Ayat
Terjemahan Per Kata
أُحِلَّ
dihalalkan
لَكُمۡ
bagi kalian
صَيۡدُ
binatang buruan
ٱلۡبَحۡرِ
laut
وَطَعَامُهُۥ
dan memakannya
مَتَٰعٗا
kesenangan
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَلِلسَّيَّارَةِۖ
dan bagi yang dalam perjalanan
وَحُرِّمَ
dan diharamkan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
صَيۡدُ
binatang buruan
ٱلۡبَرِّ
darat
مَا
apa
دُمۡتُمۡ
selama kamu
حُرُمٗاۗ
berihram
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah kamu
ٱللَّهَ
Allah
ٱلَّذِيٓ
yang
إِلَيۡهِ
kepadaNya
تُحۡشَرُونَ
kamu dikumpulkan
أُحِلَّ
dihalalkan
لَكُمۡ
bagi kalian
صَيۡدُ
binatang buruan
ٱلۡبَحۡرِ
laut
وَطَعَامُهُۥ
dan memakannya
مَتَٰعٗا
kesenangan
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَلِلسَّيَّارَةِۖ
dan bagi yang dalam perjalanan
وَحُرِّمَ
dan diharamkan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
صَيۡدُ
binatang buruan
ٱلۡبَرِّ
darat
مَا
apa
دُمۡتُمۡ
selama kamu
حُرُمٗاۗ
berihram
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah kamu
ٱللَّهَ
Allah
ٱلَّذِيٓ
yang
إِلَيۡهِ
kepadaNya
تُحۡشَرُونَ
kamu dikumpulkan
Terjemahan
Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal dari) laut sebagai kesenangan bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram. Bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.
Tafsir
(Dihalalkan bagimu) hai umat manusia sewaktu kamu berada dalam keadaan halal/tidak ihram atau sedang ihram (binatang buruan laut) kamu boleh memakannya. Binatang buruan laut ialah binatang yang hidupnya hanya di laut/di air, seperti ikan. Berbeda dengan binatang yang terkadang hidup di laut dan terkadang hidup di darat seperti kepiting (dan makanan yang berasal dari laut) binatang laut yang terdampar dalam keadaan mati (sebagai makanan yang lezat) untuk dinikmati (bagimu) kamu boleh memakannya (dan bagi orang-orang yang bepergian) orang-orang yang musafir dari kalangan kamu dengan menjadikannya sebagai bekal mereka. (Dan diharamkan atasmu binatang buruan darat) yaitu binatang yang hidup di darat dari jenis binatang yang boleh dimakan, kamu dilarang memburunya (selagi kamu dalam keadaan ihram) dan jika yang memburunya itu adalah orang yang tidak sedang ihram, maka orang yang sedang ihram diperbolehkan memakannya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sunah. (Dan bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu kembali.).
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 96-99
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.
Allah telah menjadikan Kabah rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, hadya, qalaid, (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kalian tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan.
Ayat 96
Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, juga dari Sa'id Ibnul Musayyab serta Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya sehubungan dengan makna firman: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut.” (Al-Maidah: 96) Yang dimaksud ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan segar.
“Dan makanan (yang berasal) dari laut.” (Al-Maidah: 96)
Yakni makanan yang bersumber dari laut untuk dijadikan bekal dalam keadaan diasinkan dan telah kering.
Ibnu Abbas dalam riwayat terkenal yang bersumber darinya mengatakan, yang dimaksud dengan saiduhu ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan hidup-hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan taamuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat oleh laut dalam keadaan telah mati.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnu Amr dan Abu Ayyub Al-Ansari radiyallahu 'anhum, dan Ikrimah, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ibrahim An-Nakha'i serta Al-Hasan Al-Basri.
Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Abu Bakar As-Siddiq yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan taamuhu ialah semua yang ada di dalam laut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah, dari Sammak yang mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Khalifah Abu Bakar berkhotbah kepada orang banyak, antara lain ia membacakan firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat untuk kalian.” (Al-Maidah: 96) Bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan oleh laut ke darat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (Al-Maidah: 96) Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah sesuatu dari laut yang tercampakkan ke darat.
Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa taamuhu artinya sesuatu dari laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan telah mati. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, ta'amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan hidup, atau yang terdampar dalam keadaan telah mati. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Nafi', bahwa Abdur Rahman ibnu Abu Hurairah bertanya kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya laut sering mencampakkan banyak ikan dalam keadaan telah mati, bolehkah kami memakannya?" Ibnu Umar menjawab, "Jangan kalian makan." Ketika Ibnu Umar kembali kepada keluarganya dan mengambil mushaf, lalu membaca surat Al-Maidah hingga sampai pada firman Allah ﷻ: “Dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (Al-Maidah: 96) Maka Ibnu Umar berkata, "Pergilah kamu, dan katakan padanya bahwa ia boleh memakannya, karena sesungguhnya apa yang ditanyakannya itu termasuk makanan yang berasal dari laut."
Hal yang sama dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang mati di dalam laut.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal tersebut telah diriwayatkan oleh hadits, sebagian dari mereka ada yang meriwayatkannya secara mauquf.
Telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian.” (Al-Maidah: 96) Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Makanan dari laut ialah sesuatu yang dicampakkan oleh laut dalam keadaan mati.” Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian dari mereka ada yang me-mauquf-kan hadits ini hanya sampai pada Abu Hurairah.
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (Al-Maidah: 96) Abu Hurairah mengatakan bahwa ta'amuhu ialah binatang laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan telah mati.
Firman Allah ﷻ: “Sebagai makanan yang lezat bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (Al-Maidah: 96) Yakni sebagai sesuatu yang bermanfaat dan makanan buat kalian, wahai orang-orang yang diajak bicara.
Firman Allah ﷻ: “Dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (Al-Maidah: 96)
Mereka adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanannya. Lafal sayyarah adalah bentuk jamak dari lafal siyarun.
Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang berada di pinggir laut dan dalam perjalanannya.
Orang lain selain Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan saidul bahri ialah hewan laut yang masih segar bagi orang yang menangkapnya langsung dari laut.
Sedangkan yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang telah mati atau yang ditangkap dari laut, kemudian diasinkan yang adakalanya dijadikan sebagai bekal oleh orang-orang yang dalam perjalanan dan orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari pantai.
Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, As-Suddi, dan lain-lainnya. Jumhur ulama menyimpulkan dalil yang menghalalkan bangkai hewan laut dari ayat ini dan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibnu Anas, dari Ibnu Wahb; dan Ibnu Kaisan dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan sejumlah orang dalam suatu pasukan dengan misi khusus ke arah pantai. Dan Nabi ﷺ mengangkat Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai pemimpin mereka. Jumlah mereka kurang lebih tiga ratus orang, dan perawi sendiri (yakni Jabir ibnu Abdullah) termasuk salah seorang dari mereka. Kami berangkat, dan ketika kami sampai di tengah jalan, semua perbekalan yang kami bawa habis. Maka Abu Ubaidah ibnul Jarrah memerintahkan agar semua perbekalan yang tersisa dari pasukan itu dikumpulkan menjadi satu. Jabir ibnu Abdullah berkata, "Saat itu perbekalanku adalah buah kurma. Sejak itu Abu Ubaidah membagi-bagikan makanan sedikit demi sedikit, sehingga semua perbekalan habis. Yang kami peroleh dari perbekalan itu hanyalah sebiji kurma. Kami benar-benar merasa kepayahan setelah perbekalan kami habis. Tidak lama kemudian sampailah kami di tepi pantai, dan tiba-tiba kami mendapati seekor ikan paus yang besarnya sama dengan sebuah gundukan tanah yang besar. Maka pasukan itu makan daging ikan paus tersebut selama delapan belas hari. Kemudian Abu Ubaidah memerintahkan agar dua buah tulang iga ikan itu ditegakkan, lalu ia memerintahkan agar seekor unta dilalukan di bawahnya; ternyata unta itu tidak menyentuh kedua tulang iga yang diberdirikan itu (saking besarnya ikan itu)."
Hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain, dan mempunyai banyak jalur bersumber dari Jabir ibnu Abdullah.
Di dalam kitab Shahih Muslim, melalui riwayat Abuz Zubair, dari Jabir disebutkan, "Tiba-tiba di pinggir laut terdapat hewan yang besarnya seperti gundukan tanah yang sangat besar. Lalu kami mendatanginya, ternyata hewan tersebut adalah seekor ikan yang dikenal dengan nama ikan paus 'anbar." Abu Ubaidah mengatakan bahwa hewan ini telah mati. Tetapi akhirnya Abu Ubaidah berkata, "Tidak, kami adalah utusan Rasulullah ﷺ, sedangkan kalian dalam keadaan darurat. Maka makanlah hewan ini oleh kalian." Jabir melanjutkan kisahnya, "Kami mengkonsumsi ikan tersebut selama satu bulan, sedangkan jumlah kami seluruhnya ada tiga ratus orang, hingga kami semua jadi gemuk karenanya. Kami mencedok minyak ikan dari kedua mata ikan itu dengan memakai ember besar, dan dari bagian mata itu kami dapat memotong daging sebesar kepala banteng." Jabir mengatakan bahwa Abu Ubaidah mengambil tiga belas orang lelaki, lalu mendudukkan mereka pada liang kedua mata ikan itu, dan ternyata mereka semuanya muat di dalamnya.’Lalu Abu Ubaidah mengambil salah satu dari tulang iga ikan itu dan menegakkannya, kemudian memerintahkan agar melalukan seekor unta yang paling besar yang ada pada kami di bawahnya, dan ternyata unta itu dapat melaluinya dari bawahnya. Kami sempat mengambil bekal daging ikan itu dalam jumlah yang ber-wasaq-wasaq (cukup banyak). Selanjutnya Jabir berkata, "Ketika kami tiba di Madinah, kami menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan kepadanya hal tersebut, maka beliau ﷺ bersabda: ‘Ikan itu adalah rezeki yang dikeluarkan oleh Allah bagi kalian, apakah masih ada pada kalian sesuatu dari dagingnya untuk makan kami'? Jabir melanjutkan kisahnya, "Lalu kami kirimkan kepada Rasulullah ﷺ sebagian darinya, dan beliau ﷺ memakannya."
Menurut sebagian riwayat Imam Muslim, mereka menemukan ikan paus ini bersama Nabi ﷺ. Sedangkan menurut sebagian dari mereka, peristiwa tersebut terjadi di waktu yang lain. Dan menurut yang lainnya, peristiwanya memang satu, tetapi pada mulanya mereka bersama Nabi ﷺ. Kemudian Nabi ﷺ mengirimkan mereka dalam suatu pasukan khusus di bawah pimpinan Abu Ubaidah ibnul Jarrah, lalu mereka menemukan ikan besar itu, sedangkan mereka berada dalam pasukan khusus di bawah pimpinan Abu Ubaidah.
Malik telah meriwayatkan dari Safwan ibnu Salim, dari Sa'id ibnu Salamah, dari kalangan keluarga Ibnul Azraq, bahwa Al-Mugirah ibnu Abu Burdah dari kalangan Bani Abdud Dar pernah menceritakan kepadanya bahwa ia telah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa memakai jalan laut, dan kami hanya membawa persediaan air tawar yang sedikit. Jika kami pakai untuk wudu, niscaya kami nanti akan kehausan. Maka bolehkah kami berwudu dengan memakai air laut?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh kedua orang imam yaitu Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal serta empat orang pemilik kitab Sunan, dan dinilai shahih oleh Imam Bukhari, Imam At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban serta lain-lainnya. Dan telah diriwayatkan hal yang serupa dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ, dari Nabi ﷺ.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Hammad ibnu Salamah; telah menceritakan kepada kami Abul Mihzam (yaitu Yazid ibnu Sufyan), bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah menceritakan hadits berikut: Ketika kami (para sahabat) sedang bersama Rasulullah ﷺ dalam ibadah haji atau umrah, maka kami berpapasan dengan iring-iringan sejumlah besar belalang. Maka kami memukuli belalang-belalang itu dengan tongkat dan cambuk kami, hingga belalang-belalang itu mati berguguran dan jatuh ke tangan kami. Lalu kami berkata, "Apakah yang akan kita lakukan, sedangkan kita sedang melakukan ihram?" Maka kami bertanya kepada Rasulullah ﷺ, dan beliau ﷺ menjawab, "Tidak mengapa dengan (membunuh) binatang buruan laut." Tetapi Abul Mihzam orangnya dha’if (lemah).
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah Al-Jamal, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah, dari Allasah, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jabir dan Anas ibnu Malik, bahwa Nabi ﷺ apabila mendoakan kebinasaan belalang mengucapkan seperti berikut: “Ya Allah, hancurkanlah yang besarnya, bunuhlah yang kecilnya, rusaklah telurnya, dan binasakanlah sampai ke akar-akarnya, dan cekallah mulutnya jauh dari penghidupan dan rezeki kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa (Maha Memperkenankan doa).” Lalu Khalid bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau mendoakan kebinasaan sampai ke akar-akarnya bagi salah satu dari bala tentara Allah?" Nabi ﷺ menjawab: “Sesungguhnya belalang itu dikeluarkan oleh ikan paus dari hidungnya di laut.” Hasyim mengatakan, "Ziyad telah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya seseorang yang pernah melihat ikan paus menyebarkannya." Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid.
Imam Syafii telah meriwayatkan dari Sa'id, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengingkari orang yang berburu belalang di tanah suci.
Ayat ini dijadikan hujah oleh sebagian ulama fiqih yang berpendapat bahwa semua hewan laut boleh dimakan dan tiada sesuatu pun darinya yang dikecualikan. Dalam atsar terdahulu yang bersumber dari Abu Bakar As-Siddiq dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah semua hewan yang hidup di laut. Dan ada sebagian dari mereka yang mengecualikan katak, tetapi selainnya diperbolehkan, karena berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam An-Nasai melalui riwayat Ibnu Abu Zib, dari Sa'id ibnu Khalid, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Abdur Rahman ibnu Usman At-Taimi bahwa Rasulullah ﷺ melarang membunuh katak.
