Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَيَبۡلُوَنَّكُمُ
sungguh akan menguji kamu
ٱللَّهُ
Allah
بِشَيۡءٖ
dengan sesuatu
مِّنَ
dari
ٱلصَّيۡدِ
binatang buruan
تَنَالُهُۥٓ
kamu perolehnya
أَيۡدِيكُمۡ
tanganmu
وَرِمَاحُكُمۡ
dan tombakmu
لِيَعۡلَمَ
karena hendak mengetahui
ٱللَّهُ
Allah
مَن
siapa
يَخَافُهُۥ
takut kepadanya
بِٱلۡغَيۡبِۚ
dengan yang gaib/tidak terlihat
فَمَنِ
maka barang siapa
ٱعۡتَدَىٰ
melanggar batas
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian/itu
فَلَهُۥ
maka baginya
عَذَابٌ
siksa
أَلِيمٞ
pedih
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَيَبۡلُوَنَّكُمُ
sungguh akan menguji kamu
ٱللَّهُ
Allah
بِشَيۡءٖ
dengan sesuatu
مِّنَ
dari
ٱلصَّيۡدِ
binatang buruan
تَنَالُهُۥٓ
kamu perolehnya
أَيۡدِيكُمۡ
tanganmu
وَرِمَاحُكُمۡ
dan tombakmu
لِيَعۡلَمَ
karena hendak mengetahui
ٱللَّهُ
Allah
مَن
siapa
يَخَافُهُۥ
takut kepadanya
بِٱلۡغَيۡبِۚ
dengan yang gaib/tidak terlihat
فَمَنِ
maka barang siapa
ٱعۡتَدَىٰ
melanggar batas
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian/itu
فَلَهُۥ
maka baginya
عَذَابٌ
siksa
أَلِيمٞ
pedih
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, sungguh Allah pasti akan mengujimu dengan sesuatu dari hewan buruan yang (mudah) didapat oleh tangan dan tombakmu agar Allah mengetahui siapa yang takut kepada-Nya, meskipun Dia gaib. Siapa yang melanggar (batas) setelah itu, baginya azab yang pedih.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kamu akan menerima ujian) percobaan dari (Allah dengan sesuatu) yang Ia kirimkan kepadamu (berupa binatang buruan yang mudah didapat) maksudnya binatang buruan yang kecil-kecil (oleh tangan-tanganmu dan tombak-tombakmu) berupa binatang buruan yang besar-besar. Peristiwa ini terjadi sewaktu di Hudaibiah sedangkan mereka dalam keadaan berihram; tersebutlah bahwa hewan-hewan liar berada di mana-mana sewaktu mereka dalam perjalanan (supaya Allah mengetahui) dengan pengetahuan yang jelas (orang yang takut kepada-Nya, biar pun ia tidak dapat melihat-Nya) menjadi hal yang artinya secara gaib tidak bisa melihat-Nya kemudian ia menghindari binatang buruan itu. (Siapa yang melanggar batas sesudah itu) sesudah dilarang menangkap binatang buruan itu kemudian ia bertekad menangkapnya (maka baginya siksaan yang pedih).
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 94-95
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombak kalian supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak setara dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan orang yang adil di antara kalian sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Kabah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa setara dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan mengazab. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai kekuasaan untuk mengazab.
Ayat 94
Al-Walibi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombak kalian.” (Al-Maidah: 94) Yakni binatang buruan yang lemah dan yang kecil, Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan melalui binatang buruan itu dalam ihram mereka; sehingga seandainya mereka suka, mereka dapat menangkapnya dengan tangan mereka. Maka Allah melarang mereka mendekatinya.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Yang mudah didapat oleh tangan kalian.” (Al-Maidah: 94) Yakni binatang buruan yang kecil dan yang masih baru menetas.
“Dan oleh tombak kalian.” (Al-Maidah: 94)
Yakni binatang buruan yang besar.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan dalam peristiwa umrah Hudaibiyyah. Tersebutlah bahwa saat itu binatang liar, burung-burung, dan binatang buruan lainnya banyak mereka dapati dalam perjalanan mereka; hal seperti itu belum pernah mereka lihat sebelumnya. Lalu Allah melarang mereka membunuh binatang-binatang buruan, sedang mereka dalam keadaan ihram.
“Supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya.” (Al-Maidah: 94)
Yakni Allah ﷻ menguji mereka dengan binatang buruan yang mengelilingi mereka dalam perjalanannya, mereka dapat saja dengan mudah menangkap binatang-binatang buruan itu dengan tangan dan tombak mereka secara sembunyi-sembunyi ataupun dengan terang-terangan.
Dimaksudkan agar tampak siapa yang taat kepada Allah di antara mereka dalam kesendiriannya atau dalam terang-terangannya. Makna ayat ini sama dengan yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Mulk: 12)
Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu.” (Al-Maidah: 94)
Yakni sesudah pemberitahuan dan peringatan serta pendahuluan ini, menurut As-Suddi dan lain-lainnya.
“Maka baginya azab yang pedih.” (Al-Maidah: 94)
Karena ia melanggar perintah Allah dan syariat-Nya.
Ayat 95
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram.” (Al-Maidah: 95)
Hal ini merupakan pengharaman dan larangan dari Allah ﷻ untuk membunuh dan memakan binatang buruan dalam keadaan ihram. Dan hal ini tiada lain menyangkut binatang yang boleh dimakan dagingnya, bila ditinjau dari segi maknanya, sekalipun hewan yang dilahirkan dari campuran antara binatang yang halal dimakan dan binatang lainnya.
Mengenai binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya dari kalangan hewan darat; menurut Imam Syafii, orang yang sedang ihram diperbolehkan membunuhnya. Lain halnya dengan jumhur ulama, mereka tetap mengharamkannya pula, dan tiada yang dikecualikan kecuali apa yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui jalur Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah Ummul Muminin, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Ada lima hewan jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal maupun di tanah suci, yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking (scorpion), tikus, dan anjing gila.”
Imam Malik telah meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada lima macam hewan yang tiada dosa bagi orang yang sedang ihram membunuhnya, yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing gila.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim juga mengetengahkannya.
Ayyub telah meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar hal yang serupa; dan Ayyub mengatakan, "Aku bertanya kepada Nafi' mengenai ular, maka Nafi' menjawab, 'Masalah ular tidak diragukan lagi, dan tiada yang memperselisihkan kebolehan membunuhnya'."
Di antara ulama seperti Imam Malik dan Imam Ahmad terdapat orang-orang yang menyamakan dengan anjing gila yaitu serigala, hewan pemangsa, macan tutul dan harimau, karena hewan-hewan tersebut lebih berbahaya daripada anjing gila.
Zaid ibnu Aslam dan Sufyan ibnu Uyaynah mengatakan bahwa pengertian anjing gila mencakup semua jenis hewan liar pemangsa. Orang yang mengatakan demikian menyimpulkan dalil dari sebuah riwayat yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ mendoakan kebinasaan terhadap Atabah ibnu Abu Lahab, dalam doanya beliau mengucapkan: “Ya Allah, kuasakanlah atas dirinya anjing-Mu yang ada di negeri Syam.” Ternyata Atabah dimangsa oleh hewan pemangsa di Zarqa.
Jumhur ulama mengatakan, jika seseorang membunuh selain hewan-hewan yang disebutkan dalam hadits, maka ia harus membayar dendanya, misalnya dia membunuh dubuk, musang, dan berang-berang serta lain-lainnya yang serupa.
Imam Malik mengatakan bahwa dikecualikan pula dari hal tersebut anak-anak dari kelima hewan yang disebutkan dalam nas hadits serta anak-anak hewan pemangsa yang disamakan dengan hewan-hewan tersebut.
Imam Syafii mengatakan, orang yang sedang ihram diperbolehkan membunuh semua hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara yang masih kecil dan yang sudah besar.
Dan Imam Syafii menilai bahwa 'illat jami'ah yang membolehkannya diperlakukan demikian karena dagingnya tidak boleh dimakan.
Imam Abu Hanifah mengatakan, orang yang sedang ihram boleh membunuh anjing gila dan serigala, mengingat serigala adalah anjing liar. Dan jika seseorang membunuh selain keduanya, maka ia harus menebusnya; kecuali jika hewan yang selain keduanya itu menyerangnya, maka barulah ia boleh membunuhnya, dan tidak ada kewajiban menebusnya. Hal ini merupakan pendapat Al-Auza'i dan Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Huyay.
Sedangkan menurut Zufar ibnul Huzail, orang yang bersangkutan tetap dikenakan tebusan, sekalipun binatang yang selain itu datang menyerangnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan burung gagak (al-gurab) dalam hadits ini ialah burung gagak yang berwarna abqa', yaitu yang pada punggungnya dan bagian bawah perutnya terdapat bulu yang berwarna putih (belang). Lain halnya dengan burung gagak adra yakni yang bulunya berwarna hitam mulus; juga burung asam, yakni burung gagak yang berwarna putih.
