Ayat
Terjemahan Per Kata
لَّيۡسَ
bukanlah
ٱلۡبِرَّ
kebaikan/kebaktian
أَن
bahwa
تُوَلُّواْ
kamu menghadapkan
وُجُوهَكُمۡ
wajahmu
قِبَلَ
kearah
ٱلۡمَشۡرِقِ
timur
وَٱلۡمَغۡرِبِ
dan barat
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلۡبِرَّ
kebaikan/kebaktian
مَنۡ
orang
ءَامَنَ
dia beriman
بِٱللَّهِ
dengan/kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ
dan malaikat
وَٱلۡكِتَٰبِ
dan Kitab
وَٱلنَّبِيِّـۧنَ
dan Nabi-Nabi
وَءَاتَى
dan memberikan
ٱلۡمَالَ
harta
عَلَىٰ
atas
حُبِّهِۦ
dicintainya
ذَوِي
kelompok
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينَ
dan orang-orang miskin
وَٱبۡنَ
dan orang
ٱلسَّبِيلِ
(dalam) perjalanan
وَٱلسَّآئِلِينَ
dan orang yang minta-minta
وَفِي
dan didalam
ٱلرِّقَابِ
memerdekakan hamba sahaya
وَأَقَامَ
dan mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَءَاتَى
dan menunaikan
ٱلزَّكَوٰةَ
zakat
وَٱلۡمُوفُونَ
dan orang-orang yang menepati
بِعَهۡدِهِمۡ
pada janji mereka
إِذَا
apabila
عَٰهَدُواْۖ
mereka berjanji
وَٱلصَّـٰبِرِينَ
dan orang-orang yang sabar
فِي
dalam
ٱلۡبَأۡسَآءِ
kesempitan
وَٱلضَّرَّآءِ
dan kemelaratan
وَحِينَ
dan ketika
ٱلۡبَأۡسِۗ
perang
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itulah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
صَدَقُواْۖ
mereka benar
وَأُوْلَٰٓئِكَ
dan mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡمُتَّقُونَ
orang-orang yang bertakwa
لَّيۡسَ
bukanlah
ٱلۡبِرَّ
kebaikan/kebaktian
أَن
bahwa
تُوَلُّواْ
kamu menghadapkan
وُجُوهَكُمۡ
wajahmu
قِبَلَ
kearah
ٱلۡمَشۡرِقِ
timur
وَٱلۡمَغۡرِبِ
dan barat
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلۡبِرَّ
kebaikan/kebaktian
مَنۡ
orang
ءَامَنَ
dia beriman
بِٱللَّهِ
dengan/kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ
dan malaikat
وَٱلۡكِتَٰبِ
dan Kitab
وَٱلنَّبِيِّـۧنَ
dan Nabi-Nabi
وَءَاتَى
dan memberikan
ٱلۡمَالَ
harta
عَلَىٰ
atas
حُبِّهِۦ
dicintainya
ذَوِي
kelompok
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينَ
dan orang-orang miskin
وَٱبۡنَ
dan orang
ٱلسَّبِيلِ
(dalam) perjalanan
وَٱلسَّآئِلِينَ
dan orang yang minta-minta
وَفِي
dan didalam
ٱلرِّقَابِ
memerdekakan hamba sahaya
وَأَقَامَ
dan mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَءَاتَى
dan menunaikan
ٱلزَّكَوٰةَ
zakat
وَٱلۡمُوفُونَ
dan orang-orang yang menepati
بِعَهۡدِهِمۡ
pada janji mereka
إِذَا
apabila
عَٰهَدُواْۖ
mereka berjanji
وَٱلصَّـٰبِرِينَ
dan orang-orang yang sabar
فِي
dalam
ٱلۡبَأۡسَآءِ
kesempitan
وَٱلضَّرَّآءِ
dan kemelaratan
وَحِينَ
dan ketika
ٱلۡبَأۡسِۗ
perang
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itulah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
صَدَقُواْۖ
mereka benar
وَأُوْلَٰٓئِكَ
dan mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡمُتَّقُونَ
orang-orang yang bertakwa
Terjemahan
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Tafsir
(Kebaktian itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu) dalam salat (ke arah timur dan barat) ayat ini turun untuk menolak anggapan orang-orang Yahudi dan Kristen yang menyangka demikian, (tetapi orang yang berbakti itu) ada yang membaca 'al-barr' dengan ba baris di atas, artinya orang yang berbakti (ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab) maksudnya kitab-kitab suci (dan nabi-nabi) serta memberikan harta atas) artinya harta yang (dicintainya) (kepada kaum kerabat) atau famili (anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan) atau musafir, (orang-orang yang meminta-minta) atau pengemis, (dan pada) memerdekakan (budak) yakni yang telah dijanjikan akan dibebaskan dengan membayar sejumlah tebusan, begitu juga para tawanan, (serta mendirikan salat dan membayar zakat) yang wajib dan sebelum mencapai nisabnya secara tathawwu` atau sukarela, (orang-orang yang menepati janji bila mereka berjanji) baik kepada Allah atau kepada manusia, (orang-orang yang sabar) baris di atas sebagai pujian (dalam kesempitan) yakni kemiskinan yang sangat (penderitaan) misalnya karena sakit (dan sewaktu perang) yakni ketika berkecamuknya perang di jalan Allah. (Mereka itulah) yakni yang disebut di atas (orang-orang yang benar) dalam keimanan dan mengakui kebaktian (dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa) kepada Allah.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 177
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa
Ayat 177
Ayat yang mulia ini mengandung kalimat-kalimat yang agung, kaidah-kaidah yang luas, dan akidah yang lurus. Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim: “Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Hisyam Al-Halbi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari Amir ibnu Syafi, dari Abdul Karim, dari Mujahid, dari Abu Dzar , telah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang iman, ‘Apakah yang dinamakan iman itu?’ Maka Rasulullah ﷺ membacakan kepadanya firman Allah ﷻ: ‘Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan’.” (Al-Baqarah: 177) hingga akhir ayat.
Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Abu Dzar kembali bertanya, dan Rasulullah ﷺ membacakan lagi ayat ini kepadanya. Kemudian Abu Dzar bertanya lagi, maka Rasul ﷺ menjawab: ‘Apabila kamu hendak mengerjakan suatu kebaikan, maka buatlah hatimu cinta kepadanya; dan apabila kamu hendak melakukan suatu keburukan, maka buatlah hatimu benci kepadanya’.”
Akan tetapi, hadits ini berpredikat munqathi’ (terputus mata rantai sanadnya), mengingat Mujahid sebenarnya belum pernah bersua dengan sahabat Abu Dzar, karena Abu Dzar telah meninggal dunia di masa sebelumnya.
Al-Mas'udi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim Abdur Rahman, bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Abu Dzar, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah iman itu?" Kemudian Abu Dzar membacakan kepadanya ayat berikut: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan.” (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat.
