Ayat
Terjemahan Per Kata
قَٰتِلُواْ
perangilah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَلَا
dan tidak
بِٱلۡيَوۡمِ
dengan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَلَا
dan tidak
يُحَرِّمُونَ
mereka mengharamkan
مَا
apa
حَرَّمَ
telah diharamkan
ٱللَّهُ
Allah
وَرَسُولُهُۥ
dan RasulNya
وَلَا
dan tidak
يَدِينُونَ
mereka beragama
دِينَ
agama
ٱلۡحَقِّ
benar/hak
مِنَ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
ٱلۡكِتَٰبَ
Al Kitab
حَتَّىٰ
sehingga
يُعۡطُواْ
mereka memberi/membayar
ٱلۡجِزۡيَةَ
upeti
عَن
dari
يَدٖ
tangan/dengan patuh
وَهُمۡ
dan mereka
صَٰغِرُونَ
orang-orang yang kecil/tunduk
قَٰتِلُواْ
perangilah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَلَا
dan tidak
بِٱلۡيَوۡمِ
dengan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَلَا
dan tidak
يُحَرِّمُونَ
mereka mengharamkan
مَا
apa
حَرَّمَ
telah diharamkan
ٱللَّهُ
Allah
وَرَسُولُهُۥ
dan RasulNya
وَلَا
dan tidak
يَدِينُونَ
mereka beragama
دِينَ
agama
ٱلۡحَقِّ
benar/hak
مِنَ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
ٱلۡكِتَٰبَ
Al Kitab
حَتَّىٰ
sehingga
يُعۡطُواْ
mereka memberi/membayar
ٱلۡجِزۡيَةَ
upeti
عَن
dari
يَدٖ
tangan/dengan patuh
وَهُمۡ
dan mereka
صَٰغِرُونَ
orang-orang yang kecil/tunduk
Terjemahan
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka tunduk.
Tafsir
(Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian) jika tidak demikian niscaya dari dahulu mereka sudah beriman kepada Nabi ﷺ (dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya) seperti khamar (dan tidak beragama dengan agama yang benar) yakni agama yang telah ditetapkan oleh Allah yang mengganti agama-agama lainnya, yaitu agama Islam (yaitu orang-orang) lafal alladziina pada ayat ini berkedudukan menjelaskan lafal alladziina pada awal ayat (yang diberikan Alkitab kepada mereka) kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani (sampai mereka membayar jizyah) kharaj yang dibebankan kepada mereka untuk membayarnya setiap tahun (dengan patuh) lafal yadin berkedudukan menjadi hal/kata keterangan, artinya, secara taat dan patuh, atau mereka menyerahkannya secara langsung tanpa memakai perantara atau wakil (sedangkan mereka dalam keadaan tunduk) yaitu patuh dan taat terhadap peraturan/hukum Islam.
Tafsir Surat At-Taubah: 28-29
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.
Ayat 28
Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin lagi suci agama dan dirinya agar mengusir orang-orang musyrik dari Masjidil Haram, karena mereka adalah orang-orang yang najis agama (akidah)nya. Dan sesudah turunnya ayat ini mereka tidak boleh lagi mendekati Masjidil Haram. Ayat ini diturunkan pada tahun sembilan Hijriah. Karena itulah maka Rasulullah ﷺ mengutus Ali untuk menemani Abu Bakar di tahun itu. Dan Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya untuk menyerukan pengumuman di kalangan orang-orang musyrik, bahwa sesudah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik berhaji dan tidak boleh lagi ada orang tawaf di Baitullah dengan telanjang. Dengan demikian, maka Allah telah menyempurnakan agama-Nya dan menetapkan hal ini sebagai syariat dan keputusan-Nya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Abuz Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28) kecuali sebagai seorang budak atau seseorang dari kalangan ahli zimmah (kafir zimmi).
Telah diriwayatkan pula secara marfu' dari jalur lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Al-Asy'as (yakni Ibnu Siwar), dari Al-Hasan, dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tidak boleh lagi memasuki masjid kita ini sesudah tahun ini seorang musyrik pun terkecuali kafir zimmi dan pelayan-pelayan (budak-budak) mereka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid dengan predikat marfu', tetapi yang lebih shahih sanadnya berpredikat mauquf.
Imam Abu Amr Al-Aaza’i telah menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz menulis surat yang menyatakan, "Laranglah orang-orang Yahudi dan Nasrani memasuki masjid-masjid kaum muslim!" Lalu larangannya itu ia iringkan dengan menyebutkan firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (At-Taubah: 28)
‘Atha’ mengatakan bahwa seluruh Tanah Suci Mekah adalah masjid, karena Allah ﷻ telah berfirman: “Maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28) Ayat ini menunjukkan bahwa orang musyrik itu najis, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadits shahih (lawan katanya), yaitu: “Orang mukmin itu tidak najis.”
Adapun kenajisan tubuh orang musyrik, menurut pendapat jumhur ulama sebenarnya tubuh dan diri orang musyrik tidaklah najis, karena Allah ﷻ telah menghalalkan sembelihan Ahli Kitab. Tetapi sebagian kalangan mazhab Zahiri mengatakan bahwa tubuh orang musyrik najis.
Asy'as telah meriwayatkan dari Al-Hasan, "Barang siapa yang berjabat tangan dengan mereka (orang musyrik), hendaklah ia berwudu." Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya.” (At-Taubah: 28)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa demikian itu karena orang-orang muslim mengatakan, "Niscaya semua pemasaran akan terputus dari kita, perniagaan kita akan bangkrut, dan akan lenyaplah pangsa pasar yang biasa kita kuasai dan menghasilkan keuntungan bagi kita." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya.” (At-Taubah: 28) Yakni dari sumber lain.
Ayat 29
Firman Allah ﷻ: “Jika Dia menghendaki.” (At-Taubah: 28) sampai dengan firman-Nya: “sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)
Maksudnya, hal tersebut merupakan ganti dari apa yang kalian khawatirkan, yaitu khawatir pemasaran kalian akan terputus. Maka Allah memberikan ganti kepada mereka dari apa yang diputuskan oleh kaum musyrik berupa upeti yang diberikan oleh kaum Ahli Kitab kepada kaum muslim, sebagai jizyah. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya.
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 28)
Dia mengetahui semua yang menjadi maslahat bagi kalian.
“Lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 28)
Dia Maha Bijaksana dalam semua yang diperintahkan dan yang dilarangNya, karena sesungguhnya Allah Maha Sempurna dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya, lagi Maha Adil terhadap makhluk-Nya dan Maha Adil dalam semua urusan-Nya. Maha Suci lagi Maha Tinggi Allah. Karena itulah maka Dia memberikan ganti kepada kaum muslim atas usaha mereka yang hilang itu dengan harta jizyah yang mereka ambil dari orang-orang kafir zimmi.
Firman Allah ﷻ: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak -beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang yang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29) Mereka dalam waktu yang sama tidak beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ. Karena itu, tiada keimanan yang benar bagi seseorang di antara mereka terhadap seorang rasul, dan tidak beriman pula kepada apa yang telah disampaikan oleh para rasul.
Sesungguhnya mereka hanya mengikuti pendapat mereka sendiri dan hawa nafsu mereka serta nenek moyang mereka dalam segala perbuatannya, bukan karena Allah telah mensyariatkannya, bukan pula hal itu berasal dari agama Allah. Sekiranya mereka benar-benar beriman kepada apa yang ada di tangan mereka dengan keimanan yang benar, niscaya hal itu akan menuntun mereka untuk beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ. Karena sesungguhnya semua para nabi telah menyampaikan berita gembira akan kedatangannya, dan mereka memerintahkan kepada umatnya masing-masing agar mengikuti Nabi Muhammad ﷺ bila telah muncul. Ketika Nabi Muhammad ﷺ tiba, mereka kafir kepadanya, padahal Nabi Muhammad ﷺ adalah rasul yang paling mulia. Dapat disimpulkan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang berpegangan kepada syariat nabi-nabi terdahulu, karena syariat nabi-nabi terdahulu adalah dari sisi Allah, sedangkan mereka hanya menuruti kemauan hawa nafsunya.
Tiada manfaat keimanan mereka kepada nabi-nabi lainnya, sebab mereka kafir kepada pemimpin para nabi, nabi yang paling utama, penutup para nabi, dan nabi yang paling sempurna, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Maka dari itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka.” (At-Taubah: 29)
Ayat ini merupakan ayat pertama yang memerintahkan untuk memerangi kaum Ahli Kitab sesudah menyelesaikan perkara yang menyangkut kaum musyrik dan sesudah manusia masuk ke dalam agama Allah (agama Islam) secara bergelombang-gelombang, serta seluruh Jazirah Arabia telah tegak di dalam kekuasaan agama Islam.
