Ayat
Terjemahan Per Kata
يَسۡـَٔلُونَكَ
mereka akan menanyakan kepadamu
عَنِ
tentang
ٱلۡأَنفَالِۖ
harta rampasan perang
قُلِ
katakanlah
ٱلۡأَنفَالُ
harta rampasan perang
لِلَّهِ
kepunyaan Allah
وَٱلرَّسُولِۖ
dan Rasul
فَٱتَّقُواْ
maka bertakwalah kamu
ٱللَّهَ
Allah
وَأَصۡلِحُواْ
dan perbaikilah
ذَاتَ
perhubungan
بَيۡنِكُمۡۖ
diantara kamu
وَأَطِيعُواْ
dan taatlah kamu
ٱللَّهَ
Allah
وَرَسُولَهُۥٓ
dan RasulNya
إِن
jika
كُنتُم
kalian adalah
مُّؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
يَسۡـَٔلُونَكَ
mereka akan menanyakan kepadamu
عَنِ
tentang
ٱلۡأَنفَالِۖ
harta rampasan perang
قُلِ
katakanlah
ٱلۡأَنفَالُ
harta rampasan perang
لِلَّهِ
kepunyaan Allah
وَٱلرَّسُولِۖ
dan Rasul
فَٱتَّقُواْ
maka bertakwalah kamu
ٱللَّهَ
Allah
وَأَصۡلِحُواْ
dan perbaikilah
ذَاتَ
perhubungan
بَيۡنِكُمۡۖ
diantara kamu
وَأَطِيعُواْ
dan taatlah kamu
ٱللَّهَ
Allah
وَرَسُولَهُۥٓ
dan RasulNya
إِن
jika
كُنتُم
kalian adalah
مُّؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
Terjemahan
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya). Maka, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang mukmin.”
Tafsir
Al-Anfaal (Harta Ghanimah Perang)
(Mereka menanyakan kepadamu) hai Muhammad (tentang harta rampasan) perang, siapakah yang berhak menerimanya (Katakanlah,) kepada mereka ("Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan rasul-Nya) harta rampasan perang itu terserah menurut kesukaan Allah dan rasul-Nya; kemudian Rasulullah ﷺ membagi-bagikan harta rampasan itu secara merata kepada mereka semuanya. Demikianlah menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (sebab itu bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu) yakni jalinlah kembali hubungan antara kalian dengan penuh kecintaan dan tinggalkanlah persengketaan (dan taatlah kalian kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang yang beriman.") yang benar-benar beriman.
Tafsir Surat Al-Anfal: 1
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, "Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian adalah orang-orang yang beriman.
Imam Bukhari mengatakan, "Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan anfal ialah harta rampasan perang." Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang surat Al-Anfal.
Maka Ibnu Abbas menjawab, "Surat ini diturunkan di Badar." Adapun riwayat yang berpredikat muallaq dari Ibnu Abbas, maka ia diriwayatkan oleh Ali Ibnu Abu Talhah dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan, "Yang dimaksud dengan anfal ialah ganimah (harta rampasan perang). Pada awal mulanya harta rampasan perang hanyalah untuk Rasulullah ﷺ, tiada seorang pun yang berhak mengambilnya barang sedikit pun."
Pendapat yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, ‘Atha’ Adh-Dhahhak, Qatadah, ‘Atha’ Al-Khurrasani, Muqatil ibnu Hayyan, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang; mereka mengatakan bahwa anfal ialah ganimah.
Al-Kalbi telah meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; ia mengatakan bahwa anfal ialah ganimah. Sehubungan dengan pengertian ini, Labid seorang penyair dalam salah satu bait syairnya mengatakan: “Sesungguhnya takwa kepada Tuhan kami merupakan ganimah yang paling baik, dan ketenangan serta ketergesa-gesaanku hanyalah semata-mata karena seizin Allah.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Anas, dari Ibnu Syihab, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna anfal.
Maka Ibnu Abbas menjawab bahwa kuda termasuk harta rampasan, dan harta benda termasuk harta rampasan.
Kemudian lelaki itu mengulangi lagi pertanyaannya, maka Ibnu Abbas menjawabnya dengan jawaban yang serupa. Tetapi lelaki itu bertanya lagi, "Al-Anfal yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an itu apa maksudnya?” Al-Qasim ibnu Muhammad melanjutkan kisahnya, bahwa lelaki itu terus mencecar Ibnu Abbas dengan pertanyaannya hingga hampir membuat Ibnu Abbas marah (karena lelaki itu masih juga tidak mau mengerti). Maka Ibnu Abbas berkata, "Tahukah kalian, siapakah yang mirip dengan orang ini? Ia mirip dengan tukang samak kulit yang dipukul oleh Umar ibnul Khattab."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mamar, dari Az-Zuhri, dari Al Qasim Ibnul Muhammad yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah bercerita, Khalifah Umar ibnul Khattab apabila ditanya mengenai suatu masalah, maka ia mengatakan, “Saya bukan orang yang memerintahmu, bukan pula orang yang melarangmu." Kemudian Ibnu Abbas mengatakan, "Demi Allah, tidak sekali-kali Allah mengutus Nabi-Nya ﷺ melainkan sebagai juru pemberi peringatan lagi memerintah dan menghalalkan serta mengharamkan."
Al-Qasim melanjutkan kisahnya, "Lalu ada seorang lelaki yang bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna anfal. Ibnu Abbas menjawab, 'Seorang lelaki dapat saja menghadiahkan kuda dan senjatanya kepada lelaki lain,' Lelaki itu mengulangi lagi pertanyaannya, dan Ibnu Abbas menjawabnya dengan jawaban yang serupa. Lalu lelaki itu kembali bertanya kepada Ibnu Abbas, sehingga Ibnu Abbas emosi karenanya. Kemudian Ibnu Abbas berkata, 'Tahukah kalian, siapakah yang mirip dengan orang ini? Dia mirip dengan tukang samak kulit yang pernah dipukul oleh Umar ibnul Khattab, hingga darahnya mengalir sampai kedua tumitnya atau sampai membasahi kedua kakinya.’ Maka lelaki itu mengatakan, 'Adapun engkau, maka Allahlah yang akan memberikan pembalasannya mengingat usiamu'."
Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas. Dalam atsar ini disebutkan bahwa Ibnu Abbas menafsirkan kata anfal dengan pengertian 'hadiah yang diberikan oleh imam kepada sebagian orang', hadiah itu diambil oleh imam dari harta rampasan atau harta lainnya, sesudah imam membagi-bagikan rampasan yang pokok.
Pengertian inilah yang cepat ditangkap oleh kebanyakan ulama fiqih dari lafal an-nafl. Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa sesungguhnya mereka (para sahabat) pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang seperlima ganimah sesudah empat perlimanya dibagikan. Maka turunlah firman-Nya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.” (Al-Anfal: 1) Ibnu Mas'ud dan Masruq mengatakan bahwa tidak ada nafl pada hari pertempuran. Sesungguhnya nafl hanya dilakukan sebelum kedua barisan bertempur.
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari keduanya.
Ibnul Mubarak dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang telah meriwayatkan dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, sehubungan dengan makna firman-Nya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.” (Al- Anfal: 1) Bahwa mereka menanyakan kepadamu tentang harta rampasan yang diperoleh kaum muslim dari kaum musyrik tanpa melalui perang, baik berupa hewan kendaraan ataupun budak laki-laki atau budak perempuan atau harta benda. Maka hal itu merupakan nafl buat Nabi ﷺ, beliau dapat melakukannya menurut apa yang disukainya.
