Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
orang-orang yang beriman
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
إِذَا
apabila
ذُكِرَ
disebut
ٱللَّهُ
Allah
وَجِلَتۡ
gemetarlah
قُلُوبُهُمۡ
hati mereka
وَإِذَا
dan apabila
تُلِيَتۡ
dibacakan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
ءَايَٰتُهُۥ
ayat-ayatNya
زَادَتۡهُمۡ
ia menambahkan mereka
إِيمَٰنٗا
keimanan mereka
وَعَلَىٰ
dan kepada
رَبِّهِمۡ
Tuhan mereka
يَتَوَكَّلُونَ
mereka bertawakkal
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
orang-orang yang beriman
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
إِذَا
apabila
ذُكِرَ
disebut
ٱللَّهُ
Allah
وَجِلَتۡ
gemetarlah
قُلُوبُهُمۡ
hati mereka
وَإِذَا
dan apabila
تُلِيَتۡ
dibacakan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
ءَايَٰتُهُۥ
ayat-ayatNya
زَادَتۡهُمۡ
ia menambahkan mereka
إِيمَٰنٗا
keimanan mereka
وَعَلَىٰ
dan kepada
رَبِّهِمۡ
Tuhan mereka
يَتَوَكَّلُونَ
mereka bertawakkal
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetar hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal,
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu) yang sempurna keimanannya (adalah mereka yang apabila disebut Allah) yakni ancaman-Nya (gemetarlah) karena takut (hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka) kepercayaan mereka (dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal) hanya kepada Rabblah mereka percaya bukan kepada selain-Nya.
Tafsir Surat Al-Anfal: 2-4
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanyalah kepada Tuhan mereka bertawakal.
(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.
Ayat 2
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hati mereka.” (Al-Anfal: 2) Ibnu Abbas mengatakan bahwa orang-orang munafik itu tiada sesuatu pun dari sebutan nama Allah yang dapat mempengaruhi hati mereka untuk mendorong mereka mengerjakan hal-hal yang difardukan-Nya.
Mereka sama sekali tidak beriman kepada sesuatu pun dari ayat-ayat Allah, tidak bertawakal, tidak shalat apabila sendirian, dan tidak menunaikan zakat harta bendanya. Maka Allah mengatakan bahwa mereka bukan orang-orang yang beriman. Kemudian Allah ﷻ menyebutkan sifat orang-orang mukmin melalui firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hati mereka.” (Al-Anfal: 2) Karena itu, maka mereka mengerjakan hal-hal yang difardukan-Nya.
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya).” (Al-Anfal: 2) Maksudnya, kepercayaan mereka makin bertambah tebal dan mendalam.
“Dan hanyalah kepada Tuhan mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2) Yakni mereka tidak mengharapkan kepada seorang pun selain-Nya.
Mujahid mengatakan bahwa orang mukmin itu ialah orang yang apabila disebut nama Allah hatinya gemetar karena takut kepada-Nya. Hal yang sama telah dikatakan oleh As-Suddi dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang. Demikianlah sifat orang yang beriman sesungguhnya, yaitu orang yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hatinya karena takut kepada-Nya, lalu mengerjakan semua perintahNya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Ayat ini semakna dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. (Ali Imran: 135)
Semakna pula dengan firman Allah ﷻ lainnya, yaitu:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (An-Naziat: 40-41)
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, ia pernah mendengar As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hati mereka.” (Al-Anfal: 2) Bahwa yang dimaksud ialah seorang lelaki yang apabila ia hendak berbuat zalim (dosa) atau hampir berbuat maksiat, lalu dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah!" Maka gemetarlah hatinya (dan membatalkan perbuatan zalim atau maksiatnya).
Ats-Tsauri telah mengatakan pula dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ummu Darda sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hati mereka.” (Al-Anfal: 2) Pengertian lafal al-wajal fil qalbi atau hati yang gemetar, perumpamaannya sama dengan rasa sakit akibat bisul, tidakkah engkau merasakan denyutan sakitnya? Dikatakan, "Ya." Maka Ummu Darda berkata, “Apabila engkau merasakan hal tersebut, maka berdoalah kepada Allah saat itu juga, karena sesungguhnya doa dapat melenyapkan hal itu."
Firman Allah ﷻ: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya).” (Al-Anfal: 2)
Perihalnya sama dengan firman-Nya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya sedang mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 124)
Imam Bukhari dan lain-lainnya dari kalangan para imam mengambil kesimpulan dalil dari ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang semakna, bahwa iman itu dapat bertambah (dan dapat berkurang), serta iman itu dalam hati mempunyai grafik naik turun.
Demikianlah menurut mazhab jumhur ulama, bahkan ada yang mengatakan bahwa hal ini telah disepakati, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, dan Abu Ubaid. Hal ini telah kami terangkan dengan penjelasan yang terinci dalam permulaan kitab Syarah Bukhari.