Setelah itu Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memerangi kaum Ahli Kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini terjadi pada tahun sembilan Hijriah. Untuk itu, Nabi ﷺ bersiap-siap untuk memerangi orang-orang Romawi dan menyerukan kepada segenap orang untuk melakukan perintah ini. Nabi ﷺ mengirimkan utusannya kepada segenap kabilah Arab yang tinggal di sekitar kota Madinah untuk menyerukan hal tersebut. Pada akhirnya mereka bergabung dengan Nabi ﷺ dan berhasil dikumpulkan sejumlah tiga puluh ribu orang personel dari kalangan mereka. Sebagian orang dari kalangan orang-orang munafik penduduk Madinah dan sekitarnya serta orang-orang selain mereka tidak ikut. Hal tersebut terjadi di tahun paceklik dan musim panas yang sangat menyengat.
Kemudian Rasulullah ﷺ berangkat dengan tujuan negeri Syam untuk memerangi orang-orang Romawi. Ketika sampai di Tabuk, beliau turun istirahat di sana dan bermukim selama kurang lebih dua puluh hari. Lalu beliau beristikharah kepada Allah untuk kembali. Akhirnya beliau kembali di tahun itu juga karena dicekam oleh keadaan (situasi) yang sempit dan kondisi orang-orang dalam keadaan lemah, seperti yang akan diterangkan kemudian. Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini bahwa jizyah itu hanya dipungut dari kaum Ahli Kitab atau orang-orang yang serupa dengan mereka, misalnya orang-orang Majusi.
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ memungut jizyah dari orang-orang Majusi penduduk Hajar. Hal inilah yang dikatakan oleh mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad menurut riwayat yang masyhur darinya. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa jizyah dipungut pula dari semua orang 'Ajam, baik yang dari kalangan Ahli Kitab ataupun kalangan orang-orang musyrik, tetapi tidak dipungut dari orang-orang Arab selain dari kalangan Ahli Kitabnya saja.
Imam Malik mengatakan, “Bahkan diperbolehkan memungut Jizyah dari semua orang kafir, baik yang Kitabi, yang Majusi, dan yang Wasani, ataupun yang lainnya."
Pendapat mazhab-mazhab tersebut dan keterangan mengenai dalil-dalilnya disebutkan di dalam kitab yang lain.
Firman Allah ﷻ: “sampai mereka membayar jizyah.” (At-Taubah: 29)
Maksudnya, jika mereka tidak mau masuk Islam.
“dengan patuh.” (At-Taubah: 29)
Yakni dengan patuh dan menyerah kalah. sedangkan mereka dalam keadaan tunduk. (At-Taubah: 29) Yaitu dalam keadaan hina, rendah, dan kalah.
Karena itulah tidak boleh membanggakan ahli zimmah, tidak boleh pula meninggikan mereka atas kaum muslim; bahkan mereka harus dipandang terhina, kecil lagi celaka, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim melalui Abu Hurairah , bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Dan apabila kalian berjimpa dengan seseorang dari mereka di jalan, maka desaklah mereka ke sisi yang paling sempit.”
Karena itulah Amirul Muminin Umar ibnul Khattab menetapkan syarat-syarat tertentu yang telah dikenal, bertujuan untuk menganggap mereka hina, kecil, dan lemah.
Hal tersebut telah diriwayatkan oleh para huffaz melalui riwayat Abdur Rahman ibnu Ganam Al-Asy'an yang menceritakan bahwa ia menulis surat kepada Umar Ibnul Khattab ketika ia mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang-orang Nasrani penduduk negeri Syam. Isinya sebagai berikut:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, ditujukan kepada hamba Allah, Umar ibnul Khattab Amirul Muminin, dari orang-orang Nasrani kota anu dan anu. Sesungguhnya ketika kalian tiba di negeri kami, kami meminta keamanan kepada kalian bagi diri kami, anak-anak kami, harta benda kami, dan para pemeluk agama kami.
Kami telah mempersyaratkan atas diri kami bagi kalian, bahwa kami tidak akan membangun lagi suatu kuil dan gereja pun di kota kami, tidak pula di sekitarnya; juga tidak akan membangun tempat peribadatan untuk rahib, serta tidak pula akan memperbarui apa yang telah rusak darinya. Kami tidak akan menghidupkan sebagian darinya yang biasa dilalui oleh kaum muslim.
Kami tidak akan melarang gereja-gereja kami untuk menjadi tempat istirahat bagi orang-orang muslim di malam hari atau di siang hari, dan kami akan membuka lebar pintu-pintunya buat musafir dan Ibnu sabil. Kami akan menjamu orang muslim yang turun istirahat di kalangan kami selama tiga hari dengan memberi makan kepada mereka. Kami tidak akan memberikan tempat di dalam gereja-gereja kami, tidak pula di rumah-rumah kami bagi seorang mata-mata.
Kami tidak akan menyembunyikan suatu tipu muslihat pun terhadap kaum muslim, dan tidak akan mengajarkan anak-anak kami tentang Al-Qur'an. Kami tidak akan menampakkan suatu kemusyrikan pun, tidak pula akan mengajak seorang pun kepadanya. Kami tidak akan melarang seorang pun dari kalangan kerabat kami untuk masuk Islam jika dia menghendakinya, kami akan menghormati kaum muslim, dan kami akan bangkit berdiri dari majelis kami jika mereka menghendaki duduk padanya.
Kami tidak akan menyerupai mereka dalam sesuatu pun yang berkenaan dengan pakaian mereka, seperti peci, sorban, sepasang terompah, dan cara membelah rambut mereka. Kami tidak akan berbicara seperti pembicaraan mereka, dan tidak akan memakai nama julukan seperti nama julukan mereka. Kami tidak akan berkendaraan dengan memakai pelana, tidak akan menyandang pedang, tidak akan membeli suatu senjata pun, dan tidak akan membawanya bersama kami.
Kami tidak akan mengukir cincin kami dengan huruf Arab dan tidak akan memperjualbelikan khamr (minuman keras). Kami akan memotong pendek bagian depan rambut kepala kami, dan kami akan biasa memakai pakaian tradisi kami seperti biasa. Kami akan mengikatkan tali zanar pada perut kami, dan tidak akan menonjolkan salib pada gereja-gereja kami. Kami tidak akan menampakkan salib kami, tidak pula kitab-kitab kami di suatu tempat yang biasa dilalui oleh kaum muslim, juga di pasar-pasar mereka.
Kami tidak akan memukul lonceng di gereja-gereja kami melainkan dengan pukulan yang perlahan, dan kami tidak akan mengeraskan suara dalam membaca kitab di gereja-gereja yang berada di dekat lingkungan kaum muslim. Kami tidak akan keluar untuk merayakan hari Ahad, tidak pula untuk mengadakan misa umum. Kami tidak akan mengeraskan suara bila ada yang mati. Kami pun tidak akan menampakkan api karena kematian pada sesuatu tempat yang banyak dilalui oleh kaum muslim, tidak pula pada pasar-pasar mereka.
Kami tidak akan menjadikan kuburan orang-orang mati kami bersebelahan dengan mereka. Kami tidak akan mengambil dari budak apa yang biasa diberlakukan oleh kaum muslim, akan memberi petunjuk kepada kaum muslim, dan tidak akan mengintai mereka di rumah-rumah mereka.”
Perawi mengatakan bahwa setelah dia mengantarkan surat itu kepada Umar, lalu Umar membacanya. Maka Umar menambahkan hal berikut: “Kami tidak akan memukul seseorang pun dari kalangan kaum muslim. Kami mempersyaratkan hal tersebut terhadap kalian sebagai suatu kewajiban bagi kami dan orang-orang yang seagama dengan kami, dan sebagai imbalannya kami beroleh jaminan keamanan dari kalian. Jika kami melanggar sesuatu dari apa yang telah kami persyaratkan kepada kalian dan kami lakukan hal itu untuk kepentingan diri kami sendiri, maka tidak ada jaminan keamanan lagi bagi kami; dan telah dihalalkan bagi kalian terhadap kami apa yang dihalalkan terhadap orang-orang yang menentang dan melanggar perjanjiannya.”
