Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تَسۡـَٔلُواْ
kamu menanyakan
عَنۡ
dari
أَشۡيَآءَ
sesuatu/perkara
إِن
jika
تُبۡدَ
diterangkan
لَكُمۡ
bagi kalian
تَسُؤۡكُمۡ
menyusahkan kamu
وَإِن
dan jika
تَسۡـَٔلُواْ
kamu menanyakan
عَنۡهَا
daripadanya
حِينَ
ketika
يُنَزَّلُ
diturunkan
ٱلۡقُرۡءَانُ
Al Qur'an
تُبۡدَ
diterangkan
لَكُمۡ
bagi kalian
عَفَا
memaafkan
ٱللَّهُ
Allah
عَنۡهَاۗ
daripadanya
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٌ
Maha Pengampun
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تَسۡـَٔلُواْ
kamu menanyakan
عَنۡ
dari
أَشۡيَآءَ
sesuatu/perkara
إِن
jika
تُبۡدَ
diterangkan
لَكُمۡ
bagi kalian
تَسُؤۡكُمۡ
menyusahkan kamu
وَإِن
dan jika
تَسۡـَٔلُواْ
kamu menanyakan
عَنۡهَا
daripadanya
حِينَ
ketika
يُنَزَّلُ
diturunkan
ٱلۡقُرۡءَانُ
Al Qur'an
تُبۡدَ
diterangkan
لَكُمۡ
bagi kalian
عَفَا
memaafkan
ٱللَّهُ
Allah
عَنۡهَاۗ
daripadanya
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٌ
Maha Pengampun
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu (niscaya) menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan kepada Nabimu hal-hal yang jika diterangkan) dijelaskan (kepadamu, niscaya menyusahkan kamu) karena di dalamnya mengandung kemudaratan (dan jika kamu menanyakannya di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan) artinya di masa Nabi ﷺ masih hidup (niscaya akan diterangkan kepadamu) makna ayat: apabila kamu bertanya tentang macam-macam masalah sewaktu Nabi ﷺ masih ada niscaya akan turun ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskannya dan jika ayat-ayat Al-Qur'an telah turun niscaya isinya akan menjelek-jelekkan kamu sendiri oleh karena janganlah kamu banyak bertanya tentang hal-hal itu; sesungguhnya (Allah telah memaafkan kamu tentang hal-hal itu) sebelum kamu meminta maaf kepada-Nya, maka dari itu janganlah kamu mengulanginya. (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.).
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 100-102
Katakanlah, "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang berakal, agar kalian beruntung.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian; dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian. Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kalian menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.
Ayat 100
Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya: “Katakanlah.” (Al-Maidah: 100) wahai Muhammad,
“Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun menarik hatimu banyaknya yang buruk itu, wahai manusia." (Al-Maidah: 100) Dengan kata lain, sedikit perkara halal yang bermanfaat lebih baik daripada banyak perkara haram yang menimbulkan mudarat. Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Sesuatu yang sedikit tetapi mencukupi adalah lebih baik daripada sesuatu yang banyak tetapi melalaikan.”
Abul Qasim Al-Baghawi mengatakan di dalam kitab Mujam-nya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Zuhair, telah menceritakan kepada kami Al-Huti, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, telah menceritakan kepada kami Ma'an ibnu Rifa'ah, dari Abu Abdul Malik Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah, bahwa Sa'labah ibni Hatib Al-Ansari pernah memohon, "Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah semoga Dia memberiku rezeki harta yang berlimpah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sedikit rezeki yang kamu dapat mensyukurinya lebih baik daripada banyak rezeki tetapi kamu tidak mampu mensyukurinya.”
“Maka bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal.” (Al-Maidah: 100)
Yakni wahai orang-orang yang berakal sehat lagi lurus, jauhilah hal-hal yang haram, tinggalkanlah hal-hal yang haram itu, dan terimalah hal-hal yang halal dan cukuplah dengannya.
“Agar kalian beruntung.” (Al-Maidah: 100)
Yakni di dunia dan akhirat.
Ayat 101
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.” (Al-Maidah: 101) Di dalam ayat ini terkandung pelajaran etika dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin. Allah melarang mereka menanyakan banyak hal yang tiada berfaedah bagi mereka dalam mempertanyakan dan menyelidikinya.
Karena sesungguhnya jika perkara-perkara yang dipertanyakan itu ditampakkan kepada mereka, barangkali hal itu akan menjelekkan diri mereka dan dirasakan amat berat oleh mereka ketika mendengarnya. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Semoga jangan ada seseorang menyampaikan kepadaku perihal sesuatu masalah dari orang lain, sesungguhnya aku suka bila aku menemui kalian dalam keadaan dada yang lapang.”
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Munzir ibnul Walid ibnu Abdur Rahman Al-Jarudi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Musa ibnu Anas, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengemukakan suatu khotbah yang belum pernah kudengar hal yang serupa dengannya. Dalam khotbahnya itu antara lain beliau ﷺ bersabda: “Sekiranya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, niscaya kalian benar-benar sedikit tertawa dan benar-benar akan banyak menangis.” Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu para sahabat Rasulullah ﷺ menutupi wajahnya masing-masing, setelah itu terdengar suara isakan mereka. Kemudian ada seseorang lelaki berkata, 'Siapakah ayahku?' Maka Nabi ﷺ menjawab, 'Si Fulan’." Lalu turunlah firman-Nya: “Janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) banyak hal.” (Al-Maidah: 101).
An-Nadr dan Rauh ibnu Ubadah telah meriwayatkannya melalui Syu'bah. Imam Bukhari telah meriwayatkannya bukan pada bab ini, begitu pula Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai melalui berbagai jalur dari Syu'bah ibnul Hajjaj dengan lafal yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.” (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat. Bahwa telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ hingga beliau dihujani oleh pertanyaan mereka. Lalu Rasulullah ﷺ keluar menemui mereka di suatu hari, kemudian menaiki mimbarnya dan bersabda: “Tidak sekali-kali kalian menanyakan kepadaku tentang sesuatu pada hari ini, melainkan aku pasti menjelaskannya kepada kalian.”
