Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِنۡ
dan jika
عَزَمُواْ
mereka bertetap hati
ٱلطَّلَٰقَ
bertalak
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
سَمِيعٌ
Maha Mendengar
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
وَإِنۡ
dan jika
عَزَمُواْ
mereka bertetap hati
ٱلطَّلَٰقَ
bertalak
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
سَمِيعٌ
Maha Mendengar
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tafsir
(Dan sekiranya mereka berketetapan hati untuk talak), artinya tak mau kembali, maka mereka harus menjatuhkannya, (karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar) ucapan mereka (lagi Maha Mengetahui), maksud atau tekad mereka. Jadi maksudnya; setelah menunggu selama empat bulan tidak ada lagi kesempatan terbuka bagi mereka, kecuali kembali atau menjatuhkan talak.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 226-227
Bagi orang-orang yang meng-ila istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan jika mereka berketetapan hati untuk menceraikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat 226
Ila ialah sumpah seorang suami terhadap istrinya bahwa dia tidak akan menggaulinya selama suatu masa. Hal ini adakalanya berjangka waktu kurang dari empat bulan atau lebih. Jika jangka waktunya kurang dari empat bulan, maka pihak suami harus menunggu habisnya masa yang disumpahkannya, setelah itu baru boleh menyetubuhi kembali istrinya; dan pihak istri harus bersabar, pihaknya tidak boleh meminta dijimak dalam masa tersebut.
Hal ini telah disebutkan di dalam kitab Shahihain, dari Siti Aisyah yang menceritakan: Bahwa Rasulullah ﷺ pernah meng-ila istri-istrinya selama satu bulan. Maka beliau baru turun setelah dua puluh sembilan hari, lalu bersabda, "Bulan ini bilangannya dua puluh sembilan hari.”
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang serupa melalui Umar ibnul Khattab. Jika masa ila lebih dari empat bulan, maka pihak istri boleh meminta kepada pihak suami agar menggaulinya setelah habis masa empat bulan. Setelah habis masa empat bulan, pihak suami hanya ada salah satu pilihan: Adakalanya menyetubuhi istrinya dan adakalanya menceraikan istrinya, pihak hakim boleh menekan pihak suami untuk melakukan hal tersebut.
Demikian itu agar pihak istri tidak mendapat mudarat karenanya. Oleh sebab itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: “Bagi orang-orang yang meng-ila istrinya.” (Al-Baqarah: 226) Yakni bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya. Di dalam ayat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa ila hanya khusus bagi istri, tidak berlaku bagi budak perempuan. Sebagaimana yang dikatakan oleh jumhur ulama.
“Diberi tangguh empat bulan (lamanya).” (Al-Baqarah: 226) Pihak suami menunggu selama empat bulan sejak ia mengucapkan sumpahnya, kemudian dihentikan, lalu dituntut untuk menyetubuhi istrinya atau menceraikannya.
Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan: “Kemudian jika mereka kembali (kepada istri-istrinya).” (Al-Baqarah: 226) Yaitu hubungan mereka berdua kembali seperti semula sebagai suami istri secara utuh. Kalimat ini merupakan kata sindiran yang menunjukkan pengertian bersetubuh. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Masruq, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, dan ulama lainnya yang tidak hanya seorang, di antaranya ialah Ibnu Jarir.
Firman Allah ﷻ: “Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 226) Artinya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang atas semua kelalaian yang dilakukan terhadap hak para istri disebabkan sumpah ila.
Firman Allah ﷻ: “Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 226) Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menjadi pegangan salah satu di antara dua pendapat yang ada di kalangan ulama, yaitu qaul qadim dari Imam Syafii. Bahwa orang yang bersumpah ila apabila kembali kepada istrinya sesudah empat bulan, tidak ada kafarat atas dirinya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang terdahulu mengenai ayat ini, diriwayatkan dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang bersumpah atas sesuatu, lalu ia melihat bahwa selainnya lebih baik daripadanya, maka kafaratnya ialah meninggalkan sumpahnya itu.”
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan Imam At-Tirmidzi. Akan tetapi, pendapat jumhur ulama sama dengan qaul jadid Imam Syafii yang mengatakan bahwa si suami dikenakan kafarat, mengingat keutamaan makna wajib membayar kafarat bagi setiap orang yang bersumpah, lalu melanggar sumpahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits terdahulu yang semuanya shahih.
Ayat 227
Firman Allah ﷻ: “Dan jika mereka berketetapan hati untuk talak.” (Al-Baqarah: 227)
Di dalam kalimat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa talak (cerai) tidak jatuh hanya dengan lewatnya masa empat bulan. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama mutaakhkhirin.
