Ayat
Terjemahan Per Kata
فَتَلَقَّىٰٓ
maka menerima
ءَادَمُ
Adam
مِن
dari
رَّبِّهِۦ
Tuhannya
كَلِمَٰتٖ
beberapa kalimat
فَتَابَ
maka Dia menerima taubat
عَلَيۡهِۚ
atasnya
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia
هُوَ
Dia
ٱلتَّوَّابُ
Maha Penerima Taubat
ٱلرَّحِيمُ
Maha Penyayang
فَتَلَقَّىٰٓ
maka menerima
ءَادَمُ
Adam
مِن
dari
رَّبِّهِۦ
Tuhannya
كَلِمَٰتٖ
beberapa kalimat
فَتَابَ
maka Dia menerima taubat
عَلَيۡهِۚ
atasnya
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia
هُوَ
Dia
ٱلتَّوَّابُ
Maha Penerima Taubat
ٱلرَّحِيمُ
Maha Penyayang
Terjemahan
Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya), yakni dengan diilhamkan-Nya kepadanya, menurut suatu qiraat 'Adama' dibaca nashab, sedangkan 'kalimatun' dibaca rafa`, sehingga arti kalimat menjadi, "maka datanglah kepada Adam kalimat dari Tuhannya", yakni yang berbunyi "rabbanaa zhalamnaa anfusanaa", artinya "Ya Tuhan kami, kami telah berbuat aniaya kepada diri kami... dan seterusnya". Maka Adam pun menyampaikan doanya dengan ayat tersebut. (maka Allah menerima tobatnya), artinya mengampuni dosanya (Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat) terhadap hamba-hamba-Nya (lagi Maha Penyayang) terhadap mereka.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 37
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.
Menurut suatu pendapat, ayat ini merupakan tafsir dan penjelasan dari ayat lain, yaitu firman-Nya: “Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi”." (Al-A'raf: 23) Hal ini diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Khalid ibnu Ma'dan, ‘Atha’ Al-Khurrasani, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari seorang lelaki Bani Tamim yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada Ibnu Abbas, lalu bertanya kepadanya, "Kalimat-kalimat apakah yang diberikan kepada Adam oleh Tuhannya?" Ia menjawab, "Ilmu mengenai ibadah haji." Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi yang mengatakan bahwa ia telah menerima riwayat ini dari seorang yang pernah mendengar dari Ubaid ibnu Umair.
Riwayat lain menyebutkan, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ubaid ibnu Umar yang mengatakan bahwa Adam berkata, "Wahai Tuhanku, dosa yang telah kulakukan itu merupakan suatu hal yang telah Engkau pastikan terhadap diriku sebelum Engkau menciptakan diriku, atau sesuatu yang aku buat-buat dari diriku sendiri." Allah berfirman, "Tidak, bahkan itu adalah sesuatu yang Aku takdirkan atas dirimu sebelum kamu diciptakan." Adam berkata, "Maka sebagaimana Engkau telah memastikannya atas diriku, karenanya ampunilah diriku ini." Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa itulah makna firman-Nya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya” (Al-Baqarah: 37).
As-Suddi meriwayatkan dari orang yang menerimanya dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 37) Disebutkan bahwa Adam a.s. berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menciptakan diriku dengan tangan kekuasaan-Mu sendiri?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Dan Engkau telah meniupkan sebagian dari ruh (ciptaan)-Mu kepadaku?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Dan ketika aku bersin, Engkau mengucapkan, 'Semoga Allah merahmatimu.' Dan rahmat-Mu selalu mendahului murka-Mu?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Dan Engkau telah memastikan terhadap diriku bahwa aku akan melakukan hal ini?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Bagaimanakah pendapat-Mu jika aku bertobat? Apakah Engkau akan mengembalikan diriku ke dalam surga?" Allah menjawab, "Ya."
Hal yang serupa diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, Sa'id ibnu Jubair, dan Sa'id ibnu Ma'bad, dari Ibnu Abbas. Atsar ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini berpredikat shahih, tetapi keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Demikian penafsiran As-Suddi dan Atiyyah Al-Aufi.
Ibnu Abu Hatim dalam bab ini telah meriwayatkan sebuah hadits yang serupa dengan hadits ini. Dia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnu Isykab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu ‘Ashim, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Adam a.s. berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika aku bertobat dan kembali? Apakah Engkau akan mengembalikan diriku ke surga?" Allah menjawab, "Ya." Itulah makna firman-Nya, "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya." Hadits ini berpredikat garib ditinjau dari sanad ini, di dalamnya terdapat inqita.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya” (Al-Baqarah: 37). Disebutkan bahwa sesungguhnya setelah melakukan kesalahan, Adam berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika aku bertobat dan memperbaiki diriku?" Allah berfirman, "Kalau begitu, Aku akan memasukkan kamu ke surga." Hal inilah yang dimaksudkan dengan pengertian 'beberapa kalimat'. Termasuk ke dalam pengertian 'beberapa kalimat' adalah perkataan Adam yang disitir oleh firman-Nya: “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri; dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (Al-A'raf: 23).