Kemudian lelaki itu berkata, "Yang kutanyakan kepadamu bukanlah masalah kebajikan." Maka Abu Dzar menceritakan kepadanya bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu menanyakan kepadanya seperti pertanyaan yang baru kamu ajukan kepadaku, maka beliau ﷺ membacakan ayat ini kepadanya. Akan tetapi, lelaki itu masih kurang puas sebagaimana kamu kurang puas. Maka akhirnya Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya dan mengisyaratkan dengan tangannya: “Orang mukmin itu apabila melakukan suatu kebaikan, ia merasa gembira dan mengharapkan pahalanya; dan apabila dia mengerjakan suatu keburukan (dosa), maka hatinya sedih dan takut akan siksaannya.” Hadits riwayat Ibnu Mardawaih, dan hadits ini berpredikat munqathi’' pula.
Pembahasan mengenai tafsir ayat ini ialah: Sesungguhnya Allah ﷻ setelah memerintahkan kepada orang-orang mukmin pada mulanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, lalu Allah memalingkan mereka ke arah Ka'bah, maka hal tersebut terasa berat oleh segolongan orang-orang dari kalangan Ahli Kitab dan sebagian kaum muslim. Maka Allah ﷻ menurunkan penjelasan hikmah yang terkandung di dalam hal tersebut. Yang intinya berisikan bahwa tujuan utama dari hal tersebut tiada lain adalah taat kepada Allah dan mengerjakan perintah-perintah-Nya dengan patuh, serta menghadap ke arah mana yang dikehendaki-Nya dan mengikuti apa yang telah disyariatkan-Nya. Demikianlah makna kebajikan, takwa, dan iman yang sempurna; dan kebajikan serta ketaatan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepatuhan menghadap ke arah timur atau barat, jika bukan karena perintah Allah dan syariatnya. Karena itulah maka Allah ﷻ berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian.” (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat.
Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam masalah kurban dan menyembelih hadyu, yaitu firman-Nya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya.” (Al-Hajj: 37) Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa kebajikan itu bukanlah kalian melakukan shalat tetapi tidak beramal. Hal ini diturunkan ketika Nabi ﷺ hijrah dari Mekah ke Madinah, dan diturunkan hukum-hukum fardu dan hukum-hukum had, maka Allah memerintahkan mereka untuk mengerjakan fardu-fardu dan mengamalkannya.
Hal yang mirip telah diriwayatkan pula dari Adh-Dhahhak serta Muqatil.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, dan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan.” (Al-Baqarah: 177) Apa yang dibahas oleh ayat ini adalah iman dan hakikatnya, yaitu pengalamannya. Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Mujahid mengatakan, "Kebajikan yang sesungguhnya ialah ketaatan kepada Allah ﷻ yang telah meresap ke dalam hati."
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa kebajikan dan ketakwaan itu ialah bila kalian menunaikan fardu-fardu sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.
Ats-Tsauri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang beriman kepada Allah.” (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Semua yang disebutkan oleh ayat ini merupakan aneka ragam kebajikan. Memang benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Ats-Tsauri ini, karena sesungguhnya orang yang memiliki sifat seperti yang disebutkan oleh ayat ini berarti dia telah memasukkan dirinya ke dalam ikatan Islam secara keseluruhan dan mengamalkan semua kebaikan secara menyeluruh; yaitu iman kepada Allah dan tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, juga beriman kepada para malaikat yang merupakan duta-duta antara Allah dan rasul-rasul-Nya.
Wal kitabi, merupakan isim jinis yang pengertiannya mencakup semua kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri dengan yang paling mulia di antara semuanya, yaitu kitab Al-Qur'an yang isinya mencakup semua kitab sebelumnya, berakhir padanya semua kebaikan, serta mengandung semua kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan diturunkan-Nya Al-Qur'an, maka di-nasakh-lah semua kitab sebelumnya, di dalamnya terdapat anjuran beriman kepada semua nabi Allah dari permulaan hingga yang paling akhir, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
Firman Allah ﷻ: “Dan memberikan harta yang dicintainya.” (Al-Baqarah: 177) Yakni mengeluarkannya, sedangkan dia mencintainya dan berhasrat kepadanya.
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnu Jubair, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, seperti yang disebutkan di dalam hadits sahihain dari hadits Abu Hurairah secara marfu', yaitu: “Sedekah yang paling ulama ialah bila kamu mengeluarkannya ketika kamu dalam keadaan sehat lagi pelit, bercita-cita ingin kaya dan takut jatuh miskin.”
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Syu'bah dan Ats-Tsauri, dari Mansur, dari Zubair, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: "Dan memberikan harta yang dicintainya" (Al-Baqarah: 177), yaitu hendaknya kamu memberikannya ketika kamu dalam keadaan sehat lagi pelit, mengharapkan kecukupan dan takut jatuh miskin.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim), sedangkan keduanya tidak mengetengahkannya. Menurut kami, hadits ini diriwayatkan pula oleh Waki', dari Al-A'masy, dan Sufyan, dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara mauquf dan lebih shahih.
Allah ﷻ telah berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan (tawanan perang). Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insan: 8-9)
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92)
“Dan mereka mengutamakan orang-orang (Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri dalam kesusahan.”(Al-Hasyr: 9)
Apa yang telah disebutkan oleh ketiga ayat di atas merupakan jenis lain dari cara bersedekah yang lebih tinggi kedudukannya daripada yang disebutkan oleh ayat ini (Al-Baqarah: 177).
Demikian itu karena mereka lebih mengutamakan diri orang lain daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sendiri sangat memerlukannya, tetapi mereka tetap memberikannya dan memberi makan orang-orang lain dari harta yang mereka sendiri mencintai dan memerlukannya.
Yang dimaksud dengan Zawil Qurba dalam ayat ini ialah kaum kerabat lelaki yang bersangkutan, mereka adalah orang-orang yang lebih utama untuk diberi sedekah. Seperti yang telah ditetapkan di dalam hadits shahih, yaitu: “Sedekah kepada orang-orang miskin adalah suatu sedekah, dan sedekah kepada kerabat merupakan dua amal, yaitu sedekah dan silaturahmi. Karena kaum kerabat adalah orang-orang yang lebih utama bagimu untuk mendapatkan kebajikan dan pemberianmu.” Allah ﷻ telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kaum kerabat, hal ini diutarakan-Nya bukan hanya pada satu tempat dari kitab-Nya.
Wal yatama, yang dimaksud dengan anak-anak yatim ialah mereka yang tidak mempunyai penghasilan, sedangkan ayah-ayah mereka telah tiada, mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, dan berusia di bawah usia balig serta belum mampu mencari mata pencaharian.
