Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِن
dan sesungguhnya
كَانَ
adalah
أَصۡحَٰبُ
penduduk
ٱلۡأَيۡكَةِ
Aikah
لَظَٰلِمِينَ
sungguh orang-orang yang zalim
وَإِن
dan sesungguhnya
كَانَ
adalah
أَصۡحَٰبُ
penduduk
ٱلۡأَيۡكَةِ
Aikah
لَظَٰلِمِينَ
sungguh orang-orang yang zalim
Terjemahan
Sesungguhnya penduduk Aikah itu benar-benar orang-orang yang zalim.
Tafsir
(Dan sesungguhnya) lafal in adalah bentuk takhfif daripada inna (adalah penduduk Aikah itu) yang terkenal dengan pohon-pohonnya yang subur dan rindang, terletak di dekat kota Madyan, dan mereka adalah kaum Nabi Syuaib (benar-benar kaum yang zalim) disebabkan mereka mendustakan Nabi Syuaib.
Tafsir Surat Al-Hijr: 78-79
Dan sesungguhnya adalah penduduk Aikah itu benar-benar kaum yang zalim, maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota itu benar-benar terletak di jalan umum yang terang. Penduduk kota Aikah adalah kaum Nabi Syu'aib. Ad-Dahhak, Qatadah, dan yang lainnya mengatakan bahwa Aikah adalah nama sebuah pohon rindang (yang ada di kota itu). Perbuatan zalim mereka ialah karena mereka mempersekutukan Allah, gemar merampok (orang-orang yang lewat), serta gemar mengurangi takaran dan timbangan.
Maka Allah menghukum mereka dengan teriakan yang mengguntur, gempa dan azab di hari mereka dinaungi awan. Mereka berada di dekat kaum Lut sesudah kaum Lut binasa, dan hal itu pertanda tempat tinggal mereka berdampingan. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Dan sesungguhnya kedua kota itu benar-benar terletak di jalan umum yang terang. (Al-Hijr: 79) Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya, makna imamum mubin dalam ayat ini ialah jalan umum yang terang.
Karena itulah ketika Nabi Syu'aib memperingatkan kaumnya mengatakan dalam ancamannya yang disitir oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: sedangkan kaum Lut tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kalian. (Hud: 89).
Setelah mengisahkan pembinasaan kaum Nabi Lut karena kedurhakaan mereka pada ayat-ayat sebelumnya, pada ayat berikut Allah
menuturkan kisah kaum Nabi Syu'aib dan kebinasaan mereka. Allah
berfirman, Dan sesungguhnya penduduk Aikah itu, yakni sebuah lokasi
di wilayah Madyan yang ditinggali oleh kaum Nabi Syu'aib, benar-benar
kaum yang zalim. Mereka suka menyamun dan merampok orangorang yang melewati negeri mereka serta curang dalam menakar dan
menimbang. Akibat dari sikap, perbuatan, dan kezaliman mereka itu maka Kami
membinasakan mereka, yakni kaum Nabi Syu'aib. Dan sesungguhnya kedua negeri itu, yakni kota Sodom yang didiami kaum Nabi Lut dan kota
Aikah yang didiami kaum Nabi Syu'aib, terletak di satu jalur jalan raya
yang masih biasa dilalui manusia hingga saat ini.
Ayat ini menerangkan bahwa penduduk kota Aikah adalah penduduk yang zalim dan ingkar. Kepada mereka diutus Nabi Syuaib a.s., tetapi mereka mengingkari dan mendustakan dakwahnya.
Dalam hadis diterangkan hubungan penduduk Aikah dengan penduduk kota Madyan.
Rasulullah ﷺ berkata, "Sesungguhnya penduduk kota Madyan dan penduduk Aikah itu adalah dua umat yang kepada keduanya Allah mengutus Nabi Syuaib". (Riwayat Ibnu Mardawaih dan Ibnu 'Asakir)
Arti dasar dari Aikah ialah hutan, kemudian menjadi nama suatu negeri karena negeri itu memiliki banyak hutan. Negeri itu terletak di daerah Madyan.