Ayat yang lalu menjelaskan tuntunan-Nya terhadap kaum musyrik, maka ayat ini beralih kepada Ahli Kitab yang hendak memerangi orang-orang mukminin. Konteks ayat ini turun berkenaan dengan Perang Tabuk. Saat itu telah terdengar berita bahwa pasukan Romawi akan menyerang dan berusaha menguasai daerah perbatasan tersebut, maka turunlah ayat ini sebagai perintah untuk memerangi mereka. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian yang terlebih dulu memerangimu, mereka yang tidak mengharamkan bahkan terus-menerus melakukan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar, yakni agama Islam, sementara di sisi lain mereka telah mempersiapkan diri untuk menyerang kaum mukminin. Padahal, mereka itu adalah orang-orang yang telah diberikan Kitab yaitu kitab Taurat dan Injil yang menerangkan tentang Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. Perangi mereka hingga sampai batas di mana mereka memilih untuk bersyahadat atau membayar jizyah, yakni kewajiban individu yang dipandang mampu agar memperoleh perlindungan, dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk terhadap segala ketentuan yang berlaku di wilayah di mana mereka tinggal.
Ayat ini menerangkan sesatnya akidah Ahli Kitab. Dan orangorang Yahudi berkata, Uzair putra Allah, dan orang-orang Nasrani berkata, Al-Masih putra Allah. Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka tanpa didasarkan pada dalil yang benar. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu, seperti perkataan musyrik Mekkah bahwa malaikat adalah anak perempuan Tuhan. Akibat ucapan dan keyakinan mereka yang sesat itulah Allah melaknat mereka. Memang, sungguh mengherankan bagaimana mung-kin mereka sampai berpaling dari agama yang benar, yaitu agama tau-hid, padahal para rasul telah datang kepada mereka silih berganti un-tuk menjelaskan tentang hal itu, juga dikuatkan dengan bukti-bukti rasional tentang keesaan Allah tersebut'
Pada hakikatnya, ayat ini merupakan langkah awal agar Nabi Muhammad ﷺ mengalihkan perhatiannya kepada Perang Tabuk yang akan dihadapinya. Perang Tabuk merupakan perang yang terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, sesudah kaum Muslimin dapat menguasai kota Mekah. Tabuk terletak di sebelah utara Medinah, berbatasan dengan Yordania/Syam (Damaskus) yang ketika itu dikuasai oleh kerajaan Romawi yang beragama Nasrani. Ketika berita sampai kepada Nabi Muhammad saw, bahwa pihak Romawi mempersiapkan pasukan dalam jumlah yang besar untuk menguasai daerah perbatasan tersebut, maka Nabi Muhammad saw, mengumumkan kepada seluruh kaum Muslimin melalui kabilah-kabilah agar bersiap-siap mengumpulkan segala kekuatan untuk turut bersama Nabi memerangi pasukan Romawi. Seruan Nabi Muhammad tersebut segera mendapat sambutan dari kaum Muslimin yang kuat imannya, kecuali kaum munafik yang mencari helah sebagaimana telah menjadi kebiasaan mereka terutama dalam menghadapi Tabuk, di samping jaraknya sangat jauh juga panas matahari sangat terik. Setelah Nabi Muhammad ﷺ dan pasukan kaum Muslimin sampai di Tabuk, didapatinya pasukan Romawi telah lebih dahulu mengosongkan daerah Tabuk untuk mundur kembali ke daerah pedalaman. Maka Ahli Kitab yang berada di sana meminta perdamaian dan menyerahkan jizyah kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai tanda pengakuan mereka untuk tunduk kepada kekuasaan Islam, karena mereka belum bersedia menganut agama Islam.
Setiap peperangan pada masa Nabi hanya untuk mempertahankan diri atau untuk membalas serangan. Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum Muslimin agar memerangi Ahli Kitab, karena mereka memiliki empat unsur yang menyebabkan mereka memusuhi Islam. Empat unsur itu ialah:
1. Mereka tidak beriman kepada Allah, karena mereka telah menghancurkan asas ketauhidan. Mereka menjadikan pendeta-pendeta selaku orang suci yang berhak menentukan sesuatu, baik mengenai peraturan yang berkenaan dengan ibadah maupun yang berhubungan dengan halal dan haram. Demikian juga orang Nasrani menganggap Isa anak Allah, sedangkan orang Yahudi menganggap pula Uzair sebagai anak Allah. Hal itu dengan tegas menunjukkan bahwa mereka semua mempersekutukan Allah dalam membuat peraturan agama.
2. Mereka tidak beriman kepada hari kemudian, karena mereka menganggap bahwa kehidupan di akhirat sekedar kehidupan rohaniyah belaka. Kesesatan anggapan mereka seperti ini karena tidak ada ketegasan, baik dalam Taurat maupun dalam Injil tentang adanya hari kebangkitan dan pembalasan sesudah mati, saat manusia bangkit kembali sebagaimana kejadiannya semula, yaitu terdiri dari jasad dan roh, yang masing-masing akan merasakan kenikmatan karunia Allah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an.
3. Mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Orang Yahudi tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah pada syariat yang dibawa oleh Musa dan yang sebagiannya dinasakhkan oleh Isa, yakni dinyatakan tidak berlaku lagi hukumnya. Mereka memandang halal memakan harta dengan jalan yang tidak halal (batil), seperti riba dan sebagainya dan mereka mengikuti cara-cara orang musyrik dalam keganasan berperang dan memperlakukan tawanan. Sedangkan orang Nasrani memandang halal apa yang diharamkan oleh Allah pada syariat Musa yang belum dinasakh oleh Injil. Dalam Taurat Allah mengharamkan lemak daging atau harga penjualannya. Orang-orang Nasrani tidak memandangnya haram.
4. Mereka tidak berpegang kepada agama yang benar yaitu agama yang diwahyukan kepada Musa dan Isa a.s. Apa yang mereka anggap agama sebenarnya adalah suatu cara yang dibuat oleh pendeta-pendeta mereka berdasarkan pikiran dan kepentingan. Yang menyebabkan perbuatan tersebut karena Taurat yang diturunkan kepada Musa, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, ditulis jauh setelah keduanya wafat. Sehingga Taurat dan Injil ditulis berdasarkan pemahaman pengikut-pengikutnya. Bahkan beberapa abad sesudah kenaikan Isa mereka memilih empat Injil yang masing-masing saling bertentangan. Demikianlah keadaan mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (al-Ma'idah/5: 13)
Allah memerintahkan orang mukmin agar memerangi Ahli Kitab karena mereka menunjukkan permusuhan dan mengancam keamanan Muslimin, baik dalam kehidupan beragama maupun kehidupan sosial. Jika mereka menerima Islam sebagai pengganti agamanya, maka mereka telah kembali kepada agama yang benar, dan jika mereka tunduk, tidak lagi mengganggu dan mengancam kehidupan umat Islam maka hendaklah mereka membayar jizyah (kecuali mereka yang miskin dan para pendeta) sebagai tanda bahwa mereka berada dalam posisi yang rendah. Kewajiban Muslimin seluruhnya menjamin keamanan mereka, membela mereka, memberikan kebebasan kepada mereka terutama dalam menjalankan ibadah menurut agama mereka dan memperlakukan mereka dengan adil dalam kehidupan sosial sebagaimana kaum Muslimin sendiri diperlakukan. Dengan membayar jizyah mereka disebut ahli zimmah atau kafir zimmi.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 28
“Wahai orang-orang yang beriman. Sesungguhnya orang-orang musyrikin itu tidak lain daripada najis."
Najis dengan arti kotor. Sedang masuk dan beribadah, baik shalat maupun thawaf, hendaklah dikerjakan dengan thaharah (suci-bersih). Mereka tersebab musyrik itu tidak mengerti apa yang dinamai wudhu, bahkan mereka pun tidak mengerti apa yang dinamai mandi junub. Mereka tidak tahu apa yang dikatakan tayamum, bahkan mereka tidak tahu apa yang disebut istinja' (menyucikan atau membersihkan kemaluan sesudah habis buang air baik besar maupun kecil). Padahal orang yang telah Islam, baru dapat mengerjakan ibadah jika syarat-syarat kebersihan itu telah dipenuhi: “Sebab itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram, sesudah tahun mereka ini." Maka firman Allah dalam ayat inilah yang dijelaskan oleh maklumat yang diseru-serukan oleh Ali bin Abi Thalib dan dibantu Abu Hurairah, sampai parau suaranya itu, yaitu bahwa mulai sesudah tahun ini orang musyrik tidak boleh naik haji lagi, dan tidak boleh ada lagi orang thawaf bertelanjang.
Banyak juga perbincangan ulama-ulama fiqih tentang arti ayat ini.