Hal ini berdasarkan kepada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Yahya Al-Qattan, dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Ada lima jenis hewan yang boleh dibunuh oleh orang yang sedang ihram, yaitu: ular, tikus, burung elang, burung gagak belang, dan anjing gila.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa makna yang dimaksud lebih umum dari itu, karena menurut hadits yang ada di dalam kitab Shahihain disebutkan lafal al-gurab secara mutlak tanpa ikatan (al-abqa').
Imam Malik rahimahullah mengatakan bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh membunuh burung gagak, kecuali jika burung gagak itu menyerang dan mengganggunya. Sedangkan menurut Mujahid ibnu Jabr dan segolongan ulama, ia tidak boleh membunuhnya melainkan hanya melemparnya. Dan telah diriwayatkan hal yang serupa dari Ali Hasyim: Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Abdur Rahman ibnu Abu Nu'm, dari Abu Sa'id, dari Nabi ﷺ. Beliau pernah ditanya mengenai hewan yang boleh dibunuh oleh orang yang sedang ihram. Maka beliau ﷺ menjawab: “Ular, kalajengking, tikus, dan burung gagak tidak boleh dibunuh, tetapi dilempar (diusir); (begitu pula) anjing gila, elang serta hewan pemangsa yang menyerang.”
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Hambal, dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Mani', keduanya dari Hasyim. Sedangkan Ibnu Majah dari Abu Kuraib dan Muhammad ibnu Fudail, keduanya dari Yazid ibnu Abu Ziyad, sedangkan dia orangnya dha’if. Tetapi menurut Imam At-Tirmidzi, hadits ini berpredikat hasan.
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak setara dengan buruan yang dibunuhnya.” (Al-Maidah: 95)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub yang menceritakan bahwa ia mendapat berita dari Tawus yang mengatakan, "Orang yang membunuh binatang buruan karena tidak sengaja tidak dijatuhi sanksi, melainkan yang dijatuhi sanksi ialah orang yang membunuhnya dengan sengaja." Hal ini merupakan mazhab (pendapat) yang aneh, bersumber dari Tawus; dia hanya berpegang kepada lahiriah makna ayat.
Mujahid ibnu Jabr mengatakan, yang dimaksud dengan makna muta'ammid dalam ayat ini ialah orang yang sengaja membunuh binatang buruan, sedangkan dia dalam keadaan lupa terhadap ihram yang sedang di jalaninya. Adapun orang yang sengaja membunuh binatang buruan, padahal ia ingat akan ihramnya, maka perkaranya lebih berat daripada hanya dikenai sanksi membayar kifarat, dan ihramnya batal.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bersumber dari Mujahid ibnu Jabr melalui jalur Ibnu Abu Nujaih, Al-Laits ibnu Salim, dan lain-lainnya. Pendapat ini pun aneh.
Adapun menurut jumhur ulama, orang yang sengaja dan orang yang lupa dalam melakukannya sama saja, diwajibkan membayar tebusan (denda). Az-Zuhri mengatakan bahwa Al-Qur'an menunjukkan kepada orang yang sengaja, sedangkan sunnah menunjukkan kepada orang yang lupa (tidak sengaja). Dengan kata lain, Al-Qur'an menunjukkan bahwa orang yang sengaja diwajibkan membayar denda, dan bahwa perbuatannya itu berdosa. Hal ini diungkapkan melalui firman Allah ﷻ: “Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan mengazab.” (Al-Maidah: 95)
Sedangkan yang ditunjukkan oleh sunnah, yaitu dari keputusan-keputusan Nabi ﷺ dan keputusan-keputusan sahabatnya, wajib membayar denda dalam kasus perburuan secara tidak sengaja. Perihalnya sama dengan kewajiban membayar denda dalam kasus sengaja. Lagi pula membunuh binatang buruan termasuk perbuatan merusak, dan merusak itu dikenai sanksi ganti rugi, baik dalam kasus sengaja ataupun tidak sengaja; tetapi orang yang melakukannya dengan sengaja berdosa, sedangkan orang yang keliru dimaafkan.
Firman Allah ﷻ: “Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak setara dengan buruan yang dibunuhnya.” (Al-Maidah: 95)
Sebagian dari ulama membacanya dengan idafah, yakni fajazau' misli. Sedangkan yang lainnya membacanya dengan meng-ataf-kannya, yaitu: “Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak setara dengan buruan yang dibunuhnya.” (Al-Maidah: 95)
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud membacanya fajazauhu mislu (dengan memakai damir).
Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak setara dengan buruan yang dibunuhnya.” (Al-Maidah: 95)
Menurut masing-masing dari dua qiraat di atas terkandung dalil yang dijadikan pegangan oleh pendapat Imam Malik dan Imam Syafii serta Imam Ahmad dan jumhur ulama, semuanya mengatakan wajib membayar denda berupa binatang ternak yang setara dengan binatang yang dibunuh oleh orang yang sedang ihram tersebut, jika binatang itu ada persamaannya dengan binatang yang jinak.
Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah, karena ia hanya mewajibkan harganya saja, baik binatang buruan yang terbunuh itu termasuk binatang yang ada persamaannya dengan binatang yang jinak ataupun bukan binatang yang mempunyai persamaan. Imam Abu Hanifah mengatakan, orang yang bersangkutan disuruh memilih, ia boleh menyedekahkan harganya, boleh pula harganya dibelikan hadya (hewan kurban). Tetapi keputusan yang telah ditetapkan oleh para sahabat yang menyatakan denda dibayar dengan binatang yang setara merupakan pendapat yang lebih utama untuk diikuti. Mereka memutuskan bahwa membunuh burung unta dendanya ialah seekor unta, membunuh sapi liar dendanya ialah seekor sapi, membunuh kijang dendanya ialah domba. Peradilan yang ditetapkan oleh para sahabat berikut sandaran-sandaran-nya disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih. Adapun jika binatang buruan bukan termasuk binatang yang ada kemiripannya dengan binatang yang jinak, maka Ibnu Abbas telah memutuskan dendanya, yaitu membayar harganya, lalu dibawa ke Mekah. Demikianlah menurut riwayat Imam Baihaqi.
Firman Allah ﷻ: “Menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.” (Al-Maidah: 95)
Mengenai ketetapan bayar denda dalam kasus binatang yang berstandar atau harganya dalam kasus membunuh binatang buruan yang tidak mempunyai standar dari binatang yang jinak, diputuskan oleh dua orang yang adil dari kalangan kaum muslim. Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan diri si pelaku perburuan, apakah dia boleh dijadikan sebagai salah seorang dari dua hakim yang memutuskan sanksi dendanya, ada dua pendapat mengenainya.
Salah satunya mengatakan tidak boleh, karena keputusan sanksi terhadap dirinya sendiri perlu dicurigai. Demikianlah menurut mazhab Imam Malik. Pendapat yang kedua mengatakan boleh, karena mengingat keumuman makna ayat. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad. Pendapat yang pertama beralasan bahwa seorang hakim tidak boleh merangkap menjadi mahkum 'alaih (yang dijatuhi sanksi) dalam waktu yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Ja'far (yaitu Ibnu Barqan), dari Maimun ibnu Mahran, bahwa seorang Arab Badui datang kepada Khalifah Abu Bakar, lalu lelaki Badui itu berkata, "Aku telah membunuh binatang buruan, sedangkan aku dalam keadaan berihram. Maka bagaimanakah menurut pendapatmu, denda apakah yang harus kubayar?" Maka Khalifah Abu Bakar bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b yang sedang duduk di sisinya, "Bagaimanakah kasus ini menurutmu?" Tetapi orang Badui itu menyangkal, "Aku datang kepadamu, dan kamu adalah khalifah Rasulullah. Aku hanya bertanya kepadamu, tetapi ternyata kamu menanyakan kepada orang lain." Abu Bakar menjawab, "Apakah yang kamu protes, sedangkan Allah ﷻ telah berfirman: ‘Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak setara dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.’ (Al-Maidah: 95) Maka aku bermusyawarah dengan temanku untuk mengambil suatu kesepakatan mengenai kasusmu itu. Apabila kami telah sepakat atas suatu keputusan, maka barulah kami akan menjatuhkannya kepadamu untuk dilakukan."
Sanad atsar ini jayyid (baik), tetapi munqathi’ (ada yang terputus) antara Maimun dan As-Siddiq.