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid yang mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan 'beberapa kalimat' adalah seperti berikut: “Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau dengan segala pujian untuk-Mu. Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku, sesungguhnya Engkau sebaik-baik penerima tobat. Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan segala pujian untuk-Mu. Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka rahmatilah diriku, sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemberi rahmat. Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau dengan memuji kepada-Mu, wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Firman Allah ﷻ : “Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37) Yakni sesungguhnya Dia menerima tobat orang yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Makna ayat ini sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya: “Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya” (At-Taubah: 104). “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nisa: 11). “Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 71) Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah ﷻ mengampuni semua dosa dan menerima tobat orang yang bertobat. Demikianlah sebagian dari kelembutan Allah kepada makhluk-Nya dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya; tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Nabi Adam dan Hawa merasakan penyesalan yang sangat dalam atas kejadian yang baru saja berlalu. Keduanya tersadar telah diperdayakan oleh setan. Lalu keduanya meminta ampun kepada Allah. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat, yakni doa penyesalan dan permintaan tobat, sebagaimana tersirat dalam Surah al-Ara'f/7: 23, dari Tuhannya, kemudian mereka bertobat, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. Untuk menghapus kemungkinan kesalahpahaman bahwa perintah turun itu hanya dari satu tingkat ke tingkat lain yang lebih rendah di dalam surga, Allah mengulangi lagi perintah itu pada ayat ini. Kami berfirman, Turunlah kamu semua, yakni setan dan manusia, dari surga! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku melalui penyampaian para nabi kepadamu, wahai Adam dan pasanganmu serta anak cucumu, maka barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka terhadap hal-hal negatif yang akan terjadi dan mereka juga tidak akan bersedih hati terhadap hal-hal negatif yang sudah terjadi.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa setelah Adam a.s. dikeluarkan dari surga, dia menerima ilham dari Allah ﷻ yang mengajarkan kepadanya kata-kata untuk bertobat. Lalu Adam bertobat dan memohon ampun kepada Allah dengan menggunakan kata-kata tersebut, yang berbunyi sebagai berikut:
Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi." (al-A'raf/7: 23)
Setelah Adam berdoa memohon ampunan kepada Allah dengan mengucapkan kata-kata tersebut, Allah pun menerima tobatnya, dan melimpahkan rahmat-Nya kepada Adam. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat dan Maha Pengasih. Sebab Allah senantiasa memberikan maaf dan ampunan serta rahmat-Nya kepada orang-orang yang bertobat dari kesalahannya.
Tobat yang diterima Allah adalah tobat yang memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Menyesali dan meninggalkan segala kesalahan yang telah dilakukan.
2. Menjauhi dan tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan dan perbuatan-perbuatan semacam itu.
3. Mengiringi perbuatan dosa itu dengan perbuatan-perbuatan yang baik.
Dalam hal ini Rasulullah ﷺ telah bersabda:
"Iringilah perbuatan jahat itu dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan dosanya". (Riwayat at-Tirmidzi dari Abi dzarr)
Dalam ayat ini ada dua macam sifat Allah ﷻ yang disebutkan sekaligus, yaitu "Maha Penerima tobat", dan "Maha Pengasih". Hal ini merupakan isyarat tentang jaminan Allah kepada setiap orang yang bertobat menurut cara-cara yang tersebut di atas, bahwa Allah ﷻ akan melimpahkan kepadanya kebajikan dan ampunan-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 34-39
Ayat 34
“Dan (Ingatlah) tatkala Kami berkata kepada Malaikat, ‘Sujudlah, kamu kepada Adam!' Maka sujudlah mereka, kecuali Iblis, enggan dia dan menyombong, karena adalah dia dari golongan makhluk yang kafir.'"
Inilah kelanjutan dari pelaksanaan keputusan Allah mengangkat khalifah di bumi itu. Adam telah dijadikan dan telah diajarkan kepadanya berbagai nama dan banyak ilmu yang diberikan kepadanya, yang tidak diberikan kepada malaikat. Kemudian diperintahkan Tuhanlah malaikat-malaikat itu menyatakan hormat kepada Adam, dengan bersujud.
Seluruh makhluk bersujud kepada Tuhan, sejak dari malaikat, atau isi semua langit dan bumi, bahkan kayu-kayuan, bahkan bintang di langit pun sujud kepada Tuhan. Kita manusia pun sujud dan diperintah sujud kepada Tuhan. Bagi kita manusia, yang dikatakan sujud itu ialah mencecahkan kening ke bumi, lengkap dengan anggota yang tujuh, yaitu kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki ditambah kepala. Akan tetapi, bagaimana sujudnya pohon-pohon? Bagaimana sujudnya malaikat? Niscaya tidaklah sampai pengetahuan kita ke sana. Yang jelas, dengan sujud itu terkandunglah sikap hormat dan memuliakan. Maka, diperintahlah malaikat memuliakan Adam dan bersujud, yaitu sujud cara malaikat, yang kita tidak tahu, dan tidak perlu dikorek-korek lagi buat tahu. Malaikat pun melaksanakan perintah itu kecuali satu makhluk, yaitu Iblis. Dia enggan menjalankan perintah Tuhan itu dan dia menyombong. Mengapa dia enggan dan menyombong? Di ujung ayat sudah ada penjelasannya, yaitu karena memang dia telah mempunyai dasar buat kufur. Dan dalam ayat-ayat yang lain sampai dia menyatakan sebab kesombongan itu, yaitu karena Tuhan menjadikannya dari api, sedangkan manusia Adam yang disuruh dia bersujud kepadanya itu dijadikan Tuhan dari tanah.