Sedangkan menurut pendapat ulama lain, talak satu jatuh setelah lewat masa empat bulan. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang sanad-sanadnya berpredikat shahih, dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Sirin, Masruq, Al-Qasim, Salim, Al-Hasan, Abu Sala-mah, Qatadah, Syauraih Al-Qadi, Qubaisah ibnu Zuaib, ‘Atha’, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman ibnu Tarkhan At-Taimi, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Suddi.
Kemudian dikatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa ila empat bulan dengan status talak raj'i. Demikianlah menurut Sa'id ibnul Musayyab, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam, Makhul, Rabi'ah, Az-Zuhri, dan Marwan ibnul Hakam.
Menurut pendapat lainnya lagi, si istri tertalak bain (talak yang tidak memberi kesempatan merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya). Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Usman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit; serta dipegang oleh ‘Atha’, Jabir ibnu Zaid, Masruq, Ikrimah, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Hanafiyyah, Ibrahim, Qubaisah ibnu Zuaib, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh.
Semua pendapat yang mengatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa empat bulan mewajibkan adanya idah atas pihak istri. Kecuali yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abusy Sya'sa yang mengatakan bahwa jika si istri telah mengalami haid tiga kali, maka tidak ada idah atas dirinya. Pendapat inilah yang dikemukakan oleh Imam Syafii. Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh jumhur ulama mutaakhkhirin mengatakan bahwa pihak suami dihentikan, lalu ia dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya, dan tiada suatu talak pun yang jatuh atas diri si istri hanya karena lewatnya masa empat bulan.
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki meng-ila istrinya, maka talaknya tidak ada yang jatuh, sekalipun telah berlalu masa empat bulan; melainkan pihak suami dihentikan, lalu dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya." Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar yang mengatakan, "Aku telah menjumpai belasan orang sahabat Nabi ﷺ, semua berpendapat bahwa lelaki yang bersumpah ila dihentikan." Pengertian belasan menurut Imam Syafii paling sedikit terdiri atas tiga belas orang.
Imam Syafii meriwayatkan sebuah atsar melalui Ali, bahwa ia menghentikan suami yang bersumpah ila. Kemudian mengatakan bahwa memang demikianlah menurut pendapat kami, pendapat ini sesuai dengan apa yang telah kami riwayatkan melalui Umar, Ibnu Umar, Siti Aisyah, Usman, Zaid ibnu Sabit dan belasan orang sahabat Nabi lainnya. Demikianlah pendapat Imam Syafii rahimahullah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayub, dari Ubaidillah ibnu Umar, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada dua belas lelaki sahabat tentang masalah seorang lelaki yang mengucapkan sumpah ila terhadap istrinya. Mereka mengatakan bahwa si suami tidak dikenakan apa pun sebelum lewat masa empat bulan, setelah itu si suami dihentikan dan dipaksa memilih salah satu di antara dua alternatif: Adakalanya kembali kepada istrinya (menyetubuhinya) atau menceraikannya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni melalui Suhail. Menurut kami, pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Aisyah Ummul Muminin, Ibnu Umar, dan ibnu Abbas.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Umar ibnu Abdul Aziz, Mujahid, Tawus, Muhammad ibnu Ka'b, dan Al-Qasim. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal serta murid-murid mereka semuanya, rahimahullah. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir, juga yang dikatakan oleh Al-Al-Laits, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Tsaur, dan Daud.
Mereka semua berpendapat bahwa jika pihak suami tidak mau kembali kepada istrinya, maka pihak suami harus menalak istrinya. Jika pihak suami tidak mau menalak istrinya, maka pihak hakimlah yang menjatuhkan talaknya. Kemudian talak yang dijatuhkan bersifat raji, si suami boleh merujuknya selagi dalam masa idahnya.
Tetapi Imam Malik berpendapat lain sendiri. Ia mengatakan, tidak boleh pihak suami merujuknya sebelum ia menyetubuhi istrinya dalam idahnya. Pendapat ini aneh sekali.
Para ahli fiqih dan lain-lainnya sehubungan dengan masalah menangguhkan seorang suami yang bersumpah ila selama empat bulan telah menyebutkan sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibnu Anas di dalam kitab Muwatta-nya, dari Abdullah ibnu Dinar yang menceritakan bahwa di suatu malam Khalifah Umar ibnul Khattab keluar, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan syair berikut: “Malam ini terasa amat panjang dan lambungnya kelihatan sudah menghitam, sedangkan aku tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang biasa bermain denganku. Maka demi Allah, seandainya aku tidak mempunyai perasaan bahwa Allah selalu mengawasiku, niscaya lambungnya akan bergerak dari tempat tidur ini.”