Dalam kasus seperti ini barangkali sanksi yang dijatuhkan adalah hewan yang setara. Khalifah Abu Bakar As-Siddiq menjelaskan kepada orang Badui itu keputusan hukumnya dengan lemah lembut dan hati-hati, mengingat ia memandang bahwa orang Badui itu tidak mengerti. Dan sesungguhnya penawar atau obat bagi ketidakmengertian hanyalah diberi pelajaran. Jika orang yang menyangkal dikenal sebagai orang yang berilmu, kasusnya seperti yang disebutkan oleh Ibnu Jarir.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hannad dan Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' ibnul Jarrah, dari Al-Mas'udi, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Qubaisah ibnu Jabir yang menceritakan, "Kami berangkat melakukan ibadah haji. Apabila memasuki waktu tengah hari, kami tuntun kendaraan kami dan kami berjalan seraya berbincang-bincang. Pada suatu siang hari ketika kami dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada seekor kijang menyeberang di hadapan kami dari sisi kanan ke sisi kiri atau dari sisi kiri ke sisi kanan kami.
Maka seorang lelaki di antara kami melemparnya dengan batu, dan ternyata lemparannya itu tepat mengenai bagian perutnya, lalu lelaki itu menaiki hewan kendaraannya dan meninggalkan kijang itu dalam keadaan mati. Dan kami menganggapnya telah melakukan suatu kesalahan yang besar. Ketika kami tiba di Mekah, aku keluar bersamanya hingga sampai kepada Khalifah Umar ibnul Khattab. Lalu lelaki itu menceritakan kepadanya kisah tersebut. Saat itu di sebelah Khalifah Umar terdapat seorang lelaki yang wajahnya putih bersih bagaikan perak, dia adalah Abdur Rahman ibnu Auf.
Lalu Umar menoleh kepadanya dan berbicara dengannya, setelah itu Umar memandang kepada lelaki itu dan bertanya, "Apakah kamu sengaja membunuhnya, ataukah tidak sengaja?' Lelaki itu menjawab, 'Sesungguhnya aku sengaja melemparnya dengan batu, tetapi aku tidak sengaja membunuhnya' (maksudnya hanya menghardiknya). Khalifah Umar berkata, 'Menurut pendapatku, perbuatan yang kamu lakukan itu merupakan gabungan dari unsur sengaja dan unsur keliru; maka carilah seekor kambing, kemudian sembelihlah dan sedekahkanlah dagingnya, tetapi biarkanlah kulitnya.' Maka kami bangkit pergi dari Khalifah Umar dan aku (Qubaisah) berkata kepada temanku (si lelaki yang membunuh kijang tersebut), 'Wahai kamu, sebaiknya kamu agungkan syiar-syiar Allah, Amirul Mukminin tidak mengetahui apa yang harus ia fatwakan kepadamu sehingga ia bertanya kepada temannya (yakni Abdur Rahman ibnu Auf). Sekarang pergilah ke untamu, lalu sembelihlah untamu, maka mudah-mudahan hal itu mencukupimu'." Qubaisah mengatakan bahwa saat itu dirinya dalam keadaan tidak ingat akan ayat dari surat Al-Maidah yang mengatakan: “Menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.” (Al-Maidah: 95) Qubaisah melanjutkan, "Dan ternyata ucapanku itu sampai kepada Khalifah Umar. Maka tiada sesuatu yang mengejutkan kami melainkan dia datang dengan membawa cambuk, lalu ia memukul temanku itu dengan cambuknya seraya berkata, 'Apakah kamu berani membunuh hewan buruan di tanah suci dan meremehkan keputusan hukum yang telah ditetapkan?' Kemudian Khalifah Umar datang kepadaku, maka aku berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, aku tidak akan menghalalkan bagimu hari ini sesuatu pun yang diharamkan bagimu atas diriku.' Maka Khalifah Umar berkata, 'Wahai Qubaisah ibnu Jabir, sesungguhnya aku melihatmu berusia muda, lapang dada, dan memiliki lisan yang jelas. Dan sesungguhnya dalam diri seorang pemuda itu terdapat sembilan macam akhlak yang baik dan satu akhlak yang buruk, tetapi akhlak yang buruk itu dapat merusak semua akhlak yang baik. Karena itu, jauhilah olehmu hal-hal yang dapat menggelincirkan seorang pemuda'."
Hasyim meriwayatkan kisah ini dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Qubaisah dengan lafal yang serupa. Ia meriwayatkannya pula dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Qubaisah dengan lafal yang serupa. Dan ia mengetengahkannya secara mursal melalui Umar ibnu Bakar ibnu Abdullah Al-Muzanni dan Muhammad ibnu Sirin dengan lafal yang serupa.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Mansur, dari Abu Wail, telah menceritakan kepadaku Ibnu Jarir Al-Bajali, bahwa ia pernah membunuh seekor kijang, sedangkan dia dalam keadaan ihram. Lalu ia menceritakan hal itu kepada Khalifah Umar. Maka Khalifah Umar berkata, "Datangkanlah dua orang lelaki dari kalangan saudara-saudaramu, lalu hendaklah keduanya memutuskan perkaramu itu." Maka aku (Ibnu Jarir Al-Bajali) datang kepada Abdur Rahman dan Sa'd, lalu keduanya memberikan keputusan terhadap diriku agar membayar denda berupa seekor domba jantan berbulu kelabu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Mukhariq, dari Tariq yang menceritakan bahwa Arbad menginjak seekor kijang hingga membunuhnya, sedangkan ia dalam keadaan ihram. Lalu Arbad datang kepada Khalifah Umar untuk meminta keputusan perkaranya. Maka Khalifah Umar berkata kepadanya, "Ikutlah kamu dalam keputusan ini bersamaku (memusyawarahkannya)." Maka keduanya memutuskan denda berupa seekor kambing yang telah dapat minum dan memakan daun pepohonan. Kemudian Khalifah Umar membacakan firman-Nya: “Menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.” (Al-Maidah: 95) Di dalam atsar ini terkandung dalil yang menunjukkan boleh menjadikan orang yang terlibat sebagai salah satu dari dua orang hakim yang menangani kasusnya.
Seperti apa yang telah dikatakan oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad. Mereka berselisih pendapat, apakah diperlukan adanya keputusan baru atas setiap perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang berihram (yang membunuh binatang buruan)? Karena itu, diwajibkan mengadakan keputusan hukum baru yang dilakukan oleh dua orang yang adil, sekalipun kasus yang serupa telah dilakukan keputusannya oleh para sahabat; ataukah keputusannya cukup mengikut kepada keputusan sahabat yang terdahulu? Ada dua pendapat mengenainya.
Imam Syafii dan Imam Ahmad mengatakan bahwa dalam menangani kasus yang serupa, keputusan hukumnya mengikut kepada apa yang telah diputuskan oleh para sahabat. Keduanya menganggap bahwa keputusan sahabat itu merupakan syariat yang telah ditetapkan dan tidak boleh berpaling darinya. Sedangkan kasus-kasus yang keputusannya belum pernah dilakukan oleh para sahabat, maka keputusannya merujuk kepada pendapat dua orang hakim yang adil.
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mengatakan, diwajibkan melakukan keputusan hukum baru terhadap setiap kasus pelanggaran, baik jenis pelanggaran itu hukumnya pernah diputuskan oleh sahabat ataukah belum, karena Allah ﷻ telah berfirman: “Menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.” (Al- Maidah: 95)
Firman Allah ﷻ: “Sebagai hadya yang dibawa sampai ke Kabah.” (Al-Maidah: 95)
Yakni dibawa sampai ke Tanah Suci, lalu disembelih di sana, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin Tanah Suci. Hal ini merupakan suatu perkara yang telah disepakati oleh semuanya.
Firman Allah ﷻ: “Atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa setara dengan makanan yang dikeluarkan itu.” (Al-Maidah: 95)
Yakni apabila orang yang berihram tersebut tidak menemukan hewan yang setara dengan binatang buruan yang telah dibunuhnya, atau karena memang binatang buruan yang dibunuhnya bukan termasuk binatang yang mempunyai kemiripan (kesetaraan) dengan binatang lain. Huruf au dalam ayat ini menurut hemat kami bermakna takhyir, yakni boleh memilih salah satu di antara membayar denda yang setara dengan binatang yang dibunuhnya, atau memberi makan, atau puasa, seperti pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad ibnul Hasan, dan salah satu dari dua pendapat Imam Syafii serta pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad. Dengan alasan bahwa makna lahiriah huruf au dalam ayat ini menunjukkan makna takhyir.
Pendapat lain mengatakan bahwa huruf au dalam ayat ini menunjukkan makna tartib (berurutan). Sebagai gambarannya ialah hendaklah orang yang bersangkutan beralih kepada nilai. Untuk itu, binatang buruan yang dibunuhnya ditaksir harganya. Demikianlah menurut pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta semua muridnya, begitu pula menurut Hammad serta Ibrahim.
Imam Syafii mengatakan, harga ternak yang serupa ditaksir seandainya ada, kemudian harganya dibelikan makanan, lalu makanan itu disedekahkan. Setiap orang miskin mendapat satu mud menurut Imam Syafii, Imam Malik, dan ulama fiqih Hijaz. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya mengatakan, orang yang bersangkutan memberi makan setiap orang miskin sebanyak dua mud, pendapat inilah yang dikatakan oleh Mujahid.
Sedangkan menurut Imam Ahmad adalah satu mud gandum atau dua mud makanan lainnya. Jika orang yang bersangkutan tidak menemukan makanan atau kita katakan menurut pendapat yang mengartikan takhyir maka orang yang bersangkutan melakukan puasa sebagai ganti memberi makanan setiap orang miskin, yaitu setiap orang diganti menjadi puasa sehari.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama yang lain mengatakan bahwa orang yang bersangkutan melakukan puasa sehari untuk mengganti setiap sa makanan; perihalnya sama dengan kifarat dalam kasus pelanggaran melakukan pencukuran dan lain-lainnya. Karena sesungguhnya Nabi ﷺ telah memerintahkan Ka'b ibnul Ujrah untuk membagi-bagikan satu faraq makanan di antara enam orang miskin atau puasa tiga hari; satu faraq isinya tiga sa.
Para ulama berselisih pendapat mengenai tempat pembagian makanan ini. Menurut Imam Syafii, makanan harus dibagikan di Tanah Suci, seperti apa yang dikatakan oleh ‘Atha’. Imam Malik mengatakan, makanan dibagikan di tempat orang yang bersangkutan membunuh binatang buruannya, atau di tempat-tempat yang berdekatan dengan tempat perburuannya itu.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, jika orang yang bersangkutan ingin membagi-bagikan makanannya di Tanah Suci, ia boleh melakukannya; dan jika ingin membagi-bagikannya di tempat lain, ia boleh pula melakukannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mansur, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak setara dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai hadya yang dibawa sampai ke Kabah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa setara dengan makanan yang dikeluarkan itu.” (Al-Maidah: 95) Apabila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia dikenakan sanksi membayar denda berupa hewan ternak (yang sebanding).
Jika ia tidak dapat menemukan hewan ternak yang sebanding, maka dipertimbangkan nilai binatang buruan itu, kemudian dihargakan, dan harganya dibelikan makanan; dan (kalau) puasa, untuk setiap setengah sa' diganti dengan puasa satu hari.
Allah ﷻ telah berfirman: “Atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa setara dengan makanan yang dikeluarkan itu.” (Al-Maidah: 95) Ibnu Abbas mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan sanksi memberi makan dan puasa ialah apabila orang yang bersangkutan menemukan makanan, berarti ia telah menemukan pembayaran dendanya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sebagai hadya yang dibawa sampai ke Kabah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa setara dengan makanan yang dikeluarkan itu.” (Al-Maidah: 95) Apabila seseorang yang sedang ihram membunuh seekor binatang buruan, maka ia dikenakan denda akibat perbuatannya itu. Jika ia membunuh seekor kijang atau yang sejenis dengannya, dendanya ialah seekor kambing yang kemudian disembelih di Mekah; jika tidak menemukannya, dendanya ialah memberi makan enam orang miskin.
Dan jika tidak menemukannya, dendanya ialah melakukan puasa sebanyak tiga hari. Jika ia membunuh kijang jantan atau yang sejenis dengannya, dendanya ialah seekor sapi betina; jika tidak menemukannya, dendanya memberi makan sepuluh orang miskin; jika tidak menemukannya, maka dendanya ialah berpuasa selama dua puluh hari. Jika ia membunuh seekor burung unta atau keledai atau zebra atau yang sejenis dengannya, dendanya ialah seekor unta; jika tidak menemukannya, dendanya ialah memberi makan tiga puluh orang miskin; dan jika tidak menemukannya, dendanya ialah melakukan puasa selama satu bulan (tiga puluh hari).
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir yang menambahkan bahwa makanan diberikan kepada tiap orang sebanyak satu mud yang dapat mengenyangkan mereka.
Jabir Al-Ju'fi telah meriwayatkan dari Amri Asy-Sya'bi dan ‘Atha’ serta Mujahid sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Atau berpuasa setara dengan makanan yang dikeluarkan itu.” (Al-Maidah: 95) Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya makanan itu diberikan sebanyak satu mud untuk setiap orang miskin, hanya berlaku bagi orang yang dendanya masih belum mencapai hadyu.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Mujahid; dan Asbat, dari As-Suddi, bahwa makna atau dalam ayat ini menunjukkan pengertian tertib (berurutan). ‘Atha’, Ikrimah, dan Mujahid dalam riwayat Adh-Dhahhak, Ibrahim An-Nakha' mengatakan, makna atau dalam ayat ini menunjukkan pengertian takhyir (boleh memilih). Pendapat ini merupakan riwayat Al-Al-Laits, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dan hal inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Firman Allah ﷻ: “Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya.” (Al-Maidah: 95)
Yakni kita tetapkan atas si pelanggar untuk membayar kifarat supaya dia merasakan hukuman dari perbuatannya yang melanggar peraturan itu.
“Allah telah memaafkan apa yang telah lalu.” (Al-Maidah: 95) Yakni pada masa Jahiliah bagi orang yang berbuat baik dalam Islam dan mengikuti syariat Allah dan tidak melakukan perbuatan maksiat.
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan mengazab.” (Al-Maidah: 95) Yakni barang siapa yang melakukannya sesudah diharamkan dalam Islam dan hukum syariat telah sampai kepadanya “niscaya Allah akan mengazab. Allah Mahakuasa lagi mempunyai kekuasaan untuk mengazab.” (Al-Maidah: 95)
Ibnu Juraij mengatakan, ia pernah bertanya kepada ‘Atha’ mengenai apa yang dimaksudkan dalam firman-Nya: “Allah telah memaafkan apa yang telah lalu.” (Al-Maidah: 95) Maka ‘Atha’ menjawab, "Yang dimaksud ialah Allah memaafkan apa yang telah terjadi di masa Jahiliah." Kemudian Ibnu Juraij bertanya lagi kepadanya mengenai makna firman-Nya: “Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan mengazab.” (Al-Maidah: 95) ‘Atha’ mengatakan, "Barang siapa dalam masa Islam kembali melakukannya, maka Allah akan mengazab; selain itu ia dikenakan membayar kifarat dari perbuatannya." Ibnu Juraij bertanya, "Apakah pengertian kembali ini mempunyai batasan yang kamu ketahui?" ‘Atha’ menjawab, "Tidak." Ibnu Juraij bertanya, "Kalau demikian, engkau pasti berpandangan bahwa imam diwajibkan menghukum pelakunya?" ‘Atha’ menjawab, "Tidak, hal itu merupakan suatu dosa yang dilakukannya antara dia dan Allah ﷻ, tetapi ia harus membayar dendanya." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah bahwa Allah akan membalas pelakunya, yaitu dengan mengenakan hukuman wajib membayar denda kifarat terhadapnya. Demikianlah menurut Sa'id ibnu Jubair dan ‘Atha’. Kemudian kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf mengatakan, "Manakala seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia diwajibkan membayar denda, tidak ada perbedaan antara pelanggaran pertama dengan yang kedua dan ketiganya; dan sekalipun pelanggarannya itu dilakukan berulang-ulang, baik ia lakukan secara keliru ataupun sengaja, semuanya sama."
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Barang siapa membunuh seekor binatang buruan secara keliru, sedangkan ia dalam keadaan berihram, maka ia dikenakan sanksi membayar dendanya setiap kali ia membunuhnya. Jika ia membunuh binatang buruan dengan sengaja, maka ia dikenakan sanksi membayar dendanya sekali; dan jika ia mengulangi lagi perbuatannya, maka Allah akan balas mengazab, seperti apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id dan Ibnu Abu Addi, kedua-duanya dari Hisyam (yakni Ibnu Hassan), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang muhrim yang membunuh binatang buruan, bahwa pelakunya dikenakan sanksi membayar denda. Kemudian jika ia mengulangi lagi perbuatannya, ia tidak dikenakan sanksi membayar denda, tetapi Allah-lah yang akan balas mengazab.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Syuraih, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, dan Ibrahim An-Nakha'i. Semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat yang pertama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Yazid Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Zaid Abul Ma'la, dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa seorang lelaki membunuh binatang buruan, lalu ia dimaafkan; kemudian lelaki itu mengulangi lagi perbuatannya, ia membunuh binatang buruan lagi, maka turunlah api dari langit dan membakar lelaki itu. Hal inilah yang dimaksudkan dengan firman-Nya: “Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan mengazab.” (Al-Maidah: 95)
Ibnu Jarir telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah Maha Kuasa lagi mempunyai kekuasaan untuk mengazab.” (Al-Maidah: 95) Allah ﷻ berfirman bahwa Diri-Nya Maha Perkasa dalam kekuasaanNya, tiada seorang pun yang dapat memaksa-Nya, tiada yang dapat menghalangi pembalasan yang Dia timpakan terhadap orang yang hendak dibalas-Nya, dan tiada seorang pun yang dapat menghalangi azab yang hendak Dia timpakan terhadap orang yang dikehendaki-Nya, karena semuanya adalah makhluk-Nya, dan hanya Dialah yang berhak memerintah; bagi-Nya segala keagungan dan keperkasaan.
Firman Allah ﷻ: “Lagi mempunyai kekuasaan untuk mengazab.” (Al-Maidah: 95)
Yakni Dia berhak mengazab orang yang durhaka terhadap-Nya, karena perbuatan maksiatnya terhadap Allah ﷻ.
Ayat ini menjelaskan tentang ujian yang akan diberikan Allah kepada orang-orang yang sedang berihram untuk haji atau umrah. Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya! Allah pasti akan menguji kamu pada waktu kamu sedang berihram untuk haji atau umrah dengan diharamkan membunuh hewan buruan yang hidup di tanah haram yang dengan mudah kamu peroleh dengan tangan dan tombakmu, karena banyak dan jinak. Hal ini bertujuan agar Allah mengetahui di antara kamu yang sedang berhaji dan umrah siapa yang benar-benar takut kepada-Nya dengan konsisten menjauhi larangan berihram, meskipun dia tidak melihat-Nya. Barang siapa melampaui batas kewajaran dalam berburu hewan setelah selesai melaksanakan haji dan umrah dalam berburu hewan di tanah haram, maka dia akan mendapat azab yang pedih di akhirat dengan dimasukkan ke dalam neraka. Hewan buruan di tanah haram, haram dibunuh. Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya! Selama kamu berihram untuk haji atau umrah janganlah kamu membunuh hewan buruan, baik yang boleh dimakan maupun tidak, kecuali burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, anjing buas, dan juga ular; ketika kamu sedang berihram untuk haji atau umrah. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, ketika kamu sedang berihram untuk haji atau umrah, maka dendanya ialah mengganti hewan yang dibunuh secara sengaja itu dengan hewan ternak yang sepadan jenis, usia, maupun beratnya dengan buruan yang dibunuhnya, di tanah haram tersebut yang ditentukan menurut putusan dua orang hakim atau dua orang tokoh yang adil di antara kamu sebagai hadyu, denda karena melanggar larangan ihram, yang dibawa ke Ka'bah, yakni dibawa sampai ke tanah haram untuk disembelih di sana dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin; atau membayar kafarat (tebusan) dengan memberi makan kepada orang-orang miskin, sepadan dengan harga hewan pengganti hewan yang dibunuh pada waktu berihram tersebut; atau berpuasa beberapa hari sepadan dengan makanan yang dikeluarkan itu; yaitu setiap satu mud lebih kurang 6,5 ons beras yang diberikan kepada fakir miskin diganti dengan satu hari berpuasa. Ini bertujuan agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya, yaitu melanggar larangan ihram dengan membunuh hewan ternak yang hidup di tanah haram. Allah telah memaafkan apa yang kamu lakukan di masa lalu, membunuh hewan ternak pada waktu berihram di tanah haram sebelum turun ayat yang mengharamkan ini. Dan barang siapa kembali mengerjakannya dengan sengaja setelah ada larangan ini, niscaya Allah akan menyiksanya dengan azab yang pedih. Dan Allah Mahaperkasa menghadapi hamba yang membangkang, memiliki kekuasaan untuk menyiksa siapa saja yang melanggar hukum-Nya.
Ayat ini menjelaskan ujian Allah kepada orang-orang mukmin yang sedang melakukan ihram, bahwa mereka tidak diperbolehkan berburu, padahal ketika itu binatang buruan amat banyak, sehingga dengan mudah mereka dapat menangkapnya, baik dengan tangan maupun dengan menggunakan tombak.
Menurut riwayat, ayat ini turun ketika kaum Muslimin melaksanakan umrah Hudaibiah. Ketika mereka menemukan dalam perjalanan hewan dan burung-burung yang amat banyak, yang belum pernah mereka temukan sebanyak itu. Binatang-binatang kecil dapat ditangkap dengan tangan dan binatang-binatang yang besar dan liar dapat mereka tangkap dengan menggunakan tombak dan sebagainya. Akan tetapi Allah melarang mereka untuk menangkapnya. Larangan ini adalah sebagai ujian bagi mereka untuk membuktikan kekuatan iman dan ketakwaan mereka kepada-Nya. Orang-orang yang betul-betul kuat imannya niscaya tidak akan melanggar larangan Allah, baik secara terang-terangan, maupun dengan sembunyi-sembunyi. Ia senantiasa takut kepada azab Allah, walaupun ia belum pernah menyaksikan azab tersebut.
Akhir ayat ini mengemukakan ancaman Allah kepada orang-orang yang masih melanggar ketentuan-ketentuan-Nya setelah adanya pemberitahuan dan ancaman, bahwa mereka pasti akan mendapat azab yang pedih, akibat pelanggaran itu.
Ujian tersebut sebenarnya hanyalah cobaan yang ringan saja, dibandingkan dengan cobaan dan ujian-ujian lainnya yang meminta pengorbanan harta benda dan jiwa raga. Akan tetapi, bila seseorang tidak lulus dari ujian dan cobaan yang kecil dan ringan ini, bagaimana ia dapat berhasil menjalani cobaan-cobaan yang lebih besar?
Cobaan dan ujian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, adakalanya meminta pengorbanan harta benda dan jiwa raga dalam melakukan sesuatu yang diperintahkan-Nya, atau berupa kehilangan sesuatu yang amat disayangi, atau meminta kesediaan untuk menahan diri dari berbuat yang diingini. Yang terakhir ini sudah terang lebih ringan dilaksanakan, seperti larangan yang dikenakan kepada mereka ini, yaitu larangan berburu pada saat hewan buruan sedang banyak jumlahnya dan mudah ditangkap, sementara mereka sedang membutuhkan makanan untuk bekal dalam perjalanan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 94
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya Allah akan memberi cobaan kepada kamu dengan (melarang) sesuatu dari penemuan yang dapat dicapai oleh tangan kamu dan panah-panah kamu."
Artinya, walaupun telah diberi izin kepada kamu berburu binatang, seperti yang telah diterangkan terdahulu (ayat 5), sekarang kamu akan diberi cobaan oleh Allah. Ada waktunya, kamu amat memerlukan binatang buruan itu untuk makananmu, tetapi kamu dilarang berburu. Buruan dapat kamu capai dengan tangan kamu, misalnya dapat kamu keruk sarang-sarang burung atau lubang persembunyian binatang sehingga bisa kamu ambil telurnya atau kamu tangkap anaknya atau kamu panah dengan panah-panah sehingga kenalah rusa atau pelanduk atau burung. Akan tetapi, kamu dilarang mengerjakannya pada waktu itu."Supaya membuktikan Allah, siapakah yang takut kepada-Nya di tempat tersembunyi." Artinya, adakah setia mematuhi larangan itu, walaupun sedang terpencil seorang diri, tidak kelihatan oleh orang lain. Meskipun binatang buruan itu sudah kelihatan, mudah ditangkap dengan tangan, mudah pula dipanah, karena takut kepada Allah, tidaklah kamu lakukan perburuan itu, padahal orang lain tidak melihat.
“Maka siapa yang melanggar sesudah itu, untuknya adalah adzab yang pedih."
Menurut keterangan Muqatil bin Hayyan, ayat ini diturunkan ketika kaum Muslimin ber-henti di Hudaibiyah ketika umrah yang tidak dijadikan tahun itu (tahun keenam). Mereka bersama Rasulullah menunggu selesainya perundirigan dengan orang Quraisy, beberapa hari lamanya mereka berhenti di sana dengan pakaian ihram. Waktu itu, binatang-binatang buruan dan burung-burung yang mendekat ke tempat perhentian mereka sangat luar biasa dan belum pernah mereka alami sebelumnya. Allah melarang mereka berburu binatang-binatang itu, sebab mereka masih ihram.
Hal itulah yang terbayang dalam ayat ini, yaitu bahwa mereka kena uji oleh Allah, padahal buat memburu, menangkap, dan memanah burung-burung itu amat mudah.
Dalam ayat ini pun diterangkan bahwa Allah hendak membuktikan siapakah yang takut kepada Allah, walaupun di tempat yang tersembunyi (gaib). Artinya, tidak ada orang lain yang melihatnya. Misalnya, kalau ada burung buruan melintas di dekat kemahnya, mudah saja dia menyergapnya dan tidak ada temannya yang mengetahui. Namun karena imannya, dia tidak mau melanggar larangan Allah. Meskipun manusia tidak melihat, dia percaya sesungguhnya Allah tetap melihatnya. Inilah tanda iman yang sejati, yaitu bahwa seorang yang beriman tidak akan melanggar perintah Allah. Meskipun seorang diri di tempat tersembunyi, gaib dari tilikan orang lain, dia tetap percaya bahwa dia tidak gaib dari pandangan Allah.
Takut kepada Allah, walaupun di tempat sepi tidak dilihat orang (gaib) dan Allah itu sendiri pun tidak kelihatan oleh mata (gaib). Itulah sendi aqidah dalam Islam dan itulah gejala iman sejati. Dengan itulah, mental dan moral Muslim dibentuk dan dengan itu pula menegakkan khalifah yang dipercayakan Allah kepada insan sebagai keturunan dari Adam.
Memang, manusia tidak melihat Allah, tetapi mereka merasakan Allah dalam hatinya. Dipandang dari segi insan, Allah memang gaib, tetapi hati sanubari sendiri tidak dapat meng-gaibkan Allah. Oleh sebab itu, seorang Muslim sejati tidak berbeda hidup perseorangannya dengan hidup bermasyarakatnya. Meskipun sedang dalam kamar mandi seorang diri atau di dalam bilik sepi tidak disaksikan orang lain, dia tetap orang baik karena yakin bahwa Allah selalu dekat kepadanya, lebih dekat daripada urat lehernya sendiri.
Teringatlah penulis tafsir ini kala dia masih muda mengembara ke luar negeri, sampai di kota-kota besar di Amerika. Sebuah negara yang bebas, Amerika yang tidak ada batas di antara nikah dengan zina. Tidak dilihat oleh anak, tidak disaksikan oleh istri, dan tidak ada murid-murid atau orang-orang yang mencintai yang menyaksikan sehingga mudah berbuat maksiat kalau mau.
Alhamdulillah dia selamat, terlepas dari berbagai godaan. Sebab yang terpenting ialah pertanyaan dalam hati, “Kalau aku berbuat maksiat pada malam ini, ucapan apa yang akan aku ucapkan besok pagi di hadapan Allah kala aku shalat Shubuh? Padahal, selama ini aku membaca doa iftitah. Sesungguhnya shaiatku dan segala ibadahku dan hidupku dan matiku untuk Allah sarwa sekalian alam. Bagaimana aku akan mengulangi ucapan itu besok pagi kalau malamnya aku telah berbuat maksiat. Kalau aku berbuat maksiat malam hari, sudah terang aku malu shalat besok pagi dan seterusnya akan malu mengerjakan shalat selamanya karena kalau ucapan itu aku baca juga teranglah bahwa aku telah berdusta!"
Kesadaran akan adanya Allah dalam jiwa, walaupun gaib dari mata inilah yang mem-bentengi diri dari segala kemaksiatan yang menggoda."Asyhadu alla ilaha illallah." Allah tak tampak, tetapi jiwa menampaknya. Kemudian, timbul iradah hendak mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan demikian, pengaruh kebendaan atas diri mundur dan diri naik ke atas mahligai yang lebih pantas dalam hidup keruhanian.
Dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yang bertemu dengan kehidupan Muslimin seketika terhalang umrah di Hudaibiyah itu, lama terhenti di tengah jalan sedang mereka masih dalam ihram, binatang buruan menepi-nepi mendekat-dekat, Allah telah mencobai mereka. Mereka lolos dari cobaan itu. Tidak seekor binatang pun mereka buru, tidak seekor burung pun mereka ganggu. Dengan percobaan ini, ditunjukkanlah perbedaan Muslim sejati dengan orang Yahudi pelanggar janji pada hari Sabtu yang dilarang menjala atau melukah ikan lalu mereka mencari helah. Mereka memasang lukah sore hari Jum'at, dan istirahat hari Sabtu. Kemudian, pagi-pagi hari Ahad, lukah itu mereka tarik dan penuh dengan ikan. Akhirnya mereka dihukum menjelma menjadi monyet, kera, dan beruk. Ada juga yang menjadi babi.
Moga-moga terhindarlah kita dari hukuman seperti itu.
Sekarang datanglah lanjutan ayat. Mengapa ada larangan berburu? Bilakah ada larangan demikian?
Ayat 95
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh buruan … kamu dalam ihram."
Pada waktu itu berburu dilarang, baik mengambil telur dan anaknya dengan tangan maupun memanah dengan anak panah. Berihram ialah setelah memasang niat naik haji atau umrah sejak dari miqat dan telah memakai pakaian ihram. Atau dalam kondisi tidak mengerjakan umrah dan haji lagi, tetapi masih berada di Tanah Haram. Meskipun belum masuk Tanah Haram, kalau telah mulai berihram, terlarang jugalah berburu. Pada ayat 94 tersebut diterangkan bahwa ini adalah cobaan dari Allah. Sebab dalam perjalanan jauh sebagai musafir, orang kadang-kadang memerlukan binatang buruan, apalagi kalau kelihatan jinak dan mudah.
Ayat ini menurut Muqatil bin Hayyan diturunkan ketika umrah Hudaibiyah yang tidak jadi. Mereka telah berihram dan akan menuju Mekah. Dalam perjalanan, kelihatan banyak burung dan binatang buruan lain yang mudah sekali diburu, tetapi mereka dilarang. Padahal binatang perburuan itu amat enak dimakan."Karena barangsiapa di antara kamu yang membunuhnya dengan sengaja maka dendanya ialah binatang-binatang ternak sebandirig dengan yang dibunuh." Itulah dendanya kalau melakukan perburuan dalam suasana ihram. Oleh karena itu, walaupun dendanya sudah tertentu, pada pokoknya ijma'-lah sekalian ulama bahwa berburu di waktu ihram atau di Tanah Haram itu haram hukumnya. Menurut Imam Syafi'i, yang haram diburu itu ialah sekalian binatang liar yang halal dimakan dagingnya, seumpama kijang, rusa, pelanduk, kambing hutan, ayam hutan, burung-burung, dan sebagainya. Lantaran itu, menurut beliau tidaklah terlarang memakan daging binatang yang bukan buruan ketika ihram sebab didapatnya bukan dengan berburu. Dan tidak pula terlarang membunuh binatang buruan yang dagingnya tidak di-makan. Seumpama singa, harimau, serigala, ulat-ulat, kala dan tikus, gagak dan anjing gila. Menurut Imam Hanafi, ular-ular pun tak apa dibunuh pada waktu ihram.
Terdapat perbedaan kecil-kecil di antara madzhab-madzhab, contohnya bagaimana jika orang yang sedang ihram dihadiahi daging buruan oleh orang yang bukan berihram. Sebagian besar mengatakan tidak mengapa sebab Rasulullah ﷺ pernah memakan daging keledai hutan (zebra) yang dihadiahkan, sedangkan beliau berihram. Dan kesimpulan paham di antara semuanya ada tiga:
1. sedang berihram,
2. binatang buruan, dan
3. dengan sengaja.
Kalau tidak sedang berihram, bolehlah berburu. Membunuh binatang buas tidaklah terlarang sebab bukan akan dimakan. Telanjur, terbunuh karena alpa tidaklah haram, tetapi wajib membayar dendanya. Dendanya adalah binatang ternak."Yang akan diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kamu." Sebab binatang ternak itu ada biri-biri, kambing, lembu, dan unta. Dan yang diburu pun macam-macam pula. Ada kambing hutan, rusa sebesar lembu, banteng sebesar unta, zarafah sebesar unta, dan sebagainya. Dua orang yang adil atau yang mengerti perimbangan binatang itu, merekalah yang memutuskan. Keputusan mereka mengikat, “Sebagai kurban buat disampaikan kepada Ka'bah." Maksudnya binatang ganti atau denda itu dikirim ke Mekah atau dicari di Mekah dan diberikan menjadi makanan fakir miskin yang hidup di sekeliling Ka'bah itu."Atau denda memberi makan orang-orang miskin, atau sebandirig dengan itu puasa, supaya dia rasai kesalahan perbuatannya itu." Maka inilah tiga tingkatan denda; pertama ganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan besarnya buruan yang diburu. Dengan dipertimbangkan oleh dua orang hakim yang adil. Kalau tidak sanggup hendaklah memberi makan orang miskin. Kalau tidak sanggup pula hendaklah berpuasa.
Menurut keterangan lbnu Abbas adalah demikian, “Apabila orang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, hendaklah dia membayar denda. Kalau yang dibunuhnya itu sebangsa rusa dan seumpamanya, dendanya ialah seekor lembu. Kalau tidak sanggup hendaklah berpuasa dua puluh hari. Kalau yang dibunuhnya itu sebangsa na'amah (burung unta) atau keledai liar (zebra) dan seumpamanya, dendanya ialah seekor unta. Kalau tidak sanggup, hendaklah memberi makan tiga puluh orang miskin. Kalau tidak sanggup pula hendaklah puasa tiga hari. Memberi makan orang miskin, yang mengenyangkan mereka." Sekian lbnu Abbas.
Namun denda-denda ialah sebagai hukuman, supaya mereka merasakan benar-benar beratnya kesalahan mereka."Diberi maaf oleh Allah apa yang telah lalu." Yaitu telanjur memburu binatang buruan sebelum datang larangan ini, untuk menghilangkan waswas dalam hati mereka yang terkenang akan kesalahannya pada zaman jahiliyyah.
“Tetapi, barangsiapa yang mengulangi lagi maka Allah akan menyiksanya. Dan Allah adalah Mahagagah lagi Pembatas."
Dengan ancaman Allah ini, jelaslah bahwa berburu waktu ihram atau di Tanah Haram dilarang (haram), dosa besar hukumnya, walaupun ada dendanya. Yang telah telanjur membunuh tanpa disengaja pun hendaklah didenda, tetapi dia tidak berdosa. Namun, yang sengaja berbuat demikian, berdosa besarlah dia, dan denda dibayar juga. Kesalahan yang lama, sebelum turun hukum, dimaafkan. Kalau diulang lagi, kemurkaan Allah-lah yang akan menimpanya, walaupun denda dibayar. Hendaklah dijaga benar-benar kehormatan yang telah diberikan Allah ketika mengerjakan ihram lagi tentang buruan laut.
Ayat 96
“Dihalalkan bagi kamu buruan laut dan makanannya, sebagai bekal bagi kamu dan bagi orang-orang pelayan."
Dengan ayat ini, dibukakanlah seluas-luasnya tentang halalnya segala jenis binatang yang hidup di laut atau dalam air. Segala macam ikan. Disebut buruan laut, sebab pengail atau nelayan mencari ikan ke laut itu berburu juga namanya. Ayat ini membuka pintu demikian luas bahwa segala jenis yang hidupnya bergantung pada laut, walaupun kadang-kadang ia bisa juga keluar sebentar-sebentar ke darat, halal dimakan. Misalnya kepiting, ambal-am-bai, teripang, dan sebagainya. Demikian juga yang dalam pemakaian bahasa kita namai singa laut atau anjing laut, menjadi halal juga dimakan. Sebab hidupnya di laut. Apalagi setelah disebutkan pula “dan makanannya", menjadi lebih umumlah ia, tidak saja lagi yang berupa ikan, bahkan lumut laut pun dijadikan orang sebagai makanan (agar-agar).
Memang banyak macam makanan yang dapat dikeluarkan dari dalam laut, dengan segala kerangnya, lokannya, kepitingnya, udangnya, dan sebagainya."Tetapi, diharamkan bagi kamu buruan darat selama kamu dalam ihram." Untuk penguatkan larangan tersebut tadi. Jika ihram telah selesai dan kamu telah keluar dari Tanah Haram, larangan berburu buruan darat tidak ada lagi. Keadaan berlaku sebagai biasa.
“Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu sekalian akan dikumpulkan."
Sepatutnyalah kamu bertakwa kepada Allah lantaran keluasan yang telah Allah berikan dalam hal itu. Karena hanya sedikit masa yang terlarang berburu, yaitu kala ihram atau di Tanah Haram, selebihnya dibolehkan. Mencari buruan ke laut pun boleh pada segala masa. Orang yang sedang ihram ketika dia masih di Jeddah, misalnya, sebelum berangkat ke Mekah boleh memanting. Nanti berangkat lagi dengan mobil untuk umrah ke Mekah. Jika sudah demikian, Allah memberikan kelapangan kepadamu, tetaplah bertakwa kepada Allah dan janganlah larangan-Nya diabaikan. Karena kamu semuanya akan dikumpulkan kelak di Padang Mahsyar di hadapan-Nya untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu.
Tidak syak lagi kalau timbul pula penelitian ulama tentang buruan-buruan laut itu. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa binatang laut yang sebagian besar hidupnya di laut, adalah halal belaka. Meskipun terkadang mereka ada juga yang bermain-main ke darat, seumpama penyu. Namun, panjang pula perbincangan tentang yang hidup di dua daerah, bisa lama di laut dan bisa lama pula di darat. Tentu ini menjadi perbincangan, sebab dalam ayat tentang hal ini tidak ditegaskan. Setengah ulama mengambil patokan bahwa yang hidup antara dua daerah itu termasuk haram dimakan, setengahnya lagi mengatakan makruh. Yang terkenal berat ke makruh adalah Imam Malik. Oleh sebab itu, tidaklah kita heran kalau menjadi perbincangan orang tentang makan katak (kodok). Dia hidup di dua daerah. Atau ada yang hidup di satu daerah saja dan ditilik pada apa yang dimakannya, tidaklah kodok itu memakan yang kotor, seperti babi, dan tidak pula seperti singa dan anjing. Terutama kodok hijau. Apakah ia termasuk bangsa ikan?
Barangkali dalam soal kodok masihlah mudah diselesaikan. Namun, bagaimana dengan buaya dan biawak? Kalau di samping imam-imam ikutan kita itu, kita hendak berijtihad. Penulis berat persangkaan, tidak akan ada orang yang mengatakan halal dimakan. Apalagi komodo yang memakan bangkai di Pulau Komodo itu. Sekurang-kurangnya orang akan mengikuti ijtihad Imam Malik, yaitu makruh. Ingatlah arti makruh, yaitu dibenci. Dan akan banyak yang berpendapat haram, seperti Imam Syafi'i, yang memang lebih keras penjagaan beliau tentang makanan.
Untuk menetapkan pikiran kita, ingatlah kembali ayat 88 di atas tadi, yaitu perintah Allah agar memakan makanan yang halal, tetapi baik (halalan thayyiban).
Mengenai makanan laut sebagai yang tersebut di ayat tadi, telah dijelaskan oleh hadits-hadits Abu Hurairah dan keterangan dari Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas, Abu Ayub, dan Jabir bin Abdullah, yang semuanya itu sahabat Rasulullah ﷺ Adapun yang dimaksud tentang makanan laut sebagai tambahan dari buruan laut tadi ialah ikan atau isi laut yang lain, yang diantarkan ombak atau diangkut pasang naik ke tepi, dan setelah pasang surut ia tinggal, baik hidup maupun mati, semuanya halal dimakan. Jadi, ayat ini dapat disimpulkan artinya demikian: “Dihalalkan bagi kamu pergi menangkap ikan ke laut dengan segala macam alatnya, seumpama jaring, kail, pukat, jala, pasap, dan sebagainya. Dihalalkan bagi kamu seluruh hasil buruan itu ataupun makanan dari seluruh binatang laut yang didapat bukan karena dikail, baik kail orang lain maupun kail kamu sendiri. Dihalalkan juga bagi kamu mengail, menjala, memukat ikan, dan segala yang berkenaan dengan penangkapan ikan, baik kamu sedang ihram sekalipun. Semuanya sebagai bekal bagimu. Dan jika kamu orang yang suka berlayar, makanan laut itu terlebih dihalalkan bagi kamu. Bolehlah kamu sambil berlayar sambil memancing."
Selanjutnya, disebutkan pula dalam ayat bahwa diharamkan bagi kamu buruan darat selama kamu dalam ihram, termasuk juga selama kamu di Tanah Haram. Dapatlah diambil kesimpulan dari keterangan itu bahwas kalau orang lain yang bukan dalam ihram, dia berburu dan bukan di dalam Tanah Haram, memberikan hasil buruannya kepada kamu, padahal kamu sedang ihram, tidaklah mengapa kamu makan. Dan ini dikuatkan oleh apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ menurut hadits yang shahih, riwayat Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim bahwa Abu Qatadah yang
bukan sedang dalam ihram, berburu keledai liar (zebra) sampai dapat. Setelah buruan itu dipotong-potongnya, diberikannya pada sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang sedang berihram di Hudaibiyah dan akan menuju ke Mekah. Beberapa sahabat ragu menerima, apakah boleh dimakan apa tidak. Kemudian disampaikan kepada Rasulullah ﷺ Beliau meminta daging tersebut sekerat kepada Abu Qatadah dan beliau turut memakannya.
KEMULIAAN KA'BAH
Apakah sebabnya Allah mengadakan tum-pak tanah yang disebut “Haram" dan di sana dilarang berburu?
Sebabnya ialah untuk memelihara kesucian Ka'bah. Itulah yang dijelaskan oleh ayat berikutnya,
Ayat 97
“Allah telah menjadikan Ka'bah, timah … itu, berdiri (teguh) untuk manusia."
Kalimat Ka'bah menurut keterangan Mujahid dan Ikrimah ialah sesuatu yang bersegi empat. Dan arti yang lain ialah yang menonjol ke luar atau yang membujur ke atas.
Ia telah menjadi nama yang tetap atau yang didirikan oleh Nabi Ibrahim dibantu oleh putranya Isma'il di lembah yang tidak bertumbuh-tumbuhan di Mekah, yang sejak zaman purbakala diriamai juga Ummul Qura, artinya ibu negeri-negeri atau desa-desa. Nama Ka'bah telah diletakkan ke rumah segi empat itu sehingga tidak ada lagi rumah segi empat yang lain yang beroleh nama Ka'bah, selain rumah ibadah yang satu itu saja. Sejak dahulu, ketika Ka'bah disebut rumah yang suci dan kemudian sesudah di sekelilingnya dibangun masjid-masjid, yang diriamai Masjidil Haram. Kemudian ditentukan pula mana batas-batas keliling Mekah itu, yang lalu diriamai Tanah Haram (al-ardhul muqaddasah atau billadillah al-Haram) dan sampai ke zaman kita ini dan in syaa Allah sampai hari Kiamat batas-batas itu akan tetap dipelihara.
Disebutlah dalam ayat ini bahwa Ka'bah, rumah yang suci itu telah dijadikan Allah sebagai tempat yang berdiri teguh (kiaman) untuk manusia. Artinya ialah tempat manusia berlindung, tempat manusia mencari keamanan di dalam melakukan ibadah kepada Allah Yang Maha Esa. Barangsiapa yang masuk ke dalamnya, beroleh keamanan, tidak boleh diganggu gugat. Bukan saja manusia beroleh keamanan di dalamnya, bahkan burung-burung, binatang-binatang, dan ulat-ulat serangga pun harus merasakan aman di dalam wilayah itu. Terutama pula dalam zaman mengerjakan ihram haji bagi yang tengah melakukan ibadah itu atau umrah.
“Begitu pun bulan yang suci." Artinya, ditentukan pula beberapa bulan yang suci dan dihormati ketika bulan-bulan itu tidak boleh berbunuh-bunuhan, yaitu bulan Dzulqa'idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Pada bulan-bulan suci tersebut, manusia di tanah suci itu mendapat perlindungan. Se-sampainya di sana, golongan-golongan yang tadiriya bermusuhan wajib menghentikan permusuhannya. Sejak zaman jahiliyyah pun kesucian bulan-bulan ini telah dihormati. Tidak ada penuntutan bela kematian, tidak ada balas dendam sehingga jika seseorang waktu itu berada di Mekah, lalu melihat pembunuh ayahnya sedang berthawaf, dia tidak mau membalaskan dendamnya. Selama bulan-bulan itu, orang berniaga dan beribadah. Melihat Ka'bah menonjol ke udara dengan selubungnya yang hitam, hati merasa tenteram, jiwa merasa aman. Manusia merasa dilindungi dari segala gangguan dan ketakutan. Oleh sebab itu, Ka'bah berdiri teguh sebagai tempat yang aman dan tempat bulan suci berdiri teguh sebagai masa yang aman.
“Dan binatang kurban." Yang dalam istilah agama diriamai al-badyu, yakni binatang-binatang yang disembelih dalam rangka mengerjakan haji dan umrah. Misalnya Haji Tamathu' meminta kurban yang semuanya dinamai al-hadyu.
Binatang-binatang yang telah disediakan buat kurban itu pun tidak boleh diganggu jika dia sedang dihalau orang menuju Mekah di musim haji. Dan binatang-binatang itupun apabila telah diriiatkan untuk ad-hadyu (kurban) dibiarkan aman, tidak digunakan untuk maksud lain."Dan (kurban) bertanda." Kurban bertanda biasanya ialah unta-unta yang telah disediakan untuk al-hadyu atau kurban itu diberi tanda; kadang-kadang diberi tanda kain merah atau daun-daun kayu atau kembang-kembang dikalungkan di leher binatang itu. Binatang bertanda itupun dibiarkan dengan amannya menuju Mekah.
Perlindungan ini pun diikuti orang sehingga kerap kali binatang-binatang kurban, baik yang tidak bertanda maupun yang bertanda, beriring-iring ke Mekah diantarkan oleh penggembalanya atau tersesat dari penjagaan gembalanya dibiarkan orang saja berjalan menuju Mekah dengan aman.
“Yang demikian itu supaya kamu tahu bahwasanya Allah adalah mengetahui apa pun yang ada di semua langit dan apa yang di bumi."
Jadi, perhatikanlah bagaimana Allah menentukan kesucian Ka'bah itu menjadi penyokong dan tempat berlindung mencari keamanan bagi manusia dan aman pula binatang buruan, tunduk bangsa Arab yang terkenal bermusuh-musuhan di antara satu kabilah dengan lain kabilah pada zaman jahiliyyah. Tunduk mereka pada peraturan keamanan itu, walaupun telah menggelegak permusuhan, walaupun bertemu dengan seorang yang membunuh ayahnya di dekat rumah suci itu, dendamnya tidaklah dibalas-kannya. Sangatlah rindu manusia agar terdapat tempat yang demikian di dunia ini, tempat yang di sana tak ada kesumat, tak ada pembalasan dendam, sukarlah dibangun tempat demikian. Namun, di Mekah telah ada tempat begitu sejak beribu tahun. Di sana orang melakukan ibadah, latihan jasmani dan ruhani, pusat persahabatan umat yang satu kepercayaan. Apabila direnungkan dengan pikiran yang mendalam keadaan Ka'bah itu, sampailah ingatan kepada Mahakuasa Allah yang mengatur semua langit dengan perjalanan falaknya, dengan matahari, bulan, dan bintang-bintangnya. Bertambah maju pengetahuan, bertambah pulalah kepercayaan mereka atas kekuasaan Allah yang meliputi itu semua. Demikianlah jika ditukikkan pandangan ke bumi sendiri. Melihat alam jamadat termasuk tanah, batu, pasir, bukit, dan gunung. Alam nabataat termasuk kayu-kayuan, buah-buahan, rumput-rumputan, kembang berbagai warna dan wangi. Alam hayawan, yaitu binatang-binatang di darat, burung di udara, serangga di tanah, dan ikan di laut. Semuanya mendapat perlindungan dari Allah menurut garis-garis hidup sendiri yang telah ditentukan. Satu di antaranya, jika kita sedang berada di Mekah, misalnya petang hari sehabis shalat Ashar; lihatlah beribu-ribu burung merpati terbang, hinggap, terbang lagi, berkerumun memperebutkan makanan yang diberikan orang. Alangkah amannya hidup beribu-ribu burung itu. Mereka menjadi hiasan hati. Burung merpati yang di mana-mana di dunia ini menjadi lambang perdamaian. Telah beribu-ribu tahun mereka hidup di situ turun-temurun, tidak ada orang yang mengganggu, sebab hidupnya dijamin. Binatang buruan tidak boleh dibunuh di Tanah Haram atau ketika sedang mengerjakan ihram.
Memang tidaklah pantas berburu binatang buruan di tempat demikian dan pada saat demikian. Tidaklah layak pula rumput mudanya dicabut dan dahan kayunya dise-kahkan. Karena di dalam melakukan ibadah itu kita merasakan jiwa kita sendiri sedang menerawang langit hijau. Jiwa kita mendekati Allah Pencipta seluruh langit dan bumi, dan merasakan dalam hati sanubari kita bahwa Allah melihat tingkah laku kita pada waktu itu.
Kemudian, bersabdalah Rasulullah ﷺ menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.
“Berkaca dia: berkata Rasulullah saut, ‘Sesungguhnya ini adalah negeri yang suci; pohon-pohonnya tak boleh disekakkan, rumput-rumput-nya tak boleh dicabut, binatang buruannya tak boleh diburu dan barang-barangnya yang jatuh tak boleh dipungut kecuali orang yang memper-kenalkan. (HR Bukhari dan Muslim)
Jauhlah ingatan kita dari sebab demikian. Ingatlah kita akan agama yang kita peluk ini, yaitu Islam. Dan cita-cita kita di dalamnya ialah salam, artinya damai. Dan ucapan kita bila bertemu ialah assalamu'alaikum, damailah atasmu. Di keliling Ka'bah kita mencari kedamaian dalam jiwa dan mula kita masuk, kita masuk dari babussalam, pintu kedamaian, untuk menuju pula kedamaian yang kekal di darussalam, yaitu Surga Jannatun-Na'im.
“Dan bahwasanya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahatahu."