Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِنۡ
dan jika
خِفۡتُمۡ
kamu takut
أَلَّا
bahwa tidak
تُقۡسِطُواْ
kamu berlaku adil
فِي
dalam/terhadap
ٱلۡيَتَٰمَىٰ
anak-anak yatim
فَٱنكِحُواْ
maka nikahilah
مَا
apa
طَابَ
baik/senangi
لَكُم
bagi kalian
مِّنَ
dari
ٱلنِّسَآءِ
perempuan-perempuan
مَثۡنَىٰ
berdua
وَثُلَٰثَ
dan bertiga
وَرُبَٰعَۖ
dan berempat
فَإِنۡ
maka jika
خِفۡتُمۡ
kamu takut
أَلَّا
bahwa tidak
تَعۡدِلُواْ
kamu berlaku adil
فَوَٰحِدَةً
maka satu saja
أَوۡ
atau
مَا
apa
مَلَكَتۡ
kamu miliki
أَيۡمَٰنُكُمۡۚ
tangan kananmu/budakmu
ذَٰلِكَ
demikian itu
أَدۡنَىٰٓ
lebih dekat
أَلَّا
bahwa tidak
تَعُولُواْ
kamu berbuat aniaya
وَإِنۡ
dan jika
خِفۡتُمۡ
kamu takut
أَلَّا
bahwa tidak
تُقۡسِطُواْ
kamu berlaku adil
فِي
dalam/terhadap
ٱلۡيَتَٰمَىٰ
anak-anak yatim
فَٱنكِحُواْ
maka nikahilah
مَا
apa
طَابَ
baik/senangi
لَكُم
bagi kalian
مِّنَ
dari
ٱلنِّسَآءِ
perempuan-perempuan
مَثۡنَىٰ
berdua
وَثُلَٰثَ
dan bertiga
وَرُبَٰعَۖ
dan berempat
فَإِنۡ
maka jika
خِفۡتُمۡ
kamu takut
أَلَّا
bahwa tidak
تَعۡدِلُواْ
kamu berlaku adil
فَوَٰحِدَةً
maka satu saja
أَوۡ
atau
مَا
apa
مَلَكَتۡ
kamu miliki
أَيۡمَٰنُكُمۡۚ
tangan kananmu/budakmu
ذَٰلِكَ
demikian itu
أَدۡنَىٰٓ
lebih dekat
أَلَّا
bahwa tidak
تَعُولُواْ
kamu berbuat aniaya
Terjemahan
Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.
Tafsir
(Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim) sehingga sulit bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan arti siapa (yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat orang) boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. (kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil) di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah (maka hendaklah seorang saja) yang kamu kawini (atau) hendaklah kamu batasi pada (hamba sahaya yang menjadi milikmu) karena mereka tidak mempunyai hak-hak sebagaimana istri-istri lainnya. (Yang demikian itu) maksudnya mengawini empat orang istri atau seorang istri saja, atau mengambil hamba sahaya (lebih dekat) kepada (tidak berbuat aniaya) atau berlaku lalim.
Tafsir Surat An-Nisa': 2-4
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kalian makan harta mereka bersama-sama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar.
Dan jika kalian khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim.
Berikanlah mas-kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Ayat 2
Allah ﷻ memerintahkan agar menyerahkan harta benda anak-anak yatim apabila mereka telah mencapai usia baligh yang sempurna dan dewasa. Allah melarang memakan harta anak yatim serta menggabungkannya dengan harta yang lainnya. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk.” (An-Nisa: 2)
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Saleh, "Janganlah kamu tergesa-gesa dengan rezeki yang haram sebelum datang kepadamu rezeki halal yang telah ditakdirkan buatmu."
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Janganlah kalian menukar harta halal milik kalian dengan harta haram milik orang lain." Yakni janganlah kalian menukarkan harta kalian yang halal, lalu kalian makan harta mereka yang
haram bagi kalian.
Sa'id ibnul Musayyab dan Az-Zuhri mengatakan, "Janganlah kamu memberi kambing yang kurus dan mengambil kambing yang gemuk.”
Ibrahim An-Nakha'i dan Adh-Dhahhak mengatakan, "Janganlah kamu memberi yang palsu dan mengambil yang baik."
As-Suddi mengatakan, "Seseorang di antara mereka mengambil kambing yang gemuk dari ternak kambing milik anak yatim, lalu menggantinya dengan kambing yang kurus, kemudian kamu katakan, 'Kambing dengan kambing.’
Janganlah kamu mengambil dirham yang baik, lalu menggantikannya dengan dirham yang palsu, kemudian kamu katakan, 'Dirham ditukar dengan dirham lagi'."
Firman Allah ﷻ: “Jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian.” (An-Nisa: 2)
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil ibnu Hayyan, As-Suddi, dan Sufyan Ibnu Husain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'janganlah kalian mencampuradukkan harta kalian dengan harta anak-anak yatim, lalu kalian memakannya secara bersamaan (yakni tidak dipisahkan)'
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya perbuatan tersebut adalah dosa yang besar.” (An-Nisa: 2)
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan huban ialah dosa, yakni dosa yang besar.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai firman-Nya: “Dosa yang besar.” (An-Nisa: 2) Yang dimaksud dengan huban kabiran ialah dosa besar. Akan tetapi di dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi, sedangkan dia orangnya dha’if.
Telah diriwayatkan hal yang sama dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Adh-Dhahhak, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, dan Abu Sinan yang isinya mirip dengan perkataan Ibnu Abbas.
Di dalam hadits yang diriwayatkan di dalam kitab Sunan Abu Dawud disebutkan: “Ampunilah dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan berikut sanadnya sampai kepada Wasil maula Abu Uyaynah, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas, bahwa Abu Ayyub menceraikan istrinya. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Wahai Abu Ayyub, sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub adalah dosa!”
Menurut Ibnu Sirin yang dimaksud dengan al-hub adalah dosa.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa telah menceritakan kepada kami Haudah ibnu Khalifah, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Anas, bahwa Abu Ayyub bermaksud hendak menceraikan Ummu Ayyub (istrinya). Maka ia meminta izin kepada Nabi ﷺ, tetapi Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub benar-benar dosa.” Maka Abu Ayyub tidak jadi menceraikannya dan tetap memegangnya (sebagai istrinya).
Ibnu Mardawaih dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadits Ali ibnu ‘Ashim, dari Humaid At-Tawil yang mendengar dari sahabat Anas ibnu Malik pula bahwa Abu Talhah bermaksud menceraikan Ummu Sulaim (yakni istrinya). Maka Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya menceraikan Ummu Sulaim benar-benar dosa.” Maka Abu Talhah mengurungkan niatnya.
Makna ayat adalah sesungguhnya bilamana kalian makan harta kalian yang dicampur dengan harta mereka (anak-anak yatim) maka hal itu adalah dosa besar dan merupakan kesalahan fatal; maka jauhilah perbuatan tersebut.
Ayat 3
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian khawatir tidak akan mamput berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua.” (An-Nisa: 3)
Yakni apabila di bawah asuhan seseorang di antara kalian terdapat seorang anak perempuan yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak mampu memberikan kepadanya mahar misil-nya (mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan, dan disesuaikan menurut jumlah dan bentuk yang biasa diterima keluarga pihak istri karena tidak ditentukan sebelumnya dalam akad nikah), hendaklah ia beralih mengawini wanita lain, karena sesungguhnya wanita lain cukup banyak; Allah tidak akan membuat kesempitan buatnya.
Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah, dari ayah-nya, dari Aisyah, bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan yatim, lalu ia menikahinya. Sedangkan anak perempuan yatim itu mempunyai sebuah kebun kurma yang pemeliharaannya dipegang oleh lelaki tersebut, dan anak perempuan yatim itu tidak mendapat sesuatu maskawin pun darinya. Maka turunlah firman-Nya: “Dan jika kalian khawatir tidak akan mampu berlaku adil.” (An-Nisa: 3) Menurut keyakinanku, dia (si perawi) mengatakan bahwa anak perempuan yatim tersebut adalah teman seperseroan lelaki itu dalam kebun kurma, juga dalam harta benda lainnya.
Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya: “Dan jika kalian takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya).” (An-Nisa: 3) Siti Aisyah mengatakan, "Wahai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang dimaksud berada dalam asuhan walinya dan berserikat dengannya dalam harta bendanya. Lalu si wali menyukai harta dan kecantikannya, maka timbullah niat untuk mengawininya tanpa berlaku adil dalam maskawinnya; selanjutnya ia memberinya maskawin dengan jumlah yang sama seperti yang diberikan oleh orang lain kepadanya (dan itu tidak sepantasnya).”
Maka mereka dilarang menikahi anak-anak yatim seperti itu kecuali jika berlaku adil dalam mas kawinnya, dan hendaklah maskawinnya mencapai batas maksimal dari kebiasaan mas kawin untuk perempuan sepertinya. Jika para wali tidak mampu berbuat demikian, mereka diperintahkan untuk kawin dengan wanita lain selain anak-anak perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya.
Urwah mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya ada orang-orang yang meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ sesudah ayat di atas. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita' (An-Nisa: 127)." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa diturunkan pula ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Sedangkan kalian ingin mengawini mereka.” (An-Nisa: 127) Karena ketidaksukaan seseorang di antara kalian terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan maskawin yang adil. Itu karena ketidaksukaan mereka terhadap anak-anak yatim disebabkan sedikit hartanya dan tidak cantik.
Firman Allah ﷻ: “Dua, tiga, empat.” (An-Nisa: 3)
Nikahilah wanita mana pun yang kamu sukai selain dari anak yatim: jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: “Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat.” (Fathir: 1) Maksudnya, di antara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap, tiga buah sayap, ada pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain dari itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya malaikat selain itu. Masalahnya lain dengan dibatasinya kaum lelaki yang hanya boleh menikahi empat orang wanita. Maka dalilnya berasal dari ayat ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan. Seandainya diperbolehkan mempunyai istri lebih dari itu (yakni lebih dari empat orang), niscaya hal ini akan disebutkan oleh firman-Nya.
Imam Syafii mengatakan, "Sesungguhnya sunnah Rasulullah ﷺ yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah ﷺ tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita." Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini telah disepakati di kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syiah yang mengatakan, "Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang."
Sebagian dari kalangan Syi'ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah ﷺ dalam hal menghimpun istri lebih banyak daripada empat orang sampai sembilan orang seperti yang disebutkan di dalam hadits shahih.
Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafal hadits yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari; sesungguhnya Imam Al-Bukhari sendiri telah men-ta'liq-nya (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri.
Hal ini menurut para ulama termasuk kekhususan bagi Nabi ﷺ sendiri, bukan untuk umatnya; karena adanya hadits-hadits yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, yaitu membatasi istri hanya sampai empat orang. Dalam pembahasan berikut kami akan mengemukakan hadits-hadits yang menunjukkan kepada pengertian tersebut.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, Ibnu Ja'far mengatakan bahwa di dalam haditsnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dad Salim, dari ayahnya, bahwa Gailan ibnu Salamah As-Saqafi masuk Islam; saat itu ia mempunyai sepuluh orang istri. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja.”
Ketika di masa pemerintahan Khalifah Umar, Gailan menceraikan semua istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara semua anaknya. Hal tersebut terdengar oleh sahabat Umar, maka ia berkata (kepada Gailan), "Sesungguhnya aku tidak menduga setan dapat mencuri pendengaran (dari pembicaraan para malaikat) mengenai saat kematianmu, lalu membisikkannya ke dalam hatimu. Yang jelas. barangkali kamu merasakan masa hidupmu tidak akan lama lagi. Demi Allah, kamu harus merujuk istri-istrimu kembali dan kamu harus mencabut kembali pembagian harta bendamu itu atau aku yang akan memberi mereka warisan dari hartamu, lalu aku perintahkan membuat lubang kuburan buatmu, kemudian kamu dirajam sebagaimana Abu Riqal dirajam dalam kuburannya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Syafii, Imam At-Tirmidzi, Imam Ibnu Majah, Imam Daruqutni, dan Imam Bailiaqi serta lain-lainnya melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Ulayyah, Gundar, Yazid ibnu Zurai', Sa'id ibnu Abu Arubah, Sufyan Ats-Tsauri, Isa ibnu Yunus, Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dan Al-Fadl ibnu Musa serta lain-lain dari kalangan para penghafal hadits, dari Ma'mar berikut sanadnya dengan lafal yang mirip sampai pada sabda Nabi ﷺ: “Pilihlah olehmu empat orang saja di antara mereka!”