Dengan firman Allah bahwa musyrikin itu tidak lain daripada najis, ulama berbincang apanyakah yang najis? Ada yang mengatakan bahwa yang najis adalah diri mereka itu sen-diri. Asa! orang itu bukan Islam, mereka adalah najis sehingga membawa akibat bahwa bersalaman dengan mereka pun tidak boleh. Pendirian seperti ini tentu akan ditinjau kembali dengan saksama oleh kaum Muslimin yang luas pahamnya dan merasakan dengan dalam hakikat ajaran Islam. Agama Islam tidaklah ada mempunyai peraturan sebagaimana yang ada dalam agama Hindu, yang memandang kasta Sudra dan Paria sebagai kasta yang najis, sehingga kalau orang Brahmana kena sentuh dirinya, bahkan kena singgung anginnya saja, harus membersihkan badannya. Dan setelah dilihat kepada sejarah hidup Rasulullah ﷺ, utusan-utusan yang datang dari kaum musyrikin hendak menghadap beliau, telah beliau terima di dalam Masjid Madinah. Demikian juga utusan Nasrani dari Najran, beliau sambut dalam masjid. Dan demikian juga orang Yahudi. Tentang Yahudi dan Nasrani terang-terang ayat di dalam surah al-Maa'idah ayat 6 dinyatakan bahwa makanan mereka halal kita makan, dan makanan kita halal mereka makan, sebagaimana yang telah kita perkatakan terlebih dahulu. Adapun musyrikin yang bukan
Ahlul Kitab ketika utusan mereka diterima di Madinah, atau jika mereka meminta per-lindungan kaum Muslimin dan menjadi tetamu (lihat ayat ketujuh pada surah ini kembali). Tidaklah bertemu suatu hadits yang akan dijadikan dalil bahwa pinggan-ping-gan bekas mereka makan dicuci kembali dengan penyucian sebagai bekas jilatan anjing. Malahan ada hadis menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berwudhu dengan air yang ditimba dengan timba kepunyaan kaum musyrikin. Menurut sebuah hadits yang dirawikan Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Jabir bin Abdullah, “Adalah kami pergi berperang bersama Rasulullah ﷺ, maka kami pun mendapat timba air kepunyaan orang musyrikin, lalu kami mempergunakan dan tidaklah beliau salahkan perbuatan kami.
Bahkan pernah seorang musyrikin bernama Tsumamah bin Atsaal tertawan, lalu diikatkan pada salah satu tonggak Masjid Madinah.
Baik dari sari ajaran Islam sendiri yang tidak ada ajaran seperti agama Hindu yang menajiskan kasta Sudra dan Paria itu, ataupun bukti dari perbuatan Rasulullah ﷺ sendiri, nyatalah bahwa yang najis itu bukan badannya. Dan bukanlah pula arti najis dalam ayat ini menurut istilah najis yang telah ditentukan setelah ada ilmu fiqih, yaitu bahwa yang dikatakan najis dalam ilmu fiqih ialah yang wajib dibersihkan apabila tersentuh, olehnya barang sesuatu. Bersamaan yang kotor pada perasaan sebagai kencing dan berak atau kotor pada hukum sebagai arak dan daging babi. Yaitu pada pendapat ulama yang mengatakan bahwa daging babi, daging anjing dan arak itu, yang najis ialah zatnya sendiri. Maka istilah fiqih inilah yang menyebabkan ulama tadi berpendapat bahwa zat diri musyrikin itu sama hukum najisnya dengan zat daging babi.
Padahal Al-Qur'an turun jauh sebelum fiqih diilmukan. Dan, jauh sebelum fuqaha membuat istilah najis. Sedang yang dimaksud oleh Al-Qur'an arti najis ialah kotor, Orang yang busuk hatinya pun disebut oleh orang Arab seorang yang najis. Dan mereka pun memandang tidak baik seorang laki-laki yang telah men2inai seorang perempuan, lalu pe-rempuan itu dinikahinya, sebab perempuan itu telah dinajiskannya, artinya dikotorinya.
Setelah menilik semuanya itu, bukanlah artinya jika musyrikin dilarang mulai sesudah tahun itu masuk ke Masjidil Haram, karena zat badannya yang najis, melainkan karena mereka kotor dan tidak mengenal kebersihan.
Kencing tidak dibasuh, tidak mengenal wudhu, tidak mengerti mandi junub, dan sebagainya, dan belum belajar kebersihan menurut Islam. Apatah lagi ada pula yang thawaf dengan lebih dahulu menanggalkan pakaiannya; lebih kotor dipandang mata.
Menurut riwayat dari Ibnu Abu Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, dan Mujahid, bahwa setelah Rasulullah ﷺ kembali dari Peperangan Tabuk, mulanya beliau berniat hendak naik haji tahun kesembilan itu. Kemudian, beliau berkata, ‘Akan hadir pula di rumah itu (Ka'bah) kaum musyrikin yang thawaf bertelanjang, Sebab itu aku tidak suka naik haji sampai yang seperti itu tidak ada lagi" Maka berdasar kepada sabda Nabi ﷺ ini, yang menyebabkan beliau belum naik haji di tahun itu, dan menyuruh Abu Bakar yang memimpin jamaah Haji, ialah karena beliau hendak memerintahkan terlebih dahulu agar Masjidil Haram dibersihkan dari musyrikin yang tidak mengenai kebersihan itu dan tidak mau melihat masih ada orang yang thawaf bertelanjang. Tahun di mukanya (Tahun Kesepuluh), setelah semuanya itu bersih, barulah beliau naik haji, yang dikenal sebagai Haji Wada (Selamat Berpisah), sebab dua bulan sepuluh hari setelah selesai haji itu, pada tahun kesebelas beliau pun wafat.
Rupanya ada timbul kemusyrikan di dalam hati kaum Muslimin pada mulanya jika kaum musyrikin itu dilarang naik haji sejak sudah setahun itu. Artinya, di tahun kesembilan itu sendiri musyrikin masih banyak naik haji. Baru dilarang ialah sesudah tahun mereka ini, yaitu tahun kesepuluh. Timbullah pertanyaan dalam hati kaum Muslimin, apakah tidak akan timbul kesulitan kalau musyrikin dilarang naik haji? Sedang di waktu itu musyrikin banyak jadi petani? Mereka yang membawa makanan ke Mekah? Mereka selama ini berniaga dengan kaum Muslimin? Apakah tidak akan terganggu kelancaran ekonomi? Kekhawatiran kaum Muslimin itu ditutup oleh lanjutan ayat:
“Dan jika kamu takut akan kepapaan, maka Allah akan mencukupkan kamu dengan …-Nya, jika Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah adalah Mahatahu, lagi Mahabijaksana."
Allah Mahatahu apa yang terasa di hatimu sebagai reaksi dari peraturan yang tegas dari Allah ini. Kamu takut perniagaan, perdagangan, dan pasaran yang ramai di Mekah khususnya dan Hejaz umumnya, selama ini akan lengang kalau musyrikin tidak boleh naik haji lagi. Ini tidak akan kejadian. Sebab suasana yang baru sesudah Islam akan lain coraknya daripada suasana yang lama. Islam tidak lagi akan meliputi Tanah Arab saja, malahan akan menjalar dan berkembang dan Mekah akan tetap jadi pusat. Di waktu itu kedudukan kaum musyrikin tidak akan berarti lagi, kalau mereka tidak segera masuk Islam. Dengan keamanan yang dibawa oleh Islam, perdagangan, perniagaan, dan lalu lintas akan jauh lebih ramai, lantaran itu kekayaan akan melimpah-limpah. Allah Mahabijaksana akan mengaturnya. Kemudian, apa yang difirmankan Allah pada ujung ayat itu memang telah terjadi.
Mulai tahun kesepuluh, setelah Masjidil Haram bersih dari musyrikin, sebab musyrikin Arab sendiri telah berbondong-bondong masuk Islam, yaitu ketika naik haji Rasulullah ﷺ yang terakhir, timbullah cahaya baru itu. Waktu itu telah ratusan ribu orang naik haji, dan demikian pula seterusnya, penduduk Mekah telah menjadi kaya raya, apatah lagi dalam mengerjakan haji itu dibolehkan pula orang “meninjau apa yang bermanfaat untuk kepentingan mereka" (lihat surah al-Hajj, ayat 28). Oleh sebab itu, dengan lanjutan ayat ini, tertutuplah rasa kecemasan dan kekhawatiran bahwa kepapaan akan datang dan perdagangan akan mundur dari sebab larangan musyrikin naik haji itu.
