan gurunya (yaitu Atiyyah) berpredikat dha’if.
Hadis lain sehubungan dengan makna ayat diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Abdullali ibnu Musa, telah menceritakan kepadaku Ishaq ibnu Abu Laila, dari Al-Minhal, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ali sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (jangan pula kalian hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekadar lewat saja.” (An-Nisa: 43); Seseorang tidak boleh mendekati (mengerjakan) shalat (bila dalam keadaan berjinabah); kecuali jika ia sebagai seorang musafir yang mengalami jinabah, lalu ia tidak menjumpai air, maka ia boleh shalat hingga menjumpai air.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Zur, dari Ali ibnu Abu Thalib, lalu ia mengetengahkannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang serupa telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam salah satu riwayatnya, juga dari Sa'id ibnu Jubair serta Adh-Dhahhak. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadits Waki', dari Abu Laila, dari Abbad ibnu Abdullah atau Zur ibnu Hubaisy, dari Ali, lalu ia mengetengahkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur Al-Aufi dan Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkannya. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula hal yang serupa dari Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Al-Hasan ibnu Muslim, Al-Hakam ibnu Utbah, Zaid ibnu Aslam, dan anaknya (yaitu Abdur Rahman). Diriwayatkan melalui jalur Ibnu Jarir, dari Abdullah ibnu Kasir yang mengatakan, "Kami pernah mendengar hal tersebut berkaitan dengan masalah safar (bepergian).” Pendapat ini didukung oleh adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui hadits Abu Qilabah, dari Umar ibnu Najdan, dari Abu Zar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Debu yang baik (suci) adalah sarana bersuci orang muslim, sekalipun engkau belum menjumpai air selama sepuluh haji (tahun). Dan apabila kamu menjumpai air, maka usapkanlah ke kulitmu, karena hal tersebut lebih baik bagimu.”
Selanjutnya Ibnu Jarir sesudah mengetengahkan kedua pendapat di atas mengatakan bahwa pendapat yang lebih utama sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (jangan pula kalian hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar lewat saja.” (An-Nisa: 43) ialah pendapat yang mengatakan bahwa terkecuali bagi orang-orang yang melewatinya saja. Itu karena Allah ﷻ telah menjelaskan hukum orang musafir bila tidak menemukan air, sedangkan ia dalam keadaan junub. Yaitu yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan jika kalian sakit atau sedang dalam perjalanan (safar).” (An-Nisa: 43), hingga akhir ayat.
Dengan demikian berarti masalahnya telah dimaklumi, bahwa seandainya firman Allah ﷻ: “Dan (jangan pula kalian hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar lewat saja hingga kalian mandi.” (An-Nisa: 43) dimaksudkan adalah orang yang dalam bepergian (musafir), maka tidak perlu diulang lagi penyebutannya pada firman-Nya: “Dan jika kalian sakit atau sedang dalam perjalanan (safar).” (An-Nisa: 43) mengingat dalam firman sebelumnya telah disebutkan.
Dengan demikian, berarti takwil ayat adalah seperti berikut: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati masjid untuk shalat di dalamnya ketika kalian sedang dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan; jangan pula kalian hampiri masjid ketika kalian sedang dalam keadaan junub, hingga kalian mandi, kecuali sekadar lewat saja. 'Abirus sabil artinya orang yang melewati dan menyeberanginya.
Seperti pengertian dalam kalimat "Aku menyeberangi jalan itu" dan "Si Fulan menyeberangi sungai itu", disebutkan dengan akar kata yang sama, yaitu 'abara, 'abran, dan 'uburan. Termasuk ke dalam pengertian kata 'araba ialah dikatakan terhadap unta yang kuat dalam perjalanan jauh dengan sebutan 'abral asfar, mengingat kekuatannya dalam menjelajahi jarak yang sangat jauh. Pendapat inilah yang didukung oleh jumhur ulama, yaitu sesuai dengan makna lahiriah ayat.
Seakan-akan Allah ﷻ melarang melakukan pekerjaan shalat dalam keadaan tidak pantas; bertentangan dengan tujuan dari shalat itu sendiri; melarang pula memasuki tempat shalat dalam keadaan yang tidak layak, yaitu berjinabah; yang jelas bertentangan dengan shalat, juga dengan tempat shalat itu sendiri yang suci.
Firman Allah ﷻ: “Hingga kalian mandi.” (An-Nisa: 43)
Firman ini merupakan dalil bagi mazhab ketiga Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii yang mengatakan bahwa haram bagi orang yang junub diam di dalam masjid, hingga ia mandi atau bertayamum jika tidak ada air, atau tidak mampu menggunakan air karena sesuatu sebab.
Imam Ahmad berpendapat, "Manakala orang yang mempunyai jinabah melakukan wudu, maka ia diperbolehkan tinggal di dalam masjid," karena berdasarkan kepada apa yang diriwayatkannya sendiri dan juga Sa'id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya dengan sanad yang sahih, yang menyebutkan bahwa dahulu para sahabat melakukan hal tersebut.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan di dalam kitab sunannya: “Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ibnu Muhammad (yakni Ad-Darawardi), dari Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yasar yang menceritakan bahwa ia melihat banyak sahabat Rasulullah ﷺ duduk-duduk di dalam masjid sedangkan mereka dalam keadaan junub karena mereka telah melakukan wudu seperti wudu untuk shalat.” Sanad riwayat ini sahih dengan syarat Muslim.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian sakit atau sedang dalam perjalanan (safar) atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci).” (An-Nisa: 43)
Adapun mengenai sakit yang membolehkan seseorang bertayamum adalah sakit yang mengkhawatirkan akan matinya salah satu anggota tubuh, atau sakit bertambah parah, atau sembuhnya bertambah lama jika menggunakan air. Tetapi ada ulama yang membolehkan bertayamum hanya karena alasan sakit saja, berdasarkan keumuman makna ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Qais ibnu Hafs, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: “Dan jika kalian sakit.” (An-Nisa: 43) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar yang sedang sakit, karenanya ia tidak dapat bangkit untuk melakukan wudu, dan ia tidak mempunyai seorang pembantu pun yang menyediakan air wudu untuknya. Lalu ia menanyakan masalah tersebut kepada Nabi ﷺ. Maka Allah menurunkan ayat ini. Hadis ini mursal. Mengenai safar atau bepergian, tidak ada bedanya antara jarak yang jauh dan jarak yang dekat.
Firman Allah ﷻ: “Atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air.” (An-Nisa: 43)
Yang dimaksud dengan al-gait ialah tempat yang tenang, kemudian dipinjam untuk menunjukkan pengertian tempat buang air.
Adapun mengenai firman-Nya: “Atau kalian telah menyentuh perempuan.” (An-Nisa: 43) Ada yang membacanya lamastum, dan ada pula yang membacanya lamastum. Ulama tafsir dan para imam berbeda pendapat mengenai maknanya.
Pertama mengatakan bahwa hal tersebut adalah kata kinayah (sindiran) mengenai persetubuhan, karena berdasarkan firman Allah ﷻ yang lainnya, yaitu:
“Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separuh dari mahar yang telah kalian tentukan itu.” (Al-Baqarah: 237)
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ telah berfirman pula: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya.” (Al-Ahzab: 49)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki", dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Atau kalian telah menyentuh perempuan.” (An-Nisa: 43) bahwa yang dimaksud dengan lamastum dalam ayat ini adalah persetubuhan.
Telah diriwayatkan dari Ali, Ubay ibnu Ka'b, Mujahid, Tawus, Al-Hasan, Ubaid ibnu Umair, Said ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan hal yang serupa.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Humaid ibnu Mas'adah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa mereka membicarakan masalah al-lams, maka sebagian orang dari kalangan bekas-bekas budak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bukan persetubuhan (tetapi persentuhan). Sejumlah orang dari kalangan orang-orang Arab mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah persetubuhan. Sa'id ibnu Jubair melanjutkan kisahnya, "Setelah itu aku menjumpai Ibnu Abbas, dan kukatakan kepadanya bahwa orang-orang dari kalangan Mawali dan orang-orang Arab berselisih pendapat mengenai makna al-lams. Para Mawali mengatakan bahwa hal itu bukan persetubuhan, sedangkan orang-orang Arab mengatakannya persetubuhan." Ibnu Abbas bertanya, "Kalau kamu berasal dari golongan yang mana di antara kedua golongan itu?" Aku menjawab, "Aku berasal dari Mawali." Ibnu Abbas berkata, "Kelompok Mawali kalah, sesungguhnya lams dan mass serta muhasyarah artinya persetubuhan. Allah sengaja mengungkapkannya dengan kata-kata sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya."
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu'bah dengan makna yang serupa. Kemudian ia meriwayatkannya pula melalui jalur lainnya dari Sa'id ibnu Jubair dengan lafal yang serupa.
Hal yang serupa disebutkannya bahwa telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim yang mengatakan bahwa Abu Bisyr pernah berkata, "Telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-lams, al-mass, dan al-mubasyarah artinya persetubuhan, tetapi Allah mengungkapkannya dengan kata sindiran menurut apa yang disukai-Nya."
Telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Bayan, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraq, dari Sufyan, dari Asim Al-Ahwal, dari Bikr ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-imilamasah artinya jimak (bersetubuh); tetapi Allah Maha Mulia, Dia mengungkapkannya dengan kata sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya.
Menurut riwayat yang dinilai sahih, telah disebutkan hal tersebut dari Ibnu Abbas melalui berbagai jalur periwayatan. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari salah seorang yang dikemukakan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa Allah ﷻ bermaksud menggunakan ungkapan tersebut ditujukan kepada setiap orang yang menyentuh dengan tangannya atau dengan anggota lainnya. Diwajibkan pula atas setiap orang yang menyentuhkan salah satu anggota tubuhnya kepada anggota tubuh perempuan secara langsung (tanpa penghalang).
