Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذۡ
dan ketika
قَالَ
berkata
إِبۡرَٰهِـۧمُ
Ibrahim
رَبِّ
ya Tuhanku
أَرِنِي
perlihatkan kepadaku
كَيۡفَ
bagaimana
تُحۡيِ
Engkau menghidupkan
ٱلۡمَوۡتَىٰۖ
orang-orang mati
قَالَ
Dia berfirman
أَوَلَمۡ
apakah tidak
تُؤۡمِنۖ
kamu percaya
قَالَ
ia berkata
بَلَىٰ
ya
وَلَٰكِن
akan tetapi
لِّيَطۡمَئِنَّ
agar menentramkan
قَلۡبِيۖ
hatiku
قَالَ
Dia berfirman
فَخُذۡ
maka ambillah
أَرۡبَعَةٗ
empat
مِّنَ
dari
ٱلطَّيۡرِ
burung
فَصُرۡهُنَّ
lalu jinakkan/potong-potonglah dari mereka
إِلَيۡكَ
kepadamu
ثُمَّ
kemudian
ٱجۡعَلۡ
jadikan/letakkan
عَلَىٰ
diatas
كُلِّ
tiap-tiap
جَبَلٖ
bukit
مِّنۡهُنَّ
daripadanya
جُزۡءٗا
(tiap) bagian
ثُمَّ
kemudian
ٱدۡعُهُنَّ
panggillah dia
يَأۡتِينَكَ
niscaya dia akan datang kepadamu
سَعۡيٗاۚ
segera
وَٱعۡلَمۡ
dan ketahuilah
أَنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَزِيزٌ
Maha Perkasa
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
وَإِذۡ
dan ketika
قَالَ
berkata
إِبۡرَٰهِـۧمُ
Ibrahim
رَبِّ
ya Tuhanku
أَرِنِي
perlihatkan kepadaku
كَيۡفَ
bagaimana
تُحۡيِ
Engkau menghidupkan
ٱلۡمَوۡتَىٰۖ
orang-orang mati
قَالَ
Dia berfirman
أَوَلَمۡ
apakah tidak
تُؤۡمِنۖ
kamu percaya
قَالَ
ia berkata
بَلَىٰ
ya
وَلَٰكِن
akan tetapi
لِّيَطۡمَئِنَّ
agar menentramkan
قَلۡبِيۖ
hatiku
قَالَ
Dia berfirman
فَخُذۡ
maka ambillah
أَرۡبَعَةٗ
empat
مِّنَ
dari
ٱلطَّيۡرِ
burung
فَصُرۡهُنَّ
lalu jinakkan/potong-potonglah dari mereka
إِلَيۡكَ
kepadamu
ثُمَّ
kemudian
ٱجۡعَلۡ
jadikan/letakkan
عَلَىٰ
diatas
كُلِّ
tiap-tiap
جَبَلٖ
bukit
مِّنۡهُنَّ
daripadanya
جُزۡءٗا
(tiap) bagian
ثُمَّ
kemudian
ٱدۡعُهُنَّ
panggillah dia
يَأۡتِينَكَ
niscaya dia akan datang kepadamu
سَعۡيٗاۚ
segera
وَٱعۡلَمۡ
dan ketahuilah
أَنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَزِيزٌ
Maha Perkasa
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
Terjemahan
(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Dia (Allah) berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang.” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu dekatkanlah kepadamu (potong-potonglah). Kemudian, letakkanlah di atas setiap bukit satu bagian dari tiap-tiap burung. Selanjutnya, panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Dan) ingatlah (ketika Ibrahim berkata, "Ya Tuhanku! Perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati." Firman Allah) kepadanya (Apakah kamu tidak percaya?") akan kekuasaan-Ku dalam menghidupkan itu? Ditanyakan Ibrahim padahal Dia mengetahui bahwa Ibrahim mempercayainya, agar Ibrahim memberikan jawaban terhadap pertanyaan-Nya, hingga para pendengar pun mengerti akan maksud-Nya. ("Saya percaya", katanya) (tetapi) saya tanyakan (agar tenang) dan tenteram (hatiku) disebabkan kesaksian yang digabungkan pada pengambilan dalil (Firman-Nya, "Ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah kepadamu) dengan 'shad' yang baris di bawah dan baris di depan yang berarti jinakkanlah olehmu, lalu potong-potonglah hingga daging dan bulunya bercampur baur. (Kemudian letakkanlah di setiap bukit) yang terletak di negerimu (sebagian darinya, setelah itu panggillah ia) kepadamu (niscaya mereka akan mendatangimu dengan cepat) atau segera. (Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Tangguh.") dalam perbuatan-Nya. Maka diambilnya burung merak, burung elang, gagak dan ayam jantan, masing-masing satu ekor, lalu ia melakukan apa yang diperintahkan sambil memegang kepala masing-masing, kemudian dipanggilnya hingga beterbangan potongan-potongan burung itu menemui kelompoknya hingga lengkap, lalu menuju kepalanya yang berada di tangannya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 260
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati." Allah berfirman, "Apakah kamu tidak percaya?" Ibrahim menjawab, "Saya percaya, tetapi agar bertambah mantap hatiku." Allah berfirman, "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu potong-potonglah burung-burung itu olehmu, kemudian letakkanlah satu bagian darinya di atas masing-masing bukit. Sesudah itu panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat 260
Mereka menyebutkan beberapa penyebab yang mendorong Ibrahim a.s. bertanya seperti itu; antara lain adalah ketika ia berkata kepada Namrud, yang perkataannya itu disitir oleh firman-Nya: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan Yang mematikan.” (Al-Baqarah: 258) Maka Nabi Ibrahim ingin agar pengetahuannya yang berdasarkan keyakinan itu menjadi meningkat kepada pengetahuan yang bersifat 'ainul yaqin (kesaksian mata) dan ingin menyaksikan hal tersebut dengan mata kepalanya sendiri. Karena itulah ia berkata dalam ayat ini: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati." Allah berfirman, "Apakah kamu tidak percaya?" Ibrahim menjawab,"Saya percaya, tetapi agar bertambah mantap hatiku." (Al-Baqarah: 260)
Adapun mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari sehubungan dengan ayat ini, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Abu Salamah dan Sa'id dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Kami lebih berhak untuk ragu ketimbang Nabi Ibrahim, ketika ia berkata, "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati." Allah berfirman, "Apakah tidak percaya?" Ibrahim menjawab, "Saya percaya, tetapi agar bertambah mantap hatiku." (Al-Baqarah: 260)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Harmalah ibnu Yahya, dari Wahb dengan lafal yang sama.
