Ayat

Terjemahan Per Kata
وَإِن
dan jika
جَنَحُواْ
mereka condong
لِلسَّلۡمِ
untuk/kepada perdamaian
فَٱجۡنَحۡ
maka hendaklah kamu condong
لَهَا
kepadanya
وَتَوَكَّلۡ
dan bertawakkallah
عَلَى
atas/kepada
ٱللَّهِۚ
Allah
إِنَّهُۥ
sesunguhnya Dia
هُوَ
Dia
ٱلسَّمِيعُ
Maha Mendengar
ٱلۡعَلِيمُ
Maha Mengetahui
وَإِن
dan jika
جَنَحُواْ
mereka condong
لِلسَّلۡمِ
untuk/kepada perdamaian
فَٱجۡنَحۡ
maka hendaklah kamu condong
لَهَا
kepadanya
وَتَوَكَّلۡ
dan bertawakkallah
عَلَى
atas/kepada
ٱللَّهِۚ
Allah
إِنَّهُۥ
sesunguhnya Dia
هُوَ
Dia
ٱلسَّمِيعُ
Maha Mendengar
ٱلۡعَلِيمُ
Maha Mengetahui
Terjemahan

(Akan tetapi,) jika mereka condong pada perdamaian, condonglah engkau (Nabi Muhammad) padanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tafsir

(Dan jika mereka condong) cenderung (kepada perdamaian) boleh dibaca lissilmi dan boleh pula dibaca lissalmi, artinya perdamaian (maka condonglah kepadanya) adakanlah perjanjian dengan mereka untuk itu. Akan tetapi menurut Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat ini dimansukh hukumnya oleh ayat perintah untuk berperang. Mujahid mengatakan, bahwa hukum yang terkandung di dalam ayat ini khusus hanya menyangkut ahli kitab sebab ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi Bani Quraizhah (dan bertawakallah kepada Allah) percayalah kepada-Nya. (Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar) perkataan (lagi Maha Mengetahui) perbuatan.
Tafsir Surat Al-Anfal: 61-63
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condong jugalah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi Pelindungmu). Dialah yang menguatkanmu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin,
Dan Dia yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat 61
Allah ﷻ menyebutkan, "Bila kamu (Muhammad) merasa khawatir terjadi pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian mereka kepada diri mereka secara jujur. Dan jika mereka tetap berkesinambungan memerangi dan memusuhimu, maka perangilah mereka."
“Dan jika mereka condong.” (Al-Anfal: 61)
Yakni cenderung.
“Kepada perdamaian.” (Al-Anfal: 61)
Yaitu damai dan mengadakan gencatan senjata.
“Maka condong jugalah kepadanya.” (Al-Anfal: 61)
Maksudnya, cenderung jugalah kamu kepadanya dan terimalah usulan mereka itu.
Karena itu, ketika kaum musyrik pada tahun Perjanjian Hudaibiyyah mengajukan usulan perdamaian dan gencatan senjata antara mereka dan Rasulullah selama sembilan tahun, maka Rasulullah ﷺ menerima usulan mereka, sekalipun ada usulan persyaratan lain yang diajukan mereka.
Abdullah ibnul Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Maqdami, telah menceritakan kepadaku Fudail ibnu Sulaiman (yakni An-Numairi), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Yahya, dari Iyas ibnu Amr Al-Aslami, dari Ali ibnu Abu Thalib yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kelak akan terjadi perselisihan atau suatu perkara. Jika kamu mampu mengadakan perdamaian, maka lakukanlah.”
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Quraizah, tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan lagi, karena konteks ayat secara keseluruhan berkenaan dengan kejadian Perang Badar, dan penyebutannya mencakup semua permasalahannya.
Ibnu Abbas, Mujahid, Zaid ibnu Aslam, ‘Atha’ Al-Khurrasani, lkrimah, Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh (direvisi) oleh Ayat Pedang (ayat yang memerintahkan berjihad) di dalam surat At-Taubah, yaitu firman-Nya: “Peranglilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian.” (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat.
Pendapat inipun masih perlu dipertimbangkan lagi, mengingat ayat surat At-Taubah ini di dalamnya disebutkan perintah memerangi mereka, jika keadaannya memungkinkan.