Sehubungan dengan masalah ini Abdur Razzaq mengatakan: “Telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Juwaibir, dari Adh-Dhahhak, dari An-Nizal ibnu Sabrah, dari sahabat Ali, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: ‘Tiada yatim lagi sesudah usia balig’.”
Wal masakin, mereka adalah orang-orang yang tidak dapat menemukan apa yang mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka. Untuk itu mereka diberi apa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta) yang pergi setelah diberi sebutir atau dua butir kurma, dan sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin yang sesungguhnya ialah orang yang tidak mendapatkan apa yang mencukupinya, dan pula keadaan dirinya tidak diketahui (sebagai orang miskin) hingga mudah diberi sedekah.”
Yang dimaksud dengan ibnu sabil ialah orang musafir jauh yang kehabisan bekalnya, untuk itu dia harus diberi bekal yang dapat memulangkannya ke tempat tinggalnya. Demikian pula halnya orang yang akan mengadakan perjalanan untuk tujuan ketaatan, ia boleh diberi bekal yang mencukupinya buat pulang pergi. Termasuk ke dalam pengertian ibnu sabil ialah tamu, seperti yang dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: “Ibnu Sabil ialah tamu yang menginap di kalangan orang-orang muslim.” Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ja'far Al-Baqir, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Wassailina, mereka adalah orang-orang yang merelakan dirinya meminta-minta, maka mereka diberi dari sebagian harta zakat dan sedekah. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad: “Telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad, dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya (yakni Husain ibnu Ali), bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Orang yang meminta-minta mempunyai hak (untuk diberi), sekalipun dia datang dengan berkendaraan kuda’.” (Riwayat Imam Abu Dawud)
Ar-Riqab, mereka adalah budak-budak mukatab (budak yang akan dimerdekakan oleh majikannya apabila membayar sejumlah uang kepada majikanya dalam waktu yang telah ditentukan) yang tidak menemukan apa yang mereka jadikan untuk melunasi transaksi kitabahnya. Pembahasan mengenai golongan tersebut nanti akan diterangkan di dalam ayat sedekah (zakat), bagian dari surat Al-Baraah (surat Taubah).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepadaku Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Fatimah binti Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Apakah pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat?" Maka beliau membacakan ayat berikut kepadanya, yaitu firman-Nya: “Dan memberikan harta yang dicintainya.” (Al-Baqarah: 177)
Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula melalui hadits Adam ibnu Abu Iyas dan Yahya ibnu Abdul Hamid, keduanya menerima hadits berikut dari Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, dari Fatimah binti Qais yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Di dalam harta benda terdapat kewajiban selain zakat." Kemudian beliau membacakan firman-Nya, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan” sampai dengan firman-Nya “Dan (memerdekakan) hamba sahaya" (Al-Baqarah: 177).
Hadits ini diketengahkan oleh Ibnu Majah dan Imam At-Tirmidzi, tetapi Abu Hamzah (yakni Maimun Al-A'war, salah seorang perawinya) dinilai dha’if. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Sayyar dan Ismail ibnu Salim, dari Asy-Sya'bi.
Firman Allah ﷻ, "Wa-aqamas salata," artinya 'dan merampungkan semua pekerjaan shalat pada waktunya masing-masing', yakni menyempurnakan rukuk-rukuknya, sujud-sujudnya, dan tumaninah serta khusyuknya sesuai dengan perintah syariat yang diridai.
Firman Allah ﷻ, "Wa-ataz zakata," artinya 'dan menunaikan zakat', tetapi dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian membersihkan jiwa dan membebaskannya dari akhlak-akhlak yang rendah lagi kotor, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Ucapan Musa a.s. kepada Fir'aun yang disitir oleh firman-Nya: “Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?" (An-Nazi'at: 18-19)
Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat.”(Fushshilat: 6-7) Dapat pula diartikan zakat harta benda, seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan.
Dengan demikian, berarti hal yang telah disebutkan sebelumnya yaitu memberikan sebagian harta kepada golongan-golongan yang telah disebutkan hanyalah dianggap sebagai amal tatawwu' (sunat), kebajikan, dan silaturahmi. Sebagai dalilnya ialah hadits Fatimah binti Qais yang telah disebutkan di atas, yaitu yang menyatakan bahwa pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat.
Firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.” (Al-Baqarah: 177) Ayat ini semakna dengan firman Allah ﷻ: “(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Ar-Ra'd: 20)
Kebalikan dari sifat ini adalah sifat munafik. Seperti yang disebutkan di dalam hadits shahih, yaitu: “Pertanda munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, berkhianat.” Di dalam hadits lainnya disebutkan seperti berikut: "Apabila berbicara, berdusta; apabila berjanji, merusak (janjinya); dan apabila bersengketa, berbuat curang.”
Firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan.” (Al-Baqarah: 177)
Yang dimaksud dengan ba’sa ialah dalam keadaan miskin dan fakir, sedangkan yang dimaksud dengan darra ialah dalam keadaan sakit dan kesusahan. Yang dimaksud dengan hinal ba-su ialah ketika peperangan sedang berkecamuk.
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Murrah Al-Hamdani, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Suddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abu Malik, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya. Sesungguhnya lafal sabirina di-nasab-kan karena mengandung pujian terhadap sikap sabar dan sekaligus sebagai anjuran untuk bersikap sabar dalam situasi seperti itu, mengingat situasinya sangat keras lagi sulit.
Firman Allah ﷻ: “Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya).” (Al-Baqarah: 177) Maksudnya, mereka yang memiliki sifat-sifat ini adalah orang-orang yang benar imannya, karena mereka merealisasikan iman hati dengan ucapan dan amal perbuatan; maka mereka itulah orang-orang yang benar. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa, karena mereka memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mengerjakan semua amal ketaatan.
Ayat ini menjelaskan bahwa kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, yaitu salat tanpa dibarengi kekhusyukan dan keikhlasan, karena menghadapkan hal itu bukanlah pekerjaan yang susah. Tetapi kebajikan yang sesungguhnya itu ialah pada hal-hal sebagai berikut. Kebajikan orang yang beriman kepada a) Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun; b) hari akhir yaitu hari pembalasan segala amal perbuatan selama di dunia, sehingga mendorong manusia untuk selalu berbuat baik; c) malaikat-malaikat yang taat menjalankan perintah Allah dan tidak pernah berbuat maksiat sehingga mendorong manusia untuk meneladani ketaatannya; d) kitabkitab yang diturunkan kepada para rasul; e) dan nabi-nabi yang selalu menyampaikan kebenaran meskipun banyak yang memusuhinya. Kebajikan orang yang memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat yang kurang mampu, anak yatim, karena mereka sudah kehilangan orang tua, sehingga setiap orang beriman patut memberikan kebaikan kepada mereka, orang-orang miskin yang hidupnya serba kekuarangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, orang-orang yang dalam perjalanan atau musafir yang kehabisan bekal perjalanan, peminta-minta untuk meringankan penderitaan dan kekurangannya, dan untuk memerdekakan hamba sahaya yang timbul akibat praktik perbudakan. Kebajikan orang yang melaksanakan salat dengan khusyuk dan memenuhi syarat dan rukunnya, menunaikan zakat sesuai ketentuan dan tidak menunda-nunda pelaksanaannya, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji dan tidak pernah mengingkarinya, orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan dengan segala kesengsaraan, kepedihan dan berbagai macam kekurangan. Orang yang mempunyai sifat-sifat ini, mereka itulah orang-orang yang benar keimanannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa kepada Allah.
