Ayat
Terjemahan Per Kata
أَلَمۡ
tidaklah
تَرَ
kamu perhatikan
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
قِيلَ
dikatakan
لَهُمۡ
kepada mereka
كُفُّوٓاْ
tahanlah
أَيۡدِيَكُمۡ
tanganmu
وَأَقِيمُواْ
dan dirikanlah
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَءَاتُواْ
dan tunaikan
ٱلزَّكَوٰةَ
zakat
فَلَمَّا
maka setelah
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَيۡهِمُ
atas mereka
ٱلۡقِتَالُ
berperang
إِذَا
tiba-tiba
فَرِيقٞ
segolongan
مِّنۡهُمۡ
dari mereka
يَخۡشَوۡنَ
mereka takut
ٱلنَّاسَ
manusia
كَخَشۡيَةِ
seperti takut
ٱللَّهِ
Allah
أَوۡ
atau
أَشَدَّ
lebih
خَشۡيَةٗۚ
takut
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
رَبَّنَا
ya Tuhan kami
لِمَ
mengapa
كَتَبۡتَ
Engkau wajibkan
عَلَيۡنَا
atas kami
ٱلۡقِتَالَ
berperang
لَوۡلَآ
mengapa tidak
أَخَّرۡتَنَآ
Engkau tangguhkan kami
إِلَىٰٓ
sampai
أَجَلٖ
waktu
قَرِيبٖۗ
dekat
قُلۡ
katakanlah
مَتَٰعُ
kesenangan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
قَلِيلٞ
sedikit
وَٱلۡأٓخِرَةُ
dan akhirat
خَيۡرٞ
lebih baik
لِّمَنِ
bagi orang
ٱتَّقَىٰ
bertakwa
وَلَا
dan tidak
تُظۡلَمُونَ
kamu dianiaya
فَتِيلًا
sedikitpun
أَلَمۡ
tidaklah
تَرَ
kamu perhatikan
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
قِيلَ
dikatakan
لَهُمۡ
kepada mereka
كُفُّوٓاْ
tahanlah
أَيۡدِيَكُمۡ
tanganmu
وَأَقِيمُواْ
dan dirikanlah
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَءَاتُواْ
dan tunaikan
ٱلزَّكَوٰةَ
zakat
فَلَمَّا
maka setelah
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَيۡهِمُ
atas mereka
ٱلۡقِتَالُ
berperang
إِذَا
tiba-tiba
فَرِيقٞ
segolongan
مِّنۡهُمۡ
dari mereka
يَخۡشَوۡنَ
mereka takut
ٱلنَّاسَ
manusia
كَخَشۡيَةِ
seperti takut
ٱللَّهِ
Allah
أَوۡ
atau
أَشَدَّ
lebih
خَشۡيَةٗۚ
takut
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
رَبَّنَا
ya Tuhan kami
لِمَ
mengapa
كَتَبۡتَ
Engkau wajibkan
عَلَيۡنَا
atas kami
ٱلۡقِتَالَ
berperang
لَوۡلَآ
mengapa tidak
أَخَّرۡتَنَآ
Engkau tangguhkan kami
إِلَىٰٓ
sampai
أَجَلٖ
waktu
قَرِيبٖۗ
dekat
قُلۡ
katakanlah
مَتَٰعُ
kesenangan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
قَلِيلٞ
sedikit
وَٱلۡأٓخِرَةُ
dan akhirat
خَيۡرٞ
lebih baik
لِّمَنِ
bagi orang
ٱتَّقَىٰ
bertakwa
وَلَا
dan tidak
تُظۡلَمُونَ
kamu dianiaya
فَتِيلًا
sedikitpun
Terjemahan
Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang), tegakkanlah salat, dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba segolongan mereka (munafik) takut kepada manusia (musuh) seperti ketakutan mereka kepada Allah, bahkan lebih takut daripada itu. Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanyalah sedikit, sedangkan akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.”
Tafsir
(Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "Tahanlah tanganmu) dari memerangi orang-orang kafir tatkala hal itu mereka tuntut di Mekah disebabkan penganiayaan orang-orang kafir terhadap mereka. Dan mereka ini ialah segolongan sahabat (dan dirikanlah salat serta bayarkanlah zakat." Maka setelah diwajibkan atas mereka berperang tiba-tiba sebagian dari mereka takut kepada manusia) maksudnya kepada orang-orang kafir disebabkan tindakan dan keberanian mereka dalam peperangan itu (seperti menakuti) siksa (Allah bahkan lebih takut lagi) daripada itu. Asyadda dibaca manshub karena menjadi hal juga sebagai jawaban terhadap apa yang ditunjukkan oleh idzaa dan yang sesudahnya artinya tiba-tiba mereka didatangi oleh ketakutan. (kata mereka) karena cemas menghadapi maut ("Wahai Tuhan kami! Kenapa Engkau wajibkan atas kami berperang? Kenapa tidak Engkau tangguhkan agak beberapa waktu lagi?" Katakanlah) kepada mereka ("Kesenangan dunia) maksudnya apa-apa yang disenangi dan dinikmati di dunia ini (hanya sebentar) dan akan kembali lenyap (sedangkan akhirat) maksudnya surga (lebih baik bagi orang yang takwa) yakni yang menjaga diri dari siksa Allah dengan menjauhi larangan-Nya (dan kamu tidak akan dianiaya) dibaca dengan ta dan ya artinya tidak akan dikurangi amalmu (sedikit pun.") artinya walau sebesar kulit padi sekali pun, maka berjihad atau berusahalah.
Tafsir Surat An-Nisa': 77-79
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut dari itu. Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan kepada kami berperang? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dizalimi sedikit pun.
Di mana saja kalian berada, kematian akan menemukan kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, "Ini adalah dari sisi Allah." Dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, mereka mengatakan, "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)." Katakanlah, "Semuanya (datang) dari sisi Allah." Maka mengapa orang-orang (munafik) itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah; dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.
Ayat 77
Dahulu di masa permulaan Islam ketika orang-orang mukmin masih berada di Mekah, mereka diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, sekalipun masih belum ada ketentuan nisabnya. Mereka diperintahkan untuk membantu orang-orang miskin dari kalangan mereka sendiri, diperintahkan pula bersikap pemaaf, mengampuni perbuatan orang-orang musyrik, dan bersabar sampai datang perintah dari Allah.