Adapun jika musuh dalam keadaan kuat dan kokoh, maka diperbolehkan mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan mereka, seperti pengertian yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia ini. Juga seperti yang telah dilakukan oleh Nabi ﷺ dalam perjanjian Hudaibiyah. Sesungguhnya tidak ada pertentangan dan tidak ada pe-nasikh-an (revisi) serta tidak ada pen-takhsis-an (pengkhususan) dalam kedua ayat tersebut.
Firman Allah ﷻ: “Dan bertawakallah kepada Allah.” (Al-Anfal: 61) Yakni lakukanlah perjanjian perdamaian dengan mereka dan bertawakallah kepada Allah, karena sesungguhnya Dialah Yang mencukupi kalian dan Yang akan menolong kalian, sekalipun mereka bermaksud melakukan tipu muslihat dalam perjanjian perdamaiannya, yaitu untuk menghimpun kekuatan dan persiapan untuk memerangi kalian di masa mendatang.
Ayat 62
“Maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung kalian).” (Al-Anfal: 62)
Artinya, Dialah semata yang mencukupi dan yang menjamin kalian.
Ayat 63
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan nikmat yang telah Dia limpahkan kepada orang-orang mukmin dari kalangan Muhajirin dan Anshar melalui bantuan yang Dia berikan kepada mereka. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman:
“Dialah yang menguatkan kalian dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 62-63)
Yakni mempersatukannya untuk beriman kepadamu, taat menolong dan membantumu.
“Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 63)
Karena sebelum itu telah ada permusuhan dan kebencian di antara mereka. Orang-orang Anshar di masa Jahiliah sering berperang di antara sesama mereka, yaitu antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj.
Terjadi pula berbagai peristiwa yang mengakibatkan kejahatan yang panjang, sehingga akhirnya Allah memadamkan pertikaian itu dengan cahaya keimanan, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (di masa Jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan hati kalian, lalu menjadikan kalian orang-orang yang bersaudara karena nikmat Allah, dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)
Di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa ketika Rasulullah ﷺ berkhotbah kepada orang-orang Anshar mengenai masalah ganimah Hunain. Beliau bersabda kepada mereka: “Wahai orang-orang Anshar, bukankah aku menjumpai kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian melalui diriku; dan kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah memberikan kecukupan kepada kalian melalui diriku; dan kalian dalam keadaan berpecah-belah, lalu Allah menjinakkan hati kalian melalui diriku.” Setiap kali Rasulullah ﷺ mengucapkan sesuatu, mereka menjawab, "Kami hanya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya."
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat ini: “Tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Anfal: 63) Yakni Maha Perkasa Zat-Nya, maka Dia tidak akan mengecewakan orang-orang yang bertawakal kepada-Nya dan Maha Bijaksana dalam semua perbuatan dan hukum-hukum Nya.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bisyr As-Sairafi Al-Qazwaini di rumah kami, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Muhammad ibnul Husain Al-Qadli Al-Istirabadzi, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Ibrahim ibnu Muhammad ibnun Nu'man As-Saffar, telah menceritakan kepada kami Maimun ibnul Hakam, telah menceritakan kepada kami Bakar ibnusy Syarud, dari Muhammad ibnu Muslim At-Taifi, dari Ibrahim ibnu Maisarah, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kerabat hubungan rahim dapat terputuskan dan pemberian nikmat dapat diingkari, tetapi belum pernah terlihat suatu perumpamaan yang mengungkapkan penjinakan hati di antara sesama orang-orang yang bertikai, karena Allah ﷻ telah berfirman: “Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 63), hingga akhir ayat.
Yang demikian itu terdapat di dalam syair, yaitu: “Apabila seorang kerabat memutuskan hubungannya denganmu karena kesalahan, dan ia menipumu serta tidak memerlukanmu, maka dia bukanlah lagi kerabatmu. Tetapi orang yang berkerabat ialah orang yang jika kamu undang, ia memenuhi undanganmu, dan ikut membantumu dalam melawan musuhmu.”
