Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱنظُرۡ
perhatikanlah
كَيۡفَ
bagaimana
يَفۡتَرُونَ
mereka mengada-adakan
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
ٱلۡكَذِبَۖ
dusta
وَكَفَىٰ
dan cukuplah
بِهِۦٓ
dengannya/perbuatan itu
إِثۡمٗا
dosa
مُّبِينًا
nyata
ٱنظُرۡ
perhatikanlah
كَيۡفَ
bagaimana
يَفۡتَرُونَ
mereka mengada-adakan
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
ٱلۡكَذِبَۖ
dusta
وَكَفَىٰ
dan cukuplah
بِهِۦٓ
dengannya/perbuatan itu
إِثۡمٗا
dosa
مُّبِينًا
nyata
Terjemahan
Perhatikanlah betapa mereka mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).
Tafsir
(Perhatikanlah) menunjukkan keheranan (betapa mereka mengada-adakan kedustaan terhadap Allah) mengenai hal itu (dan cukuplah itu menjadi dosa yang nyata) bagi mereka. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Kaab bin Asyraf dan lain-lainnya dari kalangan ulama Yahudi, yaitu ketika mereka tiba di Mekah dan menyaksikan orang-orang musyrikin yang terbunuh dalam perang Badar, maka mereka membakar kaum musyrikin untuk membalas dendam atas kekalahan ini dan memerangi Nabi ﷺ:.
Tafsir Surat An-Nisa': 49-52
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci. Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.
Perhatikanlah, betapa mereka mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan tagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.
Mereka itulah orang yang dikutuk Allah. Barang siapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.
Ayat 49
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya berikut ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49) diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani ketika mereka mengatakan, "Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." Juga sehubungan dengan ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” (Al-Baqarah: 111) Mujahid mengatakan bahwa dahulu mereka menempatkan anak-anak di hadapan mereka dalam berdoa dan sembahyang sebagai imam mereka; mereka menduga bahwa anak-anak itu tidak mempunyai dosa.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Abu Malik. Ibnu Jarir meriwayatkan hal tersebut.
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49) Bahwa demikian itu karena orang-orang Yahudi mengatakan, "Sesungguhnya anak-anak kita telah meninggal dunia dan mereka mempunyai hubungan kerabat dengan kita. Mereka pasti memberi syafaat kepada kita dan mensucikan kita (dari dosa-dosa)." Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini kepada Nabi Muhammad ﷺ yaitu firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49), hingga akhir ayat. Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musaffa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Himyar, dari Ibnu Luhai'ah, dari Bisyr ibnu Abu Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang Yahudi menempatkan anak-anak mereka sebagai imam dalam sembahyangnya, juga menyerahkan korban mereka kepada anak-anak tersebut. Mereka berbuat demikian dengan alasan bahwa anak-anak mereka masih belum berdosa dan tidak mempunyai kesalahan. Mereka berdusta, dan Allah menjawab mereka, "Sesungguhnya Aku tidak akan mensucikan orang yang berdosa karena orang lain yang tidak berdosa." Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan hal yang serupa dari Mujahid, Abu Malik, As-Suddi, Ikrimah, dan Adh-Dhahhak. Adh-Dhahhak mengatakan bahwa orang-orang Yahudi selalu mengatakan, "Kami tidak mempunyai dosa sebagaimana anak-anak kami tidak mempunyai dosa." Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49) ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka itu.
Menurut pendapat lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan celaan terhadap perbuatan memuji dan menyanjung. Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Al-Miqdad ibnul Aswad yang menceritakan hadits berikut: Rasulullah ﷺ telah memerintahkan kepada kita agar menaburkan pasir ke wajah orang-orang yang suka memuji secara berlebihan. Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui jalur Khalid Al-Hazza, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya: bahwa Rasulullah ﷺ mendengar seorang lelaki memuji lelaki lainnya. Maka beliau ﷺ bersabda: “Celakalah kamu, kamu telah memotong leher temanmu.” Kemudian Nabi ﷺ bersabda: “Jika seseorang dari kalian diharuskan memuji temannya, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku menduganya demikian,’ karena ia tidak dapat mensucikan seseorang terhadap Allah.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir, dari ayahnya, dari Na'im ibnu Abu Hindun yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah berkata, "Barang siapa yang mengatakan, 'Aku orang mukmin,’ maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang yang jahil (bodoh). Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui jalur Musa ibnu Ubaidah, dari Talhah ibnu Ubaidillah ibnu Kuraiz, dari Umar, bahwa Umar pernah mengatakan, "Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian ialah rasa ujub (besar diri) seseorang terhadap pendapatnya sendiri. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya orang mukmin, maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang bodoh. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Hajaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Ma'bad Al-Juhani yang menceritakan bahwa Mu'awiyah jarang menceritakan hadits dari Nabi ﷺ. Ma'bad Al-Juhani mengatakan bahwa Mu'awiyah hampir jarang tidak mengucapkan kalimat-kalimat berikut pada hari Jumat, yaitu sebuah hadits dari Nabi ﷺ. Ia mengatakan bahwa Nabi ﷺ telah bersabda: “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya dia memberinya pengertian dalam masalah agama. Dan sesungguhnya harta ini manis lagi hijau, maka barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar, niscaya diberkati padanya; dan waspadalah kalian terhadap puji memuji, karena sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.”
