Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱهۡدِنَا
tunjukkan kami
ٱلصِّرَٰطَ
jalan
ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
lurus
ٱهۡدِنَا
tunjukkan kami
ٱلصِّرَٰطَ
jalan
ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
lurus
Terjemahan
Bimbinglah kami ke jalan yang lurus,
Tafsir
(Tunjukilah kami ke jalan yang lurus) Artinya bimbinglah kami ke jalan yang lurus, kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya, yaitu:.
Tafsir Surat Al-Fatihah: 6
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
Bacaan yang diucapkan oleh jumhur ulama adalah ash-shirat dengan memakai shad. Tetapi ada pula yang membacanya ‘sirat’ dengan memakai sin, ada pula yang membacanya ‘zirat’ dengan memakai za, menurut Al-Farra berasal dari dialek Bani Uzrah dan Bani Kalb.
Setelah pujian dipanjatkan terlebih dahulu kepada Allah ﷻ, sesuailah bila diiringi dengan permohonan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis di atas, yaitu: “Separuh untuk-Ku dan separuhnya lagi buat hamba-Ku, serta bagi hamba-Ku apa yang dia minta.” Merupakan suatu hal yang baik bila seseorang yang mengajukan permohonan kepada Allah ﷻ terlebih dahulu memuji-Nya, setelah itu baru memohon kepada-Nya apa yang dia hajatkan dan juga buat saudara-saudaranya yang beriman melalui ucapannya, "Tunjukilah kami ke jalan yang lurus." Cara ini lebih membawa kepada keberhasilan dan lebih dekat untuk diperkenankan oleh-Nya; karena itulah Allah memberi mereka petunjuk cara ini, mengingat Dia paling sempurna.
Ada kalanya permohonan itu diungkapkan oleh si pemohon melalui kalimat berita yang mengisahkan keadaan dan keperluan dirinya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nabi Musa AS dalam firman-Nya: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” (Al-Qashash 24). Tetapi adakalanya permohonan itu didahului dengan menyebut sifat Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Dzun Nun dalam firman-Nya: “Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim” (Al-Anbiya: 87). Adakalanya permohonan diungkapkan hanya dengan memuji orang yang diminta, sebagaimana yang telah dikatakan oleh seorang penyair: “Apakah aku harus mengungkapkan keperluanku ataukah rasa malumu dapat mencukupi diriku, sesungguhnya pekertimu adalah orang yang pemalu, yaitu bilamana pada suatu hari ada seseorang memujimu, niscaya engkau akan memberinya kecukupan”.
Al-hidayah atau hidayah yang dimaksud dalam ayat ini adalah bimbingan dan taufik (dorongan). Lafal hidayah ini adakalanya muta'addi dengan sendirinya sebagaimana yang terdapat dalam ayat di bawah ini: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Al-Fatihah: 6). Maka al-hidayah mengandung makna ‘berilah kami ilham atau berilah kami taufik, atau anugerahilah kami, atau berilah kami’, sebagaimana yang ada dalam firman-Nya: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Al-Balad: 10). Yang dimaksud adalah ‘Kami telah menjelaskan kepadanya (manusia) jalan kebaikan dan jalan keburukan.’
Adakalanya al-hidayah muta'addi dengan ila seperti yang ada dalam firman-Nya: “Allah telah memilihnya dan memberinya petunjuk ke jalan yang lurus.” (An-Nahl: 121) Allah ﷻ telah berfirman: “Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” (Ash-Shaffat: 23) Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah bimbingan dan petunjuk, begitu pula makna yang terkandung di dalam firman lain, yaitu: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk ke jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52) Adakalanya al-hidayah ber-muta'addi kepada lam, sebagaimana ucapan ahli surga yang disitir oleh firman-Nya: “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini” (Al-A'raf: 43). Makna yang dimaksud adalah ‘segala puji bagi Allah yang telah memberi kami taufik ke surga ini dan menjadikan kami sebagai penghuninya’.
Mengenai ash-shirathal mustaqim, menurut Imam Abu Ja'far ibnu Jarir semua kalangan ahli takwil telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan shirathal mustaqim adalah ‘jalan yang jelas lagi tidak berbelok-belok (lurus)’. Pengertian ini berlaku di semua dialek bahasa Arab, antara lain seperti yang dikatakan oleh Jarir ibnu Athiyyah Al-Khatfi dalam salah satu bait syairnya, yaitu: “Amirul Mu’minin berada pada jalan yang lurus manakala jalan mulai bengkok (tidak lurus lagi).”
Menurutnya, syawahid (bukti-bukti) yang menunjukkan pengertian tersebut sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Kemudian ia mengatakan, "Setelah itu orang-orang Arab menggunakan shirat ini dengan makna isti'arah (pinjaman), kemudian digunakan untuk menunjukkan setiap ucapan, perbuatan, dan sifat baik yang lurus atau yang menyimpang. Maka jalan yang lurus disebut mustaqim, sedangkan jalan yang menyimpang disebut mu'wajj." Selanjutnya ungkapan para ahli tafsir dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf berbeda dalam menafsirkan lafal shirath ini, meskipun pada garis besarnya mempunyai makna yang sama, yaitu mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.
Telah diriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan shirath adalah Kitabullah alias Al-Qur'an. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Yaman, dari Hamzah Az-Zayyat, dari Sa'id (yaitu Ibnul Mukhtar At-Tha'i), dari anak saudaraku Al-Haris Al-A'war, dari Al-Haris Al-A'war sendiri, dari Ali ibnu Abu Thalib yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Shirathal Mustaqim adalah Kitabullah”. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Hamzah ibnu Habib Az-Zayyat. Dalam pembahasan yang lalu yaitu dalam masalah keutamaan Al-Qur'an telah disebutkan melalui riwayat Imam Ahmad dan Imam At-Tirmidzi melalui riwayat Al-Haris Al-A'war, dari Ali secara marfu, bahwa Al-Qur'an merupakan tali Allah yang kuat: dia adalah bacaan yang penuh hikmah juga jalan yang lurus. Telah diriwayatkan pula secara mauquf dari Ali. Riwayat terakhir ini lebih mendekati kebenaran.
Ats-Tsauri dari Mansur, dari Abu Wa'il, dari Abdullah telah mengatakan bahwa shirathal mustaqim adalah Kitabullah (Al-Qur'an).
Menurut pendapat lain, shirathal mustaqim adalah al-islam (agama Islam).
Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ ; "Wahai Muhammad, katakanlah. 'Tunjukilah kami jalan yang lurus'." Makna yang dimaksud adalah ‘berilah kami ilham jalan petunjuk, yaitu agama Allah yang tiada kebengkokan di dalamnya’. Maimun ibnu Mihran meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Al-Fatihah: 6). Bahwa makna yang dimaksud dengan ’jalan yang lurus’ itu adalah ‘agama Islam’.
Ismail ibnu Abdur Rahman As-Sadiyyul Kabir meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan Mun-ah Al-Hamadzani, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6). Mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah agama Islam.
Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil meriwayatkan dari Jabir sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6), dia mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah agama Islam yang pengertiannya lebih luas dari pada semua yang ada di antara langit dan bumi.
Ibnul Hanafiyyah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6). Bahwa yang dimaksud adalah ‘agama Islam yang merupakan satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah ﷻ buat hamba-Nya’.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, “yang dimaksud dengan ihdinash shirathal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus) ialah agama Islam”.
Dalam hadits berikut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya disebutkan: Telah meriwayatkan kepada kami Al-Hasan ibnu Siwar Abul Ala, telah menceritakan kepada kami Al-Laits (yakni Ibnu Sa'id), dari Mu'awiyah ibnu Saleh, bahwa Abdur Rahman ibnu Jabir ibnu Nafir menceritakan hadis berikut dari ayahnya, dari An-Nawwas ibnu Sam'an, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Allah membuat suatu perumpamaan, yaitu sebuah jembatan yang lurus; pada kedua sisinya terdapat dua tembok yang mempunyai pintu-pintu terbuka, tetapi pada pintu-pintu tersebut terdapat tirai yang menutupinya. Sedangkan pada pintu masuk ke jembatan itu terdapat seorang penyeru yang menyerukan, "Wahai manusia, masuklah kalian semua ke jembatan ini dan janganlah kalian menyimpang darinya." Dan di atas jembatan terdapat pula seorang penyeru; apabila ada seseorang hendak membuka salah satu dari pintu-pintu (yang berada pada kedua sisi jembatan) itu, maka si penyeru berkata, "Celakalah kamu, janganlah kamu buka pintu itu, karena sesungguhnya jika kamu buka niscaya kamu masuk ke dalamnya." Jembatan itu adalah agama Islam, kedua tembok adalah batasan-batasan (hukuman-hukuman had) Allah, pintu-pintu yang terbuka itu adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah, sedangkan penyeru yang berada di depan pintu jembatan adalah Kitabullah, dan penyeru yang berada di atas jembatan itu adalah nasihat Allah yang berada dalam kalbu setiap orang muslim.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir melalui hadits Al-Laits ibnu Sa'd dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai meriwayatkan pula hadis ini melalui Ali ibnu Hujr, dari Baqiyyah, dari Bujair ibnu Sa'd ibnu Khalid ibnu Ma'dan, dari Jubair ibnu Nafir, dari An-Nawwas ibnu Sam'an dengan lafal yang sama. Sanad hadis ini hasan shahih.
Mujahid mengatakan bahwa makna ayat, ‘Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus’, adalah ‘kebenaran’. Makna ini lebih mencakup semuanya dan tidak ada pertentangan antara pendapat ini dengan pendapat-pendapat lain yang sebelumnya.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Abun Nadhr Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Hamzah ibnul Mughirah, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Abul Aliyah mengenai makna ‘Tunjukilah kami ke jalan yang benar’; bahwa yang dimaksud dengan jalan yang benar adalah Nabi ﷺ sendiri dan kedua sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar ). ‘Ashim mengatakan, "Lalu kami ceritakan pendapat tersebut kepada Al-Hasan, maka Al-Hasan berkata, 'Abul Aliyah memang benar dan telah menunaikan nasihatnya'."
Semua pendapat di atas adalah benar, satu sama lain saling memperkuat, karena barang siapa mengikuti Nabi ﷺ dan kedua sahabat yang sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar ), berarti dia mengikuti jalan yang benar; dan barang siapa yang mengikuti jalan yang benar, berarti dia mengikuti jalan Islam. Barang siapa mengikuti jalan Islam, berarti mengikuti Al-Qur'an, yaitu Kitabullah atau tali Allah yang kuat atau jalan yang lurus. Semua definisi yang telah dikemukakan di atas benar, masing-masing membenarkan yang lainnya.
Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fadl As-Siqti, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi Al-Masisi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Al-A'masy ,dari Abu Wa'i, dari Abdullah yang mengatakan bahwa shirathal mustaqim itu adalah apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ buat kita semua.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil yang lebih utama bagi ayat berikut, yakni: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Al-Fatihah: 6) adalah "berilah kami taufik keteguhan dalam mengerjakan semua yang Engkau ridhai dan semua ucapan serta perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat taufik di antara hamba-hamba-Mu"; yang demikian itu adalah shirathal mustaqim (jalan yang lurus). Dikatakan demikian karena orang yang telah diberi taufik untuk mengerjakan semua perbuatan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang telah mendapat nikmat taufik dari Allah di antara hamba-hamba-Nya yakni dari kalangan para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang saleh berarti dia telah mendapat taufik dalam Islam, berpegang teguh kepada Kitabullah, mengerjakan semua yang diperintahkan oleh Allah, dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta mengikuti jejak Nabi ﷺ dan empat khalifah sesudahnya serta jejak setiap hamba yang saleh.
Semua itu termasuk ke dalam pengertian shirathal mustaqim (jalan yang lurus). Apabila dikatakan kepadamu, "Mengapa seorang mukmin dituntut untuk memohon hidayah dalam setiap shalat dan juga dalam keadaan lainnya, padahal dia sendiri berpredikat sebagai orang yang beroleh hidayah? Apakah hal ini termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang sudah teraih?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan, "Tidak." Seandainya seorang hamba tidak memerlukan minta petunjuk di siang dan malam harinya, niscaya Allah tidak akan membimbingnya ke arah itu. Karena sesungguhnya seorang hamba itu selalu memerlukan Allah ﷻ dalam setiap keadaannya. Agar dimantapkan hatinya dengan hidayah dan dipertajam pandangannya untuk menemukan hidayah, serta hidayahnya bertambah meningkat dan terus-menerus berada dalam jalan hidayah.
Sesungguhnya seorang hamba tidak dapat membawa manfaat buat dirinya sendiri dan tidak dapat menolak mudarat terhadap dirinya kecuali sebatas apa yang dikehendaki oleh Allah ﷻ. Maka Allah memberinya petunjuk agar dia minta kepada-Nya setiap waktu. Semoga Dia memberinya pertolongan dan keteguhan hati serta taufik. Orang yang berbahagia adalah orang yang beroleh taufik Allah hingga dirinya terdorong memohon kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah ﷻ telah menjamin akan memperkenankan doa orang yang meminta kepada-Nya. Terlebih lagi bagi orang yang dalam keadaan terdesak lagi sangat memerlukan pertolongan di setiap waktunya, baik di tengah malam ataupun di pagi dan petang harinya. Allah ﷻ telah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya” (An-Nisa: 136). Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk beriman. Hal seperti ini bukan termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang telah teraih, melainkan makna yang dimaksud adalah ‘perintah untuk lebih meneguhkan iman dan terus-menerus melakukan semua amal perbuatan yang melestarikan keimanan’.
Allah ﷻ telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan doa berikut yang termaktub di dalam firman-Nya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia)” (Ali Imran: 8). Abu Bakar As-Siddiq sering membaca ayat ini dalam rakaat ketiga setiap shalat Magrib, yaitu sesudah dia membaca surat Al-Fatihah; ayat ini dibacanya dengan suara perlahan. Berdasarkan kesimpulan ini dapat dikatakan bahwa makna firman-Nya: “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus” (Al-Fatihah: 6) adalah "tetapkanlah kami pada jalan yang lurus dan janganlah Engkau simpangkan kami ke jalan yang lain."
Kami memohon, tunjukilah kami jalan yang lurus, dan teguhkanlah kami di jalan itu, yaitu jalan hidup yang benar, yang dapat membuat kami bahagia di dunia dan di akhirat, serta dapat mengantarkan kami menuju keridaan-Mu.
Ihdi: pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti “hidayah” ialah menunjukkan suatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan baik.
Macam-macam Hidayah (Petunjuk)
Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, seperti yang juga dibahas dalam Tafsīr Al-Fātiḥah oleh Muhammad Abduh.
1. Hidayah Naluri (Garīzah)
Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukan dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya “naluri”, dalam bahasa Arab disebut garīzah. Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri” (mempertahankan hidup). Seorang bayi bila merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya puting susu ibunya, dihisapnya sampai hilang laparnya. Perbuatan ini dikerjakannya tanpa seorang pun yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanya semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya, untuk mempertahankan hidupnya.
Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang itu untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya, dengan dorongan nalurinya semata-mata. Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya rasa “ingin tahu”, “ingin mempunyai”, “ingin berlomba-lomba”, “ingin bermain”, “ingin meniru”, “takut”, dan lain-lain.
Sifat-sifat Naluri
Naluri (garīzah), sebagaimana disebutkan, terdapat pada manusia dan binatang. Perbedaannya ialah naluri manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi naluri binatang tidak. Sebab itulah manusia bisa maju, sedangkan binatang tidak, ia tetap seperti sediakala.
Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar bagi kejahatan. Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri”, orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal. Sebaliknya karena naluri “ingin memelihara diri” itu pula orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain. Karena naluri “ingin tahu” orang belajar, sehingga memiliki pengetahuan yang banyak dan pendidikan yang tinggi. Sebaliknya karena naluri “ingin tahu” itu pula orang suka mencari-cari ‘aib dan rahasia’ sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan naluri-naluri yang lain.
Naluri-naluri itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada pemikir dan pendidik yang hendak memadamkan naluri, karena melihat segi yang tidak baik (jahat) itu. Sebab itu mereka membuat bermacam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak agar naluri itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak. Bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh naluri itu, namun ia tidak akan mati.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap suatu naluri, maka kelihatan ia telah padam, tetapi manakala ada yang membangkitkannya, ia timbul kembali. Oleh karena itu, sekalipun naluri itu dasar bagi kebaikan, sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban manusia bukanlah menghilangkannya, tetapi mendidik dan melatihnya, agar dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang baik.
Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam naluri untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakainya secara bijaksana.
2. Hidayah Pancaindra
Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu, manusia dilengkapi lagi oleh Allah ﷻ dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata:
اَلْحَوَاسُّ أَبْوَابُ الْمَعْرِفَةِ
(Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan).
Maksudnya ialah: dengan perantaraan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan alam sekitar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam sekitar ini ke dalam otak manusia adalah melalui pintu-pintu pancaindra. Tetapi naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam maḥsūsat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma‘qūlat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal).
Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam maḥsūsat, tangkapannya tentang yang mahḥsūsat itu pun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa “ilusi optik” (tipuan pandangan), dalam bahasa Arab disebut khidā‘ an-naẓar. Sebab itu manusia masih membutuhkan hidayah yang lain. Maka Allah menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu “hidayah akal”.
3. Hidayah Akal (pikiran)
a. Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah yang baik, agar naluri itu menjadi sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan yang buruk dengan yang baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang maḥsūsat sebagai tangga kepada yang ma‘qūlat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping berbagai macam naluri dan pancaindra itu. Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak manusia yang mempergunakan akalnya, tetapi akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan sentimennya, hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya, dan yang baik itu menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa naluri ditambah dengan pancaindra, dan ditambah pula dengan akal belum cukup untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidayah lain, di samping pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimuṣ-ṣalātu was-salām.
b. Benih agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia
Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (al-adyān al-waḍ‘iyyah) terlihat bahwa pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit kecenderungan beragama. Hal itu karena manusia mempunyai sifat merasa berutang budi, suka berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka, ketika ia memperhatikan dirinya dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, dia akan merasa berutang budi kepada “suatu Zat” yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.
Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara “menyembah Zat Yang Gaib itu”.
Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu, di dalam sejarah terlihat tidak pernah ada keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikiran manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan alam di samping mengagungkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja dan belum tergambarkan di otaknya bagaimana menyembah “Zat Yang Gaib”, maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, yang indah, yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang Gaib itu. Ketika dia mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu.
Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang dinamakan dengan “kepercayaan menyembah kekuatan alam”, seperti yang terdapat di Mesir, Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala. Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya cenderung beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya.
Bila manusia mau memikirkan: “Dari mana datangnya alam ini”, akan sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia. Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama tauhid.
Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldea pada mulanya adalah beragama tauhid, kemudian mereka menyembah matahari, planet-planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah raja Namruż meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namruż itu. Bangsa Asiria pun pada mulanya beragama tauhid, kemudian mereka lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka sekutukan Tuhan dengan binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan, jelas bahwa tidak semua orang Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan waṡani (penyembah berhala), melainkan di antara mereka ada juga muwaḥḥidīn, penganut akidah tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan sebagai berikut:
“Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya”
“Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak ada yang menciptakan-Nya”
“Dialah Tuhan Yang Mahaagung, Pemilik langit dan bumi, Pencipta seluruh makhluk”
Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, dan tetap ada. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang ada di alam ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa.
c. Pendapat Orang-orang Arab sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta)
Orang-orang Arab sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?” Mereka menjawab, “Allah.” Kalau ditanyakan, “Adakah al-Lata dan al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada pada alam ini?” Mereka menjawab, “Tidak!” Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah berfirman tentang perkataan musyrikin Arab itu:
مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى
“Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah, dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar/39: 3)
d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal
Manakala manusia memikirkan “kemanakah kembalinya alam ini?” akan sampailah dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah yang perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya, “Tentu saja tidak, sejarah pun telah membuktikan hal ini.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah diberi akal oleh Allah untuk jadi hidayah baginya, di samping naluri dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.
Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dengan akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi.
Dengan mempergunakan akalnya, manusia juga dapat sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, tetapi hidayah akal itu belum mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Maka untuk menyampai-kan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah, untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan untuk jadi pedoman dalam hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang lain di samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka Allah mendatangkan hidayah yang keempat yaitu “agama” yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimuṣ-ṣalātu was-salām.
4. Hidayah Agama
a. Pokok-pokok agama ketuhanan
Allah mengutus rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Mula-mula yang ditanamkan oleh rasul-rasul itu adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan itikad manusia dari syirik (mempersekutukan Allah).
Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid dengan melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Dialog antara Nabi Ibrahim dengan Namruż, Nabi Musa dengan Fir‘aun, dan seruan-seruan Al-Qur’an kepada kaum musyrikin Quraisy semuanya mengajak agar mereka mempergunakan akal.
Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga menyeru untuk percaya pada akhirat, dan para malaikat.
Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian dinamakan al-īmān bi al-gaib (percaya kepada yang gaib). Itulah yang menjadi pokok bagi semua agama samawi, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya dari Tuhan adalah mempercayai keesaan Tuhan, para malaikat dan hari akhirat.
Di samping Akidah (kepercayaan) yang disebutkan itu, para rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini tidak seluruhnya sama, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ Hal ini dikarenakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya masing-masing. Jadi yang berlainan itu ialah hukum-hukum furu‘ (cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama. Karena Muhammad ﷺ adalah Nabi penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Allah sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan keadaan.
b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan
Allah telah menganugerahkan agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup yang penghabisan, atau jalan kepada kebahagiaan yang terakhir, tetapi adakah semua orang, pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan?
Banyak manusia salah menerapkan agama, tidak beribadah (menyembah Allah) sesuai dengan yang diridai oleh yang disembah, tidak melaksanakan syariat sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syariat itu. Karena itu Allah mengajarkan kepada manusia cara memohon kepada-Nya agar diberi-Nya ma‘ūnah, dibimbing dan dijaga selama-lamanya, serta diberi-Nya taufik agar dapat memanfaatkan semua macam hidayah yang telah dianugerahkan itu menurut semestinya. Naluri-naluri agar dapat disalurkan ke arah yang baik, pancaindra agar betul, akal agar sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksudkan oleh yang menurunkan agama itu, tanpa ada cacat, janggal dan salah.
Tegasnya, manusia yang telah diberi Allah bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas (naluri, pancaindra, akal dan agama) belumlah cukup, tetapi dia masih membutuhkan ma‘ūnah dan bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya)[1] Maka ma‘ūnah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan, dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu. Dengan perkataan lain, Allah telah memberi manusia hidayah-hidayah tersebut, seakan-akan Dia telah membentangkan jalan raya yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Kemudian yang dimohonkan kepada-Nya lagi, ialah “agar membimbing kita dalam melalui jalan yang telah terbentang itu.”
Dengan ringkas hidayah dalam ayat ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm ini berarti “taufik” (bimbingan), dan taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah. Taufik ini dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh tenaga adalah kewajiban kita, tetapi keberhasilan suatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah. Dengan ini terlihat pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Pada ayat yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah dan memohon pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya. Maka tidak ada pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan kepada Nabi:
وَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ
… Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syūrā/42: 52).
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ٥٦ (القصص)
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (al-Qaṣaṣ/28: 56).
Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama ialah menunjukkan jalan yang harus ditempuh, dan ini memang tugas nabi. Yang dimaksud dengan hidayah pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan ini tidaklah masuk dalam kekuasaan nabi, tetapi hak Allah semata-mata.
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju).
Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Di atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul telah membawa aqā’id (kepercayaan-kepercayaan), hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya, para rasul telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Maka aqā’id, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagaimana disebutkan. Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita memohon kepada Allah, “Bimbing dan berilah kami taufik, ya Allah dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan hukum, peraturan-peraturan, serta pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat.”
Abi Bani Ka?b : Kami telah tabah, seperti yang dikatakan Al-Qa'im: ?Sampai aku kembali kepadamu,? artinya: darah [8] Perkataannya: Tuntunlah kami ke jalan yang lurus (6), dan dia berkata: Bimbing kami.
Atas otoritasnya, dan ini adalah doa orang-orang beriman, siapakah kamu bagi mereka, dalam pengertian pemasangan
Dari Tuhan Yang Maha Esa tidak terbatas pada doktrin Sunni .
Ain Yaqub dan dia adalah nama asli Sirat karena merupakan Sirat al-Sabilah, dan terbaca dalam al-Zay [01] Qur?an dalam al-Sinrwa dan Harwes [9] ?Al-Sirat?: dan
Dan Hamza membacakan Ishmaam Al-Zayy, dan semuanya benar, dan pilihan paling populer adalah setuju dengan Mushaf .
__________
. ? Terbuka untuk surat itu? (1) frasa dalam publikasi
. ? Dari? (2) dalam publikasi
( 3 ) Itu jatuh dari cetakan .
( 4 ) Itu jatuh dari cetakan .
. ? Inilah sebabnya? (5) dalam publikasi
. ? Bantuan? (6) dalam publikasi
801 Shamela.org- Surat Al-Fatihah 1 4
. ? Kebajikannya? (7) dalam Naskah-a-b
. ? Ali? (8) Zaid dalam publikasi
. ? Wasirat? (9) dalam publikasi
Atas otoritasnya, dan ini adalah doa orang-orang beriman, siapakah kamu bagi mereka, dalam pengertian pemasangan
Dari Tuhan Yang Maha Esa tidak terbatas pada doktrin Sunni .
Ain Yaqub dan dia adalah nama asli Sirat karena merupakan Sirat al-Sabilah, dan terbaca dalam al-Zay [01] Qur?an dalam al-Sinrwa dan Harwes [9] ?Al-Sirat?: dan
Dan Hamza membacakan Ishmaam Al-Zayy, dan semuanya benar, dan pilihan paling populer adalah setuju dengan Mushaf .
__________
. ? Terbuka untuk surat itu? (1) frasa dalam publikasi
. ? Dari? (2) dalam publikasi
( 3 ) Itu jatuh dari cetakan .
( 4 ) Itu jatuh dari cetakan .
. ? Inilah sebabnya? (5) dalam publikasi
. ? Bantuan? (6) dalam publikasi
801 Shamela.org- Surat Al-Fatihah 1 4
. ? Kebajikannya? (7) dalam Naskah-a-b
. ? Ali? (8) Zaid dalam publikasi
. ? Wasirat? (9) dalam publikasi
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Fatihah: 6
Ayat 6
“Tunjukanlah kami jalan yang lurus."
Meminta ditunjuki dan dipimpin supaya tercapai jalan yang lurus. Menurut keterangan setengah ahli tafsir, perlengkapan menuju jalan yang lurus, yang dimohonkan kepada Allah itu ialah, pertama al-Irsyad, artinya agar dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan sehingga dapat membedakan yang salah dengan yang benar. Kedua at-Taufiq, yaitu bersesuaian hendaknya dengan apa yang direncanakan Allah. Ketiga al-Ilham, diberi petunjuk supaya dapat mengatasi sesuatu yang sulit. Keempat ad-Dilalah, artinya ditunjuk dalil-dalil dan tanda-tanda di mana tempat yang berbahaya, di mana yang tidak boleh dilalui, dan sebagAl-nya. Hal ini seumpama tanda-tanda yang dipancangkan di tepi jalan, berbagai macamnya, untuk memberi alamat bagi pengendara kendaraan bermotor.
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, menurut beliau yang dimaksud dengan meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki agama-Mu yang benar.
Menurut beberapa riwayat dan ahli-ahli hadits, dari Jabir bin Abdullah, yang dimaksud dengan Shirathal Mustaqim ialah agama Islam. Dan, menurut beberapa riwayat lagi, Ibnu Mas'ud menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Shirathal Mustaqim ialah Kitab Allah (Al-Qur'an).