Dengan sikap iblis yang menyombong sendiri itu, mulailah kita mendapat pelajaran bahwasanya Allah menakdirkan di dalam iradat-Nya bahwasanya tanda kekayaan Tuhan itu bukanlah jika Dia menjadikan ruh yang baik saja. Di samping yang baik pun dijadikan-Nya yang buruk. Di samping yang patuh di-jadikan-Nya pula yang durhaka. Ini sudah ada sejak dari permulaan. Sehingga bagi Nabi kita Muhammad ﷺ sendiri yang tengah berjuang menyampaikan seruan Allah seketika ayat ini diturunkan, menjadi pengertian lebih mendalamlah bahwa keingkaran dan kekufuran penentang-penentang beliau, baik waktu di Mekah maupun waktu di Madinah, sudahlah suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Kalau dasar telah ada kufur, Tuhan Allah pun mereka tentang sebagai yang dilakukan oleh iblis itu.
Ayat 35
“Dan berkata Kami, Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istri engkau di taman ini, dan makanlah berdua darinya dengan senang sesuka-sukamu berdua; dan janganlah kamu berdua mendekat ke pohon ini, karena (kalau mendekat) akan jadilah kamu berdua dari orang-orang yang aniaya.'"
Setelah lepas dari ujian tentang nama-nama ilmu yang diajarkan Allah dan lulus dari ujian ini melebihi malaikat, setelah lepas dari ujian kepada malaikat yang diperintahkan sujud, dan sujud semua kecuali iblis, barulah Adam disuruh berdiam di dalam taman itu bersama istrinya. Nyatalah sekarang dalam ayat ini bahwa sementara itu istri beliau telah dijadikan Allah, Adalah yang telah diketahui namanya oleh pemeluk ketiga agama: Islam, Yahudi, dan Nasrani, yang bernama Hawa, dan dalam ejaan orang Eropa disebut Eva.
Tidaklah dijelaskan dalam ayat ini asal kejadian itu dan tidak pula diterangkan pada ayat yang lain.
Orang Yahudi dan Nasrani, berdasar pada Kitab Perjanjian Lama (Kejadian, Pasal 2 ayat 20 sampai 24) mempunyai kepercayaan bahwa Hawa itu dijadikan Tuhan daripada tulang rusuk Nabi Adam; dicabut tulang rusuknya sedang dia tidur, lalu diciptakan menjadi perempuan dijadikan bininya.
Di dalam Islam, kepercayaan yang umum tentang Hawa terjadi dari tulang rusuk Nabi Adam itu, bukanlah karena percaya kepada Kitab Kejadian Pasal 2 tersebut, karena Nabi ﷺ telah memberi ingat bahwa kitab-kitab Taurat yang sekarang ini tidaklah asli lagi; sudah banyak catatan manusia dan manusianya itu tidak terang siapa orangnya. Bahkan naskah aslinya sampai sekarang tidak ada. Hal ini diakui sendiri oleh orang Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, Nabi ﷺ sendiri pernah bersabda, ketika beliau memberi ingat kepada orang laki-laki tentang perangai dan tabiat perempuan supaya pandAl-pandai membimbingnya. Maka, tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, demikian sabda beliau,
“Peliharalah perempuan-perempuan itu sebaik-baiknya, karena sesungguhnya perempuan dijadikan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya yang paling bengkok pada tulang rusuk itu ialah yang sebelah atasnya. Maka jika engkau coba meluruskannya, niscaya engkau patahkan dia. Dan jika engkau tinggalkan saja, dia akan tetap bengkok. Sebab itu, peliharalah perempuan-perempuan baik-baik."
Hadits ini Muttafaq ‘alaihi, artinya sesuai riwayat Bukhari dengan riwayat Muslim.
Apabila kita perhatikan bunyi hadits ini dengan saksama, tidaklah dia dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa perempuan atau terutama Siti Hawa terjadi dari tulang rusuk Nabi Adam.
Tidak ada tersebut sama sekali dalam hadits ini dari hal tulang rusuk Nabi Adam. Yang terang maksud hadits ini ialah membuat perumpamaan dari hal bengkok atau bengkoknya jiwa orang perempuan, sehingga payah membentuknya, sama keadaannya dengan tulang rusuk; tulang rusuk tidaklah dapat diluruskan dengan paksa. Kalau dipaksa-paksa meluruskannya, dia pun patah. Kalau dibiarkan saja, tidak dihadapi dengan sabar, bengkoknya itu akan terus.
Apalah lagi hadits ini dituruti oleh hadits lain di dalam Shahih Bukhari dan Muslim juga, demikian bunyinya.
Dan, pada satu riwayat pada kedua shahih, Bukhari dan Muslim.
“Perempuan itu adalah seperti tulang rusuk; jika engkau coba meluruskannya, dia pun patuh. Dan jika engkau bersuka-sukaan dengan dia, maka bersuka-suka juga engkau, tetapi dia tetap bengkok."