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan selain persetubuhan. Diriwayatkan dari berbagai jalur bersumber dari Ibnu Mas'ud dengan lafal yang serupa. Diriwayatkan melalui hadits Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa ciuman termasuk al-massu, pelakunya diwajibkan berwudu.
Imam Ath-Thabarani meriwayatkan berikut sanadnya, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa seorang lelaki diharuskan berwudu karena melakukan persentuhan dengan perempuan, memegangnya dengan tangan, juga menciumnya. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Mas'ud mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: “Atau kalian telah menyentuh perempuan.” (An-Nisa: 43) Yakni mengedipkan mata.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar, dari Nafi", bahwa Ibnu Umar pernah melakukan wudu karena telah mencium istrinya. Dia berpendapat bahwa perbuatan tersebut mengharuskan seseorang berwudhu. Menurutnya perbuatan tersebut termasuk al-limas.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur Syu'bah, dari Mukhariq, dari Tariq, dari Abdullah yang mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan kecuali bersetubuh. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang serupa dari Ibnu Umar, Ubaidah, Abu Usman An-Nahdi, Abu Ubaidah (yakni ibnu Abdullah ibnu Mas'ud), Amir Asy-Sya'bi, Sabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha'i, dan Zaid ibnu Aslam.
Menurut kami diriwayatkan oleh Imam Malik dari Az-Zuhri, dari Salim ibnu Abdullah ibnu Umar, dari ayahnya, bahwa ia pernah mengatakan, "Ciuman seorang lelaki terhadap istrinya dan memegangnya (meremasnya) dengan tangan termasuk ke dalam pengertian mulamasah. Karena itu, barang siapa yang mencium istrinya atau memegangnya dengan tangan, maka ia harus berwudu." Al-Hafidzh Abdul Hasan Ad-Daruqutni meriwayatkan hal yang serupa di dalam kitab sunannya melalui Umar ibnul Khattab.
Akan tetapi, diriwayatkan kepada kami dari Umar ibnul Khattab melalui jalur yang lain, bahwa ia pernah mencium istrinya, kemudian langsung shalat tanpa wudhu lagi. Riwayat yang bersumber dari Umar berbeda-beda. Karena itu, dapat diinterpretasikan riwayat darinya yang mengatakan wudhu, jika memang sahih bersumber darinya bahwa yang dimaksudkan adalah sunat, bukan wajib. Pendapat yang mengatakan wajib wudhu karena menyentuh perempuan adalah pendapat Imam Syafii dan semua sahabatnya serta Imam Malik, dan menurut riwayat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal.
Orang-orang yang mendukung pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini ada yang membacanya lamastum, ada pula yang membacanya laamastum. Pengertian al-lams menurut istilah syara' ditujukan kepada makna menyentuh atau memegang dengan tangan, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: “Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka.” (Al-An'am: 7) Yakni memegangnya dan menyentuhnya dengan tangan mereka.
Rasulullah ﷺ telah bersabda kepada Ma'iz tatkala ia mengaku berbuat zina, lalu Nabi ﷺ menawarkan kepadanya agar mencabut kembali pengakuannya melalui sabdanya: “Barangkali kamu hanya menciumnya atau memegang-megangnya.”
Di dalam hadits sahih disebutkan: “Zina tangan ialah meraba (wanita lain).”
Siti Aisyah menceritakan hadits berikut, "Jarang sekali kami lewatkan setiap harinya melainkan Rasulullah ﷺ berkeliling mengunjungi kami (para istrinya) semua, lalu beliau mencium dan memegang (kami)."
Termasuk pula ke dalam pengertian ini sebuah hadits yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah ﷺ melarang jual beli mulamasah (yang dipegang berarti dibeli). Pada garis besarnya makna lafal ini berdasarkan kedua penafsiran di atas tetap merujuk kepada pengertian memegang dengan tangan. Mereka mengatakan, "Menurut istilah bahasa, lafal al-lams ditujukan kepada pengertian memegang dengan tangan, sebagaimana ditujukan pula kepada pengertian bersetubuh." Salah seorang penyair mengatakan, "Telapak tanganku berjabatan tangan dengan telapak tangannya untuk meminta kecukupan."
Sehubungan dengan pengertian memegang ini mereka kemukakan pula sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mahdi dan Abu Sa'id; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaidah, dari Abdul Malik ibnu Umair yang mengatakan bahwa Abu Sa'id mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az, bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang menjumpai seorang wanita yang tidak dikenalnya, lalu lelaki itu melakukan segala sesuatu terhadapnya sebagaimana terhadap istrinya sendiri, hanya saja ia tidak menyetubuhinya? Sahabat Mu'az ibnu Jabal melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam.” (Hud: 114), hingga akhir ayat. Mu'az melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah ﷺ bersabda: "Berwudulah, kemudian salatlah!" Mu'az bertanya, "Apakah khusus baginya, wahai Rasulullah; ataukah untuk kaum mukmin secara umum?" Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak, bahkan untuk kaum mukmin secara umum."
Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui hadits Zaidah dengan lafal yang sama, lalu ia mengatakan bahwa sanad hadits ini tidak muttasil. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila secara mursal. Mereka mengatakan bahwa Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya untuk melakukan wudhu, karena dia hanya menyentuh perempuan dan tidak menggaulinya. Tetapi penilaian ini disanggah dengan alasan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat inqita (sanad terputus) antara Abu Laila dan Mu'az, karena sesungguhnya Abu Laila tidak pernah berjumpa dengan Mu'az ibnu Jabal.
Kemudian makna hadits ini dapat pula diinterpretasikan bahwa perintah Nabi ﷺ yang menganjurkannya melakukan wudu dan mengerjakan shalat fardu adalah sama dengan apa yang disebutkan di dalam hadits As-Siddiq (Abu Bakar) yang telah kami sebutkan jauh sebelum ini, yaitu: “Tidak sekali-kali seseorang hamba melakukan suatu dosa lalu ia berwudu dan melakukan shalat dua rakaat, melainkan Allah memberikan ampunan baginya.” hingga akhir hadits. Hadis ini disebutkan di dalam tafsir surat Ali Imran, yaitu pada pembahasan mengenai firman-Nya: “Mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (Ali Imran: 135)
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling benar di antara kedua pendapat tersebut ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya, "Au-lamastumun nisa" ialah persetubuhan, bukan makna lams lainnya. Karena ada sebuah hadits sahih dari Rasulullah ﷺ yang mengatakan bahwa beliau pernah mencium salah seorang istrinya, lalu shalat tanpa wudhu lagi. Lalu Ibnu Jarir mengatakan, hal tersebut diceritakan kepadaku oleh Ismail ibnu Musa As-Suddi yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Al-A'masy, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan: “Rasulullah ﷺ pernah melakukan wudhu, kemudian mencium (salah seorang istrinya), lalu langsung shalat tanpa wudhu lagi."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Habib, dari Urwah, dari Siti Aisyah: “Bahwa Rasulullah ﷺ mencium salah seorang istrinya, kemudian keluar rumah untuk menunaikan shalat tanpa wudu lagi.” Aku (Urwah) berkata, "Dia tiada lain kecuali engkau sendiri." Maka Siti Aisyah tertawa.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah, dari sejumlah guru mereka, dari Waki’ dengan lafal yang sama. Kemudian Imam Abu Dawud mengatakan, telah diriwayatkan dari As-Sauri; ia pernah mengatakan, "Habib tidak pernah menceritakan hadits kepada kami kecuali dari Urwah Al-Muzani." Yahya Al-Qattan mengatakan kepada seorang perawi, "Riwayatkanlah dariku bahwa hadits ini mirip dengan bukan hadits." Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari menilai hadits ini dha’if. Imam At-Tirmidzi mengatakan, "Habib ibnu Abu Sabit belum pernah mendengar hadits dari Urwah."
Disebutkan di dalam hadits riwayat Ibnu Majah bahwa ia menerimanya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, dari Waki', dari Al-Amasy, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah. Lebih jelas lagi hal tersebut ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui hadits Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah.
Hal ini merupakan nas yang menunjukkan bahwa dia adalah Urwah ibnuz Zubair, dan yang menjadi buktinya ialah ucapannya yang mengatakan, "Dia tiada lain kecuali engkau sendiri," lalu Siti Aisyah tertawa. Akan tetapi, Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Ibrahim ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Rauq Al-Hamdani At-Taliqani, dari Abdur Rahman ibnu Magra, dari Al-A'masy yang mengatakan, "Telah menceritakan kepada kami teman-teman kami dari Urwah Al-Muzani, dari Siti Aisyah, lalu ia menuturkan hadits ini."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid, dari Umar ibnu Unais, dari Hisyam ibnu Abbad, telah menceritakan kepada kami Musaddad ibnu Ali, dari Al-Laits, dari ‘Atha’, dari Siti Aisyah. Juga dari Abu Rauq, dari Ibrahim At-Taimi, dari Siti Aisyah yang mengatakan: “Dahulu Nabi ﷺ pernah berkesempatan menciumku sesudah wudhu, kemudian beliau tidak mengulangi wudunya.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki", telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Rauq Al-Hamdani, dari Ibrahim At-Taimi, dari Siti Aisyah yang mengatakan: “Rasulullah ﷺ pernah menciumku, lalu langsung shalat tanpa wudu lagi.”
Imam Abu Dawud dan Imam Kasai meriwayatkannya melalui hadits Yahya Al-Qattan, Imam Abu Dawud menambahkan Ibnu Mahdi yang kedua-duanya dari Sufyan As-Sauri, dengan lafal yang sama. Kemudian Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai mengatakan bahwa Ibrahim At-Taimi belum pernah mendengar dari Siti Aisyah.