“Dan hanyalah kepada Tuhan mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2) Yakni mereka tidak mengharapkan kepada selain-Nya, dan tidak bertujuan kecuali hanya kepada-Nya. Mereka tidak berlindung kecuali hanya kepada naungan-Nya. Tidak meminta keperluan-keperluan mereka selain hanya kepada-Nya. Mereka tidak suka kecuali hanya kepada-Nya. Dan mereka mengetahui bahwa apa yang dikehendaki Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Dialah yang mengatur kerajaan-(Nya). Hanya Dia semata, tiada sekutu bagi-Nya, tiada akibat bagi keputusan hukum-Nya, dan Dia Maha Cepat perhitungan-Nya. Karena itulah Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa tawakal kepada Allah merupakan induk keimanan.
Ayat 3
Firman Allah ﷻ: “(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Anfal: 3)
Melalui ayat ini Allah ﷻ menyinggung amal perbuatan mereka yang beriman, setelah terlebih dahulu menyebutkan perihal keyakinan dan akidah mereka. Amal perbuatan ini mengandung semua kebajikan, yaitu mendirikan shalat yang merupakan hak Allah ﷻ.
Sehubungan dengan hal ini Qatadah mengatakan bahwa mendirikan shalat ialah memelihara waktu-waktu penunaiannya, wudunya, rukuk dan sujudnya. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, mendirikan shalat artinya memelihara waktu-waktu penunaiannya; menyempurnakan pertemuannya, melakukan rukuk dan sujudnya dengan sempurna, membaca Al-Qur'an di dalamnya, serta membaca tasyahhud dan salawat untuk Nabi ﷺ.
Sifat orang yang beriman lainnya ialah menginfakkan sebagian dari apa yang direzekikan oleh Allah kepada mereka; termasuk ke dalam pengertian ini ialah mengeluarkan zakat dan semua hak hamba-hamba Allah, baik yang wajib maupun yang sunat. Semua makhluk adalah tanggungan Allah, maka orang yang paling disukai oleh Allah di antara mereka adalah orang yang paling bermanfaat bagi makhluk-Nya.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Anfal: 3) Yakni belanjakanlah sebagian dari rezeki Allah yang diberikan kepada kalian karena sesungguhnya harta ini adalah pinjaman dan titipan yang diserahkan kepadamu, wahai anak Adam! Dan dalam waktu yang dekat kamu akan berpisah dengannya.
Ayat 4
Firman Allah ﷻ: “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (Al-Anfal: 4)
Maksudnya, mereka yang menyandang sifat-sifat ini adalah orang-orang yang beriman dengan sesungguhnya.
An-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Khalid ibnu Yazid As-Sakshi, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Muhammad ibnu Abul Jahm, dari Al-Haris ibnu Malik Al-Ansari, bahwa ia berjumpa dengan Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, "Bagaimanakah keadaanmu pagi hari ini, wahai Haris?” Al-Haris menjawab, "Kini aku menjadi orang yang beriman sesungguhnya.”
Rasulullah ﷺ bertanya lagi, "Pikirkanlah apa yang telah kamu katakan itu, karena sesungguhnya setiap sesuatu itu mempunyai hakikatnya masing-masing. Maka bagaimanakah hakikat imanmu?” Al-Haris menjawab, "Aku jauhkan diriku dari duniawi. Aku bergadang di malam hariku (seraya melakukan shalat sunat) dan kuhauskan diriku di siang harinya (seraya menjalankan puasa), sehingga seakan-akan diriku melihat 'Arasy Tuhanku tampak jelas, melihat ahli surga yang sedang saling berkunjung di antara sesamanya di dalam surga, dan melihat penduduk neraka sedang menjerit-jerit di dalamnya." Maka Nabi" ﷺ bersabda, "Wahai Haris, sekarang engkau telah mengetahui, maka tetaplah pada jalanmu," sebanyak tiga kali.
Amr ibnu Marrah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (Al-Anfal: 4) Sesungguhnya Al-Qur'an ini diturunkan dengan bahasa Arab, perihalnya sama dengan ucapanmu, "Fulanun sayyidun haqqan," yakni si Fulan benar-benar seorang yang utama, dan di kalangan kaumnya banyak orang yang diutamakan. Contoh lainnya ialah, "Fulanun tajirun haqqan wafil qaumi tujjarun" yakni si fulan benar-benar seorang pedagang dan di kalangan kaumnya banyak pedagang. Contoh lainnya ialah, "Fulanun sya'irun haqqan wafilqaumisyu'ara" yakni si Fulan benar-benar seorang penyair, di kalangan kaumnya banyak terdapat penyair.
Firman Allah ﷻ: “Mereka akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi Tuhannya.” (Al-Anfal: 4)
Artinya, tempat dan kedudukan serta derajat di dalam surga. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu: “(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Ali Imran: 163)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan ampunan.” (Al-Anfal: 4) Maksudnya, Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan membalas mereka dengan kebaikan-kebaikan. Adh-Dhahhak telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Mereka akan memperoleh beberapa derajat yang tinggi di sisi Tuhannya.” (Al-Anfal: 4) Ahli surga itu sebagian mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada sebagian yang lain, maka orang yang berada di atas kedudukan yang tinggi dapat melihat orang yang kedudukannya berada di bawahnya. Akan tetapi, orang yang berada di tingkatan bawah tidak mempunyai pandangan bahwa tiada seorang pun yang lebih utama daripada dirinya. Karena itulah di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya ahli 'Illiyyin (surga yang paling tinggi) benar-benar dapat dilihat oleh orang-orang yang ada di bawah mereka, sebagaimana kalian melihat bintang-bintang yang jauh berada di ufuk langit yang sangat luas.” Mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, surga 'Illiyyin itu tentu kedudukan para nabi, dan tidak dapat diraih oleh selain mereka." Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak demikian, demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, bahkan (termasuk pula) orang-orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan para rasul.”