Dari ayat ini kita mendapat kesan betapa beratnya tuntunan Islain kepada umat Muhammad ﷺ agar mereka menjadi orang yang bersih. Sebab kebersihan badan besar sekali pengaruhnya kepada kebersihan jiwa. Sehingga Rasulullah ﷺ belum mau naik haji di tahun kesembilan, lalu diwakilkannya memimpin haji tahun itu kepada orang yang sangat dipercayainya, Abu Bakar. Dan disuruh turutinya kepada orang kepercayaan dan keluarganya Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan maklumat itu satu di antaranya yang terpenting tentang kebersihan. Dan dikatakannya bahwa orang musyrik itu ialah najis, kotor. Jangan sampai tahun depan maka beliau melihat lagi orang-orang yang kotor itu mengerjakan haji. Dan jangan sampai pula orang-orang bertelanjang mengerjakan tha-waf.
Lantaran itu, dalam Islam, kebersihan adalah pokok yang utama dan pertama. Ahli-ahli fiqih pun telah mengatur tradisi pelajaran fiqih yang mempunyai empat bagian (rubu') itu bahwa kitab pertama sebelum membicarakan ibadah ialah urusan thaharah, artinya urusan kebersihan dan persucian. Oleh sebab itu, sejak zaman dahulu kebersihan inilah pokok utama dari kehidupan Islam. Orang-orang Islam yang bersih, mandi teratur, air wudhu, persediaan air yang baik; itulah yang menjadi guru bangsa Eropa ketikh Islam masuk dan membangun kebudayaannya di Spanyol. Sehingga suatu sikap yang mendukakan hati, setelah orang Islam dikikis habis dari Spanyol, salah satu tanda orang Islam, untuk mereka ditangkap dan diusir, ialah karena mereka bersih. Dan menurut riwayat, berkembang pesatnya Islam di Tanah Air kita ini di zaman dahulu, sebab dialah yang mengajar nenek moyang kita di zaman purbakala itu soal kebersihan.
Kalau di zaman kemunduran Islam kita melihat adanya kekotoran, atau adanya kolam di muka masjid yang tidak bertukar-tukar airnya, bau kencing yang amis di sekeliling masjid, nyatalah semuanya itu timbul setelah faham Islam membeku. Orang telah ribut dengan susun kata-kata, tetapi tidak lagi ingat akan inti sari ajaran.
Oleh sebab itu, masjid-masjid di zaman modern hendaklah dikembalikan kepada pokok asli ajarannya, yaitu mengutamakan dan mempertamakan thaharah—kebersihan.
Di atas telah kita terangkan sedikit tentang dilarangnya kaum musyrikin masuk ke dalam Masjidil Haram. Sekarang baik juga kita ketahui pendapat ahli-ahli fiqih tentang Musyrikin masuk Masjidil Haram atau masuk sebarang masjid dan negeri-negeri Islam.
Imam al-Baghawi di dalam tafsirnya telah menyimpulkan pendapat ahli fiqih tentang soal ini. Kata beliau, “Jumlah negeri-negeri Islam tentang hak orang kafir memasukinya adalah tiga bagian."
Bagian pertama, ialah Masjidil Haram. Maka tidaklah boleh orang kafir, masuk ke dalamnya, baik dia zimmi sekalipun atau kafir minta aman. Demikian pendapat Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Imam Malik. Maka kalau datang utusan dari darul kufr (negeri kafir), padahal imam sedang dalam Masjidil Haram, Utusan itu tidak diizinkan masuk, malahan Imamlah yang harus keluar menemuinya, atau beliau mengutus orang untuk mendengarkan apa maksud kedatangannya. Tetapi Imam Abu Hanifah dan ahli Kufah menyatakan bahwa kafir yang terikat dengan Muslimin dengan perjanjian (mu'ahad) boleh masuk Masjidil Haram,
Bagian kedua, (kita ringkaskan) yaitu Tanah Hejaz. Orang-orang kafir diperbolehkan masuk Tanah Hejaz, tetapi dengan izin terlebih dahulu. Tetapi tidak boleh lebih dari jangka musafir, yaitu tiga hari.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim daripada Ibnu Umar, bahwa dia mendengar Rasulullah saw, bersabda,
“Pasti aku keluarkan Yahudi dan Nasrani dari Jazirah Arah, maka tidak aku tinggalkan kecuali orang Muslim.'" (HR Muslim)
Dan, ada tambahan dalam riwayat lain, selain dari riwayat Muslim itu, beliau berwasiat,
“Keluarkanlah orang musyrikin dari Jazirah Arab."
Tetapi Abu Bakar tidak sempat menjalankannya, maka Umar bin Khaththab-lah yang menjalankannya pada masa Khalifahnya, dan hanya dibolehkan tiga hari bagi mereka yang datang karena berniaga. Dan riwayat Ibnu Syihab, berkata Rasulullah ﷺ,
“Tidak berkumpul dua agama di Jazirah Arah." (HR Ibnu Syihab)
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Malik dalam al-Mutuaththa' keadaan mursal.
Dan diriwayatkan pula oleh Muslim dari Jabir. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw, bersabda,
“Sesungguhnya setan telah putus asa bahwa orang yang berskala di jazirah Arab akan menyembah dia, tetapi dia akan mengganggu di antara mereka." (HR Muslim)
Menurut Said bin Abdul Aziz yang disebut Jazirah Arab itu ialah yang terletak di antara wadi (lembah) sampai ke Yaman yang ujung, sampai ke Irak ke pinggir taut. Kata yang lain, batas Jazirah Arab ialah dari yang jauh (‘aden) sampai ke Riff (dusun) Irak memanjang. Dan, dari Jeddah dan sekitarnya di Pantai Lautan Merah sampai ke tepi negeri Syam melebar,
Bagian ketiga, ialah sekalian negeri Islam. Maka bolehlah orang kafir bertempat tinggal di negeri-negeri dengan jaminan, dengan aman dan zimmi, tetapi mereka tidak boleh masuk-masuk saja ke dalam masjid kalau tidak dengan izin.
Sekian ringkasan keterangan Imam al-Baghawi dalam tafsirnya.
Dan, segala peraturan yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ dan dipegang serta dijalankan oleh khalifah-khalifah beliau ini, terutama dilaksanakan oleh Umar bin Khaththab da-patlah diperkuat dan diperteguh, kalau Islam dan umat Islam, dan Pemerintah Islam di Tanah Arab sendiri teguh dan kuat pula. Kalau tidak, niscaya pihak musuh Islam senantiasa pula berusaha hendak merobohkan benteng pertahanan Islam jazirah Arab itu. Di zaman Perang Salib, seorang spion telah tertangkap di Madinah karena bermaksud hendak mencuri tulang-tulang Rasulullah ﷺ dari kuburnya. Dan di zaman kekacauan kaum Qaramithah telah mereka rampas Batu Hitam (Hajarul Aswad), mereka cungkil dari Ka'bah dan mereka larikan ke Bahrain, sampai tertahan di sana kira-kira 22 tahun lamanya. Dan di zaman kita sekarang ini, negara Israel yang didirikan Yahudi di Palestina dengan bantuan kerajaan-kerajaan imperialis Inggris dan Amerika dan neo-imperialisme Rusia, telah diketahui rencana mereka, bahwa Khaibar termasuk hendaknya dalam daerah Israel. Sebab dari sana nenek moyang mereka dihancurkan habis oleh Rasulullah ﷺ dan mereka pun merencanakan bahwa Kota Suci kita sendiri, Madinatul Munawwarah, Madinatur-Rasul, tempat Nabi kita Muhammad ﷺ dikuburkan hendak mereka rampas dan hendak dimasukkan dalam rangka negara Israel juga.
Sebab itu maka cita-cita Rasulullah ﷺ itu hanya dapat ditegakkan kalau kaum Muslimin kuat dan kukuh, serta insaf kembali menegakkan agamanya.
Ayat 29
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan tidak mereka haramkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak mereka beragama dengan agama yang heran, (yaitu) dari antara orang-orang yang diberi kitab."
Di samping ayat-ayat yang menyuruh berperang dengan kaum musyrikin yang telah banyak terdahulu ini, maka sekarang kita bertemu dengan ayat yang mulai menyuruh memerangi Ahlul Kitab. Kalau kita tidak mengetahui asbabun nuzul, niscaya akan timbul pertanyaan kita. Mengapa pula Islam menyuruh memerangi Ahlul Kitab?
Kita sudah tahu bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Kitab ialah Yahudi dan Nasrani. Pada pokok dasar tidak ada maksud untuk menimbulkan perang dengan Ahlul Kitab. Dan sampai sekarang ini pun tidak ada maksud berperang dengan Ahlul Kitab. Saat Rasulullah ﷺ telah pindah ke Madinah, yang terlebih dahulu diperbuat ialah perjanjian-perjanjian akan hidup bertetangga baik dengan orang Yahudi. Tetapi orang-orang Yahudi itulah yang mengkhianati segala janji yang diperbuat. Sampai akhirnya Rasulullah ﷺ wajib me-nyelesaikan urusan dengan mereka. Bani Nadhir diusir habis dari Madinah. Bani Qurai-zhah dihukum berat karena berkhianat dan bersekutu hendak menghancurkan Islam de-ngan orang Quraisy ketika Peperangan al-Ahzab. Lalu, sisanya berkumpul ke Khaibar. Akhirnya, Khaibar pun ditaklukkan.
Tinggal orang Nasrani!
Hubungan dengan mereka pada mulanya pun amat baik. Lantaran yang baik inilah maka Rasulullah ﷺ berani menyuruh sahabat-sahabatnya hijrah ke negeri Habsyi dari Mekah, melindungkan diri sampai dua kali. Sampai pula Raja Najasyi (Negus) Habsyi sendiri dengan segala kerelaan hati memeluk Islam. Hubungan yang mesra ini sampai diakui oleh Al-Qur'an, sebagaimana telah kita baca di dalam surah al-Maa'idah, (ayat 83, termasuk juz 6) dan ayat 83 sampai ayat 85 (di pangkal juz 7). Sampai Rasulullah ﷺ mengirimkan utusan-utusan istimewa memakai adat kerajaan-kerajaan berdaulat menyeru raja-raja Nasrani memeluk Islam. Baik kepada Heraclius Raja Rum di Suriah (Syam) atau Muqauqis Raja Nasrani di Mesir. Meskipun mereka tidak masuk Islam, namun persahabatan dan per-tetanggaan yang baik telah tumbuh.
Tetapi, apa yang terjadi di belakang layar resmi-resmian? Bagian utara Tanah Arab adalah di bawah kekuasaan Rum. Bangsa Rum telah menguasai negeri itu sejak 600 tahun lebih, sejak sebelum Nabi Isa lahir. Dengan sebab kekuasaan atas bangsa Arab ini, maka di sebelah utara itu telah banyak pula suku-suku Arab yang memeluk agama Nasrani, sebagai agama bangsa penjajah. Maka kekuasaan imperialisme Rum di Arab Utara ini kian lama kian merasa tidak senang atas timbulnya kekuatan baru di Tanah Arab, yang kian lama kian besar.
Sejak tahun keempat Hijriah, penduduk Madinah telah merasai ancaman-ancaman yang dibawa angin dari sebelah utara. Apalagi ada berita-berita yang kian lama kian santer bahwa Madinah sendiri pun akan dimusnahkan. Di Daumatul Jandal, yaitu wilayah perbatasan yang dikuasai Rum, kabilah-kabilah Arab Nasrani telah merampok, me-nyamun kafilah-kafilah Arab yang dibawah lindungan Nabi ﷺ sehingga jalan ke negeri Syam tidak aman lagi. Maka pada bulan Rabi'ul Awwal tahun kelima Hijriah, satu angkatan perang Muslim di bawah pimpinan Rasulullah ﷺ sendiri telah pergi menyerbu ke negeri itu dengan 1.000 tentara Islam buat mengadakan pembersihan. Perjalanan ke sana dari Madinah ialah selama 15 malam.
Sejak itu, sudah nyata bahwa hubungan dengan Kerajaan Rum, sebagai pembela agama Nasrani sudah mulai keruh.
Lalu, setelah Perdamaian Hudaibiyah pada tahun keenam, Rasulullah ﷺ mengirim surat-surat seruan sebagai yang kita sebutkan tadi kepada raja-raja berkeliling. Baik raja-raja besar sebagai Heraclius dan Muqauqis, atau raja yang di bawah perlindungan sebagai al-Harits bin Abu Syamr di Damaskus. Kerajaannya di bawah perlindungan Heraklius. Sambutannya sangat sombong, tidak sehalus sambutan induk-semangnya Heraklius sendiri. Setelah surat Rasulullah ﷺ dibacanya, dilemparkannya ke tanah dan diinjak-injaknya. Dan dia berkata, “Siapa pula yang akan berani merebut kekuasaan dari tanganku?" Lalu, dia bersumpah akan menyiapkan tentara untuk menghancurkan Muslimin. Padahal dia sendiri adalah Arab, bukan orang Rum!
Raja Arab Nasrani di Bashra lebih lagi. Setelah utusan Rasulullah ﷺ datang membawa surat Rasul kepadanya, yaitu al-Harits bin Umair al-Azdi, maka utusan itu dibunuh. Inilah yang terjadi!
Maka untuk menebus malu yang dicoreng-kan ke atas kening Islam ini, Rasulullah ﷺ mengirim angkatan perang Islam ke Mu'tah, terdiri dari 3.000 orang. Tetapi mereka telah disambut dengan 100.000 tentara Rum dan 100.000 tentara Arab Nasrani dari raja-raja Arab yang menghina surat Rasulullah ﷺ dan membunuh utusannya itu. Di sinilah tewas tiga pahlawan Islam, yaitu Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, sebagai telah kita paparkan ketika menafsirkan surah al-Anfaal dahulu. Syukurlah Khalid bin Walid dapat menyelamatkan tentara yang nyaris hancur itu, dan pulang ke Madinah.
Dalam pada itu Rasulullah ﷺ mengirim pula angkatan perang di bawah Panglima Amr bin al-Ash, karena datang lagi berita bahwa Arab-Arab Nasrani itu telah menyusun kekuatan pula di tempat yang lain. Maka, terjadilah Peperangan Dzatis Salasil yang terkenal. Taktik Arab Nasrani memerangi Islam, tidak mau berhadap-hadapan muka. Kalau tentara Islam datang mereka mengundurkan diri. Tetapi, selalu mereka meminta bantuan kepada tentara Rum yang menjadi pelindung mereka. Perang Mu'tah dan Dzatis Salasil terjadi pada tahun kedelapan. Setelah selesai dari aksi-aksi pembersihan itu, barulah dalam tahun kedelapan itu juga Rasulullah ﷺ menaklukkan Mekah dan me-nundukkan Hawazin dan Tsaqif dalam Perang Hunain. Maka setelah musyrikin Arab beliau tundukkan, beliau pun mulai hendak mengadakan penyelesaian dengan bangsa Rum Nasrani itu, yang sejak empat tahun yang telah lalu telah menyatakan sikap tidak bersahabat dengan kekuatan Islam yang baru tumbuh itu. Di sinilah mulai akan timbul Peperangan Tabuk,
Dengan Yahudi telah selesai. Dengan Musyrikin Arab telah selesai. Sekarang akan menghadapi penyelesaian dengan bangsa Rum, yang agama Nasrani jadi pegangan mereka. Pada saat itu satu di antara dua hal sudah tidak dapat dielakkan lagi. Atau Islam yang baru tumbuh hancur sebelum naik, yang berarti kehancuran juga dari kekuatan bangsa Arab seluruhnya, atau kekuatan bangsa Rum habis dari seluruh Arabia dan kemerdekaan bangsa Arab tercapai, dengan Islam sebagai pokok citanya atau ideologinya.
Maka turunlah ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Rasulullah ﷺ telah disuruhkan berperang dengan mereka itu, bangsa Rum, jangan tanggung-tanggung. Yang dihadapi adalah kekuasaan bangsa Rum. Adapun sesama Arab yang di bawah perlindungan bangsa Rum, itu hanya ekor saja. Kalau kepala telah pecah, ekor tentu tidak bergerak lagi. Adapun raja-raja Arab yang melemparkan surat Nabi ﷺ ke tanah dan menginjak-injaknya dan yang membunuh utusan Rasulullah ﷺ itu, melanggar segala adab sopan perutusan, tidak lain dari raja-raja sombong karena mendapat kurnia dari majikan, kalau dapat menunjukkan kepada raja yang menjajah mereka bahwa mereka “lebih Rum dari Rum sendiri", di dalam menghadapi pahlawan bangsanya sendiri yang baru tumbuh. Serupa itu pulalah sultan-sultan atau bupati-bupati menjilat Belanda terhadap pahlawan-pahlawan kemerdekaan bangsa kita ketika mulai muncul pergerakan kemerdekaan. Rasulullah ﷺ bukanlah menghadapi ekor-ekor itu, tetapi hendak berhadapan dengan penjajah bangsa Rum itu sendiri, yang beragama Nasrani. Maka terjadilah Gazwah Ta-buk, yang akan banyak dibicarakan di dalam surah at-Taubah atau Bara'ah ini.
Di dalam ayat ini dijelaskanlah perintah memerangi mereka. Sebab mereka tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian.
Kita tahu bahwa agama Nasrani pada pokoknya percaya kepada Allah dan percaya juga kepada hari Kemudian, yang mereka namai Kerajaan Surga. Tetapi gangguan mereka kepada Islam yang baru tumbuh telah menunjukkan bahwa iman mereka itu tidak ada lagi. Dan, dikatakan bahwa mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Artinya, banyak larangan dari rasul-rasul yang dahulu, yang dilanjutkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, tetapi oleh Nasrani telah diubah. Bukan Nabi Isa sendiri yang mengubah, tetapi pendeta-pendeta yang datang di belakang. Seumpama daging babi; Tau-rat mengharamkan dan Nabi Isa sendiri pun mengakui setia memegang Taurat. Dan Nabi Muhammad ﷺ pun tetap mempertahankan haramnya. Datang pendeta-pendeta sesudah Nabi Isa, lalu mereka halalkan daging babi itu. Kemudian diterangkan pula bahwa mereka tidak lagi beragama dengan agama yang benar. Mereka telah memasukkan kepercayaan lain ke dalam Nasrani, yaitu Trinitas, mengatakan al-Masih adalah Allah dan menjadi Anak Allah dan mengatakan bahwa Tuhan itu tiga, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Ruhul -Qudus. Ada pula yang mengatakan bahwa Maryam pun Tuhan. Lantaran itulah maka mereka tidak akan membiarkan Islam tumbuh. Tidak akan membiarkan bangsa Arab sebagai pelopor Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad ﷺ akan bangkit dengan kekuatan yang baru. Sebab itu perangilah mereka. Lalu diterangkan tujuan perang pada ujung ayat:
“Sampai mereka membayar jizyah dengan tangan, dalam keadaan mereka merendah diri."
Di ujung ayat ini jelas sekali apa tujuan perang. Agama mereka tidaklah akan dihapuskan, dan tidak mungkin dihapuskan suatu kepercayaan dengan kekerasan. Mereka tetap Ahlul Kitab. Tetapi, mereka akan ditundukkan sampai mereka pada waktu itu tidak berkuasa lagi, sampai mereka kalah. Dan dengan kekalahan itu, mereka pun membayar uang jizyah dengan tangan (bayar kontan) dan mereka merendah diri. Artinya, mereka menjadi golongan yang kalah. Tidak lagi leluasa menjajah dan mengutak-ngatikkan nasib bangsa yang mereka jajah sudah lebih dari 600 tahun itu.
Di sini jelas sekali perbedaan berperang Rasulullah ﷺ dengan Musyrikin Arab, dan berperang dengan Nasrani Rum.
DARI HAL JIZYAH
Jizyah ialah uang tanda ketundukan yang dikenakan kepada perorangan, bukan kepada tanah, yang dipungut dari tiap-tiap pemeluk agama Ahlul Kitab sebagai jaminan atas keselamatan dan keamanan mereka memeluk agama mereka.
Dalam pelaksanaannya, pada kalangan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ ialah jika suatu negeri mereka dikepung, terlebih dahulu dikirim surat atau utusan menyampaikan kepada penduduk negeri itu, mengajak mereka memeluk Islam. Kalau mereka terima anjuran itu, maka hak mereka menjadi sama dengan hak kaum Muslimin dan kewajiban pun sama pula, tidak ada perbedaan sama sekali. Wajib shalat, wajib membayar zakat dan puasa, dan kewajiban-kewajiban yang lain, dengan martabat yang sama dan duduk sama rendah tegak sama tinggi. Tetapi kalau mereka tidak suka memeluk agama Islam, mereka tidak halangi memeluk dan mengadakan upacara agama mereka selamanya dan jabatan-jabatan mereka tidak akan digeser, tetapi mereka diminta membayar jizyah. Setelah mereka sang-gupi membayar jizyah itu, maka pihak Islam menjamin perlindungan bagi mereka, baik dari gangguan kaum Muslimin sendiri maupun gangguan lain musuh yang datang dari luar. Salah satu contoh surat perdamaian itu atau surat pembayaran jizyah itu, begini bunyinya:
“Inilah yang telah diberikan Utbah bin Furqud, Amil daripada Umar bin Khaththab Amirul Mu'minin kepada ahli negeri Adzer-bijan, lembahnya dan gunungnya, rantaunya dan teluknya, dan seluruh pemeluk agamanya. Semuanya diberi aman, baik atas jiwa mereka atau harta benda mereka atau agama mereka dan segala syari'at-syari'at mereka, dengan kewajiban membayar jizyah, sekadar kesanggupan mereka. Dan barangsiapa yang turut berperang pada suatu tahun dengan sukarelanya maka jizyahnya buat tahun itu tidak dipungut dan barangsiapa yang berdiri, maka baginya adalah seumpama apa yang dikenakan bagi orang yang berdiri atas demikian."
Dan, lebih tegas lagi salah satu perjanjian pula, yaitu di antara Khalid bin Walid dengan
Shaluba bin Nashthuna, ketua kaum Nasrani di Furat. Dibuat surat perjanjian bahwa mereka akan membayar jizyah dan Khalid menjamin keamanan mereka. Di dalam Surat Perjanjian itu tercatat kesanggupan melindungi mereka. Demikian bunyinya:
“Aku memberikan janji kepada kamu akan menjamin keamanan kamu, dan kamu akan membayar jizyah. Maka selama kami masih tetap memperlindungi kamu, wajiblah mem-bayar akan dia. Tetapi, kalau kami sia-siakan keamanan kamu, kamu tidak wajib memba-yarnya lagi." Ditulis pada tahun kedua belas, bulan Shafar.
Maka banyaklah bertemu contoh surat perjanjian itu di dalam kitab tarikh bahwa jizyah ialah uang jaminan keamanan. Dan dengan demikian maka mereka sendiri tidak diwajibkan turut di dalam jihad atau berperang di dalam peperangan-peperangan yang dilaksanakan dalam Islam. Namun, kalau mereka tertarik buat ikut berperang, jizyah mereka buat tahun itu tidak dipungutkan. Dan, mereka tidak diperbolehkan mendirikan tentara sendiri.
Jizyah yang mula-mula sekali dipungut ialah di zaman Rasulullah ﷺ sendiri, ketika perutusan Nasrani dari Najran datang ke Madinah menyatakan takluk. Di dalam surat perjanjian disebutkan: “Bahwa mereka akan mengirimkan 1.000 pasang pakaian, dikiri-mkannya separuh di bulan Shafar dan sepa-ruhnya lagi di bulan Rajab. Dan mereka akan meminjami kepada kaum Muslimin 30 buah perisai, 30 ekor kuda, 30 ekor unta, dan 30 macam senjata untuk berperang. Dan kaum Muslimin menjamin akan mengembalikan itu semuanya, kalau sekiranya ada suatu penyerangan khianat ke negeri Yaman. Dan kaum Muslimin pun berjanji bahwa gereja-gereja dan biara-biara mereka tidak akan diganggu, dan pendeta-pendeta mereka tidak akan dikeluarkan dari jabatan mereka dan agama mereka tidak akan diganggu-gugat, selama mereka tidak membuat onar atau makan riba." (Dari riwayat Abu Dawud, dari Ibnu Abbas).
Sama dengan pendapat seluruh sahabat Rasulullah ﷺ bahwasanya yang dipungut jizyah itu ialah orang Yahudi dan Nasrani. Sebab merekalah yang dimaksud dengan Ahlul Kitab. Tetapi kemudian sama pula pendapat bahwa Majusi pun membayar jizyah. Mulanya Umar bin Khaththab tidak bendak memungut jizyah dari Majusi, tetapi setelah mendapat keterangan dari Abdurrahman bin Auf bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengenakan jizyah kepada Majusi di negeri Hajr, maka berlakulah peraturan itu.
Adapun penyembah berhala di jazirah Arab sendiri, tegasnya bangsa Arab pada waktu itu, dari mereka tidak diterima jizyah. Mereka mesti masuk Islam. Dan semuanya akhirnya telah masuk Islam.
Pembayar jizyah itu dinamai zimmi, artinya orang yang mendapat jaminan. Kalau mereka masuk Islam, jizyah dengan sendirinya tidak dikenakan lagi kepada mereka. Mereka langsung memikul kewajiban seperti Muslim, yaitu membayar zakat kalau telah cukup syarat-syarat berzakat. Dan, wajib pula turut berperang apabila telah datang perintah dari Imam al-A'zham.
jizyah itu rupanya benar-benar hanya sebagai lambang tanda ketundukan saja. Sebab tidak ditentukan berapa banyaknya seseorang dikenakan. Malahan sebagai kita sebutkan di atas tadi, jizyah Nasrani Najran ada pula yang berupa pinjaman. Menurut keterangan Imam Syafi'i, jizyah itu dikenakan rata-rata satu orang satu dinar dalam setahun, dipungut di akhir tahun. Baik yang kaya-raya ataupun yang miskin, semua kena satu dinar setahun. Anak-anak dan orang perempuan tidak dikenakan, dan budak-budak pun tidak. Hanya laki-laki merdeka.
Untuk mengetahui bagaimana perjalanan jizyah itu dalam kenyataan, ingatlah kita akan cerita seorang Yahudi tua.
Tahun sudah hampir habis, waktu membayar jizyah sudah datang. Dia tidak ada mem-punyai uang. Lalu, dia berjalan seorang diri mencari kalau ada orang yang kasihan ke-padanya, memberinya sedekah untuk dijizyah-kannya. Ketika itu, tiba-tiba Khalifah Umar bin Khaththab melihat Yahudi tua itu berjalan tertatih-tatih. Kemudian, beliau tegur mengapa dia berjalan sedemikian rupa. Maka dia pun mengakui terus terang bahwa dia berjalan mencari belas-kasihan orang guna membayar jizyah. Terharu Khalifah melihatnya. Lalu beliau panggil pemegang kas bendahara Baitul maal. Disuruh lihat daftar nama orang tua itu. Setelah bertemu, berkatalah beliau, “Coreng nama orang tua ini dari daftar pembayar jizyah. Adakah patut tenaganya di waktu muda telah diberikannya pembayar jizyah, di waktu tua masih kita pungut juga. Dan letakkan dia dalam daftar orang-orang yang patut menerima bantuan."
Maka bertemu pulalah pendapat dari ulama-ulama fiqih yang besar-besar bahwa menjadi kewajiban bagi seorang Muslim memberikan belanja kepada orang-orang zimmi yang melarat, apabila tidak diperdapat kaum keluarganya yang karib untuk membantu be-lanjanya. Jadi, bolehlah dia membayar jizyah-nya itu dengan uang zakat atau sedekah ihsan dari kaum Muslimin itu.
Kemudian bertemu pula cerita yang kejadian pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Amil (Gubernur) beliau di negeri Mesir mengirim laporan mengatakan bahwa dari tahun ke tahun jumlah jizyah yang dipungut kian susut dan menurun, sebab orang-orang zimmi banyak yang telah masuk Islam dengan kemauannya sendiri. Maka beliau kirimlah surat yang bernada kemurkaan kepada amil itu. Setengah dari katanya ialah, “Engkau diangkat dalam jabatan itu bukan buat memungut pajak, tetapi buat menyeru manusia kepada jalan yang benar."
Itulah suatu keanehan, tetapi benar. Banyak orang zimmi dengan sukarela masuk Islam. Dengan masuk Islam, jizyahnya dihapuskan. Tetapi diganti dengan zakat dua setengah persen dari jumlah kekayaannya kalau nishab dan tahunnya telah sampai, yang kadang-kadang menjadi beratus kali lipat daripada jizyah yang wajib dibayarnya, kalau dia masih kafir. Dan dengan masuk Islam itu dia pun menjadi wajib memanggul senjata kalau terjadi perang. Padahal kalau dia masih zimmi, dia tidak wajib masuk tentara Islam. Cuma diterima kalau dia dengan sukarela masuk jadi tentara. Sebabnya yang utama ialah perlakuan dan pergaulan yang begitu mesra di antara zimmi atau mu'ahid dalam masyarakat Islam. Dan kalau seorang kafir di daerah yang sedang berperang, datang ke negeri Islam (Darul Islam), mereka pun dilindungi sebaik-baiknya. Sebab itu maka masuknya mereka ke dalam Islam itu ialah karena tertarik oleh perlakuan yang adil itu. Dan paksaan tidak ada sama sekali. Buktinya ialah bahwa keturunan Nasrani yang hidup di zaman Rasulullah ﷺ dan para sahabat Rasul masih hidup di zaman Amr bin al-Ash menaklukkan Mesir, masih terdapat dua juta banyaknya di Mesir.
Kalau ini tidak diakui sebagai bukti, maka tidak ada lagi bukti lain yang akan dapat dite-rima. Sebab nyata bahwa yang tidak mau menerima bukti itu tidak beres caranya berpikir.
Oleh sebab itu, baik dengan mengambil dasar kepada isi Al-Qur'an sendiri, ataupun pada jalan sejarah, tidaklah Islam memaksakan agamanya kepada daerah yang dia taklukkan. Adapun kalau timbul peperangan-peperangan kemudian dan penaklukan-penaklukan negeri lain, sampai mereka ke India, ke Eropa, sampai Andalusia, Italia, Perancis, atau ke Eropa Timur di zaman kebesaran Kerajaan Turki, namun pemaksaan agama tidaklah ada. Peperangan yang demikian, sudah harus ditilik ke dalam ilmu sejarah, sosiologi, dan perkembangan kerajaan, yang selalu terjadi di dalam sejarah perikemanusiaan. Bukan kepada bangsa-bangsa yang memeluk Islam saja. Maka setelah negeri-negeri Islam itu lemah, tiba pulalah giliran mereka yang dijajah dan dihinakan orang.
Untuk lebih jelas, di sini kita salinkan pembahagian orang-orang berlain agama itu dan sikap terhadapnya, menurut Al-Qur'an:
Al-Qur'an membagi golongan yang berbeda agama itu kepada tiga macam:
• Mu'ahid dan Zimmi
• Musta'min
• Muhaarib
Kaum Mu'ahid dan Zimmi, ialah pemeluk agama lain yang hidup di dalam perlindungan Islam, menjadi rakyat dan warga negara Kerajaan Islam. Dijamin dan dilindungi mereka menjalankan ibadah agama mereka. Rumah-rumah ibadah mereka pun diperlindungi sama dengan perlindungan terhadap masjid-masjid Islam sendiri. (Lihat surah al-Hajj, ayat 40). Mereka disuruh membayar jizyah. Mereka dilindungi dengan sabda Rasulullah ﷺ sendiri,
“Barangsiapa yang mengganggu orang Zimmi, bukanlah dia dari golongan kita."
Musta'min, ialah pemeluk agama lain yang datang berdagang berniaga atau menjadi tetamu ke dalam negeri Islam. Maka penguasa Islam memberikan perlindungan kepadanya, menjamin keamanan diri dan harta kepadanya (lihat kembali surah at-Taubah ayat 6).
Apabila kita sudi meninjau sejarah Islam di Indonesia, kita akan bertemu Surat Jaminan yang diberikan oleh Sultan Aceh Alaiddin Riayat Syah yang lebih terkenal dengan sebutan Sultan Sidi al-Mukammal (1588-1604). nenek dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Dengan dasar berpedoman kepada peraturan Al-Qur'an inilah Baginda memberikan jaminan kepada Kompeni Inggris yang meminta izin berniaga di Aceh. Baginda membuat Amar Kerajaan kepada seluruh Penguasa Pelabuhan dalam negeri Aceh. Agar bersama-sama menjaga keamanan dan harta benda orang-orang Inggris itu. Di dalam Surat Amar Baginda itu, orang Inggris disebut menurut ejaan aslinya, Ingklitir. Bila kita baca salinan surat-surat itu dalam kitab sejarah, jelas benar bahwa dasar pendirian diambil dari surah at-Taubah ayat 6 tersebut.
Muhaarib ialah pemeluk agama lain yang sedang dalam keadaan berperang dengan Kekuasaan Islam.
Di dalam Al-Qur'an bertemulah peraturan bagaimana sikap sedang berperang, sebagai-mana telah kita baca dalam ayat-ayat, yaitu menghantam, membunuh, memancung leher musuh sampai putus, tidak boleh mundur dan lari. Tetapi musuh yang telah tunduk tidak boleh dianiaya, bahkan dipandang amat cela dan aib mencincang bangkai musuh yang telah mati. Boleh menawan, boleh menerima tebusan dari orang tawanan dan boleh membebaskan tawanan, dan diwajibkan menghormati janji-janji. Sebab sikap keras peperangan hanya berlaku pada suasana perang. Dan jika musuh telah dikalahkan, sekali-kali tidak ada pemaksaan mengubah agama. Keterangan lebih panjang terdapat di dalam kitab-kitab fiqih.