Kemudian Umar bertanya kepada anak perempuannya (yaitu Siti Hafsah), "Berapa lamakah seorang wanita bertahan ditinggal suaminya?" Siti Hafsah menjawab, "Enam atau empat bulan." Maka Umar berkata, "Aku tidak akan menugaskan seorang pun dari pasukan kaum muslim lebih dari masa tersebut."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari As-Saib ibnu Jubair maula ibnu Abbas yang telah menjumpai masa sahabat Nabi ﷺ (yakni tabi'in) mengatakan bahwa ia masih tetap teringat kepada sebuah hadits Umar. Disebutkan bahwa di suatu malam Khalifah Umar mengelilingi kota Madinah, dia sering melakukan hal tersebut; tiba-tiba ia melewati rumah seorang wanita Arab, sedangkan pintu rumah wanita itu tertutup, lalu terdengar wanita itu mendendangkan syair berikut: “Malam ini terasa amat panjang dan lambung tempat tidurnya sudah lapuk, sedangkan aku sendiri tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang aku biasa bermain dengannya. Aku bermain dengannya tahap demi tahap, seakan-akan bulan menampakkan alisnya di malam yang pekat, Dia membuat senang orang yang bermain di dekatnya, dalam kelembutan perutnya yang agak besar itu aku mendekatinya. Demi Allah, seandainya tidak ada Allah dan memang kenyataannya tiada sesuatu pun selain Allah, niscaya lambungnya pasti direbahkannya di atas tempat tidur ini. Akan tetapi, aku takut kepada malaikat pengawas yang ditugaskan menjaga diri kami, sepanjang masa dia selalu mencatat semuanya karena taat kepada perintah Tuhanku, sedangkan rasa malu menghalang-halangi diriku dan demi menghormat suamiku agar diriku tidak tercemar.”
Kemudian perawi melanjutkan atsar ini seperti yang disebutkan di atas atau yang serupal dengannya. Atsar ini diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, dan merupakan salah satu atsar yang terkenal.
Dan jika mereka berketetapan hati tanpa keraguan hendak menceraikan istrinya maka mereka wajib mengambil keputusan yang pasti, yaitu cerai, maka sungguh, Allah Maha Mendengar apa yang mereka ucapkan dan Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Penyebutan dua sifat Allah sekaligus mengisyaratkan bahwa talak atau perceraian dianggap sah apabila diucapkan atau diikrarkan dengan jelas dan bukan karena paksaan.
Setelah menjelaskan masalah perempuan yang ditalak suaminya, berikut ini Allah menjelaskan idah mereka. Dan para istri yang diceraikan bila sudah pernah dicampuri, belum menopause, dan tidak sedang hamil, wajib menahan diri mereka menunggu selama tiga kali quru, yaitu tiga kali suci atau tiga kali haid. Tenggang waktu ini bertujuan selain untuk membuktikan kosong-tidaknya rahim dari janin, juga untuk memberi kesempatan kepada suami menimbang kembali keputusannya. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, baik berupa janin, haid, maupun suci yang dialaminya selama masa idah. Ketentuan di atas akan mereka laksanakan dengan baik jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka berhak menjatuhkan pilihannya untuk kembali kepada istri mereka dalam masa idah itu, jika mereka menghendaki perbaikan hubungan suami-istri yang sedang mengalami keretakan tersebut. Dan mereka, para perempuan, mempunyai hak seimbang yang mereka peroleh dari suaminya dengan kewajibannya yang harus mereka tunaikan menurut cara yang patut sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. 3 yaitu derajat kepemimpinan karena tanggung jawab terhadap keluarganya. Allah Mahaperkasa atas orang-orang yang mendurhakai aturan-aturan yang telah ditetapkan, Mahabijaksana dalam menetapkan aturan dan syariat-Nya.
Ayat ini berhubungan dengan seseorang yang bersumpah tidak akan mencampuri istrinya, seperti, "Demi Allah, aku tidak akan bersetubuh dengan engkau lagi." Sumpah seperti ini disebut ila'. Dalam hal ini, istri tentu akan tersiksa dan menderita, karena tidak digauli dan tidak pula dicerai (ditalak). Hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sebab perbuatan semacam ini perbuatan zalim. Bila sudah dekat empat bulan lamanya sesudah bersumpah itu, suami harus mengambil keputusan apakah ia akan kembali bergaul sebagai suami-istri atau bercerai. Kalau suami mengambil keputusan kembali berbaik dengan istrinya, maka itulah yang lebih baik, tetapi dia harus membayar kafarat sumpah. Dia harus mengatur rumah tangganya kembali, mendidik anaknya dan tidak boleh diulangi lagi sumpah yang seperti itu. Tapi kalau dia bermaksud untuk menceraikan, maka ceraikanlah secara baik, jangan sampai istri itu teraniaya, sebab Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SUMPAH MENJAUHI ISTRI (AL-ILAA')
Karena sudah mulai membicarakan sumpah maka ada pula orang yang bersumpah tidak akan mendekati istrinya sekian lamanya. Sumpah demikian bernama ilaa'. Dia belum datang talak. Orang kampung saya di Minangkabau menyebut laki-laki yang merajuk dari istrinya sekian lama itu ialah mengutil. Mungkin kata elak dan mengelak-elak berasal dari bahasa Arab ilaa ‘ tadi.
Ayat 226
“Dan bagi orang-orang yang bensumpah hendak benjauh dini dari isbti-isbti meneka (hendaklah) menunggu (pating lama) empat bulan."
Kadang kalanya terjadi suasana muram dalam rumah tangga. Si laki-laki marah. Lantaran marahnya itu dia hendak melakukan suatu sikap kepada istrinya itu. Sikap itu ada yang terlarang, ada yang diboleh-bolehkan, tetapi dibenci, tetapi ada pula yang diatur. Yang terlarang ialah dhirar, yaitu tidak pulang-pulang saja kepada istri, tidak memberi nafkah, tetapi tidak pula diceraikan. Hanya hendak menunjukkan kekuasaan saja. Yang diboleh-kan, tetapi dibenci, yaitu segera melafalkan talak, bercerai. Tentang bercerai atau talak ada peraturannya kelak. Yang ketiga ialah marah yang teratur, yang gunanya sekadar memberi nasihat saja, yakni ilaa', yaitu bersumpah “demi Allah, tidak akan pulang-pulang". Diatur di ayat ini ilaa' hanya boleh paling lama empat bulan."Maka, jika mereka kembali (sesudah itu)," yaitu sesudah empat bulan,
“Maka, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Terlebih dahulu setelah selesai empat bulan, hendaklah dibayarkannya kaffarah sumpah mengucil empat bulan itu. Dan, boleh juga, kalau marahnya sudah reda, dia pulang kembali sebelum empat bulan sebab empat bulan adalah paling lama. Bila dia hendak pulang, wajiblah dia membayar kaffarah. Nama-nama kebesaran Tuhan yang menjadi kunci-kunci ayat, sebagai Pengampun, seakan-akan kepada si suami dianjurkan meniru sifat Tuhan itu. Mengapa lama-lama mengucil, sedangkan Tuhan lagi Pengampun, teladanilah itu dan ampunilah istri kamu, hapuskanlah marah dari hatimu. Dengan sifat Tuhan Penyayang, diperingatkan bahwa seyogianyalah si suami memperdalam rasa rahim, cinta sayang terhadap istri. Dengan berpisah empat bulan, kedua belah pihak tentu telah rindu-merindui. Apatah lagi masa empat bulan dipisahkan atau terpisah dari suami, adalah masa yang tersedih bagi seorang perempuan. Kedua pihak dalam masa empat bulan sudah dapat menyelidiki kesalahan masing-masing dan kalau berjumpa kembali, kasih sayang akan lebih mesra.
Ayat 227
“Dan jika mereka berazam hendak menalak maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Mengetahui."
Karena hal ini adalah kemerdekaan pribadi seseorang, Allah tidak akan melarang dia menalak istrinya sesudah dia mengucil selama empat bulan itu. Akan tetapi, Allah Maha Mendengar; Allah dengar walaupun suara hatinya dan Allah lebih mengetahui apa yang terkandung dalam pikirannya ketika dia berazam hendak menalak. Talak yang telah dipikirkan sejak lama bukanlah talak orang marah. Talak demikian jatuh kalau dijatuhkan. Akan tetapi, apa sebab engkau talak dia? Hanya karena sebab yang dicari-cari saja atau memang karena engkau telah pertimbangkan bahwa pergaulan engkau dengan dia tidak bisa dilangsungkan lagi? Apakah karena selisih sudah sangat mendalam? Ibarat patah, ialah patah tebu, tak dapat dipertemukan lagi? Oleh karena Allah mendengar dan mengetahui, berpikirlah dengan baik-baik apabila hari empat bulan telah hampir habis. Di sini timbul masalah khilafiyah di antara ulama fiqih. Kata setengah dari mereka, apabila misalnya bersumpah mengucil satu bulan, rupanya belum satu bulan telah ingin pulang, wajiblah is membayar kajfarah sumpah.
Kalau sudah cukup waktu empat bulan, berhaklah hakim campur tangan menanyainya, akan kembalikah kepada istrinya atau akan cerai?
Kalau dia pulang kembali, selesailah perkara. Dia diampuni, Artinya, tidak usah membayar kaffarah. Akan tetapi, kalau dia tidak mau menceraikan, hakim berhak menerangkan kepadanya bahwa saat itu dia telah bercerai. Sebab, dalam Islam terlarang keras menggantung tidak bertali terhadap istri. Kalau sengajanya hendak menasihati, empat bulan sudah cukup.
TALAK
Ayat 228
“Dan perempuan-perempuan yang ditalak itu hendaklah menahan diri mereka tiga kali bensih."
Inilah yang dinamai iddah talak, yaitu tiga quru', tiga edaran haid dan bersih. Menahan diri Artinya, belum boleh bersuami, lamanya tiga quru', tiga kali suci dari haid. Sengaja kita tidak membawa khilaf ulama dalam hal ini dan kita langsung saja menjelaskan bahwa penahanan diri selama tiga quru' itu untuk menjelaskan bersihnya perempuan itu dari kandungan anak dari suami yang menalaknya itu. Sebab itu, Rasulullah membimbing juga kesopanan menalak istri, yaitu jangan ditalak dia ketika dalam haid. Sayyidina Abdullah bin Umar sampai dicela oleh Rasulullah ﷺ karena dia menalak istri dalam keadaan haid. Ini karena kalau ditalak dalam keadaan haid, terlalu lama dia menunggu iddah, yaitu masa haid dia ditalak, suci pertama, haid kedua, suci kedua, haid ketiga, dan suci ketiga. Akan tetapi, kalau sehabis haid itu baru ditalak dan tidak disetubuhi lebih dahulu, dia hanya menunggu dua kali haid lagi, di suci ketiga dia telah boleh kawin pula, empat bulan telah habis, dengan sendirinya talak telah terjadi sehingga pintu buat dhirar atau menganiaya perempuan tidak terbuka, yang dinamakan menggantung tidak bertali. Menurut paham ini, bila perempuan itu datang kepada hakim nikah bahwa pada hari ini sudah cukup empat bulan suaminya tidak pulang-pulang, berhaklah dia menyatakan bahwa mulai hari itu dia tidak bersuami lagi. Hakim hanya tinggal mensahkan saja, asal cukup bukti memang telah habis empat bulan. Kata setengahnya lagi, jatuhnya talak dengan resmi ialah setelah dinyatakan oleh hakim.
“Dan tidaklah halal bagi mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah di dalam peranakan-peranakan mereka!' Artinya, kalau dia mengandung, wajiblah bagi dia memberitahukan hal itu sehingga nyata bahwa ayah anak yang dalam kandungan itu iaiah suami yang menyatakannya itu."Jika memang mereka beriman kepada Allah dan hari yang akhir" Ini diperingatkan benar agar jangan dibangkitkan dalam Islam kecurangan zaman jahiliyyah, yaitu perempuan sengaja menyembunyikan kandungannya lalu langsung bersuami dan anaknya dengan suami yang menceraikannya itu dipandang sebagai anak dari suaminya yang baru. Maka, kacaulah keturunan, orang mengasuh anak yang bukan anaknya. Ditambah lagi keterangannya oleh setengah ulama, termasuk juga kecurangan menyembunyikan haid yang keluar dari rahimnya, supaya lama iddahnya, supaya nafkah bekas suaminya masih lama diterimanya. Ini adalah perbuatan orang yang tidak beriman.
Kalau ternyata dia hamil, yang mendapat hak pertama sekali atasnya ialah bekas suaminya itu."Sedang suami mereka lebih berhak mengembalikan mereka kepada keadaan yang demikian, jika semuanya hendak mencari damai." Ditekankan dengan frase ingin mencari damai karena memang banyak orang yang keras mempertahankan diri menjadi lunak kembali setelah mengetahui bahwa dia akan menunggu kedatangan anak. Mungkin dia menyesal bercerai, mengingat bekas istrinya itu sedang mengandung anaknya. Dengan kata yang demikianpun dengan halus ditarik tangan orang lain, tangan keluarga ataupun hakim nikah buat berusaha mendamaikan orang ini supaya hidup rukun kembali. Sama-sama menunggu anak yang tercinta. Bukankah tadi dikatakan bahwa istri itu adalah sawah ladang kamu? Tempat kamu menanamkan benih kamu? Sekarang, benih itu akan tumbuh, bukankah lebih baik berdamai, surut sebagai sediakala?
Perhatikanlah di sini mulai bertemu perkataan,
“Jika mereka hendak mencari damai."
Di sini sudah bertemu orang lain, bukan kedua suami-istri saja lagi. Maka, dibukakanlah pintu bagi yang lain, yaitu keluarga-keluarga kedua belah pihak supaya berusaha agar mereka keduanya itu berdamai. Bujuklah mana yang keras di antara mereka supaya lunak hatinya, supaya damai kembali. Ingatlah anak yang dalam kandungan itu. Sebelum dia lahir, hendaknya ayahnya sudah pulang kembali. Jangan sampai setelah melihat dunia, dia tidak melihat wajah ayahnya."Jika mereka ingin mencari damai" Perkataan itu meninggalkan kesan yang dalam pada hati keluarga-keluarga, yang Artinya, ialah, “Hai kaum keluarga! Damaikanlah mereka. Kasihan anak.dalam kandungan."
“Dan bagi mereka (perempuan) adalah (hak) seumpama (kewajiban) yang atas mereka jua dengan patut." Inilah yang amat penting di dalam ayat ini mengenai orang perempuan. Mereka pun mempunyai hak di samping memikul kewajiban, sebagaimana juga orang laki-laki ada hak dan ada kewajiban. Bukanlah orang perempuan itu hanya wajib begini, mesti begitu, misalnya mesti khidmat kepada suami, tidak membantah, dan wajib selalu taat. Akan tetapi, dia juga mempunyai hak buat dihargai, berhak atas hak miliknya sebagaimana berhaknya atas dirinya sendiri. Sekiranya terjadi kekacauan di dalam rumah tangga, tidaklah boleh kepadanya saja ditimpakan kesalahan, tetapi ditilik, apakah di sini si suami juga ada kelalaian memenuhi kewajibannya?
“Dan laki-laki mempunyai derajat atas mereka!' !tu adalah suatu hal yang wajar di dalam rumah tangga yang hendak teguh berdiri.
Meskipun keduanya, laki dan istri, sama berhak dan sama berkewajiban, di dalam rumah tangga, sebagai dasar pertama dalam masyarakat yang besar, yang kepalanya hanya satu, yaitu suami. Sama juga dengan kapal besar tengah berlayar. Juru bantu atau masinis bertanggung jawab penuh dalam putaran mesin-mesin kapal, tetapi tanggung jawab terakhir adalah kepada satu orang jua, yaitu nakhoda kapal. Satu kapal dengan dua nakhoda tidak mungkin. Dan, segala otak yang sehat harus mengakui bahwa tanggung jawab terakhir dalam rumah tangga pastilah suami. Ini karena dia yang lebih mengetahui rahasia kekuatan dan kelemahan, bahaya dari luar dan rintangan yang akan diatasi. Suami-istri yang cerdik akan bermusyawarah dalam hal yang penting-penting di dalam rumah tangga. Tentang perbelanjaan, penambahan dan pengurangan anggaran, akan menerima menantu dan sebagainya, tetapi keputusan terakhir tetap pada suami. Di situlah laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi.
“Dan Allah adalah Mahagagah lagi Bijaksana."
Allah Gagah untuk menghukum seorang suami yang memakai haknya yang berlebih itu dengan sewenang-wenang. Allah akan menghukum orang yang memandang bahwa teman hidupnya itu, perempuan, yang telah diserahkan Allah padanya sebagai amanah, adalah hanya untuk melepaskan nafsunya; bila senang kawini, tidak senang dilempar. Allah Mahagagah pula buat menghukum perempuan yang menuntut lebih daripada hak dan kewajibannya. Yang lupa bahwasanya betapa pun jua, tetapi tenaga perempuan tidaklah serupa dengan tenaga laki-laki di dalam menempuh gelombang hidup. Allah Mahabijaksana untuk menurunkan kebahagiaan kepada rumah tangga yang masing-masing anggotanya menjunjung tinggi kewajiban dan memakai hak masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Ayat 229
“Talak itu hanya dua kati, sesudah itu peganglah dengan sepatutnya atau lepaskan dengan cara yang baik."
Talak artinya lepas atau putus pertalian, habis pergaulan, bercerai, dan berpisah. Talak berarti lepas dari ikatan. Sebab, waktu nikah diadakan akad. Akad itu berarti ikatan, yaitu ijab qabul di antara wali dan mempelai laki-laki. Sebab itu, ada baiknya berpegang tangan di antara si wali dan si mempelai ketika akad itu guna melambangkan janji telah diikat. Dengan talak, berarti ikatan itu telah ditanggalkan atau dilepaskan. Rumah tangga yang didirikan oleh dua orang suami-istri selama ini dengan rukun dan damai, karena suatu hal terpaksa ditanggalkan ikatannya. Yang seperti itu sebaiknya hanya terjadi dua kali. Dengan ayat ini, sudah tegas bahwasanya yang dimaksud ialah si laki-laki mengucapkan lafal talaknya satu kali maka terjadilah cerai satu kali pula. Kemudian, karena kedua belah pihak sama-sama menyesal, mereka pun berkesurutan kembali. Si istri bergaul lagi dengan suaminya.
