Ayat
Terjemahan Per Kata
وَظَلَّلۡنَا
dan Kami naungi
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡغَمَامَ
awan
وَأَنزَلۡنَا
dan Kami turunkan
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡمَنَّ
manna (makanan manis seperti madu)
وَٱلسَّلۡوَىٰۖ
dan salwa (burung sebangsa puyuh)
كُلُواْ
makanlah
مِن
dari
طَيِّبَٰتِ
yang baik-baik
مَا
apa
رَزَقۡنَٰكُمۡۚ
Kami rezkikan kepadamu
وَمَا
dan tidak
ظَلَمُونَا
mereka menganiaya Kami
وَلَٰكِن
akan tetapi
كَانُوٓاْ
mereka adalah
أَنفُسَهُمۡ
diri mereka
يَظۡلِمُونَ
mereka menganiaya
وَظَلَّلۡنَا
dan Kami naungi
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡغَمَامَ
awan
وَأَنزَلۡنَا
dan Kami turunkan
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡمَنَّ
manna (makanan manis seperti madu)
وَٱلسَّلۡوَىٰۖ
dan salwa (burung sebangsa puyuh)
كُلُواْ
makanlah
مِن
dari
طَيِّبَٰتِ
yang baik-baik
مَا
apa
رَزَقۡنَٰكُمۡۚ
Kami rezkikan kepadamu
وَمَا
dan tidak
ظَلَمُونَا
mereka menganiaya Kami
وَلَٰكِن
akan tetapi
كَانُوٓاْ
mereka adalah
أَنفُسَهُمۡ
diri mereka
يَظۡلِمُونَ
mereka menganiaya
Terjemahan
Kami menaungi kamu dengan awan dan Kami menurunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu. Mereka tidak menzalimi Kami, tetapi justru merekalah yang menzalimi diri sendiri.
Tafsir
(Dan Kami naungi kamu dengan awan), artinya Kami taruh awan tipis di atas kepalamu agar kamu terlindung dari panasnya cahaya matahari di padang Tih, (dan Kami turunkan padamu) di padang Tih itu (manna dan salwa) yakni makanan manis seperti madu dan daging burung sebangsa puyuh dan firman Kami, ("Makanlah di antara makanan yang baik yang Kami karuniakan kepadamu.") dan janganlah kamu simpan! Tetapi mereka mengingkari nikmat itu dan mereka menyimpannya. Maka Allah pun menghentikan rezeki itu atas mereka (dan tidaklah mereka menganiaya Kami) dengan perbuatan itu, (tetapi mereka menganiaya diri mereka sendiri) karena bencananya kembali kepada mereka juga.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 57
Dan Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian. Dan tidaklah mereka menzalimi Kami, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.
Setelah Allah ﷻ menyebutkan perihal murka-Nya yang Dia hapuskan terhadap mereka, maka Allah kembali mengingatkan mereka akan limpahan nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada mereka. Untuk itu Allah berfirman: “Dan Kami naungi kalian dengan awan” (Al-Baqarah: 57). Al-ghamam adalah bentuk jamak dari ghamamah; dinamakan demikian karena ghamamah menutupi langit, artinya awan putih. Mereka dinaungi oleh awan agar terhindar dari sengatan panas matahari padang pasir yang sangat terik itu.
Imam An-Nasai dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam hadits Al-Futun, bahwa mereka dinaungi oleh awan ketika berada di padang pasir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ar-Rabi' ibnu Anas, Abul Mijlaz, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi hal yang serupa dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wazhallalna 'alaikumul ghamama," bahwa hal ini terjadi di padang pasir; mereka dinaungi oleh awan tersebut hingga terhindar dari teriknya matahari.
Ibnu Jarir dan lain-lain mengatakan bahwa awan tersebut lebih sejuk dan lebih indah daripada awan biasa.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syiblun, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud dengan awan di sini bukanlah awan yang Allah datangkan dengannya kelak di hari kiamat, melainkan awan yang khusus hanya bagi mereka saja. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Musanna ibnu Ibrahim, dari Abu Huzaifah. Hal yang sama diriwayatkan juga oleh Ats-Tsauri dan lain-lain, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid. Seakan-akan dimaksudkan hanya Allah yang mengetahui bahwa awan tersebut bukanlah seperti awan yang ada pada kita, melainkan jauh lebih indah dan lebih semerbak serta lebih indah pemandangannya.
Sunaid di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Dan Kami naungi kalian dengan awan” (Al-Baqarah: 57). Bahwa awan tersebut lebih sejuk dan lebih semerbak baunya daripada awan biasa. Awan inilah yang Allah datang dengan memakainya, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya Allah dalam naungan awan dan malaikat” (Al-Baqarah: 210). Awan inilah yang para malaikat datang dengan membawanya dalam Perang Badar.
Ibnu Abbas mengatakan, awan tersebutlah yang menaungi mereka (Bani Israil) ketika di padang pasir.
Firman Allah ﷻ : “Dan Kami turunkan kepada kalian manna” (Al-Baqarah: 57). Keterangan para ahli tafsir berbeda-beda sehubungan dengan hakikat dari manna ini.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa manna turun pada mereka di pohon-pohon, lalu mereka menaikinya dan memakannya dengan sepuas-puasnya.
Mujahid mengatakan bahwa manna adalah getah.
Ikrimah mengatakan bahwa manna ialah sesuatu makanan yang diturunkan oleh Allah kepada mereka seperti hujan gerimis.
As-Suddi mengatakan bahwa mereka berkata, "Wahai Musa, bagaimanakah kami dapat hidup di sini tanpa ada makanan?" Maka Allah menurunkan manna kepada mereka. Manna itu turun, lalu terjatuh pada pohon zanjabil (jahe).