Maka semua sahabat Rasulullah ﷺ merasa takut kalau-kalau Rasulullah ﷺ sedang menghadapi suatu perkara yang mengkhawatirkan. Maka tidak sekali-kali aku tolehkan wajahku ke arah kanan dan kiriku, melainkan kujumpai semua orang menutupi wajahnya dengan kain bajunya seraya menangis. Kemudian seseorang lelaki terlibat dalam suatu persengketaan, lalu dia diseru bukan dengan nama ayahnya, maka ia bertanya, "Wahai Nabi Allah, siapakah sebenarnya ayahku itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ayahmu adalah Huzafah." Kemudian Umar bangkit dan mengatakan, "Kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai utusan Allah," seraya berlindung kepada Allah. Atau Umar mengatakan, "Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan fitnah-fitnah." Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku sama sekali belum pernah melihat suatu hal dalam kebaikan dan keburukan seperti hari ini, telah ditampakkan kepadaku surga dan neraka hingga aku melihat keduanya tergambarkan di arah tembok ini.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui jalur Sa'id. Dan Ma'mar meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Anas dengan lafal yang serupa atau mendekatinya. Az-Zuhri mengatakan bahwa Ummu Abdullah ibnu Huzafah mengatakan, "Aku belum pernah melihat seorang anak yang lebih menyakitkan orang tuanya selain kamu. Apakah kamu percaya bila ibumu telah melakukan suatu perbuatan seperti apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang Jahiliah, lalu kamu mempermalukannya di mata umum?" Maka Abdullah ibnu Huzafah berkata, "Demi Allah, seandainya Rasulullah ﷺ menisbatkan diriku dengan seorang budak berkulit hitam, niscaya aku mau menerimanya." .
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Husain, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ keluar dalam keadaan marah sehingga wajahnya kelihatan memerah, lalu beliau duduk di mimbar. Dan berdirilah seorang lelaki, lalu bertanya, "Di manakah ayahku?" Nabi ﷺ menjawab, "Di dalam neraka." Lalu berdiri pula lelaki lain dan berkata, "Siapakah ayahku?" Nabi ﷺ bersabda, "Ayahmu Huzafah." Kemudian berdirilah Umar atau Umar bangkit dan berkata, "Kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, Nabi Muhammad ﷺ nabi kami, dan Al-Qur'an sebagai imam kami. Sesungguhnya kami, wahai Rasulullah, masih baru meninggalkan masa Jahiliah dan kemusyrikan, dan Allah-lah yang lebih mengetahui siapakah bapak-bapak kami." Maka redalah kemarahan Nabi ﷺ, lalu turun firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.” (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat.
Sanad hadits ini jayyid (baik), dan kisah ini diketengahkan secara mursal oleh tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, antara lain Asbat, dari As-Suddi.
Disebutkan bahwa As-Suddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.” (Al-Maidah: 101) Bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ marah, lalu berdiri dan berkhotbah, antara lain beliau ﷺ bersabda: “Bertanyalah kalian kepadaku, maka sesungguhnya tidak sekali-kali kalian menanyakan sesuatu kepadaku melainkan aku akan memberitahukannya kepada kalian.” Maka majulah seorang lelaki Quraisy dari kalangan Bani Sahm yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Huzafah yang diragukan nasabnya. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah ayahku yang sebenarnya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ayahmu adalah si Fulan," lalu Nabi ﷺ memanggilnya dengan sebutan ayahnya. Maka Umar ibnul Khattab maju ke hadapan Nabi ﷺ, lalu mencium kaki Nabi ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami rela Allah sebagai Tuhan kami, engkau sebagai nabi kami, Islam sebagai agama kami, dan Al-Qur'an sebagai imam kami; maka maafkanlah kami, semoga Allah pun memaafkanmu." Umar terus-menerus melakukan demikian hingga marah Rasulullah ﷺ reda. Dan pada hari itu juga Rasulullah ﷺ bersabda: “Anak itu adalah milik firasy (ayah) dan bagi lelaki pezina tiada hak (pada anaknya).”
Imam Bukhari mengatakan: telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Abul Juwairiyah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pernah ada segolongan kaum yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ dengan memperolok-olokkannya. Seorang lelaki bertanya, "Siapakah ayahku?" Lelaki lainnya bertanya pula, "Untaku hilang, di manakah untaku?" Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini berkenaan dengan mereka: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.” (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat. Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Wardan Al-Asadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul A'la, dari ayahnya, dari Abul Bukhturi (yaitu Sa'id ibnu Fairuz), dari Ali yang menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97) Lalu mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?" Rasulullah ﷺ diam, tidak menjawab. Mereka bertanya lagi, "Apakah untuk setiap tahun?" Rasulullah ﷺ tetap diam. Kemudian mereka bertanya lagi, "Apakah untuk setiap tahun?" Rasulullah ﷺ baru menjawab: “Tidak, dan seandainya kukatakan ya, niscaya menjadi wajib; dan seandainya diwajibkan (tiap tahunnya), niscaya kalian tidak akan mampu.” Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.” (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah melalui jalur Mansur ibnu Wardan dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan, bila ditinjau dari segi ini hadits berpredikat gharib. Dan Imam At-Tirmidzi pernah mendengar Imam Bukhari mengatakan bahwa Abul Bukhturi tidak menjumpai masa Ali Ibnu Jarir yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Ibrahim ibnu Muslim Al-Hijri, dari Ibnu Iyad, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian ibadah haji.” Lalu seseorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah untuk tiap tahun?" Rasulullah ﷺ berpaling darinya, hingga lelaki itu mengulangi pertanyaannya dua atau tiga kali. Lalu Rasulullah ﷺ bertanya, "Siapakah tadi yang bertanya?" Lalu dijawab bahwa yang bertanya adalah si Fulan. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Tuhan Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaanNya, seandainya kukatakan ya, niscaya diwajibkan; dan sekiranya diwajibkan atas kalian (tiap tahunnya), maka kalian tidak akan kuat melakukannya; dan jika kalian meninggalkannya, niscaya kalian menjadi orang kafir.” Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.” (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Al-Husain ibnu Waqid, dari Muhammad ibnu Ziyad, dari Abu Hurairah; dalam riwayat ini disebutkan bahwa lelaki yang bertanya itu adalah Mihsan Al-Asadi. Sedangkan menurut riwayat lain yang juga melalui jalur ini, lelaki itu adalah Ukasyah ibnu Mihsan; riwayat yang terakhir ini lebih mendekati kebenaran. Tetapi Ibrahim ibnu Muslim Al-Hijri orangnya dha’if (lemah).