Penduduk Aikah menganut kepercayaan politeisme, suka menyamun dan merampok orang yang lewat negeri mereka, serta berlaku curang dalam menimbang dan menakar. Kepada mereka diutus Nabi Syuaib a.s., tetapi mereka mengingkarinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PENDUDUK AIKAH DAN AL-HIJR
Ayat 78
“Dan sesungguhnya penduduk Alkah itu adalah sangat zalim."
Penduduk Aikah ialah kaum Nabi Syu'aib. Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Syu'aib itu datang kepada dua kaum, yaitu Madyan dan Aikah. Hanya seorang Nabi Syu'aiblah di antara nabi-nabi yang terdahulu itu yang mendatangi dua kaum. Tetapi setengah ahli tafsir lagi mengatakan bahwa orang Madyan itulah juga yang disebut orang Aikah. Sebab arti Aikah ialah tempat yang banyak tumbuh pohon kayu karena subur.
Ayat 79
“Maka Kami balas kepada mereka."
Karena kezaliman kaum itu, mereka telah mendapat balasan Allah yang setimpal, sebagaimana telah diterangkan juga di dalam surah Huud dan surah yang lain-lain. "Dan sesungguhnya keduanya itu." Yaitu kaum Aikah dan kaum Nabi Luth yang telah dibinasakan seperti tersebut di ayat-ayat sebelumnya.
“Adalah dijalan raya yang tenang “
Yang setiap waktu dapat dilalui oleh kafilah dan dapat dilihat dengan mata serta di-perhatikan.
Ayat 80
“Dan sesungguhnya telah mendustakan penduduk al-Hijr akan rasul-rasul."
Sebagaimana telah diriyatakan pada pendahuluan tafsir surah ini, arti al-Hijr ialah batu gunung atau batu besar. Tetapi menjadi nama juga dari negeri tempat berdiam kaum Tsamud. Terkenal dan selalu disebutkan di dalam Al-Qur'an bahwa kaum itu amat pandai membuat bangunan rumah-rumah yang kukuh dan batu-batu gunung itu. Disebut di sini bahwa mereka telah mendustakan rasul-rasul, padahal rasul yangdiutus kepada mereka hanya seorang,yaitu Nabi Shalih. Maka dapatlah dipahamkan bahwa suatu kaum yang mendustakan seorang rasul Allah berarti mendustakan juga akan sekalian rasul, sebab ajaran yang dibawa oleh sekalian rasul Allah itu hanyalah satu juga hakikatnya. Membantah Shalih berarti membantah Musa. Mengingkari risalah Muhammad, sama juga dengan mengingkari risalah Isa al-Masih dan seterusnya.
Ayat 81
“Dan telah Kami datangkan kepada mereka tanda-tanda."
Satu di antara tanda-tanda itu ialah unta besar yang terkenal, yang dinamai Unta Allah (Naaqat Allah).
“Maka adalah mereka itu berpaling darinya."
Mungkin sebab yang utama dari mereka memalingkan diri dari peringatan nabi mereka ialah lantaran hidup yang mewah dan kepandaian yang tinggi, sehingga memandang enteng saja kepada seruan rasul Allah. Sebab di antara keistimewaan mereka ialah
Ayat 82
“Dan adalah mereka memahat rumah-rumah di gunung-gunung dengan keadaan aman."
Letak tanah mereka yang berlembah dan bergunung dan berudara bagus, dan kekayaan serta kemakmuran, menyebabkan kepandaian memahat batu menjadi tinggi. Batu gunung yang terjal itu, tentunya terdiri dari batu-batu granit yang keras. Itu telah mereka pahat dan dikeping-keping dijadikan dinding rumah, yang tegak dengan megahnya. Mereka merasa aman tenteram, tinggal dalam rumah-rumah yang indah itu. Tetapi karena hidup yang telah serba mewah, kebenaran tidak diingat lagi. Nasihat Nabi Shalih tidak diacuhkan. Sebagaimana disebut di dalam surah Huud, surah asy-Syu'araa' dan lain-lain, mereka bunuh unta Allah, mereka juga bersekongkol beberapa orang hendak membunuh rasul Allah, Shalih.
