Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَمَّا
dan tatkala
جَآءَ
datang
مُوسَىٰ
Musa
لِمِيقَٰتِنَا
pada waktu yang Kami tentukan
وَكَلَّمَهُۥ
dan berfirman kepadanya
رَبُّهُۥ
Tuhannya
قَالَ
(Musa) berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
أَرِنِيٓ
kepadaku
أَنظُرۡ
lihatlah
إِلَيۡكَۚ
Engkau
قَالَ
berfirman
لَن
tidak akan
تَرَىٰنِي
kamu melihat Aku
وَلَٰكِنِ
tetapi
ٱنظُرۡ
lihatlah
إِلَى
ke
ٱلۡجَبَلِ
bukit
فَإِنِ
maka jika
ٱسۡتَقَرَّ
ia tetap
مَكَانَهُۥ
pada tempatnya
فَسَوۡفَ
maka akan
تَرَىٰنِيۚ
kamu melihat Aku
فَلَمَّا
maka ketika
تَجَلَّىٰ
menampakkan
رَبُّهُۥ
Tuhannya
لِلۡجَبَلِ
pada bukit
جَعَلَهُۥ
menjadikannya
دَكّٗا
hancur luluh
وَخَرَّ
dan jatuh
مُوسَىٰ
Musa
صَعِقٗاۚ
pingsan
فَلَمَّآ
maka setelah
أَفَاقَ
dia sadar kembali
قَالَ
dia berkata
سُبۡحَٰنَكَ
Maha Suci Engkau
تُبۡتُ
aku bertaubat
إِلَيۡكَ
kepada Engkau
وَأَنَا۠
dan aku
أَوَّلُ
pertama
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
وَلَمَّا
dan tatkala
جَآءَ
datang
مُوسَىٰ
Musa
لِمِيقَٰتِنَا
pada waktu yang Kami tentukan
وَكَلَّمَهُۥ
dan berfirman kepadanya
رَبُّهُۥ
Tuhannya
قَالَ
(Musa) berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
أَرِنِيٓ
kepadaku
أَنظُرۡ
lihatlah
إِلَيۡكَۚ
Engkau
قَالَ
berfirman
لَن
tidak akan
تَرَىٰنِي
kamu melihat Aku
وَلَٰكِنِ
tetapi
ٱنظُرۡ
lihatlah
إِلَى
ke
ٱلۡجَبَلِ
bukit
فَإِنِ
maka jika
ٱسۡتَقَرَّ
ia tetap
مَكَانَهُۥ
pada tempatnya
فَسَوۡفَ
maka akan
تَرَىٰنِيۚ
kamu melihat Aku
فَلَمَّا
maka ketika
تَجَلَّىٰ
menampakkan
رَبُّهُۥ
Tuhannya
لِلۡجَبَلِ
pada bukit
جَعَلَهُۥ
menjadikannya
دَكّٗا
hancur luluh
وَخَرَّ
dan jatuh
مُوسَىٰ
Musa
صَعِقٗاۚ
pingsan
فَلَمَّآ
maka setelah
أَفَاقَ
dia sadar kembali
قَالَ
dia berkata
سُبۡحَٰنَكَ
Maha Suci Engkau
تُبۡتُ
aku bertaubat
إِلَيۡكَ
kepada Engkau
وَأَنَا۠
dan aku
أَوَّلُ
pertama
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
Terjemahan
Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”
Tafsir
(Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami pada waktu yang telah Kami tentukan) waktu yang telah Kami janjikan kepadanya akan berbicara dengannya pada waktu itu (dan Tuhan telah berfirman kepadanya) tanpa perantara dengan pembicaraan yang dapat Musa dengar dari segala penjuru (berkatalah Musa, "Ya Tuhanku! Tampakkanlah kepadaku) diri Engkau (agar aku dapat melihat-Mu." Tuhan berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku) artinya kamu tidak akan mampu melihat-Ku; bila hal itu diungkapkan bukan dengan memakai huruf lan, maka pengertiannya berarti melihat Tuhan itu mungkin dapat dilakukan (tetapi lihatlah kepada bukit itu) yang bangunannya lebih kuat daripada dirimu (maka jika ia tetap) tegak seperti sediakala (pada tempatnya, niscaya kamu dapat melihat-Ku") engkau dapat melihat-Ku dan jika tidak, maka niscaya kamu tidak akan kuat (Tatkala Tuhannya tampak) yakni sebagian dari nur-Nya yang hanya sebesar setengah jari manis, demikianlah menurut penjelasan dari hadis yang telah diriwayatkan oleh Al-Hakim (bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh) dengan dibaca qashr atau pendek dan panjang, yakni gunung itu menjadi lebur rata dengan tanah (dan Musa jatuh pingsan) tak sadarkan diri karena sangat terkejut melihat apa yang ia saksikan (Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Maha Suci Engkau) dengan memahasucikan Engkau (aku bertobat kepada Engkau) dari permintaan yang aku tidak diperintahkan mengemukakannya (dan aku orang yang pertama-tama beriman") pada zamanku ini.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, "Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau." Tuhan berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya menampakkan diri pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau, dan aku orang yangpertama-tama beriman." Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan perihal Musa a.s., bahwa ketika masa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadanya telah tiba, dan pembicaraan langsung kepada Allah sedang berlangsung, maka Musa memohon kepada Allah untuk dapat melihat-Nya.
Musa berkata seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau. Tuhan berfirman.Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku" (Al-A'raf: 143) Makna huruf lan dalam ayat ini menyulitkan analisis kebanyakan ulama tafsir, mengingat pada asalnya huruf lan diletakkan untuk menunjukkan makna ta-bid (selamanya). Karena itulah orang-orang Mu'tazilah berpendapat bahwa melihat Zat Allah merupakan suatu hal yang mustahil di dunia ini dan di akhirat nanti. Tetapi pendapat ini sangat lemah, mengingat banyak hadits mutawatir dari Rasulullah ﷺ yang menyatakan bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Allah di akhirat nanti, pembahasannya akan kami ketengahkan dalam tafsir firman Allah subhanahu wa ta’ala: .
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 22-23) Dan firman Allah ﷻ yang menceritakan perihal orang-orang kafir: Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (melihat) Tuhan mereka. (Al-Muthaffifin: 15) Menurut suatu pendapat, huruf lan dalam ayat ini menunjukkan makna pe-nafi-an terhadap pengertian ta-bid di dunia, karena menggabungkan antara pengertian ayat ini dengan dalil qat'i yang membenarkan adanya penglihatan kelak di hari akhirat. Menurut pendapat lain, makna kalimat ayat ini sama dengan makna kalimat yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui. (Al-An'am: 103) Tafsir ayat ini telah dikemukakan dalam surat Al-An' am.
Menurut yang tertera di dalam kitab-kitab terdahulu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Musa a.s., "Wahai Musa, sesungguhnya tidak ada makhluk hidup pun yang melihat-Ku melainkan pasti mati, dan tiada suatu benda mati pun melainkan ia pasti hancur luluh." Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh Firman-Nya: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143) Sehubungan dengan tafsir ayat ini Abu Ja'far ibnu Jarir At-Tabari di dalam kitabnya mengatakan bahwa: telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sahl Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Qurah ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari seorang lelaki, dari Anas, dari Nabi ﷺ, "Ketika Tuhannya menampakkan diriNya pada gunung itu dan menunjukkan isyarat-Nya ke gunung itu, maka dengan serta merta gunung, itu menjadi hancur karenaNya." Abu Ismail (perawi) menceritakan hadits ini seraya memperlihatkan kepada kami isyarat dengan jari telunjuknya.
Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya." Kemudian Abu Ja'far ibnu Jarir At-Tabari mengatakan: telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Al-Laits, dari Anas, bahwa Nabi ﷺ membaca ayat berikut: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunitng itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh. (Al-A'raf: 143) Lalu Nabi ﷺ mengisyaratkan dengan salah satu jarinya, beliau meletakkan jari jempolnya pada ujung jari kelingkingnya dan bersabda, "Maka hancur luluhlah gunung itu." Demikianlah sanad yang disebutkan di dalam riwayat ini, yaitu Hammad ibnu Salamah, dari Al-Laits, dari Anas, Tetapi menurut riwayat yang masyhur adalah Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas.
Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hudbah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh. (Al-A'raf: 143) Lalu beliau ﷺ meletakkan jari jempolnya pada ujung jari kelingkingnya seraya bersabda, "Maka seketika itu juga gunung itu hancur luluh." Humaid berkata kepada Sabit, "Apakah beliau ﷺ mengisyaratkan seperti itu?" Maka Sabit menarik tangannya dan memukulkannya ke dada Humaid seraya berkata, "Hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah ﷺ, diisyaratkan pula oleh Anas, lalu apakah saya menyembunyikannya?" Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, bahwa: telah menceritakan kepada kami Abul Musanna Muaz ibnu Muaz Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Sabit Al-Bannani, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan makna firmanNya: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu. (Al-A'raf: 143) Maka Nabi ﷺ mengisyaratkan demikian, yakni beliau ﷺ mengeluarkan jari kelingkingnya.
Ahmad mengatakan bahwa Mu'az memperagakannya kepada kami demikian. Humaid At Tawil berkata kepadanya, "Apakah yang engkau maksudkan dengan isyarat itu, wahai Abu Muhammad?" Maka Mu'az memukul dadanya dengan pukulan yang cukup kuat, lalu berkata, "Siapakah engkau ini, wahai Humaid; dan mengapa engkau ini, wahai Humaid? Yang menceritakan demikian kepadaku ialah Anas ibnu Malik, dari Nabi ﷺ Lalu apakah yang kamu maksudkan?" Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dalam tafsir ayat ini, dari Abdul Wahhab ibnul Hakam Al-Warraq, dari Mu'az ibnu Mu'az dengan sanad yang sama.
Juga dari Abdullah ibnu Abdur Rahim Ad-Darimi, dari Sulaiman ibnu Harb, dari Hammad ibnu Salamah dengan sanad yang sama. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih gharib, kami tidak mengenalnya melainkan melalui hadits Hammad. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui berbagai jalur dari Hammad ibnu Salamah dengan sanad yang sama.
Lalu Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Abu Muhammad Al-Hasan ibnu Muhammad ibnu Ali Al-Khalal telah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ali ibnu Suwaid, dari Abul Qasim Al-Baghawi, dari Hudbah ibnu Khalid, dari Hammad ibnu Salamah, lalu ia mengetengahkannya. Dan ia mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, tidak ada cacatnya.
Daud ibnul Muhabbar telah meriwayatkannya dari Syu'bah, dari Sabit, dari Anas secara marfu'. Tetapi riwayat ini tidak dianggap, mengingat Daud Ibnul Muhabbar seorang pendusta. Abul Qasim At-Ath-Thabarani dan Abu Bakar ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui dua jalur, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Anas secara marfu dengan lafal yang semisal. Ibnu Murdawaih menyandarkannya melalui jalur Ibnul Bailamani, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu', hal ini pun tidak shahih.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya, dan Imam Hakim menilainya shahih, tetapi dengan syarat Imam Muslim. As-Suddi telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu. (Al-A'raf: 143) Bahwa tiada yang ditampakkan oleh Allah melainkan hanya sebesar jari kelingking. kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh. (Al-A'raf: 143) Dakkan artinya 'menjadi abu'. dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143) Yakni jatuh tak sadarkan dirinya.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143) Maksudnya, jatuh dalam keadaan mati. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan bahwa bukit itu jebol dan jatuh menggelinding ke laut. Sedangkan Nabi Musa ikut bersama gunung itu. Sunaid telah meriwayatkan dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Abu Bakar Al-Huzali sehubungan dengan makna firman-Nya: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, (Al-A'raf: 143) Disebutkan bahwa gunung itu amblas ke dalam bumi dan tidak akan muncul lagi sampai hari kiamat.
Di dalam sebagian kisah disebutkan bahwa gunung itu amblas ke dalam tanah dan terns amblas ke dalamnya sampai hari kiamat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya Abu Gassan Al-Kannani, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Imran, dari Mu'awiyah ibnu Abdullah, dari Al-Jalad ibnu Ayyub, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Anas ibnu Malik, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: Ketika Allah tampak bagi gunung-gunung itu, maka beterbanganlah karena kebesaran-Nya enam buah gunung; tiga di antaranya jatuh di Madinah, dan yang tiga lagi jatuh di Mekah.
Di Madinah adalah Uhud, Warqan, dan Radwa; sedangkan yang di Mekah ialah Hira, Sabir, dan Tsaur. Hadits ini gharib, bahkan munkar. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abul Balah, bahwa telah menceritakan kepada kami Ai-Ha isain ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Husain ibnul Allaf, dari Urwah ibnu Ruwayyim yang mengatakan bahwa sebelum Allah menampakkan Diri-Nya kepada Musa di Tursina, gunung-gunung itu dalam keadaan rata lagi licin.
Tetapi setelah Allah menampakkan diri-Nya kepada Musa di Tursina, maka hancur leburlah gunungnya, sedangkan gunung-gunung lainnya terbelah dan retak-retak serta terbentuklah gua-gua. Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143) Bahwa ketika hijab Allah dibuka-Nya kepada gunung itu dan gunung itu melihat cahaya-Nya, maka jadilah bukit itu seperti tepung.
Sebagian ulama ada yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh. (Al-A'raf: 143) Bahwa makna yang dimaksud dengan dakka ialah fitnah. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: tetapi melihatiah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku. (Al-A'raf: 143) Menurutnya, dikatakan demikian karena gunung itu lebih besar dan lebih kuat daripada Musa sendiri. Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu.
kejadian itu menjadikan gunung itu. (Al-A'raf: 143) Allah memandang gunung itu, maka gunung itu tidak kuat, lalu hancur luluh sampai ke akarnya. Melihat pemandangan itu, yakni yang terjadi pada gunung itu, maka Musa pun jatuh pingsan. Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh. (Al-A'raf: 143) Bahwa Allah memandang ke gunung itu, maka gunung itu berubah menjadi padang pasir. Sebagian ulama qiraat membacanya dengan bacaan demikian, kemudian dipilih oleh Ibnu Jarir.
Dan bacaan ini diperkuat dengan adanya sebuah hadits marfu' mengenainya yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih. Pengertian as-sa'qu dalam ayat ini ialah pingsan, menurut tafsiran Ibnu Abbas dan lain-lainnya, tidak seperti penafsiran yang dikemukakan oleh Qatadah yang mengatakan bahwa makna as-sa'qu dalam ayat ini ialah mati, sekalipun tafsir yang dikemukakan oleh Qatadah dibenarkan menurut peristilahan bahasa.
Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (Az-Zumar: 68) Karena sesungguhnya dalam ayat ini terdapat qarinah (bukti) yang menunjukkan makna mati, sebagaimana dalam ayat yang sedang kita bahas terdapat qarinah yang menunjukkan makna pingsan, yaitu firman-Nya: Maka setelah Musa sadar kembali. (Al-A'raf: 143) Al-Ifaqah atau sadar tiada lain dari orang yang tadinya pingsan.
Musa berkata, "Mahasuci Engkau." (Al-A'raf: 143) Sebagai ungkapan memahasucikan. mengagungkan, dan memuliakan Allah, bahwa bila ada seseorang yang melihat-Nya di dunia ini niscaya dia akan mati. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: aku bertobat kepada Engkau. (Al-A'raf: 143) Mujahid mengatakan makna yang dimaksud ialah 'saya kapok, tidak akan meminta untuk melihat-Mu lagi'. dan aku orang yang pertama-tama beriman. (Al-A'raf: 143) Demikianlah menurut takwil Ibnu Abbas dan Mujahid, dari Bani Israil; pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Menurut riwayat yang lain dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan aku orang yang pertama-tama beriman. (Al-A'raf: 143) Disebutkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melihat-Mu. Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, bahwa sebelum itu memang telah ada orang-orang yang beriman, tetapi makna yang dimaksud di sini ialah "saya orang yang mula-mula beriman kepada Engkau, bahwa tidak ada seorang makhluk-Mu yang dapat melihat-Mu sampai hari kiamat
Pendapat ini cukup baik dan mempunyai alasan. Muhammad ibnu Jarir di dalam kitab Tafsir-nya. sehubungan dengan ayat ini telah mengetengahkan sebuah atsar yang cukup panjang mengenainya di dalamnya terdapat banyak hal yang gharib dan ajaib, bersumber dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar. Tetapi seakan-akan Muhammad ibnu Ishaq menerimanya dari berita-berita Israiliyat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Musa pun jatuh pingsan. (Al-A'raf: 143) Sehubungan dengan makna ayat ini terdapat hadits Abu Sa'id dan Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, yang menerangkan tentangnya.
Hadits Abu Sa'id di-sanad-kan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, dalam bab tafsir ayat ini. Untuk itu ia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini, dari ayahnya, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa seorang lelaki Yahudi datang kepada Nabi ﷺ, sedangkan mukanya baru saja ditampar, lalu ia mengadu, "Wahai Muhammad, sesungguhnya seseorang dari sahabatmu dari kalangan Anshar telah menampar wajahku." Nabi ﷺ bersabda, "Panggillah dia!" Lalu mereka memanggil lelaki itu dan bersabda kepadanya, "Mengapa engkau tampar mukanya?" Lelaki Anshar menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika saya sedang lewat bersua dengan orang Yahudi, lalu orang Yahudi itu kudengar mengatakan, 'Demi Tuhan yang telah memilih Musa atas manusia semuanya.' Lalu saya mengatakan kepadanya, 'Dan juga di atas Muhammad?' Lelaki itu menjawab, 'Ya juga di atas Muhammad.' Maka saya menjadi emosi, lalu kutampar mukanya," Rasulullah ﷺ bersabda: Janganlah kalian melebihkan aku di atas para nabi semuanya, karena sesungguhnya manusia pasti pingsan di hari kiamat, dan aku adalah orang yang mula-mula sadar.
Tiba-tiba aku menjumpai Musa sedang memegang kaki Arasy. Aku Tidak mengetahui apakah dia sadar sebelumku ataukah dia telah beroleh balasannya ketika mengalami pingsan di Bukit Tur. Imam Bukhari telah meriwayatkannya di berbagai tempat (bab) dari kitab Shahih-nya, dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya dalam pembahasan "Kisah-kisah para Nabi Imam Abu Daud telah meriwayatkannya di dalam kitab Sunnah-nya melalui berbagai jalur dari Amr ibnu Yahya ibnu Imarah ibnu Abul Hasan Al-Mazini Al-Ansari Al-Madani, dari ayahnya, dari Abu Sa'id Sa'd ibnu Malik ibnu Sinan Al-Khudri dengan lafal yang sama.
Adapun mengenai hadits Abu Hurairah, Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya menyebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman dan Abdur Rahman Al-A'raj, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki bertengkar, salah seorangnya adalah orang muslim, sedangkan yang lain orang Yahudi. Orang Muslim mengatakan, "Demi Tuhan yang telah memilih Muhammad atas semua manusia." Maka si Yahudi berkata, "Demi Tuhan yang telah memilih Musa atas semua manusia." Maka orang muslim itu marah kepada si Yahudi, lalu ia menamparnya.
Kemudian orang Yahudi itu datang kepada Rasulullah ﷺ Ketika Rasulullah ﷺ menanyakan kedatangannya, maka lelaki Yahudi itu mengadukan perkaranya. Lalu Rasulullah ﷺ memanggil si lelaki muslim itu, dan si lelaki muslim mengakui hal tersebut. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Janganlah kalian melebihkan aku atas Musa, karena sesungguhnya semua orang mengalami pingsan di hari kiamat nanti, dan aku adalah orang yang mula-mula sadar. Tiba-tiba aku melihat Musa sedang memegang bagian sisi 'Arasy. Aku tidak mengetahui apakah dia termasuk orang-orang yang pingsan, lalu ia sadar sebelumku, ataukah dia termasuk orang yang dikecualikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala (tidak mengalami pingsan) Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Shahihain melalui hadits Az-Zuhri dengan sanad yang sama. An-Hafidzh Abu Bakar ibnu Abud Dunya telah meriwayatkan bahwa orang yang menampar si Yahudi itu dalam kasus tersebut adalah sahabat Abu Bakar As- Siddiq Akan tetapi, menurut keterangan hadits yang terdahulu dari kitab Shahihain disebutkan bahwa lelaki yang menampar si Yahudi itu adalah seorang Anshar; hal ini lebih shahih dan lebih jelas.
Pengertian yang tersirat dari sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: Janganlah kalian mengutamakan aku atas Musa. Sama halnya dengan pengertian yang terkandung di dalam sabdanya yang lain, yaitu: Janganlah kalian mengutamakan diriku atas para nabi, jangan pula atas Yunus ibnu Mata Menurut suatu pendapat, hal ini termasuk ke dalam Bab "Tawadu (rendah diri) Nabi ﷺ Tetapi menurut pendapat lain, hal tersebut diungkapkan oleh Nabi ﷺ sebelum Nabi ﷺ mengetahui keutamaan dirinya di atas semua makhluk. Menurut pendapat lainnya,-Nabi ﷺ melarang bila dirinya paling diutamakan di antara para nabi lainnya dengan cara emosi dan fanatisme. Dan menurut pendapat lainnya lagi, hal tersebut dilarang bila dikatakan hanya sekadar pendapat sendiri dan seenaknya. Sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: Sesungguhnya semua manusia akan mengalami pingsan pada hari kiamat nanti. Menurut makna lahiriahnya 'pingsan' ini terjadi menjelang hari kiamat, karena pada hari itu terjadilah suatu perkara yang membuat mereka semuanya tidak sadarkan dirinya.
Barangkali pula hal tersebut terjadi di saat Tuhan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi datang untuk memutuskan peradilan, lalu Dia menampakkan diri-Nya pada semua makhluk untuk melakukan pembalasan terhadap mereka. Perihalnya sama dengan pingsan yang dialami oleh Musa a.s. karena Tuhan menampakkan diri-Nya. Untuk itulah, maka dalam hadits ini disebutkan melalui sabdanya: Aku tidak mengetahui apakah Musa sadar sebelumku.
ataukah dia sudah cukup mendapat balasannya ketika mengalami pingsan di Bukit Tur. Al-Qadi Iyad di dalam permulaan kitab Asy-Syifa telah meriwayatkan berikut sanadnya dari Muhammad ibnu Muhammad ibnu Marzuq: bahwa telah menceritakan kepada kami Qatadah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, dari Qatadah, dari Yahya ibnu Wassab, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Ketika Allah menampakkan diri-Nya kepada Musa as., maka Musa dapat melihat semut yang berada di Bukit Safa (Mekah) dalam kegelapan malam sejauh perjalanan sepuluh farsakh (pos).
Kemudian Al-Qadi Iyad mengatakan, "Tidaklah jauh pengertian hal ini dengan apa yang dialami oleh Nabi kita. sebagai keistimewaan buatnya, sesudah beliau mengalami Isra dan menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang terbesar." Demikianlah menurut Al-Qadi Iyad, seakan-akan dia menilai shahih hadits ini. Tetapi kesahihan hadits ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat para perawi yang disebutkan di dalam sanadnya terdapat orang-orang yang tidak dikenal. Sedangkan hal semisal ini hanya dapat diterima bila diketengahkan melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dabit sampai ke penghujung sumbernya."
Dan ingatlah ketika Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang telah Kami tentukan, yaitu empat puluh malam, dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, menyampaikan wahyu melalui suatu dialog yang tidak sama dengan pembicaraan yang dilakukan manusia, Nabi Musa ingin mendapat lebih dari itu dan berkata, Tuhan Pemeliharaku, tampakkanlah diri-Mu Yang Maha Suci kepadaku agar aku dapat'dengan potensi yang Engkau anugerahkan padaku'melihat Engkau. Dia, yakni Allah, berfirman, Engkau, wahai Nabi Musa, sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku di dunia ini dengan mata telanjang. Kemudian Allah ingin Nabi Musa dapat menerima ketidaksanggupannya itu, dan berkata, Namun lihatlah ke gunung itu yang lebih kokoh bila dibandingkan dengan kondisimu, jika saat kemunculan-Ku ia tetap tegar di tempatnya sebagai sediakala ketika Aku ber-tajalli, menampakkan apa yang hendak Aku tampakkan, niscaya engkau dapat melihat-Ku saat Aku muncul di hadapanmu. Maka ketikaTuhannya ber-tajalli, menampakkan keagungan-Nya atau apa yang hendak ditampakkan-Nya kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh, hingga sama rata dengan tanah, dan Nabi Musa pun jatuh pingsan tak sadarkan diri menyaksikan peristiwa dahsyat itu. Setelah Nabi Musa sadar kembali, dan yakin bahwa dia tidak dapat melihat-Nya di dunia ini dengan cara apa pun, dia berkata, Mahasuci Engkau, lagi Maha Agung, aku bertobat kepada Engkau karena telah lancang meminta sesuatu yang tak Engkau izinkan, dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman, yang percaya bahwa Engkau tidak dapat dilihat seperti yang kumohonkan. Para mufasir ada yang berpendapat, pengertian tampak ialah kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang tampak itu adalah cahaya Allah. Bagaimana pun juga tampaknya Allah itu bukanlah seperti tampaknya makhluk, hanya tampak yang sesuai sifatsifat Allah yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia. Tatkala Allah menolak permintaan Nabi Musa untuk melihatNya, Dia telah menyiapkan untuknya nikmat-nikmat yang lain sebagai kompensasi penolakan itu. Dia, yakni Allah berfirman, Wahai Musa! Sesungguhnya Aku memilih dengan melebihkan dan mengutamakan engkau dari manusia yang lain pada masamu untuk membawa risalah-Ku yaitu pesan-pesan kenabian dan firman-Ku yang Aku sampaikan langsung dengan bercakap-cakap kepadamu, tanpa perantara, sebab itu berpegang-teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu berupa perintah dan larangan, dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur atas nikmat kerasulan dan kekhususan Tuhan berbicara langsung kepadamu.
Ayat ini menerangkan, manakala Musa as sampai ke tempat dan waktu yang dijanjikan Allah untuk menerima wahyu, Allah telah menyampaikan wahyu-Nya secara langsung tanpa perantara, maka timbul pada diri Musa keinginan untuk memperoleh kemuliaan lain di samping kemuliaan berkata-kata langsung dengan Allah yang baru saja diterimannya. Keinginan itu ialah mendapat kemuliaan melihat Allah dengan jelas, lalu Musa berkata, "Ya Tuhanku, perlihatkanlah zat Engkau yang suci dan berilah aku kekuatan untuk dapat melihat Engkau dengan jelas, karena aku tidak sanggup melihat dan mengetahui Engkau dengan sempurna. Allah menjawab, "Hai Musa kamu tidak akan dapat melihat-Ku." Dalam hadis Nabi saw, disebutkan:
"Dari Abu Musa, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, "Hijab (pembatas) Allah ialah nur (cahaya). Sekiranya nur itu disingkapkan niscaya keagungan sinar wajahnya akan membakar seluruh makhluk yang sampai pandangan Tuhan kepadanya." (Riwayat Muslim)
Selanjutnya Allah berkata kepada Musa, "Melihatlah ke bukit, jika bukit itu tetap kokoh dan kuat seperti sediakala setelah melihat-Ku, tentulah kamu dapat pula melihat-Ku, karena kamu dan gunung itu adalah sama-sama makhluk ciptaan-Ku. Tetapi jika bukit yang kokoh dan kuat itu tidak tahan dan hancur setelah melihat-Ku bagaimana pula kamu dapat melihat-Ku. Karena seluruh makhluk yang aku ciptakan tidak mampu dan tidak sanggup untuk melihat-Ku."
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Ketika Musa as memohon kepada Tuhannya, "Perlihatkanlah zat Engkau kepadaku" Allah menjawab: "Kamu sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku." Kemudian Allah menegaskan lagi, "Kamu tidak akan dapat melihat-Ku untuk selama-lamanya hai Musa." Tidak seorang pun yang sanggup melihat-Ku, lalu sesudah itu ia tetap hidup." Akhirnya Allah berkata, "Melihatlah ke bukit yang tinggi lagi besar itu, jika bukit itu tetap di tempatnya, tidak bergoncang dan hancur, tentulah ia melihat kebesaran-Ku, mudah-mudahan kamu dapat melihatnya pula, sedangkan kamu benar-benar lemah dan rendah. Sesungguhnya gunung itu berguncang dan hancur bagaimana pun juga kuat dan dahsyatnya, sedang kamu lebih lemah dan rendah."
Ada beberapa pendapat mufassir tentang yang dimaksud dengan ayat: "Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung-gunung itu" sebagian mufassir mengatakan bahwa yang nampak bagai gunung itu ialah zat Allah. Bagaimana pun juga pendapat para mufassir, namun nampaknya Allah itu bukanlah seperti nampaknya makhluk. Namun penampakan Tuhan tidak sama dengan penampakan manusia sesuai dengan sifat-sifat Allah yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
Setelah Musa as, sadar dari pingsannya, dan sadar pula bahwa ia telah meminta kepada Allah sesuatu yang dapat membahayakan dirinya, ia merasa telah berbuat dosa, karena itu ia memohon dan berdoa kepada Allah, Maha Suci Engkau, "Ya Tuhanku, aku berdosa karena meminta sesuatu kepada Engkau yang di luar batas kemampuanku menerimanya, karena itu aku bertaubat kepada Engkau dan tidak akan mengulangi kesalahan seperti yang telah lalu itu, dan aku termasuk orang-orang yang pertama beriman kepada-Mu."
Mujahid berkata, "Tubtu ilaika" (Aku bertaubat kepada Engkau), maksudnya ialah: Aku bertaubat kepada Engkau, karena aku telah memohon kepada Engkau agar dapat melihat zat Engkau, "wa ana awwalul muminin", (Aku orang yang pertama beriman kepada Engkau) maksudnya aku adalah orang Bani Israil yang pertama beriman kepada Engkau. Sedang dalam suatu riwayat yang lain dari Ibnu Abbas, ialah orang yang pertama-tama beriman dan tidak seorang pun yang dapat melihat Engkau (di dunia).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MUSA DENGAN BANI ISRAIL (II)
Kejadian yang pertama ini, mereka minta bikinkan sebuah tuhan yang akan dipuja, memberikan bukti bagi kita bahwa mereka ini masih perlu lagi diberi ajaran-ajaran dan peraturan dan syari'atyang mendalam.
Tingkat atau periode perjuangan yang pertama ketika masih di Mesir, belumlah waktunya buat mengajar mereka, sebab musuh yang dihadapi terlalu besar dan mereka belum mempunyai kesempatan buat diajar lebih dalam sebab kemelaratan hidup, kemiskinan, dan rasa ketakutan yang tidak pernah hilang siang dan malam, sebagai yang terbayang pada ayat 129 di atas tadi. Yaitu, menderita sebelum Musa datang dan tetap menderita setelah Musa datang. Di sinilah tampak perbedaan keadaan pengikut pertama dari Nabi Muhammad ﷺ yang disebut ‘assabiquimal awwalun' di waktu masih di Mekah 13 tahun sebelum hijrah ke Madinah, dengan Bani Israil di Mesir sebelum menyeberangi Laut Merah yang dibelah.
Sekarang Musa dipanggil buat menerima syari'at.
Ayat 142
“Dan, (ingatlah) telah Kami janjikan kepada Musa tiga puluh malam dan telah Kami cukupkan dia dengan sepuluh lagi sehingga sempurnalah dengan (tambahan) itu, waktu perjanjian dengan Tuhannya empat puluh malam."
Sebagaimana telah kita ketahui, waktu Nabi Musa telah meninggalkan Madyan hendak kembali ke Mesir, dia telah melihat api di lereng Bukti Thursina. Itulah permulaan dia dipanggil buat menerima wahyu yang khusus diperintah buat menghadapi Firaun dan buat membebaskan Bani Israil. Dan, risalah dari wahyu yang pertama itu telah dijalankannya dengan baik sehingga Bani Israil sudah dapat dibebaskan. Inilah yang dibayangkan pada ayat 137 bahwa “telah sempurnalah kalimat Tuhan engkau yang sebaik-baiknya atas Bani Israil."
Sekarang Musa mulai menghadapi tingkat perjuangan yang kedua. Musa menyatakan keinginan kepada Allah agar diberi lagi suatu janji dapat menghadap yang kedua kali, untuk memohonkan wahyu yang baru di dalam menghadapi kewajiban yang baru pula. Permohonannya dikabulkan Allah, dia diberi tempo perjanjian pertemuan tiga puluh hari lamanya. Setelah selesai yang tiga puluh hari, Musa mohon lagi tambahan lalu ditambah Allah sepuluh hari lagi, sehingga cukup 40 hari.
Diriwayat oleh Ibnul Mundzir dari Ibnu Abi Hatim dari lbnu Abbas, “Bahwa Musa berkata kepada kaumnya, ‘Aku telah diberi janji oleh Tuhanku tiga puluh malam buat menghadap-Nya. Sebab, itu, aku wakilkan urusanku kepada saudaraku Harun.' Setelah Musa dapat menghadap Tuhannya, ditambah Allah lagi sepuluh malam. Dalam tambahan yang sepuluh malam itulah datang fitnah Samiri." Demikian riwayat dari Ibnu Abbas.
“Dan, berkatalah Musa kepada saudaranya Harun, ‘Gantikanlah aku pada kaumku dan berbuat baiklah dan jangan engkau ikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.'"
Maka, setelah sampai hari perjanjian yang ditentukan itu, yang menurut riwayat dari Abui Aliyah, ialah di permulaan bulan Dzulqa'dah, bersiaplah Nabi Musa akan berangkat. Sementara dia pergi, diwakilkannyalah pimpinan kepada abangnya, Harun, pembantunya yang utama atau wazirnya, yang atas permohonannya sendiri pada pertemuan dengan Allah yang pertama dahulu, (lihat surah Thaahaa ayat 29-30) telah diangkat Allah menjadi Nabi dan Rasul pula dalam kedudukan wazir dari Musa.
Oleh sebab pimpinan yang sebenarnya tetap di tangan Musa, diberinyalah instruksi atau peraturan kepada Harun sebagai tersebut dalam ayat. Pertama supaya meneruskan pekerjaan-pekerjaan yang terbengkalai, dibuat yang lebih baik Yang kedua, supaya teguh memegang pim-pinan sehingga jangan sampai terpengaruh oleh suara-suara dari orang-orang bisa membuat keadaan jadi rusak. Ini menunjukkan bahwa Harun tidak boleh mengubah jalan pimpinan yangtelah beliau tinggalkan. Dan, mesti keras dan teguh memegang pimpinan. Petaruh yang kedua ini menunjukkan pula kecemasan Musa akan kelembikan Harun. Sebab, dia memang tidak mempunyai sikap keras dan tegas sebagai adiknya. Akan tetapi, dia adalah seorang wazir yang benar-benar setia. Dan, setelah meninggalkan
petaruh itu, Musa pun berangkat menuju Wadi Thuwan di Gunung Thursina itu. Dan, ini pun menunjukkan bahwa dalam kalangan kaumnya itu ada orang-orang keras kepala, yang mesti dipimpin dengan keras pula.
Ayat 143
“Dan, tatkala Musa telah datang di waktu yang telah Kami tentukan itu, dan telah bercakap Tuhannya kepadanya, berkatalah dia, ‘Ya Tuhanku! Tunjukkanlah diri-Mu. Aku ingin melihat Engkau!'"
Dia telah diberi kemuliaan yang demikian tinggi oleh Allah. Allah telah berkenan bercakap dengan dia dengan tidak perantaraan malaikat lagi, akan menurunkan titah perintah wahyu kepadanya, yaitu kitab Taurat yang akan jadi pimpinan bagi bangsanya. Namun, Musa yang seluruh jiwanya yang suci itu telah dipenuhi oleh al-Hubb al-!tahi, cinta kepada Allah yang tiada taranya, memohon diberi kemuliaan yang lebih tinggi lagi. Sesudah Allah berkenan mengajaknya bercakap di belakang hijab, Musa meminta melihat rupa-Nya supaya tabir dinding itu dihindarkan saja. “Tuhanku, perlihatkan kiranya kepadaku zat-Mu Yang Suci dengan menganugerahiku kekuatan menyambut ‘tajalli' Engkau itu sehingga kuatlah diriku dan mataku melihat Engkau! Supaya lebih sempurnalah makrifat hamba-Mu ini kepada Engkau."
“Dia berkata, ‘Sekali-kali engkau tidak akan dapat melihat Aku. Akan tetapi, lihatlah ke gu-nung itu. Jika dia telah tetap pada tempatnya maka engkau akan melihat Daku.'" Artinya, bahwa Allah Yang Mahakuasa, Yang Mahakasih dan Mahasayang dan membalas akan cinta hamba-Nya telah menyambut permohonan itu dengan penuh kasih bahwa sekali-kali tidaklah engkau akan dapat melihat Aku. Sebabnya tidaklah dapat Aku terangkan, cuma engkau lihat sajalah buktinya. Melihatlah ke atas puncak gunung itu, yaitu pertalian Gunung Thursina. Jika kelak engkau lihat gunung itu tetap pada tempatnya, di waktu itu engkau akan melihat Daku, “Maka, tatkala Tuhannya telah menunjukkan diri pada gunung itu maka menjadi hancurlah dia dan tersungkurlah Musa, pingsan."
Falamma tajalla, kita artikan saja “tatkala Tuhannya telah menunjukkan diri". Tajalla ma-dhinya, tajaili jadi pokok kata mashdar-nya. Mau kita rasanya mengambil saja kata tajalli itu, sebab artinya yang tepat pun tidaklah lengkap dengan kata “menunjukkan diri" saja. Kadang-kadang tajalli diartikan juga menjelaskan diri. Arti dan uraiannya yang lebih panjang ialah Allah menumpukan kuat kuasanya pada gunung itu dan bagaimana cara penumpuan atau penunjukan atau penjelasan itu tidak pula dapat kita terangkan panjang. Cuma dari bekas tajalli itu, gunung itu menjadi hancur, laksana gunung es meleleh karena terik cahaya matahari. Gunung es hancur meleleh memakan beberapa waktu, tetapi gunung batu itu hanya sekejap mata sehingga Musa pingsan menyaksikannya.
Dengan demikian, apalah artinya Musa sendiri dibandingkan dengan gunung itu kalau Allah Zat Yang Mahaagung itu menunjukkan diri atau tajalli kepadanya? Dengan begitulah Allah menolak dengan halus permintaan hamba-Nya yang dikasihi-Nya itu. Sedangkan melihat gunung hancur karena tajalli Allah, Musa pingsan, betapalah lagi kalau kepada dirinya sendiri Allah tajalli? Allahu Akbar!
“(Syahdan) setelah dia sadar, berkatalah dia, ‘Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah oiang yang pertama sekati beniman."
Musa yakin Allah Ada. Dia telah menjadi ilmul yaqin dan dia tidak ada keraguan lagi. Namun, dia masih meminta hendak melihat Allah. Apa yang mendorongnya meminta yang setinggi itu padahal telah didapatnya yang dekat dari itu, yaitu diajak bercakap? Yang mendorongnya ialah yang lebih tinggi dari keyakinan, yaitu cinta. Allah pun telah membalas cintanya. Sebab, cinta itulah maka Allah men-…-kan diri kepada gunung, sehingga gunung hancur.
Beberapa masa kemudian, setelah Nabi Musa kembali kepada kaumnya, ada di kalangan kaumnya itu yang menentang Musa, meminta hendak melihat Allah jahratan, terang-terang berhadapan. Apa yang kejadian? Allah perintahkan petir halilintar membelah bumi sehingga mereka bergelimpangan mati dan pingsan.
Oleh sebab itu, belumlah di sini, dalam keadaan ruhani jasmani kita yang begini, kita akan dapat melihat Allah. Musa tak dapat melihat Allah. Muhammad ﷺ pun tidak. Walaupun ketika beliau Mi'raj, beliau pun tidak diberi. Sebab, Allah cinta akan dia. Nanti saja di akhirat. Adapun di dunia ini, cukuplah dengan ilmul yaqin dan haqqul yaqin. Adapun ‘ainul yaqin biarlah di akhirat saja kelak.
Bagi Musa pun sudah cukup demikian. Hatinya pun telah puas karena ini adalah dunia. Hidup tidak sudah sehingga ini saja. Dengan begitu pun dia telah melihat nyata bekas tajalli-Nya meskipun bukan zat-Nya. Memang tujuan hidup kita yang terakhir ialah melihat wajah Allah di akhirat kelak Dan, dengan pengalaman yang demikian, sampai beliau pingsan, beliau pun sudah merasa puas juga sebab Allah benar-benar telah menyatakan cinta kepadanya. Dan, dia pun memohon ampun atas kesalahannya, meskipun itu bukan salah, yaitu meminta perkara yang belum boleh diminta sekarang. Maka, dia pun berdiri dari pingsannya. Sesudah bertobat, dia pun berkata, “Aku adalah orang yang pertama beriman!"
Itulah suatu kekuatan baru yang akan dibawanya pulang kelak kepada kaumnya. Maka, munajatnya itu disambut kembali oleh Allah dengan firman-Nya yang masih tetap dipenuhi cinta.
Kata “syahdan" tidak ada dalam ayat, itu hanya hiasan penerjemah, sama dengan arkian.
Ayat 144
“Dia berkata, “Wahai, Musa! Sesungguhnya Aku telah memilih engkau atas sekalian manusia."‘
Inilah ucapan utama sebagai sambutan pernyataan Musa bahwa dia telah bertekad sejak saat itu menjadi Mukmin pertama yang akan mendedahkan dadanya menghadapi segala ke-mungkinan hidup, bahwa dia memang telah dipilih Allah, dilebihkan dari sekalian manusia, terutama manusia di zamannya. Kalau ada yang akan menyamai dia atau melebihi dia hanyalah sesama rasul juga. “Dengan risalah-risalah-Ku dan kalam-Ku." Dipilih dan dilebihkan dari antara manusia untuk memikul risalah-risalah atau tugas suci dari kalam Allah, yaitu wahyu. “Sebab itu ambillah apa yang telah Aku berikan kepada engkau itu." Yaitu perintah-perintah dan peraturan, penyusunan masyarakat Bani Israil yang engkau pimpin itu. Sejak dari pokok ajaran tauhidnya, ibadahnya dan pemujaannya kepada Allah Yang Esa, dan pergaulan hidup sesama mereka, hubungan rumah tangga di antara suami istri, ayah dan anak, makanan dan minuman, yang dihalalkan dan diharamkan. Semuanya itu ambillah dan peganglah baik-baik dan pimpinkanlah kepada kaummu.
“Dan, jadilah engkau dari orang-orang yang bersyukur."
Bersyukur karena keinginanmu telah terkabul. Keinginan yang telah timbul sejak engkau selamat menyeberangkan kaummu dari Mesir dan sejak ada kaummu yang bodoh itu meminta dibikinkan tuhan buat mereka sembah.
Sekarang engkau sudah boleh meneruskan perjuangan dengan bimbingan risalah dan kalam-Ku ini.
Ayat 145
“Dan, Kami tuliskan untuknya di dalam alwah tiap-tiap sesuatu, sebagai pengajaran dan penjelasan bagi tiap-tiap sesuatu."
Artinya, bahwa Allah telah menyerahkan kepada Nabi Musa beberapa buah luh. Alwah adalah jamak dari luh. Artinya lembaran-lembaran yang keras. Batu tulis anak sekolah dinamai juga luh. Di dalam lembaran-lembaran alwah itu, tertulislah banyak pengajaran dan penjelasan yang akan mengisi hati dan jiwa, memperdalam iman dan keyakinan kepada Allah. Penjelasan dari pokok-pokok syari'at yang wajib dijalankan oleh Bani Israil.
Di sini Allah berfirman bahwa Dia sendiri yang menuliskan isi alwah artinya diisi dengan qudrat iradah-Nya sebagaimana juga men-ciptakan matahari, bulan, bintang-bintang, dan bumi, tidak campur tangan orang lain atasnya. Tentang bagaimana cara Allah menuliskan itu tidaklah perlu kita kaji supaya jangan timbul khayat yang tidak-tidak.
“Lantaran itu peganglah dia dengan teguh dan perintahkanlah kaum engkau mengambil yang sebaik-baiknya." Artinya, bahwasanya isi kitab Taurat yang penuh dengan pengajaran dan penjelasan itu, tidaklah akan ada artinya dan manfaatnya kalau sekiranya hanya semata dibaca, tidak dipegang teguh dan dijalankan. Isi kitab suci tetaplah suci dan tetaplah benar. Sebab, dia datang sebagai wahyu dari Allah. Akan tetapi, kalau dia hanya jadi bacaan saja, tidaklah akan ada pengaruhnya bagi menuntun jiwa umat yang didatangi kitab itu.
“Akan Aku tunjukkan kepada kamu tempat orang-orang yang berbuat fasik."