Ibnu Majah meriwayatkan sebagian darinya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Gundar, dari Syu'bah dengan lafal yang sama yang bunyinya seperti berikut: “Hati-hatilah kalian terhadap puji-memuji, karena sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.”
Ma'bad adalah Ibnu Abdullah ibnu Uwaim Al-Basri Al-Qadri.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ibrahim Al-Mas'udi, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah mengatakan, "Sesungguhnya seorang lelaki berangkat dengan agamanya, kemudian ia kembali, sedangkan pada dirinya tidak ada sesuatu pun dari agamanya itu yang tertinggal. Dia menjumpai seseorang yang tidak mempunyai kekuasaan untuk menimpakan mudarat (kerugian) terhadap dirinya, tidak pula memberikan manfaat kepadanya; lalu ia berkata kepadanya, 'Sesungguhnya kamu, demi Allah, demikian dan demikian (yakni memujinya).' Dia berbuat demikian dengan harapan kembali memperoleh imbalan. Tetapi ternyata dia tidak memperoleh suatu keperluan pun darinya, bahkan ia kembali dalam keadaan Allah murka terhadap dirinya." Kemudian sahabat Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49), hingga akhir ayat.
Pembahasan ini akan diterangkan secara rinci dalam tafsir firman-Nya: “Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm: 32) Karena itulah dalam surat ini Allah ﷻ berfirman: “Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 49) Yakni segala sesuatu mengenai hal ini dikembalikan kepada Allah ﷻ. Dialah yang lebih mengetahui hakikat semua perkara dan rahasia-rahasianya.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” (An-Nisa: 49) Dia tidak akan membiarkan bagi seseorang sesuatu pahala pun tanpa dibalas. Betapapun kecilnya pahala itu, Dia pasti membalasnya. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, ‘Atha’, Al-Hasan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, yang dimaksud dengan fatil ialah sesuatu yang sebesar biji sawi.
Menurut suatu riwayat yang juga dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah sebesar sesuatu yang kamu pintal dengan jari jemarimu. Kedua pendapat ini saling berdekatan pengertiannya.
Ayat 50
Firman Allah ﷻ: “Perhatikanlah, betapa mereka mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (An-Nisa: 50)
Yaitu dalam pengakuan mereka yang menganggap diri mereka suci dari dosa-dosa, dan pengakuan mereka yang mengatakan bahwa diri mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Juga perkataan mereka yang disitir oleh firman-Nya: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” (Al-Baqarah: 111) Ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (Al-Baqarah: 80) Juga penyandaran nasib mereka kepada amal perbuatan nenek moyang mereka yang saleh.
Padahal Allah telah menentukan bahwa amal perbuatan nenek moyang tidak dapat menjamin anak keturunannya barang sedikit pun. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya, dan bagi kalian apa yang sudah kalian usahakan.” (Al-Baqarah: 134), hingga akhir ayat. Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).” (An-Nisa: 50) Artinya, cukuplah perbuatan mereka itu sebagai perbuatan dusta dan kebohongan yang nyata.
Ayat 51
Firman Allah ﷻ: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan tagut.” (An-Nisa: 51)
Makna al-jibti menurut riwayat Muhammad ibnu Ishaq, dari Hissan ibnu Qaid, dari Umar ibnul Khattab, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah sihir, sedangkan tagut ialah setan.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, dan Atiyyah, bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah setan. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas ditambahkan di Al-Habasyiyyah. Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa al-jibt artinya syirik, juga berarti berhala-berhala.
Menurut riwayat dari Asy-Sya'bi, al-jibt artinya juru ramal (tukang tenung). Dari Ibnu Abbas Iagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah Huyay ibnu Akhtab. Dari Mujahid, yang dimaksud dengan al-jibt ialah Ka'b ibnul Asyraf. Allamah Abu Nasr ibnu Ismail ibnu Hammad Al-Jauhari di dalam kitab sahihnya mengatakan bahwa lafal al-jibt ditujukan kepada pengertian berhala, tukang ramal, penyihir, dan lain sebagainya yang serupa.
Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Tiyarah, iyafah, dan tarq termasuk jibt.”
Selanjutnya Abu Nasr mengatakan bahwa kata al-jibt ini bukan asli dari bahasa Arab, mengingat di dalamnya terhimpun antara huruf jim dan huruf ta dalam satu kata, bukan karena sebab sebagai huruf yang dipertemukan.
Hadis yang disebutkan oleh Abu Nasr ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Auf ibnu Hayyan ibnul Ala, telah menceritakan kepada kami Qatn ibnu Qubaisah, dari ayahnya (yaitu Qubaisah ibnu Mukhariq), bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya 'iyafah, larq, dan tiyarah termasuk al-jibt.”
Auf mengatakan bahwa iyafah ialah semacam ramalan yang dilakukan dengan mengusir burung. At-Tarq yaitu semacam ramalan dengan cara membuat garis-garis di tanah. Menurut Al-Hasan, al-jibt artinya rintihan (bisikan) setan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud di dalam kitab sunannya, Imam An-Nasai, dan Ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya melalui hadits Auf Al-Arabi.
Dalam surat Al-Baqarah telah disebutkan makna lafal tagut. Jadi, dalam pembahasan ini tidak perlu diulangi lagi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnud-Daif, telah menceritakan kepada kami Hajaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Abuz-Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah ketika ditanya mengenai arti tawagit.
Maka Jabir ibnu Abdullah menjawab, "Mereka adalah para peramal yang setan-setan turun membantu mereka."
Mujahid mengatakan bahwa thaghut ialah setan dalam bentuk manusia, mereka mengangkatnya sebagai pemimpin mereka dan mengadukan segala perkara mereka kepada dia, dialah yang memutuskannya.
Imam Malik mengatakan bahwa tagut ialah semua yang disembah selain Allah ﷻ.
Firman Allah ﷻ: “Dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.” (An-Nisa: 51)
Mereka lebih mengutamakan orang-orang kafir daripada kaum muslim, karena kebodohan mereka sendiri, minimnya agama mereka, dan kekafiran mereka kepada Kitab Allah yang ada di tangan mereka.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang menceritakan bahwa Huyay ibnu Akhtab dan Ka'b ibnul Asyraf datang kepada penduduk Mekah, lalu mereka bertanya kepada keduanya, "Kalian adalah Ahli Kitab dan Ahlul Ilmi (orang yang berilmu). Maka ceritakanlah kepada kami perihal kami dan perihal Muhammad!" Mereka balik bertanya, "Bagaimanakah dengan kalian dan bagaimanakah pula dengan Muhammad?" Mereka menjawab, "Kami selalu bersilaturahmi, menyembelih unta, memberi minum air di samping air susu, membantu orang yang kesulitan dan memberi minum orang-orang yang melaksanakan haji. Sedangkan Muhammad adalah orang yang miskin lagi hina, memutuskan silaturahmi dengan kami, diikuti oleh jamaah haji pencuri dari Bani Ghifar. Manakah yang lebih baik, kami atau dia?" Keduanya menjawab, "Kalian jauh lebih baik dan lebih benar jalannya (daripada dia)." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab?” (An-Nisa: 51), hingga akhir ayat.
Hadis ini diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Abbas dan sejumlah ulama Salaf.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika Ka'b ibnul Asyraf tiba di Mekah, maka orang-orang Quraisy berkata, "Bagaimanakah menurutmu si miskin yang diasingkan oleh kaumnya ini? Dia menduga bahwa dirinya lebih baik daripada kami, padahal kami adalah ahli jamaah haji dan ahli yang mengurus Ka'bah serta ahli siqayah." Ka'b ibnul Asyraf menjawab, "Kalian lebih baik." Maka turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.” (Al-Kausar: 3)
Ayat 52
Turun pula firman-Nya yang mengatakan: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab?” (An-Nisa: 51) sampai dengan firman-Nya: “Niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (An-Nisa: 52)
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang yang membantu pasukan golongan bersekutu ialah dari kabilah Quraisy, Gatafan, Bani Quraisah, Huyay ibnu Akhtab, Salam ibnu Abul Haqiq, Abu Rafi", Ar-Rabi' ibnu Abul Haniq, Abu Amir, Wahuh ibnu Amir, dan Haudah ibnu Qais. Wahuh dan Abu Amir serta Haudah berasal dari Bani Wail, sedangkan sisanya dari kalangan Bani Nadir. Ketika mereka tiba di kalangan orang-orang Quraisy, maka orang-orang Quraisy berkata, "Mereka adalah para rahib Yahudi dan ahli ilmu tentang kitab-kitab terdahulu. Maka tanyakanlah kepada mereka, apakah agama kalian yang lebih baik, ataukah agama Muhammad?" Lalu mereka bertanya kepada orang-orang Yahudi tersebut, dan para rahib Yahudi itu menjawab, "Agama kalian lebih baik daripada agama Muhammad, dan jalan kalian lebih benar daripada dia dan orang-orang yang mengikutinya." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab?” (An-Nisa: 51) sampai dengan firman-Nya: “Dan Kami telah memberinya kerajaan yang besar.” (An-Nisa: 54) Hal ini merupakan laknat Allah bagi mereka, sekaligus sebagai pemberitahuan bahwa mereka tidak akan memperoleh penolong di dunia, tidak pula di akhirat.