Menurut riwayat Imam An-Nasai, melalui Abdullah ibnu Amr, disebutkan: Rasulullah ﷺ telah melarang membunuh katak. Dan beliau ﷺ mengatakan bahwa suara katak adalah tasbih (nya). Ulama lainnya mengatakan bahwa hewan buruan laut yang dapat dimakan adalah ikan, sedangkan yang tidak boleh dimakan ialah katak (laut).
Mereka berselisih pendapat mengenai selain keduanya. Menurut suatu pendapat, selain dari itu boleh dimakan; dan menurut pendapat lain, tidak boleh dimakan. Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa hewan yang serupa dari hewan darat dapat dimakan, maka hewan yang serupa dari hewan laut dapat dimakan pula. Dan hewan yang serupa dari hewan laut tidak dapat dimakan, maka hewan yang serupa dari hewan darat tidak dapat dimakan, maka hewan yang serupa hewan laut tidak dapat dimakan pula.
Semua pendapat yang telah disebutkan di atas merupakan keanekaragaman pendapat yang ada di dalam mazhab Imam Syafii rahimahullah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, hewan laut yang mati di laut tidak boleh dimakan, sebagaimana tidak boleh dimakan hewan (darat) yang mati di darat, karena berdasarkan keumuman makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai.” (Al-Maidah: 3)
Dan telah disebutkan di dalam sebuah hadits hal yang semakna dengan pengertian ayat ini. Untuk itu, Ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi (yaitu Ibnu Qani'), telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi dan Abdullah ibnu Musa ibnu Abu Usman; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Yazid At-Tahhan, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Ibnu Abu Zi-b, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Hewan yang kalian buru dalam keadaan hidup, lalu mati (dibunuh oleh kalian), maka makanlah hewan itu; dan hewan yang dicampakkan oleh laut dalam keadaan mati terapung, janganlah kalian memakannya.”
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Ismail ibnu Umayyah dan Yahya ibnu Abu Anisah, dari Abuz Zubair, dari Jabir dengan lafal yang sama, tetapi hadisnya berpredikat munkar (ditolak).
Jumhur ulama dari kalangan murid-murid Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad berpegang kepada hadits ikan paus yang telah disebutkan sebelum ini, juga kepada hadits lainnya yang mengatakan: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”
Mereka juga berpegang kepada hadits yang telah diketengahkan sebelum ini.
Imam Abu Abdullah Asy-Syafii telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Dua jenis bangkai itu ialah ikan dan belalang, dan dua jenis darah itu ialah hati dan limpa.”
Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi telah meriwayatkannya pula. Hadits ini mempunyai banyak syawahid (bukti-bukti) yang menguatkannya. Dan hadits ini telah diriwayatkan pula secara mauquf.
Firman Allah ﷻ: “Dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram.” (Al-Maidah: 96)
Yakni selagi kalian masih dalam ihram diharamkan atas kalian melakukan perburuan terhadap binatang darat. Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. Untuk itu, apabila seseorang yang sedang ihram sengaja melakukan perburuan, berdosalah ia dan dikenakan denda. Atau jika ia melakukannya secara keliru, maka dia harus membayar dendanya, dan ia diharamkan memakan hasil buruannya; karena binatang buruannya itu bagi dia kedudukannya sama dengan bangkai, demikian pula bagi orang lain dari kalangan orang-orang yang sedang ihram, juga orang-orang yang bertahallul, menurut Imam Malik dan menurut salah satu dari dua pendapat Imam Syafii. Hal yang sama dikatakan oleh ‘Atha’, Al-Qasim, Salim, Abu Yusuf, dan Muhammad ibnul Hasan serta lain-lainnya.
Jika si muhrim yang memburunya memakannya atau memakan sebagian dari binatang buruannya, apakah dia harus membayar denda yang kedua? Ada dua pendapat mengenainya di kalangan para ulama. Pendapat pertama mengatakan harus membayar denda kedua. Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’ yang mengatakan, "Jika orang muhrim yang bersangkutan sempat menyembelihnya, lalu memakannya, maka dia dikenakan dua kifarat." Pendapat ini dipegang oleh segolongan ulama.
Pendapat kedua mengatakan, tidak ada denda atasnya karena memakan hasil buruannya. Pendapat ini dinaskan oleh Malik ibnu Anas. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh semua mazhab ulama fiqih di kota-kota besar dan jumhur ulama. Kemudian Abu Umar menyamakannya dengan masalah "seandainya seseorang menginjak dan menginjak serta menginjak lagi sebelum ia dikenai hukuman had, maka sesungguhnya yang diwajibkan atasnya ialah dikenai sekali hukuman had.”
Imam Abu Hanifah mengatakan, si pemakan dikenai harga sejumlah yang dimakannya. Abu Tsaur mengatakan, "Apabila seorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia harus membayar dendanya, dan dihalalkan baginya memakan binatang buruannya itu; hanya saja aku memakruhkannya bagi orang yang membunuhnya, karena ada hadits Rasulullah ﷺ yang mengatakan: ‘Binatang buruan darat dihalalkan bagi kalian, sedangkan kalian dalam keadaan berihram, selagi kalian bukan yang memburunya atau bukan diburu untuk kalian’.”
Hadits ini akan dijelaskan kemudian. Kalimat yang mengatakan 'boleh memakannya bagi orang yang membunuhnya' merupakan hal yang gharib (aneh). Adapun bagi selain orang yang membunuhnya, masalahnya masih diperselisihkan, dan yang telah kami sebutkan ialah pendapat yang mengatakan tidak boleh. Sedangkan ulama lainnya mengatakan selain pembunuhnya diperbolehkan memakannya, baik ia sedang ihram ataupun telah bertahallul, karena berdasarkan hadits yang baru disebutkan tadi.
Adapun bila seseorang yang telah bertahallul membunuh binatang buruan, lalu ia menghadiahkannya kepada orang yang berihram, maka sebagian ulama ada yang mengatakan boleh secara mutlak tanpa ada rincian antara perburuan yang dilakukan secara sengaja untuknya atau tidak. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Umar ibnul Khattab, Abu Hurairah, Az-Zubair ibnul Awwam, Ka'b Al-Anbar, Mujahid dan ‘Atha’ dalam suatu riwayatnya, dan Sa'id ibnu Jubair. Hal yang sama telah dikatakan oleh ulama Kufah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi', telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, bahwa Sa'id ibnul Musayyab pernah menceritakan dari Abu Hurairah bahwa Abu Hurairah pernah ditanya mengenai daging dari hasil buruan yang dilakukan oleh orang yang telah bertahallul, apakah orang yang sedang ihram boleh memakannya? Maka Abu Hurairah memberikan fatwa boleh memakannya.
Kemudian ia menemui Umar ibnul Khattab, lalu menceritakan kepadanya tentang apa yang baru dialaminya, maka Umar ibnul Khattab berkata kepadanya (Abu Hurairah), "Seandainya kamu memberi mereka fatwa selain dari itu, niscaya aku akan membuat kepalamu terasa sakit (karena dipukul)." Ulama lain mengatakan, orang yang sedang ihram sama sekali tidak boleh memakan hasil buruan. Pendapat ini melarangnya secara mutlak karena berdasarkan kepada keumuman makna yang terkandung di dalam ayat yang mulia ini.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Tawus dan Abdul Karim, dari Ibnu Abu Asiah, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa ia menilai makruh bila orang yang sedang ihram memakan hasil buruan. Dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat yang menerangkan tentangnya bersifat mubham (misteri), yakni firman Allah ﷻ: “Dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram.” (Al-Maidah: 96)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnu Umar, bahwa dia memakruhkan orang muhrim (yang sedang ihram) bila memakan daging hasil buruan dalam keadaan bagaimanapun.