Sedangkan lafal lainnya mengenai kisah Umar termasuk atsar yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Tetapi hal ini merupakan tambahan yang baik dan sekaligus melemahkan analisis yang dikemukakan oleh Imam Al-Bukhari terhadap hadits ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi darinya. Dalam riwayatnya itu Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini tidak ada yang hafal. Tetapi yang benar ialah hadits yang diriwayatkan oleh Syu'aib dan lain-lainnya, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa dia menceritakan hadits berikut dari Muhammad ibnu Abu Suwaid ibnus Saqafi, Gailan ibnu Salamah, hingga akhir hadits.
Imam Al-Bukhari mengatakan, "Sesungguhnya hadits Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya hanyalah mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Saqif menceraikan semua istrinya. Maka Umar berkata kepadanya, "Kamu harus merujuk istri-istrimu kembali, atau aku akan merajam kuburmu sebagaimana kubur Abu Rigal dirajam." Akan tetapi, analisa Imam Al-Bukhari ini masih perlu dipertimbangkan. Sesungguhnya Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Az-Zuhri secara mursal.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Az-Zuhri secara mursal. Menurut Abu Dzar'ah, hal ini lebih shahih. Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa Uqail meriwayatkannya dari Az-Zuhri, telah sampai hadits ini kepada kami dari Usman ibnu Muhammad ibnu Abu Suwaid, dari Muhammad ibnu Yazid. Abu Hatim mengatakan bahwa hal ini hanyalah dugaan belaka; sesungguhnya sanad hadits ini adalah Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ hingga akhir hadits.
Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa Yunus dan Ibnu Uyaynah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid. Hal ini sama dengan apa yang di-ta'liq-kan (dianalisa) oleh Imam Al-Bukhari. Dan isnad yang telah kami ketengahkan dari kitab Musnad Imam Ahmad semua perawinya adalah orang-orang yang tsiqah dengan syarat Syaikhain. Kemudian diriwayatkan melalui jalur selain Ma'mar, bahkan Az-Zuhri.
Imam Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafidzh, telah menceritakan kepada kami Abu Ali Al-Hafidzh, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-An-Nasai dan Yazid ibnu Umar ibnu Yazid Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sar-rar ibnu Mujasysyar, dari Ayyub, dari Nafi' dan Salim, dari Ibnu Umar, bahwa Gailan ibnu Salamah pada mulanya mempunyai sepuluh orang istri. Lalu ia masuk Islam, dan semua istrinya ikut masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi ﷺ menyuruh Gailan memilih empat orang istri saja di antara mereka.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai di dalam kitab sunannya. Abu Ali ibnus Sakan mengatakan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan oleh Sarrar ibnu Mujasysyar dan dia orangnya tsiqah (bisa dipercaya). Ibnu Mu'in menilainya tsiqah pula. Abu Ali mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sumaid' ibnu Wahb, dari Sarrar.
Imam Al-Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami melalui hadits Qais ibnul Haris atau Al-Haris ibnu Qais dan Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi serta Safwan ibnu Umayyah, yakni hadits Gailan ibnu Salamah ini.
Pada garis besarnya bisa disimpulkan bahwa seandainya diperbolehkan menghimpun lebih dari empat orang istri niscaya Rasulullah ﷺ memperbolehkan tetapnya dipegang semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi ﷺ memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apa pun. Apabila hal ini berlaku untuk yang telah ada, maka terlebih lagi bagi yang pemula.
Hadits lain mengenai hal tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnahnya masing-masing melalui jalur Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Khamisah ibnusy Syamardal, sedangkan yang ada pada Imam Ibnu Majah dari bintisy Syamardal.
Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa di antara mereka ada yang menyebut Asy-Syamarzal dengan memakai huruf Zal dari Qais ibnul Haris. Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Abu Dawud dalam riwayat Al-Haris ibnu Qais, Umairah Al-Asadi pernah mengatakan, "Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai delapan orang istri. Lalu aku tuturkan hal tersebut kepada Nabi ﷺ. Maka beliau bersabda: 'Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja'!" Sanad hadits ini jayyid (bagus); perbedaan syawahid seperti ini tidak menimbulkan mudarat (kekurangan) pada hadits yang dimaksud.
Hadits lain sehubungan dengan masalah ini diriwayatkan oleh Imam Syafii di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku seseorang yang pernah mendengar dari Ibnu Abuz Zanad yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Majid, dari Ibnu Sahl ibnu Abdur Rahman, dari Auf ibnul Haris, dari Naufal ibnu Mu'awiyah Ad-Daili yang mengatakan bahwa ketika dirinya masuk Islam, ia mempunyai lima orang istri. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Pilihlah empat orang istri saja, mana yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lainnya.” Ia mengatakan, "Maka aku menjatuhkan keputusanku terhadap seorang di antara mereka yang paling lama menemaniku, yaitu seorang wanita yang sudah tua lagi mandul, sejak enam puluh tahun yang silam, lalu aku ceraikan dia."
Semuanya merupakan syawahid yang memperkuat hadits Gailan tadi menurut Imam Al-Baihaqi.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian takut tidak akan bisa berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki.” (An-Nisa: 3)
Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (An-nisa 129) Pendapat yang shahih adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama sehubungan dengan tafsir ayat ini: “Itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim.” (An-Nisa: 3) Yakni tidak berbuat zalim.
Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang berbuat zalim berat sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya. Abu Thalib mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal: “Dengan timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya seberat sehelai rambut pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang tidak zalim.”
Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman ibnu Affan berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu hal yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman ibnu Affan mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang berat sebelah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Mardawaih serta Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Umair, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ yang bersabda sehubungan dengan firman-Nya: “Itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim.” (An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian berbuat zalim!" Ibnu Abu Hatim mengatakan, “Menurut ayahku hadits ini keliru. Yang benar hadits ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak sampai kepada Nabi ﷺ.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin, An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Adh-Dhahhak, ‘Atha’ Al-Khurasani. Qatadah, As-Suddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan, “Tidak berat sebelah."
Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang diucapkan oleh Abu Thalib, seperti yang telah kami sebutkan di atas.
Tetapi apa yang diucapkan oleh Abu Thalib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia mengemukakannya secara baik dan memilihnya.
Ayat 4
Firman Allah ﷻ: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah mahar.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri. dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.
Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa nihlah artinya faridah (maskawin yang wajib), sedangkan Ibnu Juraij menambahkan bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang disebutkan.
Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah dalam perkataan orang Arab artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, "Janganlah kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya. Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi ﷺ menikahi seorang wanita kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan yang dibenarkan."
Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan bahwa seorang lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan.Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya secara senang hati pula. Jika pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan maskawinnya mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa: 4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari As-Suddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai obat yang diberkati."
Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh, bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah ﷻ melarang mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4)
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khasami, dari Abdul Malik ibnu Mugirah At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4) Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pertalian di antara mereka?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj ibnu Artah, dari Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman, dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ berkhotbah kepada kami. Beliau ﷺ bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Sejumlah yang disetujui oleh keluarga mereka." Ibnus Salman orangnya dha’if dan dalam sanad hadits ini terdapat inqitha' (sanad terputus).
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ayat ini turun berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, di mana hartanya bergabung dengan harta wali dan sang wali tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim itu, maka ia ingin mengawininya tanpa memberinya mahar yang sesuai, lalu turunlah ayat ini. Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim yang berada di bawah kekuasaanmu, lantaran muncul keinginan kamu untuk tidak memberinya mahar yang sesuai bilamana kamu ingin menikahinya, maka urungkan niatmu untuk menikahinya, kemudian nikahilah perempuan merdeka lain yang kamu senangi dengan ketentuan batasan dua, tiga, atau empat orang perempuan saja. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil apabila menikahi lebih dari satu perempuan dalam hal memberikan nafkah, tempat tinggal, atau kebutuhan-kebutuhan lainnya, maka nikahilah seorang perempuan saja yang kamu sukai atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki dari para tawanan perang. Yang demikian itu lebih dekat pada keadilan agar kamu tidak berbuat zalim terhadap keluarga. Karena dengan berpoligami banyak beban keluarga yang harus ditanggung, sehingga kondisi seperti itu dapat mendorong seseorang berbuat curang, bohong, bahkan zalimDan apabila telah mantap dalam menetapkan pilihan dan siap untuk menikah dengan wanita pujaan kamu, maka berikanlah maskawin yakni mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan, karena mahar merupakan hak istri dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami terhadapnya. Suami tidak boleh berbuat semenamena terhadapnya atas dasar pemberian tersebut. Kemudian, jika mereka, para istri menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati sebagai hadiah untuk kalian, maka terimalah hadiah itu dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. Dengan demikian, pemberian itu halal dan baik untuk kalian.
Allah menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan hartanya, melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan kamu pilihlah perempuan lain yang kamu senangi satu, dua, tiga, atau empat, dengan konsekuensi kamu memperlakukan istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu bermalam (giliran), nafkah, perumahan serta hal-hal yang berbentuk materi lainnya. Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi pada dasarnya satu istri lebih baik, seperti dalam lanjutan ayat itu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad ﷺ Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang.
Apabila kamu tidak dapat melakukan semua itu dengan adil, maka cukuplah kamu nikah dengan seorang saja, atau memperlakukan sebagai istri hamba sahaya yang kamu miliki tanpa akad nikah dalam keadaan terpaksa. Kepada mereka telah cukup apabila kamu penuhi nafkah untuk kehidupannya. Hal tersebut merupakan suatu usaha yang baik agar kamu tidak terjerumus kepada perbuatan aniaya. Hamba sahaya dan perbudakan dalam pengertian ayat ini pada saat sekarang sudah tidak ada lagi karena Islam sudah berusaha memberantas dengan berbagai cara. Ketika Islam lahir perbudakan di dunia Barat dan Timur sangat subur dan menjadi institusi yang sah seperti yang dapat kita lihat dalam sejarah lama, dan dilukiskan juga dalam beberapa bagian dalam Bibel: Orang merdeka dapat menjadi budak hanya karena: tak dapat membayar utang, mencuri, sangat papa (sehingga terpaksa menjual diri), budak Yahudi dan bukan Yahudi (Gentile) statusnya berbeda dan sebagainya.
Nabi Muhammad diutus pada permulaan abad ke-7 M. Saat ia mulai berdakwah, perbudakan di sekitamya dan di Semenanjung Arab sangat subur dan sudah merupakan hal biasa. Sikapnya terhadap perbudakan, seperti dilukiskan dalam Al-Qur'an, sangat berbeda dengan sikap masyarakat pada umumnya. Ia mengajarkan perbudakan harus dihapus dan menghadapinya dengan sangat arif. Tanpa harus mengutuk perbudakan, ia mengajarkan agar budak diperlakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan penghapusannya harus bertahap, tak dapat dengan sekaligus dan dengan cara radikal seperti dalam memberantas syirik dan paganisme. Dan tujuan akhirnya ialah menghapus perbudakan samasekali. Hal ini terlihat dalam beberapa ketentuan hukum Islam, seseorang dapat menghapus dosanya dengan memerdekakan seorang budak, yang juga menjadi ketentuan orang yang saleh dan bertakwa. Rasulullah telah memberi contoh nyata dengan memerdekakan seorang budak (Zaid) dan menempatkannya menjadi anggota keluarganya, diangkat sebagai anak angkatnya dan berstatus sama dengan status keluarga Quraisy.
Memang benar, rumah tangga yang baik dan harmonis dapat diwujudkan oleh pernikahan monogami. Adanya poligami dalam rumah tangga dapat menimbulkan banyak hal yang dapat mengganggu ketenteraman rumah tangga.
Manusia dengan fitrah kejadiannya memerlukan hal-hal yang dapat menyimpangkannya dari monogami. Hal tersebut bukanlah karena dorongan seks semata, tetapi justru untuk mencapai kemaslahatan mereka sendiri yang karenanya Allah membolehkan (menurut fuqaha) atau memberi hukum keringanan (rukhsah menurut ulama tafsir) kaum laki-laki untuk melakukan poligami (beristri lebih dari satu).
Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai berikut:
a. Apabila dalam satu rumah tangga belum mempunyai seorang keturunan sedang istrinya menurut pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul, padahal dari perkawinan diharapkan bisa mendapatkan keturunan, maka poligami merupakan jalan keluar yang paling baik.
b. Bagi kaum perempuan, masa berhenti haid (monopouse) lebih cepat datangnya, sebaliknya bagi seorang pria walau telah mencapai umur tua, dan kondisi fisiknya sehat ia masih membutuhkan pemenuhan hasrat seksualnya. Dalam keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina? Maka di sinilah dirasakan hikmah dibolehkanya poligami tersebut.
c. Sebagai akibat dari peperangan umpamanya jumlah kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami. Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah lelaki saat ini sudah menjadi kenyataan, kendati tidak ada peperangan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Sesudah Allah membayangkan hakikat tujuan yang jauh—yaitu kesatuan umat manusia—yang didasarkan atas takwa kepada Allah dan kasih sayang kekeluargaan, dimulailah memperingatkan penting untuk mencapai itu, yang selalu ada di hadapan mata, yaitu soal anak yatim,
Ayat 2
“Berikanlah kepada anak-anak yatim itu harta mereka."
Untuk mencapai tujuan yang jauh, mulailah dari hal yang praktis sehari-hari. Pada zaman jahiliyyah, jika seseorang meninggal dunia meninggalkan anak, keluarga yang lain terutama saudara si mati saja yang menguasai harta itu. Demikian pun perempuan, baik istri si mati atau ibunya atau saudara perempuannya, tidak ada jaminan akan mendapat bagian dari harta peninggalannya. Ayat ini mulailah memberikan penjelasan bahwa anak yatim patut mendapat harta peninggalan ayahnya. Karena itu masih menjadi kewajibanlah bagi walinya memelihara harta anak itu sebaik-baiknya dan memberikan kepadanya dengan secara jujur.
‘Janganlah kamu menukarkan sesuatu yang buruk kepada yang baik." Misalkan saja ada harta warisan ayahnya yang kamu simpan, bagus mutu harta itu. Setelah menyerahkan hartanya kepadanya, kamu tukarkan dengan hartamu sendiri yang rupanya sama dengan itu, tetapi mutunya kurang. “Dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan men-campur-adukkannya) kepada harta-hartamu."
Dengan mencampuradukkan harta mereka dengan harta kamu, hartanyalah yang terlebih dahulu habis sebab kekuasaan ada dalam tanganmu. Sehingga kelak setelah memberikan harta mereka kepada mereka, hanya “hitungan" saja lagi yang mereka terima sebab sudah dihabis-musnahkan terlebih dahulu oleh kamu yang mengasuhnya, sedang mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
“Sesungguhnya itu dosa yang besar."
Menjadi dosa besarlah perbuatan itu. Baik menukar hartanya yang baik dengan hartamu yang buruk, atau dengan mencampuradukkan harta mereka dengan hartamu dengan maksud hendak menghilangkan. Karena itu bukan namanya menolong dan memelihara, tetapi menggolong dan membawa mara.
Menyerahkan harta mereka ada dengan dua jalan. Sebelum mereka dewasa dan dapat mengendalikan harta mereka sendiri yang diberikan ialah makan mereka, pakaian, dan belanja-belanja mereka, misalnya belanja pen-didikan mereka. Memberikan yang kedua ialah setelah mereka dewasa dapat berdiri sendiri, dengan sendirinya hilanglah hak penjagaan wali atas dirinya. Ketika penyerahan itu janganlah hendaknya membawa kecewa dalam hatinya.
Ayat 3
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat."
Dalam pangkal ayat ini, kita bertemu lanjutan tentang memelihara anak yatim dan bertemu pula keizinan dari Allah untuk beristri lebih dari satu, sampai dengan empat. Untuk mengetahui duduk soal, lebih baik kita terangkan tafsiran dari Aisyah, istri Rasulullah, tentang asal mula datang ayat ini karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair, anak Asma saudara Aisyah, Urwah bin Zubair sebagai anak kakak Aisyah, kerap kali bertanya kepada beliau tentang masalah agama yang musykil, Urwah bin Zubair adalah murid Aisyah. Ditanyakanlah bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri lebih dari satu, sampai dengan empat dengan alasan memelihara harta anak yatim. (Riwayat dari Bukhari, Muslim, an-Nasa'i, Baihaqi, dan tafsir dari Ibnu Jarir)
Pertanyaan Urwah bin Zubair itu dijawab oleh Aisyah, “Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, yang telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik kepada hartanya dan kepada kecantikan anak itu. Bermaksudlah dia hendak menikahi anak asuhannya itu, tetapi dengan tidak hendak membayar mas kawinnya secara adil, sebagaimana pembayaran mas kawinnya dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini, dilaranglah dia melangsungkan pernikahan dengan anak itu, kecuali jika dibayarkan mas kawin secara adil dan dicapaikannya kepada mas kawin yang layak menurut patutnya (sebagaimana kepada perempuan lain) Daripada berbuat dengan niatnya yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah saja dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat (hadits ini kita salin dengan bebas supaya tepat maknanya dan dapat dipahami)"
Lalu, Aisyah meneruskan bicaranya, “Kemudian ada orang meminta fatwa kepada Rasulullah saw, tentang perempuan-perempuan itu sesudah ayat ini turun, turunlah ayat (surah an-Nisaa', ayat 127) “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang orang-orang perempuan. Katakanlah, Allah akan memberi keterangan kepadamu tentang mereka dan juga apa-apa yang dibacakan kepadamu di dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim perempuan yang kamu tidak mau memberikan kepada mereka yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu ingin menikahinya."
Kata Aisyah selanjutnya, “Yang dimaksud dengan yang dibacakan kepadamu dalam kitab ini ialah ayat yang pertama, yaitu ‘jika kamu takut tidak akan berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi." Kata Aisyah selanjutnya, ayat lain mengatakan, “Dan kamu ingin menikah dengan mereka," yaitu tidak suka kepada anak yang dalam asuhannya karena hartanya sedikit dan tidak berapa cantik. Dilaranglah dia menikahi anak itu selama yang diharapkan hanya harta dan kecantikannya. Baru boleh dia nikahi kalau mas kawin dibayarnya secara adil."
Dalam satu hadits shahih yang lain pula disebutkan riwayat yang lain dari Aisyah. Dia berkata, “Ayat ini diturunkan mengenai seorang laki-laki. Dia ada mengasuh seorang anak yatim perempuan, dia walinya dan dia warisnya. Anak itu ada harta dan tidak ada orang lain yang akan mempertahankannya.
Akan tetapi, anak itu tidak dinikahinya sehingga berakibat kesusahan bagi anak itu dan rusaklah kesehatannya. Datanglah ayat ini, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi." Maksudnya, “Ambil mana yang halal bagi kamu dan tinggalkan hal yang berakibat kesusahan bagi anak itu."
Ada pula riwayat lain yang shahih dan ada hubungan antara ayat ini dengan ayat lain, yaitu, “Dan juga apa-apa yang dibacakan kepada kamu dari kitab (ini) dari hal anak-anak yatim perempuan, yang kamu tidak mau memberikan kepada mereka yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu ingin menikahinya." Kata Aisyah, “Ayat ini diturunkan mengenai anak yatim perempuan yang tinggal dengan seorang laki-laki yang mengasuhnya, padahal hartanya telah diserikati pengasuhnya, sedang dia tidak mau menikahinya dan tidak pula melepaskannya dinikahi oleh orang lain. Jadi, harta anak itu diserikatinya sedang diri anak itu ditelantarkannya, dinikahinya sendiri tidak, diserahkannya supaya dinikahi orang lain pun tidak."
Setelah menilik ketiga riwayat yang shahih dari Aisyah, kita mendapatkan satu kesimpulan mengapa ada hubungan antara perintah memelihara anak yatim perempuan dengan keizinan beristri lebih dari satu sampai dengan empat.
Di sini kita telah mendapat pokoknya yang pertama, yaitu sebagai sambungan dari ayat 2 yang sebelumnya tentang memelihara harta anak yatim. Pada ayat 2 telah dijelaskan dan diperingatkan jangan sampai ada aniaya dan laku curang terhadap anak yatim, sebab itu adalah dosa yang amat besar, Akan datang masanya bahwa hartanya mesti diserahkan kepadanya sebab dia akan menikah. Akan tetapi, datanglah “gangguan1' ke dalam pikiranmu. Satu antara gangguan itu, kamu berkata dalam hati, “Lebih baik anak ini akau nikahi saja sehingga dia tidak keluar lagi dari rumahku ini. Hartanya tetap dalam genggamanku dan mas kawinnya bisa “dipermain-mainkan" atau disebutkan saja dalam hitungan, tetapi tidak dibayar, atau sebab dia sudah istriku, tentu berhak atas hartanya. Kecantikannya bisa kupersunting, hartanya bisa kukuasai, mas kawinnya bisa dibayar murah!"
Ini adalah satu pikiran yang tidak sehat. Pikiran sehat yang timbul dari iman dan takwa ialah lebih baik menikah saja dengan perempuan lain, bayar maharnya dengan patut, biarpun sampai empat orang daripada berlaku seperti itu kepada anak perempuan yatim yang dalam asuhanmu.
Atau timbul pikiran yang lebih jahat lagi; nikahi saja dia, mas kawinnya tak usah dibayar sebab tidak ada orang lain yang akan menentang.
Atau pikiran jahat yang lain lagi. Hartanya telah dipegang dalam tangan, menikahinya tidak mau karena tidak cantik sedang memberikannya dinikahi orang lain tidak mau pula karena ingin hartanya.
Daripada melangsungkan segala pikiran jahat ini lebih baik menikah saja dengan perempuan lain biarpun sampai empat. Sebab, sikap-sikap yang salah dan laku yang tidak jujur kepada anak yatim perempuan adalah dosa besar. Lebih baik aman memegang amanah harta anak itu. Kalau akan dinikahi, nikahilah secara jujur dan bayarkan maharnya sebagaimana patutnya sebagai dibayarkan kepada perempuan lain. Hartanya tetap hartanya walaupun dia istrimu sendiri kelak. Serahkan yang haknya karena apabila telah bersuami, dewasalah dia.
Lebih tegas lagi, “Kalau ada keinginanmu hendak menikahi anak yatim perempuan, sedang kamu takut akan memperenteng-enteng saja harta bendanya sebab dia telah jadi istrimu sehingga termakan olehmu hartanya, janganlah menikahinya. Nikahilah perempuan lain, biarpun sampai empat."
Dari ayat ini kita mendapat kesan yang mendalam sekali. Daripada sampai menganiaya harta anak yatim lebih baik menikah sampai empat waiaupun menikah sampai empat pun satu kesulitan juga.
Dengan ayat ini pula kita bertemu dengan pepatah bangsa kita, “Sekali membuka pura, dua tiga utang terbayar. Sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui." Artinya dalam satu ayat kita bertemu dengan perintah memelihara anak yatim yang amat dirasakan dan kebolehan beristri sampai empat.
Kemudian, karena telah tersebut bahwa daripada menghadapi kesulitan harta anak yatim, boleh beristri biarpun sampai empat ditukas lagi tentang beristri sampai dengan empat. “Tetapi jika kamu takut tidak akan bisa berlaku adil, maka seorang sajalah." Dalam inti sari ayat ini, bertemu pulalah kita dengan kesulitan lain yang akan dihadapi. Pertama, daripada harta anak yatim dan diri anak yatim perempuan dikecewakan, lebih baik menikah dengan perempuan lain biarpun sampai empat. Ini lebih baik daripada mengecewakan anak yatim dan hartanya. Akan tetapi, apabila kebolehan beristri sampai dengan empat ini betul-betul kamu turuti, baik dua ataupun tiga ataupun sampai empat, kamu akan menghadapi lagi kesulitan dalam corak lain. Kamu mesti adil kepada istri-istrimu. Semua istri mempunyai hak atas dirimu dan mereka pun berhak menuntut hak itu. Hak sukna (tempat diam), hak nafkah sandang dan pangan, hak nafkah batin, dan sebagainya.
Jadi sebelum kamu telanjur menempuh hal yang dibolehkan oleh syara' pikirkan soal keadilan lebih dahulu. Jangan sampai karena takut akan tidak adil membayar mahar menikahi anak perempuan yatim dan menjaga hartanya, kamu masuk pula ke dalam perangkap tidak adil yang lain lagi, yaitu karena beristri banyak. Orang yang beriman mestilah berpikiran sampai ke sana, jangan hanya terdorong oleh nafsu melihat perempuan yang disenangi saja. Mengakadkan nikah adalah hal yang mudah. Sebab itu, kalau kamu takut akan berlaku tidak adil pula beristri banyak, lebih baik satu orang sajalah. Dengan demikian kamu akan aman. Atau kalau kamu ingin juga, tetaplah istri satu orang dan yang lain adalah hamba sahaya, “Atau hamba-sahaya yang kamu “yaitu budak-budakperempuan yang asal usulnya dari perempuan tawanan perang yang dijadikan gundik, yang haknya memang sudah nyata tidak sama dengan hak istri merdeka, sebab dia bisa diperjualbelikan sehingga mereka tidak berhak menuntut persamaan perlakuan. Hanya dengan beristri satu orang sajalah kamu tidak akan memusingkan soal adil beristri. Atau hanya dengan memelihara gundik (semasa masyarakat masih bergundik) terlepas juga engkau dari soal adil dan tidak adil.
