Ayat
Terjemahan Per Kata
مَّا
tidak
يَوَدُّ
menginginkan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
مِنۡ
dari
أَهۡلِ
Ahli
ٱلۡكِتَٰبِ
Kitab
وَلَا
dan tidak
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
أَن
bahwa
يُنَزَّلَ
mereka menurunkan
عَلَيۡكُم
atas kalian
مِّنۡ
dari
خَيۡرٖ
kebaikan
مِّن
dari
رَّبِّكُمۡۚ
Tuhan kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَخۡتَصُّ
Dia menentukan
بِرَحۡمَتِهِۦ
dengan rahmatNya
مَن
orang/siapa
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَٱللَّهُ
dan Allah
ذُو
mempunyai
ٱلۡفَضۡلِ
karunia
ٱلۡعَظِيمِ
besar
مَّا
tidak
يَوَدُّ
menginginkan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
مِنۡ
dari
أَهۡلِ
Ahli
ٱلۡكِتَٰبِ
Kitab
وَلَا
dan tidak
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
أَن
bahwa
يُنَزَّلَ
mereka menurunkan
عَلَيۡكُم
atas kalian
مِّنۡ
dari
خَيۡرٖ
kebaikan
مِّن
dari
رَّبِّكُمۡۚ
Tuhan kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَخۡتَصُّ
Dia menentukan
بِرَحۡمَتِهِۦ
dengan rahmatNya
مَن
orang/siapa
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَٱللَّهُ
dan Allah
ذُو
mempunyai
ٱلۡفَضۡلِ
karunia
ٱلۡعَظِيمِ
besar
Terjemahan
Orang-orang kafir dari golongan Ahlulkitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan dari Tuhanmu. Akan tetapi, secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Allah pemilik karunia yang besar.
Tafsir
(Orang-orang kafir dan golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan) orang-orang musyrik di sini ialah dari kalangan Arab, dihubungkan kepada Ahli Kitab, sedangkan 'min' atau 'dari' untuk penjelasan (diturunkannya kebaikan kepadamu) 'min' di sini hanya sebagai tambahan; sedangkan 'kebaikan' maksudnya ialah wahyu, (dari Tuhan) disebabkan iri hati atau dengki kepadamu. (Sedangkan Allah menentukan rahmat-Nya) atau kenabian-Nya (kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang maha besar).
Tafsir Surat Al-Baqarah: 104-105
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina" tetapi katakanlah, "Unzurna" dan, "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkan sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Ayat 104
Melalui ayat ini Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupakan diri dengan orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan.
Demikian itu karena orang-orang Yahudi selalu menggunakan ucapan-ucapan yang di dalamnya terkandung makna sindiran untuk menyembunyikan maksud sebenarnya, yaitu menghina Nabi ﷺ; semoga Allah melaknat mereka. Untuk itu apabila mereka hendak mengatakan, "Sudilah kiranya Anda mendengar (memperhatikan) kami," maka mereka mengatakannya menjadi ra'ina; mereka menyindirnya dengan kata-kata yang berarti kebodohan (ketololan), diambil dari akar kata ar-ra'inah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau patuh.'' Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah," semoga kamu tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), "Raina," dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, "Kami mendengar dan patuh serta dengarlah dan perhatikanlah kami," tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 46)
Demikian pula disebutkan oleh hadits-hadits yang menceritakan bahwa mereka itu (orang-orang Yahudi) apabila mengucapkan salam, sesungguhnya yang mereka ucapkan hanya berarti As-samu 'alaikum, sedangkan makna as-samu ialah kebinasaan atau kematian.
Karena itulah bila menjawab salam mereka kita diperintahkan menggunakan kata-kata wa 'alaikum. Karena sesungguhnya yang diperkenankan oleh Allah hanyalah buat kita untuk kebinasaan mereka, sedangkan dari mereka yang ditujukan kepada kita tidak diperkenankan. Tujuan ayat ini ialah Allah melarang kaum mukmin menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatannya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Raina" tetapi katakanlah, "Unzurna," dan "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir azab yang pedih. (Al-Baqarah: 104)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sabit, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Atiyyah, dari Abu Munib Al-Jarasyi, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Aku diutus sebelum hari kiamat dengan membawa pedang hingga hanya Allah semata yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya; dan rezekiku dijadikan di bawah naungan tombakku, serta kenistaan dan kehinaan dijadikan bagi orang yang menentang perintahku. Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.”