Qatadah mengatakan bahwa manna turun di tempat mereka berada seperti turunnya salju, bentuknya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu; manna turun kepada mereka mulai dari terbitnya fajar hingga matahari terbit.
Seseorang dari mereka mengambil sekadar apa yang cukup bagi keperluannya di hari itu. Apabila ia mengambil lebih dari itu, maka manna menjadi busuk dan tidak tersisa. Akan tetapi, bila hari yang keenam tiba yakni hari Jumat maka seseorang mengambil kebutuhannya dari manna untuk hari itu dan hari besoknya, mengingat hari besoknya adalah hari Sabtu. Karena hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang bekerja pada hari itu untuk penghidupannya, hal ini semua terjadi di daratan.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa manna adalah minuman yang diturunkan kepada mereka (kaum Bani Israil), rupanya seperti madu; mereka mencampurnya dengan air, lalu meminumnya.
Wahb ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai manna. Ia menjawab bahwa manna adalah roti lembut seperti biji jagung atau seperti dedak.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir (yaitu Asy-Sya'bi) yang mengatakan bahwa madu kalian ini hanya sepertujuh puluh dari manna.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa manna adalah madu. Telah disebutkan di dalam syair Umayyah ibnu Abu Silt seperti berikut : “Allah melihat bahwa mereka berada di tempat yang tandus, tiada tanaman dan tiada buah-buahan. Maka Dia menyirami mereka dengan hujan, dan mereka melihat hujan yang menimpa mereka berupa tetesan madu dan air yang jernih serta air susu yang murni lagi cemerlang.”
An-natif artinya cairan, sedangkan al-halibul mazmur artinya susu yang murni lagi jernih. Tujuan utama dari semuanya dapat disimpulkan bahwa ungkapan para ahli tafsir mengenai hakikat manna berdekatan dan tidak terlalu jauh. Di antara mereka ada yang menafsirkannya sebagai minuman. Akan tetapi, kenyataannya hanya Allah yang mengetahui; dapat disimpulkan bahwa manna adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka, baik berupa makanan atau minuman atau lainnya, yang dihasilkan tanpa susah payah.
Manna yang dikenal ialah jika dimakan dengan sendirinya, maka merupakan makanan dan manisan; jika dicampur dengan air, maka merupakan minuman yang enak; jika dicampur dengan lainnya merupakan jenis yang lain. Akan tetapi, hal ini semata bukanlah makna yang dimaksud oleh ayat. Sebagai dalilnya adalah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair ibnu Hurayyis, dari Sa'id ibnu Zaid yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Jamur kamah berasal dari manna: airnya mengandung obat penawar bagi mata.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abdul Malik (yaitu Ibnu Umair) dengan lafal yang sama. Jama'ah mengetengahkan hadits ini di dalam kitabnya masing-masing kecuali Abu Dawud melalui berbagai jalur dari Abdul Malik alias Ibnu Umair dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan shahih. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini melalui riwayat Al-Hakam, dari Al-Hasan Al-'Urni dari Amr ibnu Hurayyis dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah ibnu Abus Safar dan Mahmud ibnu Gailan; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amri, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ajwah (buah kurma masak) berasal dari surga, di dalamnya terkandung obat penyembuh dari keracunan; dan jamur kamah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata.” Hadits ini hanya diketengahkan oleh Imam At-Tirmidzi, kemudian dia mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Kami mengetahuinya hanya melalui hadits Muhammad ibnu Muhammad ibnu Amr; jika tidak demikian, berarti dari hadits Sa'id ibnu Amr dari Muhammad ibnu Amr.
Di dalam bab ini diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Zaid dan Abu Sa'id serta Jabir, menurut Imam At-Tirmidzi. Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan pula di dalam kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Abu Hurairah. Dia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan ibnu Ahmad Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Aslam ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Abdur Rahman, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jamur kamah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi penyakit mata.”
Hadits ini berpredikat gharib bila ditinjau dari sanad ini, dan Talhah ibnu Abdur Rahman ini adalah As-Sulami Al-Wasiti, dijuluki dengan sebutan Abu Muhammad. Menurut pendapat lain, dia adalah Abu Sulaiman Al-Muaddib; dan Al-Hafidzh Abu Ahmad ibnu Abdi mengatakan sesuatu tentang dirinya. Dia meriwayatkan dari Qatadah banyak riwayat yang tidak dapat diikuti (dipakai). Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abu Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa para sahabat Nabi ﷺ mengatakan, "Kamah merupakan akar yang ada di dalam tanah." Maka Nabi ﷺ bersabda: “Kamah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata.”
Dan ajwah berasal dari surga, ia mengandung obat penawar untuk racun. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, dari Muhammad ibnu Basysyar dengan lafal yang sama. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu'bah ibnu Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah dengan lafal yang sama. Diriwayatkan juga dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdul Ala, dari Khalid Al-Hazza, dari Syahr ibnu Hausyab, tetapi hanya kisah mengenai kamah saja.
Imam An-Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan pula melalui hadits Muhammad ibnu Basysyar, dari Abu Abdus Samad ibnu Abdul Aziz ibnu Abdus Samad, dari Matar Al-Waraq, dari Syahr kisah mengenai ajwah yang ada pada Imam An-Nasai, dan kisah mengenai keduanya (kamah dan ajwah) pada Ibnu Majah. Jalur periwayatan ini munqati (terputus) antara Syahr ibnu Hausyab dan Abu Hurairah, karena sesungguhnya Syahr ibnu Hausyab belum pernah mendengar riwayat hadits dari Abu Hurairah.