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab Sunnah disebutkan melalui hadits Ibnu Atiyyah, dari Abu Said, yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya ahli surga itu benar-benar dapat melihat para penghuni kedudukan yang tertinggi sebagaimana kalian melihat bintang-bintang yang jauh berada di cakrawala langit. Dan sesungguhnya Abu Bakar dan Umar termasuk di antara mereka (yang berada pada kedudukan yang tertinggi) serta beroleh kenikmatan (yang berlimpah).”
Sebagian sifat mereka yang menyandang predikat mukmin sejati disebutkan di sini, yaitu; Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya, yang mantap keimanannya, adalah mereka yang apabila disebut nama Allah dengan sifat-sifat keagungan dan kemuliaan-Nya gemetar hatinya karena mereka sadar akan kekuasaan dan keagungan-Nya, dan apabila dibacakan oleh siapa pun ayat-ayatNya kepada mereka, bertambah kuat imannya. Semakin mereka mendengar ayat-ayat Al-Qur'an dibacakan, semakin kokoh keimanan mereka dan semakin mendalam rasa tunduk serta semakin bertambah pengetahuan mereka pada Allah. Dan oleh karena itu, hanya kepada Tuhan mereka senantiasa bertawakal dan berserah diri setelah berusaha keras, sehingga tidak berharap dan gentar kepada selain-Nya. Selain memiliki keimanan yang mantap dan kuat, serta amal kalbu lainnya, secara lahiriah orang mukmin sejati adalah orang-orang yang melaksanakan salat secara berkesinambungan sesuai waktu dan tatacara yang telah ditetapkan, dengan penuh rasa khusyuk dan ikhlas, dan mereka yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka sesuai ketentuan.
Allah menjelaskan bahwa orang-orang mukmin ialah mereka yang menghiasi dirinya dengan sifat-sifat seperti tersebut dalam ayat ini. Tiga sifat disebutkan dalam ayat ini, sedang dua sifat lagi disebutkan dalam ayat berikutnya.
1. Apabila disebutkan nama Allah bergetarlah hatinya karena ingat keagungan dan kekuasaan-Nya. Pada saat itu timbul dalam jiwanya perasaan penuh haru mengingat besarnya nikmat dan karunia-Nya. Mereka merasa takut apabila mereka tidak memenuhi tugas kewajiban sebagai hamba Allah, dan merasa berdosa apabila melanggar larangan-larangan-Nya.
Bergetarnya hati sebagai perumpamaan dari perasaan takut, adalah sikap mental yang besifat abstrak, yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersangkutan dan hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Sedang orang lain dapat mengetahui dengan memperhatikan tanda-tanda lahiriah dari orang yang merasakannya, yang terlukis dalam perkataan atau gerak-gerik perbuatannya.
Sikap mental itu adakalanya tampak dalam perkataan, sebagaimana tergambar dalam firman Allah:
"Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut, (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya". (al-Muminun/23: 60)
Dan adakalanya tampak pada gerak-gerik dalam perbuatan, firman Allah :
"Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan, "salam." Dia (Ibrahim) berkata, "Kami benar-benar merasa takut kepadamu." (al-Hijr/15: 52)
2. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah, maka akan bertambah iman mereka, karena ayat-ayat itu mengandung dalil-dalil yang kuat, yang mempengaruhi jiwanya sedemikian rupa, sehingga mereka bertambah yakin dan mantap serta dapat memahami kandungan isinya, sedang anggota badannya tergerak untuk melaksanakannya.
Dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa iman seseorang dapat bertambah dan dapat berkurang sesuai dengan ilmu dan amalnya, Rasulullah bersabda:
"Iman itu lebih dari 70 cabang, yang tertinggi adalah pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan ganguan dari jalan." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Dengan demikian bertambahnya iman pada seseorang dapat diketahui apabila ia lebih giat beramal. Iman dan amal adalah merupakan satu kesatuan yang bulat yang tak dapat dipisahkan.
Firman Allah swt:
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, "Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka," ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, "Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung." (ali Imran/3: 173)
Dan firman Allah:
Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita." Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka. (al-Ahzab/33: 22)
3. Bertawakal hanya kepada Allah Yang Maha Esa, tidak berserah diri kepada yang lain-Nya. Tawakal merupakan senjata terakhir seseorang dalam mewujudkan serangkaian amal setelah berbagai sarana dan syarat-syarat yang diperlukan itu dipersiapkan. Hal ini dapat dipahami, karena pada hakikatnya segala macam aktifitas dan perbuatan, hanya terwujud menurut hukum-hukum yang berlaku yang tunduk dibawah kekuasaan Allah. Maka tidak benar apabila seseorang itu berserah diri kepada selain Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-ANFAAL
(HARTA RAMPASAN)
SURAH KE-8, 75 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
(AYAT 1-40)
Bismillahirrahmanirrahim
Ayat 1
“Mereka bertanya kepada engkau tentang rampasan perang."
