Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan jangan
تَقۡفُ
kamu mengikuti
مَا
apa
لَيۡسَ
yang tidak ada
لَكَ
bagimu
بِهِۦ
dengannya/tentangnya
عِلۡمٌۚ
pengetahuan
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلسَّمۡعَ
pendengaran
وَٱلۡبَصَرَ
dan penglihatan
وَٱلۡفُؤَادَ
dan hati
كُلُّ
tiap-tiap/semuanya
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka/itu
كَانَ
adalah
عَنۡهُ
dari padanya/tentang itu
مَسۡـُٔولٗا
ditanya
وَلَا
dan jangan
تَقۡفُ
kamu mengikuti
مَا
apa
لَيۡسَ
yang tidak ada
لَكَ
bagimu
بِهِۦ
dengannya/tentangnya
عِلۡمٌۚ
pengetahuan
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلسَّمۡعَ
pendengaran
وَٱلۡبَصَرَ
dan penglihatan
وَٱلۡفُؤَادَ
dan hati
كُلُّ
tiap-tiap/semuanya
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka/itu
كَانَ
adalah
عَنۡهُ
dari padanya/tentang itu
مَسۡـُٔولٗا
ditanya
Terjemahan
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.
Tafsir
(Dan janganlah kamu mengikuti) menuruti (apa yang kami tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati) yakni kalbu (semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya) pemiliknya akan dimintai pertanggungjawabannya, yaitu apakah yang diperbuat dengannya?.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa makna la taqfu ialah la taqul (janganlah kamu mengatakan). Menurut Al-Aufi, janganlah kamu menuduh seseorang dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan bagimu tentangnya. Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan, makna yang dimaksud ialah kesaksian palsu.
Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kamu mengatakan bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya; atau kamu katakan bahwa kamu mendengarnya, padahal kamu tidak mendengarnya; atau kamu katakan bahwa kamu mengetahuinya, padahal kamu tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu tentang hal tersebut secara keseluruhan. Kesimpulan pendapat mereka dapat dikatakan bahwa Allah ﷻ melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi.
Dalam ayat lain disebutkan oleh firman-Nya: jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. (Al-Hujurat: 12) Di dalam hadis disebutkan seperti berikut: Jauhilah oleh kalian prasangka. Karena sesungguhnya prasangka itu adalah pembicaraan yang paling dusta. Di dalam kitab Sunnah Imam Abu Daud di sebutkan hadis berikut: Seburuk-buruk sumber yang dijadikan pegangan oleh sesorang ialah yang berdasarkan prasangka. Di dalam hadis yang lain disebutkan: Sesungguhnya kedustaan yang paling berat ialah bila seseorang mengemukakan kesaksian terhadap hal yang tidak disaksikannya.
Di dalam hadis sahih disebutkan: Barang siapa yang berpura-pura melihat sesuatu dalam mimpinya, maka kelak di hari kiamat ia akan dibebani untuk memintal dua biji buah gandum, padahal dia tidak dapat melakukannya. Firman Allah ﷻ: semuanya itu. (Al-Isra: 36) Maksudnya semua anggota tubuh, antara lain pendengaran, penglihatan, dan hati, akan dimintai pertanggungjawabannya. (Al-Isra: 36) Seseorang hamba akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dilakukan oleh anggota-anggota tubuhnya itu pada hari kiamat, dan semua anggota tubuhnya akan ditanyai tentang apa yang dilakukan oleh pemiliknya.
Pemakaian kata ula-ika yang di tujukan kepada pendengaran, penglihatan, dan hali diperbolehkan dalam bahasa Arab. Seperti- apa yang dikatakan oleh salah seorang penyairnya: ..... Tiada tempat tinggal yang enak sesudah tempat tinggal di Liwa, dan tiada kehidupan yang enak sesudah hari-hari itu (yang penuh dengan kenangan manis).
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Jangan mengatakan sesuatu yang engkau tidak
ketahui, jangan mengaku melihat apa yang tidak engkau lihat, jangan
pula mengaku mendengar apa yang tidak engkau dengar, atau mengalami apa yang tidak engkau alami. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, adalah amanah dari Tuhanmu, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya, apakah pemiliknya menggunakan untuk kebaikan atau keburukan'Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, untuk menampakkan kekuasaan dan kekuatanmu, karena sesungguhnya sekuat apa pun hentakan kakimu, kamu sekali-kali tidak dapat menembus
bumi dan setinggi apa pun kepalamu, sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung. Sesungguhnya kamu adalah makhluk yang lemah dan
rendah di hadapan Allah, kamu tidak memiliki kekuatan dan kemuliaan, melainkan apa yang dianugerahkan oleh-Nya.