Sebagai buktinya adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dalam Bab "Walimah", di dalam kitab Sunannya: Dari Ali ibnul Husain Ad-Dirhami, dari Abdul Ala, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu Ghanam, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ keluar (menemui mereka) yang saat itu mereka sedang membicarakan tentang kamah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa kamah adalah akar yang ada di dalam tanah. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Kamah berasal dari manna yang airnya mengandung obat bagi (penyakit) mata.” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa'id dan Jabir, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Jabir ibnu Abdullah dan Abu Sa'id Al-Khudri; keduanya mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Kamah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi mata.”
Dan 'ajwah berasal dari surga, ia mengandung obat untuk orang yang keracunan. Imam An-Nasai mengatakan pula di dalam Bab "Walimah": Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa'id dan Jabir, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Kamah berasal dari manna, dan airnya merupakan obat penawar bagi (penyakit) mata.” Kemudian hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy, dari Abu Bisyr, dari Syahr, dari Jabir dan Abu Sa'id dengan lafal yang sama.
Keduanya yakni Ibnu Majah dan Imam An-Nasai meriwayatkannya pula; Imam An-Nasai meriwayatkannya dari hadits Jarir, sedangkan Ibnu Majah dari hadits Sa'id ibnu Salamah, keduanya dari Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, menurut riwayat An-Nasai. Sedangkan hadits Jabir menyebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Kamah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penyembuh bagi mata.” Ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula dari Ahmad ibnu Usman, dari Abbas Ad-Dauri, dari Lahiq ibnu Sawab, dari Ammar ibnu Raziq, dari Al-A'masy; seperti halnya ibnu Majah dan Ibnu Mardawaih juga berkata: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Abbas Ad-Dauri. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ keluar menjumpai kami, sedangkan di tangan beliau tergenggam kamah, lalu beliau bersabda: “Kamah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penawar bagi mata.”
Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam An-Nasai, dari Amr ibnu Mansur, dari Al-Hasan ibnur Rabi' dengan lafal yang sama. Kemudian Ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula dari Abdullah Ibnu Ishaq, dari Al-Hasan ibnu Salam, dari Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari Al-A'masy dengan lafal yang sama. Demikian pula Imam An-Nasai, ia meriwayatkan dari Ahmad ibnu Usman ibnu Hakim, dari Ubaidillah ibnu Musa.
Diriwayatkan melalui hadits Anas ibnu Malik seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mardawaih. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hamdun ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Juwairah ibnu Asyras, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Syu'aib ibnul Habhab, dari Anas, bahwa para sahabat Rasulullah ﷺ bersegera melihat suatu pohon yang dicabut dari tanah karena pohon itu sudah tidak tegak lagi, maka sebagian dari mereka mengatakan, "Kami kira kamah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Kamah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi (penyakit) mata. Dan 'ajwah berasal dari surga, di dalamnya terkandung obat bagi orang yang keracunan.”
Pokok hadits ini terpelihara melalui riwayat Hammad ibnu Salamah. Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai meriwayatkan melalui jalurnya sesuatu dari hadits ini. Diriwayatkan dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ibnu Abbas hal yang sama seperti yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai di dalam Bab "Walimah"-nya: Dari Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnu Sa'id, dari Abdullah ibnu Aun Al-Kharraz, dari Abu Ubaidah Al-Haddad, dari Abdul Jalil ibnu Atiyyah, dari Abdullah ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Kamah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi mata.”
Seperti yang Anda ketahui sendiri, hal yang diperselisihkan adalah terletak pada Syahr ibnu Hausyab. Menurut kami, Syahr ibnu Hausyab menghafal dan meriwayatkan hadits ini melalui berbagai jalur yang semuanya telah disebutkan di atas, dan memang dia mendengarnya dari sebagian sahabat, sedangkan sebagian lain diterimanya dari orang lain. Semua sanad yang disandarkan kepadanya berpredikat jayyid (bagus), dan dia tidak bermaksud dusta dalam hal ini.
Pokok hadits terpelihara dari Rasulullah ﷺ, seperti yang disebutkan di atas melalui riwayat Sa'id ibnu Zaid mengenai salwa, disebutkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa salwa adalah sejenis burung yang mirip dengan burung samani yang biasa mereka makan. As-Suddi mengatakan dalam kisahnya yang ia ketengahkan dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas ; juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ bahwa salwa adalah burung yang mirip dengan burung samani.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnu Sabah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Khalid, dari Jahdam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa salwa adalah burung samani. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Asy-Sya'bi, Adh-Dhahhak, Al-Hasan, Ikrimah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Diriwayatkan dari Ikrimah, salwa adalah sejenis burung seperti burung yang kelak ada di surga, bentuknya lebih besar daripada burung pipit atau sama dengannya.
Qatadah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung yang berbulu merah yang datang digiring oleh angin selatan. Seorang lelaki dari kalangan mereka menyembelih sebagian darinya dalam kadar yang cukup untuk keperluan hari itu; dan apabila ia melampaui batas dalam pengambilannya, maka daging burung itu membusuk dan tak tersisa. Tetapi jika ia berada di hari yang keenam (yakni hari Jumat), maka ia mengambil bagian untuk keperluan hari itu dan hari esoknya, yakni hari keenam dan hari ketujuhnya. Karena hari yang ketujuh atau hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang bekerja dan tiada seorang pun yang mencari sesuatu di hari itu.
Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa salwa adalah burung yang gemuk seperti burung merpati, burung-burung tersebut datang kepada mereka dengan berbondong-bondong dari Sabtu ke Sabtu berikutnya, kemudian mereka mengambil sebagian darinya.