Ini dinamai rujuk, kalau iddah belum lepas. Kemudian, entah apa sebabnya mereka pun bercerai pula. Cerai yang kedua kali. Maka, di dalam ayat ini Tuhan memberi nasihat, sebaiknya sehingga dua kali itu sajalah bercerai. Sebab, orang-orang yang ada pertimbangan akan mengerti bahwa perceraian yang pertama mungkin karena belum dipikirkan matang. Biasanya kalau terjadi selisih, yang tampak hanya kesalahan saja. Akan tetapi, kalau sudah bercerai, teringatlah kembali kebaikan yang ada di kedua belah pihak. Sebaiknya rujuklah di dalam iddah supaya selesai perkara dan damai timbul kembali. Perceraian beberapa lama ini akan meninggalkan kesan mendalam pada jiwa masing-masing. Maka, kalau terjadi perceraian yang sekali lagi, yaitu cerai yang kedua, berpikirlah keduanya lebih mendalam. Pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah hendaklah menjadi pengajaran. Atau berkembalian dengan baik, secara patut dan tidak akan bercerAl-cerai lagi. Atau habislah sehingga itu, lepaskan dengan sebaik-baiknya. Dua kali bercerai sudahlah menjadi pengalaman bagi kedua belah pihak. Barangkali memang ada pendirian-pendirian masing-masing yang tidak bisa dipertemukan selama-lamanya. Elakkanlah supaya jangan sampai terjadi pula cerai yang ketiga, karena tidak akan dapat dipertemukan lagi. Si perempuan sudah patut menerima suami lain, barangkali dengan dia bisa cocok pergaulan. Si suami pun bisa memilih istri lain yang lebih sesuai perangai.
Dengan kalimat “talak itu hanya dua kali" sudah terang bahwa yang dimaksud ialah berpisah sampai dua kali, bukan mengucapkan lafal talak dalam satu majelis dua kali, apatah lagi tiga kali. Sebab, melafalkan talak dua kali atau tiga kali dalam satu majelis hanya akan menghasilkan pisah satu kali, bukan dua atau tiga kali. Dan, lagi perbuatan demikian sangat dimurkai Rasulullah sebab mengubah-ubah peraturan yang telah ditentukannya. Di zaman Rasulullah dan Sayyidina Abu Bakar, melafalkan talak dua atau tiga kali dalam satu majelis, hanya dihukumkan satu yang jatuh. Baru di zaman Umar dipandang jatuh dua dan jatuh tiga karena kata beliau orang sudah terlalu banyak mempermain-mainkan talak. Ini sebagai hukuman dari beliau. Akan tetapi, ijtihad Sayyidina Umar ini bukanlah suatu hal yang mesti diikut saja, sebab di dalam seratus macam ijtihad Umar, tentu ada juga satu-satu kali yang kurang tepat. Jika karena Umar memutuskan talak dua atau tiga di satu majelis dipandang jatuh dua dan jatuh tiga itu yang lebih benar, niscaya sunnah Rasul dan khalifah beliau yang pertama tidak diakui kebenarannya.
Di dalam kenyataan, kerap kali memang orang menjatuhkan talak dua atau talak tiga sekaligus itu adalah karena sedang sangat marah. Malahan ada orang yang karena marahnya menjatuhkan talak, “Aku talak engkau serumpun bambu!" Maka ulama-ulama fiqih pun berat kepada pertimbangan bahwasanya talak yang dijatuhkan karena sedang marah itu tidaklah jatuh.
Kemudian, karena setengah hakim memutuskan menurut keputusan Umar, talak tiga di satu majelis dipandang benar-benar talak jatuh ketiganya, timbullah sesal dari kedua belah pihak sehingga kemudian dapat akal busuk, yaitu menyewa orang buat mengawini perempuan itu, dengan perjanjian lebih dahulu bahwa sehabis dicampurinya perempuan itu sekali, hendaklah diceraikannya. Maka, dicarilah orang-orang bodoh yang kurang-kurang akalnya, diupah kawin oleh si janda, dan selesai persetubuhan, perempuan itu diceraikannya dan upahnya diterima. Ini yang dinamai dalam hadits “taisul musta'ar" kambing (bandot) pinjaman. Nabi ﷺ telah bersabda,
“Dikutuk Allah orang yang jadi penghalal itu dengan orang yang dihalalkan untuknya." (Hadits shahih)
Pada hadits ini suami sewaan untuk sekali bersetubuh itu bukan disebut suami, melainkan seorang yang dipandang sebagai alat untuk menghalalkan bagi suami pertama tadi untuk rujuk kembali kepada istrinya yang sudah ditalak tiga kali. Dengan perbuatan yang jijik dan cemar ini, orang mencari dalih untuk melepaskan dirinya dari kesulitan yang dibuatnya sendiri. Dia langgar ketentuan dan hikmah Ilahi yang berkenaan dengan pem-bangunan rumah tangga lalu untuk itu mereka menempuh jalan yang dikutuk oleh Allah.
Sebab itu, ayat ini memberikan tuntunan, kalau terpaksa bercerai, cukuplah hingga dua kali. Malahan setelah cerai yang pertama, akan rujuk yang kedua sudahlah patut berpikir. Dan, setelah bergaul kembali, pikir-pikirkan benar terlebih dahulu baru bercerai. Cerai yang kedua hendaknya sehabis-habis pikir. Atau rujuk dan jangan bercerAl-cerai lagi. Atau kalau terpaksa bercerai juga yang kedua, habislah hingga itu. Dan, kalau bercampur kembali janganlah juga yang kedua, habislah hingga itu. Dan, kalau bercampur kembali janganlah bercerai lagi, tahanlah hangat dingini.
“Dan tidaklah halal bagi kamu bahwa kamu ambil dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka." Ini juga berisi pendidikan budi yang mendalam. Alangkah rendahnya budi orang yang ketika hati sedang lekat, istri dibelikan ini dibelikan itu, tetapi setelah cerai diminta kembali atau diambil kembali. Yang sudah diberikan sudahlah menjadi kepunyaannya, janganlah dirisaukan hubungan hati karena mencintai benda, “Kecuali jika keduanya takut bahwa keduanya tidak akan mendirikan batas-batas peraturan" Inilah perceraian yang terjadi karena keduanya sudah sama insaf bahwa pergaulan mereka tidak akan bisa diteruskan lagi. Si perempuan merasa lebih baik bercerai saja, si laki-laki mau asal diganti kerugiannya. Dalam saat seperti ini tangan ketiga sudah boleh campur memasuki untuk mencari penyelesaian. Sebab itu, di sambungan ayat disebut, “Maka, jika kamu takut mereka berdua tidak akan mendirikan peraturan-peraturan Allah maka tidaklah mengapa atas keduanya tentang apa yang ditebuskan si istri dengan dia." Di sini sudah disebut kamu, tidak khusus jadi urusan (mereka) berdua lagi. Kamu di sini pada tingkat pertama ialah keluarga, sedangkan tingkat terakhir ialah hakim. Setelah diselidiki memang terdapat sebab-sebab yang menunjukkan bahwa persuami-istrian orang tidak dapat dilanjutkan lagi, sebab si istri tidak dapat mempertanggungjawabkan lagi bahwa pergaulan ini akan selamat kalau diteruskan, sedangkan si suami mau menceraikan asal kerugiannya diganti. Inilah yang dinamai khulu' atau iwadh dan dinamai juga tebus talak. Maka, perempuan itu boleh menyerahkan barang-barang haknya meskipun hak itu adalah pembelian suaminya untuk dia. Sejak lekat ke badannya memang dialah yang empunya barang-barang itu. Dalam hal ini jelas sekali tentang adanya hak si perempuan, sebagaimana yang disebut pada ayat yang terdahulu tadi.
“Demikianlah peraturan-peraturan Allah maka janganlah kamu langgar akan dia. Dan, barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan Allah, itulah orang-orang yang zalim."
Laki-laki mengambil kembali barang yang diberikan, adalah melanggar peraturan Allah. Perempuan minta cerai dengan tidak ada alasan, adalah melanggar peraturan Allah.
Ayat 230
“Maka, jika dia talak (lagi) akan dia maka tidaklah halal baginya sesudah itu, sehingga dia (perempuan) kawin dengan suami yang lain."
Yang dimaksud di sini ialah orang telah bercerai dua kali tadi, yang telah diberi nasihat oleh ayat di atas supaya dicukupkanlah bercerai sampai dua kali. Rupanya terpaksa juga mereka bercerai, cerai yang ketiga. Kalau sudah terjadi cerai yang ketiga, si suami tidak boleh surut lagi. Selepas iddah perempuan itu, dia sudah boleh kawin dengan laki-laki yang lain pula. Riwayat laki yang pertama sudah habis hingga itu."Maka, jika ditalaknya (pula)" oleh suami yang kedua itu, “Maka, tidaklah mengapa bagi mereka berdua jika mereka berkem-balian, (yaitu) jika keras sangka mereka berdua bahwa mereka berdua akan dapat menegakkan peraturan-peraturan Allah." Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa bercerai dan berkembalian itu ialah jika terjadi perceraian dengan suami yang kedua itu, dengan suami kedua itu pun boleh berkembalian kembali, sebagaimana peraturan dengan suami pertama yang telah bercerai tiga kali itu. Artinya, suami kedua mempunyai hak-hak pula sebagai hak suami pertama tadi, boleh bercerai sampai dua kali atau tiga kali, sehingga perempuan itu bersuami lain pula. Setengah penafsir mengatakan bahwa kalau si perempuan bercerai lagi dengan suami yang kedua itu, suami yang pertama yang telah pernah talak tiga kali, boleh pula mengawininya. Memang keduanya itu bisa terjadi. Bahkan bisa juga terjadi, setelah bercerai dengan suami kedua satu kali dan dia tidak rujuk sebelum habis iddah, datang lagi laki-laki ketiga dan perempuan itu kawin pula dengannya.
“Dan begitulah peraturan-peraturan Allah, dinyatakan-Nya dia, untuk kaum yang (suka) mengetahui."
(ujung ayat 230)