Ma'mar mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar hal yang serupa. Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal yang sama telah dikatakan oleh Tawus dan Jabir ibnu Zaid. Pendapat inilah yang dikatakan oleh As- Sauri dan Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayatnya. Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Ali ibnu Abu Thalib. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Sa'id ibnu Abu Urubah dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Ali ibnu Abu Thalib memakruhkan bagi orang muhrim (yang sedang ihram) memakan daging hasil buruan dalam keadaan bagaimanapun.
Imam Malik, Syafii, Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayat, serta jumhur ulama berpendapat: Jika orang yang telah bertahallul bermaksud melakukan perburuan untuk orang yang berihram, maka orang yang berihram itu tidak boleh memakannya, karena berdasarkan hadits As-Sa'b ibnu Jusamah; ia pernah menghadiahkan seekor kuda zebra hasil buruannya di Abwa atau Wuddan kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ menolak pemberiannya itu. Tetapi setelah Nabi ﷺ melihat perubahan roman muka As-Sa'b ibnu Jusamah, beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kami tidak sekali-kali mengembalikannya kepadamu melainkan karena kami sedang ihram.”
Hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain dan mempunyai lafal yang banyak. Jumhur ulama mengatakan, yang tersimpulkan dari hadits ini ialah "Nabi ﷺ menduga bahwa hewan buruan tersebut sengaja diburu hanya untuk Nabi ﷺ, maka Nabi ﷺ menolaknya. Adapun jika perburuan dilakukan bukan untuk orang muhrim yang bersangkutan, maka ia diperbolehkan memakannya. Karena berdasarkan hadits Abu Qatadah ketika ia berburu seekor kuda zebra, ia dalam keadaan tidak berihram, sedangkan teman-temannya dalam keadaan ihram.
Lalu mereka tidak berani memakannya dan menanyakannya lebih dahulu kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: . "Apakah ada seseorang dari kalian yang mengisyaratkan kepada binatang buruan ini atau ikut membantu membunuhnya?” Mereka menjawab, ''Tidak.” Nabi ﷺ bersabda, "Kalau demikian, makanlah oleh kalian." Dan Rasulullah ﷺ sendiri ikut makan sebagian darinya.
Kisah ini disebutkan pula dalam kitab Shahihain dengan lafal yang banyak.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Mansur dan Qutaibah ibnu Sa'id, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib ibnu Abdullah ibnu Hantab, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda; dan menurut Qutaibah dalam hadisnya, perawi pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Binatang buruan darat dihalalkan bagi kalian.”
Menurut hadits Sa'id disebutkan bahwa sedangkan kalian dalam keadaan ihram selagi bukan kalian sendiri yang memburunya atau bukan diburu untuk kalian.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai; semuanya dari Qutaibah. Imam At-Tirmidzi mengatakan, ia belum pernah mengenal bahwa Muttalib pernah mendengar dari Jabir. Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii telah meriwayatkannya melalui jalur Amr ibnu Abu Amr, dari maulanya (yaitu Al-Muttalib), dari Jabir. Imam Syafii mengatakan bahwa ini merupakan hadits yang paling baik dan paling tepat yang diriwayatkan dalam bab ini.
Imam Malik telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan di Al-'Arj dalam keadaan ihram di hari yang panas (musim panas), sedangkan ia menutupi (menaungi) wajahnya dengan kain urjuwan. Kemudian disuguhkan kepadanya daging hewan hasil buruan, lalu ia berkata kepada teman-temannya, "Makanlah oleh kalian." Mereka berkata, "Mengapa engkau sendiri tidak ikut makan?" Khalifah Usman menjawab, "Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya hewan buruan ini sengaja diburu hanya untukku.”
Allah membolehkan kaum mukmin untuk memakan hewan buruan yang hidup di laut. Dihalalkan bagimu orang-orang beriman memakan hewan buruan laut yang diperoleh dengan berbagai cara seperti memancing, menjala, atau memukat. Termasuk dalam pengertian laut di sini ialah sungai, danau, kolam, dan sebagainya. Dan dihalalkan pula makanan yang berasal dari laut, ikan atau hewan laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar di pantai sebagai makanan yang lezat bagimu dan makanan yang lezat bagi orangorang yang dalam perjalanan di laut. Dan tetap diharamkan atasmu menangkap hewan darat yang hidup di tanah haram selama kamu sedang berihram untuk haji atau umrah. Dan bertakwalah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi laranganNya, yang hanya kepada-Nya kamu sekalian akan dikumpulkan kembali pada hari kiamat di padang mahsyar. Ayat ini menjelaskan bahwa pada bulan haram, orang-orang beriman dilarang berperang di sekitar Ka'bah. Allah telah menjadikan Kakbah rumah suci tempat manusia berkumpul. Ka'bah dan sekitarnya menjadi tempat yang aman bagi manusia untuk mengerjakan urusan dunia seperti berbisnis dan berdagang; dan urusan akhirat seperti berhaji dan berumrah. Demikian pula Allah telah menjadikan bulan haram, yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab, sebagai waktu yang diharamkan untuk berperang di sekitar Kakbah dan tanah haram. Allah juga telah menetapkan hadyu, hewan yang menjadi denda atas pelanggaran larangan ihram yang akan disembelih di tanah haram; dan qala'id, hewan yang diberi kalung sebagai tanda akan disembelih di tanah haram. Semuanya merupakan tanda keagungan Allah, Tuhan yang memelihara Kakbah. Yang demikian itu agar kamu mengetahui bahwa Allah Tuhan yang menciptakan alam semesta ini mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dalam penglihatan manusia.
Dalam ayat ini Allah menerangkan, bahwa Dia menghalalkan bagi orang-orang mukmin, baik yang berihram, maupun tidak, untuk makan daging buruan laut, termasuk binatang sungai, danau dan sebagainya dan yang diperoleh dengan mudah, misalnya ikan-ikan yang baru mati dan terapung atau ikan yang terdampar di pantai dan sebagainya.
Semua itu dikaruniakan Allah sebagai makanan yang lezat bagi mereka dan bagi orang-orang yang berada dalam perjalanan. Kemudian Allah menegaskan kembali bahwa Dia mengharamkan bagi orang-orang mukmin menangkap binatang buruan darat, selama mereka berihram.
Pada akhir ayat tersebut diperingatkan-Nya kepada orang-orang mukmin agar mereka senantiasa bertakwa kepada Allah yang kepada-Nya-lah mereka akan dikumpulkan kelak di hari Kiamat, untuk mempertanggungjawabkan segala amalan mereka dan kemudian diberi-Nya balasan dengan pahala ataupun siksa yang setimpal dengan amalan tersebut.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 94
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya Allah akan memberi cobaan kepada kamu dengan (melarang) sesuatu dari penemuan yang dapat dicapai oleh tangan kamu dan panah-panah kamu."