Ayat 83
“Lalu dikenallah, mereka oleh adzab di waktu pagi-pagi."
Di sini tampak bahwa pembangunan dan pembinaan rumah-rumah yang indah mewah, bagaimanapun giatnya dan bagaimanapun megahnya, tidaklah berarti kalau sekiranya tidak disertai dengan pembangunan ruhari yaitu hubungan diri pribadi dengan Allah. Adzab siksaan Ilahi bisa saja datang dengan tiba-tiba, entah berlaku di waktu petang hari, entah berlaku di waktu pagi hari. Kadang-kadang dengan tidak disadarinya, kesombongan manusia itu sendirilah yang meruntuhkan apa yang mereka bina.
Kehendak Allah berlaku menurut apa yang telah digariskan-Nya.
Sebagaimana tersebut di dalam surah al-Haaqqah ayat 5, dan surah Huud ayat 67 dan pada surah yang lain, mereka dibinasakan dengan pekik atau sorak yang amat keras dan dahsyat dari malaikat Demikian keras sorak dan pekikan malaikat itu, sehingga terbongkar tulang belulang mereka dari badan. Dan negeri mereka pun hancur.
Ayat 84
“Maka tidaklah menolong kepada mereka segala apa yang telah mereka usahakan."
Rumah-rumah bertingkat, gedung-gedung dari batu berpahat, habis runtuh. Bangunan-bangunan yang didirikan dengan susah payah tidak dapat ditolong. Maka tersebutlah di dalam beberapa hadits, bahwasanya Nabi kita Muhammad ﷺ ke Peperangan Tabuk, yaitu perang jauh yang terakhir beliau pimpin. Di tengah jalan berjumpalah bekas negeri al-Hijr dari kaum Tsamud itu. Di sana berjumpa air tergenang. Lalu sahabat-sahabat Rasulullah mencoba hendak memasak air di tempat itu dan juga hendak mengisi tempat-tempat air mereka. Setelah diketahui oleh Rasulullah, beliau suruh tumpahkan air itu kembali dan pecahkan periuk tempat air itu dimasak. Dan beliau larang berhenti lama di situ. Padahal jarak kebinasaan kaum Tsamud di negeri al-Hijr dengan zaman Nabi kita Muhammad ﷺ sudah ribuan tahun. Sampai beliau berkata menurut hadits yang dirawikan oleh Bukhari dari Ibnu Umar,
“Janganlah kamu masuk ke tempat kaum yang tersiksa itu, melainkan dengan menangis, jika kamu tidak menangis, buatlah tangisan, supaya jangan sampai menimpa pula kepada kamu seperti yang menimpa kepada kaum itu." (HR Bukhari)
Ayat 85
“Dan tidaklah Kami menjadikan semua langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar."
Artinya bukan dijadikan dengan semau-mau, dengan kucar-kacir, melainkan dengan serba teratur, teratur yang benar."Dan sesungguhnya saat itu pasti datang." Saat ialah Kiamat, baik Kiamat kecil dengan lahirnya seseorang ke dunia dan kemudian mati, atau Kiamat menengah besar yaitu timbulnya suatu kerajaan atau suatu bangsa, kemudian runtuh. Atau Kiamat kubra, yaitu semua langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya itu pun akan hancur. Lantaran segala alam ini ada permulaan, pun ada kesudahan. Ada masa naik dan ada masa menurun, ada masa datang dan ada masa pergi, maka dapatlah segala kejadian di sekeliling ditinjau dengan ukuran yang demikian. Kalau kiranya orang-orang kafir itu tidak mau percaya kepada kebenaran dan keras bertahan pada pendiriannya yang salah, namun sudahlah pasti akan datang saat kejatuhannya.
“Lantaran itu memberi maaflah dengan pemaafan yang elok."