Di dalam riwayat lain dari Wahb disebutkan bahwa kaum Bani Israil meminta kepada Musa a.s. agar diberi daging, lalu Allah berfirman, "Aku benar-benar akan memberi mereka makanan berupa daging yang paling sedikit didapat di muka bumi." Kemudian Allah mengirimkan angin kepada mereka, lalu berjatuhanlah salwa di tempat tinggal mereka; salwa tersebut adalah samani yang berbondong-bondong terbang setinggi tombak. Mereka menyimpan daging burung samani itu untuk keesokan harinya, tetapi daging itu membusuk dan roti pun menjadi basi.
As-Suddi mengatakan bahwa tatkala Bani Israil memasuki padang Sahara, mereka berkata kepada Musa a.s., "Bagaimana kami dapat tahan di tempat seperti ini? Di manakah makanannya?" Maka Allah menurunkan manna kepada mereka. Manna turun kepada mereka berjatuhan di atas pohon jahe.
Sedangkan salwa adalah sejenis burung yang bentuknya mirip dengan burung samani, tetapi lebih besar sedikit. Seseorang dari mereka bila hendak menangkap burung salwa itu terlebih dahulu mereka melihatnya. Jika burung yang ditangkapnya itu gemuk, maka mereka menyembelihnya; tetapi jika kurus, mereka melepaskannya; jika telah gemuk, maka burung itu baru ditangkap. Mereka berkata (kepada Musa a.s.), "Ini makanannya, manakah minuman-nya?" Maka Allah memerintahkan kepada Musa a.s. untuk memukulkan tongkatnya pada sebuah batu besar. Setelah batu itu dipukul dengan tongkatnya, memancarlah dua belas mata air yang mengalir, hingga tiap-tiap puak dari Bani Israil mempunyai mata airnya sendiri-sendiri. Mereka berkata lagi, "Ini minuman, maka manakah naungannya?" Mereka dinaungi oleh awan, dan mereka berkata lagi, "Ini naungan, manakah pakaiannya?" Tersebutlah bahwa pakaian mereka tahan lama dan tidak robek-robek.
Itu disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa” (Al-Baqarah: 57). “Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Al-Baqarah: 60). Telah diriwayatkan dari Wahb ibnu Munabbih dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam hal yang serupa dengan yang telah diriwayatkan oleh As-Suddi.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang menceritakan, "Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa Allah menciptakan bagi mereka di padang pasir pakaian yang anti robek dan anti kotor." Ibnu Juraij mengatakan, "Seorang lelaki (dari kalangan mereka) apabila mengambil manna dan salwa dalam jumlah lebih dari keperluan seharinya, maka manna dan salwa itu membusuk. Hanya saja pada hari Jumat mereka mengambil makanan dalam jumlah lebih karena untuk hari Sabtunya, dan pada pagi hari Sabtu makanan tersebut tidak rusak."
Ibnu Atiyyah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung, menurut kesepakatan ulama Mufassirin. Kelirulah Al-Huzali yang mengatakan dalam bait syairnya bahwa salwa itu adalah madu. Hal ini terbukti melalui perkataannya dalam salah satu bait syairnya, yaitu: “Dan dia bersumpah secara sungguh-sungguh dengan menyebut asma Allah, bahwa kalian benar-benar lebih lezat daripada salwa (madu) apabila dipetik dari sarangnya.” Al-Huzali menduga bahwa salwa itu adalah madu.
Al-Qurthubi mengatakan, pengakuan yang mengklaim adanya kesepakatan (bahwa salwa adalah sejenis burung) tidak sah, karena Muwarrij hanyalah seorang ulama bahasa sedangkan tafsir mengatakan bahwa salwa adalah madu. Kemudian ia mengemukakan dalilnya dengan berpegang kepada perkataan Al-Huzali tadi. Dia menjelaskan, memang demikianlah sebutannya di dalam dialek Kinanah, mengingat madu merupakan minuman yang lezat; termasuk ke dalam pengertian ini ialah 'ainun silwan (mata air yang menyegarkan).
Al-Jauhari mengatakan bahwa salwa adalah madu. Ia mengatakan demikian berdalilkan ucapan Al-Huzali tadi. Sulwanah artinya kharzah (sebuah wadah). Mereka mengatakan, apabila dituangkan air hujan, lalu diminum oleh seseorang yang sedang dimabuk asmara, maka ia akan lupa kepada segala-galanya. Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan: “Aku telah meminum air hujan dari wadah sulwanah, demi kehidupan yang baru, wahai Ma’, aku tidak dapat berlupa diri.” Nama air yang diminum dengan memakai wadah tersebut adalah sulwan. Sebagian orang mengatakan bahwa sulwan adalah obat penawar yang dapat menyembuhkan karena bisa membuat lupa kepada kesedihan. Para tabib menamakannya dengan sebutan mufarrij.
Mereka mengatakan bahwa salwa adalah bentuk jamak, bentuk tunggalnya pun sama; sama halnya dengan samani yang bentuk tunggal dan jamaknya sama. Tetapi dapat pula dikatakan salwa adalah bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya adalah waili.
Imam Khalil mengatakan bahwa salwa bentuk tunggalnya adalah silwatun, lalu Imam Khalil mengetengahkan sebuah syair: “Sesungguhnya aku benar-benar tergetar bila mengingatmu, seperti seekor burung salwa yang mengibaskan air hujan dari tubuhnya.”
Imam Kisai mengatakan bahwa salwa adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah salawa. Semua pendapat di atas dinukil oleh Al-Qurthubi.
Firman Allah ﷻ : “Makanlah makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian” (Al-Baqarah: 57). Perintah dalam ayat ini mengandung makna ibahah (boleh), pengarahan, dan sebagai anugerah.