Ibnu Jarir mengatakan pula: Telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yazid, dari Sinan, dari Abdur Rahman Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah ﷺ menciumnya sedangkan beliau dalam keadaan puasa, lalu tidak berbuka dan tidak pula melakukan wudu.
Ibnu Jarir mengatakan pula: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Hajyaj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Zainab As-Sahmiyyah, dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ bahwa Nabi ﷺ pernah mencium (salah seorang istrinya), kemudian langsung shalat tanpa wudhu lagi.
Imam Ahmad ibnu Muhammad ibnu Fudail meriwayatkannya dari Hajjaj ibnu Artah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Zainab As-Sahmiyyah, dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang sama.
Firman Allah ﷻ: “Kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci).” (An-Nisa: 43)
Kebanyakan ulama fiqih menyimpulkan hukum ayat ini bahwa seseorang yang tidak menemukan air tidak boleh bertayamum kecuali setelah berupaya terlebih dahulu mencari air. Bilamana ia telah berupaya mencari air dan tidak menemukannya juga, barulah ia boleh melakukan tayamum. Mereka menyebutkan cara-cara mencari air di dalam kitab-kitab fiqih dalam Bab Tayamum.
Mengenai kebolehan bertayamum ini disebut di dalam kitab Sahihain melalui hadits Imran ibnu Husain bahwa Rasulullah ﷺ melihat seorang lelaki menyendiri, tidak ikut shalat bersama kaum yang ada. Maka beliau ﷺ bertanya: “Wahai Fulan, apakah yang mencegahmu hingga kamu tidak shalat bersama kaum, bukankah kamu seorang muslim?” Lelaki itu menjawab, "Wahai Rasulullah, tidak demikian, melainkan karena aku terkena jinabah, sedangkan air tidak ada." Rasulullah ﷺ bersabda: “Pakailah debu olehmu, karena sesungguhnya debu itu cukup bagi (bersuci)mu.”
Karena itulah maka di dalam firman-Nya disebutkan: “Kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci).” (An-Nisa: 43) Istilah tayamum menurut bahasa artinya bertujuan.
Orang-orang Arab mengatakan, "Tayammamakallahu bihifzihi" artinya semoga Allah berkenan memelihara dirimu, yakni bertujuan untuk melindungimu. Termasuk ke dalam pengertian ini perkataan Imru'ul Qais dalam bait-bait syairnya, yaitu: “Ketika kekasihku melihat bahwa maut pasti datang merenggutnya, dan batu-batu kerikil yang berada di bawah telapak kakinya telah penuh dengan darah(nya), maka ia menuju ke mata air yang berada di Darij untuk mencari naungan yang airnya penuh berlimpah.”
As-Sa'id menurut pendapat yang lain adalah segala sesuatu yang muncul di permukaan bumi. Dengan demikian, termasuk pula ke dalam pengertiannya debu, pasir, pepohonan, bebatuan, dan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah menurut pendapat Imam Malik.
Menurut pendapat lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa'id ialah segala sesuatu yang termasuk ke dalam jenis debu, seperti pasir, granit, dan kapur. Demikianlah menurut mazhab Imam Abu Hanifah.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa'id ialah debu saja. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad serta semua murid mereka. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya yang mengatakan: “Hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.” (Al-Kahfi: 40) Yaitu debu yang licin lagi baik. Juga berdasarkan kepada sebuah hadits di dalam Sahih Muslim melalui Huzaifah ibnul Yaman yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Kita diberi keutamaan di atas semua orang (umat) karena tiga hal, yaitu saf-saf kita dijadikan seperti saf-saf para malaikat, bumi dijadikan bagi kita semua sebagai tempat untuk sujud (shalat), dan tanah dijadikan bagi kita suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan air.”
Menurut lafal yang lain disebutkan: “Dan dijadikan debunya bagi kita suci lagi menyucikan bilamana kita tidak menemukan air.” Mereka mengatakan penyebutan debu dalam hadits ini sebagai sarana untuk bersuci merupakan suatu prioritas. Seandainya ada hal lain yang dapat menggantikan fungsinya, niscaya disebutkan bersamanya.
Yang dimaksud dengan istilah tayyib dalam ayat ini ialah yang halal. Menurut pendapat yang lain, yang tidak najis alias suci; sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahli Sunan kecuali Ibnu Majah melalui Abu Qilabah, dari Amr ibnu Najdan, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Debu yang suci merupakan sarana bersuci orang muslim jika ia tidak menemukan air, sekalipun selama sepuluh musim haji (sepuluh tahun). Tetapi apabila ia menemukan air, hendaklah ia menyentuhkan (menggunakan)nya ke kulitnya, karena sesungguhnya hal ini lebih baik baginya.” Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih, dan Imam Ibnu Hibban menilainya sahih.
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab musnadnya telah meriwayatkannya melalui Abu Hurairah dan hadisnya ini dinilai sahih oleh Al-Hafidzh Abul Hasan Al-Qattan.
Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa tanah (debu) yang paling baik ialah yang dari lahan pertanian. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Mardawaih me-rafa'-kannya di dalam kitab tafsirnya.
Firman Allah ﷻ: “Sapulah muka kalian dan tangan kalian.” (An-Nisa: 43)
Tayamum merupakan pengganti wudu dalam pengertian kegunaannya, tetapi bukan berarti merupakan pengganti wudu dalam semua anggotanya, melainkan cukup hanya dengan mengusapkannya pada muka dan kedua tangan saja. Demikianlah menurut kesepakatan semua ulama.
Akan tetapi, para imam berselisih pendapat mengenai cara bertayamum, seperti dalam penjelasan berikut: Menurut mazhab Syafii dalam qaul jadid (pendapat baru)nya, diwajibkan mengusap wajah dan kedua tangan sampai ke batas siku dengan dua kali usapan. Dikatakan demikian karena kata 'kedua tangan' pengertiannya menunjukkan sampai batas kedua pangkal lengan, juga sampai batas kedua siku, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat mengenai wudu.
Adakalanya diucapkan dengan maksud sampai sebatas kedua telapak tangan, seperti yang terdapat di dalam ayat mengenai hukuman mencuri, yaitu firman-Nya: “Maka potonglah tangan keduanya.” (Al-Maidah: 38) Mereka mengatakan bahwa menginterpretasikan kata 'kedua tangan" dalam ayat ini (An-Nisa: 43) dengan pengertian seperti yang ada pada ayat mengenai wudu adalah lebih utama karena adanya kesamaan dalam “Bab Bersuci.”
Salah seorang ulama menuturkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni melalui Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tayamum itu adalah dua kali usapan, satu usapan pada muka dan yang lainnya pada kedua tangan sampai batas kedua siku.”
Akan tetapi, di dalam sanad hadits ini terkandung kelemahan yang membuat hadits kurang kuat untuk dijadikan sebagai dalil.
Imam Abu Dawud meriwayatkan melalui Ibnu Umar dalam sebuah hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ menempelkan telapak tangannya pada tembok, lalu tangannya itu beliau usapkan ke muka. Kemudian beliau tempelkan lagi tangannya (ke tembok), setelah itu ia gunakan untuk mengusap kedua hastanya. Tetapi di dalam sanadnya terdapat Muhammad ibnu Sabit Al-Adbi, sedangkan sebagian huffaz ada yang menilainya dha’if.
Selain Imam Abu Dawud ada yang meriwayatkannya dari beberapa orang yang tsiqah (bisa dipercaya), lalu mereka memauqufkannya hanya sampai pada perbuatan Ibnu Umar. Imam Bukhari, Abu Zar'ah, dan Ibnu Addi mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah yang menilainya sahih. Imam Baihaqi mengatakan bahwa menilai marfu' hadits ini tidak dapat diterima.
Imam Syafii berdalilkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibrahim ibnu Muhammad, dari Abul Huwairis, dari Abdur Rahman ibnu Mu'awiyah, dari Al-A'raj, dari Ibnus Summah, bahwa Rasulullah ﷺ melakukan tayamum, untuk itu beliau mengusap wajah dan kedua hastanya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Sahl Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Kharijah ibnu Mus'ab, dari Abdullah ibnu ‘Atha’, dari Musa ibnu Uqbah, dari Al-A'raj, dari Abu Juhaim yang menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ sedang buang air kecil, lalu aku mengucapkan salam penghormatan kepadanya, tetapi beliau tidak menjawab salamku, hingga beliau selesai dari buang air kecilnya. Kemudian beliau berdiri di dekat tembok, lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan kedua tangannya ke mukanya. Kemudian menempelkan lagi kedua tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan keduanya pada kedua tangannya sampai kedua sikunya. Setelah itu baru beliau menjawab salamku. Pendapat ini mengatakan bahwa yang diwajibkan adalah mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan dua kali usapan (sekali usapan pada masing-masingnya). Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam qaul qadim (pendapat lama)nya.
Pendapat ketiga mengatakan, cukup mengusap muka dan kedua telapak tangan dengan sekali usapan (pada kesemuanya).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Zar, dari Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Khalifah Umar. Lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku terkena jinabah dan aku tidak menemukan air." Khalifah Umar berkata, "Kalau demikian, kamu jangan shalat." Ammar (yang hadir di majelis itu) berkata, "Tidakkah engkau ingat, wahai Amirul Mukminin, ketika aku dan engkau berada dalam suatu pasukan khusus. Lalu kita mengalami jinabah, sedangkan kita tidak menemukan air. Adapun engkau tidak melakukan shalat karenanya, sedangkan aku berguling di tanah (debu), lalu aku shalat. Ketika kita datang kepada Nabi ﷺ, lalu kuceritakan hal tersebut kepadanya. Maka beliau ﷺ bersabda: ‘Sebenarnya cukup bagimu seperti ini.’ Kemudian Nabi ﷺ menempelkan telapak tangannya ke tanah, lalu meniupnya, setelah itu beliau gunakan untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangannya."
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Urwah, dari Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, dari Ammar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Melakukan tayamum adalah dengan sekali usap pada wajah dan kedua telapak tangan.”
Jalur lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, dari Sulaiman Al-A'masy, telah menceritakan kepada kami Syaqiq, bahwa ia pernah duduk bersama Abdullah dan Abu Musa. Lalu Abu Ya'la berkata kepada Abdullah, "Seandainya ada seorang lelaki tidak menemukan air, lalu ia tidak shalat. Bagaimanakah menurut pendapatmu?" Abdullah menjawab, "Tidakkah kamu ingat apa yang dikatakan oleh Ammar kepada Khalifah Umar, yaitu: 'Tidakkah kamu ingat ketika Rasulullah ﷺ mengirimku bersamamu dalam suatu iringan unta, lalu aku mengalami jinabah, dan kemudian aku berguling di tanah. Ketika aku kembali kepada Rasulullah ﷺ, kuceritakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah ﷺ hanya tertawa dan bersabda: ‘Sebenarnya kamu cukup melakukan seperti ini.’ Lalu beliau ﷺ menempelkan kedua telapak tangannya ke tanah, kemudian debunya ia gunakan untuk mengusap kedua telapak tangannya, dan mukanya sekali usap dengan sekali ambilan debu tadi'." Abdullah berkata, "Tidak mengapa selagi kamu melihat Umar menerima hal tersebut." Abu Musa berkata lagi kepadanya, "Jika demikian bagaimanakah dengan ayat yang di dalam surat An-Nisa, yaitu firman-Nya: ‘Kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci)’.” (An-Nisa: 43) Abdullah tidak tahu apa yang harus ia katakan, lalu Abu Musa berkata, "Seandainya kita memberikan kemurahan buat mereka dalam masalah tayamum, niscaya tanpa segan-segan bila seseorang di antara mereka merasa dingin jika kena air, ia langsung melakukan tayamum."
Dalam surat Al-Maidah disebutkan oleh firman-Nya: “Sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah (debu) itu.” (Al-Maidah: 6) Berdasarkan pengertian ayat ini Imam Syafii berpendapat bahwa tayamum diharuskan memakai tanah yang suci dan mengandung debu, hingga ada sebagian dari debu itu yang menempel pada muka dan kedua tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dengan sanad yang telah disebutkan di atas dari Ibnus Summah, bahwa ia pernah berjumpa dengan Nabi ﷺ yang sedang buang air kecil, lalu ia mengucapkan salam kepadanya. Tetapi Nabi ﷺ tidak menjawab salamnya, melainkan beliau langsung menuju ke sebuah tembok dan mengeriknya dengan tongkat yang ada padanya. Setelah itu beliau menempelkan telapak tangannya pada tembok itu, kemudian mengusapkannya pada wajah dan kedua hastanya.
Firman Allah ﷻ: “Allah tidak hendak menyulitkan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Yakni dalam masalah agama yang telah disyariatkan-Nya buat kalian.
“Tetapi Dia hendak membersihkan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Karena itulah maka Allah membolehkan tayamum bila kalian tidak menemukan air, yaitu menggantinya dengan debu. Tayamum merupakan suatu karunia bagi kalian, supaya kalian bersyukur. Untuk itulah maka disebutkan bahwa di antara keistimewaan umat ini ialah disyariatkan-Nya tayamum bagi mereka, sedangkan pada umat lain hal tersebut tidak disyariatkan seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadits Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku dianugerahi lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang (rasul pun) sebelumku, yaitu: Aku diberi pertolongan melalui rasa gentar (yang mencekam hati musuh) dalam jarak perjalanan satu bulan, bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat untuk shalat dan sarana untuk bersuci. Karena itu, barang siapa dari kalangan umatku menjumpai waktu shalat, hendaklah ia shalat.” Menurut lafal yang lain adalah seperti berikut: “karena di dekatnya ada masjid dan sarana bersuci; ganimah dihalalkan bagiku, sedangkan ganimah belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumku; aku diberi izin untuk memberi syafaat; dan dahulu seorang nabi diutus hanya untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia.”
Dalam hadits Huzaifah yang lalu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan: “Kita diberi keutamaan di atas umat lain karena tiga hal, yaitu saf-saf kita dijadikan seperti saf-saf para malaikat; bumi dijadikan bagi kita sebagai tempat shalat dan tanahnya suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan air.”
Allah ﷻ dalam surat ini (An-Nisa) berfirman: “Sapulah muka kalian dan tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa: 43) Dengan kata lain, termasuk pemaafan dari Allah kepada kalian dan ampunan-Nya bagi kalian ialah disyariatkan-Nya tayamum bagi kalian, dan membolehkan kalian mengerjakan shalat dengan tayamum bila kalian tidak menemukan air, sebagai kemudahan dan keringanan buat kalian.
Di dalam ayat ini terkandung pula makna yang menunjukkan bahwa demi mensucikan shalat maka tidak boleh mengerjakannya dengan keadaan yang tidak baik, misalnya dalam keadaan mabuk, hingga seseorang mengerti dan memahami apa yang diucapkannya. Tidak boleh pula mengerjakannya dalam keadaan mempunyai janabah, hingga mandi; atau berhadas, hingga berwudhu; kecuali jika orang yang bersangkutan dalam keadaan sakit atau tidak ada air, maka Allah memberikan keringanan dengan membolehkan tayamum sebagai rahmat dari Allah buat hamba-hamba-Nya, kasih sayang Allah kepada mereka, dan kemurahan bagi mereka.
Latar belakang pen-tasyri'-an (penetapan hukum) tayamum. Sesungguhnya kami sengaja menyebutkan asbabun nuzul pen-tasyri'-an tayamum dalam pembahasan ini karena ayat surat An-Nisa diturunkan lebih dahulu daripada ayat Al-Maidah. Jelasnya ayat ini diturunkan sebelum ada pengharaman masalah khamr (miras). Sesungguhnya khamr hanya baru diharamkan sesudah Perang Uhud dalam jangka waktu yang tidak lama, yaitu di saat Nabi ﷺ mengepung Bani Nadir. Ayat tayamum yang ada di dalam surat Al-Maidah sesungguhnya termasuk wahyu Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan, terlebih lagi bagian permulaannya. Maka sangatlah sesuai bila asbabun nuzul-nya diketengahkan dalam pembahasan ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah , bahwa ia pernah meminjam sebuah kalung dari Asma, lalu kalungnya itu hilang. Maka Rasulullah ﷺ mengirimkan beberapa orang lelaki untuk mencarinya, ternyata mereka berhasil menemukannya. Waktu shalat tiba, sedangkan mereka tidak mempunyai air, maka mereka terpaksa mengerjakannya tanpa wudu. Setelah itu mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ, lalu Allah ﷻ menurunkan ayat tayamum. Usaid ibnu Hudair berkata kepada Siti Aisyah, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Demi Allah, tidak sekali-kali kamu mengalami suatu hal yang tidak kamu sukai, melainkan Allah menjadikan bagimu juga bagi kaum muslim suatu kebaikan dalam hal tersebut”
Jalur yang lain. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Abdur Rahman ibnul Qasim, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang mengatakan, "Kami berangkat bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan. Ketika kami sampai di Al-Baida atau di Zatul Jaisy kalungku putus dan terjatuh. Maka Rasulullah ﷺ berhenti untuk mencarinya. Orang-orang pun berhenti pula bersamanya, sedangkan saat itu mereka bukan di tempat yang ada mata airnya, dan mereka tidak mempunyai air lagi. Orang-orang datang kepada Abu Bakar, lalu berkata, ‘Tidakkah kamu lihat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah. Dia telah menghentikan Rasulullah ﷺ dan semua orang, padahal mereka berhenti bukan di tempat yang ada mata airnya, dan persediaan air mereka telah habis.' Lalu Abu Bakar datang, saat itu Rasulullah ﷺ sedang tidur dengan meletakkan kepalanya di atas pangkuanku. Abu Bakar berkata, 'Engkau telah menahan Rasulullah ﷺ dan orang banyak, sedangkan mereka bukan berada di tempat yang ada mata airnya dan persediaan air mereka telah habis'." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Maka Abu Bakar menegurku dan mengucapkan kata-kata menurut apa yang dikehendaki oleh Allah. Dan ia menggelitik pinggangku, sedangkan aku tidak berani bergerak karena kepala Rasulullah ﷺ berada di atas pahaku sedang tidur). Rasulullah ﷺ bangun pada waktu subuh, sedang saat itu tidak ada air. Maka Allah menurunkan ayat tayamum, lalu mereka semua bertayamum." Usaid ibnu Hudair berkata, "Ini bukan berkah kalian yang pertama, wahai keluarga Abu Bakar." (Selanjutnya Siti Aisyah berkata), "Kemudian aku membenahi unta yang kunaiki, ternyata aku menemukan kalung tersebut berada di bawahnya."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui Qutaibah, dari Ismail. Imam Muslim meriwayatkannya dari Yahya ibnu Yahya, dari Malik. Hadis lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Abu Saleh, Ibnu Syihab mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas, dari Ammar ibnu Yasir, bahwa Rasulullah ﷺ turun istirahat di malam hari di Zatul Jaisy; saat itu Rasulullah ﷺ ditemani oleh Siti Aisyah. Lalu kalung yang dipakai Siti Aisyah yang terbuat dari untaian kuku binatang putus dan terjatuh. Maka orang-orang (yang bersama Rasulullah ﷺ) berhenti mencari kalungnya yang hilang, hingga fajar subuh terbit, sedangkan orang-orang tidak mempunyai bekal air. Maka Allah menurunkan kepada Rasul-Nya wahyu yang berisikan keringanan bersuci memakai debu yang suci. Maka kaum muslim bersama-sama Rasulullah ﷺ menempelkan tangannya masing-masing ke tanah, lalu tangan mereka diangkat tanpa membersihkannya lagi dari debu yang menempel padanya barang sedikit pun, kemudian mereka usapkan langsung ke wajah dan kedua tangan mereka sampai ke batas pundak, dan dari bagian dalam tangan mereka sampai ke ketiak mereka.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib berikut sanadnya sampai kepada Ibnu Abul Yaqzan yang menceritakan, "Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ, lalu kalung milik Siti Aisyah hilang, maka Rasulullah ﷺ terpaksa turun istirahat sampai fajar subuh terbit. Peristiwa ini membuat Abu Bakar marah kepada Siti Aisyah. Maka turunlah kepada Rasulullah rukhsah (keringanan) yang membolehkan bersuci dengan memakai debu yang suci. Setelah itu Abu Bakar masuk menemui Siti Aisyah dan berkata kepadanya, 'Sesungguhnya engkau membawa berkah, telah diturunkan suatu rukhsah karena kamu.' Maka kami mengambil debu dengan telapak tangan kami sekali ambil untuk diusapkan ke wajah kami, dan sekali ambil lagi untuk kami usapkan ke tangan kami sampai batas pundak dan ketiak."