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Zakaria ibnu Yahya ibnu Aban Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdul Aziz Abul Gamr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Muti' Mu'awiyah ibnu Yahya, dari Safwan ibnu Amr; telah menceritakan kepadaku Salim ibnu Amir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah Al-Bahili menceritakan hadits berikut: Bahwa Rasulullah ﷺ berdiri di hadapan orang banyak, lalu bersabda, "Telah diwajibkan atas kalian melakukan ibadah haji." Lalu berdirilah seseorang lelaki Badui dan bertanya, "Apakah untuk setiap tahun?" Suara lelaki Badui itu lebih keras daripada suara Rasulullah ﷺ; cukup lama Rasulullah ﷺ diam saja dalam keadaan marah. Kemudian bersabda, "Siapakah orang yang bertanya tadi?" Lelaki Badui itu menjawab, "Saya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Celakalah kamu! Apakah yang menjadi kepercayaanmu jika kukatakan ya? Demi Allah, seandainya kukatakan ya, niscaya diwajibkan (tiap tahunnya); dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian kafir (ingkar). Ingatlah, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah karena dosa-dosa besar. Demi Allah, seandainya aku halalkan bagi kalian semua apa yang ada di bumi dan aku haramkan atas kalian sebagian darinya sebesar tempat khuf, niscaya kalian akan terjerumus ke dalamnya." Maka pada saat itu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.” (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat.
Tetapi di dalam sanadnya terkandung kedaifan (kelemahan). Lahiriah makna ayat menunjukkan larangan menanyakan berbagai hal yang bila dijelaskan jawabannya akan membuat buruk si penanya. Hal yang lebih utama menghadapi hal-hal seperti itu ialah berpaling darinya dan membiarkannya, yakni jangan menanyakannya. Alangkah baiknya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang menyebutkan: Telah menceritakan kepada kami Hajjaj; ia pernah mendengar Israil ibnu Yunus menceritakan dari Al-Walid ibnu Abu Hasyim maula Al-Hamdani, dari Zaid ibnu Za-id, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabatnya: “Jangan ada seseorang menyampaikan sesuatu kepadaku dari orang lain, karena sesungguhnya aku suka bila keluar menemui kalian, sedangkan aku dalam keadaan berhati lapang.”
Imam Abu Daud dan Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkannya melalui hadits Israil. Abu Daud mengatakan dari Al-Walid, sedangkan Imam At-Tirmidzi mengatakan dari Israil, dari As-Suddi, dari Al-Walid ibnu Abu Hasyim dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa bila ditinjau dari segi ini, hadits berpredikat gharib.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian” (Al-Maidah: 101)
Yakni jika kalian menanyakan hal-hal tersebut yang kalian dilarang menanyakannya di saat wahyu diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya akan dijelaskan kepada kalian. Dan hal itu sangat mudah bagi Allah.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu.” (Al-Maidah: 101)
Yakni hal-hal yang kalian lakukan sebelum itu. “Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Maidah: 101)
Menurut pendapat lain, firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur'an sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian.” (Al-Maidah: 101) Maknanya ialah "Janganlah kalian menanyakan hal-hal yang kalian sengaja memulai mengajukannya, karena barangkali akan diturunkan wahyu disebabkan pertanyaan kalian itu yang di dalamnya terkandung peraturan yang memberatkan dan menyempitkan kalian. Di dalam sebuah hadits telah disebutkan: “Orang muslim yang paling besar dosanya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, lalu menjadi diharamkan karena pertanyaannya itu.”
Tetapi jika diturunkan wahyu Al-Qur'an mengenainya secara global, lalu kalian menanyakan penjelasannya, niscaya saat itu akan dijelaskan kepada kalian karena kalian sangat memerlukannya.
“Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu.” (Al-Maidah: 101) Yakni hal-hal yang tidak disebutkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hal tersebut termasuk yang dimaafkan. Karena itu, diamlah kalian sebagaimana Nabi ﷺ diam terhadapnya. Di dalam hadits shahih disebutkan dari Rasulullah ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Biarkanlah aku dengan apa yang kutinggalkan untuk kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa hanyalah karena mereka banyak bertanya dan sering bolak-balik kepada nabi-nabi mereka (yakni banyak merujuk).”
Di dalam hadits shahih yang lain disebutkan pula: “Sesungguhnya Allah ﷻ telah menetapkan hal-hal yang fardu, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya; dan Dia telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya; dan Dia telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Dia telah mendiamkan (tidak menjelaskan) banyak hal karena kasihan kepada kalian bukan karena lupa, maka janganlah kalian menanyakannya.”
Ayat 102
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kalian menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (Al-Maidah: 102)
Yakni masalah-masalah yang dilarang itu pernah ditanyakan oleh segolongan kaum dari kalangan orang-orang sebelum kalian, lalu pertanyaan mereka dijawab, tetapi mereka tidak mempercayainya; karena itu mereka menjadi kafir, yakni ingkar kepadanya.