Mereka berangkat menuju Mekah sebenarnya untuk meminta pertolongan dari kaum musyrik Mekah, dan sesungguhnya mereka mengatakan demikian untuk mendapatkan simpati dari kaum musyrik agar mereka mau membantunya. Ternyata kaum musyrik mau membantu mereka dan datang bersama mereka dalam Perang Ahzab, hingga memaksa Nabi ﷺ dan para sahabatnya untuk menggali parit di sekitar Madinah sebagai pertahanannya. Akhirnya Allah menolak kejahatan mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, karena mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Ahzab: 25)
Setelah menjelaskan sifat buruk orang-orang Yahudi tersebut, Allah mengingatkan kaum muslim lebih cermat lagi. Perhatikanlah dengan seksama, betapa mereka orang-orang Yahudi itu mengada-adakan dusta terhadap Allah! Dan cukuplah perbuatan mengada-ada dengan dusta itu menjadi dosa yang nyata bagi merekaDi samping mengada-ada kedustaan, mereka juga melakukan kedurhakaan yang lain, yaitu percaya kepada Jibt dan thagut. Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Kitab Taurat, yakni orang-orang Yahudi itu' Mereka percaya kepada Jibt yakni berhala atau penyihir, dan thagut, yakni selain syariat Allah, dan mengatakan kepada orang-orang kafir musyrik Mekah dengan penuh kesombongan, bahwa mereka itu lebih benar jalan-nya daripada orang-orang yang beriman dari kaum muslimin.
Ayat ini menekankan tentang keanehan perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad diperintahkan memperhatikan betapa beraninya orang-orang Yahudi dan Nasrani membuat kebohongan terhadap Allah dengan pengakuan mereka bahwa dirinya suci dan mereka disayangi oleh Allah secara khusus, tidak seperti umat-umat lain. Cukup jelas bahwa perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu merupakan dosa yang besar.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Sesudah Allah membuka kesalahan orang-orang yang telah diberi kitab karena sikap mereka yang tidak jujur, kemudian mereka diimbau kembali supaya mereka surut kepada jalan yang benar.
Ayat 47
“Wahai orang-orang yang telah dibeli Kitab."
Di sini sudah mengandung seruan yang umum, baik kepada Yahudi ataupun kepada Nashara. “Percayatah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan." Yaitu AI-Qur'an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ “Yang bersetuju dengan apa yang beserta kamuKarena isi ajaran Muhammad ﷺ
yang disampaikan sebagai wahyu, yaitu kitab Al-Qur'an, tidaklah ada selisihnya dengan kitab Taurat, yang diturunkan asli kepada Musa dan Injil yang diturunkan asli kepada Isa al-Masih. Sama-sama menyeru manusia ke-pada tauhid. Mengakui keesaan Allah, tidak mempersekutukan yang lain dengan Allah, tidak menyembah kepada berhala, atau memandang manusia sebagai tuhan, lalu disembah-sembah pula. Inilah dia pokok isi dari segala kitab yang diturunkan Allah dengan perantaraan segala nabi. Percayailah kitab yang diturunkan kepada Muhammad, wahai Ahlul Kitab.
“Sebelum Kami hapuskan beberapa muka, lalu Kami kembalikan dia ke belakangnya" Beberapa muka itu ialah pemimpin-pemimpin dan pemuka mereka, ketua agama mereka, yang selama ini menguasai penafsiran kitab-kitab itu dan mencegah orang berpikiran bebas mencari kebenaran. Sementara waktu mereka bisa mempertahankan kedudukan mereka, tetapi hal itu tidak akan lama. Kebenaran pasti menang dan naik. Pada saat itu, apabila mata orang telah berbuka, pemuka-pemuka itu akan “kehilangan muka" akan hapus ke permukaan mereka, tidak akan dihargai orang lagi sebab penafsiran mereka yang tidak jujur. Kami kembalikan mereka ke belakangnya, artinya tersingkir ke belakang, tidak menjadi pemuka lagi, tidak ada pengaruh lagi. Sebab pengaruh kebenaran Islam akan naik. Padahal jika mereka beriman sebelum hal itu terjadi, kedudukan mereka akan sama dengan orang yang telah beriman dan tidaklah mereka akan hina.
“Atau Kami kutuk mereka “sebab bertahan pada hawa nafsu itu sehingga ditimpakan Allah kepada mereka kecelakaan dan kehinaan, “Sebagaimana telah Kami kutuk orang-orang yang empunya Sabtu." Sebab orang-orang yang empunya Sabtu itu dengan keras mempertahankan kesucian hari Sabtu, segala pekerjaan mesti dihentikan, termasuk menangkap ikan. Tetapi karena ikan-ikan banyak menepi dari laut pada hari Sabtu, mereka cari sendiri helat agar ikan itu dapat juga. Petang hari Jum'at mereka pasang lukah, pagi hari Ahad mereka bangkitkan kembali sehingga mendapat banyak ikan. Mereka permainkan Allah, mereka sangka Allah bisa diakali dengan cara demikian. Mereka pun dikutuk Allah, dijadikan perangai beruk dan monyet yang menjijir dan mencemooh segala usaha orang lain, padahal dia sendiri tidak berusaha. Menyalahkan segala pekerjaan orang, padahal mereka sendiri tidak bekerja. Niscaya kutuklah yang akan mereka terima.
“Dan perinlah Allah adalah akan dikerjakan."
Artinya apabila ancaman Allah telah datang, akan terjadilah dengan pasti apa yang Dia ancamkan itu.
Ayat 48
“Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi ampun bahwa Dia diperserikatkan."