Sedangkan mengenai firman-Nya: “Dan tidaklah mereka menzalimi Kami, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri” (Al-Baqarah: 57). Makna yang dimaksud dengan ayat sebelumnya yaitu 'Kami perintahkan mereka untuk memakan rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka, dan hendaklah mereka beribadah (kepada-Nya)', seperti pengertian yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya: “Makanlah oleh kalian rezeki (yang dianugerahkan) Tuhan kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya” (Saba': 15). Akan tetapi, mereka (Bani Israil) menentang dan kafir, sehingga jadilah mereka orang-orang yang menzalimi dirinya sendiri, padahal mereka telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri semua tanda kebesaran Allah yang jelas, mukjizat-mukjizat yang pasti, dan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam.
Dari keterangan ini tampak jelas keutamaan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang berada di atas semua sahabat nabi-nabi lainnya dalam hal kesabaran, keteguhan, dan ketegaran mereka yang tidak pernah surut. Padahal mereka selalu bersamanya dalam semua perjalanan dan peperangan, antara lain dalam Perang Tabuk yang situasinya sangat panas dan melelahkan. Sekalipun demikian, mereka tidak pernah meminta kepada Nabi ﷺ mengadakan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam dan hal-hal yang aneh, padahal hal tersebut amatlah mudah bagi Nabi ﷺ . Hanya ketika rasa lapar sangat melemahkan tubuh mereka, mereka meminta kepada Nabi ﷺ agar makanan yang mereka bawa diperbanyak. Untuk itu mereka mengumpulkan semua makanan yang ada pada mereka, lalu terkumpullah makanan yang jumlah keseluruhannya sama dengan tinggi seekor kambing yang sedang duduk istirahat.
Kemudian Nabi ﷺ berdoa agar makanan tersebut diberkahi, ternyata akhirnya mereka dapat memenuhi semua wadah makanan yang mereka bawa. Demikian pula ketika mereka memerlukan air, Nabi memohon kepada Allah ﷻ , lalu datanglah awan yang langsung menghujani mereka. Akhirnya mereka minum dan memberi minum ternak mereka hingga dapat memenuhi wadah air minum yang mereka bawa. Kemudian mereka melihat keadaan hujan tersebut, ternyata hujan tidak melampaui batas pasukan kaum muslim bermarkas. Hal ini jelas lebih utama dan lebih sempurna, yang menunjukkan keikhlasan mereka dalam mengikuti Nabi ﷺ, padahal Allah berkuasa untuk memenuhi apa yang diminta oleh Rasulullah ﷺ buat pasukan kaum muslim yang mengikutinya saat itu.
Generasi tersisa Bani Israil yang dibangkitkan itu diriwayatkan terse-sat selama 40 tahun di padang pasir dataran Sinai yang sangat panas. Mereka tersesat karena enggan memerangi orang-orang yang durhaka di Syam. Dan Kami menaungi kamu dengan awan, sehingga kamu ti-dak merasa kepanasan lagi di tengah padang pasir yang terik itu, dan Kami menurunkan kepadamu mann, makanan sejenis madu, dan salwa', burung kecil sejenis puyuh yang dapat dibakar untuk dimakan. Ma-kanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sehingga kamu tidak perlu lagi bersusah-payah mencari bahan makanan di padang pasir itu. Kedurhakaan yang dilakukan oleh Bani Israil itu sedikit pun tidak mencederai Allah. Mereka tidak menzalimi Kami, dan bahkan sedikit pun tidak menodai keagungan Allah. Ditaati atau tidak ditaati, didurhakai atau tidak didurhakai, Allah tetap Allah dengan Kemahaagungan-Nya. Oleh sebab itu, bukan Allah yang teraniaya, tetapi justru merekalah yang menzalimi diri sendiri karena merekalah yang akan menanggung akibat kedurhakaan mereka itu.
Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan beragam anugerah yang terlimpah kepada Bani Israil, sedang ayat ini menerangkan nikmat-nikmat yang lain. Dan selain anugerah yang telah dilimpahkan, ingatlah juga ketika Kami berfirman kepada Bani Israil, Masuklah ke negeri ini, yaitu Baitulmaqdis setelah dapat mengalahkan lawan-lawanmu. Sesudah itu maka makanlah dengan nikmat berbagai makanan yang ada di sana sesukamu. Dan selanjutnya masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk sebagai tanda kerendahan hati dan penyesalan atas semua dosa yang telah diperbuat masa lalu, dan kemudian katakanlah dengan penuh harap, 'Bebaskanlah kami dari dosa-dosa kami yang demikian banyak. ' Bila hal ini kamu lakukan dengan penuh kesadaran, niscaya Kami ampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahanmu. Dan selain dari yang telah dianugerahkan, Kami juga akan menambah karunia dan nikmat, baik ketika di dunia maupun di akhirat kelak, bagi orang-orang yang benar-benar selalu berbuat kebaikan.
Dalam ayat ini Allah mengingatkan lagi kepada Bani Israil tentang nikmat-Nya yang lain yang dilimpahkan-Nya kepada nenek moyang mereka, yakni Allah telah menaungi mereka dengan awan mendung dari terik panas matahari yang menimpa mereka. Hal ini terjadi ketika mereka meninggalkan Mesir, dan menyeberangi Laut Merah. Mereka sampai ke gurun pasir dan ditimpa panas terik yang amat sangat. Lalu mereka mengadu kepada Nabi Musa. Begitu dia berdoa kepada Allah, memohon pertolongan untuk mereka, Allah mengirim awan mendung untuk menaungi mereka, hingga mereka dapat berjalan sampai ke negeri yang mereka tuju. Di samping itu Allah mengaruniakan pula makanan untuk mereka yaitu makanan yang disebut mann yang manis seperti madu, yang turun terus-menerus sejak terbit fajar sampai matahari terbenam, serta bahan makanan lain yang disebut salwa, yaitu semacam burung puyuh. Masing-masing mereka mengambil secukupnya untuk makan sampai keesokan harinya.