Dengan kata lain, dijelaskan kepada mereka apa yang mereka pertanyakan, tetapi pada akhirnya mereka tidak mengambil manfaat dari jawaban itu, karena pertanyaan yang mereka ajukan bukan untuk meminta petunjuk, melainkan pertanyaan yang mengandung ejekan dan keingkaran mereka.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Rasulullah ﷺ menyerukan kepada orang-orang pengumuman berikut. Untuk itu beliau bersabda: “Wahai kaum, telah diwajibkan atas kalian ibadah haji.” Lalu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Asad berkata, "Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?" Mendengar pertanyaan itu Rasulullah ﷺ sangat marah, lalu beliau bersabda: “Demi Tuhan Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaannya, seandainya kukatakan ya, niscaya diwajibkan; dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian tidak akan mampu, dan kalau demikian kalian menjadi kafir. Maka biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan untuk kalian; apabila aku memerintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakanlah. Dan apabila aku larang kalian dari sesuatu, maka berhentilah kalian dari (melakukan)nya. Lalu turunlah ayat ini. Allah melarang mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa dengan apa yang pernah diminta oleh orang-orang Nasrani (kepada nabi mereka), yaitu mengenai Maidah (hidangan dari langit); kemudian pada akhirnya mereka ingkar kepadanya (yakni tidak mensyukurinya). Maka Allah melarang hal tersebut dan berfirman, "Janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diturunkan wahyu Al-Qur'an mengenainya akhirnya memberatkan kalian dan kalian akan menjadi susah karenanya. Tetapi sebaiknya kalian sabar menunggu, karena apabila diturunkan lagi wahyu Al-Qur'an, niscaya akan dijelaskan kepada kalian semua hal yang masih dipertanyakan kalian itu." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian; dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian.” (Al-Maidah: 101) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ketika ayat mengenai ibadah haji diturunkan, Nabi ﷺ mempermaklumatkan kepada orang-orang melalui sabdanya: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kalian melakukan ibadah haji. Maka berhajilah kalian!” Lalu mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hanya sekali ataukah setiap tahun?" Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Tidak, tetapi hanya sekali. Seandainya kukatakan setiap tahun, niscaya diwajibkan; dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian mengingkarinya.” Kemudian Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) banyak hal.” (Al-Maidah: 101) sampai dengan firman-Nya: “Kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (Al-Maidah: 102) Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Khasif telah meriwayatkan dari Mujahid dan Ibnu Abbas mengenai firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) banyak hal.” (Al-Maidah: 101) Bahwa yang dimaksud ialah mengenai bahirah, wasilah, saibah, dan ham. Ibnu Abbas mengatakan, "Tidakkah kamu melihat bahwa sesudahnya Allah berfirman: ‘Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah'.” (Al-Maidah: 103) dan tidak disebutkan hal-hal lainnya.
Menurut Ikrimah, sesungguhnya mereka pada mulanya menanyakan tentang berbagai ayat, lalu mereka dilarang mengajukannya, dan disebutkan oleh firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kalian menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (Al-Maidah: 102) Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Yang dimaksud dengan "ayat-ayat" oleh Ikrimah ialah mukjizat-mukjizat, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy yang meminta kepada Nabi ﷺ agar beliau mengalirkan sungai-sungai buat mereka dan menjadikan Bukit Safa sebagai emas (mengubahnya menjadi emas) buat mereka, dan permintaan lainnya. Seperti yang pernah diminta oleh orang-orang Yahudi agar diturunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit, padahal Allah ﷻ telah berfirman: “Dan sekali-kali tidak ada yang menghalang-halangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (Al-Isra: 59) .
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mukjizat, pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah, "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi Allah. Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman. Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-An'am: 109-111)
Wahai orang-orang yang beriman, yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya! Janganlah kamu menanyakan kepada Nabimu hal-hal yang jika diterangkan kepadamu justru menyusahkan dan berdampak buruk bagi kamu. Sebab dalam Islam yang terpenting bukan bertanya, tetapi semangat untuk melaksanakan. Sebaliknya jika kamu bertanya kepada Nabi tentang masalah-masalah itu ketika Al-Qur'an sedang diturunkan, niscaya jawabannya akan diterangkan kepadamu dengan sejelas-jelasnya. Allah telah memaafkan kamu tentang hal itu, menanyakan masalah-masalah yang sudah jelas bagi orang-orang beriman. Dan Allah Maha Pengampun kepada orang-orang yang menyadari kesalahannya dengan bertobat, dan Maha Penyantun kepada seluruh hamba-hamba-Nya. Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya suatu kaum sebelum kamu, yaitu kaum Yahudi umat Nabi Musa, sungguh telah memohon kepada Nabi Musa agar bisa melihat Allah dengan nyata, tetapi setelah permohonan itu dipenuhi, mereka tidak sanggup melihat-Nya dan pingsan. Kemudian mereka menjadi kafir setelah Allah memberikan bukti bahwa mereka tidak akan pernah sanggup melihat Allah.
Dalam ayat ini Allah memberikan bimbingan kepada hamba-Nya, agar mereka menerima apa-apa yang telah diturunkanNya dan yang telah disampaikan oleh rasul-Nya kepada mereka, agar mereka tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang beraneka ragam, bila jawaban pertanyaan itu diberikan kepada mereka maka akan terasa memberatkan mereka sendiri, karena akan dirasakan menambah beban dan kewajiban mereka. Apalagi jika pertanyaan yang diajukan itu dimaksudkan untuk menguji Nabi, apakah Al-Qur'an sama atau tidak dengan kitab suci yang mereka terima, atau mereka bahkan mencari keringanan dari berbagai kewajiban yang dibebankan Allah.