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Usman ibnu Abu Syaibah, dari Abun Nadr Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ibnul Qasim dengan lafal yang sama, yaitu:
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
Di dalam hadits ini terkandung larangan, peringatan, dan ancaman yang keras meniru-niru orang kafir dalam ucapan, perbuatan, pakaian, hari-hari raya, ibadah mereka, serta perkara-perkara lainnya yang tidak disyariatkan kepada kita dan yang kita tidak mengakuinya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, dari Ibnu Ma'an dan Aun atau salah seorang dari keduanya, bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ibnu Mas'ud, lalu lelaki itu berkata, "Berilah aku pelajaran." Ibnu Mas'ud menjawab, "Apabila kamu mendengar Allah ﷻ berfirman, 'Wahai orang-orang yang beriman,' maka bukalah lebar-lebar telingamu (perhatikanlah) karena sesungguhnya hal itu merupakan kebaikan yang diperintahkan, atau kejahatan yang dilarang."
Al-A'masy meriwayatkan dari Khaisamah yang pernah berkata, "Apa yang kalian baca di dalam Al-Qur'an yang bunyinya mengatakan, 'Wahai orang-orang yang beriman,' maka sesungguhnya hal itu di dalam kitab Taurat disebutkan, 'Wahai orang-orang miskin'."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna kalimat ra'ina. Ia mengatakan, artinya ialah 'perhatikanlah kami dengan pendengaranmu'.
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina." (Al-Baqarah: 104) Pada mulanya mereka mengatakan kepada Nabi ﷺ, "Bukalah pendengaranmu lebar-lebar untuk kami. Sesungguhnya ucapan ‘ra'ina’ ini sama dengan ucapanmu ‘Alinna’."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang serupa telah diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Abu Malik serta Ar-Rabi' ibnu Anas, Atiyyah Al-Aufl dan Qatadah.
Mujahid mengatakan, makna la taqulu ra'ina ialah janganlah kalian mengatakan hal yang bertentangan.
Menurut riwayat lain disebutkan, "Janganlah kamu katakan, 'Perhatikanlah kami, maka kami akan memperhatikanmu'."
‘Atha’ mengatakan bahwa ra'ina adalah suatu dialek di kalangan orang-orang Anshar, maka Allah melarang hal tersebut. Al-Hasan mengatakan bahwa ucapan ra'ina artinya kata-kata ejekan, mengingat ar-ra'inu minal qauli artinya kata-kata yang digunakan untuk tujuan tersebut. Allah ﷻ melarang mengolok-olok ucapan Nabi ﷺ dan seruan beliau yang mengajak mereka masuk Islam. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu Juraij, bahwa dia mengatakan hal yang serupa.
Abu Sakhr mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina," tetapi katakanlah, "Unzurna." (Al-Baqarah: 104) Pada mulanya apabila ada seseorang dari kalangan kaum mukmin mempunyai suatu hajat (keperluan) kepada Nabi ﷺ, sedangkan Nabi ﷺ telah beranjak pergi dari mereka, maka mereka memanggilnya dengan ucapan, "Sudilah kiranya engkau memperhatikan kami." Hal ini terasa kurang enak oleh Rasulullah ﷺ bila ditujukan kepada diri beliau.