Yang dimaksud dengan istilah syak (ragu) dalam hadits ini bukanlah seperti apa yang dipahami oleh orang-orang yang tidak berilmu mengenainya, tanpa ada yang memperselisihkannya. Sesungguhnya pemahaman tersebut telah dijawab oleh banyak sanggahan yang mematahkan argumentasinya. Sehubungan dengan pembahasan ini, terdapat komentar pada salinan yang ada di tangan kami. Dan sehubungan dengan masalah ini kami akan mengemukakan apa yang dikatakan oleh Al-Baghawi untuk melengkapi pembahasan ini.
Al-Baghawi mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ishaq ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Ibrahim (yaitu Ismail ibnu Yahya Al-Muzani) bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna hadits ini, sebenarnya Nabi ﷺ tidak ragu begitu pula Nabi Ibrahim a.s. mengenai masalah bahwa Allah Maha Kuasa untuk menghidupkan orang mati. Tetapi keduanya merasa ragu apakah permohonan keduanya diperkenankan untuk hal tersebut.
Abu Sulaiman Al-Khattabi mengatakan sehubungan dengan sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Kami lebih berhak untuk ragu ketimbang Ibrahim.” Di dalam ungkapan ini tidak terkandung pengakuan keraguan atas dirinya dan tidak pula atas diri Nabi Ibrahim, tetapi justru mengandung pengertian yang menghapuskan keraguan tersebut dari keduanya. Seakan-akan Nabi ﷺ berkata, "Jika aku tidak ragu tentang kekuasaan Allah ﷻ dalam menghidupkan kembali orang mati, maka Ibrahim lebih berhak untuk tidak ragu." Nabi ﷺ mengungkapkan demikian sebagai rasa rendah diri dan sopan santunnya kepada Nabi Ibrahim. Demikian pula sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Seandainya aku tinggal di dalam penjara selama Nabi Yusuf tinggal di penjara, niscaya aku mau memenuhinya.”
Di dalam pembahasan ini terkandung pemberitahuan bahwa masalah yang dialami oleh Nabi Ibrahim a.s. tidak diungkapkannya dari segi perasaan ragu, melainkan dari segi ingin menambah ilmu dengan melalui kesaksian mata. Karena sesungguhnya kesaksian mata itu dapat memberikan pengetahuan dan ketenangan hati lebih daripada pengetahuan yang didasari hanya oleh teori. Menurut suatu pendapat, ketika ayat ini (Al-Baqarah: 260) diturunkan, ada segolongan kaum yang mengatakan, "Nabi Ibrahim ragu, sedangkan Nabi kita tidak ragu." Maka Rasulullah ﷺ mengucapkan sabdanya yang telah disebutkan di atas sebagai ungkapan rasa rendah hati dan bersopan santun kepada Nabi Ibrahim a.s.sehingga beliau mendahulukan Nabi Ibrahim atas dirinya sendiri.
Firman Allah ﷻ: Allah berfirman, "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu potong-potonglah burung-burung itu olehmu." (Al-Baqarah: 260)
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai jenis keempat burung itu, sekalipun tidak ada faedahnya menentukan jenis-jenisnya; karena seandainya hal ini penting, niscaya Al-Qur'an akan menyebutkannya dengan keterangan yang jelas. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia pernah mengatakan, "Keempat burung tersebut terdiri atas burung Garnuq, burung merak, ayam jago, dan burung merpati." Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Ibrahim mengambil angsa, anak burung unta, ayam jago, dan burung merak.
Mujahid dan Ikrimah mengatakan bahwa keempat burung tersebut adalah merpati, ayam jago, burung merak, dan burung gagak.