Menghadapi suhu udara yang sangat panas di tengah gurun pasir orang mudah terkuras habis energi dan tenaga yang dimilikinya. Oleh karena itu sebagai pengganti energi yang hilang diperlukan makanan dan minuman yang banyak mengandung zat gula. Mann adalah sejenis makanan yang manis atau minuman berenergi seperti madu yang sangat dibutuhkan di daerah gurun pasir. Jika seseorang memakan makanan yang mengandung banyak zat gula kecuali meningkatkan energi dan memberi dampak rasa senang, juga membuat orang lebih bersemangat.
Di samping makanan yang kandungan gulanya tinggi juga dibutuhkan daging yang mengandung protein dan lemak. Salwa adalah sejenis burung puyuh yang dagingnya memiliki kandungan protein dan lemak yang sangat tinggi, makanan ini dibutuhkan oleh orang-orang yang berada di gurun pasir yang panas sekali. Allah Mahamengetahui dan Mahabijaksana dengan memberikan makanan Mann dan Salwa kepada Bani Israil yang melakukan perjalanan panjang dan berat dari Mesir ke Syria.
Allah memerintahkan agar mereka memakan makanan yang baik, dari rezeki yang telah dilimpahkan-Nya. Makanan yang baik ialah makanan yang halal dan bermanfaat bagi kesehatan dan pertumbuhan badan. Ini menunjukkan bahwa apa pun yang diperintahkan Allah kepada manusia, manfaatnya adalah untuk diri mereka sendiri, bukan untuk-Nya. Sebaliknya, apa pun yang dilarang-Nya agar dijauhi oleh manusia, semua itu adalah untuk menyelamatkan mereka sendiri dari malapetaka yang akan menimpa mereka karena perbuatan itu.
Seorang ahli kimia bahan alam dari Belgia, Dr. Errera (1893) menduga bahwa manna merupakan jenis tumbuhan rendah, yang termasuk 'lumut kerak (lichenes) dari golongan unattached lichens (lumut kerak yang tidak melekat, mudah lepas). Setelah melakukan pengamatan, Errera menduga bahwa manna sangat mungkin merupakan spesies lumut kerak yang dikenal dengan nama saintifik: Aspicilia esculenta. Lumut kerak aspicilia esculenta ini sangat mudah terbawa oleh angin atau badai, sehingga nampak seolah-oleh diturunkan (anzalnaa, diturunkan) dari langit. Lumut kerak ini mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan mengandung pula zat antibiotika (thayyib, makanan yang baik-baik). Sedangkan salwa, kemungkinan besar adalah burung puyuh. Dapatlah dimengerti bahwa Bani Israil dapat bertahan lama (sekitar 40th) di belantara Sinai, karena mendapatkan rahmat dari Allah ﷻ, berupa makanan manna, yang merupakan sumber karbohidrat dengan gizi tinggi dan terkandung pula antibiotik didalamnya. Sedangkan untuk sumber protein didapat dari salwa. Wallahu a'lam bis-sawab.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 57-61
Ayat 57
“Dan tidaklah Mereka yang menganiaya Kami, akan tetapi adalah Mereka menganiaya diri mereka sendiri."
Tegasnya, jika Allah Ta'aala mendatangkan suatu perintah dan menurunkan agama, bukanlah Tuhan menyia-nyiakan jaminan hidup bagi manusia, bahkan diberi-Nya perlindungan dan makanan cukup. Maka, sebagai tanda syukur kepada Ilahi, patutlah mereka beribadah kepada-Nya. Kalau nikmat Tuhan tidak disyukuri, sengsaralah yang akan menimpa. Maka, kalau sengsara menimpa, janganlah Tuhan disesali, tetapi sesahlah diri sendiri. Dan, Tuhan tidaklah akan teraniaya oleh perbuatan manusia. Misalnya, kalaupun manusia durhaka kepada Allah, tidaklah Allah akan celaka lantaran kedurhakaan manusia itu, melainkan manusialah yang mencelakakan dirinya.
Ayat 58
“Dan (Ingatlah) ketika Kami berkata, ‘Masuklah kamu ke dalam negeri ini, maka makanlah daripadanya sebagaimana yang kamu kehendaki dengan puas, dan masukilah pintu itu dengan merendah diri dan ucapkanlah kata permohonan ampun, niscaya akan Kami ampuni kesalahan-kesalahan kamu, dan akan Kami tambah (nikmat) kepada orang-orang yang berbuat baik."
Setelah mereka dikeluarkan dari tempat perhambaan di Mesir itu dan dijanjikan kepada mereka tanah-tanah pusaka nenek moyang mereka, yaitu bumi Kanaan atau tanah-tanah Mesopotamia yang sekarang ini: Palestina, sekeliling Sungai Yordaria.
Namun, masuk ke sana tidaklah secara melenggang saja, melainkan dengan perjuangan. Kepada mereka diberikan perintah bagaimana cara menaklukkan sebuah negeri; hasil bumi negeri itu boleh dimakan sebab sudah menjadi hak mereka. Sebab itu, boleh kamu makan dia dengan puas dan gembira. Dan, ketika masuk ke negeri itu hendaklah dengan budi yang baik, sikap yang runduk, jangan menyombong, jangan membangkitkan sakit hati pada orang lain, dan bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya dan kemenangan yang telah diberikan-Nya, dan ucapkanlah perkataan yang mengandung semangat mohon ampun kepada Ilahi. Kalau perintah ini mereka turuti, niscaya jikapun ada kesalahan mereka dalam peperangan atau dalam hal yang lain akan diampuni oleh Tuhan, dan kepada orang-orang yang sudi berbuat baik akan dilipatgandakan Tuhan nikmat-Nya.