As-Suddi mengatakan, seorang lelaki dari kalangan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa' yang dikenal dengan nama Rifa'ah ibnu Zaid sering datang kepada Nabi ﷺ. Apabila Rifa'ah berjumpa dengannya, lalu mereka berbincang-bincang. Rifa'ah mengatakan, "Dengarkanlah aku, semoga engkau tidak mendengar apa-apa" (dengan memakai dialeknya), sedangkan kaum muslim menduga bahwa para nabi terdahulu dihormati dengan ucapan tersebut. Maka salah seorang kaum muslim ikut-ikutan mengatakan, "Dengarkanlah, semoga engkau tidak mendengar, semoga engkau tidak berkecil hati." Kalimat inilah yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Maka Allah ﷻ memerintahkan kepada kaum mukmin, janganlah mereka mengucapkan kata-kata ra'ina kepada Nabi ﷺ.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam meriwayatkan pula hal yang serupa. Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar menurut kami sehubungan dengan masalah ini ialah Allah melarang kaum mukmin mengatakan kepada Nabi-Nya ucapan raina. Karena kalimat ini tidak disukai oleh Allah ﷻ bila mereka tujukan kepada Nabi-Nya. Pengertian ayat ini sama dengan makna yang terkandung di dalam sabda Nabi ﷺ, yaitu: "Janganlah kalian sebutkan buah anggur dengan nama ‘Al-Karam’, melainkan sebutlah ‘Al-Habalah’; dan janganlah kalian sebutkan, ‘Hambaku’ melainkan sebutlah, ‘Pelayanku’." Dan lain-lainnya yang serupa.
Ayat 105
Firman Allah ﷻ: “Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (Al-Baqarah: 105)
Melalui riwayat ini Allah menjelaskan (kepada Nabi-Nya) permusuhan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik yang sangat keras (terhadap diri Nabi ﷺ). Mereka adalah orang-orang yang kaum mukmin diperingatkan oleh Allah ﷻ agar jangan menyerupai mereka, sehingga terputuslah hubungan intim di antara kaum mukmin dan mereka. Kemudian Allah ﷻ mengingatkan kaum mukmin akan nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka berupa syariat yang sempurna yang telah Dia turunkan kepada nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini diungkapkan oleh Allah melalui firman-Nya: "Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar." (Al-Baqarah: 105)
Orang-orang yang kafir dari Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan, salah satunya Al-Qur'an sebagai kebaikan yang paling tinggi dari Tuhanmu, karena kedengkian dan rasa iri dalam diri mereka. Tetapi secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya, berupa kenabian, wahyu, kenikmatan, dan kebaji kan kepada orang yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, misalnya kepada Nabi Mu hammad. Dan Allah pemilik karunia, nikmat, dan kebajikan yang besar.
Kaum musyrik berkata, Tidakkah kalian perhatikan Muhammad' Ia menyuruh para sahabatnya melakukan sesuatu, kemudian ia menyuruh mereka melaku kan sebaliknya. Hari ini ia mengatakan satu hal, besok ia mengatakan hal yang berbeda. Al-Qur'an itu pastilah karangan Muhammad. Ia mengatakan sesua tu yang bersumber dari dirinya sendiri, yang satu sama lain saling bertentangan. Menjawab celaan mereka ini, Allah mengatakan bahwa ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan-mu, wahai Muhammad dan orang beriman, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik, lebih bermanfaat bagimu dengan mengangkat kesulitan darimu atau dengan menambahkan pahala bagimu, atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu, wahai Muhammad, bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dengan mendatang kan segala kebaikan dan kebajikan bagi manusia'
Para Ahli Kitab yang terdiri atas orang-orang Yahudi, Nasrani begitu pula orang-orang musyrik, tidak mau percaya kepada Nabi Muhammad karena mereka iri hati dikarenakan dia diberi wahyu oleh Allah yang lebih baik. Mereka sedikit pun tidak mau mengakui bahwa Al-Qur'an kitab yang paling banyak mengandung kebaikan dan penuh hidayah. Dengan Al-Qur'an itulah Allah menghimpun dan menyatukan umat serta melenyapkan penyakit syirik yang bersarang di hati mereka, juga memberikan beberapa prinsip peraturan hidup dan penghidupan mereka.
Demikian halnya orang-orang musyrik, setelah mereka melihat kenyataan bahwa makin lama Al-Qur'an makin tampak kebenarannya, dan menjadi pendorong yang kuat bagi perjuangan Muslimin, mereka pun berusaha sekuat tenaga untuk menguasai keadaan dan menghancurkan perjuangan umat Islam hingga lenyap sama sekali.