Maka, semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjadi satu: Shirathal Mustaqim memang agama yang benar dan itulah agama Islam. Dan, sumber petunjuk dalam Islam itu tidak lain ialah Al-Qur'an. Semuanya dapat diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad ﷺ dan sahabat-sahabat beliau yang utama.
Kita pun mengaku bahwa petunjuk itu sejak lahir ke dunia telah diberikan secara berangsur. Pertama sejak mulai lahir telah diberi kita persediaan petunjuk pertama sehingga bila terasa lapar kita menangis, bila terasa basah kita pun menangis; dan sejak lahir telah diberi petunjuk kita bagaimana mencucut susu ibu. Setelah itu dengan berangsur-angsur, dari hari ke hari, bulan ke bulan berangsur kita dapat memperbedakan bunyi yang didengar dan warna yang dilihat. Dalam masa perangsuran itu, kita diberi naluri untuk perlengkapan hidup, sebagaimana yang diberikan sekaligus kepada binatang. Akan tetapi, pada binatang terhenti hingga demikian saja, sedangkan pada kita manusia diteruskan lagi dengan pertumbuhan akal dan pikiran. Akallah yang memperbaiki kesalahan pendapat pancaindra, mata melihat dan merasa ketika kereta api yang kita tumpangi berhenti di sebuah stasiun dan bahwa ia telah berangkat pula. Padahal, yang berangkat itu belum kereta api yang kita tumpangi itu, melainkan kereta api yang di sebelahnya. Dan sebagainya. Mata melihat tongkat yang lurus di dalam air menjadi bengkok, sedangkan akal menolaknya.
Akan tetapi, akal saja belumlah cukup menjadi pedoman. Sebab, dalam diri kita sendiri bukan akal dan pancaindra saja yang harus diperhitungkan. Kita perhitungkan juga syahwat dan hawa nafsu kita, demikian juga naluri-naluri yang lain. Kita kepingin makan dan minum supaya hidup. Supaya berketurunan kita ingin mempunyai teman hidup; laki-laki mencari perempuan dan perempuan menunggu laki-laki. Kita ingin mempunyai apa-apa, kita ingin mempunyai persediaan. Kita ingin dan orang lain pun ingin. Untuk mencari apa yang kita ingini itu, kita pergunakanlah akal. Adapun orang lain, untuk mencari keinginannya mempergunakan akalnya pula. Kadang-kadang seluruh orang menginginkan satu macam barang maka terjadilah perebutan. MendapAllah siapa yang lebih cerdik atau lebih kuat.
Kadang-kadang, tampak satu hal yang diperlukan dan sangat diingini. Dipakailah segala daya upaya untuk mencapainya. Setelah didapat, ternyata membawa celaka pada diri. Ada hal yang pahit mulanya dan manis ujung-nya. Ada pula sebaliknya. Dengan demikian, pengalaman manusia menunjukkan bahwa akal saja tidaklah cukup untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Mesti ada tuntunan terhadap akal itu sendiri. Itulah hidayah agama. Untuk itulah, rasul-rasul diutus dan kitab-kitab wahyu diturunkan. Rasul-rasul dan kitab-kitab wahyu itu diutus dan dikirim Allah, Tuhan sarwa sekalian alam, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara.
Menurut pelajaran ilmu ukur ruang, garis lurus ialah jarak yang paling dekat di antara dua titik. Maka, di dalam Shirathal Mustaqim yang kita mohonkan ini, dua titik itu ialah: yang pertama titik kita sebagai hamba, yang kedua titik Allah sebagai Tuhan kita.
Inilah puncaknya permohonan, yang tadi pada ayat sebelumnya telah kita bahwa hanya kepada-Nya saja kita memohonkan pertolongan, kita tidak hendak meminta benda. Kita tidak hendak meminta rumah bagus, ke-kayaan melimpah, dan lain-lain hal yang remeh. Kita memohonkan pokoknya, yaitu petunjuk. Adapun yang lain adalah terserah.
Kalau petunjuk jalan lurus itu tidak diberi, walaupun yang lain hal yang remeh diberikan-Nya maka yang lain itu besar kemungkinan akan mencelakakan kita.