Hadis lain. Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Al-Laits, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Marzuq, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Abu Sariyyah, telah menceritakan kepadaku Al-Haisam, dari Zuraiq Al-Maliki dari kalangan Bani Malik ibnu Ka'b ibnu Sa'd yang hidup selama seratus tujuh belas tahun; ia meriwayatkan hadits ini dari ayahnya, dari Al-Asla' ibnu Syarik yang mengatakan bahwa ia pernah ditugaskan untuk menyiapkan unta kendaraan Rasulullah ﷺ. Di suatu malam yang sangat dingin ia terkena jinabah, tidak lama kemudian Rasulullah ﷺ bermaksud melanjutkan perjalanannya. Dia tidak suka bila menyiapkan kendaraan Rasulullah ﷺ saat dia sedang dalam keadaan mempunyai jinabah, sedangkan ia khawatir mati atau sakit bila mandi dengan memakai air dingin. Lalu ia memerintahkan kepada seorang lelaki dari kalangan Ansar, dan lelaki Ansar itu langsung menyiapkannya. Kemudian aku (Asia') membakar beberapa buah batu yang kugunakan untuk menghangatkan air, lalu aku mandi. Setelah itu aku menyusul rombongan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Wahai Asia', mengapa kurasakan pelana unta yang kamu persiapkan ini menjadi berbeda?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, bukan aku yang mempersiapkannya, melainkan seseorang dari kalangan Ansar." Rasulullah ﷺ bertanya, "Mengapa?" Aku menjawab, "Sesungguhnya aku terkena jinabah dan aku merasa khawatir terhadap cuaca yang sangat dingin ini akan membahayakan diriku, maka aku perintahkan kepada seseorang dari kalangan Ansar untuk mempersiapkannya, sedangkan aku sendiri memanaskan batu-batuan untuk kugunakan menghangatkan air mandiku, lalu aku mandi dengan air itu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” (An-Nisa: 43) sampai dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa: 43)
Hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain yang juga bersumber dari Al-Asla'.
Pada beberapa ayat yang lalu, Al-Qur'an menggambarkan perilaku orang-orang yang sombong dan membanggakan diri serta betapa dahsyat siksa yang akan dijumpai mereka pada hari berbangkit, sampaisampai mereka menginginkan agar disamaratakan saja dengan tanah, sehingga tidak mengalami perhitungan amal sama sekali. Namun hal itu tidak akan terjadi, karena tidak ada seorang pun yang dapat sembunyi dari pengawasan Allah. Oleh sebab itu, ayat ini dan ayat berikutnya menjelaskan bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia agar selamat dari siksaan di hari berbangkit tersebut. Caranya ialah dengan melaksanakan salat dan bagaimana salat itu ditunaikan agar bisa menyelamatkan diri dari siksa di hari berbangkit tersebut. Wahai orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu mendekati tempat salat atau melaksanakan salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, yakni hilang ingatan karena minuman keras. Dirikanlah salat jika kamu sudah sadar apa yang kamu ucapkan, dan juga jangan pula kamu hampiri masjid ketika kamu dalam keadaan junub yang mengharuskan kamu mandi wajib, kecuali hanya sekadar melewati jalan saja, boleh kamu lakukan sebelum kamu mandi junub.
Adapun jika kamu sakit yang dikhawatirkan bila menyentuh air penyakit itu akan bertambah parah atau susah disembuhkan, atau kamu sedang dalam perjalanan yang jaraknya jauh, sekitar 80 km atau lebih, atau sehabis buang air, apakah itu buang air kecil atau buang air besar, atau kamu telah menyentuh perempuan, apakah itu hanya sekadar bersentuh kulit atau berhubungan suami istri, sedangkan kamu pada waktu itu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu, sedengan cara usaplah wajahmu satu kali dan usap pula tanganmu, dengan mempergunakan debu atau tanah itu. Sungguh, Allah itu Maha Pemaaf, Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertobatbagai pengganti wudu, dengan debu, atau tanah dan sejenisnya, yang baik, yakni suci, Tidakkah kamu memperhatikan dengan saksama orang yang telah diberi bagian Kitab Taurat' Mereka membeli kesesatan dan mereka menghendaki agar kamu tersesat menyimpang dari jalan yang benar.
Orang-orang mukmin dilarang mengerjakan salat pada waktu mereka sedang mabuk. Mereka tidak dibolehkan salat sehingga mereka menyadari apa yang dibaca dan apa yang dilakukan dalam salat. Pada waktu keadaan mabuk itu tidak memungkinkan beribadat dengan khusyuk. Ayat ini belum mengharamkan khamar secara tegas, namun telah memperingatkan kaum Muslim akan bahaya minum khamar sebelum diharamkan sama sekali.
Adapun sebab turunnya ayat yang berkenaan dengan tayamum adalah sebagai berikut: Dalam suatu perjalanan Nabi Muhammad saw, Siti Aisyah kehilangan kalungnya, maka beliau beserta sahabat-sahabatnya mencari kalung itu. Di tempat itu tidak ada air dan mereka kehabisan air (sedang waktu salat telah tiba), maka turunlah ayat ini, lalu mereka salat dengan tayamum saja.
Dalam ayat ini orang mukmin dilarang melaksanakan salat pada waktu ia berhadas besar. Larangan ini akan berakhir setelah ia mandi janabah, karena mandi akan membersihkan lahir dan batin. Di antara hikmah mandi, apabila seseorang sedang lesu, lelah dan lemah biasanya akan menjadi segar kembali, setelah ia mandi.
Lazimnya meskipun salat dapat dilakukan di mana saja, salat itu sebaiknya dilakukan di mesjid. Maka orang yang sedang junub dilarang salat, juga dilarang berada di mesjid kecuali sekedar lewat saja kerena ada keperluan. Dalam hal ini ada riwayat yang menerangkan bahwa seorang sahabat Nabi dari golongan Ansar, pintu rumahnya di pinggir mesjid. Pada waktu junub, ia tidak dapat keluar rumah kecuali melewati mesjid, maka ia dibolehkan oleh Rasulullah ﷺ melewatinya dan tidak memerintahkan menutup pintu rumahnya yang ada di pinggir mesjid itu.
Dapat dimaklumi bahwa orang yang salat harus suci dari hadas kecil, yaitu hadas yang timbul oleh misalnya karena buang air kecil atau suci dari hadas besar sesudah bersetubuh. Menyucikan hadas itu adalah dengan wudu atau mandi. Untuk berwudu atau mandi kadang-kadang orang tidak mendapatkan air, atau ia tidak boleh terkena air karena penyakit tertentu, maka baginya dalam keadaan serupa itu diperbolehkan tayamum yaitu mengusap muka dan tangan dengan debu tanah yang suci.
Yang dimaksud dengan au lamastum an-nisaa ialah menyentuh perempuan (yang bukan mahram). Maka menyentuh perempuan mengakibatkan hadas kecil yang dapat dihilangkan dengan wudu atau tayamum. Apabila seseorang buang air kecil atau buang air besar, maka kedua hal itu menyebabkan hadas kecil yang dapat dihilangkan dengan wudu. Setiap orang buang air kecil atau buang air besar diwajibkan menyucikan dirinya dengan membersihkan tempat najis itu (istinja'). Hal itu dapat dilakukan dengan memakai air atau benda-benda suci yang bersih seperti batu, kertas kasar dan lain sebagainya. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "menyentuh perempuan" dalam ayat ini ialah bersetubuh, sedang bersetubuh mengakibatkan hadas besar yang dapat dihilangkan dengan mandi janabah.
Hukum-hukum yang tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah tidak memberati hamba-Nya di luar batas kemampuannya, karena Dia adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SHALAT DENGAN SADAR
Ayat 43
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu dekati shalat, padahal kamu sedang mabuk, sehingga kamu tahu apa yang kamu ucapkan."