Dan, pada satu riwayat lagi dengan Muslim,
“Sesungguhnya, perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk. Dia tidak akan dapat lurus untuk engkau atas suatu jalan. Jika engkau mengambil kesenangan dengan dia, namun dia tetap bengkok. Dan jika engkau coba meluruskannya, niscaya engkau mematahkannya. Patahnya itu talaknya."
Ada lagi hadits lain dengan makna yang serupa, diriwayatkan oleh ahli hadits yang lain pula.
Pada hadits pertama sudah nyata tidak ada tersebut bahwa Hawa terjadi dari tulang rusuk Adam. Pada hadits yang kedua sudah lebih jelas lagi bahwa itu hanya perumpamaan. Hadits yang ketiga menjadi lebih jelas karena telah ada hadits yang kedua bahwa itu adalah perumpamaan. Hadits yang ketiga menambah jelas lagi bahwa kalau laki-laki tidak hati-hati membimbing istrinya, kalau terus bersikap keras saja, talaklah yang terjadi dan patah aranglah rumah tangga.
Maka, teranglah sekarang bahwa yang dimaksud di sini ialah jiwa atau bawaan segala perempuan dalam dunia ini. Pertimbangannya tidak lurus, kata orang sekarang, tidak objektif. Perempuan di dalam mempertimbangkan suatu lebih banyak memperturutkan hawanya, yang cara sekarang kita namai sentimen.
Hadits-hadits ini telah memberi petunjuk bagi seorang laki-laki, terutama bagi seorang suami, bagaimana caranya menggauli istrinya dan mendidik anak-anaknya yang perempuan. Supaya terjadi rumah tangga yang bahagia, hendaklah seorang laki-laki mengenal kelemahan jiwa perempuan ini, yaitu laksana tulang rusuk yang bengkok. Seorang suami yang berpengalaman, dapat mengerti dan memahami apa maksud hadits-hadits ini. Kelemahan perempuan yang seperti ini, pada hakikatnya, kalau laki-laki pandai membawakannya, inilah yang menjadi salah satu dasar penguatan satu rumah tangga.
Jiwa perempuan itu akan tampak bengkoknya di dalam mempertimbangkan sesuatu keuntungan dan muslihat yang umum, jika bertentangan dengan muslihat rumah tangga. Seorang suami yang sedang kesusahan belanja, tidaklah boleh dengan kekerasan meminta supaya istrinya meminjami perhiasan gelang dan subang emasnya untuk digadaikan sementara guna dijadikan modal, meskipun menurut akal yang waras, sudahlah patut dia menyerahkan pada waktu itu, sebab barang itu pun digunakan untuk pertahanan di waktu sangat susah. Kalau diminta dengan keras, dia akan bertahan. Kalau sama-sama keras, cerailah yang akan timbul. Tetapi kalau laki-laki mengenal rahasia jiwa perempuan yang bengkok itu, dia mesti menjauhi jalan kekerasan. Setengah dari sifat bengkoknya jiwa perempuan ialah jelas iba kepada orang yang sedang susah. Kalau kelihatan nyata oleh istrinya bahwa dia susah, dan kalau ditanyai oleh istri, tidak lekas-lekas menyatakan kesusahan itu, dia akan gelisah melihat kesusahan suaminya. Dia tidak akan enak makan dan tidak akan terpicing matanya tidur karena melihat kesusahan yang menimpa suaminya yang sangat dicintainya itu. Kalau si suami pandai, dia sendiri yang akan menanggalkan gelang atau subangnya itu, untuk dikorbankannya bagi kepentingan suaminya. Inilah satu contoh!
Contoh yang lain ialah keinginannya akan perhiasan. Kalau si laki-laki tidak pandai membimbing, berapa saja belanja tidaklah akan cukup untuk memenuhi keinginannya akan perhiasan. Kalau si suami keras, bakhil, cerailah yang akan timbul. Tetapi kalau si suami memperturutkan saja keinginan-keinginan istrinya itu, akan sangsailah (sengsaralah) mereka dalam rumah tangga, sehingga berapa pun persediaan belanja tidaklah akan sedang-menyedang.
Kalau laki-laki tidak mengenal bengkoknya jiwa istri ini lalu bersikap keras, akan terjadilah perceraian. Atau kalau diperturutkan saja, akhirnya karena tidak terpikul, cerai juga yang akan timbul. Sebab itu, hadits ini memberikan tuntunan yang sangat mendalam agar laki-laki jangan lekas-lepas menjatuhkan talak kau tidak puas dengan perangai istrinya. Orang Minangkabau mempunyai pepatah “tidak ada lesung yang tidak berdetak", artinya tidak ada perempuan seorang pun yang sunyi dari kelemahan jiwa yang demikian.
Akan tetapi, laki-laki yang memegang ketiga-tiga hadits ini akan sanggup hidup rukun dengan istrinya, dalam irama rumah tangga, yang kadang-kadang gembira dan kadang-kadang muram.
Kembali kepada hadits-hadits tadi. Memang ada sebuah riwayat pula yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi, dan Ibnu Asakir, yaitu perkataan dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan beberapa orang dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ Mereka berkata.