Selanjutnya ayat ini menjelaskan, bahwa apabila mereka menanyakan sesuatu yang belum jelas kepada Nabi ketika turun ayat yang berkenaan dengan masalah itu, dan pertanyaan tersebut memang perlu dijawab untuk memahami isi dan maksud dari ayat tersebut, maka Allah membolehkannya. Bahkan kita disuruh bertanya jika ada hal yang belum kita pahami, sebagaimana firman Allah pada Surah an-Nahl/16: 43:
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (an-Nahl/16: 43)
Akhir ayat ini menegaskan, bahwa Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Penyantun. Maksudnya: ialah, Allah mengampuni orang-orang yang mengajukan pertanyaan yang benar-benar berfaedah, dan hal-hal yang tidak disebutkan dalam kitab-Nya, dan hal-hal yang tidak dibebankan-Nya kepada hamba-Nya, dan larangan-Nya kepada mereka untuk tidak mengajukan pertanyaan kepada Rasul yang bersifat menguji atau mengejek dapat menambah beratnya beban mereka, larangan ini merupakan rahmat-Nya kepada hamba-Nya; sehubungan dengan ini, Rasulullah telah bersabda:
Sesungguhnya Allah telah menentukan beberapa kewajiban yang harus kamu tunaikan, maka janganlah disia-siakan; dan Dia telah melarang kamu dari melakukan beberapa macam perbuatan, maka janganlah kamu melanggarnya; dan Dia telah menetapkan beberapa pembatasan, maka janganlah kamu lampaui; dan Dia telah memaafkan kamu dari berbagai hal, bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya. (Riwayat ad-Daruquthni)
Sehubungan dengan ampunan Allah yang tersebut dalam ayat ini, dapat juga dipahami, bahwa Allah memaafkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan sebelum larangan ini, sehingga dengan demikian Allah tidak menimpakan siksa, karena amat luasnya ampunan dan kesantunanNya kepada hambaNya. Ini sesuai dengan firman-Nya pada ayat-ayat yang lain, di antaranya ialah:
Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. (al-Ma'idah/5:95).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 98
“Ketahuilah olehmu bahwasanya Allah adalah sangat pedih siksa-Nya dan sesungguhnya Allah-pun sangat Pengampun lagi Penyayang."
Oleh sebab itu, jagalah kemanusiaanmu dan peliharalah kemurnian akal dan budimu. Engkau hanya satu makhluk kecil saja di antara alam raga yang besar ini. Alam penuh dengan peraturan Allah dengan sunnatullah. Kalau engkau langgar peraturan yang telah ditentukan Allah, engkau pasti jatuh. Adzab Allah pasti datang dan adzab itu sangat pedih tidak tertanggungkan. Engkau manusia! Engkau bukan batu yang bergolek-golek di pinggir jalan, tetapi engkau mempunyai tenaga untuk hidup, mempunyai diriamika. Engkau sendiri merasakan itu. Engkau hidup selalu di dalam perjuangan dan cita-cita yang mulia dan murni, hendak naik ke derajat yang paling tinggi; berjuang dengan hawa nafsu angkara murka, syahwat yang kadang-kadang tidak terken-dalikan. Kalau tuntunan Ilahi tidak engkau turuti, janganlah menyesal jika adzab yang pedih itu datang. Namun, di samping hukumnya yang harus dan adzab-Nya yang pedih, Allah pun pengampun dan penyayang. Yaitu kepada orang yang selalu berusaha memperbaiki diri, meninggikan mutu diri, membersihkan dan menyucikan batin, membuang perangai tercela, menggantinya dengan perangai yang terpuji, beriman dan beramal saleh. Meskipun tadiriya pernah bersalah atau merasa kesalahan-kesalahan tidak dapat dikikis habis dari diri karena rangsangan-rangsangan nafsu, asal engkau berjuang melawannya mengimbangi kesalahan yang sedikit dengan kebajikan yang banyak, Allah dapat memberimu ampun. Allah dapat menutupi cacat yang sedikit dengan kebajikan yang banyak. Sudah nyata bahwa tidak seorang pun manusia yang sunyi daripada khilaf dan alpa. Namun, dia diberi ampun dan disayangi juga oleh Allah, kalau ternyata dia selalu berusaha menegakkan kebajikan.
Selama kita hidup, apalagi jika kita telah mengakui bahwa kita orang yang beriman, hendaklah kita tanamkan benar-benar ayat ini dalam hati kita. Adzab Allah sangat pedih. Oleh sebab itu, berusahalah kita mengelakkan diri sedapat kita dari dorongan kesalahan. Dan Allah Pengampun dan Penyayang. Kemudian, berusahalah mengisi hidup kita dengan se-banyak-banyak kebajikan. Semoga di Padang Mahsyar esok, ketika ditimbang, yang baik jugalah hendaknya yang lebih berat daripada yang jahat.
Ayat 99
“Tidak ada kewajiban bagi Rasul, melainkan menyampaikan."
Ayat ini adalah penjelasan bahwasanya hak yang mutlak menentukan adzab atau ampunan hanya semata-mata pada Allah. Rasul sendiri tidak ada kekuasaan sedikit pun menentukan itu. Kewajiban Rasul hanya satu, yaitu menyampaikan petunjuk Allah kepada makhluk: yang ini disukai Allah dan yang itu dibenci-Nya. Yang ini disuruh Allah dan yang itu dilarang-Nya. Sedikit pun dia tidak boleh menyembunyikan itu sebagaimana yang telah tersebut juga pada ayat-ayat yang lalu. Oleh karena itu, batal dan tertolaklah persangkaan orang-orang musyrik dan tersesat yang mengharapkan semoga Rasul pun atau manusia pun dapat menolong mereka meringankan adzab atau menambah pahala mereka.
“Dan Allah adalah mengetahui apa yang kamu labilkan dan apa yang kamu sembunyikan."