Sudah dinyatakan pada ayat 36 bahwasanya orang yang beriman hendaklah beribadah kepada Allah dan jangan mempersekutukan yang lain dengan Dia. Kita pun telah mendapat bimbingan dari Al-Qur'an, pun dari contoh teladan yang diberikan Rasul ﷺ bahwasanya puncak dari ibadah adalah shalat, bahkan di dalam hadits yang shahih pun disebutkan bahwasanya shalat itu ialah tiang agama. Runtuh tiang, runtuhlah segala bangunan. Guna shalat pun telah banyak diterangkan, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk berdoa. Untuk mencegah diri dari berbuat keji dan mungkar. Dan disebut pula bahwa doa adalah benak ibadah. Lantaran itu niscaya pahamlah kita bahwa hendaklah shalat itu dikerjakan dengan penuh kesadaran, dengan tutus dan ikhlas, dengan ingat (dzikir) sebab shalat itu pun ialah untuk dzikir (surah Thaahaa ayat 14)
Peraturan-peraturan agama di dalam menghadapi ibadah shalat, kita sudah diberi peringatan, Setelah waktu masuk, orang pun mulai adzan (bang) Mendengar adzan kita pun sadar bahwa waktu shalat telah masuk. Setelah itu kita disuruh mengambil wudhu. Selama berwudhu pun kita bertambah sadar bahwa kita akan shalat. Setelah mulai mengerjakan shalat, dijelaskan pula bahwa shalat itu tidak sah kalau tidak dengan niat. Diperintahkanlah kita sekurang-kurangnya lima kali dalam sehari semalam menyediakan waktu buat shalat dengan penuh kesadaran. Sejak dari rukun fi'il (perbuatan-perbuatan shalat) sampai kepada rukun zikri (bacaan-bacaan shalat) dan juga rukun qalbi (kesadaran hati shalat) Lima kali sehari semalam kita menyediakan diri, melepaskannya dari sangkut paut pikiran yang lain dan menunjukkannya kepada Allah.
Tidaklah mungkin pekerjaan menghadap Allah itu dapat sempurna dikerjakan, menurut maksud yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allah dengan sadar kalau kita sedang mabuk.
Mabuk tentu luas artinya. Yaitu segala kekacauan pikiran atau pikiran yang tidak bulat, hati yang bercabang kepada yang lain, atau pikiran yang sedang susah dibawa ke dalam shalat.
Asbabun nuzul atau sebab turunnya ayat menurut yang dirawikan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan al-Hakim (Tirmidzi mengatakan hadits hasan. Al-Hakim mengatakan hadits shahih), riwayat diterima dari Ali bin Abi Thalib. Yaitu pernah kejadian di masa minuman keras belum diharamkan, “Bahwa kami diundang makan oleh Abdurrahman bin Auf, dihidanginya kami makanan dan diberinya kami minum tuak sehingga kami pun mabuk. Kemudian datanglah waktu shalat, lalu mereka kemukakan aku (jadi imam) maka aku bacalah, “Qul ya ayyuhal kafiruna, la a'budu maa ta'buduna, wa nahnu na'budu ma ta'buduna (dan kami pun menyembah apa yang kamu sembah) Maka turunlah ayat ini!"
Yang bershalat ini adalah sahabat-sahabat pilihan semua, di antara mereka ada Ali yang menjadi imam dan Abdurrahman yang menjamu makan. Kejadian sebelum ayat larangan meminum minuman keras. Dengan turunnya ayat begini kepada orang-orang utama sebagaimana mereka menyebabkan sejak itu kalau mau shalat mereka tidak mau minum lagi supaya mereka mengerjakan shalat dengan sadar, karena kesadaran itulah yang menjadi kemestian di dalam mengerjakan, “Sehingga kamu tahu apa yang kamu ucapkan." Sebab orang yang sedang mabuk, karena mabuknya, kadang-kadang tidak sadar dia apa yang dia ucapkan padahal ini sedang menghadap Allah. Sehingga Ali tersesat lidahnya mengatakan bahwa kami pun menyembah apa yang kamu sembah. Mungkinkah orang seperti Ali mengatakan bahwa kami pun menyembah berhala seperti kamu pula, padahal dia karramallahu wajhahu dimuliakan Allah wajahnya—sebab masuk islam sejak sebelum baligh—sehingga mukanya tidak pernah sekali juga menyembah berhala dan pernah menyediakan dirinya buat mati seketika tidur di tempat tidur Nabi ﷺ seketika beliau hijrah karena beliau Nabi ﷺ hendak dibunuh oleh musyrikin penyembah berhala! Mungkinkah dia berkata demikian kalau bukan mabuk?
Malahan datang lagi sebuah hadits shahih riwayat Bukhari dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“Apabila mengantuk seorang kamu, padahal dia shalat, maka berpalinglah dan tidurlah sehingga dia tahu apa yang dia ucapkan!" (HR Bukhari)
Di sini kita mendapat pengertian tentang kesadaran diri menjadi syarat utama dalam mengerjakan shalat supaya bulat tujuan ucapan kepada Allah dan tidak berkacau-balau karena shalat bukanlah semata-mata ruku' dan tegak, sujud dan duduk, tetapi inti dari shalat atau jiwa dari shalat ialah kekhusyuan kepada Allah.
Tentu bukanlah maksud ayat ini bahwa kalau hati sedang susah, pikiran sedang kacau tidak usah shalat, tunggulah dahulu sampai pikiran tenang. Jangan kita sampai memahamkan demikian, sebab yang diseru di pangkal ayat ialah orang-orang yang beriman. Ali bin Abi Thalib dan Abdurrahman bin Auf dan kawan-kawannya yang sama-sama mabuk tadi karena turunnya ayat ini, bukanlah meneruskan minum lalu meninggalkan shalat kalau mabuk, melainkan menjauhi minuman keras supaya mereka jangan sampai mabuk lagi di waktu shalat.
Karena kita telah merasa gembira termasuk dalam lingkungan alladziinaaamanuu—orang-orang yang beriman—apabila kita dengar seruan kepada shalat, terdengar adzan, segala yang mengacau pikiran kita jauhi. Kemabukan karena minum minuman keras atau karena urusan hidup sehari-hari kita lepaskan dari pikiran dan kita mulailah mengerjakan shalat dengan khusyu, dengan penuh pengertian dan kesadaran atas apa yang kita ucapkan dalam shalat. Lantaran itu dengan sendirinya, bagi kita pemeluk Islam yang bukan berbahasa Arab, menjadi wajib mengerti makna segala ucapan yang kita ucapkan dalam shalat.
Untuk mengerjakan shalat dengan penuh pengertian ini, sampai Imam Hanafi membolehkan bagi orang yang belum mengerti bahasa Arab, membaca arti dari bacaan Arab itu dalam bahasa yang kita kenal sambil me-neruskan juga mempelajarinya. Tetapi Imam Syafi'i tidak mengizinkan demikian. Kata beliau, teruskan mempelajari dan ucapkan dalam bahasa aslinya' bagaimana pun. Sebagaimana kita ketahui, di tanah air kita ini madzhab Syafi'ilah yang berpengaruh dan oleh sebab itu dari masa kecil pun kita telah belajar bacaan shalat dan shalat telah berjalan dengan lancar Di negeri-negeri yang bermadzhab Hanafi, fatwa beliau yang membolehkan itu diketahui orang juga, tetapi karena bahasa Arab telah menjadi bahasa darah-daging Muslimin, tidak juga dipakai orang fatwa beliau itu. Di Turki yang memakai Madzhab Hanafi, Mustafa Kemal telah mencoba menganjurkan me-nukar bacaan adzan bahasa Arab ke dalam bahasa Turki, namun umat Islam tidak juga mau menerimanya sehingga maksud Kemal Attaturk itu gagal. Setelah dia meninggal dunia, orang kembali lagi memakai adzan dalam bahasa asli Arab sampai sekarang ini.
“Dan jangan (pula) dalam keadaan junub." Dan janganlah pula kamu mendekati shalat atau tempat shalat, terutama najis dalam keadaan junub.
Tentu kita telah paham apa arti junub, yang disebut juga berhadats besar. Yaitu sehabis bersetubuh, tegasnya lagi ialah sehabis keluar mani, baik karena setubuh atau karena mimpi. Bagi perempuan ditambah lagi, yaitu sedang berhaid atau sedang mengeluarkan darah kotor sehabis beranak (nifas) Waktu itu namanya diri sedang berhadats besar, sedang kotor. Barulah suci setelah mandi, yang dinamai mandi junub atau mandi wajib. Pada saat sedang dalam keadaan junub, belum boleh shalat atau mendekati tempat shalat, yaitu masjid pun jangan. “Kecuali orang-orang yang melintasi jalan," di dalam masjid. Yaitu terpaksa melintasi masjid atau menyeberanginya karena dengan menyeberangi dalam masjid itu akan cepat sampai ke tempat yang dituju di luar masjid. Dengan demikian dijagalah kebersihan dan kesucian masjid. Hanya boleh menyeberangi dan tidak boleh tetap di dalam, misalnya buat i'tikaf. “Sehingga kamu mandi." Artinya larangan itu berlaku sampai kamu mandi. Apabila kamu telah selesai mandi, barulah boleh shalat dan barulah boleh masuk ke dalam tempat shalat, baik masjid, langgar, maupun surau. Sebab langgar atau surau itu pun disediakan buat shalat. (Setengah ahli berpendapat bahwa yang dilarang hanyalah masuk masjid yang disediakan buat Jum'at saja)
Mandi itu pun tentu dengan niat pula. Di samping mengerjakan shalat dengan sadar dan khusyu, hendaklah pula shalat dalam keadaan suci dan bersih. Sehingga di dalam menghadapi ibadah shalat hendaklah kita dalam perasaan suasana yang suci. Tidak ada orang lain yang tahu dan kita pun tidak akan memberi tahu orang lain apakah kita sedang junub atau sedang bersih. Menjaga kesucian shalat dan masjid ini adalah tanggung jawab pribadi kita masing-masing dengan Allah. Haramlah hukumnya kalau dilanggar.
TAYAMUM
“Dan jika kamu dalam keadaan sakit, atau tengah dalam perjalanan, atau datang seorang daripada kamu dari buang air, atau menyentuh kamu akan perempuan-perempuan, sedang kamu tidak mendapati air, maka hendaklah kamu cari tanah yang bersih, maka sapulah muka kamu dan tangan kamu."
Menjadi syarat yang dasar sekali supaya terlebih dahulu wajib suci dan bersih sebelum shalat. Kalau berhadats besar (junub), membersihkannya ialah dengan mandi seperti yang disebutkan di atas tadi. Di bawah dari mandi ialah wudhu, yang kelak di surah al-Maa'idah ayat 7 akan diterangkan cara-cara berwudhu. Tetapi perintah yang demikian keras, tentu ada kecualinya. Kita wajib mandi sebelum shalat kalau kita berhadats besar (junub) dan kita wajib berwudhu kalau kita berhadats kecil. Kalau tidak mandi bagi yang junub dan tidak berwudhu bagi yang berhadats kecil (habis kentut, kencing dan berak, bangun tidur, atau habis menyentuh faraj dengan telapak tangan, belum boleh shalat atau tidak sah shalat.
Tetapi bagaimana kalau air tidak ada? Jawabnya: Menjaga kesucian dan kebersihan tetap wajib, tetapi karena air tidak ada, ditukar dengan tanah. Pengecualian ini diberikan.
Pertama, kepada orang yang sedang sakit. Banyak orang sakit, meskipun air ada, dia tidak bisa kena air atau menambah penyakitnya kalau kena air. Dia boleh menukar dengan tanah.
Kedua, tengah dalam perjalanan (musafir) Dalam perjalanan air sukar didapat, sebab itu diberi keringanan, tukar saja dengan tanah. Dengan keringanan ini, orang yang dalam perjalanan tidak usah susah-susah mencari air. Di zaman mula-mula agama diturunkan, musafir berjalan di padang pasir berhari-hari dan mengendarai kuda atau unta, air sukar didapat. Sungguh tepatlah rukhshah tayamum untuk musafir. Bahkan di zaman modern kita ini, meskipun alat pengangkutan sudah mudah, baik di kapal, di kereta api, maupun di kapal udara, namun rukhshah tayamum ini tetap memberi kelapangan bagi musafir. Sebab ada-ada saja halangan yang tidak disangka-sangka akan menimpa kita di jalan. Misalnya kereta api yang sangat berdesak-desak dari Jakarta ke Surabaya sehingga sukar keluar untuk mengambil air shalat, bahkan sukar pergi ke tempat air dalam kereta api lantaran sesaknya, maka kita boleh menggosokkan tangan saja ke dinding kereta api buat mengambil tanah tayamumnya. Sebab Nabi pun pernah berbuat begitu di dinding rumahnya sendiri.
Ketiga, atau datang .dari kakus, jamban, artinya selesai buang air, kita hendak berwudhu air tidak ada. AI-Qur'an mempunyai bahasa yang amat halus, dikatakan orang yang baru selesai buang air besar atau air kecil, kembali dari jamban. Tidak didapatkan dengan kata baru habis berak atau habis kecing!
Keempat, baru habis menyentuh perempuan-perempuan. Ulama-ulama dalam bagian terbesar mengatakan maksud sentuh di sini ialah bersetubuh. Karena Al-Qur'an tidak pernah memakai kata persetubuhan itu dengan tepat, melainkan dengan sindir. Tetapi Imam Syafi'i tetap memegang arti sentuh yang asli. Meskipun bersentuh kulit saja, sebagaimana pendapat Imam Syafi'i, atau habis bersetubuh (junub) sebagaimana pendapat ulama-ulama yang lain, kalau air tidak ada, sudah boleh tayamum. Atau air ada, tetapi badan sakit bolehlah tayamum.
Arti tayamum. Arti yang asli ialah memilih atau mencari. Makna ini pernah dipakai dengan terang pada surah al-Baqarah ayat 267. Tentang orang memilih hartanya yang dia sendiri tidak senang, kalau misalnya dia diberi oleh orang lain harta semacam itu tentu dia akan memicingkan mata,
“Jangan kamu memilih yang buruk, daripadanya. “
Kemudian dipakailah parkataan tayamum menjadi istilah ketika memilih atau mencari tanah buat ganti wudhu menjadi nama ibadah tayamum yang tetap. Tanah yang bersih sebagai arti dari sha'iidan thayyiban.
“Tersebut dalam kamus, Sha'id artinya ialah tanah atau permukaan bumi. Berkata as-Tsa'labi di dalam Fiqhul Lughah, ‘Sha'id ialah tanah permukaan bumi.' Tersebut di dalam Kamus Mishbahul Munir, sha'id ialah muka bumi, baik tanah atau lainnya. Berkata az-Zajjaj, ‘Menurut pengetahuan saya, tidaklah ada selisih ahli bahasa Arab tentang arti ini.
Thayyiban artinya baik atau bersih. Lantaran itu bahwa sekalian tanah permukaan bumi, asal bersih, bolehlah dipakai untuk tayamum. Sedang tanah hanya dua, bersih atau kotor. Yang kotor ialah yang terang dan tampak kotornya, misalnya di sana ada tahi orang atau binatang. Kalau tidak tampak kotornya, tidak boleh tidak, pastilah dia bersih. Sebab itu segala tanah muka bumi, bolehlah untuk tayamum. Ini dikuatkan oleh beberapa hadits di antaranya sebuah hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan an-Nasa'i,
“Dan telah dijadikan untukku bumi itu bersih, suci, dan tempat sujud." (HR Bukhari, Muslim, dan an-Nasa't)
Bertambah jelas lagi keringanan rukhshah ini karena menurut riwayat Bukhari dan Muslim, pernah Rasulullah bertayamum dengan menggosokkan kedua belah telapak tangannya ke dinding, mengambil debunya jadi tayamum.
Bagaimanakah melakukannya? Dalam terusan ayat jelas disebut, “Maka sapulah muka kamu dengan tangan kamu."
Berbagai macamlah hadits-hadits tentang kaifiyat tayamum dari Nabi, tetapi yang paling shahih ialah yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Amar bin Yasir. Ceritanya begini. “Pada suatu har i datanglah dua orang kepada Umar bin Khaththab r,a„ yang seorang lalu bertanya, “Saya telah junub, tetapi air tidak ada." Berkata Umar, “Jangan engkau shalat!" Mendengar jawab Sayyidina Umar yang demikian itu berkatalah Amar, “Tidakkah engkau teringat, ya Amirul Mukminin, ketika aku dan engkau turut dalam satu peperangan, kita sama-sama jinabat, maka kita pun tidak mendapat air. Adapun engkau sendiri, tidaklah engkau shalat. Berkatalah Rasulullah ﷺ,
“… cukuplah buat engkau, jika engkau pukul bumi dengan tangan engkau, kemudian engkau embus, kemudian itu engkau sapu dengan dia muka engkau dan telapak tangan engkau." (HR Bukhari dan Muslim)
Tersebut dalam riwayat itu bahwa pada mulanya Umar agak sangsi menerima keterangan Amar, takut terlalu mempermudah, tetapi kemudian dia tinggalkan pendiriannya dan dia turuti pendapat Amar dan diboleh-kannya Amar memfatwakan kepada orang lain.
Tak usahlah berguling-guling sebagai Amar itu, cukup dengan merekankan kedua telapak tangan ke permukaan bumi yang bersih, embus dahulu jangan dia lekat di tangan, kemudian gosokkan ke muka, satu kali, setelah itu gosokkan tangan yang kiri ke tangan yang kanan, luar-dalam. Setelah itu tangan yang kanan pula menggosok tangan yang kiri luar-dalam. Tidak usah sampai ke siku, sebagaimana wudhu, hanya sampai di pergelangan tangan saja. Malahan tertib, muka dahulu baru tangan pun tidaklah menjadi syarat sebagaimana yang terdapat pada wudhu. Sebab tersebut pula dalam hadits yang dirawikan oleh Abu Dawud dan lainnya dari melalui Abu Mu'awiyah dan tersebut pula dalam hadits Bukhari demikian bunyinya,
“Kemudian menyapu tangan kiri atas tangan kanan, dan punggung telapak tangannya dan mukanya. “ (HR Bukhari)
Dalam lafazh yang lain dari Abu Mu'awiyah,
“Cukuplah, bagi engkau jika engkau pukulkan kedua telapak tanganmu ke bumi kemudian itu engkau embus keduanya, kemudian itu engkau sapukan tangan kanan engkau ke atas tangan kiri engkau, dan tangan kiri engkau ke atas tangan kanan engkau, kemudian itu engkau sapu pula muka engkau."
Hadits yang dirawikan oleh ad-Daruquthni begini bunyinya,
“Cukuplah bagi engkau jika engkau pukul dengan telapak tangan engkau pada tanah, kemudian engkau embus, kemudian engkau sapu dengan dia muka engkau dan kedua telapak tangan engkau sampai ke pergelangan." (HR ad-Daruquthni)
Sahlah salah satu cara yang demikian untuk mengganti mandi junub dan wudhu apabila air tidak ada, walaupun tidak dalam perjalanan. Atau karena dalam perjalanan atau karena sakit.
Karena suatu luka yang berbahaya jika kena air pun boleh bertayamum. Sebab menurut hadits riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan ad-Daruquthni dari Jabir, dalam satu peperangan, pernah seorang sahabat luka di kepalanya. Tengah malam dia bermimpi sehingga keluar mani, padahal dia demam. Sahabat-sahabat menjawab bahwa dia wajib juga mandi. Sehabis mandi, demamnya naik dan dia pun meninggal. Hal ini diketahui oleh Rasulullah ﷺ. Marahlah beliau seraya berkata, “Telah mereka bunuh dia! Alangkah baiknya bertanya dahulu kalau mereka belum tahu? Padahal cukup dia bertayamum saja atau ikat lukanya dan disapukan air di tempat luka itu, lalu dimandikan seluruh badannya."