Pendapat ini memberikan pengertian bahwa makna nafl sama dengan fai yaitu barang yang diambil dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan. Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah harta rampasan pasukan khusus.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Saleh ibnu Hay yang mengatakan bahwa telah sampai suatu berita yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.” (Al-Anfal: 1) Yang dimaksud ialah saraya (bentuk jamak dari sariyyah yang artinya pasukan khusus).
Dengan demikian, berarti makna yang dimaksud ialah hadiah yang diberikan oleh imam kepada sebagian anggota pasukan sebagai tambahan dari bagian mereka sehingga lebih banyak dari bagian pasukan lainnya. Hal ini telah dijelaskan oleh Asy-Sya'bi, dan Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa anfal ialah bagian ganimah yang dilebihkan. Pendapat ini diperkuat dengan sebuah riwayat yang menerangkan tentang latar belakang turunnya ayat ini, yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaibani, dari Muhammad ibnu Ubaidillah As-Saqafi. dari Sa'd ibnu Abu Waqqas yang mengatakan: Ketika Perang Badar berkecamuk dan saudaraku Umar gugur, maka aku membunuh Sa'id ibnul As dan aku rampas pedangnya yang diberi nama Zal Katffah. Kemudian aku menyerahkannya kepada Nabi ﷺ, lalu beliau ﷺ bersabda: 'Pergilah, dan letakkanlah pedang itu di tempatnya semula'. Lalu Sa'd ibnu Abu Waqqas meletakkan pedang itu dan kembali dalam keadaan sangat sedih (hanya Allah yang mengetahuinya) karena saudaranya telah gugur dan harta rampasannya diambil. Tidak berapa lama sesudah itu turunlah surat Al-Anfal. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Pergilah kamu dan ambillah harta rampasanmu!”
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu ‘Ashim ibnu Abun Nujud, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari Sa'd ibnu Malik yang menceritakan bahwa ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah memuaskanku pada hari ini sehubungan dengan orang-orang musyrik, maka berikanlah pedang ini kepadaku." Tetapi Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya pedang ini bukan untukmu, bukan pula untukku. Letakkanlah pedang ini.”
Lalu aku (Sa'd ibnu Malik) meletakkannya dan aku pergi seraya berkata kepada diriku sendiri, "Barangkali pedang ini akan diberikan kepada orang yang tidak mendapat cobaan seperti cobaan yang aku alami.” Sa'd ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Tidak lama kemudian ada seorang lelaki menyeruku dari arah belakang, sehingga aku berkata kepada diriku, 'Sesungguhnya Allah telah menurunkan sesuatu berkenaan denganku.' Lelaki itu berkata, 'Sesungguhnya engkau pernah meminta kepadaku pedang ini, padahal pedang ini bukan hasil rampasanku, tetapi diberikan kepadaku. Maka sekarang pedang ini kukembalikan kepadamu sebagai milikmu’." Sa'd ibnu Malik mengatakan bahwa Allah ﷻ telah menurunkan ayat ini: “Mereka menanyakan kepadaku tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul’." (Al-Anfal: 1)
Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Abu Bakar ibnu Ayyasy dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi: telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Sammak ibnu Harb yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Mus'ab ibnu Sa'd menceritakan hadits dari Sa'd yang mengatakan bahwa telah diturunkan empat ayat berkenaan dengan dirinya. Ia pernah memperoleh sebilah pedang dalam perang badar, lalu ia datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Bolehkah pedang ini untukku sebagai nafilah?" Nabi ﷺ bersabda, "Letakkanlah pedang itu di tempat semula ketika engkau mengambilnya," sebanyak dua kali. Kemudian ia mengulangi permintaan, tetapi Nabi ﷺ bersabda, "Letakkanlah pedang itu di tempat semula ketika engkau mengambilnya." Maka turunlah ayat ini, yaitu: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan.” (Al-Anfal: 1) hingga akhir ayat.
Hadits dalam bentuk lengkapnya ada pada penyebab turunnya firman Allah ﷻ: “Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya.” (Al-Ankabut: 8)
“Sesungguhnya (meminum) khamr dan berjudi.” (Al-Maidah: 90) Dan ayat lainnya mengenai wasiat.
Imam Muslim telah meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya melalui hadits Syu'bah dengan lafal yang sama.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Abu Bakar, dari sebagian orang dari kalangan Bani Sa'idah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Usaid (yaitu Malik ibnu Rabi'ah) mengatakan bahwa ia berhasil merampas pedang Ibnu Aiz dalam Perang Badar, pedangnya itu diberi nama Al-Mirzabun.
Ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada semua orang untuk mengumpulkan semua rampasan yang berada di tangan mereka, maka ia datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ seraya membawa pedang rampasan itu, lalu ia melemparkannya di tempat pengumpulan ganimah. Dan Rasulullah ﷺ tidak pernah menolak sesuatu pun yang diminta darinya. Kemudian Al-Arqam ibnu Abul Arqam Al-Makhzumi melihat pedang tersebut, lalu ia memintanya kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ memberikan pedang itu kepadanya.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula hadits ini melalui jalur periwayatan yang lain.
Penyebab lain yang melatarbelakangi turunnya ayat ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Abdur Rahman, dari Sulaiman ibnu Musa, dari Mak-hul, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubadah tentang makna Al-Anfal. Maka Ubadah menjawab bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang ikut dalam Perang Badar, yaitu ketika kami berselisih pendapat tentang harta rampasan sehingga budi pekerti kami menjadi buruk karenanya.
Maka Allah ﷻ mencabutnya dari tangan kami dan menjadikannya di bawah kekuasaan tangan Rasulullah ﷺ. Kemudian Rasulullah ﷺ membagikannya di antara sesama kami dengan pembagian yang rata.
Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Abi Ishaq, dari Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Abdullah ibnu Ayyasy ibnu Abu Rabi'ah, dari Sulaiman ibnu Musa, dari Abu Salamah, dari Abu Umamah, dari Ubadah ibnus Samit yang menceritakan, "Kami berangkat bersama Rasulullah ﷺ, dan saya ikut berperang bersamanya di medan Perang Badar. Kedua belah pasukan bertempur dan Allah mengalahkan musuh kami. Kemudian segolongan dari kami mengejar pasukan musuh yang melarikan diri dan memerangi mereka, sedangkan segolongan lagi tetap berada di medan perang, mengumpulkan ganimah.
Segolongan yang lainnya ada tetap di markas pasukan kaum muslim menjaga keselamatan Rasulullah ﷺ agar jangan dibokong oleh musuh saat sedang dalam keadaan lalai. Dan pada malam harinya sebagian di antara pasukan kaum muslim berebutan ganimah dengan sebagian yang lainnya. Orang-orang yang mengumpulkan ganimah mengatakan, 'Kamilah yang mengumpulkannya, maka tiada seorang pun yang beroleh bagian selain kami.'
Sedangkan orang-orang yang pergi mengejar musuh mengatakan, "Kalian bukanlah orang-orang yang lebih berhak padanya daripada kami. Kamilah yang menjadi benteng Nabi ﷺ dari pasukan musuh, dan kami berhasil mengalahkan mereka. Dan orang-orang yang tetap mengawal Rasulullah ﷺ berkata, 'Kami merasa khawatir bila musuh menyerang Rasulullah ﷺ dengan serangan bokongan saat tidak terkawal, sehingga kami sibuk dengan pekerjaan kami.'
Maka saat itulah turun firman Allah ﷻ: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian’." (Al-Anfal: 1) Maka Rasulullah ﷺ membagi-bagikannya di antara semua kaum muslim.