Dengan lanjutan keterangan ini, jelaslah lagi inti tauhid. Tiap-tiap kita langsungbertang-gung jawab kepada Allah, langsung dengan tidak ada perantaraan. Beramal dan beribadah karena Allah dan kepada Allah saja. Mana yang tidak terang, kita cari keterangan dari Rasul. Jalan itu sudah terentang dan kita akan menempuh jalan itu; dan Rasul menunjukkan kepada kita, disuruh menyampaikan kepada kita, bagaimana menempuh jalan itu yang dikehendaki oleh Allah. Rasul sekali-kali tidak membuat jalan sendiri. Dengan segala tingkah laku kita, apa yang kita perlihatkan dengan nyata dan apa yang kita sembunyikan, semua diketahui oleh Allah.
Sampai kelak pun, ketika diadakan hisab (perhitungan) dan mizan (pertimbangan) di hadapan hadirat Ilahi di akhirat, tiap-tiap kita bertanggung jawab langsung di hadapan Allah. Kalau pun rasul-rasul didatangkan dalam majelis pengadilan tertinggi itu, beliau pun tiada juga dapat mengetahui lahir dan batin kita. Beliau hanya semata-mata dipanggil untuk jadi saksi, apakah telah disampaikannya apa yang dahulu mesti disampaikan kepada kita? Itulah sebabnya, ketika Abdullah bin Mas'ud disuruh Rasul ﷺ membaca Al-Qur'an, sebaik sampai bacaannya pada ayat 40 dari surah an-Nisaa', beliau menangis, sebab kasih mesranya kepada umatnya, sebagai yang telah kita lihat tafsirnya terlebih dahulu. Beliau menangis karena yang akan dapat menolong umat itu dari ancaman Allah hanyalah amal mereka sendiri.
Ayat 100
“Katakanlah, Tidaklah sama barang yang buruk dengan yang baik, walaupun engkau tercengang oleh banyaknya yang batuk"
Ayat ini memperteguh lagi keterangan sebelumnya. Kalau Allah menyiksa, sangatlah pedih siksa-Nya. Yang disiksa ialah orang yang memilih jalan yang buruk dan kelakuan yang buruk. Namun, Allah pun Pengampun dan Penyayang kepada orang yang berjuang mengalahkan diri dari yang buruk dan memilih yang baik. Akal yang terdidik oleh petunjuk agama dapat membedakan buruk dan baik. Akal dapat menilai mana yang mudharat dan mana yang manfaat. Mana yang haram dan mana yang halal. Mana yang adil dan mana yang zalim. Mana kebodohan dan mana ilmu pengetahuan. Mana yang merusak dan mana yang memperbaiki. Mana yang talih dan mana yang saleh.
Mana yang keras kepala dan mana yang patuh. Mana yang kafir dan mana yang Mukmin. Akal dapat membedakan itu semua, terutama kalau ia telah diasuh dengan petunjuk Ravi sedangkan Rasul telah menyampaikan kewajibannya. Yang buruk tetap buruk dan yang baik tetap baik."Walaupun engkau tercengang oleh banyaknya yang buruk." Kadang-kadang orang yang berjuang di atas jalan yang baik seret jalannya, sedangkan yang berjuang di atas jalan jahat lancar tampaknya. Kadang-kadang harta yang haram, riba, tipu, korupsi, uang suap, pengkhianatan mudah didapat Di sisi lain, orang yang mencari dengan cara halal, hanya sedikit saja masuknya. Namun, hati sanubari, akal yang murni tetap mengatakan bahwa yang baik tetaplah baik, walaupun sedikit. Kejahatan tetap jahat, walaupun banyak masuknya. Sebab, akal yang murni itu adalah melihat akibat yang di belakang bukan hanya semata-mata mempercermin yang kelihatan oleh mata sekarang saja. Kadang-kadang bertemu beribu-ribu manusia. Meskipun mereka beribu-ribu, atau bahkan berjuta-juta, mereka tidak ada artinya. Yang berarti hanyalah segolongan kecil manusia yang pikirannya lebih bermutu dan dapat memimpin orang yang berjuta-juta itu.
Pada zaman Islam baru timbul di Mekah, yang menjadi orang Mukmin adalah golongan kecil yang terpaksa sembunyi-sembunyi melakukan ibadah dan keyakinannya, menimbulkan kebencian orang banyak. Adapun golongan terbesar waktu itu adalah penyembah berhala. Mereka adalah orang-orang kaya dan berpengaruh. Meskipun banyak, mereka tetap buruk karena menyembah berhala. Umat beriman, walaupun hanya sedikit menyembah Allah Yang Maha Esa, dan tetaplah itu yang benar.
Di sinilah kita mengkaji apa yang diriamai dalam istilah ‘Arabi di antara kammtyah dengan kaifiyah dan menurut istilah bahasa Barat di antara kuantitas dengan kualitas, di antara banyak bilangan dengan mutu. Berfirmanlah Allah di akhir ayat:
“Maka takwalah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran, supaya kamu beroleh kejayaan."
Di sinilah orang yang'ulul-albab' yang memiliki inti pikiran disuruh bertakwa kepada Allah. Di sini, dipersambungkanlah pikiran cerdas dengan takwa kepada Allah. Karena dengan takwa kepada Allah pikiran tadi takkan terombang-ambing, tidak akan terpesona melihat banyaknya yang buruk, yang kerap kali seakan-akan menang. Dengan takwanya kepada Allah, dapatlah dia menahan diri dan tetap berpegang pada yang baik. Meskipun akal cerdas, kalau takwa tidak ada bisa dipergunakan untuk hal-hal yang buruk. Padahal apabila telah karam ke dalam gelombang keburukan, kesengsaraan j ualah yang akan dirasakan kelak. Padahal dengan memelihara takwa kepada Allah, diri dapat bertahan, yang akhirnya akan membawa pada kemenangan dan kejayaan. Seperti bunyi pepatah: “Bahagialah orang yang tertawa kemudian."
Al-Qur'an pernah juga mengemukakan contoh di dalam surah al-Qashash: ayat 76-82, tentang Qarun yang mendapat banyak harta dan kemegahan dan kedudukan, tetapi menempuh jalan buruk. Banyak orang yang terpesona, tetapi orang yang berilmu, berpikiran, dan bertakwa tidak terpengaruh oleh itu. Akhirnya Qarun jatuh hancur, ditelan bumi, hilang dari arena. Adapun orang yang telah terpesona tadi, dia lalu bersyukur kepada Allah karena tidak menuruti jalan Qarun.
Diriwayatkan orang dari Abu Hurairah r.a. bahwa dia pernah berkata, “Satu dirham yang halal lebih aku sukai daripada 100 ribu dirham, padahal haram. Maka bacalah kitab Allah, ‘Tidak sama barang buruk dan yang baik.'"
Di sinilah kita dapat merenungkan betapa luasnya pendidikan Islam ke dalam diri dan masyarakat Muslim. Selain dari tiap-tiap diri diwajibkan terutama mengerjakan shalat lima waktu, dapat lagi pendidikan penyempurnaan, yaitu hendaklah shalat itu dilakukan dengan berjamaah. Artinya pribadi sendiri diperkuat dengan ibadah dan lebih diperkuat lagi jika ditumbuhkan pergaulan yang baik sesama Muslim. Shalat berjamaah 27 kali lebih tinggi pahalanya dibandirigkan shalat sendiri. Jamaah itu menimbulkan pergaulan yang sehat. Pergaulan dari orang-orang yang sama-sama mencintai ibadah. Keteguhan pertalian jamaah dengan bimbingan iman, menyebabkan orang yang terikat di dalamnya tidak terpesona dengan yang buruk, walaupun betapa banyaknya. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Agama itu adalah pergaulan."
Zaman sekarang ini, pergaulan atau lingkungan sangat menentukan kehalusan pribadi. Pergaulan umum yang banyak kita lihat ialah pergaulan mungkar, pergaulan keji. Jadi dengan segala macam ragamnya, telah menjadi permainan umum. Minuman keras alkohol memesona. Kaum perempuan membuka auratnya di muka umum; dadanya didedahkannya, betis dan pahanya dibukanya, perut dan pusarnya dipertontonkannya. Orang yang tidak mau memasuki pergaulan yang sudah penuh najis itu dituduh orang kolot.
Semuanya keji, semuanya buruk. Yang buruk lebih banyak tertonjol dari yang baik. Namun orang yang beriman, yang teguh pergaulannya dalam masyarakat Islam tidaklah akan terpesona oleh banyaknya yang buruk itu.
Yang haram tetap haram, walaupun yang haram itu telah melilit seluruh muka bumi. Yang baik tetap baik, walaupun orang yang mengamalkannya sudah kelihatan sedikit.
Oleh sebab itu, untuk memperteguh peni-laianyangbaiktetapbaik, walaupun sedikitdan yang buruk tetap buruk, walaupun besarnya sudah laksana gelombang di lautan, pupuklah rasa takwa dalam diri dan perteguhlah jamaah yang sepaham.
Ar-Razi dalam tafsirnya telah menguraikan ketika menafsirkan ayat ini, yang buruk dan yang baik adalah dua macam:Pertama, buruk-baik yang menubuh yang jelas kelihatan oleh mata dan tampak oleh semua orang. Kedua, buruk baik yang ruhaniah sifatnya. Buruk yang paling buruk yang bersifat ruhaniah ialah bodoh dan maksiat. Dan baik yang paling yang bersifat ruhaniah ialah mengenal (ma'rifat) Allah dan taat kepada-Nya karena tubuh kasar yang dibeliti najis tampak amat kotor oleh orang yang mempunyai tabiat sehat. Demikian pulalah arwah yang ditimpa penyakit bodoh dan maksiat dan tidak memedulikan ketaatan kepada Allah, arwah yang demikian pun kotor dipandang oleh arwah yang telah mencapai kesempurnaan dan kesucian. Adapun arwah yang arif dengan Allah, yang selalu setia, dan setia melaksanakan perintah-Nya maka arwah yang demikian akan bersinar gilang-gemilang dengan cahaya-cahaya ma'rifatullah. Arwah yang demikian senantiasa bahagia karena merasa dekat dengan ruh-ruh yang suci lagi qudus.
Sebagaimana yang buruk dan yang baik dalam alam jasmaniah tidak sama, demikian pula buruk dan baik dalam alam ruhaniah tidak juga sama. Bahkan perbedaan dalam alam ruhaniah lebih jelas lagi. Karena bahaya dari keburukan yang melengket pada jasmani hanya kecil saja dan manfaat kebaikan jasmani pun sesuatu yang terbatas. Namun, keburukan yang bersifat ruhaniah, mudharatnya lebih besar, lebih lama, dan berlarut-larut. Dan kebaikan yang ruhaniah mempunyai manfaat yang lebih besar dan lebih lama dan lebih abadi pula. Sebab, ia terletak rapat dengan Allah rabbul-alamin dan termasuk dalam barisan malaikat yang mukarrabin, berteman karib dengan nabi-nabi, orang-orang yang shidiq, syuhada, dan salihin. Inilah sebab utama mengapa agama mengajak kita berbuat taat dan mengancam kita jangan mendekati maksiat.
Sekian ar-Razi!
(101) Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu tanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu akan menyusahkan kamu. Tetapi, jika kamu bertanya dari hal (ayat-ayat) itu seketika diturunkan Al-Cjurian itu, niscaya akan diterang-kanlah kepada kamu. Allah telah memaafkan kamu karena Allah itu adalah Pengampun lagi Pemaaf.
(102) Sesungguhnya telah menanyakan akan hal itu suatu kaum sebelum kamu. Kemudian, jadilah mereka orang-orang yang kafir lantaran itu.
