Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِذَا
apabila
ضَرَبۡتُمۡ
kamu berperang
فِي
pada
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
فَتَبَيَّنُواْ
maka teliti olehmu
وَلَا
dan jangan
تَقُولُواْ
kamu mengatakan
لِمَنۡ
kepada orang yang
أَلۡقَىٰٓ
menjatuhkan/mengatakan
إِلَيۡكُمُ
kepadamu
ٱلسَّلَٰمَ
salam
لَسۡتَ
kamu bukan
مُؤۡمِنٗا
seorang mukmin
تَبۡتَغُونَ
kamu mencari
عَرَضَ
harta benda
ٱلۡحَيَوٰةِ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
فَعِندَ
maka disisi
ٱللَّهِ
Allah
مَغَانِمُ
rampasan perang
كَثِيرَةٞۚ
yang banyak
كَذَٰلِكَ
demikianlah
كُنتُم
kalian adalah
مِّن
dari
قَبۡلُ
sebelum/dahulu
فَمَنَّ
maka menganugerahkan nikmat
ٱللَّهُ
Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
فَتَبَيَّنُوٓاْۚ
maka telitilah olehmu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah
بِمَا
dengan/terhadap apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
خَبِيرٗا
Maha Mengetahui
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِذَا
apabila
ضَرَبۡتُمۡ
kamu berperang
فِي
pada
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
فَتَبَيَّنُواْ
maka teliti olehmu
وَلَا
dan jangan
تَقُولُواْ
kamu mengatakan
لِمَنۡ
kepada orang yang
أَلۡقَىٰٓ
menjatuhkan/mengatakan
إِلَيۡكُمُ
kepadamu
ٱلسَّلَٰمَ
salam
لَسۡتَ
kamu bukan
مُؤۡمِنٗا
seorang mukmin
تَبۡتَغُونَ
kamu mencari
عَرَضَ
harta benda
ٱلۡحَيَوٰةِ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
فَعِندَ
maka disisi
ٱللَّهِ
Allah
مَغَانِمُ
rampasan perang
كَثِيرَةٞۚ
yang banyak
كَذَٰلِكَ
demikianlah
كُنتُم
kalian adalah
مِّن
dari
قَبۡلُ
sebelum/dahulu
فَمَنَّ
maka menganugerahkan nikmat
ٱللَّهُ
Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
فَتَبَيَّنُوٓاْۚ
maka telitilah olehmu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah
بِمَا
dengan/terhadap apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
خَبِيرٗا
Maha Mengetahui
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, bertabayunlah (carilah kejelasan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu, “Kamu bukan seorang mukmin,” (lalu kamu membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Demikianlah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bepergian) maksudnya mengadakan perjalanan untuk berjihad (di jalan Allah maka selidikilah) menurut satu qiraat dengan tiga macam baris pada dua tempat (dan janganlah kamu katakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu) ada yang memakai alif dan ada pula yang tidak sedangkan artinya ialah penghormatan atau ketundukan dengan membaca dua kalimat syahadat sebagai ciri-ciri bagi penganut agama Islam (kamu bukan seorang mukmin) kamu mengatakan itu hanyalah untuk menjaga diri dan hartamu, lalu kamu membunuhnya (dengan maksud, menuntut) artinya hendak mencari (harta benda kehidupan dunia) yakni barang rampasan (padahal di sisi Allah harta yang banyak) sehingga kamu tidak perlu membunuh untuk mendapatkan harta itu. (Begitu pulalah keadaan kamu dahulu) darah dan harta bendamu dipelihara berkat ucapan syahadat dari kamu (lalu Allah melimpahkan karunia-Nya kepadamu) hingga terkenal keimanan dan keteguhan pendirianmu (karena itu selidikilah) lebih dulu jangan sampai kamu membunuh orang yang telah beriman dan perlakukanlah terhadap orang yang baru masuk Islam sebagaimana kamu pernah diperlakukan. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan) sehingga kamu akan mendapat balasan daripada-Nya.
Tafsir Surat An-Nisa': 94
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kalian mengatakan kepada orang yang mengucapkan 'salam' kepada kalian, "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kalian membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kalian, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Bukair dan Khalaf ibnul Walid serta Husain ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani Sulaim berjumpa dengan sejumlah sahabat Nabi ﷺ yang sedang menggembalakan ternak kambing Nabi ﷺ. Lalu lelaki itu mengucapkan salam kepada mereka. Maka mereka berkata (kepada sesamanya), "Orang ini tidak sekali-kali mengucapkan salam kepada kita melainkan hanya untuk menyelamatkan dirinya dari kita.” Lalu mereka menyerang dan membunuhnya. Setelah itu mereka merampas ternak kambing milik lelaki (harbi) itu dan menceritakan peristiwa tersebut kepada Nabi ﷺ, lalu turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman." (An-Nisa: 94), hingga akhir ayat.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Abdu ibnu Humaid, dari Abdul Aziz ibnu Abu Razmah, dari Israil dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih.
Dalam bab yang sama telah diriwayatkan sebuah hadits dari Usamah ibnu Zaid. Imam Hakim meriwayatkannya melalui jalur Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil dengan lafal yang sama; dia mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Ubaidillah ibnu Musa dan Abdur Rahim ibnu Sulaiman; keduanya dari Israil dengan lafal yang sama. Ibnu Jarir mengatakan dalam salah satu kitabnya selain kitab tafsirnya, bahwa ia telah meriwayatkannya dari jalur Abdur Rahman saja. Hadis ini menurut kami sahih sanadnya, tetapi menurut pendapat orang lain dinilai lemah karena ada beberapa cacat yang antara lain ialah tidak diketahui adanya seorang mukharrij (perawi terakhir) yang mengetengahkannya dari Sammak, kecuali melalui jalur ini.
Kelemahan lainnya ialah bahwa Ikrimah dalam periwayatan hadisnya menurut pendapat mereka masih perlu dipertimbangkan. Kelemahan lainnya adalah masih diperselisihkannya tentang berkenaan dengan siapa diturunkan ayat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Muhallim ibnu Jusamah, sebagian yang lainnya mengatakan Usamah ibnu Zaid, dan pendapat yang lainnya lagi mengatakan selain itu.
Menurut kami, pendapat ini aneh dan tidak dapat diterima ditinjau dari berbagai segi. Pertama ialah terbukti bahwa hadits ini diriwayatkan melalui Sammak, dan telah menceritakan darinya banyak orang dari kalangan para imam yang terkenal. Kedua, bahwa Ikrimah menurut penilaian kitab sahih dapat dijadikan hujah hadisnya. Ketiga, hadits ini diriwayatkan pula melalui jalur selain jalur ini dari Ibnu Abbas; seperti yang dikatakan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:
Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: "Janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan 'salam' kepada kalian, ‘Kamu bukan seorang mukmin’." (An-Nisa: 94) Ibnu Abbas mengatakan bahwa dahulu pernah ada seorang lelaki sedang sibuk mengurus ganimah miliknya, lalu ia dikejar oleh orang-orang muslim, dan ia mengucapkan, "Assalamu 'alaikum" kepada mereka, tetapi mereka membunuhnya dan merampas ganimahnya.
Maka turunlah firman-Nya: "Janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan 'salam' kepada kalian, ‘Kamu bukan seorang mukmin’." (An-Nisa: 94) Ibnu Abbas mengatakan bahwa harta benda duniawi adalah ganimah itu, dan Ibnu Abbas membacakan firman-Nya, "Assalama."
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur, dari Amr ibnu Dinar, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pasukan kaum muslim mengejar seorang lelaki yang sedang mengurus ganimahnya, lalu lelaki itu mengucapkan salam kepada mereka. Tetapi mereka membunuhnya dan merampas ganimahnya. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan 'salam' kepada kalian, ‘Kamu bukan seorang mukmin’." (An-Nisa: 94)
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dengan lafal yang sama. Di dalam salah satu turjumah (autobiografi) ada yang tidak disebutkan, yaitu saudara lelakinya yang bernama Fazzar hijrah kepada Rasulullah ﷺ atas perintah ayahnya untuk memberitahukan kepada beliau perihal keislamannya dan keislaman kaumnya. Tetapi di tengah jalan dalam kegelapan malam ia berjumpa dengan suatu pasukan Sariyyah Rasulullah ﷺ. Padahal ia telah mengucapkan kepada mereka bahwa dirinya adalah orang muslim, tetapi mereka tidak menerimanya, bahkan membunuhnya. Ayah si terbunuh datang kepada Rasulullah ﷺ untuk melaporkan hal itu, maka Rasulullah ﷺ memberinya seribu dinar dan diyat lainnya, lalu menyuruhnya pergi. Maka turunlah firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi (berperang) dijalan Allah.” (An-Nisa: 94), hingga akhir ayat.