Untuk melihat contoh teladan tentang me-naklukkandan memasuki negeri musuh dengan jalan begini, ialah teladan Nabi Muhammad sendiri seketika beliau menaklukkan Mekah, setelah sepuluh tahun beliau diusir dari negeri itu. Beliau masuk dengan muka tunduk, sampai tercecah kepala beliau kepada leher untanya yang bernama al-Qashwa' itu, tidak ada sikap angkuh dan sombong.
Ayat 59
“Maka menggantilah orang-orang yang durhaka dengan kata-kata yang tidak diperintahkan kepada mereka."
Maka, kata hiththah yang berarti permohonan ampun kepada Ilahi, mereka ganti dengan kata lain, yaitu hinthah yang berarti minta gandum kepada Ilahi. Artinya, bukanlah mereka merundukkan kepala dengan segala kerendahan hati kepada Tuhan, sebab negeri itu telah dapat ditaklukkan, melainkan hanya mengingat berapa puluh karung gandumkah yang akan mereka dapat dengan merampas kekayaan penduduk yang ditaklukkan.
Meskipun memang demikian ditulis oleh setengah penafsir, yang terang ialah bahwa tidak mereka lakukan sebagai yang diperintahkan, melainkan mereka ubah perintah Tuhan sekehendak hati, tidak sebenar-benar patuh jiwa mereka kepada disiplin Tuhan. Ada rupanya yang membuat langkah-langkah dan cara yang lain.
“Lalu Kami turunkanlah atas orang-orang yang zalim itu siksaan dari langit, oleh karena mereka melanggar perintah."
Maksud ayat ini sudah tegas, yaitu ada dalam kalangan mereka yang tidak setia menjalankan apa yang diperintahkan. Tidak menurut sebagaimana yang diinstruksikan. Disuruh tunduk, mereka menyombong. Disuruh memakai kata-kata yang berisi memohon ampun, mereka minta gandum. Disuruh makan baik-baik, mereka makan dengan rakus. Padahal itulah pantang besar dalam perjuangan. Karena tentara adalah alat semata-mata dari panglima yang memegang komando.
Oleh karena mereka mengubah-ubah perintah, mana yang mengubah itu atau yang zalim itu mendapAllah siksaan dari langit. Dengan memperingatkan ini kembali kepada Bani Israil di zaman Nabi, terbukalah rahasia kebiasaan mereka, yaitu tidak tulus menjalankan perintah, dan bagi Nabi ﷺ sendiri pun menjadi peringatan bahwa keras kepala adalah bawaan mereka sejak dari nenek moyang mereka. Kalau kita lihat catatan sejarah Bani Israi! ketika dibawa dan dibimbing Nabi Musa itu, dia sendiri pun kerap kali mencela mereka dengan memberikan cap keras kepala, keras tengkuk, dan sebagainya. Dan siksaan yang datang pun sudah bermacam-macam terhadap yang salah.
Kadang-kadang ditenggelamkan, kadang-kadang disapu oleh bahaya sampar.
Ayat 60
“Dan (Ingatlah) seketika Musa memohonkan air untuk kaumnya, lalu Kami katakan, ‘Pukullah dengan tongkatmu itu akan batu.'"
Dalam perjalanan jauh itu tentu bertemu juga dengan padang belantara yang kering dari air. Kalauberjumpa dengan keadaan yang demikian, Bani Israil itu sudah ribut, mengomel, dan melepaskan kata-kata yang menunjukkan jiwa yang kecil kepada Nabi Musa. Tiba di tempat yang kering kurang air, mereka mengomel, mengapa kami dibawa ke tempat ini. Mengapa kehidupan kami yang senang cukup air di Mesir disuruh meninggalkannya dan dibawa ke tempat yang kering ini. Apa kami disuruh mati? Musa pun memohonlah kepada Tuhan agar mereka diberi air.
Maka, Tuhan menyuruh Musa memukul batu dengan tongkat, “Maka memancarlah darinya dua belas mata air," sebanyak suku-suku Bani Israil, “yang sesungguhnya telah tahu tiap-tiap golongan akan tempat minum mereka Dan, sebagaimana rahmat turunnya manna dan salwa, disuruhkan juga kepada mereka agar nikmat ini diterima dengan syukur. Kalau bukanlah dengan mukjizat dan karunia Ilahi tidaklah mereka akan mendapat air di tempat sekering itu, padang pasir yang tandus. Sebab itu, Tuhan berfirman,
“Makanlah dan minumlah dari karunia Allah, dan janganlah kamu mengacau dan membuat kemuakan di bumi."
Ini diingatkan kembali kepada Bani Israil, demikian besar nikmat Tuhan atas mereka. Dan diperingatkan juga kepada manusia umumnya, janganlah sampai setelah nikmat bertimpa-tim-pa datang, lalu lupa kepada yang memberikan nikmat, lalu berbuat kekacauan dan kerusakan. Jangan hanya mengomel menggerutu ketika kekeringan nikmat lalu mengacau dan menyombong setelah nikmat ada.
Ayat 61
“Dan (Ingatlah) seketika kamu berkata, ‘Wahai Musa, tidaklah kami akan tahan atas makanan hanya semacam."