Akan diapakan harta sebanyak ini, dan bila akan dibagi, bagaimana cara membaginya?
URAIAN TENTANG AL-ANFAAL
Sebagai yang telah kita uraikan di atas tadi, al-Anfaal adalah kata jamak (bilangan banyak) dari an-Nafl, yang berarti harta-harta rampasan di dalam peperangan yang didapat oleh kaum Muslimin dari harta benda musuh yang telah mereka kalahkan.
Berkata Ibnu Taimiyah, “Dinamai begitu karena dia adalah tambahan bagi harta kaum Muslimin. Karena kata an-Nafl asal maknanya ialah tambahan, sebagaimana tersebut di dalam kamus tajul-'arus. Sebagaimana kata an-Nafilah diberikan nama bagi shalat tathawwu' (shalat-shalat sunnah) karena dia jadi tambahan dari shalat-shalat yang fardhu.
Sekadar sedikit perbedaan saja: an-Nafl yang bersifat kata muzakkar dijamakkan dengan al-Anfaal, sedang shalat sunnah di-muanats-kan maka jamaknya menjadi an-Nawafil.
Di pangkal ayat ini bertemulah keterangan Allah bahwasanya sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang 300 orang banyaknya itu, terdiri dari Muhajirin dan Anshar, telah menanyakan kepada Rasulullah ﷺ bagaimana duduknya dan akan diperbuat apa harta-harta musuh yang telah dirampas itu.
Kita sebagai orang yang beriman dan mengetahui sejarah perjuangan Rasulullah dan para sahabat, Muhajirin dan Anshar, pergi berperang adalah karena hendak menegakkan dan meninggikan kalimat Allah. Mereka begitu berani menghadapi musuh, sebagaimana kelak akan diterangkan, bukanlah karena akan mengharapkan mendapat harta rampasan. Sejak mereka mulai berjuang, mereka tidak memimpikan akan membagi harta, melainkan menyabung nyawa. Apatah
lagi kekuatan tak seimbang; musuh lebih dari 1.000 orang dan kaum Muslimin hanya sekitar 300 orang. Peperangan Badar adalah perjuangan pertama yang menentukan. Dan, kebetulan dengan pertolongan Allah ﷻ di dalam peperangan ini kaum Muslimin memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang, sampai 70 musuh terbunuh dan 70 pula tertawan. Dan, sehabis berperang, kelihatan harta bertumpuk besar, dengan tidak disangka-sangka.
Mau tidak mau, sebagai manusia tentu timbul pertanyaan, baik di dalam hati atau keluar dari mulut, untuk siapa harta sebanyak ini?
Imam Ahmad merawikan dari sahabat Rasulullah ﷺ, Ubadah bin Shamit, dia berkata, “Keluarlah kami bersama Rasulullah ﷺ pergi berperang dan saya pun turutlah dalam Peperangan Badar itu. Maka, berhadap -hadapanlah manusia (kedua belak pihak) dengan hebatnya. Akhirnya, dengan qudrat iradah Allah, telah dapat musuh dikalahkan. Segolongan kami mengejar musuh yang lari itu dan membunuh mana yang melawan. Setengah golongan lagi menyerbu ke bekas kemah-kemah yang ditinggalkan musuh itu dan mengumpulkan harta benda yang mereka tinggalkan. Setengahnya lagi mengelilingi Rasulullah ﷺ dengan ketatnya, supaya jangan ada musuh yang mencoba mencida15 beliau.
Setelah hari malam berkumpullah kami semuanya. Maka, berkatalah orang-orang yang mengumpulkan harta rampasan tadi, “Kami yang menyerbunya dan kami yang mengum-
16 Mencida (mencido) bahasa Minangkabau, yang asalnya dari bahasa Melayu mencidra. Akan tetapi, maknanya dalam bahasa Minangkabau telah berbeda dengan mencidra. Karena mencido ialah menikam atau memukul orang lain ketika diri terlengah. Kadang-kadang yang melakukan kejahatan itu setelah mencido, terus lari. Karena kata-kata yang tepat untuk itu dalam bahasa Indonesia tidak ada, kita pindahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mengubah jadi mencida.
…pulkan hartanya; sebab itu tidak ada yang lain yang akan mendapat bagian."
Berkata pula yang mengejar-ngejar musuh yang lari itu, “Tidak ada yang lebih berhak daripada kami sebab kami yang mengejar-ngejar musuh itu dan kami pula yang menyebabkan mereka kalah."
Berkata pula yangmen jaga Rasulullah ﷺ, “Kami jaga supaya musuh jangan mencederai beliau sedang kita terlengah; lantaran itu kami tidak turut mengejar musuh."
Berkata Ubadah bin Shamit selanjutnya, “Di saat itulah turun ayat ini, ‘Mereka bertanya kepada engkau darihal harta rampasan.'" Setelah ayat ini turun, dibagi-bagikan Rasulullah ﷺ lah harta benda itu sepikulan unta kenderaan mereka kedua samping untanya."