“Tatkala Adam telah berdiam di dalam surga itu, berjalanlah dia seorang diri dan kesepian, tidak ada pasangan (istri) yang akan menenteramkan-nya. Maka tidurlah dia, lalu dia bangun. Tiba-tiba di sisi kepalanya seorang perempuan sedang duduk, yang telah dijadikan Allah dari tulang rusuknya."
Riwayat ini sudah terang bukanlah dari sabda Rasulullah ﷺ melainkan perkataan Abdullah bin Abbas dari Abdullah bin Mas'ud.
Oleh karena riwayat ini adalah perkataan sahabi, bukan sabda Rasul, niscaya nilainya untuk dipegang sebagai suatu aqidah tidak sama lagi dengan hadits yang shahih dari Nabi, apalah lagi dengan Al-Qur'an. Mungkin sekali, bahkan besar sekali kemungkinan itu bahwa pernyataan kedua sahabat itu terpengaruh oleh berita-berita orang Yahudi yang ada di Madinah ketika itu, yang berpegang kepada isi Kitab Kejadian, Pasal 2, ayat 21, “Maka, didatangkan Tuhan Allah kepada Adam itu tidur yang lelap, lalu tertidurlah ia. Maka diambil Allah tulang ditutupkannya pula dengan daging. Maka, dari tulang yang telah dikeluarkannya pada diri Adam itu, diciptakan Tuhan seorang perempuan, lalu dibawanya dia kepada Adam."
Sebagaimana telah kita beri penerangan di mukadimah tafsir ini, Rasulullah ﷺ telah memberikan pedoman kepada sahabat-sahabat beliau dalam hal menilai berita-berita yang disampaikan oleh Ahlul Kitab.
“Dan telah mengeluarkan Bukhari daripada hadits Abu Hurairah. Kata Abu Hurairah itu, ‘Adalah Ahlul Kitab itu membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka tafsirkan dia ke dalam bahasa Arab untuk orang-orang Islam.' Maka berkatalah Rasulullah ﷺ, ‘Janganlah kamu langsung membenarkan Ahlul Kitab itu dan jangan pula langsung kamu dustakan, tetapi katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah.'"
Berdasarkan hadits ini, jadi besarlah kemungkinan bahwa riwayat Siti Hawa terjadi dari tulang rusuk Adam yang diberikan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud ini didengar mereka dari Taurat yang dibacakan oleh Ahlul Kitab itu lalu mereka terima saja bagaimana adanya sebagai satu fakta yang mereka terima, yang boleh diolah dan diselidiki pula oleh orang lain.
Kalau laki-laki tidak mengenal bengkoknya jiwa istri ini lalu bersikap keras, akan terjadilah perceraian. Atau kalau diperturutkan saja, akhirnya karena tidak terpikul, cerai juga yang akan timbul. Sebab itu, hadits ini memberikan tuntunan yang sangat mendalam agar laki-laki jangan lekas-lepas menjatuhkan talak kau tidak puas dengan perangai istrinya. Orang Minangkabau mempunyai pepatah “tidak ada lesung yang tidak berdetak", artinya tidak ada perempuan seorang pun yang sunyi dari kelemahan jiwa yang demikian.
Lantaran itu pula, tidaklah salah pada pendapat penafsir yang dhaif ini kalau ada orang yang tidak memegang teguh bahwasanya Hawa terjadi dari tulang rusuk Nabi Adam, sebab tidak ada firman Tuhan menyebutkannya di dalam Al-Qur'an dan tidak pula ada sabda Nabi yang tepat menerangkan itu. Yang ada hanya berita atau penafsiran dari Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas'ud dan beberapa sahabat yang lain yang besar kemungkinan bahwa cerita ini mereka dengar dari orang Yahudi yang membaca Kitab Kejadian salah satu dari kitab catatan Yahudi yang mereka sebut Taurat itu.
Dan, hadits-hadits Bukhari dan Muslim yang tiga buah di atas tadi kita terima dan kita amalkan dengan segala kerendahan hati, untuk pedoman hidup menghadapi kaum pe-rempuan, sebagai teman hidup laki-laki dalam dunia ini. Apatah lagi setelah datang hadits lain yang menguatkan nasihat bagi kaum laki-laki di dalam bergaul baik-baik dengan perempuan, yang dirawikan oleh Imam Bukhari dan Muslim juga,
“Peliharalah perempuan-perempuan itu sebaik-baiknya, karena kamu telah mengambilnya dengan amanah dari Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat-kalimat Allah."
Syekh Muhammad Abduh di dalam pelajaran tafsirnya, yang dicatat oleh muridnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha di dalam tafsirnya al-Manar menyatakan pula pendapat bahwa hadits mengatakan perempuan terjadi dari tulang rusuk itu bukanlah benar-benar tulang rusuk, melainkan suatu kias perumpamaan belaka, sebagai ada juga contoh demikian di dalam surah al-Anbiyaa': 37,
“Telah dijadikan manusia itu dari sifat terburu-buru."
Dalam segala urusan dia mau lekas saja, padahal kesanggupannya terbatas. Mungkin tidak juga ada salahnya kalau kita berpaham tentang arti hadits yang mengatakan bahwa kaum perempuan terjadi dari tulang rusuk itu, selain dari satu perumpamaan tentang keadaan jiwanya ialah pula satu perlambang tentang kehidupan manusia di atas dunia ini. Seorang laki-laki yang telah patut kawin, adalah seumpama orang yang masih belum ada tulang rusuknya, sebab istri itu pun disebut dalam kata lain dengan teman hidup. Seorang duda adalah seorang yang goyah jiwanya karena tidak ada sandaran. Demikian juga seorang perempuan, kalau belum juga dia bersuami, padahal sudah patut bersuami, samalah keadaannya dengan sebuah tulang rusuk yang terlepas dari perlindungan. Bila dia telah bersuami, dia telah diletakkan ke tempatnya semula dan dia telah terlindung oleh kulit pembungkus rusuk itu, yaitu perlindungan suaminya.
Sebab, benar atau tidaknya riwayat Siti Hawa terjadi daripada tulang rusuk Nabi Adam itu. Namun, sekalian istri tidaklah terjadi dari tulang rusuk suaminya!
Sekarang kita kembali kepada tafsir.
Maka, disuruhlah Adam dan istrinya duduk di dalam taman indah berseri itu. Mereka keduanya diberi kebebasan, makan dan minum, memetik buah-buahan yang lezat ranum, yang hanya tinggal memetik. Artinya, bebas merdeka. Akan tetapi, di dalam ayat ini kita bertemu lagi satu pelajaran tentang filsafat merdeka. Kemerdekaan ialah kebebasan membatasi diri! Semua bebas dimakan kecuali buah daripada pohon yang terlarang, “Jangan kamu berdua mendekat kepada pohon ini." Sama juga dengan beberapa larangan dalam Al-Qur'an, “Jangan kamu mendekati zina." Karena kalau sudah mendekat ke sana, niscaya termakan juga kelaknya buah itu. Kalau dia kamu makan, niscaya kamu merugi.
Orang yang tidak sanggup memelihara kemerdekaannya, niscaya akan kehilangan kemerdekaan itu. Dan jika kemerdekaan telah hilang, kerugianlah yang akan berjumpa.
Penafsir tidak hendak menyalinkan buah pohon apakah yang dilarang mereka memakan itu? Ada orang yang mengatakan buah khuldi atau buah kekal. Penafsiran ini niscaya salah. Sebab yang menamainya syajaratul-khuldi, pohon kekal siapa yang memakannya tidak mati-mati, bukanlah Tuhan, tetapi setan sendiri seketika merayu Adam (lihat surah Thaahaa: 120) Padahal kita bertemu firman Tuhan yang lain untuk mendekatkan kita memahamkan syajarah atau pohon apakah yang dilarang Adam dan Hawa memakannya itu.
Maka, pelanggaran pada larangan saja, sudahlah namanya mulai memakan buah pohon yang buruk. Adam dan Hawa dilarang mendekati pohon yang terlarang itu.
Ayat 36
“Maka, digelincirkanlah keduanya oleh setan dari (tunangan) itu, dan dikeluarkanlah keduanya dari keadaan yang sudah ada Mereka padanya."
Artinya, masuklah setan ke tempat mereka lalu merayu dan memperdayakan mereka, supaya mereka makan juga buah pohon yang terlarang itu, sampai setan mengatakan bahwa itulah pohon kekal, siapa yang memakan tidak akan mati-mati. Sampai karena pandainya setan merayu, keduanya tergelincir, termakan juga akhirnya buah pohon terlarang itu. Demi mereka makan, keadaan mereka menjadi berubah, ternyata terbukalah aurat mereka (surah al-A'raaf: 22), bertukarlah keadaan, insaflah mereka bahwa mereka telah bertelanjang, alangkah malunya. Maka tahulah Tuhan bahwa larangan-Nya telah dilanggar."Dan berkatalah Kami, ‘Turunlah semua'" adalah tiga pribadi yang dimaksud oleh ayat itu, yaitu Adam dan Hawa dan setan yang menggelincirkan keduanya itu. Semua disuruh turun dari tempat yang mulia itu, tidak boleh tinggal di sana lagi; yang berdua karena melanggar larangan, yang satu lagi karena menjadi si langkanas memper-dayakan orang.
“Yang setengah kamu dengan yang setengah jadi bermusuh!" Karena, dasar permusuhan sudah tampak sejak semula si iblis atau setan tidak mau sujud karena sombong merasa diri lebih, tetapi menanam dendam dalam batin untuk mencelakakan manusia. Rupanya sudah ditakdirkan Allah-lah bahwa permusuhan ini akan terus-menerus dibawa ke muka bumi.
“Dan untuk kamu di bumi adalah tempat berdiam, dan perbekalan, sampai satu waktu."
Disuruhnya mereka, semuanya, ketiganya, meninggalkan tempat itu, pindah ke bumi. Di sanalah ditentukan tempat kediaman mereka; tetapi hanya buat sementara, tidak akan kekal di sana. Di bumi itulah mereka menyediakan bekal yang akan mereka bawa kembali menghadap Tuhan apabila waktu yang tertentu bagi hidup itu sudah habis.
Niscaya menyesallah Adam atas kesalahan yang telah diperbuatnya, telah dilanggarnya larangan, karena tidak tahan dia oleh rayuan setan Iblis. Lalu memohon ampunlah dia kepada Allah,
Ayat 37
“Maka menerimalah Adam daripada Tuhannya beberapa kalimat, maka diampuninyalah akan dia; sesungguhnya Dia adalah pemberi ampun, lagi Maha Penyayang."