Meskipun hadits ini kurang kuat, ada pula kejadian lain lagi, yaitu Amr bin al-Ash ketika memimpin peperangan Dzatis Salasil. Dalam perang kepala perang juga merangkap menjadi imam jamaah. Di satu malam yang sangat dingin beliau bermimpi sehingga junub pula. Dia merasa kalau dia mandi, dia akan binasa karena sangat dingin. Lalu dia bertayamum saja dan terus jadi imam. Hal ini disampaikan orang kepada Rasulullah ﷺ. Amr bin al-Ash beliau tanyai, “Mengapa engkau imami kawan-kawanmu shalat, padahal engkau junub?" Amr menjawab, “Ya, Rasulullah! Allah sudah berfirman,
“Dan jangan engkau bunuh akan diri kamu, sesungguhnya Allah terhadap kamu adalah amat sayang." (an-Nisaa': 29)
Mendengar jawab itu, Rasulullah tertawa, tetapi beliau diam saja.
Menurut ulama-ulama, sedangkan beliau diam saja, sudahlah itu tanda menyetujui, apatah lagi beliau telah tertawa, tanda beliau suka. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, ad-Daruquthni, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, dan dikeluarkan juga oleh Bukhari dengan ta'lid) Keadaan beliau tidak menyalahkan Amr bernama takrir. Takrir adalah termasuk sunnah.
Perbuatan Amr bin al-Ash ini dapatlah memberi paham kepada kita bahwa takut sakit, meskipun belum sakit, karena sangat dingin, pun boleh diganti dengan tayamum.
Begitulah secara ringkas kita uraikan tentang rukhshah tayamum, pengganti mandi junub dan wudhu. Yang boleh kita pakai apabila kita bertemu dengan kesukaran-kesukaran yang tersebut itu, baik karena dalam perjalanan maupun sedang ada di rumah sendiri.
Tidaklah kita masuk kepada pertikaian-pertikaian berdikit-dikit di antara ulama yang sudah memasuki masalah khilafiyah atau ijtiha-diyah. Misalnya tidak sah kita masuki, apakah tayamum itu habis dengan sendirinya kekuatannya bila shalat telah selesai? Sehingga tidak berlaku untuk shalat lain? Karena dengan memegang pokok ayat saja, kita telah merasakan betapa Allah memberi kemudahan kepada kita. Baru setelah masuk ke dalam masalah khilafiyah atau ijtihadiyah kita dipersukar oleh jalan pikiran manusia. Padahal ujung ayat berbunyi,
“Sesungguhnya Allah adalah Pemaaf, lagi Pengampun."
Dimaafkan kesukaran kita mencari air atau kesulitan mencarinya, dibukakan pintu buattayamum. Diberi pula ampun jika terdapat kekurangan karena bukan kita sengaja.
Dengan mandi dan wudhu kita bersuci dengan air. Sebab menurut firman Allah, dengan sebab air itulah kita sekalian yang bernyawa telah hidup. (al-Anbiyaa' ayat 30)
Apabila sukar mendapat air atau berbahaya memakai air sebab sakit, disuruh ganti saja dengan tanah. Sebab dari tanah itulah asal kita, ke dalam tanah kita akan kembali, dan dari tanah pula kita akan dibangkitkan. Kita sapu muka dan telapak tangan dengan tanah itu dalam niat yang sama yaitu bersuci. Karena kita akan berdiri berhadapan dengan Allah (surah Thaahaa ayat 55)
Menulis Imam Ibnul Qayyim dalam Zaa-dul Ma'ad tentang teladan yang diberikan Rasulullah ﷺ mengenai tayamum.
“Adalah Rasulullah ﷺ bertayamum dengan sekali pukul saja terhadap muka dan dua telapak tangan. Dan tidak ada yang sah daripadanya bahwa dia bertayamum dengan dua kali pukulan (sekali ke muka dan sekali kepada dua telapak tangan; penyalin) dan tidak pula sampai kepada dua siku"
Berkata Imam Ahmad, “Barangsiapa yang berkata bahwa bertayamum ialah sampai kepada dua siku, itu adalah ditambahnya sendiri saja." Dan beliau ﷺ bertayamum dengan tanah tempat dia shalat itu saja. Baik tanah biasa atau tanah garam (pasir bulan) atau pasir biasa. Dan salah satu sabda beliau, “Di mana saja umatku bertemu waktu shalat, di sanalah masjidnya dan bersucinya." Inilah satu nash yang jelas sekali (sharih) Sebab itu siapa bertepatan waktu shalat sedang di pasir, maka pasir itu sah buat bersuci. Dan tatkala beliau ﷺ musafir bersama sahabat-sahabatnya pada Peperangan Tabuk, beliau lalui pasir-pasir luas itu dalam perjalanan dan air waktu itu sangat sedikit. Dan tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa beliau membawa tanah ke mana pergi, tidak pula beliau pernah menyuruh begitu, dan tidak pula sahabat-sahabat beliau yang berbuat demikian. Dengan kepastian bahwa di lapangan luas itu pasir lebih banyak daripada tanah. Begitu pula keadaannya bumi di Hejaz dan lain-lain. Kalau hal ini sudah diperhatikan dengan saksama, dapatlah diambil keputusan bahwa beliau bertayamum dengan pasir. Wallahu a'lam. Dan ini adalah pendapat dari jumhur.
Adapun apa yang disebut-sebut orang tentang sifat tayamum, yaitu melekatkan jari-jari tangan kiri atas punggung tangan kanan, kemudian membawanya sampai ke kedua siku, kemudian itu mengedarkan telapak tangan kepada hasta bagian muka dan menegakkan ibu jari kanan, lalu dipertemukan; semuanya ini tidak pernah diketahui Nabi mengerjakannya. Tidak pula beliau pernah mengajarkan begitu kepada salah seorang pun dari sahabatnya. Tak pernah diperintahkannya dan tak pernah dipujikannya. Inilah semua teladan yang beliau berikan, dan kepada ketentuan inilah kita mengambil dasar hukum. Demikian juga tidaklah ada keterangan yang sah dari beliau bahwa bertayamum satu tayamum untuk satu shalat dan tidak pula pernah beliau memerintahkannya. Bahkan tayamum telah beliau jadikan mutlak menggantikan tempat wudhu. Niscaya lantaran itu segala hukum mengenai wudhu, begitu pulalah hukum mengenai tayamum. Kecuali kalau bertemu satu dalil yang dapat dipegang yang melayani ketentuan ini. (Dan dalil itu tidak ada) Sekian kita salinkan dari kitab Zaadul Ma'ad.
Demikian rukhshah yang diberikan Ilahi, tanda kasih-Nya kepada hamba-Nya yang selalu ingin hendak berhubungan dengan Dia. Sehingga sehabis shalat dengan tayamum, tiba-tiba bertemu air, sedang waktu masih panjang, tidaklah wajib mengulangi shalat kembali.
Sebab tempat wudhu telah digantikan penuh oleh tayamum, kemuliaan tanah pada waktunya, telah menggantikan kemuliaan air.
Tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Dawud, an-Nasa'i, ad-Darimi, al-Hakim, dan ad-Daruquthni, yang diterima dari Abu Sa'id al-Khudri,
“Ada dua orang laki-laki keluar pergi musafir. Datanglah waktu shalat, sedang mereka tidak ada persediaan air, lalu mereka bertayamum dengan tanah bersih dan terus shalat. Sehabis shalat mereka pun mendapat air dalam waktu (artinya waktu belum habis) Yang seorang diulanginya shalat dan seorang lagi tidak mengulangnya. Kemudian datanglah mereka kepada Rasulullah ﷺ lalu mereka ceritakan keadaan mereka itu kepada beliau. Berkatalah beliau kepada yang tidak mengulangi shalat itu,
Beliau berkata pula kepada yang ber-wudhu dan mengulang shalatnya
“Engkau mendapat pahala dua kali." (HR Abu Dawud, an-Nasa'i, ad-Darimi, dan ad-Daruquthni)
Begitulah luasnya agama. Kita diberi kebebasan memakai yang mana yang baik pada pertimbangan kita sendiri.
Penulis tafsir ini pun karena banyak bepergian, menjumpai pula berbagai pengalaman. Alhamdulillah tidaklah pernah ada shalat fardhu yang tinggal dalam perjalanan walaupun dalam kapal terbang terus-menerus berjam-jam ke Eropa dan Amerika. Pernah karena takut dan belum pernah mengalami, penulis membawa sekaleng kecil tanah dari rumah, muat di saku celana. Alangkah bodoh dan lucu penulis sebab sampai di kapal udara tanah itu tidak berguna sama sekali sebab air cukup. Bahkan ada hadits yang menyatakan bahwa sepatu tinggi (bersama kausnya tentu), boleh tidak dibuka sampai tiga hari tiga malam selama dalam perjalanan, boleh disapu saja dengan air dari luar.
“Engkau telah tepat mengerjakan sunnah dan telah diberi pahala bagi engkau shalatmu itu."
Pernah pula seperjalanan dengan kawan yang sama taat. Datang waktu shalat, kami pun shalat betapa adanya, di dalam kapal udara, sedang duduk walaupun tidak menghadap kiblat. Rupanya kapal udara berhenti di suatu perhentian sebelum waktu shalat itu habis. Kawanku berwudhu kembali dan shalat di lapangan terbang di tempat terpencil, di negeri bukan islam sehingga jadi tontonan. Penulis tidak mengulang shalat, mencukupkan yang di dalam kapal udara itu saja.
Kawan saya bertanya, “Apa saudara tidak mengulang?"
Saya teringat hadits Abu Sa'id al-Khudri itu, lalu saya berkata, “Saya telah tepat menurut sunnah dan mengamalkan perintah Allah, yaitu apabila datang perintah, kerjakanlah dengan segenap kesanggupan yang ada padamu, asal tepat waktunya."
Lalu kata kawan itu, “Dan saya?"
Saya jawab, “Saudara telah berpahala dua kali!"
Kami sama-sama tersenyum. Tetapi herannya, pada kejadian yang kedua kali, dia telah menuruti cara saya. Saya bertanya, “Saudara tidak mengulang shalat?"
Dia menjawab, “Hilang khusyu saya sebab jadi tontonan!"