Menurut sebuah hadits pula yang terdapat di dalam riwayat Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan dishahihkan pula oleh al-Hakim, dan menurut keterangan dari Ibnul lshaq, yang diterima dari Ubadah bin Shamit juga, beliau berkata, “Ayat ini turun ialah untuk kami, yang telah turut berperang di Badar. Karena kami telah berselisih pikiran tentang harta rampasan, yang menyebabkan akhlak kami jadi buruk. Lantaran itu Allah mencabut harta itu dari tangan kami dan menyerahkannya kepada Rasulullah ﷺ; lalu beliau bagilah harta itu. di antara sesama Muslim dengan persamaan."
Ada lagi sebuah hadits yangdirawikan oleh Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Hibban, al-Hakim, dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Pada waktu Perang Badar itu, berkata Rasulullah ﷺ, ‘Barangsiapa berbuat begitu dan begitu, dia akan mendapat rampasan sekian dan sekian/" Mendengar perkataan Rasulullah itu, menyerbulah ke muka yang muda-muda dan yang tua-tua tinggal di sekeliling bendera perang. Setelah selesai perang dan harta rampasan telah terkumpul, datanglah yang muda-muda tadi minta bagian mereka. Lalu, yang tua-tua berkata, “Janganlah kami diabaikan, karena kamilah sebenarnya yang melindungi kalian ketika maju ke muka itu. Karena kalau pecah barisan kalian, niscaya kepada kamilah kalian akan berlindung kembali." Maka, timbullah perselisihan. Di saat itu datanglah ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau darihal harta rampasan." Yang memberikan kesan bahwa bertengkar-tengkar dalam soal ini sangat dilarang.
Maka, datanglah lanjutan ayat, “Katakanlah rampasan perang adalah bagi Allah dan Rasul."
Dengan demikian segala perselisihan, pertengkaran atau perbedaan pendapat sudah dilarang dan sudah mesti dihentikan. Semuanya terpulang kepada pertimbangan Allah dan Rasul. Dalam hal ini tentu terpulang kepada keputusan yang akan diambil oleh Rasulullah ﷺ; karena taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah juga.
Dengan keputusan Allah yang demikian itu, dikembalikanlah maksud jihad kepada asalnya. Orang pergi berjihad ialah semata-mata karena mengharapkan upah di akhirat kelak, bukan upah dunia ini. Segala harta benda rampasan dari musuh yang kalah itu, menjadilah hak kepunyaan mutlak dari Allah dan Rasul.
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, ‘Al-Anfaal itu adalah kumpulan ghanimah (harta rampasan), kecuali seperlima daripadanya dikhususkan untuk ahlinya, sebagaimana diturunkan di dalam kitab, dan berlaku padanya sunnah. Arti anfaal menurut bahasa Arab ialah setiap pekerjaan baik yang dikerjakan oleh pembuatnya sebagai aural yang utama, dengan tidak ada perintah wajib. Maka, anfaal yang dihalalkan Allah bagi kaum yang beriman terhadap harta rampasan dari musuh mereka adalah khususiat yang dihalalkan Allah atas mereka, padahal di zaman dahulu harta rampasan itu diharamkan Allah kepada umat-umat masa lampau, sekarang dinafikan oleh Allah kepada umat ini." Sekian Ibnu Katsir.
Dengan demikian berartilah bahwa kekuasaan mutlak pada Allah dan Rasul terhadap rampasan, bukanlah karena harta itu untuk Rasulullah pribadi. Artinya dengan tegas, ialah bahwa beliau yang berkuasa membagi harta itu, kepada seluruh Muslimin yang ikut berperang. Dan, kelak dalam ayat 41 surah ini juga, akan dijelaskan lagi bahwa harta itu akan dibagi 5 bagian. Empat perlima akan dibagi kepada seluruh Mujahidin yang turut berperang, hanya seperlima saja yang menjadi hak Allah dan Rasul. Apakah yang seperlima itu untuk Rasulullah pula? Nanti akan jelas dalam ayat 41 itu bahwa yang seperlima dicadangkan buat orang-orang yang tidak turut berperang karena lemahnya karena miskinnya atau karena kekeluargaan.
Sebagaimana dikatakan oleh ibnu Katsir tadi, umat-umat Nabi yang dahulu, jika berperang dan mengalahkan musuhnya maka harta rampasan yang mereka dapat dari musuh itu, tidak dibolehkan untuk mereka; tegasnya haram mereka terima. Akan tetapi, bagi umat Muhammad, barang rampasan itu dihalalkan.
“Dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Diberikan kepadaku lima hal, yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelum-ku. ‘ (Lalu Jabir menyampaikan hadits selengkapnya) sampai kepada sabda Nabi, ‘Dan dihalalkan untukku harta rampasan perang, padahal tidak dihalalkan kepada umat yang sebelumku.'" (HR Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad bahwa di dalam Peperangan Badar itu, sahabat Nabi yang terkenal (di antara yang 10) yaitu Sa'ad bin Abu Waqqash telah dapat menewaskan musyrik yang bernama Sa'id bin al-Ash. Setelah musuh itu mati, Sa'ad mengambil pedangnya yang terkenal, yang diberi nama khatifah. Lalu, pedang itu dibawanya kepada Nabi Muhammad ﷺ Maka, beliau bersabda, “Letakkan pedang itu di tempat mengumpulkan barang-barang rampasan!"