Allah ﷻ melarang kaum Muslimin mengikuti perkataan atau perbuatan yang tidak diketahui kebenarannya. Larangan ini mencakup seluruh kegiatan manusia itu sendiri, baik perkataan maupun perbuatan.
Untuk mendapat keterangan lebih jauh dari kandungan ayat ini, berikut ini dikemukakan berbagai pendapat dari kalangan sahabat dan tabiin:
1. Ibnu 'Abbas berkata, "Jangan memberi kesaksian, kecuali apa yang telah engkau lihat dengan kedua mata kepalamu, apa yang kau dengar dengan telingamu, dan apa yang diketahui oleh hati dengan penuh kesadaran."
2. Qatadah berkata, "Jangan kamu berkata, "Saya telah mendengar," padahal kamu belum mendengar, dan jangan berkata, "Saya telah melihat," padahal kamu belum melihat, dan jangan kamu berkata, "Saya telah mengetahui," padahal kamu belum mengetahui."
3. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan larangan mengatakan sesuatu yang tidak diketahui ialah perkataan yang hanya berdasarkan prasangka dan dugaan, bukan pengetahuan yang benar, seperti tersebut dalam firman Allah:
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. (al-Hujurat/49: 12)
Dan seperti tersebut dalam hadis:
Jauhilah olehmu sekalian prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah ucapan yang paling dusta. (Riwayat Muslim, Ahmad, dan at-Tirmizi dari Abu Hurairah)
4. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud ialah larangan kepada kaum musyrikin mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka, dengan taklid buta dan mengikuti keinginan hawa nafsu. Di antaranya adalah mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka menyembah berhala, dan memberi berhala itu dengan berbagai macam nama, seperti tersebut dalam firman Allah:
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya. (an-Najm/53: 23)
Allah ﷻ lalu mengatakan bahwa sesungguhnya pendengaran, peng-lihatan, dan hati akan ditanya, apakah yang dikatakan oleh seseorang itu sesuai dengan apa yang didengar suara hatinya. Apabila yang dikatakan itu sesuai dengan pendengaran, penglihatan, dan suara hatinya, ia selamat dari ancaman api neraka, dan akan menerima pahala dan keridaan Allah. Tetapi apabila tidak sesuai, ia tentu akan digiring ke dalam api neraka.
Allah ﷻ berfirman:
Pada hari, (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (an-Nur/24: 24)
Dan hadis yang diriwayatkan oleh Syakal bin Humaid, ia berkata:
Saya mengunjungi Nabi saw, kemudian saya berkata, "Wahai Nabi, ajarilah aku doa minta perlindungan yang akan aku baca untuk memohon perlindungan kepada Allah. Maka Nabi memegang tanganku seraya bersabda, "Katakanlah, "Aku berlindung kepada-Mu (Ya Allah) dari kejahatan telingaku, kejahatan mataku, kejahatan hatiku, dan kejahatan maniku (zina)." (Riwayat Muslim)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEJUJURAN BERNIAGA
Ayat 35
“Dan sempurnakanlah sukaran apabila kamu menyukai."
Al-kail kita artikan saja dengan sukatan. Menurut yang lazim di negeri Melayu, satu sukatan adalah empat gantang dan satu ke-tiding adalah sepuluh sukat. Tetapi, pemerintah Republik Indonesia melanjutkan pemerintahan Belanda yang lama tidak lagi memakai sukat dan gantang sebagai ukuran resmi, melainkan memakai liter."Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus." Dalam hal timbangan yang besar kita di zaman sekarang memakai kilogram. Maka ditegaskan di dalam ayat ini supaya seorang Mukmin hendaklah secara jujur menggunakan sukatan dan timbangan, jangan ada kecoh dan tipu sehingga ada gantang atau liter pembelian lain pula gantang atau liter penjual. Anak timbangan demikian pula jangan sampai merugikan.
“Itulah yang baik, dan itulah yang seelok-elok kesudahan."
Itulah yang baik Sebab, dengan begitu ada rasa tenteram pada kedua belah pihak, baik yang menjual ataupun yang membeli keuntungan yang didapati ialah dengan kejujuran. Dan kejujuran itulah inti kekayaan yang sejati, yang membawa kemakmuran. Ahli-ahli ekonomi modern pun sampai kepada kesimpulan bahwa yang sehat itu ialah yang tegak di atas kejujuran. Namun, uang hasil dari kecurangan adalah uang panas. Lekas dapat, lekas musnah. Seelok-elok kesudahan adalah kemakmuran yang merata itulah tujuan masyarakat yang dikehendaki Islam.
Dengan ayat ini dapatlah kita mengambil kesan bahwa memakai cupak dan gantang, sukat dan ketiding, liter dan kilogram adalah bagian yang terbesar dari kegiatan hidup kita. Negeri Mekah sendiri tempat mula ayat-ayat ini diturunkan didiami oleh orang-orang kaya yang hidup dari perniagaan, membawa barang dengan kafilah di musim panas ke Thaif untuk perhubungan ke selatan dan di musim dingin ke Syam untuk hubungan ke sebelah utara.
Nabi kita sendiri ﷺ adalah seorang saudagar yang menjalankan barang kepunyaan istrinya, Khadijah, dalam usianya 25 tahun, sampai janda kaya itu meminangnya karena terbukti jujur padahal waktu itu beliau belum menjadi rasul.
Maka banyaklah peringatan tentang perniagaan dengan kejujuran itu dalam Al-Qur'an. Cerita Nabi Syu'aib dengan kaumnya penduduk Madyan ditekankan kepada peringatan bagi kaum itu karena kecurangan mereka pada sukatan dan timbangan hingga negeri mereka celaka. Dan sebuah surah yang khas menegur orang-orang yang disebut al-Muthaffifin, yang berarti orang-orang yang curang! “Yaitu orang-orang yang apabila menerima sukatan dari orang lain, mereka minta supaya dicukupkan. Tetapi apabila dia yang menyukat untuk orang lain, mereka rugikan orang."
Tegas di sini bahwa Islam menghendaki majunya iqtishad, ekonomi. Dan iqtishad atau ekonomi itu barulah mencapai yang sebenarnya kalau didasarkan atas kejujuran. Dan kejujuran itu mestilah timbul dari iman.
Menurut sabda Rasulullah saw, yang disampaikan oleh Hasan al-Bishri,
“Tidaklah sanggup seseorang laki-laki berbuat yang haram (curang), tetapi ditinggalkannya, tidak hanya karena takutnya ditinggalkannya, tidak lain hanya karena takutnya kepada Allah, melainkan pastilah akan diganti Allah segera di dunia ini sebelum akhirat, dengan yang lebih baik daripada keuntungan yang nyaris diharapkannya dari yang haram itu."
JANGAN HANYA MENURUT SAJA
Ayat 36
“Dan janganlah engkau menurut saja dalam hal yang tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya."
Ayat ini termasuk sendi budi pekerti Muslim yang hendak menegakkan pribadinya. Kita dilarang Allah menurut saja."Nurut" menurut bahasa Jawa, dengan tidak menyelidiki sebab dan musabab.
Qatadah menafsirkan kelemahan pribadi Pak Turut itu demikian, “Jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya. Aku dengar, padahal tak pernah engkau dengar. Saya tahu, padahal engkau tak tahu."
Di awal ayat ini tersebut wa laa taqfu. Kata-kata taqfu ialah dari mengikuti jejak. Ke mana orang pergi, ke sana awak pergi. Ke mana tujuan orang itu, awak tak tahu.
Di ujung ayat ditegaskan,
“Sesungguhnya pendenganan dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya."
Terang di sini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashshub pada golongan, membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal, dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sementara itu, pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudarat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya.
Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk menimbang. Sebab, kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bidah. Bahkan, kerap kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bidah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu.
Memang, orang yang masih belum banyak peralatan tentu akan menurut saja kepada yang lebih pandai. Tetapi, sekadar pokok-pokok dalam agama mestilah dipelajari dan ditanyakan kepada yang lebih pandai.
“Bertanyalah kepada orang yang ahli peringatan kalau kamu tidak tidak mengetahui." (an-Nahl: 43)
JANGAN SOMBONG
Ayat 37
“Dan janganlah engkau benjolan di atas bumi dalam keadaan sombong."