Menyesallah Adam akan nasibnya. Dia yang bertanggung jawab sehingga istrinya pun telah turut tergelincir karena rayuan setan itu. Dia memohonkan kepada Tuhan agar mereka diampuni, diberi maaf, diberi tobat atas kesalahan itu. Kesalahan yang timbul karena belum ada pengalaman atau karena kurang awas atas perdayaan musuh yang selalu mengintai kelemahan dan kelalaian. Tetapi Adam pun tidak tahu dengan cara apa menyusun kata yang berkenan kepada Tuhan, yang pantas buat diucapkannya, agar permohonannya diterima.
Setelah Adam dan istrinya diberi ampun, barulah mereka disuruh berangkat,
Ayat 38
“Kami firmankan, turunlah kamu sekalian dari taman ini.'"
Berangkatlah dan tinggalkanlah tempat ini. Pergilah ke bumi yang telah Aku sediakan buat kamu itu. Setelah kamu sampai di sana kelak, tidaklah akan Aku biarkan saja kamu, melainkan akan Aku kirimkan kepada kamu petunjuk-Ku kelak.
“Maka barangsiapa yang menurut petunjuk-Ku, tidaklah akan ada ketakutan atas Mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Sungguh terharu kita membaca ayat ini, apatah lagi kalau dalam asli bahasa Al-Qur'an.
Benar, Adam telah salah melanggar larangan karena rayuan, bujuk, dan cumbu iblis. Dan, dia menyesal lalu memohonkan ampun. Oleh Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang telah diberi ampun. Maksud pertama dari Adam bukanlah berbuat salah; dasar isi jiwa manusia adalah baik, bukan jahat. Dia disuruh pindah ke bumi karena akan diberi tugas yaitu apa pun kesenangan di tempat itu, di taman atau di surga, tetapi tidak layak lagi baginya. Dan disuruh pindah ke bumi karena akan diberi tugas, yaitu menurunkan umat manusia. Mengumpulkan bekal di bumi, yang akan dibawa kembali menghadap Allah.
Memang Adam telah berdosa, tetapi dosanya telah diampuni. Sekarang, dia harus berani menempuh hidup di bumi itu. Jangan ke sana dengan hati iba dan duka cita. Hidup di bumi berketurunan beranak-cucu. Tuhan berjanji akan selalu mengiriminya tuntunan, petunjuk, dan bimbingan. Lantaran itu, betapapun hebat permusuhannya dengan setan Iblis, dengan adanya tuntunan Tuhan itu, asal dipegangnya teguh, dipegang teguh pula oleh anak-cucu di belakang hari, mereka akan selamat dari rayuan setan Iblis. Mereka tidak akan diserang oleh rasa takut dan tidak pula akan ditimpa penyakit duka cita.
Apabila saudara-saudara kaum Muslimin telah merenungkan ayat-ayat ini dapAllah saudara-saudara melihat perbedaan dan persimpangan jalan di antara kepercayaan kita kaum Muslimin dan pemeluk agama Nasrani. Keduanya sama mengaku bahwa Adam telah berdosa melanggar larangan. Tetapi kita kaum Muslimin percaya bahwa dosa itu telah diampuni. Dia tidak usah takut dan duka cita lagi. Adam bukanlah diusir dari surga, tetapi diberi tugas menegakkan kebenaran dalam bumi dan diberi tuntunan. Orang Nasrani mengatakan bahwa dosa Adam itu telah menjadi dosa waris turun-temurun kepada segala anak-cucunya, dan naiknya Isa al-Masih ke atas kayu saliblah yang menebus dosa warisan Adam itu. Kita mengakui bahwa kejadian dari manusia, gabungan akal dan nafsu, pertentangan cita-cita mulia dengan kehendak-kehendak kebinatangan berperang dalam diri kita. Kalau kita berbuat dosa, bukanlah itu karena dosa yang kita warisi dari Adam. Dan kita sendiri-sendiri bisa meminta ampun dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan niscaya akan diampuni karena Tuhan itu pengasih dan penyayang. Tidak masuk dalam akal murni kita bahwa Allah menurunkan dosa waris Adam kepada anak-cucunya dan mengutus Isa al-Masih ke dunia untuk naik ke atas kayu palang, buat mati di sana bagi menebus dosa waris manusia tadi. Padahal dikatakan pula bahwa Isa al-Masih itu adalah Allah sendiri menjelma ke dalam tubuh gadis suci Maryam kemudian menjelma menjadi putra. Inilah yang dijadikan dasar keper-cayaan, yaitu Allah Ta'aala sendiri menjelma menjadi anak-Nya, yaitu Kristus.
Islam mengajarkan bahwa dosa bukanlah timbul karena warisan, melainkan karena gejala-gejala pertentangan yang ada dalam batin manusia itu sendiri. Adam sendiri telanjur memakan buah yang terlarang, karena pertentangan hebat yang ada dalam jiwa, sehingga ciri mulia kalah oleh hawa nafsu keinginan. Akan tetapi, sebagaimana terdapat pada tiap-tiap manusia kemudiannya, bila telah lepas dari berbuat dosa itu, sesal pun timbul. Adam memohon ampun kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh lalu dia diampuni. Lalu dianjurkan tiap-tiap manusia mengikuti imannya kepada Allah dengan amal yang saleh. Sehingga kalahlah timbangan yang jahat oleh timbangan yang baik. Dengan tidak perlu membuat gelisah jiwa sendiri, dengan merasa berdosa terus-menerus, karena dosa itu diwarisi.
