Ayat
Terjemahan Per Kata
يَوۡمَ
hari
يَأۡتِ
datang
لَا
tidak
تَكَلَّمُ
berbicara
نَفۡسٌ
seseorang
إِلَّا
kecuali
بِإِذۡنِهِۦۚ
dengan izinNya
فَمِنۡهُمۡ
maka diantara mereka
شَقِيّٞ
celaka
وَسَعِيدٞ
dan berbahagia
يَوۡمَ
hari
يَأۡتِ
datang
لَا
tidak
تَكَلَّمُ
berbicara
نَفۡسٌ
seseorang
إِلَّا
kecuali
بِإِذۡنِهِۦۚ
dengan izinNya
فَمِنۡهُمۡ
maka diantara mereka
شَقِيّٞ
celaka
وَسَعِيدٞ
dan berbahagia
Terjemahan
Ketika hari itu datang, tidak seorang pun yang berbicara, kecuali dengan izin-Nya. Maka, di antara mereka ada yang sengsara dan ada yang berbahagia.
Tafsir
(Di kala datang hari itu) sudah tiba saatnya (tidak dapat berbicara) lafal takallama pada asalnya adalah tatakallama, kemudian salah satu huruf tanya dibuang sehingga jadilah ia takallama (seorang pun melainkan dengan izin-Nya) izin Allah ﷻ (maka di antara mereka) makhluk (ada yang celaka dan) yang lainnya (ada yang berbahagia) masing-masing telah dipastikan nasibnya di zaman azali.
Tafsir Surat Hud: 103-105
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh semua makhluk).
Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu.
Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.
Ayat 103
Allah ﷻ berfirman, Sesungguhnya dalam pembinasaan Kami terhadap orang-orang kafir dan penyelamatan Kami terhadap orang-orang mukmin "benar-benar terdapat tanda.” (Hud: 103) Yakni pelajaran dan nasihat yang menunjukkan kebenaran ancaman Kami kelak di hari kemudian.
Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (Al-Mumin: 51)
“Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka, ‘Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu’.” (Ibrahim: 13), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah ﷻ: “Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)nya.” (Hud: 103)
Maksudnya, dari yang pertama hingga yang paling akhir dari mereka semuanya dihimpunkan pada hari itu. Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu: “Dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.” (Al-Kahfi: 47)
Firman Allah ﷻ: “Dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh semua makhluk).” (Hud: 103)
Yakni hari yang sangat besar, dihadiri oleh para malaikat; pada hari itu berkumpul pula para rasul, dan semua makhluk yang terdiri atas jin, manusia, burung-burung, binatang-binatang liar serta semua binatang ternak dihimpunkan.
Lalu pada hari itu Tuhan Yang Maha Adil menjalankan hukum-Nya tanpa berbuat zalim sedikit pun; jika amal perbuatan berupa suatu kebaikan, maka Dia melipat gandakan pahalanya.
Ayat 104
Firman Allah ﷻ: “Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu.” (Hud: 104)
Artinya, tidak sekali-kali Kami mengundurkan terjadinya hari kiamat melainkan karena telah ditetapkan oleh Allah dalam takdir-Nya yang terdahulu tentang keberadaan sejumlah manusia dari keturunan anak Adam, dan telah ditetapkan-Nya masa tertentu bagi mereka. Apabila masa itu telah mereka lalui dan keberadaan mereka di dunia telah terpenuhi menurut takdir-Nya, maka barulah hari kiamat terjadi. Karena itulah dalam firman-Nya disebutkan:
“Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu.” (Hud: 104)
Yaitu sampai waktu yang tertentu, tidak ditambahi dan tidak dikurangi.
Ayat 105
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya.” (Hud: 105)
Pada waktu hari kiamat terjadi, tiada seorang pun yang berbicara kecuali dengan izin Allah. Ayat ini semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui firman-Nya:
“Mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (An-Naba: 38)
“Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” (Thaha: 108), hingga akhir ayat.
Di dalam hadis Sahihain mengenai syafaat disebutkan: Pada hari itu tiada seorang pun yang berbicara selain para rasul, dan doa para rasul pada hari itu ialah, "Ya Allah, selamatkanlah selamatkanlah.”
Firman Allah ﷻ: “Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (Hud: 105)
Artinya, di antara mereka yang dihimpunkan pada hari perhimpunan itu ada yang celaka, ada pula yang berbahagia; perihalnya sama dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: “Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (Asy-Syura: 7)
Al-Hafiz Abu Ya'la di dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Hissan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu Sufyan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar, dari Umar yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan: “Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (Hud: 105) Ia bertanya kepada Nabi ﷺ, "Wahai Rasulullah, apakah yang harus kita kerjakan? Apakah yang kita kerjakan adalah sesuatu yang telah dirampungkan, ataukah sesuatu yang belum dirampungkan?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Hai Umar, hal yang kita kerjakan adalah sesuatu yang telah dirampungkan dan telah dicatat oleh qalam (pena) takdir, tetapi tiap-tiap orang diciptakan sesuai dengan bakatnya masing-masing.
Kemudian Allah ﷻ menjelaskan keadaan orang-orang yang celaka dan orang-orang yang berbahagia. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman:
Ketika hari Kiamat itu datang, tidak ada seorang pun yang mampu
berbicara untuk berdalih di hadapan Allah karena dahsyatnya hari itu,
kecuali dengan izin-Nya, yakni diberi kemampuan berbicara. Maka di
antara mereka ada yang sengsara akibat perbuatan buruk yang mereka
lakukan, mereka adalah kelompok penghuni neraka, dan ada yang berbahagia karena amal baik yang mereka lakukan selama di dunia, mereka adalah penghuni surga. Maka adapun orang-orang yang sengsara di akhirat akibat perbuatan
buruk yang mereka lakukan ketika di dunia, maka tempat tinggalnya
adalah di dalam neraka, di sana mereka mendesah keras ketika mengeluarkan nafas dan demikian pula ketika menarik nafas diiringi dengan suara
merintih, karena pedihnya siksaan neraka.
Pada ayat ini Allah ﷻ menerangkan bahwa jika hari yang telah ditentukan itu tiba, tidak seorang pun dapat berbicara dan berbuat sesuatu kecuali dengan izin Allah, sebagaimana firman-Nya:
Inilah hari, saat mereka tidak dapat berbicara, dan tidak diizinkan kepada mereka mengemukakan alasan agar mereka dimaafkan. (al-Mursalat/77: 35-36)
Dan firman-Nya:
Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan dia hanya mengatakan yang benar. (an-Naba/78: 38)
Di antara orang-orang yang berkumpul di hari Kiamat itu, ada yang celaka, mereka akan mendapat azab yang pedih sebagaimana yang telah diancamkan kepada orang-orang kafir, dan ada yang berbahagia, mereka akan memperoleh pahala dan kesenangan sepanjang masa sesuai dengan yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERJUANGAN MUSA MENGHADAPI FIR'AUN
Di dalam surah Huud ini, Allah mewahyukan juga kepada Nabi ﷺ dari hal perjuangan Nabi Musa a.s. menantang Fir'aun. Sebagaimana rangkaian kisah nabi-nabi yang telah disebutkan lebih dahulu. Di dalam surah Huud ini kisah Musa tidaklah begitu panjang. Itu dapatlah kita maklumi karena di dalam surah-surah lain yang agak panjang, baik yang turun di Madinah, kisah perjuangan Musa selalu ditonjolkan; itu sebabnya, di surah ini kisah Musa pun disebut dalam rangkaian dengan kisah-kisah nabi yang lain. Sebab perjuangan Nabi Musa adalah perjuangan yang paling dahsyat dibandingkan dengan perjuangan nabi-nabi lain, sebelum Nabi Muhammad ﷺ.
Ayat 96
“Dan sesungguhnya telah Kami utus (pula) Musa dengan ayat-ayat Kami."
Telah banyak kita terangkan apa arti ayat. Satu di antara artinya ialah tanda atau bukti. Allah telah mengutus Nabi Musa a.s. untuk membuktikan kenabian dan kerasulannya. Beliau telah diberi berbagai tanda yang lemah akal manusia buat memikirkan sebab-musababnya. Di dalam surah an-Naml ayat 12 dan di dalam surah al-lsraa' ayat 101 di-sebutkan bahwa tanda bukti itu sampai sembilan macamnya. Di antaranya ialah tongkat yang selalu dipegangnya itu, yang bisa menjelma menjadi ular dan bisa pula dipukulkan ke laut, laut pun menjadi belah dua, dan bisa pula dipukulkan ke batu maka dari batu memancarlah dua belas mata air, dan lain-lain.
“Dan dengan keterangan yang nyata."
Artinya, asas dan tujuan perjuangan Musa melawan Fir aun itu adalah suatu keterangan yang nyata atau yang benar. Di dalam bunyi ayat keterangan itu disebut sulthanin mubiin. Maksudnya, perjuangan Musa itu terang, nyata, dan tegas. Tujuannya benar dan lantaran itu, walaupun Musa sendiri masih lemah dan Fir'aun mempunyai kekuatan dan kekuasaan, perjuangan Musa tidak dapat dipatahkan sebab perjuangan itu benar. Walaupun Musa dan pengikutnya kelihatan pada lahirnya masih lemah, dia mempunyai kekuatan dan kekuatan dalam jiwa manusia sebab dia benar.
Musa itu diutus Allah,
Ayat 97
“Kepada Fir'aun dan para penyokongnya."
Kita tafsirkan kalimat bahasa Arab mala-ihi dengan para penyokongnya, yang bisa juga ditafsirkan dengan orang-orang yang mengelilinginya atau dalam bahasa yang lebih mo-dern lagi “rezim"nya atau klieknya. Karena seorang raja yang memerintah dengan kehendak sendiri, mesti mempunyai kliek, penyokong-penyokong, pembantu, atau staf atau lebih besar lagi; “orang-orang yang mengelilingi" atau penjilat-penjilat yang selalu memuji dan memuja dan memasukkan usul dan saran guna memperkuat kedudukan “daulat tuanku" yang sedang berkuasa itu. Karena sudah terang bagaimanapun puncak kekuasaan yang dicapai oleh seorang adikara, dia tidak akan dapat memperkukuh kekuasaan kalau tidak ada rezim yang menyokong. Di antara orang-orang seperti ini dengan si puncak kekuasaan adalah beri-memberi. Saya puji engkau, tetapi naikkan pangkat saya. Saya beri engkau kehormatan tertinggi, tetapi puja aku sebagaimana memuja Allah! Pada lanjutan ayat ditegaskan, “Maka mereka ikutlah perintah Fir'aun itu." Sehingga lantaran taat setia kepada Fir'aun, lama-lama kemerdekaan jiwa mereka tidak ada lagi. Mereka tidak merdeka lagi menyebut kebenaran sebab lidah mereka telah dipotong dengan harta, mulut mereka telah disumbat dengan emas, dan kebebasan diri telah terikat dan terbelenggu oleh pangkat-pangkat yang tinggi. Maka terjadilah apa yang selalu bertemu dalam ungkapan kuno “segala titah patik junjung di atas batu kepala patik" walaupun titah itu jauh dari garis kebenaran. Dan di ujung ayat ditegaskan lagi,
“Padahal tidaklah perintah Fir'aun itu bijaksana."
Perintah Fir'aun hanyalah apa yang enak dalam hatinya saja. Perintah Fir'aun tidaklah akan membawa kemakmuran bagi umat dan tidak pula memperjelas tujuan menuju apa yang diridhai oleh Allah. Sebab mereka tidak percaya lagi akan kebesaran lain walaupun kebesaran Allah karena segala kekuasaan telah dipusatkan kepada Fir'aun.
Ayat 98
“Dia akan mendahului kaumnya di hari Kiamat."
Di pangkal ayat ini bertemu kalimat yaqdumu, yang kita artikan ke dalam bahasa Indonesia dengan ‘mendahului' Sebagaimana di dunia ini, jika Fir'aun berangkat ke mana-mana, dia yang berjalan di muka sekali, kendaraannya didahulukan dari kendaraan yang lain, dan yang lain adalah semata-mata iring-iringan, maka dibayangkanlah dalam ayat ini bahwa sampai ke akhirat pun Fir'aun akan di muka sekali juga di dalam perjalanan menuju adzab Ilahi."Lalu Dia akan memasukkan mereka ke dalam neraka." Akan berbondong-bondong bersama, Fir'aun di muka sekali, suatu arak-arakan besar menuju neraka,
“Dan itulah seburuk-buruk tempat yang akan didatanginya."
Mengapa kaum Fir'aun itu akan terjun ke neraka dan Fir'aun berjalan di muka sekali? Padahal kaum pengikut itu hanya terpaksa saja? Tidak! Sebagaimana kita katakan di atas tadi, seorang raja atau kepala negara tidaklah akan berani menyatakan dirinya sama kuasa dengan Allah atau menjadi Allah pula sendirinya kalau tidak ada yang membantu, kalau tidak ada yang menuhankan. Di dalam sejarah hasil penyelidikan tentang Fir'aun-Fir'aun Mesir itu terdapat keterangan bahwa pendeta-pendeta atau kahin-kahin berdiri di samping Fir'aun untuk menanamkan kepada rakyat keyakinan bahwa Fir'aun itu memang Allah. Beribu tahun lamanya melengket di dalam jiwa orang Mesir Kuno itu bahwa Fir'aun adalah keturunan dari Dewa Osiris, yaitu Tuhan Langit. Dengan memelihara dan memupuk kepercayaan seperti ini, persekongkolan Fir'aun dengan pemimpin-pemimpin agama, pendeta, kahin atau pedanda, kekallah kepercayaan itu dan mudahlah rakyat diperintah. Tersebut dalam sejarah bahwa satu waktu datanglah seorang Fir'aun yang mencoba membebaskan dirinya dari kepercayaan yang demikian. Nama Fir'aun itu ialah Ikhnatun. Dia menolak untuk dianggap sebagai Allah. Dia menegakkan kepercayaan tentang Satu Yang Mahakuasa di langit, Yang Maha Esa.
Hampir tiga puluh tahun lamanya dia memerintah. Dicobanya memotong tangan kekuasaan pendeta-pendeta yang mengambil keuntungan meneguhkan kekuasaan dengan “menuhankan" Fir'aun. Sayangnya usaha Fir'aun Ikhnatun itu hanya dapat ditegakkan se-lama dia hidup saja. Setelah dia mati, pendeta-pendeta kembali mengukuhkan kekuasaannya dengan memaksa Fir'aun baru berjanji menerima jika dia diangkat menjadi Tuhan.
Oleh sebab itu, dapatlah kita pahami dalam ayat yang sedang kita tafsirkan ini bahwa Fir'aun zaman Musa mengakui diri jadi Allah, sokong-menyokong dengan kaumnya, dengan rezimnya, pendeta-pendeta, dan kahin-kahin. Maka dapatlah dipahami jika Fir'aun jalan di muka sekali (yaqdumu) dalam rombongan masuk neraka.
Ayat 99
“Dan diiringi mereka itu di dunia ini oleh laknat."
Artinya, sejak dari dunia ini pun mereka telah kena laknat kutuk Allah. Sedangkan ketika kelak dihalau ke neraka, Fir'aun jalan di muka sekali itu adalah laknat yang kedua. Laknat yang pertama ialah ketika mereka masih di dunia. Walaupun bagaimana megah, walaupun bagaimana kaya, walaupun bagaimana berkuasa, namun seluruh gerak hidup diliputi oleh laknat sehingga tidak pernah bersenang diam, mendapat sumpah serapah dari rakyat yang teraniaya. Dan di antara orang besar-besar sendiri terjadilah perlombaan mengambil muka lalu fitnah-memfitnah di antara satu dan yang lain di dalam mendekati Fir'aun yang berkuasa. Maka berkumpullah segala tukang sihir, segala tukang tenung, untuk menilik di dalam ramal apa bahaya yang akan tiba dan bagaimana mengelakkannya. “Dan di hari Kiamat pun," yaitu sesudah laknat dunia, mereka pun menerima laknat di Hari Akhirat. Sedangkan di dunia ini saja, alangkah ngeri kita melihat jika ada seorang mantan menteri atau mantan presiden ditangkap dan diiringkan ke dalam tahanan kemudian dihadapkan ke muka hakim, kemudian sekali menerima hukuman atas kesalahannya yang merugikan negara atau seorang penguasa mana pun di dunia ini, akan diperiksa kesalahannya, akan dipertimbangkan buruk dan baiknya kemudian akan menerima keputusan hukumnya akan masuk neraka.
“Seburuk-buruk ringanlah yang akan diiring-iringkan itu."
Untuk meresapkan dalam hati tentang amatburuknyapemberianyangakan diberikan di hari Kiamat itu, ingat dan gambarkan kembali tatkala hujan bintang, orang besar-besar menerima tanda-tanda jasa di dunia ini, sehingga berderetlah bintang-bintang di dada dengan berbagai warna pita. Di hari Kiamat, sebalik dari itu yang akan mereka terima, yaitu ancaman, siksaan lahir batin, dan adzab.
Habislah kebesaran dunia ini bila orang telah dimasukkan di dalam liang lahat. Bahkan Fir'aun-Fir'aun Mesir membalsem badan dirinya sendiri dengan obat balsem yang hebat sekali, yang sampai sekarang bagaimanapun orang telah menyelidiki belum juga diketahui ramuan apa, logam apa, alat dan minyak apa yang mereka pakai buat meneguhkan daging manusia yang telah mati sehingga tidak gugur dan tidak habis kembali jadi tanah. Namun, setelah datang manusia yang kemudian, dua ribu tahun di belakang itu, dalam abad kesembilan belas dibongkar orang kubur-kubur pusara Fir'aun itu kembali. Dibongkar orang piramida (al-ahram) dan bangunan kuburan yang lain. Maka bertemulah tubuh Fir'aun-Fir'aun yang telah dibalsem itu, kadang-kadang bersama permaisurinya, kadang-kadang bersama pengiringnya, semuanya membeku seperti dendeng yang telah lama ter-jemur. Daging kering keras membalut tulang, gigi tidak ada yang gugur, kuku tak ada yang tanggal dari jari, hanya mata saja yang cekung.
Akan diapakan semua itu? Dibuatlah sebuah museum; dikumpulkan semua di sana untuk jadi tontonan kaum pelancong, kaum turis. Maka di seluruh museum di dunia ini, di Paris, London, atau museum penting yang lain, ada saja disimpan orang tubuh kering itu, dan museum yang besar sekali ialah yang ada di Mesir itu sendiri. Di dalam Museum Kairo (Kahirah) dipertontonkanlah tubuh Tutankhamen, Fir'aun yang terkenal dengan singgasana emasnya dengan cincin dan per-hiasaannya, dengan keranda emas berlapis tujuh, dan ketujuh lapis itu masih lengkap dalam museum.
Mereka di kala hidup percaya bahwa di seberang kehidupan dunia mereka akan me-nempuh kehidupan yang lebih lanjut dengan serba kebesaran. Tetapi kemudiannya, bebe-rapa abad telah berlalu, mereka digali orang untuk ditempatkan di museum, untuk dijadi-kan i'tibar dan pengajaran bagi orang yang datang di belakang bahwa Sri Baginda Maha-raja dengan segala alat kebesaran dan kemegahan, yang mendakwakan dirinya menjadi tuhan yang mahakuasa dalam alam ini, adalah objek tontonan yang paling indah dan mengesankan.
UNTUK JADI PENGAJARAN BAGI INSAN
Ayat 100
“Demikianlah sebagian dari berita negeri-negeri, Kami kisahkan dia kepada engkau."
Bahwasanya segala cerita yang telah terdahulu tadi, sejak dari negeri yang didiami oleh kaum Nabi Nuh yang telah ditenggelamkan ke dalam topan yang terkenal, negeri kaum ‘Ad yang didatangi Nabi Hud, sebagaimana kepada negeri Tsamud tempat tinggal kaum Nabi Shalih, negeri Sadum dan Gamurrah tempat tinggal kaum Nabi Luth, negeri yang didatangi Nabi Ibrahim, sampai kepada negeri Madyan yang didatangi Nabi Syu'aib, sampai pula ke negeri Mesir tempat Fir'aun menjadi raja besar, yang didatangi oleh Nabi Musa.
Semuanya telah diceritakan di dalam surah Huud ini dan di dalam surah yang lain-lain.
“Diantaranya (ada yang) masih berdiri dan ada (pula) yang sudah binasa."
Artinya, di antara negeri-negeri itu ada yang masih dapat dilihat bekasnya, runtuhan rumahnya, jalan-jalan kampungnya, yang masih dapat disaksikan dengan mata untuk menjadi i'tibar, sebagaimana bekas negeri kaum Tsamud yang didatangi Nabi Shalih, yang sampai kepada zaman Nabi Muhammad ﷺ masih dapat disaksikan, bahkan sampai masa tafsir ini ditulis. Dan ada pula yang telah runtuh dan hilang sama sekali, terbenam ke dalam lapisan bumi, sebagaimana negeri kaum Luth.
Ayat 101
“Dan tidaklah Kami berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi mereka itulah yang menzalimi diri mereka sendiri."
Sebab peringatan sudah lebih dahulu diberikan. Kedatangan utusan-utusan Allah itu tidak lain ialah memberi peringatan jangan mereka menempuh jalan yang salah, namun mereka tempuh juga. Sekiranya peringatan Allah tidak ada lebih dahulu lalu mereka dibinasakan saja, patutlah disebut zalim. Padahal ini bukan demikian. Seumpama dalam perjalanan yang begitu jauh, di pinggir-pinggir jalan itu sudah diberi isyarat mana tikungan yang berbahaya, mana yang menurun dan mendaki, yang ada lurah dan jurang, namun mereka tempuh juga, niscaya merekalah yang menganiaya diri sendiri. “Maka tidaklah berguna tuhan-tuhan mereka yang mereka seru selain Allah itu sedikit pun tatkala datang ketentuan Allahmu." Mereka telah menyembah berhala-berhala dan patung, namun berhala dan patung itu tidak dapat menolong mereka. Mereka telah memuja berbagai pujaan, yang mereka anggap berkuasa selain Allah. Namun setelah tiba bahaya, sedikit pun tak ada pujaan lain yang dapat menolong membebaskan mereka dari siksaan itu. Ketika topan lautan mengganak naik, ketika bumi telah longsor, dan gempa telah menghebat, ketika negeri-negeri mereka ditunggang-balikkan, maka segala persembahan yang selain Allah itu tetap saja di tempatnya, tidak dapat berangsur karena dia memang bukan Tuhan.
“Dan tidaklah menambah bagi mereka selain kebinasaan."
Beginilah jadinya jika manusia menggantungkan harapannya kepada yang selain Allah. Demi setelah Allah mendatangkan ketentuannya yang pasti, baik benda maupun orang yang dijadikan tempat bergantung itu tidak ada yang dapat membelanya, bahkan menambah karam belaka. Sebab itu, dari permulaanlah manusia harus menyatukan pikirannya kepada Allah yang memang Esa, supaya dimerdekakan dan dibebaskan jiwanya daripada yang lain dan wujud satu kepada Allah. Dengan demikian, terpelihara diri, terpelihara jiwa dari keraguan, kepecahan, dan kehancuran.
Ayat 102
“Dan begitu jugalah adzab Allahmu apabila Dia menyiksa negeri-negeri, sedangkan (negeri-negeri) itu adalah zalim."
Ini adalah peringatan keras dari Allah bahwa hukuman yang demikian akan tetap dijatuhkan kepada negeri-negeri selanjutnya. Bukan di zaman Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Syu'aib, atau Musa itu saja. Bahkan di setiap zaman dan di setiap kaum, selama di dunia ini masih ada negeri-negeri dan selama negeri-negeri itu masih ada manusia. Kalau mereka bertindak aniaya, zalim, tidak menegakkan keadilan dan kebenaran, semuanya akan dijatuhi hukuman yang setimpal. Entah topan yang datang sebagaimana kepada kaum Nuh, entah angin besar yang mengukut kampung halaman, sebagaimana kaum Nabi Hud, entah
pekik suara seram yang memusnahkan, sebagaimana kaum Nabi Shalih dan Nabi Syu'aib, dan ditunggangbalikkan, sebagaimana kaum Nabi Luth, entah ditenggelamkan di Lautan Qulzum, sebagaimana Fir'aun yang merasa diri gagah perkasa itu.
“Sesungguhnya, adzab-Nya itu adalah pedih dan bersangatan."
Ya, kalau siksaan Allah telah datang, memang sangat ngeri, tetapi tidak lebih dari patut sebab manusia ini hanya kecil saja, laksana semut menjalar, jika dibandingkan dengan lebih besarnya bumi tempat mereka diam. Ombak di lautan yang dahsyat bergulung, hanya kecil jika dipandang dari kapal udara di lapis awan gumawan yang di atas, tetapi manusia yang kecil bisa digulung sekali gulung. Banjir meliputi bumi, hanyalah genangan air tersekat, tetapi rumah-rumah tempat manusia tinggal adalah laksana kotak-kotak saja. Apabila misalnya sebuah kapal itu telah masuk ke dalam laut, bekasnya yang tinggal laksana tidak terjadi apa-apa.
Telah bersabda Rasulullah ﷺ,
“Sesungguhnya, Allah memberi tempo yang panjang bagi orang yang zalim itu. Namun kelak apabila siksaan yang dijanjikan-Nya itu datang tidaklah dia akan terlepas." (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy'ari)
Selalu kejadian, orang lupa daratan, orang bersenang-senang; kelak balasan Allah datang, dia tidak dapat berkutik lagi.
Ayat 103
“Sesungguhnya, pada yang demikian itu adalah suatu tanda bagi orang yang takut akan adzab di akhinat."
“Dan itulah hari yang akan disaksikan."
Lantaran ingat akan hari itu, orang tidak lagi akan berbuat zalim, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain, baik secara terbatas maupun secara umum. Karena meskipun belum secukupnya yang curang beralasan di dunia ini, namun di akhirat perkara ini akan dibuka kembali. Dan Hari Akhirat itu pun akan disaksikan. Segala makhluk akan menyaksikannya, akan hadir di sana semuanya, sejak dari manusia sampai kepada jin dan malaikat, bahkan setan, iblis, dan bahkan binatang pun.
Ayat 104
“Dan tidak akan Kami ta'khin-kan dia."
Bahwa hari itu mendekat terus, bukan menjauh,
“Melainkan untuk suatu masa yang telah diperhitungkan."
Camkanlah dengan saksama keseluruhan ayat ini. Segala sesuatu telah diagakkan, harinya telah ditentukan dan tidak akan di-ta'khir-kan. Sekiranya terasa lama lagi hari itu akan datang ialah karena kita alpa akan
dia. Namun apabila kita berperhitungan yang sehat, dapatlah itu kita perbandingkan kepada usia kita sendiri dalam dunia ini. Kita kadang-kadang merasa usia kita masih panjang dan saat kematian masih jauh, padahal kita telah lupa bahwa sehari-hari berlalu, sehari usia kita telah kurang.
Chairil Anwar penyair Indonesia terkenal pernah mengatakan, “Hidup hanyalah menunda kekalahan." Umur kita tiap hari bukanlah bertambah panjang, melainkan bertambah pendek yang tinggal. Meskipun di waktu hidup ini kita tidak mendapat Kiamat Kubra (Kiamat Besar), namun bila nyawa telah putus, bagi kita sendiri dunia itu telah Kiamat.
Ayat 105
“Kapan hari yang (bila dia) datang, tidak ada yang akan bercakap, seorang diri pun, kecuali dengan izin-Nya"?
Di sini dibayangkan betapa hebat, betapa dahsyat hari itu kelak. Kalau hari itu datang, hari yang tidak akan diundur-undur, hari yang telah dijanjikan, karena masanya telah ditentukan di dalam rencana Allah, maka seorang pun tidak ada yang akan dapat mengangkat mulutnya karena kehebatan dan kedahsyatannya. Sedangkan suatu pengadilan duniawi dibuka, hakim-hakim telah bersidang, ketika hakim-hakim telah mengambil tempat duduknya, tidak seorang pun yang berani membuka mulut karena terpukau oleh kebesaran dan kehebatan majelis, apatah lagi di hari Kiamat, yang Allah sendiri yang membuka persidangan itu. Tak ada mulut yang dapat dibuka, terdiam terpaku semuanya. Di dalam surah an-Naba' ayat 38 pun disebutkan bahwa Ruh, yaitu Malaikat Jibril dan malaikat-malaikatyang lain, tegak berdiri bersaf, namun tidak satu jua pun yang berani membuka mulut untuk bercakap, menunggu izin dari Allah. Maka bersidanglah Majelis Kehakiman Tertinggi itu, dan setelah selesai pemeriksaan yang teliti itu, keluarlah keputusan,
“Maka dari antara kamu ada yang akan celaka dan ada yang berbahagia."
Bayangkanlah!
Sedangkan di dunia ini saja dengan gelisah anak-anak pelajar menurut tarafnya, baik siswa maupun mahasiswa, menunggu dan menunggu lagi, dengan dada berdebar, adakah dia lulus dan diterima atau dia jatuh dalam ujian lalu masa depannya menjadi gelap. Adapun yang demikian lagi mendebarkan hati, maka apalah artinya yang demikian itu jika dibandingkan dengan kelak di hari yang dijanjikan itu, berbondong-bondong manusia yang tidak dapat digambarkan berapa banyaknya sekarang. Mereka menunggu keputusan nasib. Sedang perhitungan dijalankan, sama sekali merasakan kesalahan yang pernah di-buatnya di kala hidup, adakah agaknya mendapat ampunan Allah atau tidak? Dan pernah berbuat yang baik, diterimakah agaknya di sisi Allah? Manakah agaknya yang berat, keja-hatankah atau kebaikan? Nerakakah yang menunggu atau surga?
Ayat 106
“Maka adapun orang-orang yang akan celaka, maka ke dalam nerakalah mereka."
Jika ke sana mereka ditentukan, ke sanalah yang adil karena mereka di kala hidup telah berbuat salah,
“Bagi mereka di dalamnya hanya pekikan dan jeritan."
Memekik dan menjerit, memekik semula kena dan lanjutnya berganti jadi jeritan karena siksaan itu kian lama kian sakit, kian pedih. Mana pekik karena tak tahan siksaan, mana pula jerit karena menyesal telah berbuat salah,
“Dalam keadaan kekal mereka di dalamnya, selama ada semua langit dan bumi."
Bayangkanlah!
Di dunia ini kalau maut datang, hanya kita yangpergi, adapun semua langitdan bumi masih tinggal. Adapun di alam akhirat itu, terutama dalam neraka itu, yang kena adzab di dalamnya akan tetaplah di situ. Baru berubah kalau langit dan bumi sudah tak ada lagi. Wahai, bila langit dan bumi akan berubah? Itulah penggambaran dari lamanya siksaan, “Kecuali apa yang dikehendaki oleh Allahmu" Apakah adzab itu akan dikurangi? Apakah hukuman sekian ribu tahun akan dipotong? Apakah yang Allah memandang bahwa ada di antara yang terhukum itu yang akan dicabutkan dari sana lalu dipindahkan ke surga? Itu semuanya terserah kepada Allah Ta'aala saja. Tidak ada kekuasaan lain yang bisa mencampurinya karena,
“Sesungguhnya, Allah engkau Mahakuasa benbuat apa-apa yang Dia kehendaki"
Kekuasaan Allah Mahaluas! Mungkin saja karena rahmat Allah itu melebihi murka-Nya, mungkin saja ditutupnya neraka itu sama sekali, sebab segala orangtelah selesai disepuh, lalu sisa-sisa yang tinggal dipindahkan saja ke surga. Bisa jadi! Karena kekuasaan penuh di tangan-Nya. Bisa jadi! Dan tidak mustahil.
Ayat 108
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka di dalam surgalah mereka, kekal mereka di dalamnya, selama ada semua langit dan bumi."
Atas jasa, atas amal, atas iman yang telah mereka bina selama di dunia, atau kepercayaan kepada Allah yang tidak pernah lepas, “Kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah" yaitu bisa saja Allah menaikkan lagi tingkat martabat hamba-Nya yang dimasukkan-Nya ke dalam surga itu karena nikmat Allah tidaklah terbatas. Karena di ujung ayat terang-terang dijelaskan oleh Allah,
Ayat 107
“(Yaitu) pembelian yang tidak akan putus-putus."
(ujung ayat 108)
Beberapa ayat yang lain pun menjelaskan nikmat yang tiada berkeputusan itu. Misalnya jelas tersebut di dalam surah al-Baqarah ayat 261. Demikian firman Allah,
“Perumpamaandariorangyangmembelanjakan harta benda mereka pada jalan Allah, adalah laksana sebuah biji menumbuhkan tujuh tangkai; pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Dan Allah akan melipatgandakan bagi barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui." (al-Baqarah: 261)
Dapatlah disimpulkan dari kedua ayat ini bahwa ada manusia yang akan kekal dalam neraka karena dosa-dosanya yang besar. Tetapi keputusan Allah yang berbuat sekehendak-Nya bisa berlaku menurut apa yang diputuskan-Nya. Bahkan bisa jadi akhir-nya neraka itu ditutup saja oleh Allah dan sisa-sisa isinya yang telah lama di dalamnya dipindahkan Allah saja ke dalam surga. Dan orang yang kekal dalam surga pun dapat pula diperbuat Allah menurut kehendak-Nya, tidak ada yang dapat menghalangi. Yang di ujung atau telah diterangkan Allah bahwa Dia bisa saja menambah berlipat ganda nikmat-Nya kepada ahli surga itu, tidak ada yang dapat menghalangi.
Ada dua hal yang menjadi perbincangan di antara ulama, yang menyangkut kedua ayat ini, ayat 107 dan 108. Hal yang pertama ialah karena di dalamnya disebutkan “selama ada semua langit dan bumi", yang kedua, di kedua ayat itu ada tersebut “kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah engkau".
Dari yang pertama timbullah soal, “Apakah semua langit dan bumi setelah Kiamat itu kelak, langit dan bumi yang sekarang jua? Ataukah akan ada lagi semua langit atau beberapa langit dan bumi yang lain? Apatah lagi tersebut pula di dalam surah az-Zumar ayat 74 bahwa ahli-ahli surga merasa berbahagia karena kepada mereka pun diwariskan Allah bumi dan boleh memilih tempat dalam surga di mana yang dia sukai. Maka timbullah pertanyaan, kalau surga dan neraka akan kekal selama ada semua langit dan bumi, yang dimaksud ialah semua langit dan bumi yang sekarang ini, bukankah itu berlawan dengan berpuluh ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa bila Kiamat datang, langit akan digulung, bumi akan diratakan, gunung-gunung akan dilumatkan menjadi abu dan bintang-bintang akan gugur.
Kemusykilan yang pertama ini telah mendapat jawaban yang tegas dalam surah Ibraa-hiim ayat 48,
“Pada hari diganti bumi dengan bumi lain dan semua langit, dan mereka akan menghadap kepada Allah, Yang Maha Esa, Mahagagah Perkasa." (Ibraahiim: 48)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan (penafsiran dari Ibnu Abbas) bahwa tiap-tiap surga itu mempunyai langit dan bumi.
Dengan demikian, hilanglah keraguan; memang semua langit yang sekarang dan bumi yang sekarang akan dihancurkan bila Kiamat datang dan akan diganti dengan beberapa langit dan bumi yang baru. Bagaimana cara pergantian itu tidak dapatlah akal kita mengorek-ngorek lagi sebab sudah termasuk ke dalam lapangan alam gaib. Melainkan apa yang tersebut dalam Al-Qur'an kita percaya dan kita serahkan kepada Allah.
Terhadap kemusykilan yang kedua, dengan bunyi wahyu “kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah", tidak dapat lain pahamnya ialah bahwa orang-orang yang kekal dalam neraka karena besar dosanya bisa dicabut Allah dan dipindahkan-Nya ke dalam surga (ayat 107) dan orang yang beramal baik yang kekal dalam surga, kalau Allah kehendaki, bisa dipindahkan-Nya ke dalam neraka. Malahan ada pula hadits-hadits dibawakan orang, yang menyatakan bahwa Jahannam itu akhirnya akan dihapuskan juga.
Ishaq bin Rahawaihi meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata,
“Akan datang kepada Jahannam itu satu hari yang tidak ada tinggal seorang pun lagi di dalam-nya.
Dan menurut riwayat Abusy Syaikh dari Ibrahim, dia ini berkata bahwa berkata Ibnu Mas'ud,
“Sungguh akan datang kepadanya satu zaman terpentang pintu-pintunya."
Terbentang pintu-pintunya sebab isinya sudah tidak ada lagi, sudah kosong. Dan menurut riwayat Ibnu Jarir, asy-Sya'bi pernah mengatakan, meskipun berdosa betapapun besarnya, akhirnya akan dikeluarkan juga dari dalam neraka itu, sesudah disepuh di dalamnya bebe-rapa kadar dosa yang dilakukannya. Namun akhirnya akan dimasukkan ke surga juga. Satu jalan pemahaman lagi ialah yang diriwayatkan az-Zajjaj, yaitu pemahaman kedelapan, kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah engkau, yaitu menambah nikmat bagi orang yang diberi nikmat dalam surga dan menambah adzab bagi penduduk neraka. Tegasnya, Allah sesuka-Nya menambah nikmat bagi orang yang diberi nikmat dan menambah adzab bagi yang di-adzab. Al-Hakim dan at-Tirmidzi memilih pendapat ini.
Tetapi Ibnu Mardawaihi mengeluarkan dari Jabir (sahabat) bahwa Rasulullah ﷺ ketika membicarakan ayat ini pernah mengatakan,
“Jika Allah menghendaki akan mengeluarkan beberapa manusia yang celaka dari dalam neraka dan memindahkannya ke surga, diper-buat-Nyalah begitu."
“Neraka Jahannam adalah dari dua negeri yang lekas ramai dan lekas pula binasa."
Terdapat juga riwayat-riwayat dari para sahabat Rasulullah ﷺ dan alim tabi'in menimbulkan pendapat bahwa neraka itu tidaklah akan kekal.
Imam asy-Syaukani pengarang Tafsir Fathul Qadir, telah menyalinkan tidak kurang dari sebelas pendapat ulama tentang ayat “kecuali apa yang dikehendaki Allah engkau" ini. Yang bukanlah maksud penulis tafsir ini me-nyalinkannya satu demi satu. Di antara sebelas jalan pemahaman itu ada yang berkesimpulan bahwasanya orang yang beraqidah tauhid,
Satu hal rupanya sudah sebagian besar ulama yang sepaham, yaitu bahwa ahli tafsir dan ahlul qiblah, betapapun besar dosanya, namun dia tidak kekal dalam neraka; satu waktu mereka dengan karunia Ilahi dimasukkan ke dalam surga. Dalam hal ini tidak ada perbantahan lagi.
Sekarang tinggal satu soal, yaitu neraka Jahannam itu sendiri kekalkah atau tidak? Ulama-ulama ahli fiqih Islam dan ahli tafsir sampai juga memperbincangkan hal ini. Timbul golongan yang mengatakan bahwa Jahannam itu tidak kekal. Tegasnya, apabila tugasnya menyepuh setiap orang yang berdosa sudah selesai, Jahannam itu pun ditutup. Tetapi surga kekal buat selama-lamanya, tidak ada ujung.
Di antara yang berpaham seperti ini ialah Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Madarijus Salikin dan tampaknya Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Mannar-nya cenderung kepada paham ini.
Almarhum A. Hassan Bandung dalam Pendahuluan Tafsir al-Furqan-nya (him. 18, pasal 25) hanya menyatakan keberatan kalau untuk menguatkan pendapat tentang Jahannam tidak kekal lalu dipakai hadits-hadits yang tidak shahih, tetapi ayat-ayat 107 dan 108 ini sendiri—kata beliau—yang mengatakan bahwa Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya adalah pintu yang amat besar dan luas. Kata Tuan A. Hassan selanjutnya,
“Orang kafir yang dapat hukuman kekal di neraka, orang kafir yang berbuat kebaikan di dunia, dan siapa-siapa lagi, kalau Allah mau keluarkan dari neraka atau mau ke surgakah, tidak ada siapa pun yang menghalangi-Nya, bahkan neraka itu, seluruhnya, kalau Allah mau hapuskan, tidak berhak siapa pun bertanya ‘mengapa'." Sekian A. Hassan.
Penulis Tafsir al-Azhar cenderung kepada penafsiran bunyi ayat “apa yang dikehendaki Allah engkau" pada ayat 107 itu, ialah yang layak dengan kebesaran, keadilan, kemu-rahan, dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Allah Ta'aala leluasa, tidak ada yang akan menghalangi-Nya mencampakkan orang yang berdosa ke dalam neraka dan leluasa pula mengeluarkannya dari sana, yaitu orang-orang yang menurut pertimbangan Allah telah selesai sepuhannya, supaya ia bersih ketika kelak dimasukkan ke dalam surga. Bahkan Mahakuasa pula Dia, demi cinta kasih-Nya dan rahmat-Nya atas hamba-Nya, mengeluarkan sisa-sisa orang yang masih tinggal di dalam neraka itu. Kemudian setelah neraka itu kosong, sebagaimana riwayat Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud yang telah kita salinkan di atas tadi, dia pun ditutuplah buat selama-lamanya. Maka sesuai jugalah dengan kemurahan Allah jika orang yang kekal dalam neraka itu ialah kekal selama neraka masih ada. Dan sesuai pulalah agaknya pemahaman ini dengan sabda Rasulullah ﷺ,
“Sesungguhnya, Allah tatkala menjadikan seluruh makhluk ini telah menuliskan suatu tulisan di atas Arsy, ‘Sesungguhnya, kasih sayang-Ku (rahmat-Ku) mengalahkan murka-Ku." (HR Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah)
Dan firman Allah di ayat 108 yang sama dengan dalam ayat 107, “kecuali apa yang dikehendaki Allah engkau," tidaklah meragukan lagi sebab ujung ayat sudah terang, yaitu “anugerah yang tidak berkeputusan", sebagaimana yang telah kita tafsirkan di atas tadi.
Sungguhpun demikian, keadaan yang sebenarnya terpulanglah kepada ilmu Allah Ta'aala jua, sebab sebagaimana tersebut di ujung ayat, “Allah adalah Mahaluas, lagi Maha Mengetahui!'
Ayat 109
“Maka janganlah engkau di dalam keadaan ragu-ragu dan apa yang disembah oleh orang-orang itu."
Ayat ini tertujulah sekarang kepada Nabi kita Muhammad ﷺ sebagai rasul terakhir yang diutus Allah ke dunia, setelah kepadanya diceritakan tentang nabi-nabi yang dahulu dan perjuangan nabi-nabi itu menegakkan perintah Allah dalam kalangan kaum mereka masing-masing. Maka setelah Allah menjelaskan nasib dari kaum-kaum itu, sejak dari kaum Nabi Nuh sampai kepada kaum ‘Ad dan Tsamud, sampai kepada kaum Ibrahim dan penduduk negeri Sadum dan Gamurrah sampai pula kepada penduduk negeri Madyan tempat bersarangnya saudagar-saudagaryang curang, sampai pula kepada kehancuran Fir'aun, berpesanlah Allah sekarang dalam ayat ini supaya Nabi Muhammad ﷺ jangan ragu-ragu lagi dalam menghadapi kaumnya sendiri, orang Quraisy, yang menyembah berhala itu. Dijelaskanlah seterusnya, “Tidaklah mereka menyembah melainkan sebagaimana yang disembah oleh nenek moyang mereka sebelumnya."
Artinya, persembahan kepada berhala yang ada pada orang Quraisy sekarang ini hanyalah lanjutan saja dari persembahan kepada berhala di zaman-zaman purbakala. Misalnya saja tentang orang Quraisy. Mereka itu ada hubungan sejarah juga dengan ‘Ad dan Tsamud. Dan manusia itu pun serupa di mana-mana. Apabila mereka lengah sedikit saja dari tauhid, mereka akan jatuh ke dalam syirik. Apabila tidak ada ajaran yang jelas tentang tauhid, mereka mudah saja terperosok ke dalam syirik. Apabila pimpinan aqidah telah kendur, manusia akan terperosok menurut pimpinan dari berbagai macam thagut, yaitu persembahan kepada yang selain Allah.
Cobalah perhatikan orang Quraisy itu sendiri. Mereka semuanya mengaku bahwa darah Nabi Ibrahim ada mengalir dalam batang tubuh mereka dan mereka berdiam di Tanah Suci Mekah itu sebagai penjaga Ka'bah, pusaka Nabi Ibrahim. Mereka pun banyak atau sedikit tentu mendengar cerita turun-temurun dari nenek moyang bahwa Ka'bah itu didirikan oleh Nabi Ibrahim sebagai perlambang menyembah Allah Yang Maha Esa. Mereka pun tentu mendengar bahwa Nabi Ibrahim itu terpaksa meninggalkan negerinya di tanah Kaldan karena dia berselisih paham dengan orang negerinya dan dengan rajanya yang bernama Namruz sebab Ibrahim menghancurkan berhala-berhala mereka dengan kapak dan ditinggalkannya satu yang paling besar. Lalu dikatakannya ketika ditanya bahwa yang menghancurkan berhala kecil-kecil itu ialah berhala yang besar. Setelah habis pemeriksaan, dia pun dibakar dengan api, tetapi diselamatkan oleh Allah. Setelah lepas dari hukuman itu dia pun pergi ke “lembah yang tidak ada tumbuh-tumbuhan" dan ber-diam di sana bersama putranya, Isma il. Dari keturunan Isma'il itulah mereka hidup di negeri itu sampai timbul kabilah Quraisy.
Tetapi kemudian, setelah lama kedua rasul Allah itu meninggal, dengan bila mula tumbuhnya, mereka pun menyembah berhala, sampai pada Ka'bah itu sendiri mereka san-darkan tidak kurang dari 360 buah berhala.
Inilah yang diperingatkan kepada Nabi Muhammad ﷺ agar dia jangan ragu-ragu lagi bertindak. Karena menyembah berhala itu adalah kesesatan yang tumbuh kemudian dari kalangan nenek moyang mereka, karena telah jauh menyimpang dari ajaran asli.
“Dan sesungguhnya Kami akan membatas kontan nasib mereka, dengan tidak dikurangi."
Sebagaimana adzab siksaan yang diterima oleh nenek moyang mereka sebab menyembah berhala itu, mereka keturunan-keturunan yang datang di belakang pun akan mendapat siksaan, tidak dikurangi dari apa yang diderita oleh nenek moyang mereka, menurut waktunya.