Artinya, walaupun telah diberi izin kepada kamu berburu binatang, seperti yang telah diterangkan terdahulu (ayat 5), sekarang kamu akan diberi cobaan oleh Allah. Ada waktunya, kamu amat memerlukan binatang buruan itu untuk makananmu, tetapi kamu dilarang berburu. Buruan dapat kamu capai dengan tangan kamu, misalnya dapat kamu keruk sarang-sarang burung atau lubang persembunyian binatang sehingga bisa kamu ambil telurnya atau kamu tangkap anaknya atau kamu panah dengan panah-panah sehingga kenalah rusa atau pelanduk atau burung. Akan tetapi, kamu dilarang mengerjakannya pada waktu itu."Supaya membuktikan Allah, siapakah yang takut kepada-Nya di tempat tersembunyi." Artinya, adakah setia mematuhi larangan itu, walaupun sedang terpencil seorang diri, tidak kelihatan oleh orang lain. Meskipun binatang buruan itu sudah kelihatan, mudah ditangkap dengan tangan, mudah pula dipanah, karena takut kepada Allah, tidaklah kamu lakukan perburuan itu, padahal orang lain tidak melihat.
“Maka siapa yang melanggar sesudah itu, untuknya adalah adzab yang pedih."
Menurut keterangan Muqatil bin Hayyan, ayat ini diturunkan ketika kaum Muslimin ber-henti di Hudaibiyah ketika umrah yang tidak dijadikan tahun itu (tahun keenam). Mereka bersama Rasulullah menunggu selesainya perundirigan dengan orang Quraisy, beberapa hari lamanya mereka berhenti di sana dengan pakaian ihram. Waktu itu, binatang-binatang buruan dan burung-burung yang mendekat ke tempat perhentian mereka sangat luar biasa dan belum pernah mereka alami sebelumnya. Allah melarang mereka berburu binatang-binatang itu, sebab mereka masih ihram.
Hal itulah yang terbayang dalam ayat ini, yaitu bahwa mereka kena uji oleh Allah, padahal buat memburu, menangkap, dan memanah burung-burung itu amat mudah.
Dalam ayat ini pun diterangkan bahwa Allah hendak membuktikan siapakah yang takut kepada Allah, walaupun di tempat yang tersembunyi (gaib). Artinya, tidak ada orang lain yang melihatnya. Misalnya, kalau ada burung buruan melintas di dekat kemahnya, mudah saja dia menyergapnya dan tidak ada temannya yang mengetahui. Namun karena imannya, dia tidak mau melanggar larangan Allah. Meskipun manusia tidak melihat, dia percaya sesungguhnya Allah tetap melihatnya. Inilah tanda iman yang sejati, yaitu bahwa seorang yang beriman tidak akan melanggar perintah Allah. Meskipun seorang diri di tempat tersembunyi, gaib dari tilikan orang lain, dia tetap percaya bahwa dia tidak gaib dari pandangan Allah.
Takut kepada Allah, walaupun di tempat sepi tidak dilihat orang (gaib) dan Allah itu sendiri pun tidak kelihatan oleh mata (gaib). Itulah sendi aqidah dalam Islam dan itulah gejala iman sejati. Dengan itulah, mental dan moral Muslim dibentuk dan dengan itu pula menegakkan khalifah yang dipercayakan Allah kepada insan sebagai keturunan dari Adam.
Memang, manusia tidak melihat Allah, tetapi mereka merasakan Allah dalam hatinya. Dipandang dari segi insan, Allah memang gaib, tetapi hati sanubari sendiri tidak dapat meng-gaibkan Allah. Oleh sebab itu, seorang Muslim sejati tidak berbeda hidup perseorangannya dengan hidup bermasyarakatnya. Meskipun sedang dalam kamar mandi seorang diri atau di dalam bilik sepi tidak disaksikan orang lain, dia tetap orang baik karena yakin bahwa Allah selalu dekat kepadanya, lebih dekat daripada urat lehernya sendiri.
Teringatlah penulis tafsir ini kala dia masih muda mengembara ke luar negeri, sampai di kota-kota besar di Amerika. Sebuah negara yang bebas, Amerika yang tidak ada batas di antara nikah dengan zina. Tidak dilihat oleh anak, tidak disaksikan oleh istri, dan tidak ada murid-murid atau orang-orang yang mencintai yang menyaksikan sehingga mudah berbuat maksiat kalau mau.
Alhamdulillah dia selamat, terlepas dari berbagai godaan. Sebab yang terpenting ialah pertanyaan dalam hati, “Kalau aku berbuat maksiat pada malam ini, ucapan apa yang akan aku ucapkan besok pagi di hadapan Allah kala aku shalat Shubuh? Padahal, selama ini aku membaca doa iftitah. Sesungguhnya shaiatku dan segala ibadahku dan hidupku dan matiku untuk Allah sarwa sekalian alam. Bagaimana aku akan mengulangi ucapan itu besok pagi kalau malamnya aku telah berbuat maksiat. Kalau aku berbuat maksiat malam hari, sudah terang aku malu shalat besok pagi dan seterusnya akan malu mengerjakan shalat selamanya karena kalau ucapan itu aku baca juga teranglah bahwa aku telah berdusta!"
Kesadaran akan adanya Allah dalam jiwa, walaupun gaib dari mata inilah yang mem-bentengi diri dari segala kemaksiatan yang menggoda."Asyhadu alla ilaha illallah." Allah tak tampak, tetapi jiwa menampaknya. Kemudian, timbul iradah hendak mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan demikian, pengaruh kebendaan atas diri mundur dan diri naik ke atas mahligai yang lebih pantas dalam hidup keruhanian.
Dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yang bertemu dengan kehidupan Muslimin seketika terhalang umrah di Hudaibiyah itu, lama terhenti di tengah jalan sedang mereka masih dalam ihram, binatang buruan menepi-nepi mendekat-dekat, Allah telah mencobai mereka. Mereka lolos dari cobaan itu. Tidak seekor binatang pun mereka buru, tidak seekor burung pun mereka ganggu. Dengan percobaan ini, ditunjukkanlah perbedaan Muslim sejati dengan orang Yahudi pelanggar janji pada hari Sabtu yang dilarang menjala atau melukah ikan lalu mereka mencari helah. Mereka memasang lukah sore hari Jum'at, dan istirahat hari Sabtu. Kemudian, pagi-pagi hari Ahad, lukah itu mereka tarik dan penuh dengan ikan. Akhirnya mereka dihukum menjelma menjadi monyet, kera, dan beruk. Ada juga yang menjadi babi.
Moga-moga terhindarlah kita dari hukuman seperti itu.
Sekarang datanglah lanjutan ayat. Mengapa ada larangan berburu? Bilakah ada larangan demikian?
Ayat 95
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh buruan … kamu dalam ihram."