Mereka sangat merindukan adanya perintah dari Allah yang memerintahkan agar mereka berperang melawan musuh-musuh mereka, untuk membalas sakit hati mereka terhadap orang-orang musyrik yang selalu mengganggu mereka. Saat itu perintah berperang masih belum tepat karena banyak sebab, antara lain karena kaum muslim masih minoritas bila dibandingkan dengan musuh mereka. Alasan lainnya ialah karena keberadaan kaum mukmin saat itu ada di negeri mereka sendiri, yaitu di Tanah Suci Mekah yang merupakan bagian dari bumi yang paling suci.
Menurut satu pendapat perintah untuk berperang di dalam negeri mereka bukan atas dasar memulai. Karena itulah maka jihad baru diperintahkan hanya di Madinah, yaitu di saat kaum mukmin telah mempunyai negeri sendiri, pertahanan dan penolong. Akan tetapi, setelah mereka diperintahkan berperang seperti yang mereka dambakan sebelumnya, ternyata sebagian dari mereka ada yang mengeluh dan menjadi takut menghadapi manusia dengan ketakutan yang berlebihan. Hal ini disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya:
“Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai beberapa waktu lagi’?" (An-Nisa: 77)
Yakni mengapa tidak Engkau tangguhkan kewajiban berperang itu sampai beberapa waktu lagi, karena sesungguhnya perang itu berakibat tertumpahnya darah, anak-anak menjadi yatim, dan istri-istri menjadi janda?
Makna ayat ini sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Dan orang-orang yang beriman berkata, ‘Mengapa tiada diturunkan suatu surat?’ Maka ketika diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang.” (Muhammad: 20), hingga beberapa ayat berikutnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Aziz, dari Abu Zar'ah dan Ali ibnu Rumhah; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, dari Al-Husain ibnu Waqid, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Abdur Rahman ibnu Auf dan beberapa orang temannya datang menemui Nabi ﷺ di Mekah. Lalu mereka berkata, "Wahai Nabi Allah, dahulu kami berada dalam kejayaan ketika masih musyrik. Tetapi setelah beriman, kami menjadi kalah." Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memberi maaf (terhadap tindakan-tindakan kaum musyrik). Karena itu, janganlah kalian memerangi kaum itu.” Setelah Allah memindahkan Nabi ﷺ ke Madinah, maka Allah memerintahkannya untuk memerangi orang-orang musyrik. Ternyata mereka yang berkata demikian itu tidak mau berperang. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tangan kalian (dari berperang)’." (An-Nisa: 77), hingga akhir ayat.
Imam An-Nasai dan Imam Hakim serta Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui hadits Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq dengan lafal yang sama.
Asbat meriwayatkan dari As-Suddi, bahwa tiada yang diwajibkan atas kaum mukmin saat itu kecuali hanya shalat dan zakat. Lalu mereka meminta kepada Allah agar diwajibkan berperang atas diri mereka. Ketika diwajibkan atas mereka berperang, maka keadaannya berbeda, seperti yang disebutkan firman-Nya: “Tiba-tiba sebagian dari mereka menjadi takut kepada manusia (musuh) seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut dari itu. Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai ajalin qarib (beberapa waktu lagi)’?" (An-Nisa: 77) Yang dimaksud dengan ajalin qarib ialah mati.
Allah ﷻ berfirman: “Katakanlah, ‘Kesenangan dunia ini hanya sebentar, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa’." (An-Nisa: 77) Mujahid mengatakan, sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi; diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Dan firman-Nya: “Katakanlah, ‘Kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa’." (An-Nisa: 77) Artinya, akhirat bagi orang yang bertakwa adalah lebih baik daripada kehidupan dunianya.
“Dan kalian tidak akan dizalimi sedikit pun.” (An-Nisa: 77)
Tiada sedikit pun dari amal perbuatan kalian yang diabaikan, melainkan semuanya pasti dibalas dengan balasan yang sempurna. Makna ayat ini mengandung pengertian hiburan bagi kaum mukmin dalam menghadapi kehidupan dunia, sekaligus menanamkan rasa suka kepada pahala akhirat serta menggugah mereka untuk berjihad.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim Ad-Dauraqi, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Hisyam yang menceritakan bahwa Al-Hasan Al-Basri membacakan firman-Nya: “Katakanlah, ‘Kesenangan dunia ini hanya sebentar’." (An-Nisa: 77) Lalu ia berkata, "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang menilai duniawi dengan penilaian tersebut. Dunia ini semuanya dari awal sampai akhir, tiada lain sama halnya dengan seorang lelaki yang tertidur sejenak, lalu ia melihat dalam mimpinya sesuatu yang disukainya. Tetapi tidak lama kemudian ia terbangun dari tidurnya."
Ibnu Mu'in mengatakan bahwa Abu Mishar mengatakan dalam bait-bait syairnya:
“Tiada kebaikan pada dunia bagi orang yang tidak mempunyai bagian pahala dari Allah di tempat yang kekal nanti.
Jika dunia memang dapat membuat terpesona banyak laki-laki, maka sesungguhnya dunia itu kesenangan yang sebentar dan lenyapnya tidak lama lagi.”
Ayat 78
Firman Allah ﷻ: “Di mana saja kalian berada, kematian akan menemukan kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa: 78)
Maksudnya, kalian pasti akan mati, dan tiada seorang pun dari kalian yang selamat dari maut. Perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Semua yang ada di bumi itu akan hancur binasa.” (Ar-Rahman: 26)
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati.” (Ali Imran: 185)
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu.” (Al-Anbiya: 34)
Makna yang dimaksud ialah setiap orang pasti akan mati, tiada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia ikut dalam berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur manusia itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta kedudukan yang telah ditetapkan baginya. Seperti yang dikatakan oleh Khalid ibnul Walid ketika menjelang kematiannya di atas tempat tidurnya: “Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan perang anu, dan tiada suatu anggota tubuhku melainkan padanya terdapat luka karena tusukan atau lemparan panah. Tetapi sekarang aku mati di atas tempat tidurku, semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur.”
Firman Allah ﷻ: “Kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa: 78)
Yakni benteng yang kuat, kokoh, lagi tinggi.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan buruj ialah bintang-bintang yang ada di langit. Pendapat ini dikatakan oleh As-Suddi, tetapi lemah. Pendapat yang sahih ialah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya adalah benteng yang kuat.
Dengan kata lain, tiada gunanya sikap waspada dan berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman maut. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair (Jahiliah), yaitu Zuhair ibnu Abu Salma: “Barang siapa yang takut terhadap penyebab kematian, niscaya dia akan ditemukannya sekalipun dia naik ke langit yang tinggi dengan memakai tangga.”