“Saya pun pergi," kata Sa'ad, “dan Allahlah yang tahu betapa rasa hatiku waktu itu, saudaraku Umar mati terbunuh, musuhku Sa'id telah mati pula aku bunuh, pedang rampasan-ku tidak boleh aku pegang. Akan tetapi, setelah aku berjalan beberapa langkah, turunlah surah al-Anfaal, Lalu, Rasulullah ﷺ memanggilku, ‘Pergilah ambil pedang rampasanmu itu.'" Tersebut pula dalam riwayat yang dirawi-kan oleh Imam Ahmad at-Tirmidzi dan hadits ini dishahihkannya, dari sahabat Rasulullah ﷺ, Sa'ad bin Malik, berkata dia:
“Pernah saya berkata, ‘Ya Rasulullah, hari ini disembuhkan Allah hatiku dari orang-orang musyrik itu. Sebab itu, berikan kepadaku pedang ini.' Nabi menjawab, ‘Pedang ini bukan untuk engkau dan bukan pula untukku, letakkan sajalah dia!' Lalu pedang itu saya letakkan, setelah itu saya pun kembali. Dalam hati saya berkata, ‘Mungkin kelak pedang itu akan diberikan kepada orang yang perjuangannya tidak sampai seperti perjuanganku.' Sedang saya berpikir demikian, terdengarlah orang memanggil namaku dari belakang. Lalu, aku berkata, ‘Barangkali Allah ada menurunkan wahyu mengenai diriku.' Lalu beliau berkata, ‘Engkau tadi meminta aku memberikan pedang. Pedang itu bukanlah untukku, tetapi sekarang dia telah diberikan kepadaku. Sebab itu, sekarang juga dia aku berikan kepadamu.' Waktu itulah turun ayat, ‘Mereka bertanya kepada engkau perihal rampasan perang.'" Sekian bunyi hadits tersebut.
Kemudian datanglah lanjutan ayat, “Maka, takwalah kepada Allah."
Artinya, supaya perselisihan karena harta benda rampasan itu bisa diredakan, hendaklah semuanya kembali kepada Allah bahwa yang menang bukan kamu, melainkan Allah. Terutama dalam Peperangan Badar, nyata benar bahwa kamu menang itu benar-benar suatu pertolongan dari Allah. Kamu hanya 300 orang, sedangkan musuhmu lebih dari 1.000 orang. Ditilik dari keseimbangan kekuatan, kalau bukanlah karena pertolongan Allah, tidaklah kamu akan menang. Oleh sebab itu, meskipun kamu telah menang, dan kamu telah mendapat harta rampasan begitu banyak, yang belum kamu mimpikan selama ini, janganlah kamu bertengkar mengatakan masing-masing kamu yang berjasa. Karena pada hakikatnya, baik yang menyerbu ke hadapan musuh, atau yang berdiri mengelilingi Rasulullah ﷺ supaya jangan dicida oleh musuh, atau yang berusaha mengumpulkan hatta rampasan, semuanya itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari yang lain. Oleh sebab itu takwalah kamu kepada Allah. Karena dengan takwa kepada Allah, tidaklah harta sebanyak itu akan mereka dapati. “Dan perbaikilah keadaan di antara kamu."
Dalam langkah pertama, hendaklah kembali semuanya kepada Allah, takwa kepada-Nya. Apabila semuanya telah takwa kepada Allah, mudahlah menempuh langkah yang kedua, yaitu memperbaiki hubungan jiwa yang telah retak karena memperselisihkan harta benda yang telah ada. Sesat surut terlangkah kembali, ukhuwah islamiyah ditegakkan bersama. Harta benda tidak ada artinya jika dibandingkan dengan silaturahim yang tumbuh lantaran sama-sama beriman kepada Allah.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika memang kamu orang-orang yang beriman."
Dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, akan timbullah dengan sendirinya kepatuhan menerima berapa saja yang dibagikan karena sudah yakin bahwa Rasulullah sebagai utusan Allah kepada umat, tidaklah berlaku pilih kasih. Beliau akan membagi menurut layak dan patutnya. Hanya orang-orang yang kurang iman jualah yang akan merasa ragu lalu dipengaruhi oleh loba dan tamaknya. Kalau demikian halnya, tentulah mereka pergi berperang hanyalah karena mengharapkan keuntungan harta rampasan, sehingga maksud tujuan suci yang semula telah hilang, dan tujuan yang kedua mereka jadikan yang pertama, yaitu mencari kekayaan.
Ayat inilah pokok utama disiplin yang diajarkan oleh Islam. Kepercayaan yang teguh, dipateri oleh iman kepada pimpinan tertinggi dengan diiringi oleh takwa kepada Allah.
Lalu, dilanjutkan kepada inti sejati dari disiplin, yaitu ayat yang selanjutnya,
Ayat 2
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah orang-orang yang apabila disebut nama Allah, merasa takutlah hati mereka."