Ini juga menunjukkan kekecilan jiwa dan kemanjaan. Mereka telah diberi jaminan makanan yang baik, manna dan salwa. Manna yang semanis madu dan daging burung, salwa yang empuk lezat. Dengan demikian, mereka tidak usah menyusahkan lagi makanan lain pada tanah kering dan tidak subur serta tidak dapat ditanami itu. Akan tetapi, mereka tidak tahan. Masih mereka lupa dari sebab apa mereka dipindahkan dari Mesir. Manakah perjuangan menuju tempat bahagia yang tidak ditebus dengan kesusahan? Lalu mereka mengeluh, “Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhan engkau, supaya dikeluarkan untuk kami dari apa yang ditumbuhkan bumi." Kami telah terlalu ingin perubahan makanan, jangan dari manna ke manna, dari salwa ke salwa saja. Kami ingin “dari sayur mayurnya, dan mentimunnya dan bawang putihnya dan kacangnya dan bawang merahnya". Mendengar permintaan yang menunjukkan jiwa kecil dan kerdil itu, Nabi Musa jawab, “Berkata dia, ‘Adalah hendak kamu tukar dengan yang amat hina barang yang amat baik?'"
Mengapa Nabi Musa menyambut demikian? Memang, mereka meminta sayur sayur yang demikian ialah karena mereka teringat akan makanan mereka tatkala masih tinggal di Mesir, ada mentimun, ada bawang merah, ada kacang, ada bawang putih. Akan tetapi, dalam suasana apakah mereka di waktu itu? Ialah suasana perbudakan dan kehinaan. Sekarang, mereka berpindah meninggalkan negeri itu karena Allah hendak membebaskan mereka, tetapi karena tujuan terakhir belum tercapai, yaitu merebut tanah yang dijanjikan dengan keperkasaan, karena pengecut mereka juga, ditahanlah mereka di Padang Tih selama empat puluh tahun. Makanan dijamin, ransum disediakan. Itu pun bukan ransum sembarang ransum. Nabi Musa mengatakan tegas bahwa makanan yang mereka minta itu adalah makanan hina, makanan zaman perbudakan. Dan makanan yang mereka tidak tahan lagi itu adalah makanan zaman pembebasan. Makanan karena cita-cita.
Untuk misal yang dekat kepada kita, adalah keluhan orang tua-tua yang biasa hidup senang di zaman penjajah Belanda dahulu, mengeluh karena kesukaran di zaman perjuangan kemerdekaan. Mereka selalu teringat zaman itu yang mereka namai Zaman Normal. Dengan uang satu rupiah zaman itu sudah dapat beli baju dan lebihnya dapat dibawa pulang untuk belanja makan minum. Tetapi sekarang setelah merdeka, hidup jadi susah. Sampai ada yang berkata, “Bila akan berhenti merdeka ini!"—Lalu Musa berkata, “Pergilah ke kota besar. Maka sesungguhnya di sana akan kamu dapatkan apa yang kamu minta itu." Inilah satu teguran yang keras, kalau me-reka sudi memahamkan. Pergilah ke salah satu kota besar, apa artinya? Ialah keluar dari kelompok dan menyediakan diri jadi budak kembali. Atau melepaskan cita-cita. Laksana pengalaman kita bangsa Indonesia di zaman perjuangan bersenjata dahulu yang makanan tidak cukup, kediaman di hutan. Mana yang kita tidak tahan menderita, silakan masuk kota. Di kota ada mentega dan ada roti, cokelat dan kopi susu. Namun, artinya ialah meninggalkan perjuangan, menghentikan sejarah diri sendiri dalam membina perjuangan. Kalimat ihbithu mishran yang berarti pergilah ke kota besar, kalau menurut qiraat (bacaan) al-Hasan dan Aban bin Taghlib dan Thalhah bin Mushrif ialah ihbithu mishra dengan tidak memakai tanwin (baris dua). Menurut qiraat ini artinya ialah, “Pergilah kamu pulang kembali ke Mesir, di sana akan kamu dapati apa yang kamu minta itu!" Dengan demikian, perkataan Nabi Musa menjadi lebih keras lagi. Segala yang kamu minta itu hanya ada di Mesir. Kalau kamu ingin juga, pulanglah ke sana kembali menjadi orang yang hina, diperbudak kembali.
Akhirnya, berfirmanlah Tuhan tentang keadaan jiwa mereka, “Dan dipukulkaniah atas mereka kehinaan dan kerendahan, dan sudah layaklah mereka ditimpa kemurkaan dari Allah." Kehinaan ialah hina akhlak dan hina jiwa, tidak ada cita-cita tinggi. Jatuh harga diri, padam kehormatan diri, jatuhmoral. Itulahyangdikenal dengan jiwa budak (slavengeest). Apabila diri sudah hina, niscaya rendahlah martabat, menjadi miskin. Mata kuyu kehilangan sinar. Ukuran cita-cita hanya sehingga asal perut akan berisi saja, payah dibawa naik. Atau malas berjuang karena ingin makanan yang enak-enak saja. Dengan demikian, tentu tidak lain yang akan mereka terima hanyalah kemurkaan Allah.
Lalu, disebutnya penyebab utama, “Yang demikian itu, ialah karena mereka kufur kepada perintah-perintah Allah, dan mereka bunuh nabi-nabi dengan tidak patut" Sedangkan membunuh sesama manusia biasa lagi tidak patut, apalagi kalau sudah berani mengangkat senjata membunuh nabi-nabi yang menunjuki mereka jalan yang benar. Menurut riwayat selama riwayat Bani Israil, tidak kurang dari tujuh puluh nabi yang telah mereka bunuh. Itulah akibat dari jiwa yang telah jahat karena meninggalkan imam.
“Yang demikian itu ialah karena mereka lelah durhaka dan adalah Mereka melewati batas."