Inilah peringatan Allah kepada Rasul-Nya. Memberi maaflah dan berlapang dadalah. Jangan lekas marah melihat keras kepala mereka. Mereka bersikap demikian ialah karena tidak ingat bahwa segala sesuatu menunggu saat. Mereka pasti kalah. Pendirian mereka pasti datang saatnya tidak dapat dipertahankan lagi. Betapapun mereka berkeras mulut, namun ujung perjalanan mereka sudah terang.
Ayat 86
“Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Mahakuasa Menjadikan. Yang Maha Mengetahui"
Perbanyaklah maaf! Betapapun mereka menentang, namun Allah Yang Mencipta segala sesuatu telah lebih dahulu mengetahui sehingga mana, sejauh mana kekuatan mereka. Allah telah lebih dahulu mengetahui mana yang saleh dari mereka dan mana yang thalih.
Ayat 87
"Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada engkau teguh dari yang diulang-ulang dan Al-Qur'an yang agung."
Diingatkan oleh Allah bahwa dalam hebatnya perjuangan menegakkan ajaran Allah dan bagaimana pula tantangan dari kaum beliau sendiri, namun Nabi kita Muhammad ﷺ telah diberi bekal atau senjata ruhari oleh Allah yaitu, yang terpenting sekali, tujuh yang diulang-ulang, yaitu surah al-Faatihah, yang terdiri daripada tujuh ayat ialah modal perjuangan yang pertama. Dalam ketujuh ayat yang diulang-ulang, tidak kurang tujuh belas kali sehari semalam dalam shalat yang fardhu, ditambah lagi dengan setiap rakaat dari setiap shalat yang sunnah (nawafil), di daiamnyalah tersimpul Pandangan Hidup Seorang Muslim. Al-Faatihah adalah sebagian atau satu surah saja dari Al-Qur'an, tetapi dia adalah al-Faatihah, yaitu pembuka dari Al-Qur'an, dan dia pun “Ummul Kitab" ibu dari kitab Al-Qur‘an. Itulah sebabnya maka disebut terlebih dahulu tujuh yang diulang-ulang, kemudian baru disebut Al-Qur'an yang agung. Sebab sekalian isi Al-Qur'an itu pada hakikatnya bisa dihimpunkan ke dalam al-Faatihah (lihat kembali tasfir surah al-Faatihah). Sebab di sanalah pangkal i'tikad, yaitu tauhid. Maka di dalam menghadapi kewajibanmu memimpin kaummu dengan sabar, sekali-kali janganlah dilupakan al-Faatihah itu sebagai pendirian hidup.
Ayat 88
“Janganlah engkau perpanjang pandang kedua matamu, kepada nikmat yang Kami berikan dia kepada beberapa golongan dari antara mereka."
Mentang-mentang ada di antara mereka yang kaya raya, hidup mewah dan berbangga dengan harta benda mereka, maka engkau wahai Utusan-Ku, janganlah sampai terpesona oleh itu. Selama engkau tidak tunduk atau silau kepada mereka lantaran mereka kaya raya, selama itu pula mereka tidak akan dapat memasukkan pengaruhnya kepada engkau. Kebanyakan, orang yang lemah imannya, menjadi kendur perjuangannya sebab disilaukan orang dengan harta benda. Ada orang yang menjadi merasa rendah harga diri mentang-mentang berhadapan dengan orang kaya. Namun engkau ya Utusan-Ku, janganlah sampai demikian. Apabila mereka sudah tahu bahwa engkau tidak bisa dibeli atau engkau yang penting ialah menegakkan agama, bukan mencari harta, mereka pasti tunduk. Sebab seorang kaya merasa dirinya lebih tinggi ialah karena si miskin merasa dirinya lebih rendah."Dan janganlah engkau berduka cita tentang hal merekaMisalnya karena mereka tidak mau menerima kebenaran dan tetap dalam kekafirannya. Biarkan mereka, sampai mereka berjumpa dengan jalan buntu dalam kesombongan hidup.
“Dan rendahkanlah sayapmu terhadap orang-orang yang beriman."