Inilah yang pokok dari ad-Din, agama, yaitu mengakui adanya Tuhan dan Tuhan itu hanya satu. Tidak ada yang lain yang berserikat atau yang bersekutu dengan Dia, baik dalam ketuhanan-Nya maupun dalam ke-kuasaan-Nya. Sama sekali yang ada ini, apa saja adalah makhluk-Nya. Sebab itu kalau ada orang yang menganggap bahwa ada yang lain yang turut berkuasa di samping Allah, turut menjadi Tuhan pula, sesatlah paham orang itu. Tidaklah Allah akan memberinya ampun. “Dan Dia akan memberi ampun yang selain demikian bagi barangsiapayang Dia kehendaki." Artinya, dosa-dosa yang lain, yang bukan dosa syirik, masih bisa diampuni oleh Allah untuk siapa-siapa yang patut diampuni menurut tilikan Allah. Makanya di ayat ini Allah memberi tekanan bahwa dosa selain syirik bisa diampuni bagi siapa yang Dia kehendaki karena pada umumnya suatu dosa besar timbul adalah karena telah syirik terlebih dahulu.
Sehingga tersebutlah di dalam hadits yang shahih,
“Tidaklah mencuri seorang pencuri, melainkan karena dia musyrik. Tidaklah berzina seorang pezina, melainkan karena dia musyrik."
Mengapa pencuri mencuri karena musyrik? Ialah karena ingatannya tidak satu lagi kepada Allah. Telah diduakannya dengan keinginannya yang jahat. Perintah dari keinginan yang jahat itulah yang memerintahnya sehingga dilanggarnya larangan Allah. Jangan mencuri! Orang yang berzina pun demikian. Orang telanjur berzina karena kepercayaannya kepada adzab Allah sudah tidak berpengaruh lagi kepada dirinya. Yang memengaruhi dia berzina ialah syahwatnya. Sesungguhnya demikian, pintu ampunan dari Allah masih terbuka kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, yang dalam pandangan Allah ada padanya penyesalan yang benar-benar. Allah pun berfirman bahwasanya walaupun dosa syirik sekalipun, yang tidak bisa diampuni oleh Allah, akan diampuni-Nya juga apabila tobat betul-betul. Bukankah sahabat-sahabat Rasulullah yang besar-besar dahulunya adalah orang musyrik yang menyembah berhala semuanya? Setelah mengakui keesaan Allah dan mengakui kebenaran seruan Muhammad, diampuni dosa mereka dan mereka pun menjadi orang Islam yang baik. Oleh sebab itu, ayat ini memberikan pengertian bahwa dosa syirik itulah yang akan disingkiri benar-benar terlebih dahulu. Apabila tauhid telah matang, tujuan hanya satu kepada Allah saja, kebajikan yang lain akan menurut dan kejahatan yang lain dengan sendirinya akan hilang. Yang akan terdapat sekali-sekali agaknya hanya kesilapan berkecil-kecil sebagai manusia yang lemah. In syaa Allah, jika Allah menghendaki, itu akan diberi-Nya ampun, sebab pokok utama telah dipegang.
Apabila kita sambungkan ayat ini dengan ayat-ayat yang sebelumnya, terhadap pemuka-pemuka Yahudi tadi, diserulah mereka agar kembali kepada tauhid yang sejati. Apabila tauhid telah dipegang teguh, hati pun ter-bukalah menerima kebenaran Allah. Dengan sendirinya akan mereka terima segala wahyu yang diturunkan Allah, baik Taurat atau Injil maupun Al-Qur'an.
Tauhidlah jalan kelepasan jiwa dari segala ikatan. Sebab syirik adalah memandang ada pula yang berkuasa selain Allah dalam alam ini. Tauhid adalah jiwa bebas dari pengaruh alam. Syirik adalah jiwa budak. Tauhid tidaklah terpisah dari kata merdeka. Tauhid juga perhambaan, tetapi perhambaan kepada pencipta alam itu sendiri, jiwa kita ini pada hakikatnya mempunyai naluri hendak berlindung kepada yang kuat. Kalau sudah disadari bahwa yang kuat tidak ada di alam ini, mencarilah dia inti kekuatan yang sejati, yaitu Allah. Sesama manusia tidaklah kuat sebab dia manusia aku pun manusia. Barang apa pun yang ada di langit dan di bumi tidaklah berkuasa. Yang berkuasa ialah Penciptanya. Kepada Pencipta itu aku tunduk. Kalau dia taat setia kepada penguasa duniawi, tidaklah karena penguasa duniawi dianggapnya sebagai Tuhan, melainkan karena sudah kehendak Allah bahwa masyarakat manusia mempunyai peraturan-peraturan dan susunan. Lantaran itulah di zaman kuno, penguasa duniawi mencoba hendak mengambil hak Allah, sebagaimana Fjriaun yang disanggah keras oleh Musa. Sebab itu ditegaskan Allah di ujung ayat,
“Dan barangsiapa yang mempersekutukan dengan Allah, sesungguhnya dia telah membuat dusta suatu dosa yang besar."
Segala ajaran, baik berupa agama maupun berupa kekuasaan duniawi, yang mencoba hendak membuat makhluk Allah menjadi Tuhan atau disamakan kemuliaannya dan kekuasaannya dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah, atau dipuja, disembah, dan di-ibadahi, seperti kepada Allah, semuanya itu adalah percobaan menyusun dan mengatur dosa besar, yang pasti akan selalu bertentangan dengan kehendak Allah. Bagaimana pun kuatnya susunan itu pada lahir, satu waktu mesti runtuh sebagai suatu hasil dari dosa. Sebagaimana kaum militer di jepang dahulu “menyusun" suatu dosa besar syirik, mengatakan bahwa Kaisar Jepang Hirohito adalah Tuhan, akhirnya telah menghancurkan negeri mereka sendiri.
Di tengah-tengah susunan dosa besar itulah di zaman dahulu datang rasul-rasul, sebagaimana Ibrahim menghadapi Namrudz, Musa menghadapi Fir'aun. Dariel menghadapi Nabukadnezar, dan lain-lain. Kadang-kadang manusia kecil yang lemah tampak dari luar berhadapan dengan kekuatan besar. Kalimat tauhid mendatangkan keberanian rasul-rasul itu menyatakan kebenaran. Allah jugalah yang menang. Usaha dan usia manusia terbatas. Kebesaran Allah tidak terbatas.
Segala dosa bisa diampuni, namun syirik tidak! Inilah pokok pegangan.
Abui Baqa' menyatakan pendapat tentang syirik demikian, “Syirik itu macam-macam. Ada syirik yang bernama syirik al-lstiqlal, yaitu menetapkan pendirian bahwa Allah ada dua dan keduanya bebas bertindak sendiri-sendiri. Seperti syiriknya orang Majusi (penyembah api) (Menurut mereka Tuhan ada dua, pertama Ahuramazda, Tuhan dari segala kebaikan dan kedua Ahriman, Allah dari segala kejahatan—penafsir) Ada syirik at-Tab'idh, yaitu menyusun Tuhan terdiri dari beberapa Tuhan, sebagaimana syiriknya orang Nasrani. Ada juga syirik at-Taqrib. yaitu beribadah, memuja kepada yang selain Allah untuk mendekatkan diri kepada Allah; sebagaimana syiriknya orang jahiliyyah zaman dahulu. Syirik at-Taqlid, yaitu memuja, beribadah kepada yang selain Allah karena taqlid (turut-turutan) kepada orang lain.
Syirik al-Asbab, yaitu menyandarkan pengaruh kepada sebab-sebab yang biasa; sebagaimana syiriknya orang-orang ahli filsafat dan penganut paham naturalis. (Mereka berkata bahwa segala kejadian alam ini tidak ada sangkut pautnya dengan Allah meskipun Tuhan itu ada. Melainkan adalah sebab akibat dari alam itu sendiri—penafsir) Syirik al-Aghraadh, yaitu beramal bukan karena Allah."
Berkata Abui Baqa' seterusnya, “Yang empat pertama tadi hukumnya ialah kufur, menurut ijma ulama."
Hukum dari yang keenam ialah maksiat (durhaka) bukan kafir, menurut ijma. Adapun hukum syirik yang kelima menghendaki penjelasan. Barangsiapa yang berkata bahwa sebab-sebab yang biasa itulah yang memberi bekas menurut tabiatnya, tidak ada sangkut paut dengan Allah kafirlah hukumnya. Barangsiapa yang berkata bahwa alam itu memberi bekas karena Allah telah memberikan kekuatan atasnya, orang itu adalah fasik" Sekian Syekh Abui Baqa'
Ada beberapa hadits yang mengenai syirik. Kita salinkan beberapa di antaranya,
“Dari Anas bin Malik, dari Nabi ﷺ Beliau bersabda,"Zhulm (keaniayaan) itu tiga macam. Satu keaniayaan tidak akan diampuni Allah. Satu keaniayaan lagi diampuni oleh Allah. Dan satu keaniayaan lagi tidak akan campur Allah padanya sesuatu jua pun. Adapun keaniayaan yang tidak akan diampuni Allah ialah syirik. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya syirik itu adalah aniaya yang besar/ Adapun keaniayaan yang akan diampuni Allah ialah aniaya hamba atas diri mereka sendiri, pada barang yang di antara mereka, dengan Tuhan mereka. Dan adapun keaniayaan yang tidak dicampuri-Nya ialah keaniayaan hamba itu sendiri sesama mereka, sebelum mereka selesaikan di antara mereka." Diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Bazzar dalam Musnad-nya.
Satu hadits lagi.
“Satu hadits dari Jabir, bahwa seorang desa datang bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Ya Rasulullah! Apakah dua hal yang mematikan?' Rasulullah menjawab, ‘1. Barangsiapa yang mati tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, pastilah masuk surga. 2. Dan barangsiapa yang mempersekutukan dengan Dia, pastilah masuk neraka.'" (HR Muslim dan Abd bin Humaid dalam Musnad-nya)
Dan satu hadits lagi,
“Dari Abu Said al-Khudri, berkata dia, ‘Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Barangsiapa mati, tidak mempersekutukan sesuatunya dengan Allah akan masuk surga.'" (HR Imam Ahmad)
Az-Zamakhsyari menjelaskan maksudnya yaitu Allah tidak akan memberi ampun orang yang memperserikatkan yang lain dengan Dia. Tetapi kalau orang itu tobat sungguh-sungguh, niscaya akan diampuni-Nya. Dosa yang di bawah syirik pun diampuni ialah setelah orang-orang itu betul-betul minta tobat. Sebab itu dikatakan-Nya, “Bagi siapa yang Dia kehendaki."