Ayat ini dipangkali dengan kata irmama. Huruf itu di dalam kuasa artinya dalam bahasa Arab dinamai alat pembatas. Sebab itu, artinya yang agak tepat dalam bahasa Indonesia ialah “tidak lain", atau “cuma", atau “hanyalah". Di sini kita artikan “sesungguhnya".
Maka, kalau ada orang yang mengakui dirinya beriman, menurut ayat ini, belumlah diterima iman itu dan belumlah terhitung ikhlas, kalau hatinya belum bergetar mendengar nama Allah disebut orang. Apabila nama itu disebut, terbayanglah dalam ingatan orang yang beriman itu betapa maha besarnya kekuasaan Allah, mengadakan, menghidupkan, mematikan dan melenyapkan. Dan, ingatan kepada Allah itu bukan semata-mata karena disebut, melainkan karena melihat pula bekas ke-kuasaan-Nya, Maka, merasa takutlah ia kalau-kalau usianya akan habis padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah.
“Dan, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah bagi mereka keimanan."
Adapun mendengar nama Allah disebut orang, hati jantung mereka sudah tergetar karena takut, betapa lagi kalau ayat-ayat Allah itu dibaca orang, niscaya lebih lagi ayat-ayat itu menambah iman mereka kepada Allah. Dan, kita pun maklum bahwa ayat-ayat Allah itu dapat dibaca dalam kitab Al-Qur'an yang terbentang di hadapan mata kita dan dapat pula dibaca pada alam yang ada di sekeliling kita. Ayat-ayat Allah dapat dibaca pada segala sudut alam ini dengan alat ilmu pengetahuan. Semua menunjukkan bahwa Allah itu Esa adanya.
Apabila kita pertalikan ayat yang nomor 2 ini dengan dua ayatyang penghabisan daripada surah al-A'raaf yang sebelumnya, tampaklah bahwa tujuan keduanya adalah satu. Ayat 205 penutup surah al-A'raaf menyuruh kita mengingat Allah dengan tenang dan rasa takut, khusyu dan tadharru', dan tidak perlu dengan suara keras. Maka, ayat yang kedua dari surah al-Anfaal ada kesan dari latihan yang terdapat pertama-tama tadi. Mula-mula selalulah kita menyebut nama Allah dalam hati dan dengan lidah. Kelak apabila telah biasa mengingat dan menyebut nama Yang Mahamulia itu, dia akan berkontak laksana strum listrik apabila nama itu dibaca oleh orang lain.
“Dan, kepada Tuhan merekalah, mereka itu bertawakal."
Bertawakal artinya ialah berserah diri. Imam as-Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu ‘Ubaid mengartikan bertawakal kepada Allah itu ialah tidak berharap kepada yang lain, dan tidak berserah diri atau menyerahkan segala untung nasib dan pekerjaan kepada yang lain. Tawakal di sini tentu saja tidak sekali-kali mengabaikan ikhtiar. Karena sekali telah takut mendengar nama-Nya disebut, niscaya dibuktikan rasa takut itu dengan rasa kepatuhan melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Kalau sudah bertawakal kepada Allah, niscaya lebih lagi mempercayai bahwa segala perintah yang diturunkan Allah kepada kita, mustahil akan membawa celaka kita.
Mujahid mengatakan bahwa orang yang tergetar hati mereka karena takut apabila nama Allah disebut orang, bahwa itulah dia sifat Mukmin yang sempurna iman. Takut kalau-kalau terlambat atau terlalai, takut kalau-kalau yang dikerjakan ini tidak sepenuhnya menurut yang diaturkan oleh Allah.
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku mendengar as-Suddi menafsirkan ayat ini, maksudnya ialah ada seorang yang bermaksud hendak berbuat suatu maksiat. Tiba-tiba sedang ia hendak me-ngerjakannya, datang orang berkata, ‘Takwalah engkau kepada Allah, Kawani' lalu gentarlah hatinya mendengar teguran itu dan segera ia kembali ke dalam jalan yang benar."
Ibnu Katsir menafsirkan tentang tawakal kepada Allah itu, “Artinya tidak mengharap yang lain, tujuannya hanya Dia, berlindung hanya kepada-Nya, tidak meminta memohon sesuatu kecuali hanya kepada-Nya; dan sadar bahwa yang dikehendaki-Nyalah yang terjadi. Dia yang mengatur sesuatu, sendiri-Nya, tidak berserikat dan segera perhitungan-Nya."
Dan, Said bin Jubair berkata, “Tawakal adalah pengikat iman."
Tawakal ini pun suatu kekuatan dalam jiwa, sebab kita sadar bahwa kita punya sandaran yang kuat, yaitu Allah.
Kemudian datanglah tanda iman yang ke-4,
Ayat 3
“(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat."
Shaiat adalah tanda iman yang keempat dan lanjutan yang sudah semesti dan sepastinya dari iman. Kalau pokok yang pertama tadi
sudah terang, yaitu merasa takut bila nama Allah disebut orang, diiringi dengan yang kedua yaitu bertambah iman apabila ayat Allah dibaca orang, dan telah memakai tawakal pula sebagai yang ketiga, tentu dia akan mengerjakan shaiat. Sebab, shaiat itu ialah bukti ketaatan kepada Allah, bukti kesadaran bahwa Allah itulah yang patut disembah. Oleh sebab itu, kalau ada orang yang mengaku beriman kepada Allah, padahal dia tidak mengerjakan shaiat, tandanya imannya belum ada. Shalat adalah bukti yang terang sekali dari ketaatan. Baik taat kepada Allah atau pun taat kepada Rasul. Sebab, shaiat itu adalah pokok agama yang diajarkan oleh Rasul. Lantaran itu patutlah kita katakan bahwa apabila iman telah kuat, orang pasti mengerjakan shaiat. Dan, apabila orang selalu mengerjakan shaiat, niscaya imannya akan bertambah kuat.
Kemudian itu datanglah tanda yang ke-5, yaitu,
“Dan dari apa yang dikaruniakan kepada mereka, mereka belanjakan."
Inilah tanda iman yang kelima. Apabila hati telah beriman kepada Allah, niscaya timbullah kepercayaan bahwa harta benda yang didapati ini adalah semata-mata rezeki yang dianugerahkan Allah. Sebab itu, mereka akan bersyukur kepada Allah. Mereka tidaklah menumpahkan cinta kepada harta benda, sehingga lupa kepada yang memberikan anugerah. Maka, teringatlah dia bahwa di atas dunia ini bukan dia saja yang hidup. Orang lain banyak yang patut dibantu, sedang dia mempunyai lebih karena karunia Allah. Maka, jika seorang Mukmin mengerjakan shaiat buat memperteguh hubungan dengan Allah, dia pun suka pula mengeluarkan harta benda anugerah Allah itu, untuk memperteguh hubungannya dengan sesama manusia. Dikeluarkannya zakat bila hartanya telah sampai satu nisab dan telah sampai tahunnya. Bukan zakat saja, malahan sebagai amal ihsan yang lain, yang bernama hadiah, hibah, wakaf, bantuan, derma, dan sokongan. Asal ada kesempatan yang baik, dia pun memberi. Lapang hatinya jadi orang dermawan, sebab harta itu tidak mengikat jiwanya. Yang mengikat hatinya ialah Allah.
Perhatikanlah kepada shalat itu sendiri betapa eratnya hubungan seorang manusia dengan Allah dan dengan masyarakat. Shalat dimulai dengan takbir, Allahu Akbar. Artinya memanjatkan hati menghadap Allah Yang Mahabesar. Dengan shalat kita membawa naik jiwa kita ke atas, ke hadhirat Allah. Kemudian shalat itu diselesaikan dengan salam: Assalamu'alaikum warahmatullah. Artinya selesai kita menghadap Allah, kita kembali lagi ke dalam masyarakat se-sama hamba Allah, kita mencampungkan diri lagi ke tengah mereka.
Maka, lengkap kelima tanda itu, itulah dia insan Mukmin sejati.
Ayat 4
‘Menelai itu orang-orang beriman yang sebenarnya."
Tegasnya, kalau kurang salah satu dari lima itu, belumlah dia Mukmin yang sebenarnya, masih perlu latihan ruhani lagi, untuk mencapai iman sebenarnya itu.
“Bagi mereka beberapa derajat di sisi Allah menelai dan ampunan dan karunia yang mulia."
Artinya, apabila kelima syarat itu telah dilengkapi maka derajat Mukmin itu akan dinaikkan oleh Allah, ditinggikan, dimuliakan di sisi Allah Ta'aala. Diibaratkan ukuran watt yang ada pada lampu listrik maka kekuatan voltnya akan naik terus-menerus memancarkan sinar. Kalau tadinya misalnya 10 watt, akan dinaikkan menjadi 25 watt, 30, 40, 60, 100 atau 1.000 watt, atau bertambah yang hanya Allah saja yang mengetahui berapa batas terakhirnya. Itulah kemuliaan jiwa di dalam alam dunia ini dan kemudian pula di akhirat esok. Derajat itu kita umpamakan
dengan watt lampu listrik, sebab iman itu kadang-kadang disebut juga nur atau cahaya. Maka, oleh sebab itu dia telah mengenai soal keruhanian, tidaklah dia dapat diukur dengan benda. Laksana di dalam kerajaan dunia ini, kepala-kepala negara menyediakan bintang-bintang bahaduri yang tertinggi bertingkat-tingkat buat orang yang berjasa; lebihlah dari itu, bahkan payah mengukurkan dengan itu derajat yang disediakan Allah buat Mukmin:
“Maka tidaklah mengetahui suatu diri apa yang disimpan untuk mereka dari tanda-tanda, sebagai ganjaran dari apa yang mereka amalkan."
Dan, dijanjikan pula akan diberi ampunan kalau ada kekhilafan. Karena sebagai manusia akan ada juga kelemahannya. Dia telah berjuang, tujuannya tetap mulia dan suci, tetapi kadang-kadang dia khilaf; khilaf bukan di-sengajanya. Titik tempat dia bertolak suci, tujuan yang ditujunya pun suci. Sebab, yang kecil-kecil diampuni dan diberi karunia kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.