Tadi sudah diterangkan kewajiban Rasul ialah menyampaikan. Hukum halal dan haram, baik dan buruk, manfaat dan mudharat, semuanya sudah diterangkan oleh Rasul. Bahkan kisah-kisah umat yang terdahulu pun beliau sampaikan, sebagai wahyu dari Allah untuk kamu jadikan pengajaran dan perbandirigan. Dalam pada itu, pergunakanlah akalmu sendiri dengan dasar takwa untuk menyisihkan buruk dengan baik itu. Dapatlah kita pengertian yang langsung dari Al-Qur'an bahwa menerima agama hendaklah dengan akal dan yang merasai nikmat beragama ialah orang yang ‘ulul albab', berpikiran cerdas yang didasarkan pada takwa. Meskipun hadits-hadits yang menyatakan keutamaan akal yang banyak disalin oleh Imam Ghazali di dalam Al-Ihya' banyak hadits yang lemah (dhaif) menurut ilmu ha-dits. Namun ijtihad kita dalam menerima Al-Qur'an sudah memastikan bahwa terlepas hadits-hadits itu lemah, artinya telah menjadi kuat, sebab Al-Qur'an mengatakan demikian. Oleh sebab itu, terimalah segala apa yang telah disampaikan Nabi dengan akalmu dan tak usahlah kamu banyak bertanya dan mengorek-ngorek lagi. Sebab, kadang-kadang pertanyaan itu kalau mendapat jawaban, hanyalah akan mempersulit dirimu sendiri.
Ayat 101
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu tanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu akan menyusahkan kamu."
Banyak disalinkan oleh ahli-ahli tafsir tentang turunnya ayat-ayat ini. Di antaranya sebagai yang diriukilkan oleh al-Qushthallani di dalam syarahnya dari riwayat Muhammad bin Zayyad dari Abu Hurairah, bahwa pada suatu ketika Rasulullah ﷺ berkhutbah di atas mimbar menerangkan wajib mengerjakan haji. Kemudian ada seorang yang bertanya, “Apakah tiap-tiap tahun, ya, Rasulullah?" Nabi diam saja. Namun, dia masih saja mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali; yang mulanya didiamkan saja oleh Rasulullah ﷺ Akhirnya beliau tegaskan, “Kalau aku jawab dengan, ‘Memang' (tiap tahun) tentu menjadi kewajiban bagi kamu, sedangkan kamu tidak akan sanggup mengerjakannya."
Menurut satu riwayat pula dari Anas bin Malik, pernah pula mereka bertanya berbagai pertanyaan sehingga bosanlah beliau dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dan menurut riwayat Bukhari dan Muslim dan hadits Abu Musa al-Asy'ari, “Tatkala telah banyak mereka bertanya itu, kelihatan wajah beliau marah, sampai beliau berkata, ‘Mau bertanya lagi?'" Malahan di dalam riwayat lain ada pula yang menanyakan kepada Rasulullah ﷺ siapa ayahnya sehingga tersinggung perasaan ibunya sendiri, sebab dia bertanya itu di hadapan orang banyak, seakan-akan pada zaman jahi-liyyah dia mengadakan hubungan yang tidak baik dengan seorang laki-laki.
Oleh sebab itu, datanglah larangan setegas ini. Meskipun Rasul wajib menyampaikan apa yang telah diperintahkan Allah untuk menyampaikan, janganlah terlalu banyak mengajukan pertanyaan, sebab pertanyaan tersebut kelak akan mempersusah dirimu sendiri, mempersempit kamu, padahal kamu dapat mempergunakan akal untuk memikirkannya. Sebagai orang yang bertanya apakah wajib mengerjakan haji tiap tahun itu, alangkah tepatnya jawab Rasulullah ﷺ, “Kalau aku katakan memang wajib tiap tahun, berat bagi kamu dan kamu tidak akan sanggup mengerjakannya!"
“Tetapi jika kamu bertanya perihal (ayat-ayat) ketika diturunkan Al-Qur'an itu, niscaya akan diterangkanlah kepada kamu." Artinya, kalau ada ayat turun dan kurang jelas oleh kamu maksudnya lalu kamu tanyakan di sekeliling ayat itu saja, supaya jelas, niscaya Rasul itu akan menjelaskannya kepada kamu dengan Sunnahnya, yaitu perkataannya atau perbuatannya atau takrirnya. Pertanyaan yang begitu tidaklah mengapa karena itu hanya semata-mata penjelasan bukan untuk mempersulit diri sendiri.
Larangan bertanya bertele-tele yang akan mempersukar keadaan sendiri itulah yang telah dikuatkan oleh beberapa hadits yang shahih. Satu di antaranya kita salinkan, yaitu sebuah dari hadits Arba'in (catatan Imam Nawawi) yang terkenal:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kamu sia-siakan. Dan Dia telah mengadakan beberapa batas-batas maka janganlah kamu lampaui akan dia. Dan Dia telah mengharamkan beberapa hal maka janganlah kamu langgar akan dia. Dan Dia telah diam dari beberapa hal, sebagai rahmat buat kamu, bukanlah karena Dia lupa. Maka, janganlah kamu cari-cari daripadanya." (Berkata Nawawi: Hadits hasan diravvikan oleh ad-Daruquthni dan lain-lain)
Selanjutnya berfirmanlah Allah,
“Allah telah memaafkan kamu daripadanya karena Allah ilu adalah Pengampun lagi Pemaaf."
Artinya, ketelanjuran kamu suka bertanya-tanya dan mengorek-ngorek Rasul pada zaman yang sudah-sudah itu telah diberi maaf oleh Allah sebab waktu itu kamu belum tahu bahayanya dari diri kamu. Namun, untuk selanjutnya janganlah berbuat begitu lagi.
“Selanjutnya telah menanyakan akan hal itu suatu kaum sebelum kamu. Kemudian itu jadilah mereka orang-orang yang kafir lantaran itu"
(ayat 102)