Menurut pendapat yang lain, al-musyayyadah sama artinya dengan al-masyidah. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan istana yang tinggi.” (Al-Hajj: 45)
Menurut pendapat yang lainnya lagi, di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu: Kalau dibaca al-musyayyadah dengan memakai tasydid artinya yang ditinggikan, sedangkan kalau dibaca takhfif (tanpa tasydid) artinya yang dibangun dengan memakai batu kapur.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan bab ini mengetengahkan sebuah kisah panjang dari Mujahid bahwa di zaman dahulu terdapat seorang wanita yang sedang melahirkan, lalu si wanita itu memerintahkan kepada pelayannya untuk mencari api. Ketika si pelayan keluar, tiba-tiba ia berjumpa dengan seorang lelaki yang sedang berdiri di depan pintu (entah dari mana datangnya). Lalu lelaki itu bertanya, "Apakah wanita itu telah melahirkan bayinya?" Si pelayan menjawab, "Ya, seorang bayi perempuan." Selanjutnya lelaki itu berkata, "Ingatlah, sesungguhnya bayi perempuan itu kalau sudah dewasa nanti akan berbuat zina dengan seratus orang laki-laki, kemudian ia dikawini oleh pelayan si wanita itu, dan kelak matinya disebabkan oleh laba-laba."
Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa pelayan itu kemudian kembali ke dalam rumah dan dengan serta-merta ia merobek perut si bayi dengan pisau hingga menganga lebar, lalu ia pergi melarikan diri karena ia merasa yakin bahwa bayi itu telah mati. Melihat hal itu ibu si bayi segera mengobati luka tersebut dengan menjahitnya. Lama-kelamaan luka si bayi sembuh dan ia tumbuh hingga remaja. Setelah dewasa, ia menjadi wanita yang tercantik di kotanya.
Sedangkan si pelayan yang kabur tadi pergi menjelajahi semua daerah, dan akhirnya ia menjadi penyelam, lalu berhasil memperoleh harta yang berlimpah (dari dalam laut). Dengan bekal harta itu ia menjadi orang yang paling kaya, lalu ia kembali ke negerinya semula dan bermaksud untuk kawin. Untuk itu ia berkata kepada seorang nenek, "Aku ingin kawin dengan wanita yang paling cantik di kota ini." Si nenek berkata, "Di kota ini tidak ada wanita yang lebih cantik dari si Fulanah." Ia berkata, "Kalau demikian pergilah kamu untuk melamarnya buatku." Si nenek akhirnya berangkat ke rumah wanita yang dimaksud, dan ternyata si wanita itu menyetujui lamarannya.
Ketika akan menggaulinya, ia sangat terpesona dengan kecantikan istrinya itu. Maka si istri itu bertanya kepadanya mengenai asal-usulnya. Lalu ia menceritakan kepada istrinya semua yang pernah ia alami hingga menyangkut masalah bayi perempuan tadi. Maka si istri menjawab, "Akulah bayi perempuan itu," lalu si istri memperlihatkan bekas robekan yang ada pada perutnya, hingga ia percaya dengan bukti tersebut.
Ia berkata, "Jika bayi tersebut dulu itu memang benar-benar kamu, sesungguhnya ada seorang lelaki (barangkali malaikat) yang memberitahukan kepadaku tentang dua perkara yang merupakan suatu keharusan akan menimpamu. Salah satunya ialah bahwa engkau telah berbuat zina dengan seratus orang laki-laki." Si istri menjawab, "Memang aku telah berbuat itu, tetapi aku lupa dengan berapa banyak lelaki aku melakukannya." Si suami menjawab, "Jumlah mereka adalah seratus orang." Si suami melanjutkan kisahnya, "Hal yang kedua ialah engkau akan mati karena seekor laba-laba."
Karena si suami sangat mencintai istrinya, maka ia membangunkan untuk si istri sebuah gedung yang kokoh lagi tinggi untuk melindunginya dari (ramalan) penyebab kematian tersebut. Namun pada suatu hari ketika mereka sedang asyik masyuk, tiba-tiba ada seekor laba-laba hinggap di atap rumah. Lalu ia memperlihatkan laba-laba itu kepada istrinya. Maka si istri berkata, "Inikah yang engkau takutkan akan menyerang diriku? Demi Allah, bahkan akulah yang akan membunuhnya."
Para pembantu menurunkan laba-laba itu dari atap ke bawah, kemudian si istri dengan sengaja mendekatinya dan menginjaknya dengan jempol kakinya hingga laba-laba itu mati seketika itu juga. Akan tetapi, takdir Allah berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Ternyata ada sebagian dari racun laba-laba itu yang masuk ke dalam kuku jari kakinya dan terus menembus ke dagingnya, hingga kaki si wanita itu menjadi hitam dan membusuk; hal tersebutlah yang mengantarkannya kepada kematian.
Dalam pembahasan ini kami ketengahkan sebuah kisah tentang Raja Al-Hadar yang benama Satirun, ketika ia diserang oleh Raja Sabur yang mengepung bentengnya. Akhirnya Sabur dapat membunuh semua orang yang ada di dalam benteng sesudah mengepungnya selama dua tahun. Sehubungan dengan kisah ini orang-orang Arab merekamnya ke dalam syair-syair mereka, yang antara lain mengatakan:
“Raja Al-Hadar, ketika membangun negerinya dan Sungai Tigris dialirkannya menuju negerinya, begitu pula Sungai Khabur, dia membangun istananya dengan memakai batu marmar dan lantainya memakai keramik yang indah lagi anggun. Di atas puncak istananya yang tinggi itu banyak burung merpati bersarang. Tangan-tangan kematian tidak ditakuti oleh benteng yang kokoh lagi tinggi itu. Akan tetapi, si raja binasa dalam membela bentengnya yang kini menjadi reruntuhan yang ditinggalkan.”
Ketika Ali masuk menemui Usman, ia mengatakan, "Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad." Kemudian Ali mengucapkan syair berikut:
“Aku melihat bahwa maut tidak menyisakan seorang yang perkasa pun, dan tidak pernah memberikan perlindungan kepada pemberontak di negeri ini dan kawasan ini. Penduduk benteng tinggal dengan aman, sedangkan pintu benteng dalam keadaan tertutup kemegahan dan tingginya menyamai bukit-bukit.”
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa Kisra Sabur yang dijuluki Zul Aktaf yang membunuh Satirun, Raja Al-Hadar. Tetapi di lain kesempatan Ibnu Hisyam mengatakan pula bahwa sesungguhnya orang yang membunuh Raja Al-Hadar adalah Sabur ibnu Ardsyir ibnu Babik, generasi pertama Raja Bani Sasan; dia pulalah yang mengalahkan raja-raja Tawaif dan mengembalikan kekuasaan kepada kekaisarannya. Adapun Sabur yang dijuluki Zul Aktaf, dia baru muncul jauh sesudah itu. Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh As-Suhaili.
Ibnu Hisyam menceritakan bahwa Sabur mengepung benteng Satirun selama dua tahun. Peperangan itu terjadi karena Satirunlah yang memulainya; Satirun menyerang negeri Sabur di saat Raja Sabur sedang bepergian ke Irak. Pada suatu hari putri Raja Satirun bernama Nadirah naik ke atas benteng, lalu ia melihat-lihat, dan pandangan matanya tertuju ke arah Raja Sabur yang memakai pakaian kebesaran yang terbuat dari kain sutra, di atas kepalanya terdapat mahkota terbuat dari emas murni yang bertatahkan intan dan berbagai macam batu permata yang amat langka. Hati si putri terpikat, lalu ia menyusup menemuinya dan mengatakan kepadanya, "Jika aku bukakan pintu benteng ini, maukah kamu memperistri diriku?" Maka Raja Sabur menjawab, "Ya."
Pada sore harinya Raja Satirun minum khamr hingga mabuk, dan sudah menjadi kebiasaannya bila hendak tidur ia mabuk terlebih dahulu. Maka putrinya mengambil kunci pintu gerbang benteng dari bawah bantal ayahnya.
Setelah itu kunci tersebut ia kirimkan kepada Raja Sabur melalui seorang bekas budaknya, maka Raja Sabur dapat membuka benteng tersebut.
Menurut riwayat yang lain, si putri menunjukkan kepada mereka sebuah rajah (jimat) yang berada di dalam benteng itu. Benteng tersebut tidak akan dapat dibuka sebelum diambil seekor burung merpati abu-abu, lalu kedua kakinya dibasahi dengan kotoran darah haid seorang gadis yang bermata biru, kemudian baru dilepaskan terbang. Apabila burung merpati itu hinggap di atas tembok benteng, maka tembok benteng itu akan runtuh dan terbukalah pintu gerbangnya. Raja Sabur melakukan hal tersebut.
Setelah pintu gerbang benteng terbuka, maka Sabur membunuh Raja Satirun dan berlaku sewenang-wenang kepada penduduk benteng, lalu menghancurkannya hingga menjadi puing-puing. Kemudian ia berangkat bersama putri tersebut yang telah ia kawini.
Tersebutlah bahwa di suatu malam hari ketika si putri telah berada di atas peraduannya, tiba-tiba ia gelisah, tidak dapat tidur. Hal ini membuat resah si raja, lalu ia mengambil sebuah lilin dan memeriksa tempat tidur istrinya, ternyata ia menjumpai selembar daun pohon as (yang pada zaman itu sebagai kertas). Raja Sabur berkata kepadanya, "Rupanya inilah yang menyebabkan kamu tidak dapat tidur. Apakah yang telah dilakukan oleh ayahmu di masa lalu?" Ia menjawab, "Dahulu ayahku menghamparkan kain sutra kasar buat permadaniku dan memakaikan kepadaku kain sutra yang indah-indah, serta memberiku makan sumsum dan memberiku minuman khamr."
At-Tabari menceritakan bahwa dahulu ayah si putri memberinya makan sumsum dan zubdah serta madu yang bermutu tinggi, dan memberinya minum khamr. At-Tabari menceritakan pula, bahwa Raja Sabur dapat melihat sumsum betisnya (karena kecantikannya dan keindahan tubuhnya, pent.). Raja Sabur akhirnya berkata, "Ternyata jasa ayahmu itu dibalas olehmu dengan air tuba, dan engkau pun tentu akan lebih cepat melakukan hal yang sama terhadap diriku." Raja Sabur akhirnya memerintahkan agar permaisurinya itu ditangkap, lalu gelungan rambutnya diikatkan ke buntut kuda, kemudian kudanya dibentak untuk lari sekencang-kencangnya, hingga matilah ia diseret kuda.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika mereka memperoleh kebaikan.” (An-Nisa: 78)
Yaitu kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil pertanian, banyak anak, dan lain-lain bentuk rezeki. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan As-Suddi.
“Mereka mengatakan, ‘Ini adalah dari sisi Allah,’ dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana.” (An-Nisa: 78)
Berupa paceklik, kekeringan, dan rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau tidak mempunyai penghasilan atau lain-lain bentuk bencana. Demikianlah menurut pendapat Abul Aliyah dan As-Suddi.
“Mereka mengatakan, ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’." (An-Nisa: 78)
Yakni dari sisi kamu, disebabkan kami mengikuti kamu dan memasuki agamamu. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya yang menceritakan perihal kaum Fir'aun, yaitu: “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, ‘Ini adalah karena (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang mengikutinya.” (Al-A'raf: 131)
Juga semakna dengan apa yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi.” (Al-Hajj: 11), hingga akhir ayat.
Demikian pula yang dikatakan oleh orang-orang munafik, yaitu mereka yang masuk Islam lahiriahnya, sedangkan hati mereka benci terhadap Islam. Karena itulah bila mereka tertimpa bencana, maka mereka kaitkan hal itu dengan penyebab karena mengikuti Nabi ﷺ.
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan jika mereka memperoleh kebaikan.” (An-Nisa: 78) Yang dimaksud dengan al-hasanah ialah kemakmuran dan kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak dengan pesatnya begitu pula ternak kuda mereka dan keadaan mereka menjadi membaik serta istri-istri mereka melahirkan anak-anaknya.
“Mereka mengatakan, ‘Ini adalah dari sisi Allah,’ dan kalau mereka tertimpa sesuatu bencana.” (An-Nisa: 78)
Yang dimaksud dengan sayyiah ialah kekeringan (paceklik) dan bencana yang menimpa harta mereka; maka mereka melemparkan kesialan itu kepada Nabi Muhammad ﷺ, lalu mereka mengatakan, "Ini gara-gara kamu." Dengan kata lain, mereka bermaksud bahwa karena kami meninggalkan agama kami dan mengikuti Muhammad, akhirnya kami tertimpa bencana ini. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’." (An-Nisa: 78)
Adapun firman Allah ﷻ: “Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’." (An-Nisa:78) Maksudnya, semuanya itu adalah atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua orang, baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka, dan baik terhadap orang mukmin maupun terhadap orang kafir, tanpa pandang bulu.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’." (An-Nisa: 78) Yaitu kebaikan dan keburukan itu semuanya dari Allah. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri. Kemudian Allah ﷻ berfirman, membantah mereka yang mengatakan demikian yang timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka, minimnya pemahaman dan ilmu mereka yang diliputi dengan kebodohan dan kezaliman, yaitu: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun.” (An-Nisa: 78)
Sehubungan dengan firman-Nya: “Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’." (An-Nisa: 78) terdapat sebuah hadits gharib yang diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar : Telah menceritakan kepada kami As-Sakan ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Hammad, dari Muqatil ibnu Hayyan, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan, "Ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah ﷺ, datanglah Abu Bakar bersama dua kabilah, suara mereka kedengaran amat gaduh. Lalu Abu Bakar duduk di dekat Nabi ﷺ dan Umar pun duduk di dekat Abu Bakar. Maka Rasulullah ﷺ bertanya, 'Mengapa suara kamu berdua kedengaran gaduh?' Seorang lelaki memberikan jawaban, 'Wahai Rasulullah, Abu Bakar mengatakan bahwa semua kebaikan dari Allah dan semua keburukan dari diri kita sendiri.' Rasulullah ﷺ bersabda, 'Lalu apakah yang kamu katakan, wahai Umar?' Umar menjawab, 'Aku katakan bahwa semua kebaikan dan keburukan dari Allah.' Rasulullah ﷺ bersabda, 'Sesungguhnya orang yang mula-mula membicarakan masalah ini adalah Jibril dan Mikail. Mikail mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan olehmu, wahai Abu Bakar. Sedangkan Jibril mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan olehmu, wahai Umar.' Nabi ﷺ melanjutkan kisahnya, 'Penduduk langit pun berselisih pendapat mengenainya. Jika penduduk langit berselisih, maka penduduk bumi pun berselisih pula. Lalu keduanya mengajukan permasalahannya kepada Malaikat Israfil. Maka Israfil memutuskan di antara mereka dengan keputusan bahwa semua kebaikan dan semua keburukan berasal dari Allah.' Kemudian Rasulullah ﷺ berpaling ke arah Abu Bakar dan Umar, lalu bersabda, 'Ingatlah keputusanku ini olehmu berdua. Seandainya Allah berkehendak untuk tidak didurhakai, niscaya Dia tidak akan menciptakan iblis'."
Syaikhul Islam Taqiyud Din Abul Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits ini maudu' lagi buatan, menurut kesepakatan ahli ma'rifah (para ulama).
Ayat 79
Kemudian Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya, tetapi makna yang dimaksud ialah mencakup semua orang, sehingga firman berikut dapat dianggap sebagai jawaban, yaitu:
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah.” (An-Nisa: 79)
Yakni dari kemurahan Allah, kasih sayang serta rahmat-Nya.
“Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (An-Nisa: 79)
Yaitu akibat perbuataninu sendiri. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)
As-Suddi, Al-Hasan Al-Basri, Ibnu Juraij, dan Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Maka itu adalah dari dirimu sendiri.” (An-Nisa: 79) Yaitu disebabkan dosamu sendiri.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka itu adalah dari dirimu sendiri.” (An-Nisa: 79) Sebagai hukuman buatmu, wahai anak Adam, karena dosamu sendiri.
Qatadah mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seseorang terkena lecet karena (tertusuk) kayu, tidak pula kakinya tersandung, tidak pula uratnya terkilir, melainkan karena dosanya sendiri, tetapi yang dimaafkan oleh Allah jauh lebih banyak.”
Hadits mursal yang diriwayatkan oleh Qatadah ini telah diriwayatkan secara muttasil di dalam kitab sahih, yang bunyinya mengatakan: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tiada suatu kesusahan pun yang menimpa orang mukmin, tiada suatu kesedihan pun, dan tiada suatu kelelahan pun, hingga duri yang menusuk (kaki)nya, melainkan Allah menghapuskan sebagian dari dosa-dosanya karena musibah itu.”
Abu Saleh mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (An-Nisa: 79) Yakni karena dosamu sendiri, dan Akulah (kata Allah) yang menakdirkannya atas dirimu. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Salil ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Al-Aswad ibnu Syaiban, telah menceritakan kepadaku Uqbah ibnu Wasil (keponakan Mutarrif), dari Mutarrif ibnu Abdullah sendiri yang mengatakan, "Apakah yang kalian kehendaki dari masalah takdir ini, tidakkah mencukupi kalian ayat yang ada di dalam surat An-Nisa," yaitu firman-Nya: “Dan kalau mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, ‘Ini adalah dari sisi Allah.’ Dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, mereka mengatakan, ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’." (An-Nisa: 78) Yaitu karena dirimu.
Demi Allah, mereka tidak diserahkan kepada takdir sepenuhnya karena mereka telah diperintah, dan ternyata yang terjadi adalah seperti yang mereka alami. Hal ini merupakan pendapat yang kuat lagi kokoh untuk membantah aliran Qadariyah dan Jabariyah sekaligus. Mengenai rinciannya, disebutkan di dalam kitab yang lain.
Firman Allah ﷻ: “Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia.” (An-Nisa: 79)
Untuk menyampaikan kepada mereka syariat-syariat (perintah-perintah) Allah, hal-hal yang disukai dan diridai-Nya, serta semua hal yang dibenci dan ditolak-Nya.
“Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (An-Nisa: 79)
Yakni saksi yang menyatakan bahwa Dialah yang mengutusmu. Dia menjadi saksi pula antara kamu dan mereka, Dia Maha Mengetahui semua yang engkau sampaikan kepada mereka, juga jawaban serta sanggahan mereka terhadap kebenaran yang kamu sampaikan kepada mereka karena kekufuran dan keingkaran mereka.
Ayat-ayat yang lalu menggambarkan dua motivasi perang dan dua kelompok pada masing-masing motivasi itu. Ayat-ayat berikut menggambarkan fenomena yang ada di sebagian kelompok orang beriman yang enggan diajak berperang. Tidakkah engkau memperhatikan, wahai kaum beriman, orang-orang yang dikatakan kepada mereka, yakni orangorang yang menampakkan dirinya beriman dan minta izin berperang sebelum ada perintah berperang' Dikatakan kepada mereka, Tahanlah tanganmu dari berperang karena belum waktunya, laksanakanlah salat guna membangun hubungan dengan Allah, dan tunaikanlah zakat untuk membangun hubungan dengan sesama! Ketika situasi telah menuntut untuk melakukan perang karena kaum muslim bertambah teraniaya, maka mereka pun diwajibkan untuk berperang, tiba-tiba sebagian mereka golongan munafik yang telah hidup nyaman pada waktu turunnya ayat ini, takut kepada manusia sebagai musuh yakni orang-orang kafir seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih dahsyat lagi takut dari itu. Dalam kondisi dihantui oleh rasa takut menghadapi musuh dan takut kehilangan kesenangan yang sudah diperoleh, mereka berkata, Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami, padahal kami belum terlepas dari kesulitan hidup' Mengapa tidak Engkau tunda kewajiban berperang itu kepada kami beberapa waktu lagi, agar kami dapat merasakan kesenangan ini lebih lama lagi' Katakanlah, Berapa lama pun kesenangan yang kalian dapatkan di dunia ini tidak ada artinya, karena kesenangan dunia itu hanya sedikit, dan kesenangan akhirat itu lebih baik karena banyak dan beraneka ragam, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa mendapat pahala turut berperang dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun baik di dunia maupun di akhirat. Di mana pun kamu berada, wahai orang-orang yang enggan berperang di jalan Allah, kematian itu pasti akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada pada persembunyian di dalam benteng yang tinggi dan kukuh yang tidak terdapat celah sedikit pun untuk menembusnya. Jika mereka, orang-orang yang enggan itu, memperoleh kebaikan, yakni sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan, mereka mengatakan, Ini dari sisi Allah, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan atau kondisi yang tidak menyenangkan, mereka akan mengatakan, Ini dari engkau, yakni disebabkan olehmu, wahai Muhammad. Katakanlah, Semuanya datang dari sisi Allah dan karena izin-Nya. Maka mengapa orang-orang yang mengucapkan kata-kata seperti itu, yakni orang-orang munafik, hampir-hampir tidak memahami pembicaraan dan penjelasan seperti itu sedikit pun'.
Ayat ini menggambarkan keadaan masyarakat masa jahiliah. Mereka suka berperang meskipun karena sebab yang kecil. Setelah masuk Islam, mereka diperintahkan agar menghentikan perang, melaksanakan salat dan membayar zakat. Sebagian dari mereka mengharapkan adanya perintah perang karena kepentingan duniawi sebagaimana kebiasaan mereka pada masa jahiliah.
Ayat ini memerintahkan kepada sebagian kaum Muslimin yang enggan berperang agar mereka bersikap tenang dan menahan diri untuk tidak mengadakan peperangan terhadap orang kafir dan mereka hanya diperintahkan melakukan salat dan membayar zakat. Tetapi pada waktu mereka diperintahkan berperang untuk mempertahankan diri, ternyata sebagian dari mereka tidak bersemangat untuk berperang karena takut kepada musuh, padahal semestinya mereka hanya takut kepada Allah. Malahan mereka berkata, "Mengapa kami diwajibkan berperang pada waktu ini, biarkanlah kami mati seperti biasa."
Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada sebagian kaum Muslimin bahwa sikap mereka itu adalah sikap seorang pengecut, karena takut mati dan cinta kepada harta dunia, sedangkan kelezatan dunia itu hanya sedikit sekali dibandingkan dengan kelezatan akhirat yang abadi dan tidak terbatas, yang hanya akan didapat oleh orang-orang yang bertakwa kepada Allah yaitu orang yang bersih dari syirik dan akhlak yang rendah. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak akan menganiaya dan merugikan manusia. Masing-masing akan mendapat balasan sesuai dengan amal perbuatannya walaupun sebesar zarrah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 77
Di zaman jahiliyyah, di masa mereka itu masih musyrik banyak juga mereka berperang. Tetapi berperang sesama sendiri. Yang paling terkenal ialah peperangan-peperangan antara dua suku seketurunan di Madinah, yaitu Aus dan Khazraj, dan lantaran peperangan-peperangan sesama sendiri itulah, mereka jadi lemah sehingga orang-orang Yahudi sebagai pendatang di negeri Madinah, yang dahulu bernama Yatsrib, dapat lebih tinggi kedudukan dari mereka sehingga segala kunci-kunci ekonomi, Yahudi yang memegang. Barulah setelah Islam datang, mereka menjadi Ansharul Islam atau Ansharun Nabi, berhenti peperangan-peperangan. Mereka itu dan timbul persaudaraan yang mesra. Sejak mereka menjadi Islam, dengan tegas Rasulullah menutup mati segala peperangan sesama sendiri itu. Disuruh beribadah, shalat, dan berzakat Kemudian mereka diajak berperang untuk maksud yang lebih suci, yaitu menegakkan agama Allah, menjual diri kepada Allah dan dibeli Allah dengan surga. Tetapi ada di antara mereka, sebagaimana yang berkali-kali dibayangkan tadi, enggan menghadapi perang jihad fii sabilillah karena jiwa mereka “terbelakang". Inilah yang dimaksud dengan ayat ini, “Tidakkah engkau lihat orang-orang yang pernah dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tangan kamu."
Artinya hentikanlah tangan kamu dari bercakar-cakaran sesama sendiri.
“Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat!" Berhentilah buat selama-lamanya permusuhan di antara kamu sama kamu dan dirikanlah shalat menyembah Allah, tegakkanlah jamaah di dalam menghadap Allah, dan bayarkanlah zakat kepada fakir miskin dan sekalian yang berhak menerima.
“Akan tetapi tatkala diperintahkan kepada mereka berperang," yaitu perang mempertahankan agama, bukan lagi perang mus-nah-memusnahkan di antara kabilah dengan kabilah sebagai di zaman jahiliyyah itu, “tiba-tiba segolongan dari mereka takut kepada manusia sebagaimana takut kepada Allah, atau lebih takut lagi." Dengan tidak disadari, karena sudah merasa enak duduk-duduk saja, timbullah enggan berperang, sebab berperang mengganggu kehidupan yang biasa, mengganggu berniaga dan bertani dan berternak, maka timbullah takut. Takut kepada manusia sudah lebih besar daripada takut kepada Allah, malahan kadang-kadang lebih. Itulah tanda iman yang sudah lemah, terbelakang. “Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami! Mengapa diperintahkan kepada kami berperang, mengapa tidak Engkau biarkan kami, sehingga ajal kami yang hampir?'“ Mengapa tidak dibiarkan kami aman-aman saja, tiba waktu shalat kami pergi berjamaah bersama-sama ke masjid. Sehabis shalat kami bekerja membanting tulang membangun hidup kami, berniaga, bertani, atau berternak, dan sebagainya. Habis tahun kami bayar zakat kepada yang berhak, aman tenteram, tidak ada perang, sampai kami meninggal dunia.
Cita-cita yang begitu memang baik, kalau keadaan sudah aman. Tetapi kalau musuh masih mengancam, kalau Quraisy belum diam? Kalau Mekah sebagai pusat ibadah masih diambil menjadi sandaran berhala?
Kalau kabilah-kabilah Arab yang lain masih menunggu saat buat menyerbu Madinah?
Kalau Yahudi masih mencari hubungan dengan Quraisy? Kalau Kerajaan Romawi di Syam masih melihat pertumbuhan Islam di tengah tanah-tanah Arab itu suatu bahaya kehancuran imperialisme mereka? Kalau bangsa Persia masih memandang hina bangsa yang baru bangkit ini? Kalau semuanya itu masih ada, bilakah akan tercapai aman makmur, duduk tafakkur di masjid, atau bertani, berladang untuk mengeluarkan zakat? Sebab itu maka Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
“Katakanlah, ‘Benda dunia (hanya) sedikit. Dan akhirat adalah lebih baik bagi barangsiapa yang takwa. Dan tidaklah kamu akan dianiaya sedikit pun."
Memang kamu disuruh menghentikan berperang yang tak ada tujuan, dan tegakkanlah shalat, keluarkanlah zakat. Untuk berzakat memang perlu kamu kaya. Mendapat banyak harta benda dunia. Tetapi harta dunia itu hanyalah sedikit, tidak ada artinya sama sekali, kalau kamu dikuasai kembali oleh musuh, kamu hancur kembali, harta itu pun punah jadi rampasan musuh, dan kamu kembali jadi jahiliyyah. Tetapi kalau kamu bersedia mengikuti perintah Allah, berperang dengan musuh, meskipun kamu mati, matimu syahid. Dan kalau kamu menang, dunia akan kamu dapat kembali dan harta kekayaanmu akan berlimpah-limpah, kamu akan menzakatkan-nya. Jika kamu mati, kemuliaan surga juga yang akan kamu dapat dan sedikit pun kamu tidak akan dianiaya. Segala jasamu ada dalam catatan Allah. Sebab itu janganlah kamu takut mati sehingga kamu menjadi takut kepada manusia, sebagaimana menakuti Allah, bahkan kadang-kadang lebih.
Ayat 78
“Di mana saja kamu berada, namun kematian akan mendapatkan kamu, walaupun kamu berada di dalam puri yang teguh."
Inilah peringatan kepada orang-orang lemah iman dan telah merasa diri senang aman-aman, tak usah berperang lagi. Dalam hati sanubari mereka, telah terasa takut mati, padahal mati pasti datang. Walaupun bersembunyi di sebuah puri atau benteng yang kuat, tempat sembunyi dan bertahan orang-orang yang hendak mengelakkan mati. Padahal ke mana pun lari, kalau tiba waktu mati, mesti mati juga. Alangkah hinanya mati karena lari dan karena sembunyi. Kalau hendak mati juga, alangkah baiknya mati dalam kemuliaan. Berapa banyak orang yang merendahkan diri mengejar maut dengan gagah berani, tidak mati sebab belum ajal. Berapa banyak pula orang yang ngeri melihat peluru, lalu lari, maka peluru pun mengejar dia. Pengalaman tentara-tentara atau prajurit di medan perang sangat banyak dalam hal ini.
Tentang tafsiran ayat 77 dan separuh dari ayat 78 ini, ada satu riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Abbas, katanya, “Bahwa yang mengeluh enggan berperang, yang berniat hendak membangun itu terbawa-bawa nama dua orang sahabat yang besar-besar, pahlawan-pahlawan Islam, yaitu Abdurrahman bin Auf dan Sa'ad bin Abu Waqqash, karena memang keduanya itu termasuk sahabat-sahabat yang telah kaya raya karena pintar berniaga."
Kata riwayat itu mereka berniat setelah berpindah ke Madinah, hendak membangunkan ekonominya. Tetapi Penafsir al-Azhar ini, dalam hal ini, sepaham atau menuruti paham Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya bahwa riwayat itu, betapa pun sanadnya, tidak dapat diterima. Abdurrahman bin Auf dan Sa'ad adalah anggota staf Rasulullah ﷺ termasuk dalam golongan yang sepuluh. Sa'ad yang kemudiannya menjadi Penakluk Qadisiyah dan penghancur Kerajaan Persia, bukanlah orangnya yang akan takut mati. Sebab itu tafsiran di atas kita ikuti menurut tafsir Sayyid Rasyid Ridha, yaitu lanjutan teguran kepada jiwa-jiwa yang “terbelakang" tadi.
Bagi orang yang beriman sangatlah besar kesan ayat ini. Lantaran ayat ini seorang beriman tidak merasa takut menghadapi maut. Ke mana mereka akan lari? Padahal ke mana pun lari, di sana maut menunggu. Meskipun bersembunyi ke dalam sebuah peti rahasia. Di sana pun kita akan mati karena udara tidak masuk. Kita lari ke dalam laut, di sana pun kita akan mati karena tidak dapat bernapas.
Ada orang yang takut naik kapal terbang sebab ada orang yang mati karena kapal terbangnya terbakar. Padahal orang tidak dapat mengelak dari tidur di atas kasur, sedang orang yang mati di atas kasur lebih banyak daripada yang mati di tempat lain. Sekarang ayat ini menjelaskan bahwa kita tidak akan bisa mengelak dari maut walaupun bersembunyi ke atas puri yang tinggi. Laksana puri raja-raja di Eropa di zaman pertengahan, yang membangunkan purinya di puncak bukit-bukit yang curam dan diberi parit besar di sekeliling untuk menjaga musuh jangan sampai masuk. Namun mereka tidak dapat menghambat datangnya malaikat maut. Mendirikan benteng untuk penangkis malaikat maut adalah percuma. “Adalah satu tanda yang tidak pernah berubah di langit, yaitu Allah. Dan adalah satu tanda pula yang tidak bisa berubah di bumi, yaitu kubur." Demikian dikatakan oleh pujangga Mesir terkenal, Sayyid Mushthafa Syadiq.
Ibnu Jarir dalam tafsirnya, disertai oleh Ibnu Abi Hatim menceritakan satu kisah yang mereka terima dari mujahid, “Ada seorang perempuan di zaman dahulu. Seorang tukang tenung mengabarkan kepadanya bahwa dia akan mati dibunuh oleh seekor laba-laba (‘Ankabut) Mendengar kata tukang tenung itu, suami perempuan itu membuatkannya sebuah puri yang kukuh di puncak bukit yang teramat tinggi untuk memelihara istrinya yang tercinta itu dari gigitan laba-laba."
Pada suatu hari, duduk-duduklah mereka suami istri dan kawan-kawan yang lain dalam puri yang kukuh itu. Tiba-tiba kelihatanlah seekor laba-laba sedang membuat sarangnya di loteng puri. Berkata suaminya, “Coba lihat! Itu dia laba-laba itu!" Melihat itu berkatalah perempuan tersebut, “Inikah dia yang kita takuti itu? Sehingga kakanda buatkan saya tempat setinggi ini untuk memelihara diri darinya?"
“Demi Allah aku mesti membunuhnya!" Lalu laba-laba itu pun dikaitnya sampai dapat diturunkan ke bawah. Lalu dengan murkanya perempuan itu menginjak laba-laba itu dengan jari induk kakinya, sehingga mati. Tetapi bisa laba-laba itu telah menjalar masuk ke dalam kukunya, mengalir terus ke seluruh tubuhnya (infeksi), gembung dan hitamlah kakinya tidak dapat diobati. Lalu matilah dia.
Kemudian sambungan ayat, “Dan jika mereka dikenai oleh suatu kebaikan, mereka berkata, ‘Ini adalah dari sisi Allah!' Tetapi jika menimpa kepada mereka suatu kesusahan, mereka berkata, ‘Ini adalah dari sisi engkau,'“ Beginilah ucapan kaum munafik di Madinah, disertai pula oleh orang Yahudi di Madinah, ketika mula-mula Rasulullah ﷺ dan kaum Muhajirin datang. Terjadi peperangan-peperangan, banyaklah Mujahidin mendapat harta rampasan, lalu ramailah pasaran di Madinah, ekonomi berjalan lancar, mereka pun bergembira dan berkata bahwa ini adalah nikmat dari Allah, Tetapi di Peperangan Uhud dapat kekalahan dan pernah Madinah diserang oleh kabilah-kabilah Arab dan mereka rusakkan tanam-tanaman. Banyak pula orang Muhajirin yang telah turut masuk pasaran, turut berniaga dan beruntung, orang Yahudi dan kaum munafik mengomel, mereka pun merasa terdesak. Mereka merasa bahwa kehidupan mereka yang dahulunya tenteram, sejak datang Muhammad mulai kacau, sebab itu mereka berkata bahwa semuanya ini adalah gara-gara pindahnya Muhammad ke Madinah. “Katakanlah, ‘Tiap-tiapnya itu adalah dari sisi Allah/" Di dalam membangunkan masyarakat yang baru, atas dasar cita-cita murni, mestilah
bertemu laba dan rugi, senang dan susah, sekali kalah banyak menang, nikmat ada cobaan pun ada. Dan sama sekali adalah dari Allah.
“Mengapalah kaum itu hampir-hampir tidak juga mengerti perkataan?"
Apa sebab hati sekelam itu? Sehingga hanya mau menerima enaknya raja? Sedang kalau kesukaran datang menimpa, ditimpakan kepada Rasul sebagai pemimpin?
Kemudian datanglah lanjutan ayat,
Ayat 79
“Apa saja pun kebaikan yang mengenai engkau, maka itu adalah dari Allah, dan apa saja pun kesusahan yang menimpa engkau, maka itu adalah dari dirimu sendiri."
Di sini Allah menyebut engkau, yakni tertuju kepada Rasul. Tetapi perkataan engkau di sini ditujukan bukanlah kepada Rasul saja, melainkan kepada diri tiap-tiap orang yang mukallaf. Rasul hanya jadi perantara buat menyampaikan. Yaitu, bahwasanya nikmat dan rahmat Allah cukuplah diberikan kepada manusia di dalam alam ini. Tidak ada yang kurang. Sehingga pada asalnya, semuanya adalah baik. Tidak ada Allah memberikan yang buruk.
Bukankah telah banyak ayat menerangkan bahwa segala sesuatunya dalam alam ini disediakan buat manusia? Apatah lagi manusia itu pun diberi akal dan disuruh berusaha. Jika manusia gagal atau di dalam menuju yang baik tiba-tiba buruk yang menimpa, itu adalah dari diri manusia sendiri. Baik karena kesia-siaan atau karena masih belum tahu dan belum berpengalaman. Yang terlebih-lebih wajib dijaga oleh manusia ialah supaya dia mensyukuri nikmat Allah.
Kesalahan yang paling besar ialah kalau tidak mensyukuri nikmat. Jiwamu sendiri “terbelakang" walaupun telah berlimpah nikmat Allah kepada kamu, namun karena kamu tidak mengenal apa yang dikatakan syukur nikmat, kamu akan tetap mengeluh. Sebab itu janganlah menimpakan salah kepada orang lain, tetapi selidikilah penyakit yang ada dalam jiwamu sendiri.
“Dan telah Kami utus kepada manusia seorang Rasul." Rasul telah mengajarkan kepada kamu jalan yang baik, cita-cita yang mulia mengeluarkan kamu dari gelap gulita kepada terang-benderang. Selamatlah kamu kalau ajarannya kamu ikut dan sengsara kamu ialah karena kamu tidak bulat menaati dia, bahkan masih ragu-ragu, penakut, dan pengeluh.
“Dan cukuplah dengan Allah sebagai Penyaksi."
Artinya, cukuplah Allah yang menjadi saksi, wahai utusan-Ku! Bahwasanya engkau telah melaksanakan perintah yang diberikan kepadamu dengan baik dakwah telah engkau sampaikan. Tabligh telah engkau lakukan. Allah menjadi saksi bahwa amanah itu telah engkau tunaikan dengan baik. Yaitu memimpin manusia menuju jalan yang benar dan sekali-kali tidak pernah engkau berlaku sewenang-wenang, memaksa-maksa. Malahan penderitaan engkau lebih banyak dan engkau teguh hati, pantang mundur sehingga senanglah Allah menyaksikan segala gerak-gerikmu. Tuduhan si lemah iman bahwa jika mereka ditimpa susah adalah dari sebab kesalahan engkau, tidak lain hanyalah karena kebodohan dan kedangkalan pikiran mereka juga adanya.