Kepada yang beriman itulah engkau merendahkan sayap, menunjukkan kasih dan sayang, tidak peduli apakah dia kaya ataupun dia miskin. Atau apakah dia seorang tuan atau seorang hamba sahaya. Sebab orang-orang yang telah beriman inilah yang bersedia sehidup semati dengan engkau dalam menempuh suka dan duka.
Adakah tuan lihat induk ayam seketika melindungi anak-anaknya dengan sayapnya, seketika terancam musuh atau karena sangat panas? Adakah tuan lihat burung merendahkan sayap melindungi telurnya yang hendak menetas? Maka dan sinilah diambil kata merendahkan sayap yang disuruhkan Allah kepada Rasul-Nya,
Yaitu agar rasul menjadi pelindung dan menyelimuti umatnya dengan sayap rahmatnya, terutama umat-umat yang kelihatan lemah pada Nabi hendaklah hidup di tengah-tengah mereka, merasakan apa yang mereka rasakan. Dan ini dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ, sehingga bagi beliau sama saja penyelenggaraannya kepada sahabat-sahabatnya yang lebih kuat dengan yang dianggap lemah dalam masyarakat. Kedudukan Bilal dengan Abu Bakar sama dalam majelis Nabi ﷺ. Oleh sebab itu mereka pun bersikap demikian pula kepada Nabi ﷺ.
Ayat 89
“Dan katakanlah, “Sesungguhnya aku ini ialah pemberi ancaman yang terang."
Di dalam memberi peringatan kepada orang yang tidak mau beriman, bahwa adzab neraka akan menimpa dirinya, siksa Allah akan dirasakannya, nasib malang yang tidak dapat dielakkan, maka aku ini tidak boleh sembunyi-sembunyi. Aku mesti menyatakannya terus terang, jelas, dan nyata. Dalam hal menyampaikan ancaman Ilahi itu, aku tidak boleh tenggang-menenggang. Katakanlah demikian hai Utusan-Ku.
Ayat 90
“Sebagaimana telah Kami turunkan siksa kepada orang-orang yang membagi-bagi."
Ayat 91
“Yang telah menjadikan mereka akan Al-Qur'an bertumpuk-umpuk."2
Di ayat 89 Rasulullah saut disuruh menegaskan bahwa dia wajib menyampaikan ancaman Allah kepada siapa yang menentang hukum Allah. Dalam hal ini dia harus bersikap terus terang. Mengancam dengan terang. Dan ancaman ini pun telah pernah juga beliau disuruh menyampaikannya dengan terus-terang kepada orang-orang yang membagi-bagi. Siapa orang-orang yang membagi-bagi itu? Dan apa yang mereka bagi-bagikan? Mereka ialah pemuka-pemuka Quraisy, orang-orang hartawan, disegani orang dan sangat berpengaruh. Merekalah yang dengan keras menentang Rasulullah ﷺ di Mekah. Itulah Ash bin Wail, Utaibah dan Syatbah, keduanya anak Rabf ah, Abu Jahal bin Hisyam, an-Nadhr bin Harits, Umayyah bin Khalaf, Munabbih bin al-Hajjaj dan beberapa orang lain. Mereka dengan sombongnya telah membagi-bagi daerah pengaruh dalam kota Mekah itu. Si anu mewilayahi kampung anu. Si fulan menguasai daerah anu. Daerah-daerah yang tidak ditentukan bagi mereka masing-masing, mereka bertanggung jawab menghalangi orang datang kepada Nabi ﷺ buat mendengar Al-Qur'an. Terutama terhadap orang yang datang dari tempat-tempat jauh. Mereka itu pulalah yang telah mengumpuk-umpuk Al-Qur'an. Kata mereka bahwa isi Al-Qur'an itu seumpuk sihir, seumpuk syi'ir seumpuk kahanah (tenung) dan lain-lain. Dan mereka tidak mau mengakui bahwa Al-Qur'an itu nur bagi jiwa dan hudan atau petunjuk menempuh jalan menuju Allah.
Orang-orang itu, pemuka-pemuka Quraisy itu, telah diancam terus-terang oleh Rasulullah ﷺ seketika masih di Mekah, bahwa kalau mereka masih terus-menerus bersikap menentang dengan kasar juga, mereka akan celaka. Pasti celaka. Tetapi mereka tiada peduli. Maka benar-benarlah mereka semuanya dan beberapa puluh kawan-kawan mereka yang lain binasa semua di Peperangan Badar.
Ayat 92
“Maka demi Tuhanmu! Sesungguhnya akan Kami tanyai mereka itu sekalian."
Ayat 93
“Dari hal apa yang mereka kerjakan."
Setelah kesengsaraan dunia dan kekalahan yang mereka derita di Perang Badar, sampai tewas semuanya, di akhirat kelak pun mereka akan ditanyai dan diperiksa dari hal apa yang telah mereka perbuat menentang agama itu.
Ayat 94
“Sebab itu, jalan luruslah engkau dengan apa yang diperintahkan kepada engkau “
Jangan peduli akan hambatan dan rintangan mereka.
“Dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrikin."
Sebab bagaimanapun seruan yang hendak engkau sampaikan, namun mereka tidak juga hendak beriman.
Ayat 95
“Sesungguhnya Kami akan memelihana engkau dari orang-orang yang mempenotok-otokkanitu."
Bagaimana mereka mengolok-olok dan mengejek, tidaklah itu akan berkesan kepada perjuanganmu yang besar ini. Malahan merekalah sebagian besar dari tukang mengolok-olok itu yang binasa di dalam Peperangan Badar yang terkenal dan tidak mereka sangka-sangka itu, yaitu
Ayat 96
“Yang telah mengada-ada bersama Allah akan Tuhan yang lain. Mereka kelak akan tahu sendini."
Mereka kelak akan tahu sendiri, dari sebab mereka memperserikatkan yang lain dengan Allah, betapa adzab siksa yang akan mereka derita di akhirat esok. Sebab memperserikatkan Allah dengan yang lain, adalah induk dari segala dosa, sehingga tidak dapat diampuni.
Kemudian, sebagai penawar hati Rasulullah ﷺ Allah membujuk beliau dengan firman-Nya,
Ayat 97
“Dan sesungguhnya Kami tahu, bahwa engkau, sempit dadamu lantaran apa yang mereka percakapkan."
Dituduh gila, tukang sihir, tukang tenung; dikatakan akan putus keturunan (abtar), karena tidak beranak laki-laki. Diriwayatkan penyebar kabar bohong dan lain-lain. Sebagai manusia pastilah Rasul kadang-kadang merasa sempit dada, artinya merasa sakit hati, iba hati, karena serangan-serangan yang demikian terhadap dirinya. Malahan dalam beberapa ayat telah kita ketahui, pernah terlintas dalam ingatan beliau, lebih baik mati saja, lompati tebing curam. Semuanya tidaklah dianggap sebagai kesalahan dari beliau, karena rasa-rasa yang demikian termasuk “jibillat" manusia. Yang pasti ada pada setiap manusia yang berperasaan. Rasa sedih kehilangan yang dicintai, rasa iba hati karena diejek dan diolok-olok, rasa marah karena dihinakan, semuanya itu termasuk perangai asli manusia, yang tidak bisa dikikis dan tidak dapat dihilangkan. Cuma akal budi manusia disuruh mengendalikan dirinya, sehingga rasa-rasa yang demikian jangan sampai mendorongnya akan bersikap yang salah. Maka perasaan hati luka, atau dada sempit lantaran celaan dan hinaan orang-orang yang mempercakapkannya itu telah diketahui oleh Allah, dan Allah tetap melindunginya. Dan untuk menguatkan jiwa menghadapi perjuangan, Allah ingatkan kepada beliau.
Ayat 98
“Maka bertasbihlah, dengan memuji Allah engkau, dan jadilah engkau dari orang-orang yang bersigud."
Bertasbih memuji Allah, dan sujud kepada-Nya, Dekati Allah terus. Asalkan engkau tetap membuat hubungan yang rapat dengan Ilahi, tidak suatu pun di dunia ini yang akan dapat menggoncangkan engkau dan mengganggu engkau.
Ayat 99
“Dan sembahlah Tuhanmu, sampai datang kepadamu yakin."
Jangan berhenti-henti menyembah Allah, baik secara shalat atau secara dzikir, yaitu mengingat Dia selalu waktu dalam segala usaha dan pekerjaan. Sampai datang yakin. Apa arti yakin di ayat ini?
Keterangan yang masyhur dari ahli-ahli tafsir ialah sampai datang maut. Karena maut itu yakin akan datang, pasti ditempuh. Artinya sampai mati jangan lepas dari beribadah. Dengan demikian jiwa yang lemah jadi kuat. Betapapun banyak penderitaan yang tidak teratasi lagi oleh kekuatan kita sebagai manusia, namun dengan beribadah jiwa kita menjadi tabah, sebab sandaran kita adalah Allah sendiri. Kita mendapat keyakinan bahwa segala yang terjadi ini adalah atas kehendak Allah jua, baru bisa terjadi. Allah tidak akan mengecewakan hamba-Nya, Pegang pendirian demikian sampai engkau mati.
Ada juga yang menafsirkan lurus saja. Ibadah terus kepada Allah, sampai engkau yakin, jangan berhenti. Dan kalau engkau telah yakin, bagaimana? Jawabnya ialah, “Kalau engkau telah yakin lantaran bersungguh-sung-guhnya engkau beribadah, niscaya engkau tidak menghentikan ibadah lagi." Ditegakkan orang beribadah misalnya, engkau tentu tidak akan mau berhenti lagi, sebab engkau mengerjakannya dengan yakin. Bukan seperti perkataan setengah orang yang sesat pahamnya, yang mengatakan “Saya sekarang telah yakin, sebab itu saya tidak hendak beribadah lagi." Tandanya bahwa dia belum sekali juga merasakan apa arti keyakinan itu.
Orang yang mempersenda-sendakan agama atau yang hendak menyimpangkannya dari maksudnya yang asal dan ada pula yang berkata bahwa beribadahlah kepada Allah sampai telah datang rasa yakin. Kalau hati sudah mulai yakin katanya — ibadah itu tidak perlu lagi. Ada di antara mereka yang mengatakan bahwa beribadah, shalat, puasa dan sebagainya itu hanyalah amalan orang yang sedang baru mencari-cari. Kalau yang dicari telah dapat, yaitu keyakinan, guna apa beribadah lagi. Paham ini sudah nyata sesatnya. Sebab tidak ada orang yang lebih yakin daripada Nabi kita Muhammad ﷺ dan para sahabat. Tidak pernah seorang pun di antara mereka menghentikan ibadahnya, walaupun keyakinan mereka akan Allah sudah tidak sedikit jua diragukan lagi.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh ad-Dailami dan al-Hakim dan lain-lain dari Abu Muslim al-Khaulani, setelah rasu-lullah ﷺ menerima wahyu ayat-ayat ini, beliau berkata,
“Tidaklah Allah, mewahyukan kepadaku supaya aku mengumpul harta, dan supaya aku masuk menjadi salah seorang saudagar, tetapi diwahyukannya kepadaku supaya engkau bertasbih memuji Allah engkau, dan hendaklah engkau termasuk dari orang-orang yang bersujud, dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yakin." (HR ad-Dailami dan al-Hakim)
Demikianlah wahyu Allah kepada Rasul-Nya,yangakan menjadi pegangan dan pedoman di dalam menghadapi kewajiban menegakkan
titah Ilahi di muka orang-orang yang ingkar dan tidak percaya. Pedoman dan pegangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya ini pulalah yang selalu patut menjadi pegangan kita umat Muhammad ﷺ yang tetap tidak pernah padam cita-citanya menegakkan agama Allah dalam dunia ini. Sampai datang keyakinan yang sejati, yaitu mati.