PERIHAL GUNDIK
Supaya jangan ragu ketika membaca ayat tentang hamba sahaya perempuan, hendaklah diketahui keadaan masyarakat ketika ayat diturunkan dan lebih dari 1.200 tahun sesudah ayat diturunkan. Karena terjadinya pe-perangan-peperangan, antara negeri dengan negeri, bangsa dengan bangsa, timbullah kelas budak, yaitu orang-orang tawanan dari negeri-negeri yang telah dikalahkan. Kadang-kadang satu negeri ditaklukkan, laki-laki sebagian besar tewas di medan perang dan perempuan-perempuan serta anak-anak menjadi tawanan pihak yang menang.
Lantaran itu beribu-ribu tahun lamanya timbul sekelompok manusia yang tidak berhak lagi atas dirinya, melainkan dia telah menjadi “barang" kepunyaan orang yang menguasainya. Bertambah terjadi peperangan, bertambah banyak manusia yang kehilangan kemerdekaan. Itulah budak! Baik laki-laki maupun perempuan. Dia menjadi kepunyaan orang yang menguasainya, kadang-kadang sampai memenuhi rumah pemiliknya. Pemiliknya pun boleh menjualnya pula kepada orang lain apabila dipandangnya bahwa dia tidak memerlukannya lagi.
Ini memenuhi seluruh dunia sampai pertengahan abad kesembilan belas. Oleh karena begitu kenyataannya, Islam membolehkan seseorang yang mempunyai budak-budak perempuan untuk menikahi budak perempuan' nya. Niscaya teranglah bahwa kedudukannya tidak sama dengan istri merdeka. Cuma anak yang diperdapat dari pergaulan dengan perempuan budak, sama haknya, sedikit pun tidak berkurang dengan anak yang didapat dari istri perempuan merdeka yang dinikahi.
Cara menggaulinya pun berbeda dengan istri perempuan merdeka.
Menikah dengan perempuan merdeka, wajib membayar mahar. Sedang menikahi budak sendiri, tidak wajib membayar mahar. Rasulullah ﷺ telah menunjukkan contoh kedua keadaan ini. Shafiah binti Huyaiyang jadi tawanan beliau dalam Perang Khaibar, artinya telah menjadi budaknya, beliau merdekakan. Lalu kemerdekaan itu beliau jadikan mahar untuknya. Itulah yang disebut, “Maharnya ialah kemerdekaannya."
Istri beliau yang terakhir ialah Mariah al-Qibthiyah, budak perempuan hadiah dari Muqauqis, raja Mesir, untuk pribadi beliau. Budak perempuan ini beliau peristri, tetapi tidak dengan membayar mahar. Dengan dayang istri hadiah raja, beliau beroleh putra beliau yang bungsu, bernama Ibrahim. Dari sinilah timbul adat raja-raja Timur, timbulnya putra Gahara (dari istri merdeka) dan putra Padmi (dari istri yang tidak merdeka)
Niscaya di daerah-daerahyangperbudakan telah dihapuskan, peraturan ini tidak berlaku lagi. Beberapa ulama Islam modern, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha telah menegaskan bahwa timbulnya perempuan yang jadi budak hanyalah lantaran adanya peperangan. Adapun budak-budak dari desa-desa merdeka yang ditipu atau dicuri dari orang tuanya, tidaklah sah dikatakan budak. Perang itu, menurut beliau, hendaklah perang karena agama.
Setelah Sayyidina Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau membuat peraturan, yang diterima dengan ridha oleh segenap ulama fiqih Islam, yaitu apabila budak perempuan itu telah diperistri dan telah memperoleh anak dari hubungan itu, dinamailah perempuan itu Ummul Walad (ibu anak) Karena dia telah beranak itu, naiklah martabatnya setingkat. Dia tidak boleh dijual iagi. Kalau istri merdeka dari tuan yang menguasainya telah sampai empat orang, tidaklah mungkin ummul walad itu dimerdekakan untuk dijadikan istri karena istri merdeka tidak boleh lebih dari empat.
Itulah sebabnya dalam istana raja-raja Timur pada zaman lampau terdapat Hareem, yaitu ruangan tempat tinggal Ummahatul Awlad (beberapa ibu anak-anak)
Sekarang kita kembali kepada pokok ayat, yaitu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku jujur kepada anak-anak yatim perempuan apabila kamu menikahinya, lebih baik kamu menikahi saja perempuan lain, walaupun sampai dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, kaiau kamu takut tidak adil, satu sajalah. Atau kamu peristri saja budak-budak perempuan kepunyaanmu sendiri. Karena memperistri budak kepunyaanmu, tidak berat tanggung jawabnya dan tidak banyak kewajiban yang harus kamu penuhi. Kedudukannya dan perlakuan kepadanya tidak sama dengan istri biasa yang wajib dibayar maharnya. Tidak pula ada orang yang akan menuduh bahwa engkau berzina jika engkau beri tahukan terus terang bahwa budak itu telah engkau peristri.
Dapat penafsir ini memahami bahwa ketika membaca kisah-kisah penyebab timbulnya perbudakan di dunia—dan setelah membaca uraian tentang perkembangan selanjutnya— ada pembaca yang membacanya dengan penuh pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang demikian timbul dalam hati ialah karena kita hidup pada zaman sekarang, yaitu zaman perbudakan telah dilarang di seluruh dunia sejak pertengahan abad kesembilan belas. Adapun sebelum larangan itu ada, kita dapati di seluruh dunia manusia merdeka dan manusia budak.
Raja-raja besar mempunyai hareem bahkan orang-orang hartawan pun mempunyai beberapa gundik di samping istri merdeka dan memperoleh anak dari percampurannya dengan budaknya. Tidak ada orang yang me-nuduhnya berbuat jahat kalau dengan budaknya. Tidak ada orang yang menyalahkan seseorangyang mencampuri budaknya.
Setelah bangsa Barat datang ke negeri kita, sejak zaman Portugis, sampai Kompeni Inggris dan Kompeni Belanda, mereka pun menjadi saudagar-saudagar budak. Untung Surapati yang terkenal kemudian menjadi Pangeran Wiroguno di Pasuruan (Jawa Timur), asalnya ialah seorang budak milik Kompeni Belanda yang mereka bawa dari Bali kemudian dipelihara tuannya dalam gedungnya yang indah.
Kita tentu maklum bahwa budak atau dayang yang akan boleh dijadikan budak tidak ada lagi sekarang. Sehingga tidaklah beralasan kalau misalnya ada seorang pemuda belum sanggup menikah, lalu dia bergaul seperti suami istri dengan pembantu rumah tangganya. Selanjutnya berfirmanlah Allah,
“Yang demikian itulah yang lebih memungkinkan kamu terhindar dari berlaku sewenang-wenang."
Dengan ujung ayat ini kita mendapat kejelasan bahwa yang lebih aman dan terlepas dari ketakutan tidak akan adil hanyalah beristri satu. Kalau kita beristri satu saja, lebih hampirlah kita kepada ketenteraman. Tidak akan bising dan pusing mempertanggungkan beberapa perempuan yang membawa kehendak mereka masing-masing. Padahal setiap istri meminta supaya dia diladeni, diperhatikan, serta disamakan. Soal itu sajalah yang akan memusingkan kepala setiap hari. Lebih-lebih kalau masing-masing diberi pula anugerah banyak anak oleh Allah. Kalau diri kaya, mungkin semua anak itu dapat diasuh dengan baik. Akan tetapi kalau awak miskin, takut kalau semua anak itu tidak akan sempurna pendidikannya. Lebih memusingkan lagi kalau setiap anak menurut yang ditanamkan oleh ibunya. Sehingga anak yang datang dari satu ayah menjadi bermusuhan karena ibu mereka berbeda karena ibu mereka memang bermusuhan. Kita artikan an-la ta'uiu, dengan ‘agar kamu terhindar dari kesewenang-wenangan.' Sewenang-wenang artinya sudah bertindak menurut kehendak sendiri saja, tidak peduli lagi, masa bodoh. Ini lebih celaka!
Tetapi ada satu tafsir an-la ta'uiu yang istimewa, yaitu dari Imam Syafi'i. Beliau mengartikannya, “Begitulah yang lebih memungkinkan kamu terhindar dari banyak tanggungan." Artinya, beristri banyak, setiap istri melahirkan banyak anak, padahal awak melarat. Kesudahannya selama hidup ditimpa susah sebab memelihara anak-anak yang wajib diasuh.
Seorang di antara guruku yang beristri lebih dari satu orang pernah memberi nasihat kepadaku waktu aku masih muda, “Cukuplah istrimu satu saja wahai Abdulmalik! Aku telah beristri dua. Kesukarannya baru aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi. Risiko ini akan aku pikul terus sampai salah seorang dari kami bertiga meninggal dunia. Aku tidak akan menceraikan salah seorang antara mereka berdua karena kesalahan me-reka tidak ada. Anakku dengan mereka berdua banyak. Akan tetapi, aku siang malam menderita batin karena ada satu hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati. Bagi orang lain, hal ini mudah saja. Kalau tidak senang kepada salah satu, cari saja sebab yang kecil lalu lepaskan, maka terlepaslah diri dari beban berat. Kalau kejadian demikian, kita telah meremukredamkan hati seorang ibu yang ditelantarkan. Janganlah beristri lebih dari satu hanya dijadikan semacam percobaan sebab kita berhadapan dengan seorang manusia, jenis perempuan. Hal ini menjadi sulit bagiku karena aku adalah aku, karena aku adalah gurumu dan guru orang banyak. Aku lemah dalam hal ini, wahai Abdulmalik. Aku ingin engkau bahagia! Aku ingin engkau jangan membuat kesulitan bagi dirimu. Peganglah ayat Allah,
Nasihat beliau ini alhamdulillah dapat aku pegang hingga sekarang.
Diberi batas dua, tiga, empat. Tidak boleh lebih dari empat. Itu pun kalau takut tidak akan adil, lebih baik satu saja supaya kelak tidak berlaku sewenang-wenang terhadap istri yang kurang disukai atau sengsara karena terlalu banyak tanggungan. Dengan ayat ini dibatasilah kebolehan itu hingga empat dengan syarat pula, yaitu adil. Sebab, sebelum peraturan ini turun, pada zaman jahiliyyah ada yang beristri sampai sepuluh. Menurut riwayat Baihaqi, Ibnu Abu Syaibah, irmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Syafi'i dari Ibnu Umar, ketika Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam, dia membawa sepuluh istri. Nabi Muhammad ﷺ menyuruh untuk memilih empat orang dan yang selebihnya supaya diceraikan. Menurut riwayat dari Abu Dawud, Ibnu Majah, dalam Sunan mereka, bahwa Umair al-Asadi masuk Islam. Istrinya delapan orang. Dia juga disuruh Nabi memilih empat dan yang lain dilepaskan. Menurut riwayat asy-Syafi'i bahwa Naufal bin Mu'awiyah ad-Dily masuk Islam, istrinya lima orang, disuruh pula melepaskan seorang. Menurut riwayat Ibnu Majah dan an-Nahhas bahwa Qais bin al-Haris al-Asadi masuk Islam, istrinya delapan, disuruh pula melepaskan yang empat.
Adapun seorang budak, menurut ijma sahabat-sahabat Rasulullah, hanya dibolehkan paling banyak beristri dua orang.
Satu tafsiran yang istimewa pula dari Qatadah, menurut riwayat yang dibawakan
Abdbin Humaid, Ibnu Janr.dan Ibnu Abu Hatim tentang ayat ini ialah, “Kalau engkau takut tidak akan adil beristri empat, beristrilah tiga. Takut tidak akan adil beristri tiga, beristrilah dua. Kalau takut tidak akan adil beristri dua, cukuplah satu saja. Selebihnya ialah milikmu (budak)" Penafsiran Qatadah ini tidak kita terima sebab ini menganjurkan mulai dari beristri empat!
Ad-Dhahhak menafsirkan takut akan tidak adil ialah dalam hal menganjurkan mulai dari beristri empat.