Adapun mengenai kisah Muhallim ibnu Jusamah, Imam Ahmad mengatakan sehubungan dengannya sebagai berikut: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit, dari Al-Qa'qa' ibnu Abdullah ibnu Abu Hadrad yang menceritakan, "Rasulullah ﷺ mengirimkan kami ke kabilah Adam dalam bentuk suatu pasukan. Aku ikut dalam pasukan itu yang di dalamnya terdapat Abu Qatadah (yaitu Al-Haris ibnu Rib'i) dan Muhallim ibnu Jusamah ibnu Qais. Ketika kami sampai di lembah tempat kabilah Adam tinggal, maka berjumpalah dengan kami Amir ibnul Adbat Al-Asyja'i yang mengendarai untanya seraya membawa sejumlah barang dan air susu. Ketika hendak berpapasan dengan kami, ia mengucapkan salam kepada kami, maka kami berhenti karenanya; tetapi Muhallim ibnu Jusamah menyerangnya dan langsung membunuhnya karena ada suatu masalah antara mereka berdua. Lalu Muhallim merampas unta kendaraannya dan semua barang miliknya. Setelah kami kembali kepada Rasulullah ﷺ dan kami ceritakan kepadanya peristiwa tersebut, maka turunlah firman-Nya: 'Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi (berperang) di jalan Allah' hingga sampai pada firman-Nya ‘Maha Mengetahui’." (An-Nisa: 94)
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abu Ishaq, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan Muhallim ibnu Jusamah bersama suatu pasukan. Lalu di tengah jalan mereka berjumpa dengan Amir ibnul Adbat, maka Amir mengucapkan salam penghormatan Islam kepada mereka. Dahulu di masa Jahiliah pernah terjadi permusuhan di antara mereka. Maka Muhallim membidiknya dengan anak panah hingga Amir mati. Berita itu sampai kepada Rasulullah ﷺ. Maka Uyaynah dan Al-Aqra' membicarakan hal tersebut. Untuk itu ia Al-Aqra' berkata, "Wahai Rasulullah, kirimkanlah pasukan hari ini dan adakanlah serangan pada keesokan harinya." Uyaynah berkata, "Tidak, demi Allah, sebelum wanita-wanitanya (istri-istrinya) merasakan kehilangan dia sebagaimana yang dirasakan oleh wanita-wanitaku." Lalu datanglah Muhallim dengan memakai baju burdah dua lapis. Ia langsung duduk di hadapan Rasulullah ﷺ dengan maksud meminta maaf kepadanya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Semoga Allah tidak mengampunimu!” Maka Muhallim pergi dalam keadaan menangis dan air matanya membasahi baju burdahnya. Belum lagi sampai satu minggu, Muhallim meninggal dunia, lalu mereka menguburnya, tetapi bumi menolaknya. Maka mereka (kaumnya) datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan peristiwa tersebut kepadanya. Maka beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya bumi ini menerima orang yang lebih jahat dari teman kalian itu, tetapi Allah bermaksud memberikan pelajaran kepada kalian.” Kemudian mereka melemparkan jenazahnya ke celah bukit, lalu menimbunnya dengan batu-batuan. Dan turunlah firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi (berperang) dijalan Allah, maka telitilah.” (An-Nisa: 94), hingga akhir ayat.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Habib ibnu Abu Amrah pernah meriwayatkan dari Sa'id, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Al-Miqdad: “Apabila seorang lelaki mukmin menyembunyikan imannya karena ia hidup bersama orang-orang kafir, lalu ia menampakkan imannya, tetapi kamu membunuhnya; maka demikian pula halnya kamu ketika di Mekah, kamu menyembunyikan imanmu sebelum itu.”
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari secara mu'allaq lagi singkat. Akan tetapi, hadits ini diriwayatkan secara panjang lebar lagi mausul. Untuk itu Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan:
Telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Ali Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ali ibnu Miqdam, telah menceritakan kepada kami Habib ibnu Abu Amrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan satu sariyyah (pasukan) yang dipimpin oleh Al-Miqdad ibnu Aswad. Ketika mereka sampai di tempat kaum yang dituju, ternyata mereka tidak menjumpai seorang pun karena semuanya melarikan diri. Hanya ada seorang lelaki yang tetap tinggal di tempatnya, dia mempunyai banyak harta benda. Lalu lelaki itu mengucapkan, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah." Akan tetapi, Al-Miqdad tetap menyerangnya dan membunuhnya. Maka seorang lelaki dari kalangan anak buahnya berkata, "Apakah kamu berani membunuh seseorang yang telah mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan selain Allah’? Demi Allah, aku benar-benar akan melaporkannya kepada Nabi ﷺ." Setelah mereka kembali kepada Rasulullah ﷺ, maka mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang lelaki yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, lalu lelaki itu dibunuh oleh Al-Miqdad." Maka beliau ﷺ bersabda, "Panggillah Al-Miqdad menghadapku." Lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Wahai Miqdad, apakah kamu telah membunuh seorang lelaki yang mengucapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Maka bagaimanakah kamu dengan kalimat 'Tidak ada Tuhan selain Allah' besok (di hari kiamat)?” Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kalian mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian, ‘Kamu bukan seorang mukmin.’ (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu pula keadaan kalian dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kalian, maka telitilah.’ (An-Nisa: 94) Lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepada Al-Miqdad: “Dia adalah seorang mukmin yang menyembunyikan imannya dari orang-orang kafir, lalu ia menampakkan imannya, tetapi kamu membunuhnya. Padahal begitu jugalah keadaanmu dahulu di Mekah sebelum itu, kamu menyembunyikan imanmu.”
Firman Allah ﷻ: “Karena di sisi Allah ada harta yang banyak.” (An-Nisa: 94) Yakni yang lebih baik dari harta dunia yang kamu inginkan dan yang mendorong kamu untuk membunuh orang yang mengucapkan salam kepadamu itu. Padahal dia telah menampakkan keimanannya kepada kalian, tetapi kalian tidak mengindahkannya dan menuduhnya hanya sebagai basa-basi untuk menyelamatkan dirinya. Kamu lakukan hal tersebut dengan tujuan untuk memperoleh harta duniawi. Ketahuilah bahwa pahala yang ada di sisi Allah jauh lebih baik daripada apa yang kalian inginkan dari harta orang tersebut.
Firman Allah ﷻ: “Begitu jugalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kalian.” (An-Nisa: 94)
Padahal sebelum itu kalian sama dengan orang tersebut yang menyembunyikan imannya dan merahasiakannya dari mata kaumnya, seperti yang telah disebut dalam hadits marfu' di atas.
Juga semakna dengan apa yang disebut oleh Allah ﷻ dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:”Dan ingatlah, ketika kalian masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Mekah).” (Al-Anfal: 26) Demikianlah menurut pendapat Sa'id ibnu Jubair, menurut apa yang diriwayatkan oleh As-Sauri, dari Habib ibnu Abu Amrah, dari Sa'id ibnu Jubair tentang firman-Nya: “Begitu jugalah keadaan kalian dahulu.” (An-Nisa: 94) Yakni kalian menyembunyikan iman kalian dari pengetahuan orang-orang musyrik Mekah.
Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ibnu Juraij sebagai berikut: Telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Kasir, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: “Begitu jugalah keadaan kalian dahulu.” (An-Nisa: 94) Yaitu kalian menyembunyikan iman kalian sebagaimana penggembala ini menyembunyikan imannya.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Qais, dari Salim, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: “Begitu pula keadaan kalian dahulu.” (An-Nisa: 94) Yakni kalian belum beriman, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kalian. (An-Nisa: 94) Maksudnya, mengampuni kalian (karena kalian masuk Islam). Lalu Usamah bersumpah bahwa ia tidak akan membunuh seseorang yang mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah," sesudah lelaki tersebut dan sesudah peringatan Rasulullah ﷺ terhadap dirinya sehubungan dengan peristiwa itu.
Firman Allah ﷻ: “Maka telitilah.” (An-Nisa: 94)
Makna ayat ini mengukuhkan kalimat sebelumnya.
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (An-Nisa: 94)
Menurut Sa'id ibnu Jubair, dalam firman ini terkandung ancaman dan peringatan.
Pada ayat yang lalu Allah telah menegaskan hukuman yang amat pedih bagi seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja. Pada ayat ini Allah memberikan peringatan kepada kaum muslim untuk berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam pembunuhan. Salah satu kesempatan yang memungkinkan terjadinya pembunuhan dengan sengaja itu ialah pada waktu terjadinya peperangan dengan seseorang atau sekelompok yang tidak dikenal. Wahai orang-orang yang beriman! Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan untuk membunuh seseorang. Karena itu, apabila kamu pergi melakukan perjalanan di atas bumi, baik untuk berperang dan atau untuk tugas apa pun di jalan Allah, maka telitilah dan carilah keterangan yang pasti tentang orang yang kamu hadapi itu dan jangan kamu melakukan tindakan apa pun kepadanya kalau kamu ragu dan janganlah kamu mengatakan kepada orang atau siapa pun yang mengucapkan salam, yakni orang yang mengucapkan kalimat la' ila'ha illalla'h, kepadamu, Kamu bukan seorang yang beriman, lalu kamu membunuhnya dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia dari pembunuhan itu, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak, yang lebih baik daripada apa yang kamu dapatkan dari harta rampasan peperangan itu, yaitu pahala yang berlipat ganda yang disediakan oleh Allah di akhirat. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, ketika kamu kafir, sebelum kamu beriman, menyembunyikan keimananmu, lalu Allah memberikan nikmat-Nya berupa nikmat iman kepadamu lalu kamu beriman seperti sekarang ini, maka telitilah dengan pasti sebelum kamu bertindak kepadanya. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan dan Maha Memberi balasan atas apa yang kamu lakukan Tidaklah sama derajat yang diperoleh antara orang beriman yang duduk, yakni yang tidak turut berperang tanpa mempunyai uzur atau halangan, yakni alasan yang dibenarkan agama, dan orang yang berjihad menegakkan agama-Nya di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orangorang yang duduk, tidak ikut berperang tanpa halangan yang dibenarkan agama dengan kelebihan satu derajat. Kepada masing-masing dari dua kelompok tadi, Allah menjanjikan pahala yang baik berupa surga, dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad, baik dengan harta atau dengan jiwa saja atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, yaitu beberapa derajat yang didapatnya daripada-Nya, serta ampunan atas dosa-dosa mereka dan rahmat yang selalu tercurah kepada mereka. Allah Maha Pengampun atas dosa-dosa mereka, Maha Penyayang dengan curahan rahmat-Nya kepada mereka.
Apabila seorang mukmin pergi ke daerah musuh untuk berperang, maka hendaklah mereka bersikap hati-hati dan teliti terhadap orang yang mereka temui, dan jangan tergesa-gesa menuduhnya sebagai "orang yang tidak beriman", lalu membunuhnya. Utamanya apabila orang yang ditemui itu telah mengucapkan Assalamu'alaikum, atau telah mengucapkan La ilaha illallah, yaitu ucapan secara Islam, maka orang tersebut tidak boleh dituduh "kafir", sebagai alasan untuk membunuhnya karena ucapan salamnya itu menunjukkan bahwa ia telah tunduk kepada agama Islam, menurut zahirnya.
Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar mengadakan penelitian lebih dahulu sebelum membunuh seseorang yang dianggapnya musuh, agar jangan sampai membunuh seseorang yang telah menganut agama Islam. Apalagi jika pembunuhan itu dilakukan hanya karena keinginan untuk memiliki harta bendanya. Allah memperingatkan bahwa orang-orang mukmin tidak boleh berbuat demikian, sebab ia telah menyediakan rahmat yang banyak bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mematuhi segala ketentuan-Nya.
Selanjutnya Allah mengingatkan orang mukmin bahwa pada awal mereka memeluk agama Islam, mereka menyembunyikan imannya, tetapi mereka tetap mengucapkan salam Assalamu'alaikum bila berjumpa dengan sesama mukmin yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam. Hal itu mereka lakukan untuk memberitahukan bahwa mereka telah memeluk agama Islam. Dengan demikian, mereka mengharapkan keamanan diri, keluarga dan harta benda mereka dari kaum Muslimin yang telah masuk Islam lebih dahulu.
Apabila mereka pernah berbuat demikian, dan Allah telah memberikan keamanan yang mereka inginkan, maka sewajarnya pula mereka menghormati orang-orang yang berbuat semacam itu terhadap mereka, dan tidak tergesa-gesa menuduh seseorang sebagai musuh Islam, lalu membunuhnya, dan merampas harta bendanya.
Allah senantiasa mengetahui segala perbuatan hamba-Nya, dan Dia akan memberinya balasan yang setimpal, baik atau buruk.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MEMBUNUH MUKMIN TAK SENGAJA
Ayat 92
“Dan tidaklah ada bagi seorang Mukmin bahwa membunuh akan seorang Mukmin, kecuali karena keliru."
Ketika terjadi peperangan dengan kafir itu niscaya terjadilah membunuh atau dibunuh. Kalau bukan begitu, bukan perang namanya. Di luar peperangan tidak boleh ada pembunuhan, kecuali pembunuhan menurut hukum (kehendak hakim atau seizin hakim) Terutama lagi tidak ada Mukmin yang akan sampai hati membunuh saudaranya sama-sama Mukmin. Kalau hal demikian terjadi juga, tentu karena kekeliruan. Misalnya di zaman perang, seorang Mukmin disangka musuh, lalu dibunuh kemudian ternyata bahwa dia seorang Mukmin adanya.
Ini pernah kejadian. Menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ikrimah, bahwa al-Harits bin Yazid, di zaman Mekah bersama-sama dengan Abu Jahal pernah menyiksa lyash bin Abu Rabi'ah. Kemudian lyash telah hijrah bersama Nabi ke Madinah. Setelah Perang Badar banyak pemuka musyrikin telah tewas, di antaranya Abu Jahal, dan beberapa orang bekas kawannya lalu insaf dan tobat dan hijrah pula secara diam-diam ke Madinah, Di antaranya ialah al-Harits bin Yazid yang pernah menganiaya lyash. Di tengah jalan akan hijrah, kebetulan lyash melihat bekas musuhnya itu, disangkanya masih kafir. Terus ditikamnya al-Harits dengan pedangnya sehingga mati. Perbuatannya itu dengan segera dilaporkannya kepada Rasulullah. Maka sangat duka cita lyash mendengar dari Rasulullah sendiri bahwa al-Harits telah Islam, lyash diperintahkan oleh Rasul memerdekakan seorang budak sebagai tebusan kesalahannya membunuh karena kurang usul periksa itu.
Riwayat lain lagi dari Ibnu Zaid, bahwa dalam satu peperangan sahabat Nabi ﷺ Abud Darda' telanjur pula membunuh orang, padahal ternyata orang itu mengucapkan dengan keras “Laa Ilaha Mallah," namun dibu-nuhnya juga. Perbuatannya itu disalahkan oleh Nabi.
Diterangkan di dalam ayat ini denda dari membunuh sesama Mukmin karena kekeliruan itu. “Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan keliru, maka hendaklah memerdekakan seorang budak yang Mukmin, dan diyat yang diserahkan kepada keluarganya." Dia telah menghilangkan satu jiwa, hendaklah digantinya dengan jiwapula.Seorangyangtelah menjadi budak, telah hilang kemerdekaannya. Hilang kemerdekaan sama dengan hilang diri. Sekarang karena satu jiwa telah dia hilangkan, hendaklah dia timbulkan buat gantinya suatu jiwa pula yang telah seumpama hilang karena selama ini diperbudak. Dan hendaklah yang dimerdekakan itu budak yang beriman pula, sebab jiwa yang dia hilangkan adalah jiwa seorang yang beriman. Jiwa hilang, jiwa pula pengganti; Mukmin hilang, Mukmin pengganti.