Termasuk pula ke dalam bab ini perkataan seorang penyair lainnya yang mengatakan: “Sesungguhnya aku telah bersahabat dengan banyak orang, kemudian aku dalami mereka dan aku telah menguji kesetiaan mereka, maka ternyata yang dinamakan kerabat ialah orang yang tidak mau mendekati orang yang memutuskan hubungannya denganku dan ternyata kecintaan merupakan penyebab yang utama dalam membina kekerabatan.”
Imam Baihaqi mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah teks ini berhubungan dengan perkataan Ibnu Abbas ataukah hanya sekadar ucapan perawi yang meriwayatkannya.
Abu Ishaq Al-Subaii telah meriwayatkan dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud bahwa Abul Ahwas pernah mendengar Ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: “Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 63), hingga akhir ayat. Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah.
Menurut riwayat lain ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang saling mencintai karena Allah. Demikianlah menurut riwayat Imam An-Nasai dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya silaturahmi itu dapat terputuskan, dan nikmat itu dapat diingkari; dan sesungguhnya Allah itu apabila mendekatkan (melunakkan) di antara hati orang-orang yang tadinya bermusuhan, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menggoyahkannya." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan mereka.” (Al-Anfal: 63) Atsar ini juga diriwayatkan oleh Imam Hakim.
Abu Amr Al-Auza'i mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdah ibnu Abu Lubabah, dari Mujahid yang ia jumpai, lalu Mujahid memegang tangannya dan berkata, "Apabila dua orang yang saling mencintai karena Allah berjumpa, lalu salah seorang di antaranya memegang tangan sahabatnya dan tersenyum kepadanya, maka berguguranlah semua dosanya sebagaimana daun-daun kering berguguran." Abdah berkata, "Sesungguhnya hal itu mudah." Ibnu Abbas menjawab, "Jangan kamu katakan demikian, karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: 'Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 63). Abdah mengatakan bahwa setelah itu dia mengakui Ibnu Abbas lebih mendalam ilmunya daripada dirinya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Yaman, dari Ibrahim Al-Jazari, dari Al-Walid ibnu Abu Mugis, dari Mujahid yang mengatakan bahwa apabila dua orang muslim bertemu, lalu keduanya berjabatan tangan, maka keduanya mendapat ampunan. Al-Walid bertanya kepada Mujahid, "Apakah hanya dengan tangan keduanya diampuni?" Mujahid menjawab, "Tidakkah engkau mendengar firman Allah ﷻ yang mengatakan: 'Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka’.” (Al Anfal 63) Maka Al-Walid berkata kepada Mujahid, "Engkau lebih mengetahui daripada aku."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Talhah ibnu Musarrif, dari Mujahid.
Ibnu Aun telah meriwayatkan dari Umair ibnu Ishaq yang menyatakan bahwa kami dahulu sering membicarakan bahwa hal yang mula-mula diangkat (dilenyapkan) dari manusia ialah kerukunan.
Al-Hafidzh Abul Qasim Sulaiman ibnu Ahmad Al-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Salim ibnu Gailan, bahwa ia pernah mendengar Ja'd (yaitu Abu Usman) mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abu Usman An-Nahdi, dari Salman Al-Farisi, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim itu apabila berjumpa dengan saudara semuslimnya, lalu ia menjabat tangannya, maka berguguranlah dosa keduanya, sebagaimana daun-daun kering berguguran dari pohonnya di hari yang berangin kencang. Dan selain itu diampunilah bagi keduanya dosa-dosanya, sekalipun banyaknya seperti buih lautan.”
Perang diizinkan dalam Islam adalah demi melindungi dakwah, mempertahankan diri dan atau melawan kezaliman, meski berperang bukanlah satu-satunya cara yang dikehendaki, bahkan terciptanya perdamaian adalah lebih didambakan oleh Islam. Dan karena itu, wahai kaum muslim, jika mereka atau sebagian dari orang-orang kafir itu condong kepada perdamaian, maka terimalah, sebab bukan perang itu sendiri yang dikehendaki Islam, dan untuk menguatkan mental kalian dari kemungkinan munculnya pengkhianatan di balik perdamaian tersebut, maka bertawakallah kepada Allah, serahkan seluruh urusan kepada-Nya setelah berusaha sekuat tenaga. Sungguh, Dia Maha Mendengar segala bentuk percakapan mereka, Maha Mengetahui apa saja yang mereka rencanakan atas kalian, dan Allah pasti akan membela kalian. Dan jika mereka, orang-orang kafir, hendak menipumu dengan bersikap baik dan seolah-olah cenderung kepada perdamaian, maka sesungguhnya cukuplah Allah menjadi pelindung bagimu. Dialah satu-satu-Nya yang memberikan kekuatan kepadamu dengan pertolongan-Nya, baik melalui cara yang wajar maupun yang tidak disadari dan dengan dukungan orang-orang mukmin, yaitu dari kaum Muhajirin dan Ansar.