Marahan kita artikan sombong, yaitu orang yang tak tahu letak dirinya. Bersifat angkuh karena dia telah lupa bahwa hidup manusra di dunia ini hanyalah semata-mata karena pinjaman Allah. Lupa bahwa asalnya hanya dari air mani yang bergetah, campuran air si laki-laki dengan air si perempuan. Dan kelak dia mati, dia akan kembali masuk tanah dan kembali jadi tanah, tinggal tulang-tulang yang berserak dan menakutkan. Lalu diperingatkan siapa sebenarnya diri manusia yang mencoba sombong itu."Sesungguhnya engkau sekali-kali tiada akan dapat membelah bumi."
Ini adalah kata kiasan yang tepat sekali buat orang yang sombong. Bagaimanapun se-seorang yang rantak tojak di atas bumi, menghardik, menghantam tanah, namun bumi itu tidaklah akan luak atau luka karena hantaman kakinya.
“Dan sekali-kali tidaklah akan sampai sebagai gunung tinggimu."
Ini pun suatu ungkapan yang tepat buat orang yang sombong. Dia menengadah ke langit laksana menantang puncak gunung dan melawan awan padahal puncak gunung itu akan melihat lucunya si kecil ini menantang dia, laksana senyumnya seorang manusia melihat seekor semut kecil mengangakan mulutnya hendak mematuk kakinya. Padahal, ditekan saja sedikit dengan ujung kuku, dia pun hancur lumat.
Oleh sebab itu, seorang Mukmin sejati ialah seorang yang tahu diri. Lalu diletakkannya diri itu pada tempat yang sebenarnya. Itulah yang disebut dalam kata Arab tawadhu. Atau tegaklah yang sederhana, ukurlah kekuatan diri, seperti hadits Rasulullah ﷺ,
“Tidaklah akan celaka seseorang yang mengerti kedudukan dirinya."
Ayat 38
“Tiap-tiap sesuatunya itu."
yaitu sejak dari mendurhakai ibu bapak, berkata kasar kepada keduanya, membuang -buang harta (mubazir), boros ataupun bakhil, mendekat kepada zina, membunuh anak karena takut miskin, mendekati harta anak yatim, kecurangan berniaga, melalaikan janji, menurut-nurut saja tanpa berpikir, dan sombong semuanya itu.
“Adalah kejahatannya kepada Allah, amat dibenci."
Sama sekali itu adalah budi yang rendah, akhlak tercela yang menunjukkan bahwa orang yang berperangai demikian belum dapat dimasukkan ke dalam hitungan orang yang beriman.
Akhirnya, sebagai pengunci peringatan-peringatan budi pekerti luhur yang terpuji atau budi rendah yang tercela, berfirmanlah Allah,
Ayat 39
“Demikian itulah setengah daripada hikmah yang diwahyukan oleh Tuhan engkau kepada engkau."
Artinya, itu barulah setengahnya, belum semua. Lalu diperingatkan lagi oleh Allah sumber sejati dari akhlak Muslim itu, yang dari-nyalah timbul segala cabang akhlak, yaitu Dan janganlah engkau jadikan beserta Allah Tuhan yang lain.
Ayat 22
“Ketika pedoman hidup ini dimulai menjelaskannya, dia telah dimulai lebih dahulu"
Dengan seruan itu juga, yaitu jangan dipersekutukan yang lain dengan Allah. Kalau Allah dipersekutukan, engkau akan tercela, engkau akan terhina. Sekarang demikian jugalah halnya. Kalau engkau persekutukan yang lain dengan Allah,
“Niscaya dilemparkan engkau ke dalam Jahannam, dalam keadaan tercela lagi terbuang."
Dengan ayat 22 dimulai dan dengan ayat 39 disudahi satu peringatan dan hikmah Allah yang akan dijadikan pegangan dalam hidup. Oleh sebab itu, pandangan seorang Muslim terhadap akhlak bukanlah dia semata-mata etika atau sopan santun pergaulan hidup, agar kita dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Lebih dari itu, dimulai dengan keinsafan atas tujuan hidup kita, yaitu menyatukan hadapan pikiran kepada Zat Yang Maha Esa dan Kuasa.
Dari sana kita memulai langkah. Itu yang kita jadikan pedoman dalam perjalanan. Itu pulalah tujuan kita yang terakhir.
Dia hanya satu tiada Tuhan melainkan Dia.