Rasulullah ﷺ apabila melakukan peperangan di tanah musuh, maka beliau ﷺ selalu beroleh seperempat dari harta rampasan. Apabila melakukan perang dalam perjalanan pulangnya, beliau mendapat sepertiga dari harta rampasan, dan beliau ﷺ tidak menyukai harta rampasan."
Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri, dari Abdur Rahman ibnul Haris dengan lafal yang semisal. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkannya melalui hadits Abdur Rahman ibnul Haris. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Imam Abu Daud, Imam An-Nasai, Ibnu jarir, dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan hadits berikut dengan lafal (teks) menurut yang ada padanya, demikian pula Ibnu Hibban serta Imam Hakim, semuanya meriwayatkan hadits ini melalui berbagai jalur, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika Perang Badar, Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa yang berbuat anu dan anu, maka baginya hadiah anu dan anu." Maka pasukan kaum muslim yang berusia muda segera melaksanakannya, sedangkan yang berusia tua tetap berada di bawah panji-panji, mempertahankan diri.
Kemudian ketika ganimah diperoleh mereka, maka para pemuda datang untuk menuntut hadiah yang disediakan bagi mereka. Tetapi orang-orang yang telah berusia tua berkata, "Janganlah kalian mementingkan diri sendiri dan melalaikan kami, karena sesungguhnya kami adalah, sebagai benteng bagi kalian. Sekiranya kalian terpukul mundur, niscaya kalian akan kembali kepada kami." Mereka bersengketa. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.” (Al-Anfal: 1) sampai dengan firman-Nya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian adalah orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 1)
Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika Perang Badar Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa yang membunuh musuh, maka baginya hadiah anu dan anu; dan barang siapa yang berhasil menawan musuh, maka baginya hadiah anu dan anu." Lalu datanglah Abul Yusr dengan membawa dua orang tawanan dan berkata, "Wahai Rasulullah, semoga Allah melimpahkan salawatNya kepadamu, manakah hadiah kami?" Maka Sa'd ibnu Ubadah berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau, jika memberi mereka, niscaya sahabat-sahabatmu yang lain tidak kebagian sesuatu pun. Dan sesungguhnya tiada yang mencegah kami dari enggan dengan upah (hadiah) dan takut kepada musuh, melainkan kami tetap di posisi kami demi mengawal engkau dan karena khawatir bila musuh datang menyerangmu dari arah belakang."
Akhirnya mereka bersengketa, lalu turunlah firman Allah ﷻ: ‘Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul’." (Al-A'raf: 1)
Ibnu Abbas juga mengatakan bahwa turun pula firman-Nya yang lain, yaitu: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kalian peroleh sebagai rampasan perang maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah.” (Al-Anfal: 41), hingga akhir ayat.
Imam Abu Ubaidillah Al-Qasim ibnu Salam rahimahullah di dalam kitab 'Harta-harta yang Diakui oleh Syariat dan Penjelasan mengenai Sumber-sumber serta Pengalokasiannya' mengatakan bahwa anfal adalah harta rampasan perang, dan termasuk pula semua yang diperoleh kaum muslim dari harta benda kafir harbi. Pada awalnya seluruh anfal yang diperoleh kaum muslim diberikan kepada Rasulullah ﷺ. Allah ﷻ telah berfirman sehubungan hal ini: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul’." (Al-Anfal: 1)
Kemudian Rasulullah ﷺ membagi-bagikannya dalam Perang Badar sesuai dengan petunjuk Allah, tanpa membagikannya menjadi lima bagian, seperti yang kami sebutkan dalam hadits Sa'd di atas tadi. Setelah itu turunlah ayat khumus yang berfungsi me-nasakh (merevisi) ayat ini.
Demikianlah menurut riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Kamipun mengatakan hal yang sama. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah, dan As-Suddi. Lain pula dengan Ibnu Zaid, ia mengatakan bahwa ayat ini tidak di-nasakh (direvisi), bahkan tetap muhkam (jelas berlaku). Abu Ubaid mengatakan bahwa sehubungan dengan hal ini banyak atsar yang mengisahkannya. Anfal menurut kata asalnya berarti himpunan semua ganimah, hanya saja istilah khumus adalah sebagian dari anfal yang dikhususkan buat pemiliknya sesuai dengan petunjuk dari Al-Qur'an dan yang diberlakukan oleh sunnah.
Makna anfal menurut istilah bahasa orang Arab artinya setiap kebaikan yang diberikan oleh pelakunya sebagai hadiah darinya dan tidak wajib baginya melakukan hal tersebut. Dan anfal yang dihalalkan oleh Allah bagi kaum mukmin dari harta musuh mereka itu tiada lain merupakan sesuatu yang dikhususkan oleh Allah untuk mereka, sebagai karunia dari Allah buat mereka. Demikian itu karena pada masa yang lalu ganimah diharamkan atas umat-umat yang terdahulu sebelum kaum muslim, kemudian Allah menghalalkannya bagi umat ini.
Demikianlah asal mula riwayat anfal. Menurut kami, hal yang membuktikan kebenarannya disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Jabir, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku.” Jabir melanjutkan hadisnya sampai pada sabda Rasul ﷺ: “Dan dihalalkan bagiku ganimah, padahal sebelumnya tidak dihalalkan bagi seorang pun sebelumku,” hingga akhir hadits.
Selanjutnya Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam mengatakan bahwa hadiah yang diberikan oleh imam kepada pasukan tempur dinamakan nafilah, yakni memberikan hadiah kepada sebagian pasukan karena perannya yang utama sehingga ia beroleh bagian lebih dari bagian yang lainnya.
Hal ini dilakukan oleh imam berdasarkan kriteria pengorbanannya kepada Islam dan perannya dalam mengacaukan barisan musuh. Sehubungan dengan nafilah yang diberikan oleh imam, ada empat perkara yang disunatkan, masing-masing mempunyai kedudukan tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya, yaitu:
Pertama, nafilah yang tidak ada bagian seperlimanya. Hal ini dinamakan salab (rampasan dari musuh yang dibunuh).
Kedua, nafilah yang berasal dari ganimah sesudah bagian seperlima dikeluarkan dari keseluruhannya. Misalnya seorang imam mengirimkan suatu pasukan ke suatu daerah pertempuran, lalu pasukan yang dikirimkannya itu kembali dengan membawa ganimah, maka bagi pasukan itu mendapat seperempat atau sepertiga dari apa yang berhasil diraihnya, sesudah terlebih dahulu mengambil bagian seperlimanya.
Ketiga, nafilah yang berasal dari seperlima itu sendiri. Misalnya ganimah diperoleh, lalu seluruhnya dikumpulkan dan dibagi menjadi lima bagian. Apabila imam telah mengambil bagian seperlimanya, maka imam boleh memberikan nafilah dari bagiannya itu kepada pasukan yang bersangkutan menurut kebijaksanaannya.
Keempat, nafilah yang termasuk ke dalam keseluruhan ganimah, sebelum sesuatu dari ganimah tersebut dibagi menjadi lima bagian. Misalnya imam memberikan hadiah kepada para penunjuk jalan, para penggembala ternak, dan orang-orang yang mengiringinya.
Sehubungan dengan masing-masing dari yang tersebut di atas, masalahnya masih diperselisihkan.
Ar-Rabi' mengatakan bahwa Imam Syafi'i mengatakan bahwa anfal tidak boleh dikeluarkan dari pokok ganimah sebelum dibagi menjadi lima bagian, selain dari salab." Abu Ubaid mengatakan bahwa termasuk nafilah ialah sesuatu yang ditambahkan kepada mereka selain dari bagian yang merupakan hak mereka (pasukan). Hal ini diambil dari seperlima bagian Nabi ﷺ, karena sesungguhnya Nabi ﷺ beroleh seperlima dari seperlima tiap-tiap ganimah. Sehubungan dengan hal ini seorang imam dituntut untuk berijtihad dalam membagi-bagikannya. Dengan kata lain, apabila jumlah musuh banyak dan kekuatan mereka lebih kuat, sedangkan pasukan kaum muslim yang menghadapinya tidak berimbang, maka imam boleh menyediakan nafilah (hadiah) karena mengikut kepada sunnah Rasulullah ﷺ. Apabila keadaannya tidak demikian, maka imam tidak perlu memberikan nafilah."
Pendapat yang ketiga mengatakan, "Termasuk nafilah ialah apabila imam mengirimkan suatu pasukan khusus atau pasukan biasa, lalu imam mengatakan kepada mereka sebelum bertempur dengan musuh, bahwa mereka akan mendapat sesuatu hadiah sesudah khumus. Maka hadiah tersebut berhak mereka peroleh sesuai dengan persyaratan yang diajukan oleh imam, karena mereka bertempur dengan imbalan tersebut dan hal itulah yang mereka setujui."
Sehubungan dengan perkataan Abu Ubaid yang menyatakan bahwa sesungguhnya ganimah Badar tidak di-takhmis (dibagi lima), kebenarannya masih perlu dipertimbangkan lagi. Hal ini dapat dibantah oleh kisah Ali ibnu Abu Thalib sehubungan dengan kedua mata-matanya yang berhasil memperoleh bagian dari khumus pada hari Perang Badar. Kami telah menjelaskan hal tersebut di dalam Kitab As-Sirah dengan keterangan yang memuaskan.
Firman Allah ﷻ: “Sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian.” (An-Anfal: 1) Artinya, bertakwalah kalian kepada Allah dalam semua urusan kalian, dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, janganlah kalian saling menzalimi, saling bertengkar, dan saling perang mulut. Karena hidayah dan ilmu yang telah diberikan oleh Allah kepada kalian jauh lebih baik daripada apa yang kalian persengketakan itu.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Anfal: 1)
Yakni terimalah apa yang dibagikan Nabi ﷺ kepada kalian, karena sesungguhnya pembagian yang dilakukan olehnya semata-mata hanyalah berdasarkan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya, yaitu berdasarkan keadilan dan kebijaksanaan.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal ini merupakan perintah dari Allah dan Rasul-Nya agar mereka bertakwa dan memperbaiki hubungan di antara sesama mereka; pelanggaran terhadap hal ini berarti dosa. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid.
As-Suddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian.” (Al-Anfal: 1) Yakni janganlah kalian saling mencaci.
Sehubungan dengan hal ini kami akan mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh An-Hafidzh Abu Ya'la Ahmad ibnu Ali ibnu Al-Musanna Al-Mausuli di dalam kitab Musnad-nya. Ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Mujahid ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Syaibah Al-Habti, dari Sa'id ibnu Anas, dari Anas yang mengatakan, "Ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk, kami melihat beliau tersenyum sehingga kelihatan gigi serinya. Maka Umar berkata, 'Apakah yang membuat engkau tertawa, wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu?' Rasulullah ﷺ menjawab, 'Ada dua orang lelaki dari kalangan umatku sedang bersideku di hadapan Tuhan Yang Maha Agung, Maha Suci, lagi Maha Tinggi.
Lalu salah seorangnya berkata, 'Wahai Tuhanku, ambillah hakku dari saudaraku ini.' Allah ﷻ berfirman, 'Berikanlah kepada saudaramu itu akan haknya.' Lelaki yang dituntut berkata, 'Wahai Tuhanku, tiada sesuatu pun dari amal baikku yang tersisa." Lelaki yang menuntut berkata, 'Wahai Tuhanku, bebankanlah kepadanya sebagian dari dosa-dosaku'."
Anas melanjutkan kisahnya, "Lalu kedua mata Rasulullah ﷺ mencucurkan air matanya, kemudian bersabda, 'Sesungguhnya hari itu adalah hari yang sangat berat, yaitu hari manusia memerlukan orang-orang yang menanggung sebagian dari dosa-dosa mereka.' Maka Allah ﷻ berfirman kepada si penuntut, 'Angkatlah penglihatanmu dan lihatlah ke surga-surga itu!' lelaki itu mengangkat kepalanya dan berkata, 'Wahai Tuhanku, saya melihat kota-kota dari perak dan gedung-gedung dari emas yang dihiasi dengan batu permata. Untuk nabi manakah ini, untuk siddiq (orang yang benar) siapakah ini, dan untuk syahid (orang yang mati syahid) siapakah ini?' Allah berfirman, 'Untuk orang yang mau membayar harganya.' Lelaki itu bertanya, 'Siapakah yang memiliki harganya?' Allah berfirman, 'Engkau pun memiliki harganya.' Lelaki itu bertanya, 'Apakah harganya, wahai Tuhanku?' Allah berfirman, 'Kamu maafkan saudaramu ini.' Lelaki itu berkata, 'Wahai Tuhanku sesungguhnya sekarang saya memaafkannya.' Allah ﷻ berfirman, 'Peganglah tangan saudaramu ini, dan masuklah kamu berdua ke surga'."
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah, dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian. Karena sesungguhnya Allah kelak di hari kiamat akan memperbaiki hubungan di antara sesama orang-orang mukmin.”
Ketika terjadi Perang Badar Besar, antara kaum mukmin dan pasukan musyrik, kemenangan yang gemilang ada di pihak orang-orang mukmin. Harta rampasan pun cukup banyak melimpah, sehingga sempat mengundang perselisihan menyangkut persoalan pembagiannya. Mereka para sahabat menanyakan kepadamu, wahai Nabi Muhammad, tentang bagaimana cara pembagian harta rampasan perang Badar. Sebagai jawaban, katakanlah kepada mereka, Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, sehingga Rasul yang akan membagikannya menurut ketentuan Allah. Janganlah kalian berbeda pendapat menyangkut persoalan harta itu, cukuplah kalian menjadikan rasa takut dan taat pada Allah sebagai simbol kebanggaan kalian, maka bertakwalah kepada Allah. Hindari perselisihan yang akan terjadi akibat pembagian harta rampasan dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, serta jadikanlah rasa cinta kasih dan keadilan sebagai asas tali persaudaraan. Dan taatlah kepada Allah dalam segala perintah dan larangan-Nya dan demikian juga kepada Rasul-Nya jika memang kamu adalah orangorang yang beriman yang telah mantap keimanan dalam hati.
Sebagian sifat mereka yang menyandang predikat mukmin sejati disebutkan di sini, yaitu; Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya, yang mantap keimanannya, adalah mereka yang apabila disebut nama Allah dengan sifat-sifat keagungan dan kemuliaan-Nya gemetar hatinya karena mereka sadar akan kekuasaan dan keagungan-Nya, dan apabila dibacakan oleh siapa pun ayat-ayatNya kepada mereka, bertambah kuat imannya. Semakin mereka mendengar ayat-ayat Al-Qur'an dibacakan, semakin kokoh keimanan mereka dan semakin mendalam rasa tunduk serta semakin bertambah pengetahuan mereka pada Allah. Dan oleh karena itu, hanya kepada Tuhan mereka senantiasa bertawakal dan berserah diri setelah berusaha keras, sehingga tidak berharap dan gentar kepada selain-Nya.
Ayat ini membicarakan persoalan harta rampasan perang yang diperoleh kaum Muslimin setelah usainya Perang Badar Kubra. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin. Mereka memperoleh harta rampasan perang yang banyak.
Al-Anfal (al-Ganimah) ialah segala macam harta yang diperoleh kaum Muslimin dari musuh dalam medan pertempuran. Harta rampasan perang ini dinamakan al-Anfal (bentuk jamak dari Nafal) karena harta-harta ini menjadi harta kekayaan kaum Muslimin.
Setelah kaum Muslimin memperoleh harta rampasan perang itu, terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka yang ikut berperang. Perselisihan itu mengenai cara-cara pembagiannya, dan pihak-pihak manakah yang berhak mendapatkan. Pihak pemuda ataukah pihak orang-orang tua, pihak-pihak orang Muhajirin atau pihak Anshar, ataukah pula masing-masing pihak sama-sama mendapat bagian. Persoalan itu dibawa kepada Rasulullah ﷺ agar mendapat keputusan yang adil.
Sebagai jawaban atas pertanyan kaum Muslimin itu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah ﷺ untuk menetapkan hukumnya, bahwa harta rampasan perang itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu yang menentukan pembagian harta rampasan itu bukan kelompok pemuda atau kelompok orang tua, bukan orang Muhajirin atau orang Anshar, bukan pula tim penyerang, tim pelindung, atau tim pengumpul harta rampasan perang, tetapi Allah-lah yang menentukan dengan wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Rasulullah membagi harta rampasan perang itu secara merata di antara kaum Muslimin.
Dalam ketentuan ini terkandung pelajaran yang tinggi bagi kaum Muslimin agar mereka tidak beranggapan, bahwa harta rampasan perang yang mereka peroleh itu, merupakan imbalan jasa peperangan, tetapi semata-mata mereka peroleh karena karunia Allah. Kalau mereka beranggapan bahwa harta rampasan perang itu mereka peroleh sebagai imbalan jasa, maka perjuangan mereka tidak murni karena Allah dan mengikuti perintah Rasul-Nya. Ayat ini memberi dorongan pula kepada kaum Muslimin, agar mereka dalam menghadapi tanggung jawab yang berat, hendaklah mereka hadapi secara bersama-sama, dan apabila mendapat kenikmatan, agar dirasakan bersama-sama pula.
Mengenai pembagian harta rampasan perang secara rinci akan diuraikan penafsirannya pada ayat 41 surah ini. Allah memerintahkan pula kepada Rasulullah ﷺ agar kaum Muslimin bertakwa, menjauhi perselisihan dan persengketaan yang menimbulkan kesusahan dan menjerumuskan mereka kepada kemurkaan Allah. Takwa diperlukan dalam setiap keadaan, terlebih dalam perang dan pembagian harta rampasan perang, akibat perselisihan dapat dirasakan, yaitu terganggunya persatuan dan timbulnya perpecahan yang mengakibatkan kekalahan.
Sesudah itu Allah memerintahkan agar kaum Muslimin memperbaiki hubungan sesama muslim, yaitu menjalin cinta kasih dan memperkokoh kesatuan pendapat. Hal inilah yang dapat mengikat mereka dalam kesatuan gerak dalam mencapai cita-cita bersama, yaitu mempertinggi kalimat Allah. Persatuan dan kesatuan ini menjadi dasar kekuatan umat dalam segala bidang. Itulah sebabnya, memperbaiki hubungan di antara sesama muslim diwajibkan, agar kaum Muslimin menyadari akan pentingnya menghindari bahaya yang mengancam mereka, bahaya keretakan yang menggoyahkan kesatuan umat. Hal ini jelas tergambar pada saat terjadinya perselisihan yang terjadi di antara kelompok-kelompok karena yang satu merasa lebih berjasa dari kelompok yang lain. Demikian pula hal ini terjadi karena mereka melupakan tugas mereka yang penting, yaitu bahwa tugas mempertahankan kebenaran itu adalah tugas bersama.
Pada akhir ayat, Allah menegaskan agar kaum Muslimin menaati Allah dan Rasul, dalam hal ini menaati ketentuan perang, yang disampaikan kepada Rasulullah ﷺ dengan perantaraan wahyu. Ketentuan Allah wajib ditaati, Dia adalah Tuhan seru sekalian alam dan Yang Mahakuasa, sedang taat kepada Rasul, dalam urusan agama, berarti taat kepada Allah karena dialah yang menyampaikan agama itu dan memberikan penjelasan yang tertuang dalam perkataan, perbuatan serta keputusannya.
Perintah ini ditegaskan pada saat kaum Muslimin dalam keadaan bersengketa mengenai pembagian harta rampasan perang, untuk mengingatkan mereka bahwa dalam saat-saat bagaimanapun juga kaum Muslimin harus tetap menaati Allah dan Rasul-Nya, agar mereka tidak menimbulkan perpecahan karena ambisi golongan dan kemauan hawa nafsu, yang biasanya menjerumuskan mereka kepada kehancuran.
Di dalam ayat ini terdapat beberapa unsur penting yang dapat memelihara kesatuan umat yaitu; takwa, memperbaiki hubungan sesama muslim, dan menaati Allah dan Rasul di dalam setiap keadaan.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-ANFAAL
(HARTA RAMPASAN)
SURAH KE-8, 75 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
(AYAT 1-40)
Bismillahirrahmanirrahim
Ayat 1
“Mereka bertanya kepada engkau tentang rampasan perang."
Akan diapakan harta sebanyak ini, dan bila akan dibagi, bagaimana cara membaginya?
URAIAN TENTANG AL-ANFAAL
Sebagai yang telah kita uraikan di atas tadi, al-Anfaal adalah kata jamak (bilangan banyak) dari an-Nafl, yang berarti harta-harta rampasan di dalam peperangan yang didapat oleh kaum Muslimin dari harta benda musuh yang telah mereka kalahkan.
Berkata Ibnu Taimiyah, “Dinamai begitu karena dia adalah tambahan bagi harta kaum Muslimin. Karena kata an-Nafl asal maknanya ialah tambahan, sebagaimana tersebut di dalam kamus tajul-'arus. Sebagaimana kata an-Nafilah diberikan nama bagi shalat tathawwu' (shalat-shalat sunnah) karena dia jadi tambahan dari shalat-shalat yang fardhu.
Sekadar sedikit perbedaan saja: an-Nafl yang bersifat kata muzakkar dijamakkan dengan al-Anfaal, sedang shalat sunnah di-muanats-kan maka jamaknya menjadi an-Nawafil.
Di pangkal ayat ini bertemulah keterangan Allah bahwasanya sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang 300 orang banyaknya itu, terdiri dari Muhajirin dan Anshar, telah menanyakan kepada Rasulullah ﷺ bagaimana duduknya dan akan diperbuat apa harta-harta musuh yang telah dirampas itu.
Kita sebagai orang yang beriman dan mengetahui sejarah perjuangan Rasulullah dan para sahabat, Muhajirin dan Anshar, pergi berperang adalah karena hendak menegakkan dan meninggikan kalimat Allah. Mereka begitu berani menghadapi musuh, sebagaimana kelak akan diterangkan, bukanlah karena akan mengharapkan mendapat harta rampasan. Sejak mereka mulai berjuang, mereka tidak memimpikan akan membagi harta, melainkan menyabung nyawa. Apatah
lagi kekuatan tak seimbang; musuh lebih dari 1.000 orang dan kaum Muslimin hanya sekitar 300 orang. Peperangan Badar adalah perjuangan pertama yang menentukan. Dan, kebetulan dengan pertolongan Allah ﷻ di dalam peperangan ini kaum Muslimin memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang, sampai 70 musuh terbunuh dan 70 pula tertawan. Dan, sehabis berperang, kelihatan harta bertumpuk besar, dengan tidak disangka-sangka.
Mau tidak mau, sebagai manusia tentu timbul pertanyaan, baik di dalam hati atau keluar dari mulut, untuk siapa harta sebanyak ini?
Imam Ahmad merawikan dari sahabat Rasulullah ﷺ, Ubadah bin Shamit, dia berkata, “Keluarlah kami bersama Rasulullah ﷺ pergi berperang dan saya pun turutlah dalam Peperangan Badar itu. Maka, berhadap -hadapanlah manusia (kedua belak pihak) dengan hebatnya. Akhirnya, dengan qudrat iradah Allah, telah dapat musuh dikalahkan. Segolongan kami mengejar musuh yang lari itu dan membunuh mana yang melawan. Setengah golongan lagi menyerbu ke bekas kemah-kemah yang ditinggalkan musuh itu dan mengumpulkan harta benda yang mereka tinggalkan. Setengahnya lagi mengelilingi Rasulullah ﷺ dengan ketatnya, supaya jangan ada musuh yang mencoba mencida15 beliau.
Setelah hari malam berkumpullah kami semuanya. Maka, berkatalah orang-orang yang mengumpulkan harta rampasan tadi, “Kami yang menyerbunya dan kami yang mengum-
16 Mencida (mencido) bahasa Minangkabau, yang asalnya dari bahasa Melayu mencidra. Akan tetapi, maknanya dalam bahasa Minangkabau telah berbeda dengan mencidra. Karena mencido ialah menikam atau memukul orang lain ketika diri terlengah. Kadang-kadang yang melakukan kejahatan itu setelah mencido, terus lari. Karena kata-kata yang tepat untuk itu dalam bahasa Indonesia tidak ada, kita pindahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mengubah jadi mencida.
…pulkan hartanya; sebab itu tidak ada yang lain yang akan mendapat bagian."
Berkata pula yang mengejar-ngejar musuh yang lari itu, “Tidak ada yang lebih berhak daripada kami sebab kami yang mengejar-ngejar musuh itu dan kami pula yang menyebabkan mereka kalah."
Berkata pula yangmen jaga Rasulullah ﷺ, “Kami jaga supaya musuh jangan mencederai beliau sedang kita terlengah; lantaran itu kami tidak turut mengejar musuh."
Berkata Ubadah bin Shamit selanjutnya, “Di saat itulah turun ayat ini, ‘Mereka bertanya kepada engkau darihal harta rampasan.'" Setelah ayat ini turun, dibagi-bagikan Rasulullah ﷺ lah harta benda itu sepikulan unta kenderaan mereka kedua samping untanya."
Menurut sebuah hadits pula yang terdapat di dalam riwayat Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan dishahihkan pula oleh al-Hakim, dan menurut keterangan dari Ibnul lshaq, yang diterima dari Ubadah bin Shamit juga, beliau berkata, “Ayat ini turun ialah untuk kami, yang telah turut berperang di Badar. Karena kami telah berselisih pikiran tentang harta rampasan, yang menyebabkan akhlak kami jadi buruk. Lantaran itu Allah mencabut harta itu dari tangan kami dan menyerahkannya kepada Rasulullah ﷺ; lalu beliau bagilah harta itu. di antara sesama Muslim dengan persamaan."
Ada lagi sebuah hadits yangdirawikan oleh Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Hibban, al-Hakim, dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Pada waktu Perang Badar itu, berkata Rasulullah ﷺ, ‘Barangsiapa berbuat begitu dan begitu, dia akan mendapat rampasan sekian dan sekian/" Mendengar perkataan Rasulullah itu, menyerbulah ke muka yang muda-muda dan yang tua-tua tinggal di sekeliling bendera perang. Setelah selesai perang dan harta rampasan telah terkumpul, datanglah yang muda-muda tadi minta bagian mereka. Lalu, yang tua-tua berkata, “Janganlah kami diabaikan, karena kamilah sebenarnya yang melindungi kalian ketika maju ke muka itu. Karena kalau pecah barisan kalian, niscaya kepada kamilah kalian akan berlindung kembali." Maka, timbullah perselisihan. Di saat itu datanglah ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau darihal harta rampasan." Yang memberikan kesan bahwa bertengkar-tengkar dalam soal ini sangat dilarang.
Maka, datanglah lanjutan ayat, “Katakanlah rampasan perang adalah bagi Allah dan Rasul."
Dengan demikian segala perselisihan, pertengkaran atau perbedaan pendapat sudah dilarang dan sudah mesti dihentikan. Semuanya terpulang kepada pertimbangan Allah dan Rasul. Dalam hal ini tentu terpulang kepada keputusan yang akan diambil oleh Rasulullah ﷺ; karena taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah juga.
Dengan keputusan Allah yang demikian itu, dikembalikanlah maksud jihad kepada asalnya. Orang pergi berjihad ialah semata-mata karena mengharapkan upah di akhirat kelak, bukan upah dunia ini. Segala harta benda rampasan dari musuh yang kalah itu, menjadilah hak kepunyaan mutlak dari Allah dan Rasul.
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, ‘Al-Anfaal itu adalah kumpulan ghanimah (harta rampasan), kecuali seperlima daripadanya dikhususkan untuk ahlinya, sebagaimana diturunkan di dalam kitab, dan berlaku padanya sunnah. Arti anfaal menurut bahasa Arab ialah setiap pekerjaan baik yang dikerjakan oleh pembuatnya sebagai aural yang utama, dengan tidak ada perintah wajib. Maka, anfaal yang dihalalkan Allah bagi kaum yang beriman terhadap harta rampasan dari musuh mereka adalah khususiat yang dihalalkan Allah atas mereka, padahal di zaman dahulu harta rampasan itu diharamkan Allah kepada umat-umat masa lampau, sekarang dinafikan oleh Allah kepada umat ini." Sekian Ibnu Katsir.
Dengan demikian berartilah bahwa kekuasaan mutlak pada Allah dan Rasul terhadap rampasan, bukanlah karena harta itu untuk Rasulullah pribadi. Artinya dengan tegas, ialah bahwa beliau yang berkuasa membagi harta itu, kepada seluruh Muslimin yang ikut berperang. Dan, kelak dalam ayat 41 surah ini juga, akan dijelaskan lagi bahwa harta itu akan dibagi 5 bagian. Empat perlima akan dibagi kepada seluruh Mujahidin yang turut berperang, hanya seperlima saja yang menjadi hak Allah dan Rasul. Apakah yang seperlima itu untuk Rasulullah pula? Nanti akan jelas dalam ayat 41 itu bahwa yang seperlima dicadangkan buat orang-orang yang tidak turut berperang karena lemahnya karena miskinnya atau karena kekeluargaan.
Sebagaimana dikatakan oleh ibnu Katsir tadi, umat-umat Nabi yang dahulu, jika berperang dan mengalahkan musuhnya maka harta rampasan yang mereka dapat dari musuh itu, tidak dibolehkan untuk mereka; tegasnya haram mereka terima. Akan tetapi, bagi umat Muhammad, barang rampasan itu dihalalkan.
“Dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Diberikan kepadaku lima hal, yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelum-ku. ‘ (Lalu Jabir menyampaikan hadits selengkapnya) sampai kepada sabda Nabi, ‘Dan dihalalkan untukku harta rampasan perang, padahal tidak dihalalkan kepada umat yang sebelumku.'" (HR Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad bahwa di dalam Peperangan Badar itu, sahabat Nabi yang terkenal (di antara yang 10) yaitu Sa'ad bin Abu Waqqash telah dapat menewaskan musyrik yang bernama Sa'id bin al-Ash. Setelah musuh itu mati, Sa'ad mengambil pedangnya yang terkenal, yang diberi nama khatifah. Lalu, pedang itu dibawanya kepada Nabi Muhammad ﷺ Maka, beliau bersabda, “Letakkan pedang itu di tempat mengumpulkan barang-barang rampasan!"
“Saya pun pergi," kata Sa'ad, “dan Allahlah yang tahu betapa rasa hatiku waktu itu, saudaraku Umar mati terbunuh, musuhku Sa'id telah mati pula aku bunuh, pedang rampasan-ku tidak boleh aku pegang. Akan tetapi, setelah aku berjalan beberapa langkah, turunlah surah al-Anfaal, Lalu, Rasulullah ﷺ memanggilku, ‘Pergilah ambil pedang rampasanmu itu.'" Tersebut pula dalam riwayat yang dirawi-kan oleh Imam Ahmad at-Tirmidzi dan hadits ini dishahihkannya, dari sahabat Rasulullah ﷺ, Sa'ad bin Malik, berkata dia:
“Pernah saya berkata, ‘Ya Rasulullah, hari ini disembuhkan Allah hatiku dari orang-orang musyrik itu. Sebab itu, berikan kepadaku pedang ini.' Nabi menjawab, ‘Pedang ini bukan untuk engkau dan bukan pula untukku, letakkan sajalah dia!' Lalu pedang itu saya letakkan, setelah itu saya pun kembali. Dalam hati saya berkata, ‘Mungkin kelak pedang itu akan diberikan kepada orang yang perjuangannya tidak sampai seperti perjuanganku.' Sedang saya berpikir demikian, terdengarlah orang memanggil namaku dari belakang. Lalu, aku berkata, ‘Barangkali Allah ada menurunkan wahyu mengenai diriku.' Lalu beliau berkata, ‘Engkau tadi meminta aku memberikan pedang. Pedang itu bukanlah untukku, tetapi sekarang dia telah diberikan kepadaku. Sebab itu, sekarang juga dia aku berikan kepadamu.' Waktu itulah turun ayat, ‘Mereka bertanya kepada engkau perihal rampasan perang.'" Sekian bunyi hadits tersebut.
Kemudian datanglah lanjutan ayat, “Maka, takwalah kepada Allah."
Artinya, supaya perselisihan karena harta benda rampasan itu bisa diredakan, hendaklah semuanya kembali kepada Allah bahwa yang menang bukan kamu, melainkan Allah. Terutama dalam Peperangan Badar, nyata benar bahwa kamu menang itu benar-benar suatu pertolongan dari Allah. Kamu hanya 300 orang, sedangkan musuhmu lebih dari 1.000 orang. Ditilik dari keseimbangan kekuatan, kalau bukanlah karena pertolongan Allah, tidaklah kamu akan menang. Oleh sebab itu, meskipun kamu telah menang, dan kamu telah mendapat harta rampasan begitu banyak, yang belum kamu mimpikan selama ini, janganlah kamu bertengkar mengatakan masing-masing kamu yang berjasa. Karena pada hakikatnya, baik yang menyerbu ke hadapan musuh, atau yang berdiri mengelilingi Rasulullah ﷺ supaya jangan dicida oleh musuh, atau yang berusaha mengumpulkan hatta rampasan, semuanya itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari yang lain. Oleh sebab itu takwalah kamu kepada Allah. Karena dengan takwa kepada Allah, tidaklah harta sebanyak itu akan mereka dapati. “Dan perbaikilah keadaan di antara kamu."
Dalam langkah pertama, hendaklah kembali semuanya kepada Allah, takwa kepada-Nya. Apabila semuanya telah takwa kepada Allah, mudahlah menempuh langkah yang kedua, yaitu memperbaiki hubungan jiwa yang telah retak karena memperselisihkan harta benda yang telah ada. Sesat surut terlangkah kembali, ukhuwah islamiyah ditegakkan bersama. Harta benda tidak ada artinya jika dibandingkan dengan silaturahim yang tumbuh lantaran sama-sama beriman kepada Allah.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika memang kamu orang-orang yang beriman."
Dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, akan timbullah dengan sendirinya kepatuhan menerima berapa saja yang dibagikan karena sudah yakin bahwa Rasulullah sebagai utusan Allah kepada umat, tidaklah berlaku pilih kasih. Beliau akan membagi menurut layak dan patutnya. Hanya orang-orang yang kurang iman jualah yang akan merasa ragu lalu dipengaruhi oleh loba dan tamaknya. Kalau demikian halnya, tentulah mereka pergi berperang hanyalah karena mengharapkan keuntungan harta rampasan, sehingga maksud tujuan suci yang semula telah hilang, dan tujuan yang kedua mereka jadikan yang pertama, yaitu mencari kekayaan.
Ayat inilah pokok utama disiplin yang diajarkan oleh Islam. Kepercayaan yang teguh, dipateri oleh iman kepada pimpinan tertinggi dengan diiringi oleh takwa kepada Allah.
Lalu, dilanjutkan kepada inti sejati dari disiplin, yaitu ayat yang selanjutnya,
Ayat 2
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah orang-orang yang apabila disebut nama Allah, merasa takutlah hati mereka."
Ayat ini dipangkali dengan kata irmama. Huruf itu di dalam kuasa artinya dalam bahasa Arab dinamai alat pembatas. Sebab itu, artinya yang agak tepat dalam bahasa Indonesia ialah “tidak lain", atau “cuma", atau “hanyalah". Di sini kita artikan “sesungguhnya".
Maka, kalau ada orang yang mengakui dirinya beriman, menurut ayat ini, belumlah diterima iman itu dan belumlah terhitung ikhlas, kalau hatinya belum bergetar mendengar nama Allah disebut orang. Apabila nama itu disebut, terbayanglah dalam ingatan orang yang beriman itu betapa maha besarnya kekuasaan Allah, mengadakan, menghidupkan, mematikan dan melenyapkan. Dan, ingatan kepada Allah itu bukan semata-mata karena disebut, melainkan karena melihat pula bekas ke-kuasaan-Nya, Maka, merasa takutlah ia kalau-kalau usianya akan habis padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah.
“Dan, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah bagi mereka keimanan."
Adapun mendengar nama Allah disebut orang, hati jantung mereka sudah tergetar karena takut, betapa lagi kalau ayat-ayat Allah itu dibaca orang, niscaya lebih lagi ayat-ayat itu menambah iman mereka kepada Allah. Dan, kita pun maklum bahwa ayat-ayat Allah itu dapat dibaca dalam kitab Al-Qur'an yang terbentang di hadapan mata kita dan dapat pula dibaca pada alam yang ada di sekeliling kita. Ayat-ayat Allah dapat dibaca pada segala sudut alam ini dengan alat ilmu pengetahuan. Semua menunjukkan bahwa Allah itu Esa adanya.
Apabila kita pertalikan ayat yang nomor 2 ini dengan dua ayatyang penghabisan daripada surah al-A'raaf yang sebelumnya, tampaklah bahwa tujuan keduanya adalah satu. Ayat 205 penutup surah al-A'raaf menyuruh kita mengingat Allah dengan tenang dan rasa takut, khusyu dan tadharru', dan tidak perlu dengan suara keras. Maka, ayat yang kedua dari surah al-Anfaal ada kesan dari latihan yang terdapat pertama-tama tadi. Mula-mula selalulah kita menyebut nama Allah dalam hati dan dengan lidah. Kelak apabila telah biasa mengingat dan menyebut nama Yang Mahamulia itu, dia akan berkontak laksana strum listrik apabila nama itu dibaca oleh orang lain.
“Dan, kepada Tuhan merekalah, mereka itu bertawakal."
Bertawakal artinya ialah berserah diri. Imam as-Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu ‘Ubaid mengartikan bertawakal kepada Allah itu ialah tidak berharap kepada yang lain, dan tidak berserah diri atau menyerahkan segala untung nasib dan pekerjaan kepada yang lain. Tawakal di sini tentu saja tidak sekali-kali mengabaikan ikhtiar. Karena sekali telah takut mendengar nama-Nya disebut, niscaya dibuktikan rasa takut itu dengan rasa kepatuhan melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Kalau sudah bertawakal kepada Allah, niscaya lebih lagi mempercayai bahwa segala perintah yang diturunkan Allah kepada kita, mustahil akan membawa celaka kita.
Mujahid mengatakan bahwa orang yang tergetar hati mereka karena takut apabila nama Allah disebut orang, bahwa itulah dia sifat Mukmin yang sempurna iman. Takut kalau-kalau terlambat atau terlalai, takut kalau-kalau yang dikerjakan ini tidak sepenuhnya menurut yang diaturkan oleh Allah.
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku mendengar as-Suddi menafsirkan ayat ini, maksudnya ialah ada seorang yang bermaksud hendak berbuat suatu maksiat. Tiba-tiba sedang ia hendak me-ngerjakannya, datang orang berkata, ‘Takwalah engkau kepada Allah, Kawani' lalu gentarlah hatinya mendengar teguran itu dan segera ia kembali ke dalam jalan yang benar."
Ibnu Katsir menafsirkan tentang tawakal kepada Allah itu, “Artinya tidak mengharap yang lain, tujuannya hanya Dia, berlindung hanya kepada-Nya, tidak meminta memohon sesuatu kecuali hanya kepada-Nya; dan sadar bahwa yang dikehendaki-Nyalah yang terjadi. Dia yang mengatur sesuatu, sendiri-Nya, tidak berserikat dan segera perhitungan-Nya."
Dan, Said bin Jubair berkata, “Tawakal adalah pengikat iman."
Tawakal ini pun suatu kekuatan dalam jiwa, sebab kita sadar bahwa kita punya sandaran yang kuat, yaitu Allah.
Kemudian datanglah tanda iman yang ke-4,
Ayat 3
“(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat."
Shaiat adalah tanda iman yang keempat dan lanjutan yang sudah semesti dan sepastinya dari iman. Kalau pokok yang pertama tadi
sudah terang, yaitu merasa takut bila nama Allah disebut orang, diiringi dengan yang kedua yaitu bertambah iman apabila ayat Allah dibaca orang, dan telah memakai tawakal pula sebagai yang ketiga, tentu dia akan mengerjakan shaiat. Sebab, shaiat itu ialah bukti ketaatan kepada Allah, bukti kesadaran bahwa Allah itulah yang patut disembah. Oleh sebab itu, kalau ada orang yang mengaku beriman kepada Allah, padahal dia tidak mengerjakan shaiat, tandanya imannya belum ada. Shalat adalah bukti yang terang sekali dari ketaatan. Baik taat kepada Allah atau pun taat kepada Rasul. Sebab, shaiat itu adalah pokok agama yang diajarkan oleh Rasul. Lantaran itu patutlah kita katakan bahwa apabila iman telah kuat, orang pasti mengerjakan shaiat. Dan, apabila orang selalu mengerjakan shaiat, niscaya imannya akan bertambah kuat.
Kemudian itu datanglah tanda yang ke-5, yaitu,
“Dan dari apa yang dikaruniakan kepada mereka, mereka belanjakan."
Inilah tanda iman yang kelima. Apabila hati telah beriman kepada Allah, niscaya timbullah kepercayaan bahwa harta benda yang didapati ini adalah semata-mata rezeki yang dianugerahkan Allah. Sebab itu, mereka akan bersyukur kepada Allah. Mereka tidaklah menumpahkan cinta kepada harta benda, sehingga lupa kepada yang memberikan anugerah. Maka, teringatlah dia bahwa di atas dunia ini bukan dia saja yang hidup. Orang lain banyak yang patut dibantu, sedang dia mempunyai lebih karena karunia Allah. Maka, jika seorang Mukmin mengerjakan shaiat buat memperteguh hubungan dengan Allah, dia pun suka pula mengeluarkan harta benda anugerah Allah itu, untuk memperteguh hubungannya dengan sesama manusia. Dikeluarkannya zakat bila hartanya telah sampai satu nisab dan telah sampai tahunnya. Bukan zakat saja, malahan sebagai amal ihsan yang lain, yang bernama hadiah, hibah, wakaf, bantuan, derma, dan sokongan. Asal ada kesempatan yang baik, dia pun memberi. Lapang hatinya jadi orang dermawan, sebab harta itu tidak mengikat jiwanya. Yang mengikat hatinya ialah Allah.
Perhatikanlah kepada shalat itu sendiri betapa eratnya hubungan seorang manusia dengan Allah dan dengan masyarakat. Shalat dimulai dengan takbir, Allahu Akbar. Artinya memanjatkan hati menghadap Allah Yang Mahabesar. Dengan shalat kita membawa naik jiwa kita ke atas, ke hadhirat Allah. Kemudian shalat itu diselesaikan dengan salam: Assalamu'alaikum warahmatullah. Artinya selesai kita menghadap Allah, kita kembali lagi ke dalam masyarakat se-sama hamba Allah, kita mencampungkan diri lagi ke tengah mereka.
Maka, lengkap kelima tanda itu, itulah dia insan Mukmin sejati.
Ayat 4
‘Menelai itu orang-orang beriman yang sebenarnya."
Tegasnya, kalau kurang salah satu dari lima itu, belumlah dia Mukmin yang sebenarnya, masih perlu latihan ruhani lagi, untuk mencapai iman sebenarnya itu.
“Bagi mereka beberapa derajat di sisi Allah menelai dan ampunan dan karunia yang mulia."
Artinya, apabila kelima syarat itu telah dilengkapi maka derajat Mukmin itu akan dinaikkan oleh Allah, ditinggikan, dimuliakan di sisi Allah Ta'aala. Diibaratkan ukuran watt yang ada pada lampu listrik maka kekuatan voltnya akan naik terus-menerus memancarkan sinar. Kalau tadinya misalnya 10 watt, akan dinaikkan menjadi 25 watt, 30, 40, 60, 100 atau 1.000 watt, atau bertambah yang hanya Allah saja yang mengetahui berapa batas terakhirnya. Itulah kemuliaan jiwa di dalam alam dunia ini dan kemudian pula di akhirat esok. Derajat itu kita umpamakan
dengan watt lampu listrik, sebab iman itu kadang-kadang disebut juga nur atau cahaya. Maka, oleh sebab itu dia telah mengenai soal keruhanian, tidaklah dia dapat diukur dengan benda. Laksana di dalam kerajaan dunia ini, kepala-kepala negara menyediakan bintang-bintang bahaduri yang tertinggi bertingkat-tingkat buat orang yang berjasa; lebihlah dari itu, bahkan payah mengukurkan dengan itu derajat yang disediakan Allah buat Mukmin:
“Maka tidaklah mengetahui suatu diri apa yang disimpan untuk mereka dari tanda-tanda, sebagai ganjaran dari apa yang mereka amalkan."
Dan, dijanjikan pula akan diberi ampunan kalau ada kekhilafan. Karena sebagai manusia akan ada juga kelemahannya. Dia telah berjuang, tujuannya tetap mulia dan suci, tetapi kadang-kadang dia khilaf; khilaf bukan di-sengajanya. Titik tempat dia bertolak suci, tujuan yang ditujunya pun suci. Sebab, yang kecil-kecil diampuni dan diberi karunia kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.