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu melaksanakan kisas, hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia berkenaan dengan orang yang dibunuh apabila keluarga korban tidak memaafkan pembunuh. Ketentuannya adalah orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, yakni keluarga korban, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, yaitu meminta ganti dengan diat (tebusan) secara baik tanpa niat memberatkan, dan pembunuh hendaknya membayar diat kepadanya dengan baik pula dan segera, tidak menunda-nunda dan tidak mengurangi dari jumlah yang sudah disepakati, kecuali jika keluarga pihak terbunuh memaafkan pembunuh dan juga tidak menuntut diat.
Ketentuan hukum yang demikian itu, yaitu kebolehan memaafkan pembunuh dan diganti dengan diat atau tebusan, adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu supaya tidak ada pembunuhan yang beruntun dan permusuhan dapat dihentikan dengan adanya pemaafan. Barangsiapa melampaui batas setelah itu dengan berpura-pura memaafkan pembunuh dan menuntut diat, tetapi setelah diat dipenuhi masih tetap melakukan pembunuhan terhadap pembunuh, maka ia telah berbuat zalim dan akan mendapat azab yang sangat pedih kelak di akhirat. Ayat ini mengisyaratkan bahwa pemaafan itu tidak boleh dipaksakan, sekalipun memaafkan lebih bagus daripada menghukum balik dengan hukuman yang setimpal.
'
Ayat ini bukan saja ditujukan kepada umat Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup juga semua umat yang menganut agama-agama yang diturunkan dari langit, termasuk umat Islam.
Pada ayat 177 ini Allah menjelaskan kepada semua umat manusia, bahwa kebajikan itu bukanlah sekadar menghadapkan muka kepada suatu arah yang tertentu, baik ke arah timur maupun ke arah barat, tetapi kebajikan yang sebenarnya ialah beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, iman yang bersemayam di lubuk hati yang dapat menenteramkan jiwa, yang dapat menunjukkan kebenaran dan mencegah diri dari segala macam dorongan hawa nafsu dan kejahatan. Beriman kepada hari akhirat sebagai tujuan terakhir dari kehidupan dunia yang serba kurang dan fana. Beriman kepada malaikat yang di antara tugasnya menjadi perantara dan pembawa wahyu dari Allah kepada para nabi dan rasul. Beriman kepada semua kitab-kitab yang diturunkan Allah, baik Taurat, Injil maupun Al-Qur'an dan lain-lainnya, jangan seperti Ahli Kitab yang percaya pada sebagian kitab yang diturunkan Allah, tetapi tidak percaya kepada sebagian lainnya, atau percaya kepada sebagian ayat-ayat yang mereka sukai, tetapi tidak percaya kepada ayat-ayat yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Beriman kepada semua nabi tanpa membedakan antara seorang nabi dengan nabi yang lain.
Iman tersebut harus disertai dan ditandai dengan amal perbuatan yang nyata, sebagaimana yang diuraikan dalam ayat ini, yaitu:
1. a. memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat yang membutuhkannya. Anggota keluarga yang mampu hendaklah lebih mengutamakan memberi nafkah kepada keluarga yang lebih dekat.
b. memberikan bantuan harta kepada anak-anak yatim dan orang-orang yang tidak berdaya. Mereka membutuhkan pertolongan dan bantuan untuk menyambung hidup dan meneruskan pendidikannya, sehingga mereka bisa hidup tenteram sebagai manusia yang bermanfaat dalam lingkungan masyarakatnya.
c. memberikan harta kepada musafir yang membutuhkan, sehingga mereka tidak terlantar dalam perjalanan dan terhindar dari pelbagai kesulitan.
d. memberikan harta kepada orang yang terpaksa meminta minta karena tidak ada jalan lain baginya untuk menutupi kebutuhannya.
e. memberikan harta untuk menghapus perbudakan, sehingga ia dapat memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dirinya yang sudah hilang.
2. Mendirikan salat, artinya melaksanakannya pada waktunya dengan khusyuk lengkap dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
3. Menunaikan zakat kepada yang berhak menerimanya sebagaimana yang tersebut dalam surah at-Taubah ayat 60. Di dalam Al-Qur'an apabila disebutkan perintah: "mendirikan salat", selalu pula diiringi dengan perintah: "menunaikan zakat", karena antara salat dan zakat terjalin hubungan yang sangat erat dalam melaksanakan ibadah dan kebajikan. Sebab salat pembersih jiwa sedang zakat pembersih harta. Mengeluarkan zakat bagi manusia memang sukar, karena zakat suatu pengeluaran harta sendiri yang sangat disayangi. Oleh karena itu apabila ada perintah salat, selalu diiringi dengan perintah zakat, karena kebajikan itu tidak cukup dengan jiwa saja tetapi harus pula disertai dengan harta. Oleh karena itulah, sesudah Nabi Muhammad ﷺ wafat, para sahabat sepakat tentang wajib memerangi orang yang tidak mau menunaikan zakat hartanya.
4. Menepati janji bagi mereka yang telah mengadakan perjanjian. Segala macam janji yang telah dijanjikan wajib ditepati, baik janji kepada Allah seperti sumpah dan nazar dan sebagiannya, maupun janji kepada manusia, terkecuali janji yang bertentangan dengan hukum Allah (syariat Islam) seperti janji berbuat maksiat, maka tidak boleh (haram) dilakukan, hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw:
Tanda munafik ada tiga: yaitu apabila ia berkata, maka ia selalu berbohong, apabila ia berjanji, maka ia selalu tidak menepati janjinya, apabila ia dipercayai, maka ia selalu berkhianat. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a.).
5. Sabar dalam arti tabah, menahan diri dan berjuang dalam mengatasi kesempitan, yakni kesulitan hidup seperti krisis ekonomi; penderitaan, seperti penyakit atau cobaan ; dan dalam peperangan, yaitu ketika perang sedang berkecamuk.
Mereka itulah orang-orang yang benar dalam arti sesuai dengan sikap, ucapan dan perbuatannya dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Dahulu telah dijelaskan benar-benar bahwasanya ke mana saja pun kita menghadapkan muka, di sana adalah wajah Allah. Penentuan arah kiblat bukanlah berarti bahwa di tempatyang dijadikan kiblat itu bersemayam Allah. Kiblat sekadar penyatuan arah seluruh orang yang shalat, tandanya mereka mengikuti satu disiplin. Sekarang diberi lagi keterangan lebih mendalam,
Ayat 177
“Bukankah kebajikan itu lantaran kamu memalingkan mukamu ke arah timur dan barat. Akan tetapi, kebajikan itu ialah bahwa kamu percaya kepada Allah dan hari yang akhir dan Malaikat dan Kitab dan nabi-nabi."
Artinya, meskipun telah kamu hadapkan mukamu ke timur dan ke barat, ke Baitullah yang di Mekah atau ke Baitul Maqdis dahulunya, belumlah berarti bahwa pekerjaan menghadap itu telah bernama kebajikan, sebelum dia diisi dengan iinan. Terutama bagi kamu orang Islam, menghadapmu ke timur atau ke barat, menurut tempat kamu berdiri ketika kamu mengerjakan shalat, misalnya kita orang Indonesia arah ke barat dan orang Amerika arah ke timur, belumlah itu berarti suatu kebajikan kalau imanmu kepada yang mesti diimani masih saja goyah. Atau hendaklah menghadapmu ke arah timur dan ke arah barat didorong oleh iman.
Dimulai terlebih dahulu dengan iman kepada Allah dan iman kepada Hari Akhirat sebab di sinilah letak kunci iman. Keduanya itu benar-benar menghendaki iman atau kepercayaan. Apatah lagi Allah tidak tampak oleh mata dan tidak pula ada orang yang telah pulang dari alam akhirat buat menceritakan keadaan di sana. Mana yang telah mati tidak ada yang kembali hidup buat bercerita kepada kita tentang keadaan di sana. Sebab itu, keimanan kepada Allah benar-benar timbul dari keinsafan batin, demi setelah meliat bekas nikmat-Nya atas diri dan bekas kuasa-Nya atas alam. Pintu gerbang iman pertama ialah percaya kepada Allah dan yang percaya itu bukan saja akal atau ilmu, melainkan menimbulkan dalam jiwa, taat, cinta, dan setia, menghambakan diri dan patuh. Timbul cemas kalau-kalau amal tidak diterima serta timbul keinginan dan kerinduan akan diberi-Nya kesempatan melihat wajah-Nya di Hari Akhirat itu.
Iman kepada Allah dan Hari Akhirat menjadi pendorong untuk berbuat kebajikan. Moga-moga amal kita diridhai, iman kita diterima. Dia timbul dari makrifat. Dia menimbulkan cahaya di dalam hati (nur). Dan, dia menimbulkan semangat. Dia menimbulkan pengharapan buat hidup, buat bekerja dan berjasa. Iman menimbulkan dinamika dalam diri sehingga bekerja tidak karena mengharapkan puji sanjung sesama manusia.
Dengan sendirinya, iman kepada Allah dan Hari Akhirat menimbulkan iman kepada apa yang berhubungan dengan itu, yaitu iman kepada Malaikat, sebagai kekuatan yang telah ditentukan Allah melaksanakan tugas di dalam alam ini. Apatah lagi Tuhan pun menyatakan dalam firman-Nya bahwa Malaikat itu akan turun memberikan sokongan sehingga kita tidak merasa takut atau duka cita di dalam hidup ini, sebagaimana tersebut dalam surah Ha Mim as-Sajdah: 30. Dan, dengan sendirinya menimbulkan kepercayaan akan kitab, yaitu Al-Qur'an yang telah datang sebagai wahyu, yang akan menjadi tuntunan di dalam menempuh jalan yang lurus, yang diridhai Allah. De-ngan sendirinya kepercayaan kepada kitab menyebabkan pula percaya kepada nabi-nabi semuanya, yang nama mereka telah disebutkan di dalam kitab itu.
Kepercayaan hati atau iman ini bukanlah semata-mata hafalan mulut, tetapi pendirian hati. Dia membekas kepada perbuatan sehingga segala gerak langkah di dalam hidup tidak lain, melainkan sebagai akibat atau dorongan dari iman. Seumpama apabila kita merasai dan me-ngunyah-ngunyah semacam daun kayu, kita mengenal rasanya dan mengetahui bahwa rasa yang ada pada daun itu, rasa yang demikian jugalah yang akan terdapat pada uratnya, pada kulit batangnya, pada dahan dan rantingnya, apatah lagi pada buahnya. Sebab, dari batang barangan tidaklah akan hasil buah delima. Dan, dari lalang tidaklah akan keluar bulir padi.
Kepercayaan akan adanya malaikat adalah salah satu tiang lagi dari iman. Kita mengetahui bahwa rasul-rasul utusan Allah adalah manusia biasa. Untuk menyampaikan wahyu Allah kepada Rasul itu adalah malaikat sebagai utusan Allah yang gaib. Rasul-rasul itu sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak menerima wahyu itu dengan langsung dari Allah, tetapi memakai perantaraan, itulah malaikat, yang disebut juga dengan nama Jibril atau disebut juga Ruh atau Ruhul Amin (Ruh yang dipercaya), sebagaimana Muhammad juga disebut Rusulul Amin. Dia disebut juga Ruhul Qudus, ruh Yang Suci. Dan, lagi, kepercayaan kepada Malaikat menimbulkan pula kekuatan dalam jiwa kita sendiri. Beberapa ayat di dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa kepada manusia yang teguh imannya, kukuh pendiriannya di dalam memercayai Allah, akan turun Malaikat, sehingga bertambah kekuatan semangatnya menghadapi segala perjuangan hidup meskipun Malaikat yang turun ke dalam diri umat yang beriman itu tidaklah sama dengan Jibril yang turun kepada nabi-nabi dan rasul-rasul.
Apakah hakikat malaikat itu? Tuhan sendirilah yang tahu. Akan tetapi, apabila kita selidiki peraturan dan perjalanan alam ini secara ilmiah, terutama tentang perseimbang-an kekuatan dalam alam, perseimbangan daya berat, sehingga bintang-bintang yang berjuta-juta di atas lapangan cakrawala luas ini tidak pernah terjatuh dan kacau, dapAllah kita yakini tentang adanya daya-daya dan tenaga gaib untuk mengatur jalannya. Ini pun dapat kita beri nama dalam bahasa agama, yaitu malaikat.
Orang yang mengakui percaya kepada adanya malaikat, tetapi dia pengecut, bukanlah dia percaya sungguh-sungguh dari hati. Dia hanya menganut kepercayaan hafalan. Sebab, suatu kepercayaan membekas kepada hidup.
Demikian pula halnya dengan kepercayaan kepada Kitab. Yang dimaksud di sini ialah satu kitab, yaitu AL-Qur'an. Dengan menyebut satu kitab, telah terbawa kitab-kitab yang lain, yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Sebab, isi yang hakiki dari segala kitab itu telah tersimpul kepada satu kitab, Al-Qur'an. Percaya akan Kitab ini Artinya, ialah mengetahui dan mengamalkan isinya, menerima segala suruhan dan larangannya, menjunjung tinggi hukum-hukum yang tertera di dalamnya. Dengan memegang teguh isi Kitab itu, keluarlah insan dari gelap gulita kepada terang-benderang petunjuk Ilahi. Dengan demikian, tercapailah kebajikan.
Kepercayaan kepada kitab itu diiringi lagi dengan kepercayaan kepada nabi-nabi utusan Allah. Sebagai seorang Muslim kita menjunjung tinggi sekalian nabi, sejak Adam sampai kepada Muhammad ﷺ. Kepercayaan kepada nabi-nabi menyebabkan kita harus mengetahui perihidup daripada nabi-nabi itu. Bahwasanya mereka menyampaikan dakwah kebenaran Ilahi tidak selalu menemui jalan yang datar, bahkan menempuh berbagai ke-sulitan dan kesukaran, menambah pula akan iman kita bahwa menegakkan amar perintah Ilahi di dalam alam ini tidaklah semudah hanya menghafalnya. Percaya kepada nabi-nabi menimbulkan cita-cita di dalam hati kita hendak meneladari hidup nabi-nabi, pengorbanan mereka, penderitaan mereka di dalam menegakkan kebenaran.
Rukun iman mudah saja menghafalnya. Meski demikian, dengan telah menghafal rukun iman belumlah berarti bahwa orang telah beriman. Iman itu bisa naik dan bertambah-tambah tidak ada batas, dan bisa juga menurun derajatnya dan hilang sama sekali. Iman adalah perjuangan hidup sebab akibat dari iman ialah kesanggupan memikul cobaan. Tidak ada iman yang lepas dari cobaan.
Lanjutan ayat ialah ujian yang pertama dari iman, “Dan memberikan harta atas cinta kepadanya."
Inilah ujian yang pertama dari iman yang tersebut tadi, ujian untuk menyempurnakan kebajikan. Mencintai harta adalah naluri manusia. Maka, kalau iman tidak ada, manusia ini akan diperbudak oleh harta karena nalurinya itu. Oleh sebab itu, menurut penafsiran dari Abdullah bin Mas'ud, banyak orang memberikan harta benda, berderma, berkorban, tetapi di dalam hati kecilnya terselip rasa bakhil karena dia ingin hidup dan dia takut akan kekurangan.
Disebutkan pula, ke mana saja harta yang amat dikasihi itu hendak diberikan. Pertama-tama disebut “kepada keluarga yang hampir".
Orang pertama yang patut diberi harta, hadiah, bantuan, dan sokongan, yaitu keluarga yang terdekat. Entah saudara kandung yang melarat, entah paman yang miskin. Karena meskipun dua orang seibu dan seayah pada masa kecil hidup di bawah satu atap satu rumah, tetapi tatkala telah dewasa akan dibawa untung nasib masing-masing, ada yang jaya dalam perjuangan hidup dan ada yang tiap bergantung tiap jatuh. Dahulukanlah mereka!
Kemudian, datanglah sambungan ayat tentang siapa lagi yang patut dibantu (yang kedua), “Dan anak-anak yatim" Tentang anak yatim kelak akan ditemui banyak ayat di dalam Al-Qur'an, baik terhadap anak yatim yang kaya, sebagaimana tersebut di ayat-ayat pertama dari surah an-Nisaa* maupun anak yatim yang miskin. Sampai Nabi pun pernah bersabda bahwa satu rumah tangga yang bahagia ialah rumah tangga yang memelihara anak yatim dengan baik. Rumah itu akan diliputi oleh rahmat Allah. Niscaya pula anak yatim dari keluarga terdekat (karib kerabat) lebih diutamakan dari yang lain.
Selanjutnya, disebutkan pula yang ketiga, “Dan anak perjalanan."
Menurut tafsiran Ibnu Abbas, anak perjalanan ialah tetamu yang singgah menumpang bermalam ke rumah kaum Muslimin. Menurut Mujahid, sama juga dengan itu, yaitu orang musafir, di dalam perjalanan, lalu singgah menumpang ke rumah kita maka seleng-garakanlah dia dengan baik. Beri makan dan tempat bermalam, dan kalau kita mampu berilah sokongan belanja perjalanannya.
Keempat, “Dan orang-orang yang meminta." Dalam adab sopan Islam, kalau belum terdesak benar, janganlah minta bantu kepada orang sebab tangan yang di atas (memberi) lebih mulia dari tangan yang di bawah (meminta atau menadah). Sebab itu, kalau iman seseorang telah mendalam, kalau tidak terdesak benar, tidaklah dia akan meminta. Oleh sebab itu, bagi seorang yang mampu, yang ingin berbuat kebajikan menurut ajaran Allah, kalau telah sampai terjadi seorang meminta kepada kita, sekali-kali janganlah pengharapannya dikecewakan. Makanya, dia meminta kepada kita, sedangkan harga dirinya sebagai Mukmin merasa berat menadahkan tangan kepada se-sama manusia meminta-minta, adalah karena dia percaya bahwa permintaannya itu tidak akan dikecewakan. Maka, janganlah sampai air mukanya jatuh karena harapannya dihampakan.
Kelima, “Dan penebus hamba sahaya." Sebagaimana telah kita maklumi di dalam sejarah manusia hidup dalam dunia ini, sejak beribu-ribu tahun telah terjadi ada manusia yang dirampas kemerdekaannya lalu mereka itu disebut budak atau hamba sahaya. Perbudakan pada zaman purbakala itu terjadi karena adanya peperangan dan penaklukan suatu negeri. Penyerang yang menang menjadikan penduduk negeri yang ditaklukkan itu menjadi budak. Dan, ada juga di zaman purbakala perbudakan timbul oleh karena seseorang terlalu banyak dan besar utangnya kepada seseorang yang kaya lalu dia menyerahkan diri buat diperbudak sebagai pembayar utangnya. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad ﷺ ketika diutus Allah membawa ajaran Islam telah mendapati perbudakan itu. Padahal, pada hakikatnya, ajaran Islam yang berdasar tauhid dan kasih sayang sesama manusia itu tidaklah menyukai perbudakan. Tidaklah masuk di akal kalau agama yang suci menyukai pemerasan tenaga manusia oleh sesama manusia.
Oleh sebab itu, memberantas perbudakan dan mengembalikan kemerdekaan manusia adalah salah satu maksud utama dari Islam. Cuma cara atau taktik di dalam mencapai maksud yang mulia itu harus disesuaikan de-ngan keadaan ruang dan waktu atau zaman dan makan (tempat). Di zaman Rasulullah ﷺ perbudakan itu ada dalam seluruh masyarakat, ada dalam seluruh bangsa, diterima sebagai suatu kenyataan. Sebab, peperangan-peperangan tidak berhenti-henti. Sejak sebelum Nabi ﷺ diutus telah terjadi pepe-rangan-peperangan yang tidak putus-putus di antara bangsa Romawi dan bangsa Persia. Dan, lantaran itu, terjadi tawan-menawan, memperbudak atau diperbudak. Islam sendiri pun mengalami demikian. Dia berperang dengan musuh-musuhnya, dia memerangi dan diperangi. Dia menawan dan ditawan. Maka, kalau Nabi Muhammad ﷺ menghapuskan perbudakan secara langsung di waktu itu dengan tindakan sepihak, tentu merugikan Islam. Tidak masuk di pikiran sehat kalau musuh yang ditawan dibebaskan saja, padahal pihak kita yang ditawan musuh tidak akan mereka lepaskan. Oleh sebab itu, anjuran kebajikan yang dapat dilakukan pada zaman itu ialah menganjurkan kepada yang empunya budak agar memerdekakan budaknya. Memerdekakan budak adalah termasuk budi dan akhlak tertinggi dalam Islam. Nanti pada ayat-ayat yang lain selanjutnya akan didapat keterangan-keterangan yang lebih panjang tentang memerdekakan budak. Banyak perbuatan salah menurut hukum, didenda dengan memerdekakan budak. Seumpama menebus sumpah (surah al-Maa'idah: 89) kaffarah (denda) zhihar, yaitu menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu sehingga istri tidak dapat dipergauli lagi (surah al-Mujadalah: 3), kaffarah membunuh dengan tidak sengaja dan kesilapan (surah an-Nisaa1: 92), baik yang terbunuh itu sesama orang Islam maupun orang yang bukan Islam. Atau denda karena telanjur bersetubuh dengan istri di siang hari bulan puasa (menurut hadits shahih), dan sebagainya. Semua itu denda dengan memerdekakan budak.
Adapun dalam ayat ini bukanlah denda, tetapi anjuran mempertinggikan perbuatan kebajikan dengan menyediakan harta untuk memerdekakan budak. Ada namanya budak yang mukatab, yaitu seorang budak mengikat janji (kontrak) dengan tuanyangmenguasainya bahwa kalau dia dapat mengganti kerugian tuannya itu, dengan membayar sekian, dia akan dimerdekakan. Maka, kalau ada seorang Mukmin yang mampu lalu mendengar berita itu, hendaklah dia menyediakan harta bendanya untuk membantu budak itu. Budak mukatab berhak menerima zakat. Atau membeli seorang budak lalu memerdekakannya. Ataupun memberi hadiah kemerdekaan kepada seorang hamba sahaya sendiri oleh karena jasa-jasanya yang telah diperbuatnya. Seorang budak perempuan bahkan boleh dibayar maskawin (maharnya) dengan menghadiahkan kemerdekaan kepadanya sehingga dengan pemberian kemerdekaan itu, si tuan yang telah menjadi suami itu tidak usah membayar mahar lagi. Kemerdekaan adalah hadiah yang paling tinggi!
Secara resminya sejak seratus tahun yang akhir ini tidak ada perbudakan lagi karena telah dihapuskan menurut undang-undang bangsa-bangsa. Akan tetapi, peperangan-peperangan masih berlaku, tetapi budak masih ada. Tawanan-tawanan perang masih dikerahkan menjadi budak sebagaimana yang dilakukan Rusia terhadap beribu tawanan perang Jepang yang dikirim ke Siberia. Sebab itu, perbudakan belum hilang meskipun coraknya telah lain. Lantaran itu, perjuangan bangsa-bangsa menuntut kemerdekaan manusia atau bangsa-bangsa dari penjajahan, termasuklah kebajikan yang tertinggi jua adanya.
Setelah diterangkan dasar-dasar pada jiwa yang harus terlebih dahulu ditanamkan, barulah lanjutan ayat berikutnya yang keenam, “Dan mendirikan shalat." Tegas di dalam ayat ini bahwasanya shalat bukanlah semata-mata dikerjakan, melainkan didirikan. Artinya, timbul dari dasar iman dan kesadaran. Tidaklah lagi orang merasa keberatan mendirikan shalat itu karena dia telah ditimbul daripada iman kepada Allah dan kasih sayang kepada sesama manusia; tidak lagi shalat karena semata-mata menghadap muka atau beralih paling ke pihak timur atau ke pihak barat. Tidak lagi shalat karena turut-turutan atau tunggang-tunggik ke atas ke bawah; berdiri, sujud, duduk, dan sebagainya, padahal kosong dari iman. Niscaya shalatnya itu menghadap kiblat, itu sudah terang. Akan tetapi, karena iman dan kasih sayang sudah terhunjam dalam jiwanya, bukan saja lagi mukanya yang dihadapkannya kepada kiblat, melainkan batinnya yang terlebih dahulu dihadapkannya kepada Allah, sebagaimana dinyatakan di dalam doa pembukaan shalat,
“Aku hadapkan wajahku kepada Dia, Yang menciptakan semua langit dan bumi, muka yang lurus lagi menyerah, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah."
Di sinilah baru berarti shalat yang dia kerjakan. Shalat yang hidup bukan shalat yang mati. Shalat yang khusyu bukan shalat yang hanya kulit perbuatan. Seorang pujangga Islam, Syekh Mustafa al-Ghalayini berkata, “Suatu amal hendaklah dengan ikhlas sebab ikhlas adalah jiwa amal. Amal yang tidak disertai ikhlas adalah laksana bangkai. Ada kerangkanya, tetapi tidak ada nyawanya."
Di pangkal ayat sudah disebutkan bahwa memalingkan muka ke timur ataupun ke barat belumlah bernama kebajikan. Kebajikan ialah apabila jiwa terlebih dahulu diisi dengan iman, dibuktikan dengan kasih sayang kepada manusia, dan dengan demikian timbullah shalat. Ini karena shalat hendaklah timbul dari iman dan cinta kasih.
Kemudian, datanglah lanjutan ayat (ketujuh), “Dan mengeluarkan zakat" Jaranglah terpisah di antara mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Terlalu banyak kita bertemu dengan ayat yang kembar itu, shalat dan zakat. Ini karena shalat adalah tanda kepatuhan kepada Allah, sedangkan zakat adalah kasih sayang dalam masyarakat.
Tadi, sebelum menerangkan bahwa iman yang kukuh itu menimbulkan shalat yang khusyu, terlebih dahulu diterangkan betapa besarnya pengaruh iman untuk menimbulkan kasih sayang kepada sesama manusia, sehingga hati lapang dan hati pemurah mengeluarkan harta yang dicintai untuk membantu keluarga dan fakir miskin serta anak yatim dan seterusnya. Sekarang, setelah selesai menerangkan kepentingan mendirikan shalat sebagai bukti iman, diulang pula sekali lagi, yaitu mengeluarkan zakat; sekali lagi disebut kemurahan hati mengeluarkan harta yang dicintai. Ada agaknya orangyangakan bertanya, apa perlunya lagi menyebutkan mengeluarkan zakat, padahal tadi di atas sudah dijelaskan bahwa alamat kebajikan ialah kemurahan hati mengeluarkan harta yang dicintai? Jawabnya ialah bahwasanya ini bukan kata berulang. Mengeluarkan harta yang amat dicintai untuk membantu keluarga terdekat dan fakir miskin tidaklah bergantung pada zakat saja. Orang yang beriman dan berbuat kebajikan, akan senantiasa mengeluarkan harta yang dicintainya guna pembantu orang yang melarat walaupun dia tidak wajib berzakat karena syarat-syarat untuk berzakat, karena nishab harta dan bilangan setahun belum cukup. Mengeluarkan zakat tiap tahun adalah minimum, ukuran paling rendah. Zakat adalah kewajiban tertentu tiap tahun, kewajiban rutin. Akan tetapi, banyak lagi pintu lain di luar zakat, yang timbul dari hati yang dermawan. Ada sedekah tathawwu, sedekah sukarela yang tidak wajib menurut hukum fiqih, tetapi wajib menurut perasaan halus budiman. Ada orang yang membagi sepiring nasi yang sedianya akan dimakannya sendiri untuk fakir miskin yang mengharapkan bantuannya. Ada sedekah yang bernama hadiah, bernama hibah, bernama ihsan, dan ada yang bernama wakaf. Semuanya itu adalah dalam golongan mengeluarkan harta yang dicintai tadi. Orang Islam wajib mengeluarkan zakat fitrah ketika puasa Ramadhan telah selesai dikerjakan. Banyaknya hanya sekitar tiga seperempat liter atau dua setengah kilo beras. Meski demikian, tidak ada halangan, malahan dianjurkan, berfitrah satu karung beras!
Kemudian, datanglah lanjutan ayat, “Dan orang-orang yang memenuhi akan janji mereka apabila mereka telah berjanji." janji kita ada dua macam. Pertama, janji dengan Allah. Kedua, janji dengan manusia. Kehidupan ini seluruhnya diikat dengan janji. Mengakui sebagai hamba dari Allah, Artinya, akan menepati janji dengan Allah, Naik saksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, Artinya, ialah janji bahwa awak akan mematuhi segala perintah dan larangan Rasul.
Kedua ialah janji dengan sesama manusia. Seluruh hidup kita ini adalah ikatan janji belaka. Mendirikan suatu negara adalah suatu janji bersama hendak hidup dengan rukun, kepentingan diriku terhenti bilamana telah bergabung dengan kepentingan kita bersama; itulah negara. Perang dan damai di antara negara dan negara adalah ikatan janji. Bahkan akad nikah seorang ayah ketika dia menyerahkan anak perempuannya kepada seorang laki-laki untuk menjadi istri orang itu, yang dinamai ijab, lalu disambut dan diterima oleh si laki-laki di hadapan dua saksi, yang dinamai qabul, adalah janji. Seorang khalifah atau amirul mu'minin, gelar tertinggi dalam daulah Islamiyah, ketika akan naik ke atas singgasana kekuasaan, lebih dahulu berjanji dengan rakyat yang mengangkatnya, yaitu janji yang dinamai ba'iat. Seorang banyak memegang tangan khalifah lalu mengucapkan janji bahwa mereka akan taat setia kepada beliau selama beliau masih menegakkan kebenaran dan keadilan yang digariskan Allah dan Rasul. Dan, dia pun berjanji akan menjalankan itu dengan segenap tenaga yang ada padanya. Maka, kalau yang mengangkat mungkin, khalifah berhak menuntut pertanggungjawaban mereka. Namun, kalau khalifah sendiri yang tidak setia memegang janji, Allah membuka kesempatan kepada yang mengangkat itu buat memakzul-kannya.
Lanjutan ayat (kesembilan), “Dan orang-orang yang sabar di waktu kepayahan dari kesusahan dan seketika peperangan." Di sinilah kita bertemu kunci rahasia dari iman dan kebajikan. Di dalam membina iman dan kebajikan, syaratnya yang utama ialah sabar. Mulut bisa dibuka lebar buat menyerukan iman. Beribu-ribu orang tampil ke muka menyerukan iman, tetapi hanya berpuluh yang dapat melanjutkan perjalanan. Sebagian terbesar jatuh tersungkur di tengah jalan karena tidak tahan menderita karena tiada sabar. Di sini disebutlah ujian pertama ialah kepayahan, termasuk di dalamnya kemiskinan dan serba kekurangan. Kurang sandang, kurang pangan. Kekurangan alat untuk berjuang, kekurangan belanja untuk mengatasi kesulitan. Kadang-kadang bagai gunung kesulitan yang ditempuh, tetapi kita mesti terus menegakkan iman. Kesulitan dan rintangan kedua ialah kesusahan. Kesusahan ialah lantaran penyakit, baik penyakit ruhani apatah lagi karena penyakit jasmani. Kadang-kadang seisi rumah yang tadinya hidup tenteram dan mempunyai rezeki yang lumayan, tiba-tiba tiang keluarga yang berusaha ditimpa sakit payah ataupun langsung mati. Rencana semuanya jadi gagal.
Sesudah semuanya itu diisi menurut tertibnya, barulah datang lanjutan ayat, “Mereka itulah orang-orang yang benar."
Artinya, isilah semuanya itu dengan tertib, mulailah dengan iman, turutilah dengan rasa cinta kepada sesama manusia, dan iringilah lagi iman kepada Allah dengan shalat yang khusyu, lalu berzakAllah bila telah datang waktunya, dan teguhlah memegang janji, karena binatang diikat dengan tali, sedangkan manusia diikat dengan katanya sendiri. Dan, sabarlah memikul tugas hidup itu semuanya. Kalau ini semuanya sudah diisi, barulah pengakuan iman dapat diterima oleh Allah dan barulah kita terhitung dan termasuk dalam daftar Allah sebagai seorang yang benar, yang cocok isi hatinya dengan amalannya. Lalu, di ujung ayat menjelaskan lagi,
“Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."
Kita sudah tahu arti asli dari takwa, yaitu pemeliharaan. Itulah orang yang selalu memelihara hubungannya dengan Allah. Mereka selalu berusaha sehingga martabat imannya bukan menurun, melainkan selalu mendaki kepada yang lebih tinggi.