Tentang penafsiran a n-Ia ta'ulu yang kita pilih satu di antara banyak artinya supaya jangan sewenang-wenang. Seperti yang kita terangkan tadi. Imam Syafi'i menafsirkan supaya kamu jangan terlalu berat menanggung keluarga yang besar. Menurut tafsir dari Mujahid supaya kamu jangan terlalu berat sebelah (terlalu berat kepada seorang istri sehingga yang lain ditelantarkan), dalam bahasa Arab adalah al-la tamilu. Menurut tafsiran dari Suf-yan bin Uyainah, “Supaya kamu jangan jatuh melarat."
Ibnu Arabi mencatat tujuh dari arti an-!a ta'ulu adalah berikut ini.
1. Berat pukulan
2. Memberati orang lain
3. Sewenang-wenang
4. Melarat
5. Keberatan
6. Payah tanggungan
7. Tidak tahan
Boleh pilih salah satu artinya atau mungkin berkumpul ketujuhnya! Al-Jauhari menambahkan,
8. Sibuk dan bertumpuk-tumpuk pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan.
Al-Harawi menambah pula,
9. Kian ke mari mengembara di atas bumi mencarikan belanja.
10. Menjadi lemah karena banyak tanggungan menurut tafsiran al-Ahmar.
11. Terlalu payah mengangkat keluarga besar.
Jadi, ta'ulu berjumlah sebelas arti menurut yang dicatat asy-Syaukani.
Sekarang setelah kita langsung membaca dari sumber yang asli, yaitu Al-Qur'an, sudah dapatlah kita memahamkan bagaimana sebenarnya ketentuan Islam tentang beristri lebih dari satu itu.
Beberapa kesimpulan kita yang didapat dari ayat ini.
Daripada kamu tidak berlaku jujur kepada anak perempuan yatim yang dalam asuh-anmu, terutama tentang mas kawin dan hartanya, lebih baiklah kamu menikah saja dengan perempuan lain walaupun sampai empat. Di sini kita melihat bahwa kesusahan nikah, walaupun sampai empat jauh lebih kecil, jika dibandingkan dengan menikahi anak yatim perempuan yang di dalamnya tersembunyi niat yang tidak jujur.
Di sini kita melihat lagi bahwa anjuran beristri sampai empat pada mulanya bersebab membela anak yatim.
Dalam sambungan ayat yang tidak putus, dipertalikan dengan dan artinya masih dalam satu rangkai kata diterangkan lagi dan jika kamu takut tidak akan adil, seorang sajalah. Baik kita mengerti bahasa Arab atau tidak, tetapi dalam segala bahasa di dunia ini, sudahlah nyata dapat dipahamkan bahwa jika seorang merasa takut tidak akan adil, dianjurkan hanya satu saja, tidak usah sampai dengan empat. Dapat dipahamkan lebih dalam lagi, “Janganlah beristri lebih dari satu orang kalau takut tidak akan adil."
Di ujung ayat ditegaskan lagi, beristri satu saja atau hanya memelihara gundik saja (pada waktu dunia masih mengakui adanya perbudakan), lebih aman dan lebih hampir kepada tidak sewenang-wenang atau tidak berat memikul beban keluarga.
Dengan pertama menyatakan jika takut tidak akan adil dan kedua dengan mengemukakan lebih dekat kepada kejujuran jika satu saja, orang yang akan menempuh beristri lebih dari satu diajak berpikir lebih dahulu sebelum melaksanakannya. Mungkin apabila telah dibawanya berpikir, niatnya akan dibatalkan saja.
Didapatlah kesimpulan, Allah membolehkan kamu beristri lebih dari satu sampai dengan empat orang, tetapi dengan memperingatkan beberapa syarat bagi kepentingan kamu sendiri. Sekali-kali tidak ada Allah ber-firman, “Wahai segala orang Islam, hendaklah kamu menikah sampai empat." Dengan tidak bersyarat!
Kalau ada orang yang memahamkan begini, nyatalah bahwa orang itu salah satu dari dua. Pertama belum mengetahui duduk persoalan. Kedua telah mengetahui, tetapi tidak jujur!
Sekarang timbul pertanyaan, kalau demikian halnya, mengapa tidak dilarang keras saja?
Memang, begitulah kebijaksanaan Al-Qur'an. Karena Islam bukan semata-mata mengatur ibadah, kepentingan tiap-tiap pribadi dengan Allah saja, tetapi juga memikirkan dan mengatur masyarakat. Betapa pun kerasnya peraturan, tetapi kalau peraturan itu tidak sesuai dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya dan tidak sesuai dengan jiwa orang, peraturan itu pasti akan dilanggar orang juga. Misalnya kalau Islam melarang keras poli-gami, pelanggaran pasti terjadi. Adalah satu kehinaan dan jatuh gengsi bagi satu pemerintahan yang undang-undangnya tidak ditaati orang. Apalagi peraturan agama!
Kemajuan penyelidikan ahli-ahli telah menunjukkan betapa hebatnya pengaruh syahwat atas diri manusia yang oleh Freud dinamai Libido atau disebut juga Sex.
Allah memberikan syahwat bersetubuh kepada manusia. Kita bicarakan dengan khusus terlebih dahulu mengenai laki-laki. Guna syahwat ialah untuk mengekalkan turunan. Salah satu guna agama ialah untuk mengatur dan mengesahkan keturunan, yang tidak akan ada kalau tidak ada persetubuhan. Seorang anak mesti terang ayahnya. Sedangkan di negeri komunis yang tidak memercayai Tuhan, pernikahan juga diatur, supaya terang siapa ayah orang. Memandang melepaskan syahwat sebagai minuman seteguk air, oleh kaum komunis sendiri pun dipandang tidak wajar lagi. Hidup berumah tangga yang baik masih lebih mereka puji daripada hidup luntang-lantung.
Laki-laki dengan syahwat yang diberikan Allah kepadanya, yang berguna untuk menyambung turunan itu, hatinya pasti tergiur melihat perempuan cantik. Sebab, Allah pun menakdirkan adanya daya tarik syahwat pada perempuan, yang dinamai sex appeal. Untuk menyalurkan syahwat, agama memperbolehkan nikah. Karena itu, setiap laki-laki melihat dan tergiur kepada perempuan cantik, yang terlebih dahulu dijelaskan Allah kepadanya ialah dia boleh meminang perempuan itu dan menikahinya. Walaupun sampai empat orang dia tertarik perempuan cantik, agama selalu mengatakan boleh! Tetapi karena manusia ada akal, disuruh dia mempergunakan akal. Sebab, syahwat adalah gejala, gelora seks. Sedang berpikir, membawa ketenangan. Boleh engkau menikah, boleh sampai dengan empat. Akan tetapi, kalau engkau merasa takut tidak akan adil, lebih baik satu saja, supaya aman dan tidak banyak pusing. Akhirnya setelah dia berpikir, satu jugalah yang jadi. Itu pun kalau syahwatnya masih juga menggelora, pintu selalu tidak tertutup, selalu boleh, tetapi syarat itu selalu pula disuruh pikirkan: Adil!
Inilah Islam! Berbeda dengan agama lain yang memandang bahwa persetubuhan adalah dosa. Hidup yang lebih bersih adalah tidak menikah sama sekali, tetapi jiwa dan syahwat manusia tidak diperhatikan sama sekali.
Oleh sebab itu, menurut keterangan Freud dan beberapa ahli ilmu jiwa yang lain, tekanan jiwa yang terutama sekali pada pemuda-pemuda Kristen, laki-laki dan perempuan, ialah soal persetubuhan ini. Dari mulai kecil telah dididik membencinya. Dari mulai kecil telah dipujikan bahwa hidup yang lebih suci adalah tidak menikah. Sejak dari kecil pula telah diberikan didikan bahwa beristri lebih dari satu adalah jahat.
Pemuda Kristen, pemuda Islam, pemuda Hindu, atau Budha, asal dia pemuda, dia pasti tergiur melihat perempuan. Dia pasti bersyahwat. Kalau agama mengadakan peraturan bahwa persetubuhan adalah najis atau dosa dan pernikahan bukanlah hidup yang terpuji dalam agama, pastilah timbul suatu gejala di dalam jiwa yang membawa kepada tidak sehat. Orang Islam yang mengerti agamanya, in syaa Allah tidak akan ditimpa oleh kompensasi jiwa yang demikian. Walaupun dia telah beristri dan memang dianjurkan selalu oleh Islam supaya setia dan cinta-mencintai kedua pihak, tetapi sekali-sekali syahwatnya akan timbul juga waktu melihat perempuan lain. Pada saat itu juga, peraturan agama yang diterimanya sebagai didikan sejak kecil telah memberi peluang kepadanya, “Kalau engkau tertarik kepada perempuan itu, engkau boleh menikah lagi." Tiap dia melihat yang cantik, dalam hatinya terus ada kata, “Engkau boleh menikahi dia!" Syahwatnya dibawa kepada saluran yang wajar. Yang lebih dahulu didengar oleh batinnya bukanlah larangan, tetapi kebolehan.
Tetapi karena soal nikah adalah soal tanggung jawab, soal nafkah, soal anak dan keturunan, dia pasti berpikir. Kalau sudah berpikir, lebih banyak tidak jadi. Namun satu krisis dalam jiwa sudah dapat dihilangkan.
Kalau kebolehan yang dicantumkan dalam ayat seperti ini tidak ada, pastilah kejadian salah satu dari dua karena persetubuhan dan pernikahan dan poligami itu ditutup mati. Pertama satu penyakit dalam jiwa yang ber-bekas kepada kehidupan. Yang kedua pelanggaran yang hebat, sebagaimana terjadi di negeri-negeri Barat sekarang ini.
Perkataan Nabi Isa al-Masih—salah seorang Rasul yang orang Islam cintai pula sebagaimana mencintai Nabi Muhammad— mengatakan di dalam salah satu sabdanya betapa besar bahaya zina dan orang disuruh hati-hati menjaga diri. Bahkan kalau mata sendiri berzina, koreklah mata itu. Itu lebih baik daripada kamu menderita dosa zina. Akan tetapi, sebab waktu beliau akan wafat, beliau menyatakan ada lagi Nabi yang akan datang menyempurnakan ajaran beliau, tidaklah beliau meninggalkan peraturan yang lengkap mengenai soal ini. Akhirnya timbullah dalam dunia Kristen Barat, tantangan jiwa yang amat hebat dan dahsyat kepada ajaran agama Kristen. Sehingga zina yang amat dibenci Nabi Isa dan didikan oleh ayah dan pendeta sejak kecil kepada anak-anak se-bagai suatu kejahatan hebat, terbalik menjadi laksana seteguk air saja. Pemuda-pemuda menghabiskan syahwat seks sepuas-puasnya. Orang-orang yang telah menikah masih saja berpoligami dengan sesuka hatinya sambil mencela-cela dan mengejek Islam yang membolehkan poligami sampai empat. Perkembangan masyarakat dengan sendirinya terlepas dari pimpinan agama.
Semua yang telah kita terangkan ialah kesan membolehkan beristri lebih dari satu, sampai dengan empat, bagi perkembangan jiwa seorang pribadi Muslim. Mereka lepas dari tekanan jiwa, yang selalu dibicarakan Freud, Yung, Adler, dan lain-lain, ahli ilmu jiwa yang hidup di tengah-tengah masyarakat Barat.
Di sini sudah dapat pula disimpulkan bahwa beristri satu adalah cita-cita yang luhur tinggi dan murni (ideal) Memang itulah yang kita tuju. Kita berdoa semoga pribadi kita dapat mencapainya, dengan tidak menutup mata betapa hebatnya perjuangan batin tiap-tiap laki-laki yang beristri satu orang itu, terutama pada zaman mudanya, sebab dia terjadi dari darah dan daging. Orang-orang yang memegang teguh ajaran Islam dan mengerti filsafatnya, tidaklah pernah merasa ada satu peraturan yang menghalanginya menikah lagi. Akan tetapi, setelah dibawanya berpikir tentang keadilan, tentang tanggungan mendidik anak dan segala risikonya, tidaklah jadi dia menikah lagi, sampai akhirnya hari tua ditempuhnya dengan selamat, sampai menyaksikan anak-anak yang telah dewasa, dan sampai tembilang penggali kuburlah yang memisahkannya dengan istri yang satu itu.
Setelah menerangkan pengaruh kebolehan beristri sampai empat mengenai jiwa, mari kita tilik lagi soal kemasyarakatan. Sebab, sebagaimana kita katakan tadi, Islam bukan hanya ibadah shalat kepada Allah, tetapi mempunyai juga konsep mengenai kemasyarakatan. Itulah sebab ahli-ahli mengakui bahwa Islam juga meliputi kenegaraan.