Meskipun demikian, mereka tidak akan dapat merealisasikan angan-angan mereka karena Allah telah menentukan kehendak-Nya, memilih orang yang dikehendaki semata-mata karena rahmat-Nya. Dia pulalah yang melimpahkan keutamaan bagi orang yang dipilih untuk diberi kenabian. Dia pula yang melimpahkan kebaikan dan keutamaan, sehingga seluruh hamba-Nya bersenang-senang dalam kebahagiaan. Maka tidak seharusnyalah apabila ada seorang hamba Allah yang merasa dengki kepada seseorang yang telah diberi kebaikan dan keutamaan, karena saluran kebaikan dan keutamaan itu datangnya dari Allah semata.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah 105-107
Ayat 105
“Tidaklah suka orang-orang kafir (Ahlul Kitab itu), dan tidak pula orang musyrikin bahwa akan diturunkan kepada kamu barang suatu kebaikan daripada Tuhan kamu."
Mereka tidak senang jika pengajaran agama yang kamu terima dari nabimu itu bertambah kembang dan kamu bertambah maju. Sedang Al-Qur'an yang kamu terima itu, pimpinan dari nabimu sendiri sudah terang akan membawa berbagai kebaikan dan kebahagiaan bagi hidupmu. Kamu kian lama akan bertambah kuat. Kabilah-kabilah yang dahulu berpecah-belah, berperang-perangan, sebagaimana Aus dan Khazraj sendiri yang satu keturunan darahnya, dahulu berpecah dan berperang, sekarang bersatu di bawah pimpinan Rasulullah. Maka Ahlul Kitab, Yahudi dan Nasrani, demikian juga orang musyrikin penyembah berhala, tidaklah merasa senang melihat apabila kebaikan itu turun kepada kamu. Apa sebab mereka tidak suka? Tidak lain hanyalah satu, yaitu dengki.
Hal ini wajib kamu ketahui supaya kamu pelihara baik-baik imanmu dan persatuan sesamamu, sehingga kedengkian mereka itu jangan kelak memengaruhi kamu dan jangan kamu mereka fitnahkan dengan berbagai daya upaya (yang di zaman sekarang kita namai provokasi). Di antaranya ialah yang telah disebutkan di ayat sebelumnya tadi, yaitu memilih kata-kata yang tidak dapat disalahartikan. Kalau telah demikian, ketetapan hasad dan dengki mereka tidaklah akan mempan kepadamu.
Bagaimana usaha mereka akan mempan? “Padahal Allah mengkhususkan rahmat-Nya
kepada barangsiapa yang Dia kehendaki!' Kalau rahmat itu telah dikhususkan Tuhan, walaupun berkumpul sekalian orang yang dengki hendak menghalanginya, tidaklah akan berhasil usaha mereka.
“Sesungguhnya, tidaklah akan hina orang yang Engkau melindunginya, dan tidaklah akan mulia orang yang Engkau memusuhinya."
“Dan Allah adalah mempunyai karunia yang luas"
Asal kamu selalu memelihara rahmat yang ada, karunia yang luas itu akan ditambah-Nya dan ditambah-Nya lagi, tidak terhitung-hitung.
Kemudian daripada itu, Tuhan memperingatkan kepada orang-orang yang beriman bahwasanya rasul-rasul diutus Tuhan ganti-berganti, dan wahyu atau kitab suci diturunkan berturut-turut. Semuanya itu memakai ayat-ayat atau tanda. Ayat diartikan juga mukjizat. Ayat diartikan juga syari'at atau perintah. Nabi berganti datang. Kitab berturut turun, zaman pun berganti. Akan tetapi, pokok hukum, yaitu percaya kepada Allah Yang Maha Esa dan percaya akan Hari Akhirat, tetap berjalan, tidak berganti. Sebab itu, Allah berfirman,
Ayat 106
“Tidaklah Kami mansukh-kan dari suatu ayat atau Kami jadikan dia terlupa, (niscaya) Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang seumpamanya."
Arti yang asal dari nasikh ialah dua. Pertama menghapus atau menghilangkan. Kedua menyalin. Misalnya ada satu tulisan dalam secarik kertas lalu kita rendamkan kertas itu ke dalam air sehingga hapuslah tulisan itu kena air; di sini mansukh-nya berarti dihapuskan. Dan satu waktu ada sebuah buku berisi tulisan lalu disalin isi tulisan itu ke buku lain yang masih kosong. Maka buku yang disalin ke buku lain itu dinamai mansukh, dengan arti disalin. Kadang-kadang bertemulah yang disalin atau yang dihapus itu lalu diadakan gantinya. Maka yang disalin atau dihapus dinamai mansukh dan pengganti atau salinan dinamai nasikh. Orang yang menyalin atau menghapusnya dinamai nasikh; ism fa'il.