Tanda kasih Tuhan akan hamba-Nya bukanlah dengan cara dia sendiri menjelma ke dalam tubuh perawan suci lalu lahir ke dunia menjadi anak, melainkan Tuhan dari masa ke masa mengutus rasul-rasul-Nya, yaitu di antara manusia-manusia sendiri yang Dia pilih untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada seluruh manusia. Barangsiapa yang menurut tuntunan wahyu itu selamAllah dia dalam perjalanan hidupnya dan barangsiapa yang tidak memedulikannya celakalah dia. Di antara rasul yang diutus itu termasuklah Isa al-Masih sendiri.
Ada juga perbincangan di antara ulama-ulama tafsir tentang jannah tempat kediaman Adam dan Hawa itu. Sebagaimana dimaklumi, arti yang asal dari jannah ialah taman atau kebun, yang di sana terdapat kembang-kembang, bunga-bunga, air mengalir, dan penuh keindahan. Dan diberi arti dalam bahasa kita Indonesia dengan suarga atau surga. Yang menjadi perbincangan, apakah ini sudah jannah yang selalu dijanjikan akan menjadi tempat istirahatnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh di Hari Akhirat? Apakah ini sudah Darul Qarar (negeri tempat menetap) dan Darul Jaza' (negeri tempat menerima balas jasa). Ataukah jannah yang dimaksud di sini baru menurut artinya yang ash saja, yaitu suatu taman yang indah di dalam dunia ini?
Kata setengah ahli tafsir, memang ini sudah surga yang dijanjikan itu terletak di luar dunia ini, di suatu tempat yang tinggi. Oleh sebab itu, setelah Adam, Hawa, dan Iblis disuruh keluar dari dalamnya, disebut ihbithu, yang berarti turunlah! Atau ke bawahlah!
Akan tetapi, setengah penafsir lagi mengatakan bahwa tempat itu bukanlah surga yang dijanjikan di akhirat esok. Salah seorang yang berpendapat demikian ialah Abui Manshur al-Maturidi, pelopor ilmu kalam yang terkenal. Beliau berkata di dalam tafsirnya at-Ta'wilaat, “Kami mempunyai kepercayaan bahwasanya jannah yang dimaksud di sini ialah suatu taman di antara berbagai taman yang ada di dunia ini, yang di sana Adam dan istrinya mengecap nikmat Ilahi. Namun, tidaklah ada perlunya atas kita menyelidiki dan mencari kejelasan di mana letaknya taman itu. Inilah Madzhab Salaf. Dan tidaklah ada dalil yang kuat bagi orang-orang yang menentukan di mana tempatnya itu, baik dari Ahlus Sunnah maupun dari yang lain-lain."
Ini pun dapat kita pahamkan, sebagaimana dikemukakan oleh setengah ahli tafsir. Kata mereka bagi menguatkan bahwa itu belum surga yang dijanjikan di hari depan ialah karena di surga yang disebutkan ini masih ada lagi makanan yang dilarang memakannya, sebagaimana dapat kita lihat pada ayat-ayat yang menyatakan sifat-sifat dan keadaan surga; bahkan khamr yang istimewa dari pabrik surge pun boleh diminum di sana. Yang kedua, kalau itu sudah surga yang dijanjikan, tidaklah mungkin ruh jahat sebagaimana iblis itu dapat masuk ke dalamnya.
Maka, mengaji di mana letak jannah itu, jannah duniakah atau jannah yang telah dijanjikan, demikianlah halnya, menunjukkan betapa bebasnya ulama-ulama dahulu berpikir. Dan kita tidak mendapat alasan kuat pula buat mengatakan bahwa yang satu lebih kuat dari yang lain.
Sebagai kunci dari sabda-sabda mengenai Adam dan istrinya ini, berfirmanlah Tuhan selanjutnya,
Ayat 39
“Dan orang-orang yang kafir, dan mendustakan ayat-ayat Kami."
Yaitu, yang tidak mau memedulikan pesan-pesan yang telah diberikan Allah kepada Adam dan istrinya seketika mereka dilepas dari Jannah itu ke dalam dunia ini sehingga orang-orang itu jatuh ke dalam perangkap setan Iblis yang menjadi musuhnya turun-temurun.
“Mereka itulah penghuni neraka, yang mereka di dalamnya akan kekal."
Dengan ayat ini sebagai pengunci kisah, terbentanglah di hadapan kita suatu petunjuk bahwa kita tidak akan berhenti berjihad, bersungguh-sungguh, bekerja keras, bersemangat di dalam dunia ini. Kita sebagai turunan Adam telah diangkat menjadi khalifah Allah, menyambung tugas nenek moyang kita. Dan kita menghadapi satu kenyataan, yaitu di dalam melaksanakan tugas itu kita selalu diganggu dan diperdayakan oleh setan Iblis.