Firman Allah ﷻ: “Dan potong-potonglah burung-burung itu olehmu.” (Al-Baqarah: 260)
Yakni memotong-motongnya (sesudah menyembelihnya). Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Abul Aswad Ad-Duali, Wahb ibnu Munabbih, Al-Hasan, As-Suddi dan lain-lain.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan ikatlah burung-burung itu olehmu.” (Al-Baqarah: 260) Setelah burung-burung itu diikat, maka Nabi Ibrahim menyembelihnya, kemudian menaruh tiap bagian dari burung-burung itu pada tiap bukit.
Mereka mengatakan bahwa Nabi Ibrahim menangkap empat ekor burung, lalu menyembelihnya, kemudian memotong-motongnya, mencabuti bulu-bulunya, dan mencabik-cabiknya. Setelah itu sebagian dari burung-burung itu dicampuradukkan dengan sebagian yang lain. Kemudian dibagi-bagi menjadi beberapa bagian dan menaruh sebagian darinya pada tiap bukit. Menurut satu pendapat ada empat buah bukit, dan menurut pendapat lain ada tujuh buah bukit.
Ibnu Abbas mengatakan, Nabi Ibrahim memegang kepala keempat burung itu pada tangannya. Kemudian Allah ﷻ memerintahkan kepada Ibrahim agar memanggil burung-burung itu. Maka Ibrahim memanggil burung-burung itu seperti apa yang diperintahkan oleh Allah ﷻ. Nabi Ibrahim melihat bulu-bulu burung-burung tersebut beterbangan persis ke arah tempatnya semula, darah beterbangan ke arah tempatnya semula, dan daging beterbangan ke arah tempatnya semula pula; masing-masing bagian dari masing-masing burung bersatu dengan bagian lainnya, hingga masing-masing burung bangkit seperti semula, lalu datang kepada Ibrahim dengan berlari, dimaksudkan agar lebih jelas dilihat oleh orang yang meminta kejadian tersebut.
Lalu masing-masing burung datang mengambil kepalanya yang ada di tangan Nabi Ibrahim a.s. Apabila Nabi Ibrahim mengulurkan kepala yang bukan milik burung yang bersangkutan, burung itu menolak; dan bila Ibrahim mengulurkan kepala yang dimiliki burung bersangkutan, maka menyatulah kepala itu dengan tubuhnya berkat kekuasaan Allah ﷻ. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 260) Yakni Maha Perkasa, tiada sesuatu pun yang mengalahkan-Nya, dan tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi-Nya; semua yang dikehendaki-Nya pasti terjadi tanpa ada yang mencegah-Nya, karena Dia Maha Menang atas segala sesuatu, lagi Maha Bijaksana dalam semua firman, perbuatan, syariat serta kekuasaan-Nya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub sehubungan dengan firman-Nya: “Tetapi agar bertambah mantap hatiku.” (Al-Baqarah: 260) Bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Tiada suatu ayat pun di dalam Al-Qur'an yang lebih aku harapkan selain darinya (Al-Baqarah: 260)."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah; ia pernah mendengar Zaid ibnu Ali menceritakan atsar berikut dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Abbas dan Abdullah ibnu Amr ibnul As sepakat mengadakan pertemuan, saat itu kami masih berusia muda. Salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, "Ayat apakah di dalam Kitabullah yang paling diharapkan olehmu untuk umat ini?" Maka Abdullah ibnu Amr membacakan firman-Nya: Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." (Az-Zumar 53) Ibnu Abbas berkata, "Jika kamu mengatakan itu, maka aku katakan bahwa ayat yang paling kuharapkan dari Kitabullah untuk umat ini ialah ucapan Nabi Ibrahim," yaitu: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati?" Allah berfirman, "Apakah kamu tidak percaya?" Ibrahim menjawab, "Saya percaya, tetapi agar bertambah mantap hatiku." (Al-Baqarah: 260)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh Katib Al-Al-Laits, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Salamah, dari Amr, telah menceritakan kepadaku Ibnul Munkadir, bahwa ia pernah bertemu dengan Abdullah ibnu Abbas dan Abdullah ibnu Amr ibnul As. Lalu Abdullah ibnu Abbas berkata kepada Ibnu Amr ibnul As, "Ayat Al-Qur'an apakah yang paling kamu harapkan menurutmu?" Abdullah ibnu Amr membacakan firman-Nya: Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah." (Az-Zumar: 53), hingga akhir ayat. Maka Ibnu Abbas berkata, "Tetapi menurutku adalah firman Allah ﷻ: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, 'Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati'. Allah berfirman, 'Apakah kamu belum percaya?' Ibrahim menjawab, 'Saya percaya.' (Al-Baqarah: 260), hingga akhir ayat." Allah rida kepada Ibrahim setelah dia mengatakan bala (saya percaya).
Hal ini terjadi setelah timbul keinginan itu di dalam hatinya dan setan menghembuskan godaan kepadanya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Abdullah, yaitu Muhammad ibnu Ya'qub ibnul Ahzam, dari Ibrahim ibnu Abdullah As-Sa'di, dari Bisyr ibnu Umar Az-Zahrani, dari Abdul Aziz ibnu Abu Salamah berikut sanadnya dengan lafal yang serupa. Selanjutnya Imam Hakim mengatakan bahwa sanad atsar ini shahih, padahal keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Dan bukti lain dari kekuasaan Allah menghidupkan dan mematikan adalah ketika Ibrahim berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati. Allah berfirman dengan balik bertanya, Belum percayakah engkau' Dia, Nabi Ibrahim, menjawab, Tidak! Aku percaya, tetapi aku minta diperlihatkan agar dengan hal itu keyakinanku bertambah sehingga hatiku semakin tenang dan mantap. Nabi Ibrahim bukannya meragukan kekuasaan Allah menghidupkan dan mematikan; dia hanya ingin tahu prosesnya. Allah mengabulkan permintaan Ibrahim. Dia berfirman, Kalau begitu, ambillah empat ekor burung yang berbeda jenisnya; sembelihlah, lalu cincanglah olehmu, kemudian campurlah cincangannya dan letakkan di atas masingmasing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. Cincangan-cincangan burung kembali menyatu, hidup seperti sediakala, dan terbang dengan cepat ke arah Nabi Ibrahim. Ketahuilah, Allah Mahaperkasa, tidak ada yang dapat mengalahkan-Nya, Mahabijaksana dalam segala ucapan, perbuatan, ajaran dan ketetapan-Nya.
Setelah menjelaskan kekuasaan-Nya menghidupkan makhluk yang telah mati, Allah beralih menjelaskan permisalan terkait balasan yang berlipat ganda bagi orang yang berinfak di jalan Allah. Perumpamaan keadaan yang sangat mengagumkan dari orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dengan tulus untuk ketaatan dan kebaikan, seperti keadaan seorang petani yang menabur benih. Sebutir biji yang ditanam di tanah yang subur menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji sehingga jumlah keseluruhannya menjadi tujuh ratus. Bahkan Allah terus melipatgandakan pahala kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat atau lebih bagi siapa yang Dia kehendaki sesuai tingkat keimanan dan keikhlasan hati yang berinfak. Dan jangan menduga Allah tidak mampu memberi sebanyak mungkin, sebab Allah Mahaluas karunia-Nya. Dan jangan menduga Dia tidak tahu siapa yang berinfak di jalan-Nya dengan tulus, sebab Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak menerima karunia tersebut, dan Maha Mengetahui atas segala niat hamba-Nya.
Ayat ini menambahkan suatu perumpamaan lain tentang kekuasaan Allah untuk menghidupkan kembali makhluk yang telah mati. Kalau pada ayat 258 dikemukakan peristiwa dialog antara Nabi Ibrahim dengan raja Namrud, maka pada ayat ini diceritakan dialog antara Nabi Ibrahim dan Tuhannya. Dengan penuh rasa kerendahan dan pengabdian kepada Allah, Ibrahim a.s. mengajukan permohonan kepada-Nya agar Dia bermurah hati untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana cara Allah menghidupkan makhluk yang telah mati.
Jika diperhatikan sepintas lalu, maka permohonan Nabi Ibrahim ini memberikan kesan bahwa dia sendiri seolah-olah masih mempunyai keraguan tentang kekuasaan Allah menghidupkan kembali orang yang telah mati. Sebab itu Allah berfirman kepadanya, "Apakah engkau masih belum percaya bahwa Aku dapat menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati?" Akan tetapi yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah demikian, sebab Nabi Ibrahim sama sekali tidak mempunyai keraguan tentang kekuasaan Allah. Beliau mengajukan permohonan itu kepada Allah bukan karena keragu-raguan, melainkan karena ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana caranya Allah menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati. Maka Ibrahim menjawab, "Aku sedikit pun tidak meragukan kekuasaan Allah, akan tetapi aku mengajukan permohonan itu untuk sampai kepada derajat 'ainul yaqin, yaitu keyakinan yang diperoleh setelah menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, sehingga hatiku menjadi lebih tenteram, dan keyakinanku menjadi lebih kuat dan kokoh.
Allah mengabulkan permohonan itu, lau Nabi Ibrahim diperintahkan untuk memotong-motong empat ekor burung, kemudian meletakkan bagian-bagian tubuh burung tersebut pada bukit yang saling berjauhan letaknya. Ibrahim diperintahkan untuk memanggil burung-burung yang telah dipotong-potong itu, ternyata burung-burung itu datang kepadanya dalam keadaan utuh seperti semula. Tentu saja Allah mengembalikan burung-burung itu lebih dahulu kepada keadaan semula, sehingga dapat datang memenuhi panggilan Ibrahim a.s. Dengan ini permohonan Ibrahim a.s. kepada Allah untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana Allah menghidupkan kembali makhluk yang telah mati dapat terpenuhi, sehingga hatinya merasa tenteram dan keyakinannya semakin kokoh.
Pendapat lain mengatakan bahwa Nabi Ibrahim diperintahkan agar Ibrahim a.s. mengambil burung-burung itu untuk dijinakkan. Kemudian Allah ﷻ menyuruh Ibrahim a.s. meletakkan masing-masing burung itu di atas bukit tertentu yang berjauhan letaknya satu dengan yang lain.