Nashiruddin memberikan penjelasan begitu pula. Kata beliau, “Aqidah Ahlus Sunnah ialah bahwa syirik sekali-sekali tidak akan diberi ampun. Dan yang di bawah derajat syirik, yaitu dosa-dosa besar berbagai ragam akan diampuni bagi siapa yang Dia kehendaki. Ketentuan demikian bergantung kepada ada atau tidak adanya tobat. Tetapi kalau segera tobat sungguh-sungguh, keduanya diberi tobat."
JANGAN MENYUCIKAN DIRI
Segala diri manusia tidaklah sunyi dari keburukan dan kekotoran. Sebab manusia
penuh dengan hawa dan nafsu dan tidak lepas dari intipan setan. Sebab itu orang yang mencoba menyucikan diri, mengatakan tidak bersalah, bersih dari kesalahan, bukanlah orang yang patut disebut jujur. Berfirmanlah Allah,
Ayat 49
‘Tidakkah, engkau lihat kepada orang-orang yang membenihkan dirinya?"
Ayat ini berupa pertanyaan, tetapi mengandung celaan kepada orang yang mencoba mengatakan dirinya bersih, tidak berdosa, tidak pernah bersalah. Ayat ini masih bersambung dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu mengenai orang Yahudi yang selalu membersihkan diri. Di dalam surah al-Maa'idah ayat 18 kita dapati mereka mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak Allah dan kecintaan-kecintaan Allah. Di dalam surah al-Baqarah ayat 80 dikisahkan bahwa mereka pernah mengatakan bahwa kalau mereka masuk neraka hanyalah buat beberapa hari saja. Di dalam surah al-Baqarah ayat 111 diceritakan bahwa mereka pernah mengatakan bahwa yang akan masuk surga hanyalah orang yang menjadi Yahudi atau Nasrani saja.
Itu semuanya ialah gejala dari sifat menyucikan diri dan mengakui diri lebih dari segala orang. Orang Yahudi sampai zaman kita sekarang ini masih mendakwakan bahwa mereka adalah kaum yang telah dipilih Allah, jauh lebih istimewa daripada bangsa yang lain di dunia ini.
Lalu datang lanjutan ayat, “Bahkan Allah akan menyucikan siapa yang Dia kehendaki" Jangan manusia mengatakan dirinya suci sebab yang berhak mutlak menyucikan siapa hamba-Nya yang Dia kehendaki hanya Allah. Teroponglah ke dalam dirimu sendiri, niscaya engkau akan tahu bahwa engkau tidak sunyi daripada daki-daki dosa. Baik dosa besar apatah lagi dosa yang kecil. Hanya sekalian Rasul dan Nabi yang bersih dari dosa besar. Adapun dosa-dosa yang kecil-kecil, masih selisih paham di antara ulama, bersihkah beliau-beliau dari dosa-dosa kecil sama sekali atau ada juga sekali-sekali.
Bertambah tinggi martabat iman orang, bertambahlah diri cemburu akan dirinya, kalau-kalau masih ada amalannya yang kurang di sisi Allah. Sebaliknya pula, bertambah tipis iman orang, bertambah dia mencoba menyucikan diri, mengatakan tidak bersalah. Oleh sebab itu, janganlah berkata bahwa diriku ini telah bersih dari dosa, melainkan selalulah berusaha menyucikan diri dengan memperbanyak amalan dan tobat, mengerjakan yang diperintahkan Allah dan menghentikan yang dilarang, menjauhi sikap sombong dan takabur serta dengki dan hasad kepada sesama manusia. Kelak semuanya akan diperhitungkan di hadapan Allah. Moga-moga saja lebih banyaklah amalan kita yang baik daripada yang jahat ketika ditimbang kelak. Sebab itu ayat ini tidak lagi mengenai Yahudi saja, tetapi tuntunan bagi umat Muhammad agar jangan meniru itu. Datanglah ujung ayat menjelaskan bagaimana keadaan ketika akan ditimbang itu,
“Dan mereka tidaklah akan dianiaya, walaupun sedikit."
Ujung ayat ini menjelaskan bahwasanya pemeriksaan tentang salah dan benar, suci dan dosa, akan sangat teliti di hari akhirat. Ayat ini memberi kesan dalam jiwa kita bahwasanya tidak akan ada orang yang bersih sama sekali. Tetapi Allah tidaklah akan berlaku aniaya, semua manusia akan diberi ganjaran menurut berat dan ringan salahnya. Tujuan yang baik menuju kesucian di dalam hidup ini, dalam perjuangan menegakkan kesucian dan membendung pengaruh kejahatan, itulah perjuangan kita dalam hidup. Allah akan mempertimbangkan seadil-adilnya.
Ayat ini bukan saja mencela Yahudi. Bahkan mencela seluruh manusia yang mencoba menyucikan diri. Hadits-hadits mencela memuji diri dan menyucikan diri banyak sekali.
Memuji-muji orang lain akan menyebabkan orang itu lupa daratan terdapat banyak sekali.
Berkata Abu Musa ai-Asy'ari bahwa Nabi ﷺ pernah mendengar seseorang memuji orang lain dan menyanjung berlebih-lebihan. Lalu Rasulullah berkata,
“Kamu telah menghancurkan atau kamu telah memotong lehernya. “ (HR Bukhari dan Muslim)
Sebuah hadits lagi yang serupa itu artinya dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah. Satu hadits panjang dirawikan oleh Imam Ahmad dari Ma'bad al-Jahni, di antaranya berkata Rasulullah ﷺ,
“Sekali-kali jangan kamu memuji-muji, karena itu sama dengan memotong leher yang dipuji itu. “ (HR Imam Ahmad)
Bahkan Sayyidina Umar pernah mengatakan, “Kalau ada orang yang mendabik dada mengatakan dia Islam sejati, tandanya dia masih kafir. Barangsiapa yang mengatakan dia segala tahu (‘Alim), tandanya dia bodoh, Barangsiapa mengatakan dia masuk surga, tandanya dia akan jadi ahli neraka."
Selanjutnya Allah berfirman,
Ayat 50
“Pandangilah betapa mereka mengarang-ngarangkan dusta atas nama Allah."
Artinya pandanglah bagaimana mereka menyucikan diri, mengakui anak pilihan Allah, mengatakan yang berhak masuk surga hanyalah Yahudi dan Nasrani, mengatakan kalau mereka masuk neraka hanya beberapa hari saja, kemudian keluar kembali, lalu membanggakan amal usaha nenek-moyang mereka yang terdahulu. Padahal di sisi Allah semua makhluk-Nya sama. Yang mulia di sisi Allah hanyalah siapa yang lebih bertakwa kepada-Nya,
“Padahal sudah cukuplah semuanya itu menjadi dosa yang nyata."
Memuji diri dan menyucikan diri sudahlah cukup untuk dianggap sebagai dosa yang nyata. Menjadi dosa yang lebih nyata lagi kalau semuanya disangkutkan kepada Allah.
Ke dalam fitrah manusia yang murni senantiasa diberikan Allah ilham ketika menghadapi sesuatu urusan kehidupan. Mana pekerjaan yang jujur (jahat) dan mana pula yang takwa. Pekerjaan dosa dicegah oleh hati sanubari sendiri. Dosa ialah segala yang menghambat atau melambatkan kita akan sampai kepada kebajikan. Benar! Bahwa segala kegiatan hidup tidak ada yang semata-mata baik dan tidak ada yang semata-mata buruk. Di dalam Al-Qur'an ketika Allah memulai menyatakan bahaya meminum khamr dan berjudi dikatakan juga bahwa ada buruknya dan ada baiknya. Tetapi Allah menjelaskan bahwasanya bahaya dan dosa minuman keras dan judi jauh lebih besar daripada manfaatnya. Jelaslah pula bahwa menyucikan diri akan terhalanglah dia buat benar-benar mengusahakan kesucian batinnya dengan beramal.
Ketika agama Islam mulai diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, beliau berhadapan dengan kaum Yahudi yang menyucikan diri dan membanggakan golongan. Lalu sikap yang demikian dicela oleh Al-Qur'an. Sekarang zaman telah beredar. Penyakit menyucikan diri terdapat pula dalam kalangan umat yang mendakwakan dirinya pengikut Muhammad, Kebanyakan umat Islam mengatakan bahwa merekalah yang berhak masuk surga, sebagaimana dahulu Yahudi dan Nasrani mendakwakan bahwa merekalah yang berhak masuk surga. Walaupun tidak beramal walaupun tidak membuktikan dengan pekerjaan apa yang akan menyebabkan mereka masuk dalam surga.
Ajaran Nabi Musa di dalam Taurat dan ajaran Nabi Isa di dalam Injil dan ajaran Nabi Muhammad di dalam Al-Qur'an setelah diambil sarinya, nyatalah sama-sama mencela orang yang menyucikan diri dan membanggakan golongan dengan tidak beramal. Jika hal ini dicela oleh Al-Qur'an terhadap orang Yahudi yang hidup di waktu ini, bukan berarti bahwa umat yang mengakui dirinya Islam dibo-lehkan berbuat yang demikian itu. Ketika orang Yahudi membuat dosa yang nyata ini, menyucikan diri, dan memandang hina orang lain, sudahlah nyata bahwa perangai ini menjadi tanda bahwa keagamaan mereka sudah mundur. Agama cuma tinggal nama dan tidak dikerjakan. Kalau dalam kalangan Islam sendiri, baik di zaman mana jua pun terdapat pula yang seperti ini, jelaslah bahwa ini pun suatu tanda dari kemunduran keagamaan mereka