Masyarakat adalah kerja sama laki-laki dan perempuan. Hidup manusia diikat oleh berbagai dalil sosial, ekonomi, dan politik. Manusia tidak dapat melepaskan diri darinya atau membutakan mata. Dalam masyarakat pasti terdapat salah satu dari tiga hal.
1. Bilangan laki-laki sama banyak dengan bilangan perempuan.
2. Laki-laki lebih banyak dari perempuan.
3. Perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Kalau laki-laki sama banyak dengan perempuan bolehlah secara teoretis kita katakan soalnya tidak ada lagi. Beres! Aman. Sebab, kedua belah pihak sudah sama-sama mempunyai.
Tetapi bagaimana kalau laki-laki lebih banyak dari perempuan? Sedang laki-laki lebih haus daripada perempuan akan setubuh? Syukurlah, bahwa yang seperti ini jarang kejadian dalam sejarah dunia ini. Sebab itu, tidaklah perlu kita perkatakan. Yang selalu kejadian ialah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Terutama kalau habis terjadi peperangan.
Laki-lakilah yang banyak sampai mati dalam peperangan, bukan perempuan. Atau meskipun tidak ada perang, umumnya di dunia ini perempuan juga yang lebih banyak dari laki-laki, artinya yang berlebihnya itu sangat me-nyolok penilik statistik dan ada pula yang lebihnya itu hanya sedikit. Namun dalam seratus perhitungan jarang yang terdapat laki-laki lebih banyak dari perempuan.
Ahli-ahli ilmu jiwa sudah sampai kepada kesimpulan yang tidak tedeng aling-aling lagi, bahwa syahwatsetubuh adalah yang vitaldalam hidup. Setubuh sama dengan makan! Sekarang kalau terjadi, perempuan lebih banyak dari laki-laki, bagaimana menyelesaikan kehausan seks perempuan yang berlebih itu? Yang tidak mendapat laki-laki?
Jalan yang akan ditempuh hanya satu antara tiga, tidak lebih.
1. Perempuan yang lebih itu tidak diberi keinginannya, biar sampai mati! Disuruh mereka benar-benar jadi non (Biarawati) semua!
2. Laki-laki diberi kebebasan di samping satu orang istrinya yang sah memelihara gun-dik, nyai, piaraan yang disebut di Eropa (Perancis) Maitresse. Artinya dibuka pintu zina. Kalau dia beranak, masa bodoh! Anak itu boleh dibunuh atau dikirim ke rumah pemeliharaan anak yang tidak tentu siapa bapaknya.
4. Dibolehkan laki-laki menambah istrinya dari yang satu. Istri yang kedua itu diakui sama hak dan kewajiban, dan anak dari perhubungan mereka menjadi anak yang sah, sebagai anak dengan istri pertama juga.
Timbanglah dengan akal mana yang lebih baik!
Timbanglah dengan melepaskan diri dari perasaan (sentimen), mana yang baik!
Yang cocok dengan kenyataan, yang lebih dapat dipertanggungjawabkan bukan yang lain hanya yang ketiga.
Yang pertama telah dijalankan oleh orang Katolik. Kalangan Katoliklah yang akan lebih tahu betapa hasil yang sebenarnya dan kehidupan non-non yang tidak menikah. Harus diakui terus terang bahwa untuk masyarakat dunia umum, peraturan ini tidak dapat dipakai. Sebab, perempuan pun manusia, bukan malaikat.
Sebab perempuan yang tidak ingin berlaki hanya 1 dalam 10.000! Sedang yang 10.000 itu haus akan persetubuhan!
Kalau dituruti yang kedua, yaitu diizinkan saja perempuan yang berlebih itu jadi piaraan artinya zina, ini pun biasa juga dipakai kalau sekiranya cara manusia berpikir yang telah beribu-ribu tahun dipengaruhi oleh ajaran agama ini, diubah sama sekali. Dihapuskan ajaran agama yang mencela zina dari perasaan manusia dan diizinkan manusia hidup sebagai binatang. Diakui bahwa tidak ada yang bernama bapak dan tidak ada yang bernama anak.
Memang telah pernah Plato mengemukakan teori Republiknya menyebut-nyebut kemungkinan ini, tetapi hanya tinggal dalam kertas. Tidak mau manusia menjalankan. Bahkan di negeri-negeri yang telah dipaksa oleh keadaan untuk hidup sedemikian rupa, sebagaimana kita ketahui di negeri-negeri besar di Eropa dan Amerika, tetapi di sana pun orang mengeluh, mengatakan itu salah. Bahkan di negeri-negeri yang telah memakai paham ko-munis, menikah masih terpuji daripada ber-gundik. Cuma tempat pencatatan nikah saja yang dikeluarkan dari gereja dan dibawa ke Pencatatan Nikah.
Penulis tafsir ini pernah bertukar pikiran secara hati terbuka dengan beberapa orang kaum ibu terpelajar di Jakarta. Hasilnya kami dapat paham-memahami tentang soal ini. Sampai ketika saya kemukakan suatu misal, ibu-ibu itu termenung dan mengiyakan, “Akan datang suatu masa, karena suburnya rasa demokrasi di negeri kita, perempuan-perempuan muda yang tidak mendapat bagian suami mengadakan demonstrasi atau resolusi minta dicarikan suami sebab sukarnya mencari suami. Sedang mereka sebagai manusia ingin suami dan mereka tidak mau berzina."
Tidak kita akan berjauh-jauh sampai mengupas pula betapa remuk redamnya jiwa perempuan yang selama hidup tidak dapat jodoh, padahal dia teguh memegang kehormatan diri. Tidak pula kita akan sampai membicarakan bagaimana krisis dalam jiwa orang-orang yang tidak dapat mengatakan siapa bapaknya yang sebenarnya.
Di negeri kita dan di beberapa negeri Islam yang telah bercampur-baur dengan pikiran Barat, ada gejala minta diadakan undang-undang menghapuskan poligami. Akan tetapi, kemajuan ilmu pengetahuan tentang pergaulan hidup, tentang keadaan di negeri-negeri Barat, sebab sudah banyak perlawatan ke sana dan tentang hakikat yang sebenarnya dalam ajaran Islam, pada waktu akhir-akhir ini di negeri kita sudah agak lebih lunak tuntutan itu dan orang sudah mulai menghormati dasar-dasar agama.
Menurut penyelidikan di negeri-negeri Eropa Barat sesudah perang, terutama di Jerman, pikiran kaum perempuan, yang umumnya terpelajar sudah jauh lebih maju. Sudah ada yang dengan sukarela sendiri bermadu. Se-bab, memang sudah suatu kenyataan bahwa perempuan lebih banyak dari laki-laki. Mereka hidup dengan damai dan mengasuh anak bersama-sama. Pemerintah pun tidak memperkeras aturan lagi untuk mencegah poligami.
Alhasil, peraturan yang dikemukakan Al-Qur'an boleh beristri lebih dari satu, dengan batas sampai dengan empat, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ayat itu sendiri, adalah peraturan yang kian lama akan kian diterima oleh dunia dalam kemajuan pergaulannya.
Tetapi tidaklah kita membutakan mata bahwa bagi sebagian kecil umat Islam, kebolehan ini sudah disalahgunakan. Mereka menikah lagi dua, tiga, dan empat, dan bercerai kalau tidak senang lagi, lalu menikah lagi! Tetapi jumlah itu tidak banyak. Kalau kelihatan dan mendapat celaan orang, bukanlah karena banyaknya, melainkan karena buruknya; lekas mendapat sanggahan orang. Serupa dengan orang Arab jahiliyyah yang menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup. Adat jahat ini bukanlah rata, tetapi karena ada yang membuatnya. Dicelalah dan dihardik keras oleh Al-Qur'an.
Daerah kelahiran saya, Minangkabau, terkenal karena banyak poligami, kira-kira setengah abad yang lalu. Poligami di Minangkabau, pada masa itu hakikatnya bukanlah dari cita masyarakat Islam, melainkan kelanjutan masyarakat Keibuan.
(Matriarchaat) yang kekuasaan harta ada pada perempuan sehingga suaminya hanya sewenda di rumah istrinya. Meskipun istrinya sampai dengan empat, nafkah hidup bukanlah dari dia, melainkan dari kekayaan harta pusaka si istri. Karena orang Minangkabau telah menerima Islam, nikah secara matriarchaat diresmikan dengan memakai ijab kabul menurut agama yang dianut. Akan tetapi, sekarang, terutama setelah Perang Dunia II, poligami di sana sudah sangat mundur atau menurun. Sebab, anak sekarang sudah tanggungan ayah dan istri belaan suami. Bukan lagi kemenakan dalam pengasuhan mamak. Malahan rumah-rumah gadang sudah mulai runtuh, tidak ada lagi mamak yang akan membangunnya. Yang berdiri ialah rumah gedung buatan suami, untuk berteduh a nak-istrinya. Oleh sebab itu, di sana sudah mulai timbul soal baru sekarang, yaitu sulitnya gadis mendapat jodoh. Dahulu seorang, “orang-semenda" dijemput, artinya dibayar oleh pihak perempuan. Sekarang anak Minangkabau muda telah merasa dirinya kurang harga kalau menikah karena dijemput.
Memang, dalam masyarakat irama lama kalau datuk-datuk di Darat; Sidi, Bagindo, dan Sultan di Pariaman; Sutan dan Marah di kota Padang; ulama-ulama di seluruh Minangkabau beristri sampai empat. Bahkan ada yang terpaksa menceraikan salah seorang dari yang empat itu, untuk digantikan lagi oleh istri baru rang dihadapkan orang kepada beliau. Dan untuk itu beliau dibayar!
Memang! Tetapi sekarang? jika ada beliau-beliau generasi itu yang masih hidup, ber-nasihatlah mereka kepada anak-anak muda supaya jangan dituruti hidup secara yang pernah mereka tempuh itu. Sebab, pada zaman tuanya mereka tidak mempunyai tempat berteduh yang tetap dan tenteram. Biasanya orang-orang jemputan itu berdiam di hari tuanya menerima menjadi menantu dahuiu itu tidak ada rumahnya sendiri. Anak-anak yang telah besar tidak pula menyelenggarakannya secara patut sebab mereka pun dahulu tidak pula merasai betapa kasih ayah mereka kepada mereka.
Masyarakat Arab ketika didapati Nabi ﷺ adalah masyarakat kabilah yang berdasarkan perbapakan (patriarchaat) Kemegahan adalah pada banyaknya anak, terutama anak laki-laki, dan pusat segala-galanya ialah bapak. Dalam satu rumah, tidak mengapa jika terdapat 10 atau 15 istri. Sebab, yang menjadi perhitungan pada waktu itu bukan berapa banyak istrimu dan gundikmu; dan siapa mereka. Yang menjadi buah bicara ialah berapa anak dan berapa cucu; dengan catatan anak-anak dan cucu-cucu laki-laki. Bahkan sampai sekarang masih terbawa-bawa dalam pergaulan orang Arab, kurang enak mengatakan bahwa dia juga mempunyai anak perempuan. Haruslah diperhatikan bagaimana usaha Rasulullah ﷺ mengangsur mengubah pandangan yang salah itu. Nabi yang memberi ketentuan, menurut wahyu Ilahi, bahwa istri dan anak-anak perempuan pun berhak mendapat harta waris (faraidh) Dan tentang istri, diberilah batas, paling banyak hanya boleh empat. Cuma dari hal gundik-gundik saja yang belum dihapus sama sekali oleh Rasulullah. Sebab, beliau belum mempunyai cukup kekuatan untuk mem-bendung mati semua perbudakan pada masa itu, yang masih berlaku di seluruh permukaan bumi.
Membongkar struktur masyarakat yang berurat berakar sekaligus, bukanlah kekuatan manusia. Lihatlah contoh kecil, yaitu daerah Minang yang berdasarkan masyarakat keibuan. Di situlah yang paling banyak ulama Is-lam di Indonesia. Syekh Ahmad Khatib yang berpendapat bahwa harta pusaka adalah harta syubhat, terpaksa meninggalkan negeri itu, untuk menghindarkan diri supaya jangan dipukul oleh fatwanya sendiri.
Alhasil pernikahan yang bahagia dan dicita-citakan (ideal) adalah beristri satu. Pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Mendirikan rumah tangga bahagia, Litaskunu ilaiha (supaya kamu merasa tenteram dengan dia) Sakinah, ketenteraman tidak akan dirasai kalau hanya sibuk menyelesaikan urusan istri banyak. Moga-moga jangan sampai bercerai kalau bukan maut yang memisahkan. Kalau timbul satu halangan, misalnya si istri tidak dapat memenuhi kewajiban persuamiistrian, misalnya karena sakit berlarut-larut, atau mandul; apa boleh buat. Berkerelaanlah berdua membuka pinta bagi suami untuk menikah lagi.
Ingat sekali lagi, bahwa ayat Al-Qur'an yang mengizinkan nikah lebih dari satu, sampai dengan empat, hanya satu ini saja. Tidak ada ayat lain.
Ingatlah, bahwa ayat ini ada pangkalnya dan ada ujungnya.
Pangkal ayat ialah jika takut tidak akan berlaku jujur terhadap anak yatim, terutama tentang hartanya, daripada menikahinya lebih baik menikahi perempuan lain saja, mana yang berkenan di hati.
Ujung ayat mempunyai persyaratan yang wajib dipenuhi. Pertama, ditegaskan bahwa jika takut tidak adil, lebih baiklah satu saja. Sebab itu, sebelum menambah istri disuruh lebih dahulu berpikir matang, ditelungkup di-telentangkan.
Ujung yang kedua ialah memujikan beristri satu saja, sebab beristri satu orang itulah yang lebih hampir kepada keadaan yang tidak berlaku sewenang-wenang, atau banyak bohong, atau miskin, melarat, dan besar tanggungan.
Kelak pada ayat 128 diterangkan lagi betapa sukarnya akan berlaku adil terhadap istri-istri itu, walaupun bagaimana menjagarya. Sebab itu, hati-hati benarlah sebelum bertindak.
Alhasil yang kedua lagi, janganlah kita po-tongi pangkal dan ujung ayat karena keinginan-keinginan hawa nafsu belaka, karena melihat perempuan cantik atau muda. Janganlah sampai kita laksana orang yang malas shalat lalu memotong satu ayat,
“Janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu mabuk." Lalu dihapuskan, “sedang kamu mabuk."
Atau mengambil pangkal ayat,
“Celaka besarlah orang yang shalat." (al-Maa'uun: 4)
Lalu, ditinggalkan lanjutannya,
“(Yaitu) orang-orang yang melupakan maksud shalatnya." (al-Maa'uun: 5)
Jangan mengemukakan alasan karena Rasul dan sahabat-sahabat umumnya beristri lebih dari satu. Sebab itu, kita hendak mengikuti Sunnah. Kalau hendak mengikuti sun-nah ikutilah lebih dahulu sunnah Rasul dan sahabat-sahabatnya tentang keadilan beristri, bukan tentang beristrinya saja.
RASULULLAH ﷺ DENGAN ISTRI-ISTRI BELIAU
Belumlah lengkap keterangan tentang kebolehan beristri lebih dari satu ini, kalau belum kita uraikan pula serba sedikit tentang Nabi kita ﷺ dengan istri-istri beliau, yang berlebih dari empat. Menurut riwayat, 21 orang banyaknya dan 9 orang antara mereka beliau tinggalkan ketika beliau wafat.
Riwayat beliau dengan istri-istrinya ini perlu kita ketahui dalam kedudukan kita sebagai orang Islam, untuk mendudukkan soalnya berdasarkan kepada iman kita. Kita pun mengerti bahwa musuh-musuh Islam seperti setengah Orientalis Barat atau Misi dan Zending Kristen sengaja membuat kritik-kritik yang rendah mutunya berkenaan dengan per-nikahan-pernikahan Nabi.
Di antara kritik itu ialah bahwa Nabi Muhammad ﷺ beristri lebih dari satu orang adalah karena hawa nafsu syahwat semata-mata. Lantaran itu mereka lemparkan penghinaan-penghinaan yang rendah mutunya, dengan maksud semata-mata membusukkan Islam dan juga untuk mengingkari beliau sebagai Nabi. Akan tetapi, mereka tidak mau melakukan penghinaan itu terhadap Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman yang keduanya beristri sampai beratus-ratus orang. Mereka tetap menganggap Dawud sebagai seorang Nabi dan Raja yang sangat mulia dan mengatakan bahwa Isa al-Masih adalah keturunan Dawud.
Oleh sebab itu, kalau kita berikan keterangan bagaimana duduk soalnya, jika Nabi beristri banyak, maksudnya hanyalah semata-mata mengingatkan kepada kaum Muslimin saja, bukan untuk membantah fitnah yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam. Karena betapa pun kita memberikan keterangan secara jujur dan ilmiah, mereka akan tetap memberikan penilaian yang di luar kebenaran terhadap Nabi sebab mereka bukanlah dalam rangka mencari kebenaran, melainkan semata-mata untuk memperkuat pendirian mereka saja, bahwa mereka tidak percaya atau kufur kepada Nabi Muhammad ﷺ. Sebab itu, betapa pun benarnya yang kita terangkan, tidaklah akan mereka terima. Karena kalau mereka terima, berarti mereka mengakui kebenaran Islam. Tentu yang demikian itu pantang bagi mereka. Adapun istri-istri Rasullulah ﷺ yang sebelas itu ialah berikut ini.
Khadljah binti Khuwailid
Khuwailid ayahnya ialah anak Asad; Asad anak Abdul-Uzza; Abdul-Uzza anak Qushai; Qushai anak Kilab dari Quraisy.
Pada zaman jahiliyyah Khadijah diberi orang gelar ath-Thahirah artinya yang bersih karena dia sejak dari semula tidak terbawa gelombang adat-adat buruk zaman jahiliyyah. Suami pertamanya ialah Abu Halah. Dari per-nikahan pertama, dia memperoleh anak perempuan bernama Hindun. Setelah Abu Halah meninggal, dia dinikahi Utaid bin Abid dari Bani Makhzum juga.
Setelah memperoleh dua orang putra, seorang laki-laki dan seorang perempuan, Utaid pun meninggal. Setelah itu, menikahlah Khadijah dengan Rasulullah ﷺ Usia Khadijah 40 tahun dan usia Rasulullah ﷺ 25 tahun.
Dua kali kematian suami menyebabkan Khadijah telah pandai hidup sendiri. Dia mengirimkan perniagaannya ke Syam dengan orang-orang yang dipercayainya. Sebab itu, terhitunglah dia sebagai salah seorang yang di Mekah. Satu kali tertariklah hatinya mengangkat Muhammad menjadi kepercayaannya untuk membawa perniagaan ke Syam. Harapannya itu tidaklah kecewa sebab Nabi Muhammad ﷺ memegang kepercayaan dan amanah dengan baik dan perniagaan membawa keuntungan yang besar. Kembali dari membawa perniagaan dari Syam itulah Khadijah mengatakan keinginannya terus-terang kepada Muhammad agar sudi menikah dengan dia.
Menurut riwayat dari al-Waqidi, ahli sejarah Nabi yang terkenal, Khadijah terlebih dahulu mengirim seorang perempuan bernama Nafisah binti Munyah untuk menyelidiki secara halus kalau-kalau Muhammad sudi menikah dengan dia. Padahal waktu itu banyaklah laki-laki yang ingin menikah dengan Khadijah. Pertama karena nasab keturunannya, kedua karena kemuliaannya di tengah kaumnya, ketiga karena dia kaya raya. Orang-orang yang menginginkannya pun banyak pula yang kaya raya yang sudi membayar mas kawin dengan pantas. Akan tetapi, hati Khadijah telah lekat kepada Muhammad ﷺ sehingga diutuslah Nafisah tersebut menyiasati perasaan Muhammad dalam hal pernikahan sesudah dia kembali dari Syam. Berkata Nafisah, “Aku temui dia, lalu aku bertanya, ‘Ya Muhammad! Apakah halangannya, engkau belum juga menikah?' Beliau menjawab, ‘Saya tidak punya apa-apa untuk menghadapi pernikahan!'"
Lalu, aku bertanya pula, “Bagaimana kalau ada orang yang tidak mementingkan berapa engkau mesti membayar mas kawin? Bagaimana kalau ada seorang perempuan yang cantik, berharta, bangsawan dan kufu (sejodoh) dengan engkau, ingin hendakmempersuamikan engkau? Adakah engkau suka?" Beliau bertanya, “Siapa orangnya?" Aku menjawab, “Urusan itu serahkan kepadaku!" Kata Nafisah selanjutnya, “Aku pun pergi kepada Khadijah menerangkan hasil percakapan itu. Setelah mendengar berita yang aku bawa, Khadijah segera mengutusku menemui Muhammad meminta dia datang ke rumah Khadijah. Diutusnya pula orang lain memberitahukan hal itu kepada pamannya, Amir bin Asad, supaya dia menjadi wali untuk menikahkan mereka. Setelah beliau datang ke rumah Khadijah dan berhadapan, berkatalah Khadijah, “Wahai anak pamanku! Aku ingin mempersuamikanmu karena hubungan kekeluargaanku dengan engkau dan engkau pun seorang yang terpandang mulia dalam keluargamu sendiri. Engkau adalah seorang yang amat dipercaya di kalangan mereka dan engkau pun terkenal sebagai yang baik budi dan jujur. Sebab itu, terimalah diriku menjadi istrimu!"
Kata al-Waqidi, Muhammad tidak sekaligus menerima lamaran yang mulia itu, melainkan dia berjanji akan segera menyampaikan permintaan itu kepada paman-pamannya. Paman-pamannya menyetujui dan mengurusnya. Beliau ditemani pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, meminang Khadijah kepada paman Khadijah, Amir bin Asad. Terdapatlah persesuaian dan menikahlah Muhammad dengan dia. Ketika akad nikah, pamannya yang tertua, Abi Thalib, turut hadir. Dicatatlah oleh ahli sejarah khutbah nikah yang diucapkan Abi Thalib meresmikan pernikahan itu,
“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita semua dari keturunan Ibrahim dan cikal bakal keturunan Isma'il, cabang Ma'ad, unsur Mudhar. Segala puji bagi Allah yang telah menakdirkan kita ini menjadi pengawal rumah-Nya yang mulia dan tanah-Nya yang suci. Di tengah kita berdiri rumah-Nya tempat orang naik haji dan kita hidup di atas tanah-Nya yang mulia dan Allah takdirkan kita menjadi pemimpin manusia. Sesungguhnya anak saudara kami ini, Muhammad anak Abdullah, adalah seorang yang jika ditimbang bersama laki-laki mana pun, dia akan tetap lebih berat. Meskipun hartanya hanya sedikit, harta dunia ini hanyalah laksana bayang-bayang yang akan hilang. Kamu semua telah kenal siapa Muhammad sebagai keluargamu. Dia telah meminang Khadijah binti Khuwailid dan mas kawinnya telah disediakannya. Saya merasa, demi Allah, sesudah pernikahan itu akan terjadi pada dirinya suatu berita besar dan persoalan yang hebat."
Menurut riwayat, beliau telah membayar mas kawin 500 dirham perak banyaknya, yang seharga dengan 12 ugiyah emas.
Beruntung, berbahagia rumah tangga mereka. Menurut riwayat Ibnu Abbas, anak mereka pertama laki-laki diberi nama Qasim. Nama putra pertama inilah dijadikan gelar (Laqab) untuk beliau, yaitu Abui Qasim. Akan tetapi, Qasim meninggal waktu kecil. Dalam usia beliau 30 tahun, artinya setelah lima tahun menikah, dapatlah anak perempuan yang diberi nama Zainab. Tiga tahun sesudah itu lahir pula anak perempuan, bernama Ru-qaiyah; sesudah itu Ummi Kulsum; Fatimah, lahir setelah Rasulullah berusia 41 tahun. Kemudian, dapat pula seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdullah dan diberi nama timang-timang Thaher dan Thayib. Dialah anak yang dilahirkan setelah beliau menjadi Rasul. Sayang anak ini meninggal pula waktu kecil.
Pentinglah kedudukan Khadijah di dalam sejarah Islam. Sebab, dialah orang yang mula-mula beriman kepada risalah beliau dan tidaklah pernah Khadijah bermadu dengan perempuan lain. Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Setiap kali hati Rasulullah dikecewakan oleh kaum musyrikin dengan menolak dan mendustakan ajarannya, Khadijahlah yang menawari dan memperteguh hatinya dan membujuk serta mengakui kebenarannya!"
Pernah Nabi Muhammad mengatakan, “Perempuan-perempuan yang akan menjadi penghulu seluruh perempuan di dalam surga sesudah Maryam binti Imran, ialah Fatimah dan Khadijah serta Asiah, istri Fir aun!"