Sesudah itu Ibrahim a.s. diperintahkan-Nya untuk memanggil burung tersebut. Dengan suatu panggilan saja, burung itu datang kepadanya dengan patuh dan taat. Demikian pulalah halnya umat manusia di hari akhirat nanti. Apabila Allah ﷻ memanggil mereka dengan suatu panggilan saja, maka bangkitlah makhluk itu dan datang kepada-Nya serentak, dengan taat dan patuh.
Pada akhir ayat ini Allah ﷻ memperingatkan Ibrahim a.s. dan semua manusia, agar mereka meyakini benar bahwa Allah Mahakuasa dan Mahabijaksana. Artinya: Kuasa dalam segala hal, termasuk menghidupkan kembali makhluk yang telah mati dan Dia Mahabijaksana terutama dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada hamba-Nya, menuju jalan yang lurus dan benar.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SATU CONTOH DARI THAGHUT
Allah kemudian mengemukakan suatu contoh dari wali thaghut itu, yaitu Raja Namrudz yang terkenal dalam sejarah sebelum Kerajaan Babil. Dengan raja itulah, Ibrahim yang menegakkan perwalian Allah mulai berhadapan (konfrontasi). Sebagaimana kita ketahui dalam riwayat-riwayat Al-Qur'an, Ibrahim telah menghancurkan berhala dengan kapak, lalu ditinggalkannya berhala yang paling besar. Dia ditangkap dan dihadapkan ke muka majelis raja, terjadi soal-jawab sebagaimana tersebut dalam surah al-Anbiyaa' dari ayat 51 sampai ayat 73. Sampai Ibrahim dibakar mereka, tetapi diselamatkan Tuhan Allah dari api. Ketika Raja Namrudz menanyakan siapa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan Allah itu, dia telah menjawab bahwa Allah itulah yang menghidupkan dan mematikan.
Ayat 258
“Atau tidakkah engkau pikirkan dari hal orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya?"
Pangkal ayat ini mengajak kepada Rasul khususnya dan umat beriman umumnya untuk memikirkan kisah ini. Orang itu ialah Raja Namrudz sendiri."Lantaran Allah telah memberikan kerajaan kepadanya!' Suatu pengajaran ilmu jiwa yang mendalam dari Al-Qur'an, yaitu seorang manusia, oleh karena diberi Allah kekuasaan dan kerajaan, sombong, lupa diri, lupa segala, merasa awak sangat berkuasa, sebab itu perkataan yang keluar pun tidak ada batasnya lagi sebab merasa tidak ada juga orang yang berani membantah."Tatkala Ibrahim berkata, Tuhankulah yang menghidupkan dan mematikan!" Di hadapan raja itu Ibrahim telah menerangkan siapa Tuhan bahwa Allah-lah yang mematikan dan menghidupkan. Akan tetapi, karena memang dasar jiwa orang yang merasa berkuasa tidak berbatas itu sombong dengan kekuasaannya, boleh dipikirkannya dengan panjang apa maksud Ibrahim mengatakan demikian, langsung saja beliau sambut,
“Dia berkata, ‘Akulah yang menghidupkan dan mematikan!" Nyawa dari seluruh rakyat negeriku ini ada dalam tanganku. Kalau mereka dituduh bersalah lalu dihadapkan kepadaku, aku berkuasa memerintahkan supaya dia dibiarkan hidup terus dan aku pun berkuasa pula menjatuhkan keputusan bahwa dia mesti dihukum mati.
Rupanya raja tidak mau tahu apa yang dimaksud Ibrahim dengan menghidupkan dan mematikan. Dia tidak mau tahu bahwa rakyatnya itu pun sendiri ketika lahir ke dunia bukanlah atas kehendaknya dan kalau mereka mati sewajarnya, tidaklah dia berkuasa menghalangi kematian itu. Padahal yang dapat diberinya ampun atau dibiarkan hidup atau disuruh hukum mati ialah rakyat yang dihadapkan kepadanya atau budak-budak yang ada di dalam istana. Dia tidak mau mengerti bahwa rakyat yang sebanyak itu dalam negerinya bukanlah menerima makanan dari dia, melainkan dari karena menerima buah hasil dari bumi. Dia pun tidak mau mengerti bahwa dia sendiri pun tidak akan bisa duduk di atas singgasana kerajaan kalau rakyat itu tidak bisa bercocok tanam lagi. Oleh sebab tidak mau mengerti ini, Ibrahim pun meneruskan perkataannya, “Berkata Ibrahim, ‘Maka sesungguhnya Allah mendatangkan matahari dari timur maka cobalah datangkan matahari itu dari barat!" Dengan sambungan kata yang demikian, Ibrahim telah membawa raja berpikir yang lebih luas, bukan berpikir sekadar di bawah cangkung kursi ke-kuasaannya raja. Allah, Tuhan Ibrahim, menganugerahi manusia hidup, terutama dari teraturnya perjalanan matahari dari timur ke barat, sehingga terjadi edaran siang dan malam. Di siang hari manusia mencari makan, di waktu malam manusia beristirahat, termasuk Namrudz sendiri. Kalau tidak ada peraturan sedemikian, cobalah engkau ubah perjalanan matahari, balikkan matahari itu dari barat ke timur, kalau memang engkau yang kuasa menghidup dan mematikan. Sekarang baru dia mengerti apa maksud Ibrahim, “Maka terdiamlah orang yang kafir itu" Dia tidak dapat menjawab lagi. Dasar berpikirnya salah, sebab itu dia terdiam.
“Dan Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim."
Itulah sebab dia terdiam. Sebab, dia telah mengambil jalan yang salah, jalan yang zalim, yaitu yang tidak sesuai dengan akal yang sehat. Apabila orang telah zalim, perkataan yang akan dikeluarkan tidak ditimbangnya lagi. Sebab itu, kalau datang perkataan yang benar, keluar dari pikiran teratur, dia tidak dapat menjawab lagi.
Pimpinan yang tidak berdasar pada kebenaran Allah tadi dinamai pimpinan thaghut. Sebab itu, penguasa-penguasa zalim sebagaimana Namrudz itu dalam bahasa Arab biasa disebut thaghiyah dan yang disebut orang Barat sebagai tirani.
Perkataannya kerap kali telanjur salah dan dia tidak sadar akan kesalahan itu. Malahan dia selalu menganggap dirinya benar sebab orang di kiri-kanannya tidak ada yang berani menegur kesalahannya. Kian lama dia kian tidak berpijak di bumi lagi. Maka, kalau perkataannya yang salah itu ada orang yang berani menyebut dan menyatakan salahnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim itu, dia pasti terdiam. Biasanya timbullah kegun-cangan dalam hatinya, rupanya ada pula orang yang bisa mengeluarkan perkataan yang berlainan gayanya dari perkataannya. Di saat yang demikian, biasanya timbullah takutnya. Takut akan terganggu kekuasaannya. Karena, ketakutannya itulah biasanya dia mengambil tindakan yang berani dan tidak lagi bersandar kepada kebenaran serta keadilan, tetapi bersandar kepada kekuatan dan kekuasaan. Itulah sebabnya, ketika di dalam pertukaran pikiran dengan Ibrahim, dia selalu di pihak yang kalah, sebab salah! Lantaran itu, dia pun mengambil tindakan amat berani, yang dengan demikian kekuasaan dapat membungkam kebenaran. Dia memerintahkan membakar Ibrahim dengan api.
Apa salah Ibrahim?
Kesalahannya tidak ada, cuma dia tidak berkuasa. Yang salah dan yang zalim ialah Namrudz, tetapi dia berkuasa. Niscaya yang dibakar ialah Ibrahim.
Syukurlah Allah mempertunjukkan ke-kuasaan-Nya yang lebih tinggi. Ibrahim tidak hangus badannya dalam unggun api, bahkan sehat wal afiat dan keluar dengan selamat. Keluar dari dalam unggunan api dengan selamat maka dia pun berangkat meninggalkan negeri itu. Sementara itu, menanglah Namrudz sebab gangguan tidak ada lagi. Akan tetapi, kemenangan penghabisan didapatlah oleh Ibrahim sebab dia menegakkan keyakinan kepada Allah Yang Mahakuasa, yang disambung oleh anak-cucunya.
Ayat 259
“Atau seperti orang yang pernah melalui satu negeri, sedangkan negeri itu telah runtuh bangunan-bangunannya."
Di dalam ayat tidaklah disebutkan siapa orang itu dan di mana negeri itu, tetapi ahli-ahli tafsir mencoba juga menaksir siapa orangnya dan di mana negerinya. Kata setengahnya, orang itu ialah seorang nabi, sedangkan kata yang lain ialah seorang yang amat saleh. Dalam satu perjalanan dia melalui satu negeri yang telah runtuh, pohon-pohon telah tinggi-tinggi, tidak ada manusia yang mendiaminya lagi. Bangunan-bangunannya telah runtuh, dia hanya bertemu dengan bekas dari suatu negeri yang dahulu pernah didiami manusia. Dalam kitab-kitab Melayu lama diungkapkan “telah jadi padang tekukur" Melihat keadaan yang demikian, “Dia berkata, ‘Bagaimanakah agaknya kelak Allah akan menghidupkannya sesudah matinya?"‘ Itulah pertanyaan yang timbul dalam hati nabi atau orang saleh yang mengembara itu. Bisakah agaknya negeri ini dibangun Allah kembali? Dan bagaimanakah cara pembangunannya? Padahal yang tinggal hanya bekas-bekas negeri saja? Setelah dia bertanya-tanya demikian dalam hati sendiri, “Maka dimatikanlah dia oleh Allah seratus tahun, kemudian itu, Dia bangkitkan kembali." Menurut keterangan setengah ahli tafsir, bukanlah dia terus dimatikan, tetapi diperbuat Allah sebagai keadaan penghuni gua (Kahfi) yang ditidurkan 309 tahun lamanya. Ini karena sebagaimana tersebut di dalam surah az-Zumar: 42, ketika orang itu tidur, dia diwafatkan oleh Allah dan kalau dia telah benar-benar dimatikan, Ruh itu tidak dikembalikan lagi kepada badannya sehingga tidurlah dia buat selama-lamanya. Maka, setelah seratus tahun lamanya Nabi atau orang saleh itu diwafatkan, dia pun dibangkitkan Allah kembali. Setelah dia dibangunkan kembali, bertanya Dia, “Berapa lamanya engkau telah diam?" Dia menjawab, “Aku telah berdiam sehari atau sebagian hari" Dia menjawab demikian karena dari sangat enaknya tidur, perasaan telah dicabut dari badannya. Sedangkan kita tidur biasa sepanjang malam dapat merasakan hanya sebentar saja, padahal orang yang matanya tidak mau tertidur, yang berbaring di dekat kita, merasakan malam terlalu panjang. Tidaklah dia tahu bahwa dia telah ditakdirkan Allah tertidur, laksana mati sampai seratus tahun. Maka, berfirman Dia, “Bahkan engkau telah berdiam seratus tahun." Setelah Allah memberitahukan kepadanya bahwa dia telah dihilangkan perasaan selama seratus tahun, barulah dia tahu. Padahal setelah dibangunkan dan tidurnya, dia hanya merasa sebagai tidur sehari atau setengah hari saja. Selanjutnya Allah berfirman, “Maka lihatlah kepada makananmu dan minumanmu itu, tidaklah dia berubah." Allah tidak menyebutkan di dalam ayat, makanan apakah yang tidak berubah keadaannya, artinya masih bisa dimakan, padahal sudah terletak selama seratus tahun, Niscaya ini pun adalah salah satu dari ayat ketentuan Allah jua adanya."Dan lihatlah kepada keledaimu." Menurut ahli tafsir, dia disuruh memperhatikan keledainya yang telah lama mati dan telah berserak-serak tulang-tulangnya, yang membuktikan bahwa memang masa dia tertidur itu sudah berlalu lama sekali, yaitu seratus tahun. Setengah ahli tafsir lagi menafsirkan bahwa dia disuruh memperhatikan keledai itu karena dia bukan dimatikan pula, melainkan masih tetap hidup, sebagaimana makanan yang seratus tahun tidak berubah itu. Selanjutnya Allah berfirman, “Dan oleh karena Kami hendak menjadikan engkau suatu tanda bagi manusia." Artinya bahwa tidurmu yang sudah laksana mati selama seratus tahun adalah untuk menjadi tanda bukti kekuasaan Allah bagi manusia. Orang yang telah hilang tidak tentu ke mana perginya, sudah seratus tahun, niscaya sudah dihitung mati oleh kaum keluarganya yang tinggal.
Masa seratus tahun adalah masa sekurang-kurangnya tiga atau empat perselisihan (generasi). Nenek moyang seratus tahun yang lalu tentu bercerita kepada anak-cucunya bahwa ada nenek moyang mereka yang hilang tidak pulang-pulang lagi. Kemudian setelah seratus tahun dia pun pulang kembali. Di dalam setengah tafsir dikatakan bahwa setelah dia pulang kembali, didapatinya cucunya telah tua-tua bungkuk penuh uban, sedangkan keadaan dirinya tidak banyak perubahan. Ditunjukkannya bukti-bukti tentang siapa dirinya, siapa keluarganya, yang semuanya tidak dapat dibantah orang, hampir sama kejadiannya dengan kisah penduduk Kahfi. Maka, bertambah percayatah manusia-manusia itu akan kekuasaan Allah, “Dan lihatlah kepada tulang-tulang itu, betapa Kami membangkitkannya kembali kemudian Kami pakaikan kepadanya daging." Menurut jalan penafsiran satu golongan tadi bahwasanya keledai itu telah tinggal tulang yang berserak-serak maka dengan lanjutan ayat ini Allah berfirman bahwa tulang yang berserak itu sekarang diberi berdaging kembali dan hidup. Dan, menurut Syekh Muhammad Abduh, firman Allah ini adalah pandangan yang umum bahwasanya tulang sebagaimana rangka badan manusia atau sebagaimana rangka binatang. Maka, kuasalah Allah memberinya bungkusan dengan daging, sejak dari masa mulai lahir ke dunia sampai besar dan mati. Allah yang Mahakuasa menumbuhkan daging dan tulang menjadi tubuh, sejak masa kecil sampai berhenti hidup, adalah satu qudrat-iradat Ilahi Mahabesar. Lantaran itu, membangun kembali negeri yang telah runtuh sehingga hidup kembali dengan lincahnya, bukanlah barang yang mustahil bagi Allah. Dan, kelak bila Kiamat datang, manusia pun dibangkitkan kembali buat menempuh hidup akhirat, pun bukan hal yang mustahil bagi Allah.
“Maka tatkala sudah jelas kepadanya, berkatalah dia, Tahulah aku (sekarang) bahwasanya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa.
Keterangan: Ahli-ahli tafsir setengah berpendapat bahwa orang yang disebutkan ini mungkin seorang nabi ataupun mungkin seorang yang amat saleh, yang telah mencapai derajat shiddiqin. Sebab itu, untuk menambah keyakinannya kepada Allah, Allah telah mempertunjukkan ayat-ayat (bukti-bukti) kebesaran dan kekuasaan-Nya itu kepadanya. Sebab, kepada orang yang hatinya telah kufur, tidaklah Allah akan berkenan menunjukkan yang demikian. Menjadi tafsir lagi dari ayat bermula di atas bahwasanya Allah telah menjadi wali dari orang yang beriman, mengeluarkan mereka dari pada gelap kepada cahaya. Adapun orang yang kafir, walinya ialah thaghut, yang mengeluarkannya dari cahaya kepada gelap.
Yang kedua, teranglah bahwa tidur nyenyak selama seratus tahun, tulang diberi pakaian daging kembali, atau makanan tidak rusak selama seratus tahun, semuanya ini termasuk ayat kebesaran Allah, yang bila terjadi pada nabi-nabi, mukjizat namanya. Adapun mukjizat bukanlah perkara yang mustahil pada akal, cuma berbeda dari yang kebiasaan. Tidur seratus tahun bukanlah hal yang mustahil. Sebab, telah pernah ada orang yang tertidur nyenyak sampai 5.500 hari atau 15 tahun, yang diceritakan orang kepada sebuah majalah ilmu pengetahuan al-Moktataf pada tahun 1904 di Mesir. Tidur selama lima belas tahun bukanlah mustahil, tidak masuk akal, cuma jarang sekali terjadi. Jarang terjadi bukan berarti tidak bisa kejadian. Maka, keterangan Al-Qur'an pada orang tidur 100 tahun atau 309 tahun, memanglah hal yang sangat jarang terjadi. Itulah dia yang menjadi ayat atau bukti kebesaran Allah. Dan, kita sebagai Muslim pun tentu tidak akan segera menerima saja perkabaran begini dari mana pun datangnya kecuali apa yang telah dikatakan oleh Al -Qur'an.
Allah kemudian menunjukkan lagi contoh yang ketiga tentang bagaimana Allah memimpin orang yang beriman untuk mengeluarkan mereka dari gelap kepada terang benderang. Ini terjadi pada Nabi Ibrahim a.s. sendiri.
Ayat 260
“Dan ingatlah tatkala berkata Ibrahim, ‘Ya, Tuhanku! Perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang yang telah mati, Berfirman Dia, ‘Apakah engkau tidak pencaya?' Berkata dia, ‘Sekali-kali bukan begitu, akan tetapi untuk menetapkan hatiku."
Pada ayat ini teranglah bahwa Nabi Ibrahim ingin menambah pengetahuannya. Dia ingin kenaikan derajat imannya dari ilmul yaqin menjadi ‘ainul yaqin. Oleh sebab itu, kalau dia memohon kepada Allah supaya Allah memperlihatkan kepadanya bagaimana Allah menghidupkan orang yang telah mati kelak, bukanlah karena dia tidak percaya atau kurang percaya. Allah menanyakan kepadanya apakah dia tidak percaya? Bukan berarti Allah tahu bahwa belum percaya Ibrahim akan firman Allah. Pertanyaan Ibrahim kepada Allah yang demikian samalah dengan keadaan yang telah kita alami di zaman modern ini. Semua orang yang menaruh pesawat televisi di rumahnya sudah tahu bahwa dari tempat jauh kita dapat melihat rupa orang yang sedang bercakap atau menyanyi dengan melihatnya di layar televisi. Akan tetapi, ada pula orang yang mau tahu bagaimana seluk beluk pesawatnya sehingga dipelajarinyalah lebih mendalam lagi. Dia sudah percaya, tetapi dia ingin menambah pengetahuannya sehingga derajat kepercayaan naik setingkat lagi. Maka, diperkenankan Allah-lah permohonan Khalil Allah Ibrahim itu,
“Berfirman Dia, ‘Kalau begitu, ambillah empat ekor burung dan jinakkanlah dia kepada dirimu. Kemudian letakkanlah di atas tiap-tiap gunung darinya sebagian-sebagian, kemudian itu panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepada engkau dengan segera. Dan, ketahuilah bahwasanya Allah adalah Mahagagah, lagi Mahabijaksana.'"
Menurut tafsir yang umum. Tuhan memerintahkan Ibrahim mengambil empat ekor burung lalu diajar dan diasuh sehingga dia jinak benar-benar dapat disuruh terbang dan dapat dipanggil kembali. Dapat kita umpamakan sebagai orang mengajar burung merpati buat mengantar-antarkan surat, sehingga ke mana pun dia lepaskan, karena dia sudah diajar jinak, dia pun mesti kembali pulang juga. Kata tafsir itu selanjutnya, Allah memerintahkan menyembelih keempat burung itu dan mengocoknya jadi satu lalu dibagi-bagi dan sebagian-sebagian diantarkan ke puncak gunung. Apakah Ibrahim sendiri yang mengantarkan atau orang lain yang disuruhnya, tidaklah dijelaskan. Burung-burung yang telah cair dan dibagi-bagi itu kemudian dipanggil pulang kembali maka mereka pun telah pulang lengkap dengan tulang, daging, dan bulunya masing-masing, persis burung-burung yang telah dicencang itu.
Dan, dengan kata penutup ayat, menyuruh kita ingat dan mengetahui bahwa Allah adalah Mahagagah dan Bijaksana, dapatlah kita pahamkan betapa Allah mengaruniakan kegagahan-Nya itu kepada manusia sehingga manusia sanggup menguasai burung-burung liar di hutan, dan dengan karunia bijaksana Allah, manusia pun dapat pula menjinakkan dan mengajar burung-burung itu sehingga dapat diambil faedahnya.