Oleh sebab itu, senantiasa kita mendengar bahwa kitab-kitab atau surat yang disalin disebut naskhah. Setelah diambil menjadi bahasa Indonesia kita pakai menjadi naskah. Pengertian naskah berdekat dengan aslinya. Misalnya karangan yang masih ditulis tangan, belum dicetak (manuskrip).
Di dalam surah al-Jatsiyah: 29 bertemu perkataan nastansikhu, yang berarti kami tuliskan.
Di dalam surah al-A'raaf: ayat 154 bertemu kata-kata naskhah;"Setelah tenang Musa dari kemarahan, diambilnyalah alwah itu; dan di dalam naskhah adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang ada rasa takut kepada Tuhan mereka!'
Maka, di dalam kedua ayat ini, yang berisi nastansikhu dan naskhah terdapAllah arti penulisan dan penyalinan. Kitab Taurat mempunyai naskhah dan amal manusia hidup ini ada naskhah-nya dalam catatan tulisan Malaikat-Malaikat yang akan dibuka di akhirat.
Tentang nasakh dengan arti hapus, ada pula bertemu di dalam surah al-Hajj: 52, bertemu lagi nasakh dengan arti penghapusan. Di ayat itu dikatakan bahwa tiap-tiap setan mencoba hendak memasukkan bisikan pe-ngaruhnya kepada seorang rasul, tetapi selalu Tuhan menghapuskan pengaruh setan itu dari hati mereka; fa yansakhullahu ma yulqisy syaithanu. Di sini teranglah arti nasakh ialah penghapusan.
Maka, di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, arti mansukh ialah dihapuskan, bukan disalinkan atau dituliskan. Dan ayat yang dimaksud di sini bukanlah ayat Al-Qur'an ada yang mansukh atau yang lupa, sehingga tidak teringat lagi oleh Nabi lalu ayat itu diganti Tuhan dengan ayat yang lain dengan yang lebih baik atau yang sama. Atau yang mansukh seperti itu atau yang lupa oleh Nabi, tidak ada. Yang dimaksud dengan ayat di sini ialah arti tanda dan yang sebenarnya dituju ialah mukjizat Nabi-nabi yang terdahulu telah diberi Allah berbagai macam mukjizat sebagai tanda bukti mereka telah diutus Tuhan, sesuai pula dengan kecerdasan umat pada waktu itu. Berbagai mukjizat yang telah terdahulu itu ada juga disebutkan di dalam Al-Qur'an. Nabi Musa misalnya, telah datang membawa ayat mukjizat yaitu dia mempunyai tongkat yang demikian ganjil, Nabi Isa al-Masih, telah diberi ayat mukjizat menyembuhkan orang sakit balak dan menyalangkan orang buta. Ayat itu telah mansukh atau telah diganti dengan yang lebih baik dengan kedatangan Muhammad ﷺ, yaitu Al-Qur'an sebagai mukjizat terbesar. Tongkat Musa entah di mana sekarang, sudah hilang karena sudah lama masanya, tetapi Al-Qur'an masih tetap sebagai sediakala ketika dia diturunkan. Sehuruf pun tidak berubah. Nabi Isa al-Masih di kala hidupnya telah menyembuhkan orang sakit balak dan menyalangkan orang buta dengan izin Allah, maka Al-Qur'an yang dibawa Muhammad ﷺ pun telah menghidupkan orang yang mati hatinya dan buta pikirannya buat segala zaman. Maka, ayat Al-Qur'an sebagai mukjizat jauhlah lebih baik daripada ayat terdahulu yang telah mansukh itu. Kitab-kitab suci sendiri pun telah banyak terlupa; itu pun diakui oleh setiap penyelidik yang insaf. Taurat yang asli tidak ada lagi, orang Yahudi telah banyak melupakannya, sehingga catatan yang tinggal sudah banyak campur aduk. Injil Isa al-Masih yang sejati entah di mana tak diketahui sebab Injil baru dicatat berpuluh tahun sesudah beliau meninggalkan dunia ini. Berpuluh-puluh injil itu diputuskan oleh pendetapendeta gereja tidak boleh dipakai, hanya empat yang disahkan. Apakah sudah nyata bahwa yang tidak disahkan itu salah semua?
Sekarang datanglah Al-Qur'an. Betapapun haruslah diakui bahwa dialah ayat yang lebih baik dan lebih terjaga.
Dahulu ada ayat lagi, yaitu hari istirahat orang Yahudi ialah hari Sabtu, menurut syari'at Musa. Sekarang diganti Tuhan dengan ayat perintah baru yaitu berjumat bersama-sama pada hari Jum'at.
Dan banyak lagi nabi-nabi dan rasul-rasul yang lain, mungkin telah ditakdirkan Tuhan bahwa orang lupa apakah ayat-ayat dibawa oleh rasul-rasul dan nabi-nabi itu. Kalau benarlah bahwa nabi-nabi ada 124.000 dan rasul lebih dari 300 orang, niscaya tidak semua akan dapat diingat orang lagi ayat-ayat yang diturunkan kepada mereka semuanya sudah mansukh. Dan sekarang datang yang lebih baik dan ada juga yang sama baiknya.
“Tidakkah engkau ketahui," wahai utusan Kami, “bahwasanya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa."
Bukanlah karena Rasul-Nya tidak tahu atau lupa sehingga diberi peringatan bahwa Tuhan Allah Mahakuasa berbuat sekehendak-Nya, melainkan yang dimaksud ialah bahwa Tuhan me-mansukh-kan satu ayat, menjadikan terlupanya satu ayat dipikirkan manusia dan menggantinya dengan yang lebih baik, artinya yang lebih sesuai dengan zaman atau yang sama. Tuhan mengadakan pertanyaan demikian adalah untuk menguatkan ingatan beliau bagi menghadapi orang-orang yang masih ragu, terutama Ahlul Kitab yang banyak pertanyaannya, banyak sudi siasatnya, mengapa ini di-mansukh-kan, mengapa ini dihilangkan dan tidak dipakai lagi.
Tafsir beginilah jalan yang kita pilih terhadap ayat ini. Dan ada juga penafsiran daripada ulama-ulama ikutan kita bahwa ada ayat Al-Qur'an sendiri yang di-mansukh-kan. Ada yang dihilangkan lafazhnya, tetapi tetap hukumnya dan ada yang lafazhnya masih ada, tetapi hukumnya tidak berlaku lagi karena di nasikh-kan oleh ayat yang lain. Tidak kita kemukakan penafsiran menurut itu karena itu telah mengenai khilafiyah sebab ada pula se-golongan ulama yang tidak mengakui adanya nasikh-mansukh.
Ayat 107
“Tidakkah engkau ketahui?"
Gaya pertanyaan seperti ini adalah menguatkan kata, yang dinamai istifham inkari. Tidakkah engkau tahu, wahai utusan-Ku? Untuk Merekankan perhatian kepada hal yang tengah dibicarakan."Bahwasanya Allah itu, kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi." Dia Yang Mahakuasa mengatur semuanya. Maka, jika perhatian telah ditumpahkan kepada Maha Kekuasaan yang meliputi semua langit dan bumi itu, menjadi kecillah urusan menghapuskan satu ayat atau menjadikan suatu ayat terlupa di hati manusia. Mahakuasalah Tuhan mengatur dan menggantinya dengan yang baru dan lebih baik atau yang serupa. Karena semua langit dengan berbagai isinya, dengan berjuta-juta bintangnya, dan bumi pun dengan semua isinya: lautnya dan daratnya, adalah seluruhnya di bawah kuasa-Nya. Dan yang menentukan perubahan ruang dan perbedaan waktu. Semuanya beredar berirama. Pergaulan manusia, tingkat-tingkat kehidupan, tegaknya kebenaran dan sirnanya kebatilan, semua menurut hukum-hukum yang telah tertentu. Semuanya menurut hukum sunatullah, sebab dan akibat. Hanya manusia yang picik pikiran jualah yang tidak mengerti akan hal itu,
“Dan tidaklah ada bagi kamu, selain Allah, akan pelindung dan penolong “
(ujung ayat 107)