Aisyah mengakui terus terang, bahwa perempuan yang paling dikagumi dan kadang-kadang dicemburuinya di dunia tidak ada yang lain, melainkan Khadijah. Aisyah berkata, “Bukan karena aku pernah bertemu dengan dia, melainkan karena namanya selalu disebut oleh Rasulullah ﷺ" Sehingga kalau ada kambing disembelih, sepaha dagingnya selalu dikirim kepada teman sahabat Khadijah waktu dia hidup. Keluar beliau dari dalam rumah, Khadijah juga yang jadi buah mulut sehingga pada suatu hari pernah aku cemburu, sampai aku berkata, “Engkau masih ingat saja kepada seorang perempuan tua, padahal Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik!"
Kata Aisyah, “Beliau marah benar mendengar percakapanku demikian sehingga berdiri rambut ubun-ubun beliau karena sangat menahan marah," Lalu beliau berkata, “Tidak, demi Allah, selamanya tidak akan ada gantinya. Dialah yang mula-mula beriman kepadaku, waktu orang lain masih kafir. Dialah yang membenarkan aku, waktu orang lain mendustakan. Dialah yang mengobat hatiku dengan harta benda waktu orang lain membenciku dan memboikotku. Dari dia, aku diberi Allah anak-anak, sedang dari perempuan lain aku tidak mendapat anak!"
Berkata Aisyah, “Sejak itu aku berjanji dalam hatiku, tidak lagi akan menyebut-nyebut Khadijah dengan kurang hormat di hadapan beliau."
Itulah istri beliau yang pertama, yang kalau kita hendak meninjau rumah tangga ini dengan romantis modern dapat kita katakan bahwa inilah cinta pertama dari kedua belah pihak. Khadijah sudah menikah dua kali sebelum menikah dengan Nabi kita ﷺ. Akan tetapi, dia tidak beruntung karena kedua suaminya meninggal. Setelah itu sudah banyak orang meminangnya, tetapi semuanya ditolaknya. Barulah dia mengenal arti cinta setelah bertemu dengan pemuda yang jujur ini. Bagi Nabi ﷺ ini pulalah cinta pertamanya, yang menjadi buah mulutnya sampai akhir hayatnya, terutama karena pengorbanan-pengorbanan berat yang ditempuh Khadijah membelanya dan mengasuh anak-anaknya.
Khadijah meninggal tiga tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Usia Nabi ketika itu telah 50 tahun, sedang usia Khadijah 65 tahun. Mereka bergaul selama 25 tahun. Tahun kematiannya dipandang oleh Rasulullah ﷺ sebagai suatu tahun yang amat muram sehingga beliau namai “Tahun Duka Cita" karena beberapa hari sebelum Khadijah meninggal dunia, telah meninggal pula pamannya yang amat dicintainya dan yang membela sejak dia kecil, tetapi di akhir hayatnya tidak mau memeluk Islam, yaitu Abi Thalib.
Saudah binti Zam'ah
Saudah binti Zam'ah dari keturunan Lu'ai. Pada Lu'ai itulah bertemu nasabnya dengan Nabi. Dia menikah dengan Saudah beberapa hari setelah Khadijah meninggal dunia. Saudah pun ketika itu telah tua, tidak berapa selisih umurnya dengan Khadijah. Besar kemungkinan bahwa pernikahan ini terlebih banyak ditekankan kepada pemeliharaan rumah tangga karena kematian Khadijah. Suaminya yang pertama bernama Sakran bin Amir dari Bani Lu'ai juga.
Setelah dia tua dan merasa tidak dapat lagi menyelenggarakan suami menurut mestinya, dia hadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah.
Saudah terkenal sebab kesalehan dan kesabarannya. Dia dapat hidup menjadi istri beliau dan menyaksikan kewafatan beliau. Dia meninggal setelah tua sekali, di akhir pemerintahan Umar bin Khaththab.
Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq
Tidak berapa lama setelah itu, beliau menikah dengan Aisyah di bulan Syawwal tahun kesepuluh Nubuwwat. Inilah istri beliau yang paling muda usianya ketika dinikahi dan inilah istri beliau satu-satunya yang dinikahi dalam keadaan dara (perawan) Dia mulai dinikahkan oleh ayahnya, Abu Bakar, dengan Rasulullah dalam usia 7 tahun. Akan tetapi, baru beliau berumah dengan dia setelah pindah ke Madinah dalam usianya 9 tahun. Ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, usia Aisyah baru 18 tahun.
Karena dia tidak diberi putra oleh Allah, dia meminta izin kepada Rasulullah untuk memakai kuniyat (gelar) Lalu diizinkan oleh Rasulullah memakai gelar Ummi Abdillah, diambil dari nama Abdullah bin Zubair, anak Zubair bin Awwam, anak Asma binti Abu Bakar, kakak Aisyah.
Kata Masruq, ahli hadits yang terkenal, merawikan sebuah hadits yang diterimanya dari Aisyah, selalu dia sebutkan, “Hadits ini disampaikan kepadaku oleh Aisyah yang jujur, putri Abu Bakar yang jujur (as-Shiddiqatu binti as-Shiddiq)'1. “Ai-Bari'ah al-Mubarra'ah" (yang bersih dan dibersihkan pula namanya oleh Allah) Masruq juga mengatakan, ‘Aku melihat orang tua-tua dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah datang bertanya kepadanya hal pembagian faraidh!' Berkata Atha' bin Rabah, “Aisyah adalah seorang yang paling ahli dalam hal fiqih, paling alim dan paling baik menyatakan pendapat terhadap orang awam."
Amr bin Ash berkata, “Aku pernah menanyakan kepada Rasulullah ﷺ siapakah perempuan yang paling disukainya." Beliau menjawab, “Aisyah!" Dan aku tanya pula, “Laki-laki yang paling engkau sukai?" Beliau men-jawab, “Ayahnya!"
Kelebihan Aisyah dari yang lain ialah bahwa tempatnyalah yang dipilih Nabi ﷺ untuk sakitnya yang membawa mautnya. Dialah yang menyelenggarakan sakit beliau dan wafat beliau di atas haribaannya.
Aisyah wafat di Madinah pada tahun 57 Hijriyah dalam usia 60 tahun. Selama hayatnya, sesudah suaminya yang mulia wafat, terkenallah ilmunya yang luas, tempat orang bertanya. Pernah pada zaman Ali bin Abi Thalib terjamah tangannya kepada politik sehingga memimpin Peperangan Jamal (perang berontak) melawan Ali. Akan tetapi, dia dapat ditawan dan disuruh antarkan kepada adiknya, Muhammad bin Abu Bakar, ke Madinah. Sejak itu beliau tidak mencampuri urusan politik lagi, hanya mengajarkan ilmunya tentang hadits, fiqih, faraidh, dan serba sedikit mengerti pula dalam soal-soal pengobatan yang ada waktu itu.
Hafshah binti Umar bin Khaththab
Hafshah, seibu sebapak dengan Abdullah bin Umar. Ayahnya orang besar yang kedua di samping Abu Bakar, yang selalu berada di sisi Rasulullah ﷺ Dia turut hijrah ke Madinah bersama ayah dan suaminya. Suaminya yang pertama ialah Khunais bin Huzaifah, salah
seorang yang penting pula sebab dia turut di dalam Peperangan Badar. Artinya salah seorang yang dijanjikan Allah diberi ampun dosanya dan masuk ke surga.
Setelah dia meninggal, menjadi janda mudalah Hafshah. Umar ingin sekali agar anaknya yang telah ditinggal mati suami dinikahi oleh salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang penting. Lalu dia bicarakan soal putrinya dengan Abu Bakar, kalau-kalau dia sudi menerima nasib anaknya. Akan tetapi, Abu Bakar diam saja! Tidak menjawab sepatah pun. Umar marah. Kemudian, dia bicarakan pula nasib anaknya itu kepada Utsman bin Affan. Kebetulan waktu itu Utsman baru ditinggal mati istrinya, Ruqaiyah, anak perempuan Rasulullah. Artinya Utsman menantu Nabi ﷺ. Waktu soal ini dibicarakan Umar dengan dia, dia menjawab saja dengan pendek, ‘Aku belum berniat beristri sekarang." Umar bertambah marah karena kedua sahabatnya itu tidak mempedulikan keinginannya. Lalu dia pergi mengadukan halnya kepada Rasulullah ﷺ bahwa permintaannya dipandang enteng oleh kedua sahabatnya.
Rasulullah ﷺ mengetahui benar tabiat sahabatnya satu demi satu dan sangat pandai menghadapi perangai mereka.
Dia tahu bahwa Umar lekas naik darah dan lekas tersinggung serta lekas pula pemaaf kalau menerima kebenaran. Melihat mukanya kusut sedang menceritakan lamarannya yang tulus itu, tidak dijawab sepatah pun oleh Abu Bakar, sedang Utsman menolak saja dengan kata pendek, Rasulullah berkata dengan tenang dan senyumnya, “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih mulia daripada Utsman, sedang Utsman akan menikah dengan perempuan yang lebih tinggi daripada Hafshah." Umar tercengang-cengang mencari arti perkataan itu, Rasulullah melanjutkan perkataannya, “Sekarang aku meminang Hafshah kepadamu!"
Tidaklah dapat dilukiskan betapa kegembiraan Umar mendengar pertanyaan Rasulullah.
Setelah langsung pernikahan Rasulullah dengan Hafshah, tidak lama kemudian bertemulah Umar dengan Abu Bakar. Dengan senyum Abu Bakar berkata, “Maafkan aku karena seketika engkau menyebut-nyebut anakmu Hafshah kepadaku, aku diam saja. Karena ketika kami duduk berdua tempo hari, Rasulullah ada menyebut-nyebut Hafshah dekatku. Demi menyimpan rahasia beliau, aku tutup mulutku dan tidak aku jawab perkataanmu. Kalau sekiranya beliau tidak jadi meminang Hafshah, tentu aku yang akan meminangnya."
Rasulullah menikahi Hafshah setelah 30 bulan beliau berpindah ke Madinah.
Di antara istri-istri beliau, ibu orang yang beriman Hafshah ini adalah paling keras tabiatnya, menyerupai ayahnya pula. Lekas naik darah. Sehingga satu kali pernah Rasulullah marah, langsung menceraikannya. Bukan main ibanya hati Umar setelah anaknya disuruh pulang oleh Rasulullah ﷺ sehingga diambilnya tanah dan diserakkannya di atas kepalanya sendiri sambil berkata, “Apa artiku lagi, kalau anakku telah beliau ceraikan."
Berkatalah Uqbah bin Amir, “Datanglah Malaikat Jibril kepada Rasulullah ﷺ menyuruh beliau rujuk kembali. Berkata Jibril, “Rujuklah kembali kepada Hafshah. Dia adalah seorang perempuan yang selalu berpuasa dan selalu bangun untuk bershalat malam. Dia adalah istrimu sampai ke surga esok!" Katanya pula, “Kembalilah kepadanya, kasihanilah Umar!"
Setelah Sayyidina Umar luka parah karena ditikam pendurhaka Abu Luklu'ah, beliau wasiatkan kepada Hafshah menyuruh menyimpan Mushaf Al-Qur'an yang telah dikumpulkan dalam zaman Abu Bakar. Mushaf pertama itu diserahkan oleh Hafshah kepada Sayyidina Utsman ketika akan disalin kepada beberapa naskah yang akan dikirimkan ke pusat-pusat negeri Islam, yaitu Mesir, Syam, Irak, dan Mekah.
Menurut ad-Daulabi, yang diterimanya dari Ahmad bin Muhammad bin Ayub, Hafshah meninggal pada tahun 27 Hijriyah. Menurut Abu Ma'syar dia wafat pada bulan jumadil Ula tahun 41. Kata yang lain, dia wafat tahun 45 di Madinah. Yang menshaiatmya dan memikul jenazahnya ialah Marwan bin Hakam karena ketika itu Marwan menjadi Gubernur Mu'awiyah di Madinah.
Zainab binti Khuzaimah
Ayah Khuzaimah dari keturunan Hilal bin Amir. Sebab itu, nama beliau selalu ditulis Zainab binti Khuzaimah bind Harits al-Amiriyah. Sejak zaman jahiliyyah nama Zainab telah terkenal karena sangat pemurah menolong orang-orang yang sengsara sehingga diberi orang gelar Ummul Masaakm (ibu orang-orang yang melarat)
Zainab adalah seorang janda sahabat Rasulullah ﷺ yang bernama Ubaidah bin Harits yang wafat mencapai syahidnya dalam Peperangan Uhud. Akan tetapi, malang, hanya 8 bulan saja Rasulullah ﷺ dapat mem-pergaulinya, dia pun meninggal dalam usia sekitar 30 tahun. Dua kali Rasulullah ﷺ ke-matian istri dengan meninggalnya Zainab. Istri yang pertama meningga