Selain dari denda memerdekakan budak ditambah lagi dengan diyat yaitu ganti kerugian yang wajib diserahkan kepada keluarga orang terbunuh karena keliru itu. Di dalam ayat tidak disebutkan berapa mestinya diyat itu dibayar, sebab hal itu kembali kepada per-timbagar-pertimbangan hakim melihat keadaan masyarakat di waktu itu, dan taksiran kesanggupan yang akan membayarnya.
Membayar diyat ini ditanggungkan kepada ‘aqilah yaitu seluruh keluarga si pembunuh suku atau kabilahnya, bukan semata-mata ditanggungkan kepada anak istrinya, atau ayahnya. Artinya menjadi pikulan sekaum.
Ahli hukum dan ahli syari'at Islam, almarhum Syahid Abdulkadir Audah (wafat 1954), membincangkan juga masalah ‘aqilah ini di zaman kita sekarang. Banyak negeri Islam zaman sekarang sistem suku sudah habis. Orang sekampung belum tentu seketurunan, apatah lagi di satu kota. Orang datang dari berbagai daerah dan berbagai keturunan. Adalah memberatkan sekali, kalau diyat mesti dibayar oleh si pembunuh tak sengaja itu sendiri sebab umumnya mereka orang miskin. Dan lebih berat lagi kalau diyat itu dikenakan kepada orang lain yang tidak ada kena-mengena, bahkan tidak kenal-mengenal di kota besar. Abdulkadir Audah—yang luas pandangan dan ilmu itu—mengatakan kalau masyarakat Islam berdiri di negeri itu, pemerintah berhak atau berwenang mengadakan semacam pungutan pajak atau denda, yang hasilnya digunakan untuk pembela orang-orang yang melarat dan teraniaya, maka pemerintah pun dapat pula mempergunakan hasil untuk dijadikan diyat, pembela nasib waris yang ditinggalkan oleh orang yang mati teraniaya itu.
Menurut Dr. Abdulkadir Audah pada beberapa Kerajaan Eropa telah dipakai orang pikiran ini, yaitu di Jerman Barat, Italia, dan Yugoslavia. Di sana pemerintah membangun suatu jawatan khusus untuk mengumpul denda-denda yang dipungut atau ongkos-ongkos perkara, yang hasilnya dipergunakan untuk mengganti kerugian orang yang teraniaya, cacat ataupun mati, karena kesalahan yang tidak disengaja atau disengaja. Dengan syarat bahwa harta benda orang yang keliru menganiaya itu tidak cukup untuk mengganti kerugian waris orang yang teraniaya. Kata beliau, “Apa salahnya kalau ini kita bangunkan pula di negeri-negeri Islam, sebab dasar ini sudah ada pada kita dahulu? Dan berapa diyat itu harus dibayar?"
Menurut riwayat Abu Bakar Ibnu Hazm, dari ayahnya, dari neneknya, bahwa Rasulullah pernah mengirimkan surat menentukan peraturan diyat ini kepada ahli Yaman yang isinya menerangkan bahwa diyat dengan unta ialah 100 ekor unta. Dan tertulis pula bahwa kalau diganti dengan emas ialah 1.000 dinar. Menurut riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi ﷺ mengatur diyat dengan unta 100 ekor, kalau dengan sapi 200 ekor, kalau dengan kambing 1.000 kambing. Diyat yang dibayar dengan pakaian ialah 200 setel pakaian baru. Semuanya dibagikan kepada waris orang terbunuh itu, menurut hukum faraidh.
Di dalam kitab al-Muwaththa' (Imam Malik) tersebut bahwa di zaman pemerintahan Umar bin Khaththab kalau diganti dengan perak ialah 10.000 dirham.
Lanjutan ayat, “Kecuali jika mereka bersedekah." Artinya, diyat itu bisa dihapuskan saja, kalau sekiranya ahli kerabat dari yang meninggal itu menyedekahkan saja, artinya merelakan dengan hati yang jujur. Pemberian maaf keluarga yang meninggal terhadap orang yang membunuh manusia yang mereka cintai itu, di dalam ayat ini disebut bersedekah (sedekah) Dan kita pun tahu arti yang mendalam daripada sedekah, yaitu pemberian dengan hati yang jujur. Hati yang tidak ada dendam. Memang memberi maaf sangat dianjurkan oleh agama. Supaya hi-langlah dendam kasumat yang sangat bersimaharajalela di zaman jahiliyyah itu. Yang dendam darah bisa turun temurun.
Berkata as-Sayuthi, “Dalam ayat ini dapatlah kita memahami betapa Allah mengambil berat atas hilangnya jiwa seorang yang beriman dan tetap ada juga dosanya sehingga terbunuh dengan keliru itu meskipun tidak dapat diadakan qishash namun qishash diganti dengan kafarat (denda) yaitu memerdekakan seorang budak yang beriman disertai membayar diyat. Dan diyat itu diserahkan kepada ahlinya, kecuali kalau ahli (keluarga) itu sudi memaafkan."
Dalam hal ini timbullah beberapa hasil renungan ahli fiqih. Kalau tidak membunuh dengan keliru itu anak kecil atau orang gila, mereka hanya membayar kafarat. Yang dibayarkan oleh keluarganya pula, (‘aqilah) Diyat perempuan separuh dari diyat laki-laki.
Di zaman kita sekarang ini, meskipun peraturan syari'at Islam tidak atau belum berlaku di beberapa negeri Islam, terutama bekas jajahan, termasuk Indonesia, niscaya umat Islam sendiri harus berusaha agar hukum ini berlaku dalam masyarakat mereka. Berpuluh kali kejadian pembunuhan dengan tidak sengaja, terutama karena orang ditubruk mobil di jalan raya. Adalah terlalu meringankan perikemanusiaan kalau sopir atau pembawa mobil itu hanya dihukum 6 bulan penjara karena dia menggiling orang tidak dengan sengaja. Bagi mereka hukuman 6 bulan bukan hukuman. Tidak lebih daripada istirahat, dan makan minum dan tempat tinggal ditanggung oleh pemerintah.
Rasa perikemanusiaan mengatakan bahwa hukum demikian terlalu ringan, terhadap menghilangkan jiwa manusia. Hakim boleh memanggil dan mendamaikan dua pihak yang berselisih itu, dan dianjurkan keduanya kembali ke dalam hukum Islam, membayar kafarat dan diyat. Dan menerima baik dengan senang hati jika keluarga yang mati merelakan diyat itu, namun kafarat (denda) pemerintah memerdekakan seorang budak, yang dibayar dengan uang sebab budak tidak ada lagi, adalah hal pemerintah.
Kalau sekiranya kita masih hendak meniru Barat juga, apatah salahnya kalau kita meniru apa yang telah dilakukan di Jerman Barat, Italia, dan Yugoslavia. Sebagaimana yang diterangkan oleh Syahid Abdulkadir Audah tadi.
“Akan tetapi jika adalah dia (yang terbunuh) itu." Yaitu dia yang terbunuh dengan keliru atau tidak dengan sengaja itu, “Dari kaum yang jadi musuh bagi kamu, padahal dia itu seorang Mukmin, maka hendaklah memerdekakan seorang budak yang Mukmin pula."
Arti dan tegasnya ialah jika kamu berperang dengan segolongan musuh, sedang dalam kelompok itu terdapat seorang Mukmin, yang rupanya belum dapat membebaskan dirinya dari lingkungan keluarganya yang masih memusuhi Islam. Dia terpaksa mesti turut berperang bersama mereka atau dia masih tinggal di kampung itu karena belum dapat membebaskan diri karena berbagai sebab. Seketika negerinya diserang atau berhadapan dalam peperangan, kebetulan turut terbunuhlah seorang yang nyata telah memeluk agama Islam. Hukumnya ialah supaya yang membunuh tidak dengan sengaja itu memerdekakan seorang budak yang beriman pula, tetapi dia tidak dikenakan diyat. Sebab seluruh kaum keluarga atau ahli si mati belum Islam.
Al-Hakim meriwayatkan daripada Ibnu Abbas bahwa pernah seorang lak-laki datang kepada Nabi dan dia telah nyata memeluk Islam. Kemudian dia pun kembali kepada kaumnya, sedang kaumnya itu masih musyrik. Dalam satu peperangan dengan kaumnya itu, dia pun turut terbunuh. Maka dikenakan ka-farat kepada yang membunuh dengan keliru itu, yaitu memerdekakan seorang budak yang telah beriman.
“Dan jika adalah dia (si terbunuh) itu “Yaitu. orang yang terbunuh dengan keliru itu. “Dari suatu kaum yang di antara kamu dan di antara mereka ada suatu perjanjian." Biasa diperbuat suatu perjanjian damai, tidak akan serang-menyerang di antara kaum Muslimin dengan mereka, kaum musyrikin atau Ahlul Kitab yang dinamai kaum dzimmi, atau perjanjian aman dan berdamai. Lalu ada di kalangan mereka yang terbunuh oleh pihak Islam dengan tidak disengaja atau terkeliru, entah karena tersangka masih bermusuh, karena yang melakukan bunuh itu tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. “Maka',' hukumannya ialah, “diyat yang diserahkan kepada keluarganya, dan memerdekakan seorang budak yang Mukmin,' Diyat ganti kerugian yang akan diterima keluarganya dan kafarat memerdekakan budak Mukmin sebagai hak yang wajib dibayar kepada Allah.
Kata ahli tafsir, di dalam hal terbunuh dengan tidak sengaja ini, meskipun hukum terhadap Mukmin yang terbunuh dengan dzimmi yang terbunuh, didahulukan menyebut diyat daripada memerdekakan budak, ialah sebagai peringatan bahwa Islam sekali-kali tidak mengabaikan janji yang telah diikat dengan pihak yang belum memeluk agama Islam. Karena mereka telah mengikat janji dengan kaum Muslimin, perlakuan terhadap mereka dalam hal penghormatan jiwa ini adalah sama.
Ini telah dikuatkan oleh sebuah hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi ﷺ telah melakukan secara demikian; terhadap dua orang yang terbunuh dengan keliru oleh Amer bin Umayyah adh-Dhamri, sedang keduanya telah ada perlindungan janji dengan Rasulullah ﷺ yang Amer tidak mengetahuinya. Terhadap kematian keduanya telah dilakukan diyat sebagaimana yang telah dilakukan kepada orang Mukmin. Dan menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Baihaqi dan az-Zuhri bahwa diyat orang Yahudi dan Nasrani di zaman Nabi adalah diyat sebagai Muslimin juga. Demikian juga di zaman Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Cuma di zaman Mu'awiyah diubahnya, yaitu dibayarkan separuh diyat untuk orang itu dan separuh lagi disuruh masukkan ke dalam Baitul Maal.
“Tetapi barangsiapayang tidak mendapat." Artinya orang yang tidak mendapat budak yang akan dimerdekakannya, baik karena dia tidak mempunyainya atau tidak ada harta buat memerdekakan, atau budak itu tidak ada lagi sebagaimana di zaman kita sekarang ini, “Maka dengan puasa dua bulan berturut-turut" Puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti daripada memerdekakan budak, yaitu tidak boleh umpang sehari juga. Sehinga sekiranya telah sampai misalnya 59 hari, lalu di hari ke-60 terlepas dengan sengaja, mestilah diulang kembali dimulai dengan hari pertama. Karena kesalahan mengumpangkan itu nyatalah dari sebab hati yang masih kotor dan tidak berhasil membersihkannya. (Demikian penafsiran dari al-Mahaymmai) Tetapi kalau dapat halangan lain, yaitu karena sakit atau musafir, niscaya berlakulah sebagai ketinggalan hari-hari bulan puasa Ramadhan juga. Sebab dalam segala hal Allah tidaklah memberati manusia lebih daripada kekuatannya. (Ini adalah pendapat penafsir ini)
Semuanya itu adalah, “sebagai tobat daripada Allah." Artinya dengan melakukan puasa dengan khusyu karena tidak sanggup mengadakan dan memerdekakan budak sehingga sampai berturut dua bulan, nyatalah bahwa yang membunuh dengan keliru itu benar-benar membersihkan jiwanya dan membuktikan tobatnya. Niscaya akan datanglah kurnia tobat dari Allah terhadap dirinya, dan bersihlah jiwanya dari tekanan batin karena menghilangkan jiwa sesama manusia, baik sesama manusia seagama, atau sesama manusia berlain agama yang telah mengikat janji damai dengan penguasa Islam.
“Dan adalah Allah itu Mahatahu." Artinya lebih tahulah Allah itu siapa-siapa hamba-Nya yang benar-benar membunuh dengan keliru itu, dan Mahatahu pula siapa-siapa hamba-Nya yang tidak sanggup membayar pemerdekaan budak tersebut. Dengan sabda seperti ini, meskipun misalnya seorang yang membunuh telah diselidiki dengan saksama oleh hakim sehingga terbukti bahwa memang dia membunuh dengan keliru, lalu dapatlah dia hukum ringan, yaitu membayar diyat dan memerdekakan budak, atau menggantinya dengan puasa dua bulan berturut-turut, namun hakikat yang sebenarnya Allah jualah yang tahu. Orang bisa menang di muka hakim, namun di hadapan Allah tidaklah ada sesuatu yang tersembunyi.
“Dan Bijaksana
Dengan kebijaksanaan Allah menentukan hukum-Nya, terpelihara jugalah jiwa setiap orang daripada lancang tangan dan kekeliruan. Tidaklah dapat dihabisi dengan meminta maaf saja kalau terjadi pembunuhan yang keliru atau tidak sengaja. Dalam ketiga kejadian itu, ketiganya mendapat hukum yang langsung sebagai suatu denda dan dendanya itu dibayar kepada Allah, yaitu memerdekakan budak. Tak dapat membayar dengan memerdekakan budak, wajib puasa dua bulan berturut-turut. Memang di dalam satu hadits yang shahih, Rasulullah bersabda bahwa puasa adalah utang langsung kepada Allah, yang wajib dibayar kepada Allah. Sedang diyat yang dibayar kepada ahli si korban, bisa saja dihabisi dengan maaf.
MEMBUNUH DENGAN SENGAJA
Pada ayat yang disebut di atas telah dijelaskan bahwa membunuh dengan keliru atau tidak sengaja, masih ada hukumannya, meskipun bukan qishash, yaitu kafarat dan diyat. Bagaimana pula kalau membunuh dengan senjaga?
Ayat 93
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal di dalamnya dan … Allah atasnya dan Dia laknat akan dia, dan Dia sediakan untuknya siksaan yang besar."
Membunuh manusia secara sengaja adalah dosa yang paling besar. Dia termasuk dalam tujuh dosa besar. Dosa yang paling besar sekali ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain. Di bawah itu adalah dosa membunuh. Dijelaskan di sini bahwasanya pembunuh dengan sengaja, diancam dengan empat ancaman besar. Pertama, kekal dalam neraka jahannam. Kedua, ditimpa oleh Allah dengan kemurkaan-Nya. Ketiga, dilaknat atau dikutuk hidupnya. Keempat, disediakan lagi siksaan yang besar buatnya.
Tidak ada dosa lain yang diancam dengan ancaman sampai 4 macam itu, melainkan dosa membunuh orang Mukmin inilah. Ancaman yang sampai empat macam itu hanya bertemu terhadap membunuh Mukmin dengan se-ngaja. Imam Ibnu Katsir berkata, “Inilah satu ancaman sangat besar bagi barangsiapa yang berbuat dosa yang amat besar ini. Dan berdekatan dengan dosa mempersekutukan yang lain dengan Allah, sebagaimana yang tersebut di dalam surah al-Furqaan, Al-Qur'an ayat 68. Di ayat itu disejajarkan dia dengan mempersekutukan Allah. Di dalam surah al-An'aam ayat 151 dia dijadikan larangan yang keras.
Di samping ayat-ayat Al-Qur'an terdapatlah berpuluh hadits yang mengancam keras membunuh sesama manusia dengan sengaja.
Di dalam satu hadits yang dirawikan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah ada tersebut bahwasanya seorang yang menolong atas membunuh seorang Muslim walaupun dengan satu kalimat saja, dia akan datang di hari Kiamat, sedang di keningnya tertulis, “Orang ini tidak ada harapan akan mendapat rahmat Allah."
Jadi kalau ada orang yang sengaja hendak membunuh seorang Muslim bertanya kepada seseorang, “Bagaimana kalau orang ini aku bunuh?" Lalu dia menjawab misalnya, ‘Terserah!" Artinya dia telah menyepakati perbuatan yang sangat besar dosanya itu, maka dia pun akan dicabut rahmat Allah darinya. Sedangkan hanya menyatakan setuju dengan satu kata lagi dicabut rahmat, apatah lagi kalau turut membantu dengan yang lebih dari itu.
Di dalam satu hadits yang dirawikan oleh Bukhari, bersabda Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa yang membunuh seorang yang bukan Islam, yang telah mengikat persetujuan dengan kekuasaan Islam, maha tidaklah si pembunuh itu akan membaui asap surga. Jaraknya dengan asap surga itu adalah sejarak 40 tahun." (HR Bukhari)
Sedangkan membunuh orang berlain agama yang telah mendapat perlindungan dari kekuasaan Islam lagi dijauhkan dari asap surga sejarak 40 tahun, apatah lagi membunuh seorang Muslim.
Oleh sebab itu, Ibnu Abbas sampai berpendapatan bahwasanya tobat orang yang membunuh dengan sengaja itu tidak akan diterima oleh Allah.
Dalam satu hadits yang dirawikan oleh an-Nasa'i dari Buraidah dan an-Nasa'i juga dari hadits Ibnu Amr, dan oleh Ibnu Majah dari hadits al-Bara' pernah Rasulullah ﷺ bersabda,
“Hilangnya seluruh dunia ini hanya perkara kecil bagi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim." (HR an-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Oleh sebab itu, Ibnu Abbas di antara sahabat-sahabat Rasulullah berpendapat bahwasanya orang yang membunuh sesamanya manusia dengan sengaja, bukan karena menjalankan hukum dan bukan pula karena ke-izinan membunuh di dalam peperangan, terutama membunuh seorang Muslim, tidaklah akan diberi tobat oleh Allah. Tertutup pintu tobat baginya selama-lamanya. Pendapat Ibnu Abbas ini sampai menjadi perbincangan panjang lebar dan secara mendalam di antara ulama-ulama tafsir, ahli-ahli hadits dan ahli fiqih. Diterima tobatnya atau tidak?
Ibnu Qayyim berkata di dalam kitabnya al-Jawabul Kafi, “Setelah nyata bahwa kezaliman dan sifat permusuhan sangat bertentangan dengan keadilan—yang dengan keadilan itulah semua langit dan bumi ini ditegakkan oleh Allah—dan karena sudah terang pula bahwa Allah Ta'aala mengutus rasul-rasul-Nya dengan diberi kitab-kitab suci untuk menegakkan keadilan di antara sesama manusia, maka kezaliman itu nyatalah termasuk yang sebesar-besar dosa besar, dan tingkat besarnya dosa itu ialah menurut besar bahayanya pada dirinya. Lantaran itu membunuh seorang manusia yang beriman adalah termasuk yang sekeji-keji kezaliman."
Sebab itulah tersebut dalam surah al-Maa'idah ayat 32 perintah Allah kepada Bani Israil bahwa barangsiapa yang membunuh suatu diri bukan karena melakukan hukuman karena membunuh pula, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh keputusan hakim, maka samalah artinya perbuatan itu dengan membunuh sekalian manusia yang hidup ini, dan barangsiapa yang menghidupkan seorang manusia samalah dengan menghidupkan manusia seluruhnya.
Sampai tersebut pula dalam satu hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud, bahwasanya perkara yang mula-mula akan dibuka di hari Kiamat ialah perkara pembunuhan. Pendeknya, banyak lagi hadits lain yang kalau kita salinkan dengan asli bahasa Arabnya sekali, akan penuhlah berhelai -helai halaman dari tafsir ini.
Tadi kita katakan, sampai Ibnu Abbas menyatakan bahwa tobat seorang pembunuh dengan sengaja tidak akan diterima selama-lamanya.
Pendapat Ibnu Abbas yang jadi perbincangan ulama-ulama ini dapat kita pahamkan menilik bagaimana rusak binasanya jiwa seorang yang telah membunuh orang. Sudah berkali-kali kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa orang yang telah pernah membunuh orang, meskipun dia shalat, meskipun dia puasa, jiwanya berubah jadi buas, matanya menunjukkan mata orang gila, dia mudah saja menyentak pisau atau mencabut pistolnya, buat menghilangkan nyawa sesamanya manusia. Inilah satu alamat bahwa memang tobat orang ini telah tidak diterima lagi oleh Allah. Na'udzu billahi min dzalik.
Kalau kita hanya mendapat keterangan dari Ibnu Abbas dan orang-orang yang sepaham dengan beliau, akan gelaplah hidup ini, dunia dan akhirat bagi setiap orang yang telah pernah membunuh dengan sengaja, saking besarnya ancaman Allah atas perbuatan ganas ini. Syukurlah kita berjumpa juga satu tafsiran yang membuka sedikit pintu, yaitu keterangan dari ‘Allamah az-Zamakhsyari pengarang Tafsir al-Kasysyaaf.
Kata beliau, “Dalam ayat ini terdapat ancaman keras, mengguruh menggeledek, karena dia adalah satu kejahatan sangat besar dan nista yang amat ngeri. Sehingga terdapat satu riwayat dari ibnu Abbas bahwa tobat pembunuh dengan sengaja tidak akan diterima dan satu keterangan lagi dari Sufyan bahwa ketika beliau-beliau itu menuruti Sunnah Allah dan Rasul-Nya di dalam keras ancamannya terhadap dosa ini. Padahal tidak ada satu dosa betapa pun besarnya yang tidak diampuni oleh Allah, kalau orang tobat dengan sungguh-sungguh. Sedangkan syirik saja sebagai dosa yang lebih besar daripada membunuh, lagi dapat diberi tobat oleh Allah, sebagaimana tersebut di dalam dalil-dalil yang nyata." Demikian az-Zamakhsyari.
Berkata pula Ibnu Qayyim di dalam o/-Jawabul Kafi, “Hasil penyelidikan dalam perkara ini ialah bahwa suatu pembunuhan adalah bersangkutan dengan tiga kewajiban. Pertama, hak Allah. Kedua, hak orang yang terbunuh itu sendiri. Ketiga, hak dari wali (penguasa negara) Apabila si pembunuh segera menyerahkan diri kepadanya dengan segala ketundukan dan kemauan sendiri, menyesal atas perbuatannya itu, disertai takut akan Allah, dan disertai dengan tobat nashuha, maka dia telah membalaskan kewajiban kepada Allah dengan tobat itu, dan dia telah membayarkan kewajibannya kepada penguasa dengan segera menyerahkan diri, maka hakimlah yang memutuskan hukum apa yang akan diterimanya, entah berdamai dengan keluarga si korban atau adanya pemaafan. Tinggal satu hak lagi, yaitu kewajibannya terhadap si pembunuh sendiri. Yang niscaya Allah sendiri yang akan mengganti kerugiannya di hari Kiamat tersebab kesalahan hamba-Nya yang telah tobat itu, dan Allah akan mendamaikan di antara dua hamba-Nya. Dengan demikian hak si korban tidak akan disia-siakan Allah dan tobat hamba-Nya yang tobat pun tidak pula akan ditolak." Demikian Ibnu Qayyim.
Jelaslah bahwa masalah membunuh dengan sengaja adalah satu perkara besar, sebesar langit dan bumi, sehingga ada hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi daripada Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah, bahwa kalau sentana seluruh penduduk semua langit dan penduduk bumi ini semuanya bersekongkol membunuh seorang Mukmin, maka semuanya yang bersalah itu akan dihamburkan Allah masuk neraka.
Ayat ini turun dalam rangka ayat-ayat yang sebelumnya, dan ayat-ayat yang mengikutinya yaitu dalam suasana perang. Kita tahu bahwa di dalam perang menurut syarat-syarat yang tertentu sudah dihalalkan membunuh musuh sampai tewas. Sampai di dalam surah Muhammad ayat 4, dibuka keizinan membunuh musuh tersebab perang, dengan memotong lehernya dengan tepat, artinya menyegerakan matinya, atau mendesak mengobarkan perang sampai musuh itu tunduk dan tertawan. Dan kalau perang selesai yang tertawan itu boleh menebus diri atau ditebus oleh keluarganya. Memang begitulah kalau telah perang. Tetapi betapa pun hebatnya suasana perang, karena menjaga jangan sampai terjadi pembunuhan dengan keliru sebagaimana tersebut di ayat atas tadi, baik keliru kepada sesama Islam, atau keliru kepada orang yang belum Islam tetapi perlindungan dengan janji, apatah lagi jangan sampai terjadi pembunuhan dengan sengaja karena melepaskan sakit hati atau tamak akan harta benda rampasan misalnya, maka datanglah lanjutan ayat,
Ayat 94
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) pada jalan Allah, maka telitilah!"
Artinya janganlah sembrono, terburu nafsu, tidak terkendali. Melainkan hendaklah teliti dan hati-hati. Jangan sampai terbunuh terpancung leher orang yang tidak patut diperlakukan demikian. Misalnya dia seorang Islam, tetapi belum sampai hijrah ke dalam masyarakat Islam karena sebab-sebab yang dapat dipahami, “Dan janganlah kamu katakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu, ‘Engkau bukan orang Mukmin!'“ Apabila orang telah mengucapkan salam, tandanya dia meminta damai, engkau perangi juga. Padahal maksud Islam bukanlah berperang semata berperang, melainkan mengutamakan damai. Apatah lagi kalau dia mengucapkan dia orang Islam. Orang yang telah mengucapkan itu jangan kamu katakan bahwa dia tidak Islam. Janganlah kamu katakan bahwa dia mengucapkan itu hanya dengan mulutnya saja, sedang hatinya tidak Islam. Engkau tidaklah dapat mengetahui apa yang dalam hati orang.
Janganlah kamu berlaku demikian terhadap orang yang telah memberi salam, “Karena kamu mengharapkan kehidupan dunia." Ini adalah celaan yang keras tetapi dilakukan dengan cara halus oleh Allah. Yaitu jangan kamu terburu-buru membunuh orang yang telah mengucapkan salam kepadamu lalu menuduhnya belum Islam karena kamu mengharapkan dengan sebab kematiannya itu hendak merampas harta bendanya. Sebab di dalam peperangan halai mengambil harta-rampasan kepunyaan musuh (ghanimah) Janganlah sampai kamu terburu menghilangkan jiwa karena mengharapkan harta rampasan karena harta hanyalah kekayaan sementara dunia ini saja. Dia tidak akan kekal; yang kekal hanyalah takwa dan amal saleh jua, “Padahal di sisi Allah-lah harta yang banyak." Tidak saja dari rampasan perang kamu akan mendapat harta (ghanimah) Allah dapat membukakan lagi banyak pintu lain sebagai sumber dari harta itu, yang akan kamu dapat dengan usaha bersungguh-sungguh.
“Begitulah juga keadaan kamu dahulu." Artinya, bahwasanya orang-orang yang telah mengucapkan Islamnya di antara kaumnya yangmasih kafir. Janganlah kamu bunuh mereka dengan terburu karena menyangka mereka belum Islam. Sebab di dalam kalanganmu sendiri pun di zaman dahulu pernah juga kejadian demikian pada diri orang-orang yang mula-mula masuk Islam, bukan orang-orang penting. Bukankah orang-orang yang telah menyatakan Islam pada permulaan datangnya dakwah Islam mengerjakan agamanya dengan sembunyi-sembunyi. Sampai kalau akan mengadakan pengajian dengan Rasulullah, dengan sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam, Barulah mereka berani mengerjakan Islam dengan terang-terangan setelah Umar bin Khaththab menyatakan diri memeluk Islam."Maka memberi kumialah Allah kepadamu," yaitu dengan membukakan jalan buat hijrah ke Madinah, Setelah terbuka pintu hijrah ke Madinah itu, bukankah orang Islam menderita selama di Mekah?
Itu adalah penafsiran pertama. Penafsiran kedua ialah, “Bukankah kamu sendiri dahulunya kafir penyembah berhala? Seperti orang yang kamu tuduh masih kafir itu? Kemudian kamu telah diberi kurnia pertunjuk oleh Allah? Bukankah kamu masuk Islam memang berbagai ragam juga. Ada yang betul-betul dari keinsafan dan kesadaran, dan ada juga yang masuk Islam mulanya karena memelihara diri dari serangan tentara Islam, lama-lama menjadi Islam betul? Kalau demikian keadaanmu dahulu, janganlah kamu buru-buru mencap kafir orang yang telah mengucapkan salam kepadamu. Susunan ayat Allah ini dapatlah kita misalkan dengan teguran kepada seorang dewasa yang nyinyir, memarahi kanak-kanak yang nakal. Lalu diberi ingat kepadanya, “Bukankah engkau pun dahulunya kanak-kanak dan ugal-ugalan juga?"
Setelah peringatan Allah ini disampaikan, diulangilah kembali peringatan di permulaan ayat, “Sebab itu telitilah." Jangan terburu-buru, selidikilah dan jelasilah sebelum melakukan bunuh. Bila telah datang seseorang mengucapkan salam atau mengucapkan kalimat syahadat, jangan langsung dibunuh. Sebab di serata-rata tanah Arab yang belum menyatakan takluk kepada Rasulullah ﷺ memang ada orang-orang yang telah Islam dengan sembunyi-sembunyi. Sekarang datang tentara dari kawan seagamanya, tentu kepada kawan itu dengan segera dia menyatakan diri dengan mengucapkan tanda-tanda dari orang Islam yaitu salam,
“Sesungguhnya Allah adalah Amat Tahu apa yang kamu kerjakan."
Ujung ayat ini penting sekali untuk memberi peringatan jangan sampai terjadi percampur aduk nafsu inginkan harta rampasan dengan alasan yang dicari-cari untuk membunuh seseorang yang telah mengucapkan salam. Karena meskipun dengan lidah boleh didinding “aku tidak tahu" namun hakikat yang sebenarnya Allah lebih tahu. Kalau dalam jiwamu tersimpan maksud membunuh karena harapkan harta rampasan, kamu bisa mendapat dosa mahabesar yang telah diperingatkan pada ayat yang sebelumnya tadi, yaitu membunuh orang Mukmin dengan sengaja, yang diancam dengan empat ancaman besar, yaitu kekal dalam neraka Jahannam, mendapat kemurkaan besar dari Allah, lagi dikutuk dilaknati, dan akan mendapat siksaan yang besar. Manusia bisa diperdayakan dengan alasan lidah, namun Allah tidak! Engkau bisa terlepas dari hukuman yang dijatuhkan manusia, namun dari hukum dan murka dan kutuk Allah tidaklah akan terlepas. Selidikilah terlebih dahulu!
Di dalam ayat ini dua kali diulang menyuruh menyelidiki, Fa Tabayyanu! Dengan ini dapat pula dipahamkan betapa pentingnya “Badan Penyelidik" dalam satu angkatan perang yang selain dari mengetahui keadaan negeri yang akan diserbu, gunung dan bukitnya, lembah dan ngarainya, sungai, jalan-jalan besar dan jalan-jalan kecilnya, lebih penting pula mengetahui keadaan penduduk. Adakah agaknya di sana golongan tertindas yang harus dibela, yang sangat mengharapkan untuk dibebaskan dari kezaliman penguasa dalam negeri yang akan dimasuki itu?
Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat ini.
Satu, ialah riwayat Bukhari yang diterimanya daripada Atha dan Atha menerima dari Ibnu Abbas. Katanya, “Dalam satu penyerangan ke salah satu negeri musuh, terdapatlah seorang laki-laki dengan harta bendanya. Orang itu segera mengucapkan, ‘Assalamu'alaikum.' Tetapi patroli itu tidak memedulikan salam orangitu, dia terus dibunuh. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah ﷺ dan harta bendanya diserahkan kepada beliau. Maka turunlah ayat ini, di antaranya yang menyinggung harta itu, ‘Karena kamu mengharapkan harta dunia."‘
Menurut riwayat dari Imam Ahmad dan Ikrimah, dari Ibnu Abbas dia berkata, ‘Ada seorang laki-laki dari Bani Salim sedang menggembalakan sekawan kambing-kambingnya. Sampailah ke tempat itu Sariyah (patroli) yang dikirim Rasulullah. Orang itu langsung mengucapkan salam. Tetapi sahabat-sahabat Rasulullah itu berkata sesama mereka, “Dia mengucapkan salam hanya untuk melindungkan diri." Lalu orang itu dibunuh dan kambing-nya digiring menghadap Rasulullah ﷺ Lalu turunlah ayat ini. Tirmidzi meriwayatkan pula hadits lain yang sama maksudnya.
Ada pula satu hadits agak panjang yang dirawikan oleh Abu Bakar al-Bazzar, dari Said bin Jubair, dan Said bin Jubair menerima dari gurunya Ibnu Abbas, demikian riwayatnya, “Pada satu waktu Rasulullah mengirim satu Sariyah (patroli yang tidak dipimpin Nabi) ke sebuah negeri. Di antara anggota Sariyah itu terdapat al-Miqdad bin al-Aswad. Setelah mereka sampai ke tempat kaum yang hendak ditaklukkan itu, didapati mereka telah ber-cerai-berai. Hanya tinggal seorang raja. Orang itu mempunyai harta benda (kambing) dan dia tidak turut meninggalkan tempat itu. Setelah dilihatnya kaum Muslimin datang, dia pun mengucapkan, ‘Asyhadu alia ilaaha Ulatlah." Tetapi al-Miqdad tidak mempedulikan ucapan itu, melainkan langsung membunuh orang itu. Lalu dia ditegur oleh salah seorang kawannya, “Mengapa engkau bunuh seorang yang telah mengucapkan Asyhadu alia itaha illallah? Demi Allah, hal ini akan aku sampaikan kepada Rasulullah." Setelah mereka sampai kembali ke hadapan Rasulullah ﷺ, hal itu mereka sampaikan kepada beliau, “Seorang yang mengucapkan Laa ilaha illallah, dibunuh oleh si Miqdad!" Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Mana si Miqdad, suruh dia kemari!" (Miqdad pun datang) Bertanyalah beliau, “Hai Miqdad! Engkau bunuh seorang yang telah mengucapkan Laa ilaha illallah? Bagaimana jawabanmu nanti di hadapan Allah di hari Kiamat?" Lalu turunlah ayat ini! Selanjutnya berkatalah Rasulullah kepada Miqdad, “Orang itu adalah seorang Mukmin yang menyembunyikan imannya di antara orang-orang yang masih kafir. Karena kalian datang, dia pun menyatakan imannya di hadapan kalian, lalu engkau bunuh! Ingatlah Miqdad bahwa di Mekah dahulu, engkau pun menyembunyikan iman!"
Di dalam hadits ini ditegaskan at-Tsalabi dari Ibnu Abbas dan riwayat Abd bin Humaid dari Qatadah diterangkan pula nama yang terbunuh itu, yaitu Mirdas bin Nuhaik, dan Komandan Sariyah itu bernama Ghaiib bin Fadhalah al-Laits. Tetapi di sini disebutkan yang membunuh bukan al-Miqdad, melainkan Usamah bin Zaid.
Yang mana pun yang lebih shahih di antara riwayat itu, namun puncak kejadian dan jalan riwayat adalah sama. Yaitu tentang terjadinya pembunuhan dengan keliru. Di dalam riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Abu Hadrad, diceritakan pula telah terjadi kekeliruan seperti demikian terhadap seorang yang bernama Amir bin al-Adhbath al-Asyja'i. Dia telah mengucapkan salam, dan mengucapkan syahadat pula, namun dia dibunuh juga oleh Muhallim bin Jatstsamah dan harta bendanya dirampas, lalu dibawa ke hadapan Rasulullah ﷺ.
Bukan main sedih. Rasulullah menerima berita itu, sampai beliau berkata kepada Muhallim yang telanjur membunuh itu, “Dosamu tidak akan diampuni Allah." Mendengar itu sangat sedih hati Muhallim, sampai dia menangis tersedu-sedu di hadapan Nabi menyesali perbuatannya. Tujuh hari kemudian Muhallim meninggal dunia karena kesedihan. Maka dia pun dikuburkan. Tetapi heran sekali! Dia dimuntahkan oleh bumi. Hal itu disampaikan orang kepada Nabi ﷺ Lalu beliau berkata, “Jangankan dia, sedangkan orang yang lebih jahat dari dia diterima bumi juga. Dia dimuntahkan Allah dari bumi adalah untuk memberikan nasihat kepada kamu. Maka mayat yang dimuntahkan bumi itu diangkut orang ke celah-celah dua bukit, lalu ditimbun dengan batu-batu besar."
Dari semua cerita sebab-sebab turun ayat ini, dapatlah kita mengambil perhatian sebesar-besarnya tentang nilai-nilai budi yang ditegaskan dalam perang, menurut aturan Islam.
Begitulah terdapat berbagai ragam riwayat tentang sebab turunnya ayat ini. Semuanya itu mungkin kejadian. Al-Qaffal berkata, “Tidaklah ada penafian di antara riwayat-riwayat ini. Mungkin sekali ayat-ayat ini turun sesuai dengan tiap-tiap kejadian. Maka tiap-tiap kelompok menyangka bahwa ayat turun tersebab kejadian yang mereka alami."
Dapatlah diambil kesimpulan dari semua ayat itu bahwasanya tidaklah boleh kita terburu-buru menghukumkan kafir atas orang yang telah mengucapkan kalimat as-Salam atau orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Karena besar sekali kemungkinan di dalam pergaulan negeri yang masih kafir itu telah ada orang yang Islam, cuma takut menyatakan keislamannya. Dia baru berani setelah datang temannya seagama menaklukkan negeri itu. Bukanlah berarti seseorang Yahudi atau Nasrani yang telah mengucapkan “Assalamu'alaikum" atau membaca “Syahadat" bahwa kita langsung saja menumpahkan kepercayaan kepadanya, ingatlah Prof. Snouck Hourgronye yang sengaja mukim ke negeri Mekah beberapa tahun, lalu menukar namanya dengan Islam: Abdul Ghaffar Snouck al-Holandi. Ditukarnya pakaian Eropanya dengan pakaian Islam, berjubah dan berserban dan selalu thawaf keliling Ka'bah. Kemudian ternyata bahwa dia masuk Islam adalah untuk kepentingan pemerintah Kolonial Belanda dan hendak mengetahui dari mana sumber kekuatan Islam di tanah Aceh yang di waktu itu sedang diperangi.
Demikian juga seketika pada tahun 1965 terjadi pemberontakan kaum Komunis yang gagal di Indonesia. Ketika kaum Muslimin di beberapa daerah membasmi habis kaum Komunis, ada beberapa orang di antara mereka yang seketika akan dibunuh mengucapkan syahadat. Maka banyaklah syahadat yang mereka ucapkan itu tidak dipedulikan orang karena orang tahu bahwa belum ada sejarah menyatakan di dalam dunia ini, bahwa ada satu kaum yang lebih jahat tipu dayanya daripada kaum Komunis. Mereka mudah saja mengucap salam atau syahadat, asai maksud mereka dapat tercapai. Oleh sebab itu, kebanyakan syahadat yang mereka ucapkan itu tidaklah dipercayai orang. Tidaklah dapat kata ulama itu bahwa kaum Komunis disamakan dengan Yahudi atau Nasrani atau kaum musyrikin yang menyembah berhala. Sebab kaum Komunis nyata-nyata murtad dari agama yang mereka peluk. Dan menentang segala agama yang ada di dunia ini. Karl Marx pada mulanya ialah seorang pemeluk Agama Yahudi. Lenin keturunan Pendeta. Aidit di Indonesia dari keluarga Islam yang teguh memegang agama di Pulau Belitung. Apabila mereka telah menganut paham Komunis, bukan sajalah mereka itu non-agama (tidak beragama), bahkan membenci segala yang ada sangkut paut dengan agama. Oleh sebab itu, kalau ada orang Komunis mengucap syahadat seketika ditangkap, beratlah pendapat kita bahwasanya itu adalah penipuan belaka. Kecuali kalau mereka kembali ke dalam agama pada waktu yang tenang, bukan waktu ditangkap, dan tampak jelas bahwa mereka mengerjakan segala perintah agama (shalat, puasa, zakat, dan haji). Moga-mogalah diterima Allah tobat mereka.