Pada waktu itu berburu dilarang, baik mengambil telur dan anaknya dengan tangan maupun memanah dengan anak panah. Berihram ialah setelah memasang niat naik haji atau umrah sejak dari miqat dan telah memakai pakaian ihram. Atau dalam kondisi tidak mengerjakan umrah dan haji lagi, tetapi masih berada di Tanah Haram. Meskipun belum masuk Tanah Haram, kalau telah mulai berihram, terlarang jugalah berburu. Pada ayat 94 tersebut diterangkan bahwa ini adalah cobaan dari Allah. Sebab dalam perjalanan jauh sebagai musafir, orang kadang-kadang memerlukan binatang buruan, apalagi kalau kelihatan jinak dan mudah.
Ayat ini menurut Muqatil bin Hayyan diturunkan ketika umrah Hudaibiyah yang tidak jadi. Mereka telah berihram dan akan menuju Mekah. Dalam perjalanan, kelihatan banyak burung dan binatang buruan lain yang mudah sekali diburu, tetapi mereka dilarang. Padahal binatang perburuan itu amat enak dimakan."Karena barangsiapa di antara kamu yang membunuhnya dengan sengaja maka dendanya ialah binatang-binatang ternak sebandirig dengan yang dibunuh." Itulah dendanya kalau melakukan perburuan dalam suasana ihram. Oleh karena itu, walaupun dendanya sudah tertentu, pada pokoknya ijma'-lah sekalian ulama bahwa berburu di waktu ihram atau di Tanah Haram itu haram hukumnya. Menurut Imam Syafi'i, yang haram diburu itu ialah sekalian binatang liar yang halal dimakan dagingnya, seumpama kijang, rusa, pelanduk, kambing hutan, ayam hutan, burung-burung, dan sebagainya. Lantaran itu, menurut beliau tidaklah terlarang memakan daging binatang yang bukan buruan ketika ihram sebab didapatnya bukan dengan berburu. Dan tidak pula terlarang membunuh binatang buruan yang dagingnya tidak di-makan. Seumpama singa, harimau, serigala, ulat-ulat, kala dan tikus, gagak dan anjing gila. Menurut Imam Hanafi, ular-ular pun tak apa dibunuh pada waktu ihram.
Terdapat perbedaan kecil-kecil di antara madzhab-madzhab, contohnya bagaimana jika orang yang sedang ihram dihadiahi daging buruan oleh orang yang bukan berihram. Sebagian besar mengatakan tidak mengapa sebab Rasulullah ﷺ pernah memakan daging keledai hutan (zebra) yang dihadiahkan, sedangkan beliau berihram. Dan kesimpulan paham di antara semuanya ada tiga:
1. sedang berihram,
2. binatang buruan, dan
3. dengan sengaja.
Kalau tidak sedang berihram, bolehlah berburu. Membunuh binatang buas tidaklah terlarang sebab bukan akan dimakan. Telanjur, terbunuh karena alpa tidaklah haram, tetapi wajib membayar dendanya. Dendanya adalah binatang ternak."Yang akan diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kamu." Sebab binatang ternak itu ada biri-biri, kambing, lembu, dan unta. Dan yang diburu pun macam-macam pula. Ada kambing hutan, rusa sebesar lembu, banteng sebesar unta, zarafah sebesar unta, dan sebagainya. Dua orang yang adil atau yang mengerti perimbangan binatang itu, merekalah yang memutuskan. Keputusan mereka mengikat, “Sebagai kurban buat disampaikan kepada Ka'bah." Maksudnya binatang ganti atau denda itu dikirim ke Mekah atau dicari di Mekah dan diberikan menjadi makanan fakir miskin yang hidup di sekeliling Ka'bah itu."Atau denda memberi makan orang-orang miskin, atau sebandirig dengan itu puasa, supaya dia rasai kesalahan perbuatannya itu." Maka inilah tiga tingkatan denda; pertama ganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan besarnya buruan yang diburu. Dengan dipertimbangkan oleh dua orang hakim yang adil. Kalau tidak sanggup hendaklah memberi makan orang miskin. Kalau tidak sanggup pula hendaklah berpuasa.
Menurut keterangan lbnu Abbas adalah demikian, “Apabila orang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, hendaklah dia membayar denda. Kalau yang dibunuhnya itu sebangsa rusa dan seumpamanya, dendanya ialah seekor lembu. Kalau tidak sanggup hendaklah berpuasa dua puluh hari. Kalau yang dibunuhnya itu sebangsa na'amah (burung unta) atau keledai liar (zebra) dan seumpamanya, dendanya ialah seekor unta. Kalau tidak sanggup, hendaklah memberi makan tiga puluh orang miskin. Kalau tidak sanggup pula hendaklah puasa tiga hari. Memberi makan orang miskin, yang mengenyangkan mereka." Sekian lbnu Abbas.
Namun denda-denda ialah sebagai hukuman, supaya mereka merasakan benar-benar beratnya kesalahan mereka."Diberi maaf oleh Allah apa yang telah lalu." Yaitu telanjur memburu binatang buruan sebelum datang larangan ini, untuk menghilangkan waswas dalam hati mereka yang terkenang akan kesalahannya pada zaman jahiliyyah.
“Tetapi, barangsiapa yang mengulangi lagi maka Allah akan menyiksanya. Dan Allah adalah Mahagagah lagi Pembatas."
Dengan ancaman Allah ini, jelaslah bahwa berburu waktu ihram atau di Tanah Haram dilarang (haram), dosa besar hukumnya, walaupun ada dendanya. Yang telah telanjur membunuh tanpa disengaja pun hendaklah didenda, tetapi dia tidak berdosa. Namun, yang sengaja berbuat demikian, berdosa besarlah dia, dan denda dibayar juga. Kesalahan yang lama, sebelum turun hukum, dimaafkan. Kalau diulang lagi, kemurkaan Allah-lah yang akan menimpanya, walaupun denda dibayar. Hendaklah dijaga benar-benar kehormatan yang telah diberikan Allah ketika mengerjakan ihram lagi tentang buruan laut.
Ayat 96
“Dihalalkan bagi kamu buruan laut dan makanannya, sebagai bekal bagi kamu dan bagi orang-orang pelayan."
Dengan ayat ini, dibukakanlah seluas-luasnya tentang halalnya segala jenis binatang yang hidup di laut atau dalam air. Segala macam ikan. Disebut buruan laut, sebab pengail atau nelayan mencari ikan ke laut itu berburu juga namanya. Ayat ini membuka pintu demikian luas bahwa segala jenis yang hidupnya bergantung pada laut, walaupun kadang-kadang ia bisa juga keluar sebentar-sebentar ke darat, halal dimakan. Misalnya kepiting, ambal-am-bai, teripang, dan sebagainya. Demikian juga yang dalam pemakaian bahasa kita namai singa laut atau anjing laut, menjadi halal juga dimakan. Sebab hidupnya di laut. Apalagi setelah disebutkan pula “dan makanannya", menjadi lebih umumlah ia, tidak saja lagi yang berupa ikan, bahkan lumut laut pun dijadikan orang sebagai makanan (agar-agar).
Memang banyak macam makanan yang dapat dikeluarkan dari dalam laut, dengan segala kerangnya, lokannya, kepitingnya, udangnya, dan sebagainya."Tetapi, diharamkan bagi kamu buruan darat selama kamu dalam ihram." Untuk penguatkan larangan tersebut tadi. Jika ihram telah selesai dan kamu telah keluar dari Tanah Haram, larangan berburu buruan darat tidak ada lagi. Keadaan berlaku sebagai biasa.
“Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu sekalian akan dikumpulkan."
Sepatutnyalah kamu bertakwa kepada Allah lantaran keluasan yang telah Allah berikan dalam hal itu. Karena hanya sedikit masa yang terlarang berburu, yaitu kala ihram atau di Tanah Haram, selebihnya dibolehkan. Mencari buruan ke laut pun boleh pada segala masa. Orang yang sedang ihram ketika dia masih di Jeddah, misalnya, sebelum berangkat ke Mekah boleh memanting. Nanti berangkat lagi dengan mobil untuk umrah ke Mekah. Jika sudah demikian, Allah memberikan kelapangan kepadamu, tetaplah bertakwa kepada Allah dan janganlah larangan-Nya diabaikan. Karena kamu semuanya akan dikumpulkan kelak di Padang Mahsyar di hadapan-Nya untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu.
Tidak syak lagi kalau timbul pula penelitian ulama tentang buruan-buruan laut itu. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa binatang laut yang sebagian besar hidupnya di laut, adalah halal belaka. Meskipun terkadang mereka ada juga yang bermain-main ke darat, seumpama penyu. Namun, panjang pula perbincangan tentang yang hidup di dua daerah, bisa lama di laut dan bisa lama pula di darat. Tentu ini menjadi perbincangan, sebab dalam ayat tentang hal ini tidak ditegaskan. Setengah ulama mengambil patokan bahwa yang hidup antara dua daerah itu termasuk haram dimakan, setengahnya lagi mengatakan makruh. Yang terkenal berat ke makruh adalah Imam Malik. Oleh sebab itu, tidaklah kita heran kalau menjadi perbincangan orang tentang makan katak (kodok). Dia hidup di dua daerah. Atau ada yang hidup di satu daerah saja dan ditilik pada apa yang dimakannya, tidaklah kodok itu memakan yang kotor, seperti babi, dan tidak pula seperti singa dan anjing. Terutama kodok hijau. Apakah ia termasuk bangsa ikan?
Barangkali dalam soal kodok masihlah mudah diselesaikan. Namun, bagaimana dengan buaya dan biawak? Kalau di samping imam-imam ikutan kita itu, kita hendak berijtihad. Penulis berat persangkaan, tidak akan ada orang yang mengatakan halal dimakan. Apalagi komodo yang memakan bangkai di Pulau Komodo itu. Sekurang-kurangnya orang akan mengikuti ijtihad Imam Malik, yaitu makruh. Ingatlah arti makruh, yaitu dibenci. Dan akan banyak yang berpendapat haram, seperti Imam Syafi'i, yang memang lebih keras penjagaan beliau tentang makanan.
Untuk menetapkan pikiran kita, ingatlah kembali ayat 88 di atas tadi, yaitu perintah Allah agar memakan makanan yang halal, tetapi baik (halalan thayyiban).
Mengenai makanan laut sebagai yang tersebut di ayat tadi, telah dijelaskan oleh hadits-hadits Abu Hurairah dan keterangan dari Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas, Abu Ayub, dan Jabir bin Abdullah, yang semuanya itu sahabat Rasulullah ﷺ Adapun yang dimaksud tentang makanan laut sebagai tambahan dari buruan laut tadi ialah ikan atau isi laut yang lain, yang diantarkan ombak atau diangkut pasang naik ke tepi, dan setelah pasang surut ia tinggal, baik hidup maupun mati, semuanya halal dimakan. Jadi, ayat ini dapat disimpulkan artinya demikian: “Dihalalkan bagi kamu pergi menangkap ikan ke laut dengan segala macam alatnya, seumpama jaring, kail, pukat, jala, pasap, dan sebagainya. Dihalalkan bagi kamu seluruh hasil buruan itu ataupun makanan dari seluruh binatang laut yang didapat bukan karena dikail, baik kail orang lain maupun kail kamu sendiri. Dihalalkan juga bagi kamu mengail, menjala, memukat ikan, dan segala yang berkenaan dengan penangkapan ikan, baik kamu sedang ihram sekalipun. Semuanya sebagai bekal bagimu. Dan jika kamu orang yang suka berlayar, makanan laut itu terlebih dihalalkan bagi kamu. Bolehlah kamu sambil berlayar sambil memancing."
Selanjutnya, disebutkan pula dalam ayat bahwa diharamkan bagi kamu buruan darat selama kamu dalam ihram, termasuk juga selama kamu di Tanah Haram. Dapatlah diambil kesimpulan dari keterangan itu bahwas kalau orang lain yang bukan dalam ihram, dia berburu dan bukan di dalam Tanah Haram, memberikan hasil buruannya kepada kamu, padahal kamu sedang ihram, tidaklah mengapa kamu makan. Dan ini dikuatkan oleh apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ menurut hadits yang shahih, riwayat Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim bahwa Abu Qatadah yang
bukan sedang dalam ihram, berburu keledai liar (zebra) sampai dapat. Setelah buruan itu dipotong-potongnya, diberikannya pada sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang sedang berihram di Hudaibiyah dan akan menuju ke Mekah. Beberapa sahabat ragu menerima, apakah boleh dimakan apa tidak. Kemudian disampaikan kepada Rasulullah ﷺ Beliau meminta daging tersebut sekerat kepada Abu Qatadah dan beliau turut memakannya.
KEMULIAAN KA'BAH
Apakah sebabnya Allah mengadakan tum-pak tanah yang disebut “Haram" dan di sana dilarang berburu?
Sebabnya ialah untuk memelihara kesucian Ka'bah. Itulah yang dijelaskan oleh ayat berikutnya,
Ayat 97
“Allah telah menjadikan Ka'bah, timah … itu, berdiri (teguh) untuk manusia."
Kalimat Ka'bah menurut keterangan Mujahid dan Ikrimah ialah sesuatu yang bersegi empat. Dan arti yang lain ialah yang menonjol ke luar atau yang membujur ke atas.
Ia telah menjadi nama yang tetap atau yang didirikan oleh Nabi Ibrahim dibantu oleh putranya Isma'il di lembah yang tidak bertumbuh-tumbuhan di Mekah, yang sejak zaman purbakala diriamai juga Ummul Qura, artinya ibu negeri-negeri atau desa-desa. Nama Ka'bah telah diletakkan ke rumah segi empat itu sehingga tidak ada lagi rumah segi empat yang lain yang beroleh nama Ka'bah, selain rumah ibadah yang satu itu saja. Sejak dahulu, ketika Ka'bah disebut rumah yang suci dan kemudian sesudah di sekelilingnya dibangun masjid-masjid, yang diriamai Masjidil Haram. Kemudian ditentukan pula mana batas-batas keliling Mekah itu, yang lalu diriamai Tanah Haram (al-ardhul muqaddasah atau billadillah al-Haram) dan sampai ke zaman kita ini dan in syaa Allah sampai hari Kiamat batas-batas itu akan tetap dipelihara.