Bila musuh-musuh Islam itu, baik orang Yahudi maupun orang-orang musyrikin condong kepada perdamaian, mungkin karena mereka benar-benar ingin damai atau karena melihat kekuatan dan kekompakan kaum Muslimin atau karena belum mengkonsolidasikan diri untuk berperang atau karena sebab-sebab lain, maka hendaklah dijajaki kemungkinan damai. Sesudah ternyata bahwa berdamai tidak akan merugikan siasat perjuangan Islam, hendaklah diterima perdamaian itu, tentu saja dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dapat menjamin kepentingan bersama dan tidak merugikan masing-masing pihak, karena dasar perjuangan Islam adalah perdamaian. Hal ini telah dipraktikkan Rasulullah pada waktu beliau menerima perdamaian Hudaibiyah antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin pada tahun keenam Hijri. Meskipun syarat-syarat perdamaian Hudaibiyah itu jika dilihat sepintas merugikan kaum Muslimin, sehingga banyak para sahabat yang merasa keberatan, tetapi Rasulullah, yang mempunyai pandangan jauh dan taktik serta siasat yang bijaksana, dapat menerimanya. Ternyata kemudian sebagaimana diutarakan para ahli sejarah bahwa Perdamaian Hudaibiyah itu adalah merupakan landasan bagi kemenangan kaum Muslimin selanjutnya.
Setelah perjanjian damai diterima, hendaklah Nabi bersama kaum Muslimin bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui hakikat yang sebenarnya dari perdamaian, apakah orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin benar-benar jujur dan menginginkan terlaksananya perdamaian, atau hanya karena taktik dan siasat, atau karena hendak menipu atau menunggu lengahnya kaum Muslimin saja.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 61
“Dan jika mereka cenderung kepada perdamaian, maka hendaklah engkau cenderung pula kepadanya."
Pangkal ayat ini menjadi bukti bahwa perang bukanlah tujuan. Kalau musuh cenderung kepada perdamaian, artinya ada kelihatan tanda-tanda atau bukti-bukti bahwa musuh itu lebih suka mencari jalan damai, hendaklah di dalam kesiapsiagaan dan kewaspadaan yang tinggi itu engkau pun cenderung pula di dalam hati engkau, wahai Utusan-Ku, untuk menempuh jalan damai itu. Jalan-jalan menuju damai itu hendaklah dilapangkan, yaitu damai yang tidak akan merugikan atau menjatuhkan muru'ah Islam.
“Dan bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui."
Ujung ayat memberi kita peringatan bahwasanya suasana menghadapi perdamaian jauh berbeda dengan suasana perang. Kalau peperangan diteruskan, niscaya musuh akan dihancurkan, negerinya ditaklukkan, harta bendanya dirampas, mereka pun ditawan dan dijadikan budak. Namun, kalau sudah menuju damai, nafsu perang tentu tertahan. Musuh tidak akan diperangi lagi. Akan dibuat dalam perdamaian itu syarat-syarat yang terkadang tidak lagi sebagai yang diniatkan semula. Misalnya, jika satu negeri kafir hendak ditaklukkan, tiba-tiba datang utusan mereka membawa bendera putih dan menyatakan takluk dengan tidak perang, negeri itu tidak boleh dimasuki dan diperangi lagi. Mereka hanya akan membayar jizyah, semacam pajak jaminan nyawa. Dalam suasana yang menghadapi kemungkinan damai itu, Rasulullah ﷺ disuruh bertawakal kepada Allah. Serahkan kepada Allah bagaimana baiknya, jangan diperturutkan kehendak tentara yang ingin harta rampasan. Sebab mengelakkan penumpahan darah jauh lebih utama dari yang lain dan itulah kehendak yang pokok dari Allah. Dan, Allah mendengar apa bunyi perdamaian dan Allah Mengetahui kejujuran hati Muslimin menegakkan perdamaian itu. Dan, dalam rangka perintah bertawakal itu dilarang pula Rasul meragu-ragu hatinya, apakah pihak musuh ini akan mengkhianati janjinya lagi sehingga kalau ada kesempatan mereka, mereka akan berontak lagi. Tawakal kepada Allah, sebab ayat yang dahulu sudah jadi pegangan, yaitu kesiapsia-gaan yang tinggi. Kalau mereka khianat tentu dipukul dan dihancurkan. Dan, kalau mereka setia memegang janji dari sebab damai, hendaklah mereka diberi perlindungan yang sungguh-sungguh. Ini lebih dijelaskan pada ayat selanjutnya,
Ayat 62
“Dan jika mereka hendak memperdayakan engkau, maka sesungguhnya cukuplah bagi engkau Allah."
Artinya, Allah-lah yang akan menjadi jaminan bagi engkau, Dialah yang akan memberikan pertolongan kepada engkau pada saat pengkhianatan mereka itu:
“Dialah yang akan meneguhkan engkau dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang yang beriman."
Pertolongan Allah pasti datang kepada engkau, dan lagi di kiri-kananmu telah ada orang-orang beriman, baik Muhajirin maupun Anshar, yang telah membela engkau dengan segenap harta dan jiwa mereka.
Kata sebagian ahli tafsir, yang dimaksud dengan orang beriman sebagai pembela Rasul di dalam ayat ini, ialah kaum Anshar. Penafsiran ini ialah setelah disambungkan dengan ayat selanjutnya,
Ayat 63
“Dan Dia telah mempersatukan diantara hati kamu."
Sebab, sebelum kaum Anshar menjadi Anshar, semasa mereka masih berbangga-bangga dengan kabilah mereka pada zaman jahiliyyah maka mereka hanya mementingkan Khazraj dan Ausnya saja. Pada zaman jahiliyyah di antara Khazraj dengan Aus itu, walaupun mereka dari satu keturunan, sangatlah dalam perselisihan di antara mereka, yang satu membenci yang lain. Kedatangan Islamlah yang telah mempersatukan mereka menjadi bulat, mendapat nama yang mulia sebagai sendi pembangunan agama Islam, yaitu Anshar. Dan, Islam pun telah mempersatukan pula di antara Anshar keturunan Arab Qahthan dengan Muhajirin kabilah Quraisy keturunan Adnan. Maka persatuan di antara Khazraj dengan Aus di dalam Anshar, dan persatuan Anshar dengan Muhajirin, inilah jaminan yang nyata bagi engkau wahai Utusan-Ku, selain dari jaminan-Ku, Tuhanmu sendiri. Kesatuan yang bulat dari hati mereka itulah jaminan yang cukup dari Allah di dalam menghadapi musuhmu yang mencoba-coba hendak khianat.
“Kalau engkau belanjakan apa yang ada pada bumi semua, tidaklah engkau dapat mempersatukan diantara hati mereka. Akan tetapi, Allah-lah yang telah mempersatukan diantara mereka." Bukanlah perkara gampang mempersatukan paham di antara manusia. Walaupun Rasulullah ﷺ, misalnya, bertabur emas, memberi uang dan serba-serbi harta benda untuk mempersatukan hati yang berpecah-belah dan berlain-lain kepentingan itu, tidaklah usaha itu akan berhasil. Sebab harta benda dunia ini, walaupun memenuhi isi bumi, hanyalah benda belaka. Manusia tidaklah akan puas-puasnya dengan benda. Atau dengan kemegahan duniawi. Khazraj hendak terkepala, Aus tidak mau ketinggalan. Mereka akan berebut dan bahkan telah berebut mengejar keuntungan duniawi, maka sebab itulah mereka pecah-belah sebelum Islam datang, sehingga negeri mereka dapat dikuasai oleh orang Yahudi, terutama dalam lapangan ekonomi. Tetapi Allah sekarang telah mempersatukan mereka sebab Allah dengan perantaraan Islam, telah membawa mereka bersatu dalam lapangan lain yang lebih mulia dan lebih tinggi, yaitu persatuan itikad dan kepercayaan, persatuan iman dan Islam. Inilah suatu persatuan buatan Allah sendiri yang menyebabkan bangsa Arab yang selama ini tidak ada arti di dalam sejarah, telah menjadi inti dari pembangunan dunia baru. Sejak mereka itu baik Anshar maupun Muhajirin mempunyai satu aqidah, yaitu tauhid yang dilambangkan di dalam kalimat syahadat: “Laa Ilaaha lilalah, Muhammadur Rasulullah, tidak ada lagi musuh yang berani menghadapi mereka. Dan, ayat ini menunjukkan bahwasanya persatuan yang dibangun atas kekuasaan harta benda, uang, emas, dan pangkat, tidaklah bisa kekal. Persatuan yang kekal hanyalah persatuan dalam keyakinan: “Allahu Akbar". Allah lebih Mahabesar dari segala-galanya."Sesungguhnya Dia adalah Ma-hagagah." Artinya, bahwa segala kehendak-Nya mesti berlaku pada lahir dan pada batin. Sehingga perihal yang dipandang sukar selama ini, kabilah-kabilah Arab akan bersatu, sekarang dengan kegagahperkasaan Allah, persatuan itu bisa juga tercapai.
“Lagi Bijaksana"
Berlakulah kebijaksanaan Allah, yang akan mengambil tenaga orang yang berpecah itu jadi satu untuk meninggikan kalimat Allah dan menjunjung tinggi agamanya.
Menulis az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya, al-Kasysyaaf
“Bersatu padunya hati orang-orang yang didatangi oleh Rasulullah ﷺ itu adalah salah satu dari tanda kebesaran Allah Yang Mengagumkan. Karena orang Arab, yang ter-kenal sangat keras mempertahankan suku dan kaum, meskipun dalam perkara-perkara yang remeh, tidaklah mau bertolak angsur, tersinggung sedikit mereka segera berdendam, dan belum habis dendamnya sebelum malunya tertebus. Orang Arab tidak bisa bersatu, walaupun hanya di antara dua orang. Kemudian tiba-tiba mereka menjadi bersatu rapat di dalam mengikuti Rasulullah ﷺ mereka timbul laksana sebusur anak panah yang dapat dipanahkan sekaligus. Sebabnya ialah karena wahyu Ilahi yang telah menyusun mereka, menyatukan kata di antara mereka, sehingga timbul ikatan cinta yang mesra di antara mereka, habis sirna segala rasa benci, karena mereka disatukan oleh satu cinta, yaitu cinta akan Allah, dan kalau mereka benci, mereka benci karena Allah. Tidaklah akan sanggup berbuat demikian, kalau bukan Yang Maha Menguasai sekalian hati. Dialah yang memutar dan membelokkan hati itu menurut kemauan-Nya, dan membuatnya menurut kehendak-Nya.
Kata setengah orang, yang berpecah-belah itu ialah Aus dan Khazraj. Bertahun-tahun lamanya mereka berkelahi, berperang yang tidak habis-habis sehingga banyak pemimpin dan pemuka mereka binasa lantaran itu, dan pecah hancur tulang tengkorak mereka, dan kebencian tidak putus-putus. Mereka selalu hidup berdampingan, tetapi yang timbul dalam perdampingan itu hanya dendam, kedengkian, dan berganding-ganding mencari tuah. Sudah menjadi adat yang buruk di antara mereka, kalau satu pihak mendapat keuntungan, yang sepihak tidak turut gembira, dan kalau satu pihak ditimpa susah, yang sepihak lagi bersikap masa bodoh, benci-membenci dan jauh-menjauhkan-diri. Tetapi berkat ajaran Islam, habis itu semuanya dan lupa itu semuanya, malahan mereka bersatu-padu untuk taat, bersih hubungan satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi Anshar, tolong-bertolong, berkasih sayang. Semua ini tidak akan terjadi kalau bukan karena lemah lembutnya hidayat Allah dan kukuh kuatnya Kuasa Allah."
Maka menjadi kekallah suatu persatuan yang datang dari karena iman. Dan akan go-yahlah segala persatuan yang hanya dibina karena kepentingan benda atau perebutan pengaruh, pangkat, dan kebesaran duniawi.