Disebutlah dalam ayat ini bahwa Ka'bah, rumah yang suci itu telah dijadikan Allah sebagai tempat yang berdiri teguh (kiaman) untuk manusia. Artinya ialah tempat manusia berlindung, tempat manusia mencari keamanan di dalam melakukan ibadah kepada Allah Yang Maha Esa. Barangsiapa yang masuk ke dalamnya, beroleh keamanan, tidak boleh diganggu gugat. Bukan saja manusia beroleh keamanan di dalamnya, bahkan burung-burung, binatang-binatang, dan ulat-ulat serangga pun harus merasakan aman di dalam wilayah itu. Terutama pula dalam zaman mengerjakan ihram haji bagi yang tengah melakukan ibadah itu atau umrah.
“Begitu pun bulan yang suci." Artinya, ditentukan pula beberapa bulan yang suci dan dihormati ketika bulan-bulan itu tidak boleh berbunuh-bunuhan, yaitu bulan Dzulqa'idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Pada bulan-bulan suci tersebut, manusia di tanah suci itu mendapat perlindungan. Se-sampainya di sana, golongan-golongan yang tadiriya bermusuhan wajib menghentikan permusuhannya. Sejak zaman jahiliyyah pun kesucian bulan-bulan ini telah dihormati. Tidak ada penuntutan bela kematian, tidak ada balas dendam sehingga jika seseorang waktu itu berada di Mekah, lalu melihat pembunuh ayahnya sedang berthawaf, dia tidak mau membalaskan dendamnya. Selama bulan-bulan itu, orang berniaga dan beribadah. Melihat Ka'bah menonjol ke udara dengan selubungnya yang hitam, hati merasa tenteram, jiwa merasa aman. Manusia merasa dilindungi dari segala gangguan dan ketakutan. Oleh sebab itu, Ka'bah berdiri teguh sebagai tempat yang aman dan tempat bulan suci berdiri teguh sebagai masa yang aman.
“Dan binatang kurban." Yang dalam istilah agama diriamai al-badyu, yakni binatang-binatang yang disembelih dalam rangka mengerjakan haji dan umrah. Misalnya Haji Tamathu' meminta kurban yang semuanya dinamai al-hadyu.
Binatang-binatang yang telah disediakan buat kurban itu pun tidak boleh diganggu jika dia sedang dihalau orang menuju Mekah di musim haji. Dan binatang-binatang itupun apabila telah diriiatkan untuk ad-hadyu (kurban) dibiarkan aman, tidak digunakan untuk maksud lain."Dan (kurban) bertanda." Kurban bertanda biasanya ialah unta-unta yang telah disediakan untuk al-hadyu atau kurban itu diberi tanda; kadang-kadang diberi tanda kain merah atau daun-daun kayu atau kembang-kembang dikalungkan di leher binatang itu. Binatang bertanda itupun dibiarkan dengan amannya menuju Mekah.
Perlindungan ini pun diikuti orang sehingga kerap kali binatang-binatang kurban, baik yang tidak bertanda maupun yang bertanda, beriring-iring ke Mekah diantarkan oleh penggembalanya atau tersesat dari penjagaan gembalanya dibiarkan orang saja berjalan menuju Mekah dengan aman.
“Yang demikian itu supaya kamu tahu bahwasanya Allah adalah mengetahui apa pun yang ada di semua langit dan apa yang di bumi."
Jadi, perhatikanlah bagaimana Allah menentukan kesucian Ka'bah itu menjadi penyokong dan tempat berlindung mencari keamanan bagi manusia dan aman pula binatang buruan, tunduk bangsa Arab yang terkenal bermusuh-musuhan di antara satu kabilah dengan lain kabilah pada zaman jahiliyyah. Tunduk mereka pada peraturan keamanan itu, walaupun telah menggelegak permusuhan, walaupun bertemu dengan seorang yang membunuh ayahnya di dekat rumah suci itu, dendamnya tidaklah dibalas-kannya. Sangatlah rindu manusia agar terdapat tempat yang demikian di dunia ini, tempat yang di sana tak ada kesumat, tak ada pembalasan dendam, sukarlah dibangun tempat demikian. Namun, di Mekah telah ada tempat begitu sejak beribu tahun. Di sana orang melakukan ibadah, latihan jasmani dan ruhani, pusat persahabatan umat yang satu kepercayaan. Apabila direnungkan dengan pikiran yang mendalam keadaan Ka'bah itu, sampailah ingatan kepada Mahakuasa Allah yang mengatur semua langit dengan perjalanan falaknya, dengan matahari, bulan, dan bintang-bintangnya. Bertambah maju pengetahuan, bertambah pulalah kepercayaan mereka atas kekuasaan Allah yang meliputi itu semua. Demikianlah jika ditukikkan pandangan ke bumi sendiri. Melihat alam jamadat termasuk tanah, batu, pasir, bukit, dan gunung. Alam nabataat termasuk kayu-kayuan, buah-buahan, rumput-rumputan, kembang berbagai warna dan wangi. Alam hayawan, yaitu binatang-binatang di darat, burung di udara, serangga di tanah, dan ikan di laut. Semuanya mendapat perlindungan dari Allah menurut garis-garis hidup sendiri yang telah ditentukan. Satu di antaranya, jika kita sedang berada di Mekah, misalnya petang hari sehabis shalat Ashar; lihatlah beribu-ribu burung merpati terbang, hinggap, terbang lagi, berkerumun memperebutkan makanan yang diberikan orang. Alangkah amannya hidup beribu-ribu burung itu. Mereka menjadi hiasan hati. Burung merpati yang di mana-mana di dunia ini menjadi lambang perdamaian. Telah beribu-ribu tahun mereka hidup di situ turun-temurun, tidak ada orang yang mengganggu, sebab hidupnya dijamin. Binatang buruan tidak boleh dibunuh di Tanah Haram atau ketika sedang mengerjakan ihram.
Memang tidaklah pantas berburu binatang buruan di tempat demikian dan pada saat demikian. Tidaklah layak pula rumput mudanya dicabut dan dahan kayunya dise-kahkan. Karena di dalam melakukan ibadah itu kita merasakan jiwa kita sendiri sedang menerawang langit hijau. Jiwa kita mendekati Allah Pencipta seluruh langit dan bumi, dan merasakan dalam hati sanubari kita bahwa Allah melihat tingkah laku kita pada waktu itu.
Kemudian, bersabdalah Rasulullah ﷺ menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.
“Berkaca dia: berkata Rasulullah saut, ‘Sesungguhnya ini adalah negeri yang suci; pohon-pohonnya tak boleh disekakkan, rumput-rumput-nya tak boleh dicabut, binatang buruannya tak boleh diburu dan barang-barangnya yang jatuh tak boleh dipungut kecuali orang yang memper-kenalkan. (HR Bukhari dan Muslim)
Jauhlah ingatan kita dari sebab demikian. Ingatlah kita akan agama yang kita peluk ini, yaitu Islam. Dan cita-cita kita di dalamnya ialah salam, artinya damai. Dan ucapan kita bila bertemu ialah assalamu'alaikum, damailah atasmu. Di keliling Ka'bah kita mencari kedamaian dalam jiwa dan mula kita masuk, kita masuk dari babussalam, pintu kedamaian, untuk menuju pula kedamaian yang kekal di darussalam, yaitu Surga Jannatun-Na'im.
“Dan bahwasanya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahatahu."