Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذۡ
dan ketika
جَعَلۡنَا
Kami jadikan
ٱلۡبَيۡتَ
rumah
مَثَابَةٗ
tempat ziarah/berkumpul
لِّلنَّاسِ
bagi manusia
وَأَمۡنٗا
dan tempat aman
وَٱتَّخِذُواْ
dan jadikanlah
مِن
dari
مَّقَامِ
makam
إِبۡرَٰهِـۧمَ
Ibrahim
مُصَلّٗىۖ
tempat sholat
وَعَهِدۡنَآ
dan Kami memerintahkan
إِلَىٰٓ
kepada
إِبۡرَٰهِـۧمَ
Ibrahim
وَإِسۡمَٰعِيلَ
dan Ismail
أَن
bahwa
طَهِّرَا
mensucikan
بَيۡتِيَ
rumahKu
لِلطَّآئِفِينَ
untuk orang-orang yang thawaf
وَٱلۡعَٰكِفِينَ
dan orang-orang yang i'tikaf
وَٱلرُّكَّعِ
dan orang-orang yang ruku
ٱلسُّجُودِ
orang-orang yang sujud
وَإِذۡ
dan ketika
جَعَلۡنَا
Kami jadikan
ٱلۡبَيۡتَ
rumah
مَثَابَةٗ
tempat ziarah/berkumpul
لِّلنَّاسِ
bagi manusia
وَأَمۡنٗا
dan tempat aman
وَٱتَّخِذُواْ
dan jadikanlah
مِن
dari
مَّقَامِ
makam
إِبۡرَٰهِـۧمَ
Ibrahim
مُصَلّٗىۖ
tempat sholat
وَعَهِدۡنَآ
dan Kami memerintahkan
إِلَىٰٓ
kepada
إِبۡرَٰهِـۧمَ
Ibrahim
وَإِسۡمَٰعِيلَ
dan Ismail
أَن
bahwa
طَهِّرَا
mensucikan
بَيۡتِيَ
rumahKu
لِلطَّآئِفِينَ
untuk orang-orang yang thawaf
وَٱلۡعَٰكِفِينَ
dan orang-orang yang i'tikaf
وَٱلرُّكَّعِ
dan orang-orang yang ruku
ٱلسُّجُودِ
orang-orang yang sujud
Terjemahan
(Ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Ka‘bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. (Ingatlah ketika Aku katakan,) “Jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.” (Ingatlah ketika) Kami wasiatkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, serta yang rukuk dan sujud (salat)!”
Tafsir
(Dan ketika Kami menjadikan Baitullah itu) yakni Kakbah (sebagai tempat kembali bagi manusia) maksudnya tempat berkumpul dari segenap pelosok (dan tempat yang aman) maksudnya aman dari penganiayaan dan serangan yang sering terjadi di tempat lain. Sebagai contohnya pernah seseorang menemukan pembunuh bapaknya, tetapi ia tidak mau membalas dendam di tempat ini, (dan jadikanlah) hai manusia (sebagian makam Ibrahim) yakni batu tempat berdirinya Nabi Ibrahim a.s. ketika membangun Baitullah (sebagai tempat salat) yaitu dengan mengerjakan salat sunah tawaf di belakangnya. Menurut satu qiraat dibaca 'wattakhadzuu' yang artinya, dan mereka menjadikan; hingga menjadi kalimat berita. (Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail) (yang bunyinya) ("Bersihkanlah rumah-Ku) dari berhala (untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf) artinya yang bermukim di sana (orang-orang yang rukuk dan orang-orang yang sujud!") artinya orang-orang yang salat.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 125
“Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.”
Ayat 125
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami jadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia.” Yakni mereka tidak akan merasa puas dengan keperluan mereka darinya; mereka datang kepadanya, lalu kembali kepada keluarganya, kemudian kembali lagi kepadanya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna masabatal linnas, bahwa mereka berkumpul di tempat tersebut (Baitullah).
Riwayat ini dan yang sebelumnya, kedua-duanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Muslim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia” (Al-Baqarah: 125). Bahwa mereka berkumpul padanya, kemudian kembali ke tempat asalnya masing-masing. Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Sa'id ibnu Jubair menurut riwayat lain.
Hal yang mirip diriwayatkan pula dari ‘Atha’, Mujahid, Al-Hasan, Atiyyah, Ar-Rabi' ibnu Anas serta Adh-Dhahhak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Karim ibnu Abu Umair, telah menceritakan kepadaku Al-Walid ibnu Muslim yang mengatakan bahwa Abu Amr (yakni Al-Auza'i) pernah berkata, telah menceritakan kepadanya Abdah ibnu Abu Lubabah sebuah atsar mengenai takwil firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia” (Al-Baqarah: 125). Bahwa tiada seorang pun yang meninggalkannya setelah menunaikan keperluannya merasakan bahwa dirinya telah menunaikan keperluan darinya (yakni masih belum merasa puas dan ingin kembali lagi menunaikannya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Wahb yang mengatakan bahwa Ibnu Zaid pernah berkata sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia” (Al-Baqarah: 125). Mereka berkumpul di Baitullah dari berbagai negeri, semua datang kepadanya. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh seorang penyair sehubungan dengan pengertian ini, seperti yang dikemukakan oleh Imam Qurtubi, yaitu: “Baitullah dijadikan tempat berkumpul bagi mereka, tetapi selamanya mereka tetap merasa belum puas akan keperluannya di Baitullah itu.”
Sa'id ibnu Jubair dalam riwayatnya yang lain demikian pula Ikrimah, Qatadah, dan ‘Atha’ Al-Khurrasani mengatakan bahwa masabatal linnas artinya tempat berkumpul.
Sedangkan makna lafal amnan menurut Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas adalah tempat yang aman bagi manusia.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman” (Al-Baqarah: 125). Maksudnya, aman dari gangguan musuh dan tidak boleh membawa senjata di dalam kotanya. Padahal di masa Jahiliah orang-orang yang ada di sekitar Mekah saling berperang dan membegal, tetapi penduduk Mekah dalam keadaan aman tiada seorang pun yang mengganggu mereka.
Diriwayatkan dari Mujahid, ‘Atha’, As-Suddi, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas yang mengatakan bahwa barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia.
Kesimpulan dari penafsiran mereka terhadap ayat ini ialah bahwa Allah menyebutkan kemuliaan Baitullah dan segala sesuatu yang menjadi ciri khasnya yang mengandung ritual dan ketetapan hukum, yaitu Baitullah sebagai tempat berkumpulnya manusia.
Dengan kata lain, Allah menjadikannya sebagai tempat yang dirindukan dan disukai manusia; dan tiada suatu keperluan pun padanya ditunaikan oleh para pelakunya (yakni dia tidak akan merasa puas dengannya), sekalipun ia kembali lagi setiap tahunnya. Hal itu sebagai perkenan dari Allah ﷻ terhadap doa Nabi Ibrahim a.s. di dalam firman-Nya: “Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka” sampai dengan firman-Nya “Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku” (Ibrahim: 37-40).
Allah menjadikannya sebagai tempat yang aman. Barang siapa yang memasukinya, niscaya dia aman. Sekalipun dia telah melakukan apa yang telah dilakukannya, lalu dia masuk ke dalamnya, niscaya dia akan aman.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, pernah ada seorang lelaki menjumpai pembunuh ayahnya atau saudara laki-lakinya di dalam Masjidil Haram, ternyata lelaki tersebut tidak berani mengganggunya. Seperti yang digambarkan di dalam surat Al-Ma-idah, yaitu melalui firman-Nya: “Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu, sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia” (Al-Maidah: 97). Dengan kata lain, ia merupakan tempat yang dapat melindungi mereka dari kejahatan disebabkan keagungannya.
Ibnu Abbas mengatakan, "Seandainya manusia tidak berhaji ke Baitullah itu, niscaya Allah akan membalikkan langit ke atas bumi." Kemuliaan ini tiada lain berkat kemuliaan orang yang mula-mula membinanya (membangunnya), yaitu kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku." (Al-Hajj: 26).
Adapun firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia” (Ali Imran: 96-97).
Di dalam ayat ini disebutkan perihal maqam Ibrahim dan perintah mengerjakan salat padanya, yaitu melalui firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Mufassirin berbeda pendapat mengenai pengertian yang dimaksud dengan maqam Ibrahim ini. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Syabah An-Numairi, telah menceritakan kepada kami Abu Khalaf (yakni Abdullah ibnu Isa), telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu Hindun, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah seluruh Masjidil Haram. Hal yang mirip dengan riwayat ini diriwayatkan dari Mujahid dan ‘Atha’.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ‘Atha’ tentang takwil firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Maka ‘Atha’ menjawab bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas berkata, "Maqam Ibrahim yang disebutkan dalam ayat ini ialah maqam Ibrahim yang ada di dalam Masjidil Haram."
Kemudian Ibnu Juraij mengatakan, maqam Ibrahim menurut kebanyakan adalah manasik haji secara keseluruhan.
Kemudian ‘Atha’ mengartikannya kepadaku, untuk itu dia berkata bahwa maqam Ibrahim adalah maqam Ibrahim yang terdapat di dalam Masjidil Haram, dan dua salat (Zuhur dan Asar secara jamak) di Arafah, Al-Masy'ar, Mina, melempar jumrah, dan tawaf (sa'i) antara Safa dan Marwah. Lalu aku bertanya, "Apakah Ibnu Abbas yang menafsirkan semuanya itu?" ‘Atha’ menjawab, "Tidak, tetapi dia hanya mengatakan maqam Ibrahim adalah seluruh manasik haji." Aku bertanya, "Apakah engkau mendengar hal tersebut seluruhnya dari dia?" ‘Atha’ menjawab, "Ya, aku mendengarnya dari dia."
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan dari Abdullah ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah sebuah batu yang dijadikan oleh Allah sebagai rahmat. Tersebutlah bahwa di masa lalu Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail yang mengulurkan batu-batu bangunan Ka'bah kepadanya. Seandainya bagian atas dari batu itu dibasuh menurut mereka niscaya kedua kakinya menjadi bersilang.
As-Suddi mengatakan bahwa maqam Ibrahim adalah batu yang diletakkan oleh istri Nabi Ismail di bawah telapak kaki Nabi Ibrahim, hingga istri Nabi Ismail mencuci bagian atasnya. Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Al-Qurthubi dan dinilainya dha’if, tetapi selain Al-Qurthubi menguatkannya. Diriwayatkan pula oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, dari Al-Hasan Al-Basri dan Qatadah serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu ‘Atha’, dari Ibnu Juraij, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Jabir menceritakan hadis tentang haji yang dilakukan oleh Nabi ﷺ: Setelah Nabi ﷺ tawaf, Umar berkata kepadanya, "Inikah maqam bapak kita? Nabi ﷺ menjawab, "Ya." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat?" Maka ﷻ menurunkan firman-Nya: "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat" (Al-Baqarah: 125).
Usman ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Zakaria, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah, bahwa sahabat Umar pernah menceritakan hadis berikut: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, inikah maqam kekasih Tuhan kita!" Nabi ﷺ menjawab, "Ya." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat? Maka turunlah ayat, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat" (Al-Baqarah: 125).
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Gailan ibnu Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Masruq ibnul Mirzaban, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu Maimun, dari Umar ibnul Khattab, bahwa ia pernah melewati maqam Ibrahim; lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah kita sekarang berada di maqam kekasih Tuhan kita?" Nabi ﷺ menjawab, "Memang benar." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat." Sebentar kemudian turunlah firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat.” (Al-Baqarah: 125).
Ibnu Mardawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Muhammad Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Junaid, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Malik ibnu Anas, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ berdiri di dekat maqam Ibrahim pada hari pembukaan kota Mekah, Umar bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, inikah maqam Ibrahim yang disebutkan oleh firman-Nya, 'Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat'?" Nabi ﷺ menjawab, "Ya." Al-Walid berkata, "Aku bertanya kepada Malik, 'Apakah memang demikian dia (Ja'far ibnu Muhammad) menceritakannya kepadamu, yakni wattakhizu? Ia menjawab, "Ya."
Demikianlah yang disebutkan di dalam riwayat terakhir ini. Sanad hadis ini berpredikat gharib, tetapi Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Muslim dengan makna yang serupa.
Imam Al-Bukhari mengatakan dalam bab tafsir firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Masabah artinya tempat berkumpul bagi mereka, setelah itu mereka kembali (ke negerinya masing-masing).
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Humaid, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan Tuhanku, atau Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara.
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat." Maka turunlah firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Aku berkata, "Wahai Rasulullah, orang yang masuk menemuimu ada yang baik dan ada yang fajir (durhaka), sekiranya engkau perintahkan kepada Ummahatul Mukminin untuk memakai hijab." Maka Allah ﷻ menurunkan ayat hijab. Umar melanjutkan kisahnya, "Telah sampai kepadaku berita celaan Nabi ﷺ terhadap salah seorang istrinya, maka aku masuk menemui mereka (istri-istri Nabi ﷺ) dan kukatakan kepada mereka, 'Berhentilah kalian dari tuntutan kalian atau Allah benar-benar akan memberikan ganti kepada Rasul-Nya wanita-wanita yang lebih baik daripada kalian,' hingga sampailah aku pada salah seorang istrinya yang mengatakan, 'Wahai Umar, adapun Rasulullah ﷺ, beliau belum pernah menasihati istri-istrinya hingga engkau sendirilah yang menasihati mereka.' Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, yang patuh” (At-Tahrim: 5) hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Maryam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Humaid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas menceritakan sebuah hadis dari Umar Demikianlah menurut konteks yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dalam bab ini, dan ia men-ta'liq-kan jalur yang kedua dari gurunya (yaitu Sa'id ibnul Hakam yang dikenal dengan nama Ibnu Abu Maryam Al-Masri).
Imam Al-Bukhari menyendiri dalam periwayatan hadis ini dari gurunya di kalangan pemilik kitab-kitab Sittah. Sedangkan yang lainnya meriwayatkan hadis ini dari guru Imam Al-Bukhari melalui perantara. Tujuan Imam Al-Bukhari men-ta'liq hadits ini ialah untuk menjelaskan ittisal (hubungan) sanad hadis ini, dan sesungguhnya dia tidak meng-isnad-kan hadits ini mengingat Yahya ibnu Abu Ayyub Al-Gafiqi orangnya masih mengandung sesuatu cela; menurut Imam Ahmad, hafalannya lemah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Hamid, dari Anas yang mengatakan bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat" Maka turunlah firman-Nya: "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Dan aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang yang masuk menemui istri-istrimu ada orang yang takwa dan ada pula orang yang fasik, maka sekiranya engkau memerintahkan mereka memakai hijab." Lalu turunlah ayat hijab. Dan semua istri Rasulullah ﷺ berkumpul menemuinya dalam masalah cemburu, maka aku berkata kepada mereka, "Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian." Maka ternyata turunlah ayat yang berbunyi demikian.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Yahya dan Ibnu Abu Addi yang kedua-duanya menerima hadis ini dari Humaid, dari Anas, dari Umar. Disebutkan bahwa Umar pernah mengatakan, "Aku bersesuaian dengan Rabbku dalam tiga perkara, atau Rabb-ku bersesuaian denganku dalam tiga perkara." Kemudian ia menuturkan hadis ini.
Imam Al-Bukhari meriwayatkannya melalui Umar dan Ibnu Aun; Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui Ahmad ibnu Mani', Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui Ya'qub ibnu Ibrahim Ad-Daruqi, dan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Muhammad ibnus Sabah; semuanya dari Hasyim ibnu Basyir dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya pula dari Abdu ibnu Humaid, dari Hajjaj ibnu Minhal, dari Hammad ibnu Salamah; dan Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Hanad, dari Yahya ibnu Abu Zaidah; keduanya menerimanya dari Humaid (yaitu Ibnu Tairawih At-Tawil) dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Imam Ali ibnul Madini meriwayatkannya dari Yazid ibnu Zurai', dari Humaid dengan lafal yang sama; dia mengatakan bahwa hadis ini termasuk sahih, dia (Imam Ali ibnul Madini) orang Basrah.
Imam Muslim ibnu Hajjaj meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya dengan sanad dan lafal yang lain. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Juwairiyah binti Asma', dari Nafi dari Ibnu Umar, dari Umar , bahwa Umar pernah mengatakan: “Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu dalam masalah hijab, dalam masalah tawanan Perang Badar, dan dalam masalah maqam Ibrahim.”
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Humaid At-Tawil, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah berkata: “Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara, atau aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat.? Maka turunlah fiman-Nya: "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan hijab buat istri-istrimu.” Maka turunlah ayat hijab. Dan yang ketiga ialah ketika Abdullah ibnu Ubay mati, Rasulullah ﷺ datang untuk menyalatkan (jenazah)nya, maka aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau salatkan orang kafir lagi munafik ini!" Nabi ﷺ bersabda, "Diamlah kamu, wahai Ibnul Khatab." Maka turunlah firman-Nya: "Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya" (At-Taubah: 84).
Sanad atsar ini berpredikat sahih. Tidak ada pertentangan di antara atsar ini dan atsar sebelumnya, bahkan semuanya shahih. Dan apabila majhum 'adad bertentangan dengan mantuq, maka majhum 'adad lebih diprioritaskan atasnya.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir: Bahwa Rasulullah ﷺ berlari kecil sebanyak tiga kali putaran dan berjalan biasa sebanyak empat kali putaran.
Setelah beliau menyelesaikan (tawafnya), lalu beliau menuju ke maqam Ibrahim dan salat dua rakaat di belakangnya. Setelah itu beliau membacakan firman-Nya: "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat" (Al-Baqarah: 125).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hatim ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir yang mengatakan: “Rasulullah ﷺ mengusap rukun, lalu berlari kecil sebanyak tiga kali (putaran) dan berjalan biasa sebanyak empat kali (putaran). Kemudian beliau menuju ke maqam Ibrahim dan membacakan firman-Nya: "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Maka beliau menjadikan posisi maqam berada di antara diri beliau dan Baitullah, lalu beliau salat dua rakaat.”
Hadits ini merupakan cuplikan dari sebuah hadis yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui hadis Hatim ibnu Ismail. Imam Al-Bukhari meriwayatkan berikut sanadnya melalui Amr ibnu Dinar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar menceritakan, "Rasulullah ﷺ tiba (di Mekah), lalu melakukan tawaf di Baitullah sebanyak tujuh kali putaran dan salat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim."
Semua yang disebutkan di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah sebuah batu yang pernah dijadikan sebagai tangga tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. ketika membangun Ka'bah. Ketika tembok Ka'bah makin tinggi, maka Ismail datang membawa batu tersebut agar Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail mengambilkan batu-batu untuk tembok Ka'bah, lalu diberikan kepadanya, dan Nabi Ibrahim memasang batu-batuan tersebut dengan tangannya untuk meninggikan bangunan Ka'bah. Apabila telah rampung dari satu sisi, maka batu itu dipindahkan oleh Nabi Ismail ke sisi berikutnya; demikianlah seterusnya hingga semua tembok Ka'bah selesai dibangun, seperti yang akan dijelaskan nanti dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka'bah, melalui riwayat Ibnu Abbas yang hadisnya berada pada Imam Al-Bukhari.
Jejak bekas kedua telapak kaki Nabi Ibrahim tampak jelas pada batu tersebut, hal ini masih tetap terkenal; orang-orang Arab di zaman Jahiliah mengetahuinya. Karena itulah Abu Thalib pernah mengatakan dalam salah satu qasidah lamiyahnya, yang antara lain disebutkan: “Tempat berpijak Nabi Ibrahim di batu besar itu masih basah; ia berdiri di atasnya pada kedua telapak kakinya tanpa memakai terompah.”
Kaum muslim masih sempat menemukannya pula, seperti yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Yazid, dari Ibnu Syihab, bahwa Anas ibnu Malik pernah menceritakan kepada mereka kisah berikut. Ia berkata, "Aku pernah melihat maqam Ibrahim, padanya masih ada jejak bekas jari-jari kaki Nabi Ibrahim a.s., juga bekas kedua telapak kakinya, hanya sudah pudar karena banyak diusap oleh orang-orang dengan tangan-tangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat. (Al-Baqarah: 125). Sesungguhnya mereka hanya diperintahkan untuk melakukan salat di dekatnya, tidak diperintahkan mengusapnya. Akan tetapi, umat ini telah memaksakan diri melakukan suatu hal seperti yang pernah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya.
Pernah dikisahkan kepada kami oleh orang yang melihat jejak bekas telapak kaki dan jari-jarinya masih tetap ada pada batu tersebut. Akan tetapi, umat ini masih terus mengusap-usapnya hingga jejak tersebut pudar dan terhapus. Menurut kami, pada mulanya (yakni di masa silam) maqam Ibrahim ini menempel pada dinding Ka'bah, tempatnya berada di sebelah pintu Ka'bah (Multazam) yang berada di dekat Hajar Aswad. Tepatnya tempat maqam Ibrahim tersebut berada di sebelah kanan pintu Ka'bah bagi orang yang hendak memasukinya, yaitu di salah satu bagian yang terpisah.
Ketika Nabi Ibrahim a.s..selesai membangun Baitullah, ia meletakkan (menempelkan) batu tersebut pada dinding Ka'bah. Atau setelah menyelesaikan pembangunannya beliau tinggalkan batu tersebut di tempat beliau menyelesaikannya. Karena itu hanya Allah Yang lebih mengetahui, diperintahkan melakukan salat di tempat itu bila seseorang telah selesai dari tawaf. Hal ini secara kebetulan tepat berada di dekat maqam Ibrahim, ketika beliau selesai membangun Ka'bah.
Sesungguhnya orang yang menjauhkannya dari Ka'bah adalah Amirul Muminin Umar ibnul Khattab, salah seorang imam yang mendapat petunjuk dan salah seorang Khulafaur Rasyidin yang kita semua diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Umar adalah salah seorang di antara dua orang lelaki yang pernah dikatakan oleh Rasulullah ﷺ dalam salah satu sabdanya, yaitu: “Ikutilah oleh kalian dua orang yang sesudahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar.” Dia adalah orang yang Al-Qur'an diturunkan bersesuaian dengan idenya menganjurkan melakukan salat di dekat maqam Ibrahim. Karena itu, tiada seorang pun di antara para sahabat yang memprotes perbuatannya (menjauhkan maqam Ibrahim dari dinding Ka'bah).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku ‘Atha’ dan lain-lainnya dari kalangan teman-teman kami bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim adalah Umar ibnul Khattab. Abdur Razzaq meriwayatkan pula dari Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang mengatakan bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim hingga ke tempatnya sekarang adalah Umar ibnul Khattab.
Al-Hafidzh Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnul Husain Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Husain ibnul Fadl Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Al-Qadi Abu Bakar Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Muhammad ibnu Ismail As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Abu Sabit, telah menceritakan kepada kami Ad-Darawardi, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa maqam (Ibrahim) dahulu di masa Rasulullah ﷺ dan masa Abu Bakar menempel pada (dinding) Ka'bah, kemudian dijauhkan oleh Umar ibnul Khattab.
Sanad hadis ini berpredikat shahih bersama riwayat-riwayat yang telah disebutkan sebelumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Amr Al-Adani yang mengatakan bahwa Sufyan (yakni Ibnu Uyaynah, imam ulama Mekah di masanya) pernah mengatakan bahwa dahulu di masa Nabi ﷺ maqam Ibrahim merupakan bagian dari dinding Ka'bah, kemudian dipindahkan oleh Umar ke tempatnya yang sekarang setelah Nabi ﷺ wafat dan setelah firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Ibnu Uyaynah mengatakan bahwa banjir telah mengalihkannya setelah dipindahkan oleh Umar dari tempatnya sekarang, kemudian Umar mengembalikannya ke tempatnya.
Sufyan mengatakan, "Aku tidak mengetahui berapa jarak antara maqam dan Ka'bah sebelum dipindahkan oleh Umar. Aku pun tidak mengetahui apakah maqam tadinya menempel atau tidak."
Semua atsar yang kami kemukakan ini memperkuat apa yang kami sebutkan sebelumnya.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Umar alias Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hakim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Wahhab ibnu Abu Tamam, telah menceritakan kepada kami Adam alias Ibnu Abu Iyas di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ibrahim ibnul Muhajir, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sekiranya kita salat di belakang maqam Ibrahim." Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat” (Al-Baqarah: 125). Pada awalnya maqam Ibrahim berada di dekat Ka'bah, kemudian dipindahkan oleh Rasulullah ﷺ ke tempatnya yang sekarang.
Mujahid mengatakan, tersebutlah bahwa Umar mempunyai suatu ide. Maka turunlah ayat Al-Qur'an yang sependapat dengannya.
Atsar ini berpredikat mursal dari Mujahid, tetapi atsar ini berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam riwayat Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang menyebutkan bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim ke tempatnya sekarang adalah Umar ibnul Khattab Akan tetapi, riwayat ini lebih sahih daripada jalur Ibnu Mardawaih jika riwayat terakhir ini dikuatkan oleh riwayat-riwayat sebelumnya."
Dan ingatlah, wahai Nabi Muhammad, ketika Kami menjadikan rumah ini, yakni Kakbah, sebagai tempat berkumpul yang sering dikunjungi, baik pada hari-hari biasa maupun pada musim umrah dan haji, dan juga tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqa'm Ibrahim itu, yakni pijakan Ibrahim ketika membangun Kakbah, sebagai tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, Bersihkanlah rumah-Ku dari segala bentuk najis, kemusyrikan, dan hal-hal yang tidak pantas diletakkan dan dilakukan di sana sesuai tuntunan agama untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang salat yang selalu melakukan rukuk dan sujud! Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim berdoa dengan mengatakan, Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Mekah ini sebagai negeri yang aman dari rasa takut dan perasaan terancam, dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu khususnya di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Dia berfirman, Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara di dunia ini, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.
Diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw, dan kaum Muslimin agar mengingat ketika Allah menjadikan Ka'bah sebagai tempat berkumpul manusia, tempat yang aman, dan menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Maqam Ibrahim ialah tempat berpijak bagi Ibrahim ketika membangun Ka'bah. Perintah Allah kepada Ibrahim dan Ismail itu untuk menenteramkan hati Nabi Muhammad ﷺ dan kaum Muslimin dalam menghadapi keingkaran orang kafir dan untuk menerangkan kepada orang musyrik, Yahudi dan Nasrani bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad itu seasas dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim, agama nenek moyang mereka.
Ada dua faedah yang dapat diambil dari ayat di atas sehubungan dengan didirikannya Ka'bah: Pertama, tempat berkumpul bagi manusia untuk ibadah. Sejak zaman dahulu sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus sampai saat ini Ka'bah atau Mekah telah menjadi tempat berkumpul manusia dari segala penjuru, dari segala macam bangsa dalam rangka menghormati dan melaksanakan ibadah haji. Hati mereka merasa tenteram tinggal di sekitar Ka'bah. Setelah mereka kembali ke tanah air, hati dan jiwa mereka senantiasa tertarik kepadanya dan selalu bercita-cita ingin kembali lagi bila ada kesempatan.
Kedua, Allah ﷻ menjadikannya sebagai tempat yang aman. Maksudnya, Allah menjadikan tanah yang berada di sekitar Masjidilharam sebagai tanah dan tempat yang aman bagi orang-orang yang berada di sana. Sejak dahulu sampai saat ini orang-orang Arab mengagungkan dan menyucikannya.
Orang-orang Arab terkenal dengan sifat suka menuntut bela atas orang atau kabilah yang membunuh atau menyakiti atau menghina keluarganya. Di mana saja mereka temui orang atau kabilah itu, penuntutan balas akan mereka laksanakan. Kecuali bila mereka menemuinya di Tanah Haram, mereka tidak mengganggu sedikit pun. Dalam pada itu sejak zaman dahulu banyak usaha dari orang-orang Arab sendiri atau dari bangsa-bangsa yang lain untuk menguasai Tanah Haram atau untuk merusak Ka'bah, tetapi selalu digagalkan Allah, seperti usaha Abrahah Raja Najasyi dengan tentaranya untuk menguasai Tanah Haram dan Ka'bah. Mereka dihancurkan.
Allah berfirman:
Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (al-Fil/105:1-5)
Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok. Mengapa (setelah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang batil dan ingkar kepada nikmat Allah? (al-'Ankabut/29:67)
Allah memerintahkan agar Maqam Ibrahim dijadikan sebagai tempat salat. Faedah perintah itu ialah untuk menghadirkan perintah itu di dalam pikiran atau agar manusia mengikuti apa yang diperintahkan itu, seolah-olah perintah itu dihadapkan kepada mereka sehingga perintah itu tertanam di dalam hati mereka dan mereka merasa bahwa diri mereka termasuk orang yang diperintah.
Dengan demikian, maksud ayat ialah: Orang-orang dahulu yang beriman kepada Ibrahim a.s. diperintahkan agar menjadikan sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Perintah itu ditujukan pula kepada orang-orang yang datang kemudian, yang mengakui Ibrahim a.s., sebagai nabi dan rasul Allah dan mengakui Nabi Muhammad saw, salah seorang dari anak cucu Ibrahim a.s. sebagai nabi yang terakhir.
Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membersihkannya dalam arti yang sebenarnya dan dalam arti kiasan. Membersihkan dalam arti yang sebenarnya ialah membersihkan dari segala macam benda yang dihukumkan najis, seperti segala macam kotoran dan sebagainya. Membersihkan dalam arti kiasan ialah membersihkannya dari segala macam perbuatan yang mengandung unsur-unsur syirik, perbuatan menyembah berhala, perbuatan-perbuatan yang terlarang, bertengkar dan sebagainya.
Perintah membersihkan Ka'bah ini sekalipun ditujukan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail, tetapi termasuk juga orang-orang yang datang sesudahnya. Allah menamakan Ka'bah yang didirikan itu dengan "Rumah Allah" (Baitullah). Penamaan itu bukan berarti Allah tinggal di dalam atau di sekitar Ka'bah. Tetapi maksudnya ialah bahwa Allah menjadikan rumah itu tempat beribadah kepada-Nya dan dalam beribadah menghadap ke arah Ka'bah.
Hikmah menjadikan Ka'bah sebagai "rumah Allah" dan menjadikan sebagai arah menghadap di dalam beribadah kepada Allah Pencipta dan Penguasa seluruh makhluk agar manusia merasa dirinya dapat langsung menyampaikan pujian, pernyataan syukur, permohonan pertolongan dan permohonan doa kepada Allah.
Manusia kurang dapat menyatakan pikirannya dalam beribadah kepada Allah bila tidak dilakukan di tempat tertentu dan menghadap ke arah tertentu. Dengan adanya tempat tertentu dan arah tertentu, manusia dapat menambah imannya setiap saat, memperdalam pengetahuannya, dan mempertinggi nilai-nilai rohani dalam dirinya. Karena dengan demikian dia merasakan seolah-olah Allah ada di hadapannya demikian dekat, sehingga tidak ada yang membatasi antaranya dengan Allah.
Pada ayat yang lain ditegaskan bahwa ke mana saja manusia menghadap dalam beribadah, berdoa akan menemui wajah Allah, dan sampai kepada-Nya, karena Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui. ) Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa penamaan Ka'bah sebagai rumah Allah hanyalah untuk mempermudah manusia dalam membulatkan pikirannya dalam beribadah. Pada asasnya Allah Mahabesar, Maha Mengetahui lagi Mahaluas.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERJUANGAN NABI IBRAHIM
Setelah menyampaikan peringatan-peringatan yang semacam itu banyaknya, terlebih dikhususkan kepada Bani Israil, yang diharapkan moga-moga ada perhatian mereka menerima ajaran kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ, di samping pengharapan kepada kaum musyrikin Arab sendiri, tetapi tidak juga lepas pertaliannya dengan Bani Israil, maka dengan ayat yang akan datang ini, di antara Bani Isma'il (Arab) diper-temukan dengan Bani Israil pada pokok asal, yaitu Nabi Ibrahim. Sebab orang Arab sendiri, terutama Arab Adnan atau Arab Musta'ribah, mengakui dan membanggakan bahwa mereka adalah keturunan Ibrahim dan Isma'il diikuti oleh Arab yang lain (Qahthan).
Ayat 124
“Dan (Ingatlah) tatkala telah diuji Ibrahim oleh Tuhan-Nya dengan berapa kalimat."
Dengan ini, diperingatkan kembali siapa Ibrahim, yang dibanggakan oleh kedua suku bangsa Bani Israil dan Bani Isma'il sebagai nenek moyang mereka. Itulah seorang besar yang telah lulus dari berbagai ujian. Allah telah mengujinya dengan beberapa kalimat, artinya beberapa ketentuan dari Allah. Dia telah diuji ketika menentang orang negerinya dan ayahnya sendiri yang menyembah berhala. Dia telah diuji sampai dibakar orang. Dia telah diuji, apakah kampung halaman yang lebih dikasihinya atau keyakinannya?
Dia telah tinggalkan kampong halaman karena menegakkan keyakinan. Dia telah diuji karena sampai tua tidak beroleh putra. Dan setelah dia tua mendapatkan putra yang diharapkan, maka diuji pula, disuruh me-nyembelih putranya yang dicintainya itu. Dan berbagai ujian yang lain."Maka telah dipenuhinya semuanya" Artinya, telah dipenuhinya sekalian ujian itu, telah dilaluinya dengan selamat dan jaya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, “Kalimat-kalimat yang diujikan kepadanya itu dan telah dipenuhinya semuanya. Dia telah memisahkan dari kaumnya karena Allah memerintahkannya memisahkan diri. Perdebatannya dengan Raja Nambrudz tentang kekuasaan Allah meng-hidupkan dan mematikan. Kesabaran hatinya tatkala dia dilemparkan ke dalam api bernyala, tidak lain karena mempertahankan pendiriannya tentang keesaan Allah. Setelah itu, dia hijrah dari kampung halamannya karena Allah yang menyuruh. Ujian Allah kepadanya ketika dia didatangi tetamu (ketika tetamu itu singgah kepadanya dalam perjalanan membawa adzab kepada kaum Luth) dan ujian kepadanya dengan menyuruh menyembelih putranya."
Di dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Abdullah bin Humaid, Ibnu |arir, dan Ibnu Abi Hatim dari al-Hasan, dia berkata, “Ibrahim telah diuji dengan kelap-kelipnya bintang, dia pun lulus. Dia diuji dengan bulan, dia pun lulus. Kemudian diuji dengan matahari, itu pun dia lulus. Diuji dengan hijrah, dia pun lulus. Diuji pula dengan menyuruh menyembelih anak kandungnya sendiri, itu pun dia lulus. Padahal waktu itu usianya telah delapan puluh tahun."
Setelah dilaluinya segala ujian itu dan dipenuhinya dengan sebaik-baiknya, “Dia pun berfirman, ‘Sesungguhnya, Aku hendak menjadikan engkau imam bagi manusia!"
Di sini, kita mendapat suatu pelajaran yang dalam sekali tentang jabatan yang begitu mulia yang dianugerahkan Allah kepada seorang di antara rasul-Nya. Setelah beliau lulus dalam berbagai ujian yang berat itu dan diatasinya segala ujian itu dengan jaya, barulah Allah memberikan jabatan kepadanya, yaitu menjadi imam bagi manusia. Imam ialah orang yang diikut, orang yang menjadi pelopor, yang patut ditiru diteladari, baik berkenaan dengan agama, ibadah, maupun akhlak.
Setelah jabatan imam itu diberikan Allah, Ibrahim pun mengemukakan permohonan, “Dan juga dari antara anak-cucuku." Sebagai seorang ayah atau nenek yang besar yang bercita-cita jauh, Ibrahim memohonkan supaya jabatan imam itu pun diberikan pula kepada orang-orang yang dipilih Allah dari kalangan anak-cucunya. Moga-moga timbullah kiranya orang-orang yang akan menyambung usahanya. Permohonan itu disambut oleh Allah,
“Tidaklah akan mencapai perjanjian-Ku itu kepada orag-orang yang zalim."
Permohonannya dikabulkan Allah bahwasanya dalam kalangan anak-cucu keturunannya memang akan ada yang dijadikan Imam pula, sebagai pelanjut dari usahanya. Akan ada imam, tetapi janji itu tidak akan berlaku pada anak-cucunya yang zalim. Keutamaan budi, ketinggian agama, dan ibadah bukanlah didapat karena keturunan. Yang akan naik hanyalah orang yang sanggup menghadapi ujian, sebagaimana Ibrahim juga. Ibrahim telah memenuhi segala ujian dengan selamat; baru setelah itu diangkat menjadi imam. Bagaimana anak-cucunya akan langsung saja menjadi imam kalau mereka tidak lulus dalam ujian atau zalim di dalam hidup. Imam yang dimaksud di sini adalah imamat agama, bukan kerajaan dan bukan dinasti yang dapat diturunkan kepada anak. Sebab itu, keturunan Ibrahim tidaklah boleh membanggakan diri karena mereka keturunan imam besar. Malahan kalau mereka zalim, bukanlah kemuliaan yang didapat lantaran mereka keturunan Ibrahim, melainkan berlipat gandalah dosa yang akan mereka pikul, kalau mereka yang terlebih dahulu melanggar apa yang dianjurkan oleh amanah nenek moyangnya.
Keturunan Ibrahim terbagi dua, yaitu Bani Isma'il dan Bani Israil. Pada kedua cabang turunan ini, terdapAllah beberapa orang imam ikutan orang banyak. Terakhir sekali Muhammad ﷺ, imam dunia dari keturunan Isma'il.
Ayat 125
“Dan (Ingatlah) tatkala telah Kami jadikan rumah itu tempat berhimpun bagi manusia."
Di dalam ayat ini disuruh mengingat kembali bahwasanya Allah Ta'aala telah menyuruhkan kepada Ibrahim menjadikan berjadikan rumah itu, yaitu Ka'bah atau Masjidil Haram, menjadi tempat berhimpun manusia, yaitu tempat beribadah dari seluruh manusia yang telah memercayai keesaan Allah, supaya mereka dapat berkumpul ke sana mengerjakan haji setiap tahun, sebagaimana yang dijelaskan pula di dalam surah al-Hajj, “Dan (tempat) aman." Sekalian dari tempat berkumpul seluruh manusia mengerjakan ibadah, tempat itu pun dijadikan tempat yang aman sentosa. “Dan jadikanlah sebagian dari makam Ibrahim menjadi tempat shalat Di sini tersebutlah pula suatu tanda sejarah yang amat penting, yaitu Makam (Maqam) Ibrahim. Banyaklah bertemu hadits-hadits dan riwayat tentang Makam Ibrahim itu. Di dalam hadits-hadits yang shahih ada tersebut yang menunjukkan bahwa Makam Ibrahim, yang berarti tempat berdiri Ibrahim, ialah sebuah batu tempat Nabi Ibrahim berdiri ketika beliau membangun Ka'bah. Bilamana bertambah tinggi dinding Ka'bah itu, datanglah Isma'il putranya mengantarkan batu-batu bangunan ke tangan beliau dan naiklah pula Isma'il ke atas batu itu. Demikian riwayat Bukhari. Menurut sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, dahulu batu Makam Ibrahim itu termasuk menjadi dinding Ka'bah. Menurut suatu riwayat dari al-Baihaqi dari Abdul Razzaq, Umar bin Khaththablah yang membawa batu itu dari Ka'bah dan membinanya di tempat tersendiri. Menurut Ibnu Abi Hatim dari hadits Jabir, ketika Rasulullah ﷺ mengerjakan haji dan thawaf, di antara yang mengiringkan beliau ialah Umar bin Khaththab. Sesampai di makam itu, beliau bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Makam Ibrahim?" Rasulullah menjawab, ‘Ya!" Menurut hadits yang dirawikan oleh Muslim, setelah selesai beliau thawaf, lalu beliau shalat dua rakaat di belakang Makam Ibrahim itu.
Menurut suatu riwayat lagi dari tabi'in yang terkenal, Mujahid, yang dikatakan Makam Ibrahim itu ialah seluruh pekarangan Masjidil Haram itu. Maka terIngatlah kita tentang usaha Raja Saud dari Saudi Arabia pada tahun 1958 merombak dan memperbesar Masjidil Haram, yang menurut bentuk maketnya yang baru, terpaksa letak Makam Ibrahim digeser, tetapi ulama-ulama Mekah tidak mau Makam Ibrahim digeser. Rupanya pihak Kerajaan berpegang kepada pendapat Mujahid dan ulama-ulama mempertahankan tradisi. Di dalam rangka memperluas tempat thawaf mengelilingi Ka'bah, pada bulan Rajab 1387 (1967 Masehi), Raja Faisal Ibnu Abdil Aziz telah merombak bangunan yang melingkungi makam yang lama lalu menggantinya dengan satu bangunan kecil memakai keranda tembaga. Di dalamnya beliau lingkungi dengan keranda kaca (kaca pembesar) sehingga batu makam itu telah jelas kelihatan. Di zaman raja-raja yang dahulu, rupanya di bekas jejak kaki Nabi Ibrahim tempat beliau berdiri itu telah diberi pertanda dengan perak sehingga bekas telapak kaki itu lebih jelas kelihatan.
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Isma'il supaya mereka berdua membersihkan rumah-Ku itu untuk orang-orang berthawaf dan orang-orang yang iktikaf dan orang-orang yang ruku' serta sujud."
Pertama sekali, bersihkan rumah-Ku. Tuhan menyebut rumah itu sebagai rumah-Ku sehingga dia pun disebut Baitullah, rumah Allah, untuk mengangkat kehormatan rumah itu. Dia wajib bersih daripada persembahan yang selain Allah. Ketika Ibrahim telah meninggalkan negeri Babil dan Mesir serta tempat-tempat yang lain, sudah terang beliau menolak tegas segala persembahan kepada berhala. Maka di tanah yang telah diamankan ini, di sana rumah Allah telah berdiri, hendaklah dia bersih dari berhala. Ini diingatkan kembali kepada bangsa Arab sebab mereka telah tersesat menyembah berhala. Rumah itu mesti dibersihkan dari syirik dan perbuatan yang tidak patut sehingga tetaplah dia untuk orang yang thawaf, yaitu mengelilingi Ka'bah itu tujuh kali, dengan mengambil jalan kanan, serta untuk orang yang iktikaf, artinya orang yang duduk bermenung tafakur mengingat Allah di dalam masjid itu. Juga untuk mereka mengerjakan ruku' dan sujud, yaitu mengerjakan shalat.
Dengan demikian, bertambah jelaslah bahwa Ibrahim yang dibantu oleh putranya Isma'il telah diperintahkan Allah menjadikan tanah itu menjadi Tanah Haram.
Ayat 126
“Dan (Ingatlah) tatkala bericala Ibrahim, ‘Ya, Tuhanku! Jadikanlah negeri ini negeri yang aman."
Dimohonkanlah oleh Ibrahim, hendaknya negeri itu tetap aman sentosa selama-lamanya sehingga tenteramlah jiwa orang-orang yang melakukan ibadah berthawaf dan beriktikaf, shalat dengan ruku' dan sujudnya, menurut peraturan shalat yang ada pada masa itu."Dan karuniakanlah pada penduduknya dari berbagai buah-buahanOleh karena wadi (lembah) itu amat kering, tidak ada sesuatu yang dapat tumbuh di dalamnya, dimohonkan pula oleh Nabi Ibrahim agar penduduk lembah itu jangan sampai kekurangan makanan, supaya hati mereka pun tidak bosan tinggal di sana menjaga peribadahan yang suci mulia itu. Akan tetapi. Nabi Ibrahim memberi alasan permohonannya, “Yaitu barangsiapa yang beriman di antara mereka itu kepada Allah dan Hari Kemudian." Sebagai seorang hamba Allah yang patuh, Nabi Ibrahim memohonkan agar yang diberi makanan cukup dan buah-buahan yang segar ialah yang beriman kepada Allah saja. Namun, Allah telah menjawab, “Dan orang-orang yang kafir pun, akan Aku beri kesenangan untuk dia sementara." Dengan penjawaban ini Allah telah memberikan penjelasan bahwasanya dalam soal makanan atau buah-buahan, Allah akan berlaku adil juga. Semuanya akan diberi makanan, semuanya akan diberi buah-buahan, baik mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maupun mereka kufur. Oleh sebab itu, dalam urusan dunia ini, orang beriman dan orang kafir akan sama-sama diberi makan. Beratus tahun Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il wafat, telah banyak penduduk di dalam lembah Mekah itu yang menyembah berhala, namun makanan dan buah-buahan mereka dapat juga. Sebab, demikianlah keadilan Allah dalam kehidupan dunia ini,
“Kemudian akan Kami Unikkan dia kepada siksaan neraka (yaitu) seburuk-buruk tujuan."
Di dunia mendapat bagian yang sama di antara Mukmin dan kafir. Malahan kadang-kadang rezeki yang diberikan kepada kafir lebih banyak daripada yang diberikan kepada orang yang beriman. Tetapi banyak atau sedikit pemberian Allah di atas dunia ini, dalam soal kebendaan belumlah boleh dijadikan ukuran. Nanti di akhirat baru akan diperhitungkan di antara iman dan kufur. Yang kufur kepada Allah, habislah reaksinya sehingga hidup ini saja. Ujian akan diadakan lagi di akhirat. Betapapun kaya raya banyaknya tanam-tanaman, buah-buahan di dunia ini, tidak akan ada lagi setelah gerbang maut dimasuki. Orang yang kaya kebendaan, tetapi miskin jiwa, gersang dan sunyi daripada iman, adalah neraka yang menjadi tempatnya.
Semuanya itu disuruh-ingatkan kembali kepada kaum musyrikin Arab supaya mereka kenangkan bahwasanya kedudukan yang aman sentosa di negeri Mekah itu adalah atas kehendak dari karunia Allah, yang disuruh laksanakan kepada kedua rasul-Nya, Ibrahim dan isma'il,yaitu nenek moyang mereka. Negeri itu telah mereka dapati aman, buah-buahan dan sayur-sayuran diangkut orang dari negeri-negeri di luar Mekah, dari Thaif ataupun lembah-lembah yang lain. Diperingatkan kepada mereka asal mula segala kejadian itu, yaitu supaya mereka menyembah Allah Yang Maha Esa, bersih dari berhala dan segala macam kemusyrikan. Mereka akan dapati sentosa, makmur dan subur, tempat kediaman mereka menjadi pusat peribadatan seluruh manusia sejak zaman purbakala, telah beratus beribu tahun.
Lalu, diperingatkan lagi tentang asal-usul berdirinya Ka'bah itu,
Ayat 127
“Dan Ingatlah tatkala Ibrahim mengangkat sendi-sendi dari rumah itu, dan Isma'il."
Di sini diperingatkan kembali bahwa lbrahimlah, dibantu oleh putranya Isma'il, yang mengangkat sendi-sendi rumah itu, yaitu Ka'bah. Sendi-sendi atau batu pertama, Ibrahim sendiri yang meletakkannya. Kemudian ber-angsur-angsur sehingga menjadi dinding. Sebab itu, disebut beliau mengangkatnya seterusnya membangun sampai tinggi.
Di dalam kitab-kitab tafsir, macam-macamlah ditulis tentang bagaimana caranya sendi-sendi itu dibangun dan dari batu-batu mana diambil serta diangkut. Ibnu Katsir menulis di dalam tafsirnya, demikian juga Ibnu Jarir. Dengan mengingatkan ini, terkenanglah hendaknya mereka kembali bahwa nenek moyang mereka Nabi Ibrahim, dibantu oleh putranya Isma'il, bukan saja meramaikan dan mengamankan negeri itu atas perintah Allah, bahkan lebih dari itu, merekalah yang memulai membangun rumah yang pertama di tempat itu, yaitu rumah yang pertama ditentukan buat tempat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Demi setelah selesai ibrahim dibantu oleh Isma'il mendirikan rumah itu, mereka pun bermunajat kepada Allah,
“Ya, Tahan kami. Terimalah daripada kami!' Artinya bahwa pekerjaan yang Engkau perintahkan kepada kami berdua, ayah dan anak, mendirikan Ka'bah sudah selesai. Sudilah kiranya menerima pekerjaan itu."Sesung-guhnya, Engkau adalah Maha Mendengar," akan segala pemohonan kami dan doa kami.
“Maha Mengetahui."
Yaitu, Maha Mengetahui jika terdapat kekurangan di dalam pekerjaan kami ini, Engkaulah yang lebih tahu.
Setelah dengan segenap kerendahan hati, kedua makhluk bapak dan anak itu, Ibrahim dan Isma'il, yang telah menjadi manusia terpilih di sisi Allah, memohonkan supaya amalan mereka diterima oleh Allah, mereka teruskanlah munajat itu. Si ayah yang berdoa dan si anak mengaminkan.
Ayat 128
“Ya, Tuhan kami! Jadikanlah kami keduanya ini orang-orang yang berserah diri kepada Engkau."
Setelah rumah atau Ka'bah itu selesai mereka dirikan, mereka berdua pulalah orang yang pertama sekali menyatakan bahwa mereka keduanya: muslimaini laka ‘muslimin kami keduanya kepada Engkau'! Yang berpokok kepada kata-kata Islam yang berarti berserah diri. Berjanjilah keduanya bahwa rumah yang suci itu hanyalah untuk beribadah dari pada orang-orang yang berserah diri kepada Allah, tidak bercampur dengan penyerahan diri kepada yang lain.
“Dan dari keturunan-keturunan kami pun (hendaknya) menjadi orang-orang yang berserah diri kepada Engkau." Bukan saja Ibrahim mengharapkan agar penyerahan dirinya dan putranya Isma'il kepada Allah agar diterima Allah. Bahkan dia pun memohonkan kepada Allah agar anak-cucu dan keturunannya yang datang di belakang pun menjadi orang-orang yang berserah diri, menjadi orang-orang yang Muslim atau Islam, Sehingga cocoklah dan sesuailah hendaknya langkah dan sikap hidup anak-cucu keturunannya dengan dasar pertama ketika rumah itu didirikan,
“Dan tunjukkan kiranya kepada kami cara-cara kami beribadah" Cara-cara kami beribadah, kita artikan dari manasikana."
Setelah Ibrahim dan membawa juga nama putranya lsma'il mengakui bahwa Allah-lah tempat mereka berserah diri serta telah bulat hati mereka kepada Allah, tidak bercampur dengan yang lain, dan diharapkannya pula kepada Allah agar anak-cucu keturunannya yang tinggal di sekeliling rumah itu semuanya mewarisi keislaman itu pula, barulah Ibrahim memohonkan kepada Allah agar ditunjuki bagaimana caranya beribadah, yang disebut juga manasik. Manasik bisa diartikan umum untuk seluruh ibadah dan bisa pula dikhususkan untuk seluruh upacara ibadah haji.
“Dan ampunilah kiranya kami, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Penyayang."
Kita sudah maklum bahwasanya Rasul Allah adalah ma'shum, suci dari dosa, terutama dosa yang besar. Tetapi orang-orang yang telah mencapai derajat iman yang sempurna sebagai Ibrahim dan Isma'il, tidaklah berbangga dengan anugerah Allah kepada mereka dengan ma'shum itu.
Nabi Ibrahim memohonkan tobat untuk dirinya dan untuk anaknya ini adalah suatu teladan bagi kita agar selalu ingat dan memohonkan ampun kepada Allah. Makna yang asal daripada tobat ialah kembali. Kita bertobat kepada Allah. Dan Allah mengabulkan permohonan kita dengan memakai perkataan ‘ala, yang berarti ke atas. Bertambah suci manusia, bertambah pula mereka merasa kekurangan.
Ayat 129
“Ya, Tuhan kami! Bangkitkanlah di antara Mereka itu seorang rasul dari Mereka sendiri."
Di dalam beberapa ayat disebut bahwa salah satu bawaan budi Nabi Ibrahim itu ialah awwaah, artinya penghiba, amat halus perasaan, tidak tega hati. Dan perasaan beliau yang halus itu terdapat di dalam nama beliau sendiri, yaitu Ibrahim.
Maka ayah yang penyayang ini tidaklah merasa puas dengan menyatakan menyerahkan dirinya bersama putranya Isma'il saja kepada Allah, menjadi muslimaini laka (berdua menyerahkan diri kepada Engkau), malahan mohonkannya pula anak-cucunya sehingga tetaplah terpelihara Rumah Allah atau Ka'bah itu, jangan sampai menjadi rumah-rumah tempat berhala. Tetapi ayah yang penyayang itu rupanya amat jauh pandangannya ke zaman depan, berkat berkat tuntunan Allah. Tidak puas hanya memohon anak-cucunya menjadi Islam semua, bahkan beliau memohonkan pula agar di antara anak dan cucunya itu di kemudian hari dibangkitkan seorang yang menjadi rasul Allah, “yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau' yaitu perintah-perintah Ilahi untuk memupuk dasar yang telah ditinggalkan oleh beliau di dalam mengakui keesaan Allah.
“Dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmat." Kitab ialah kumpulan daripada wahyu-wahyu yang diturunkan Ilahi, yang bernama Al-Qur'an itu, sedangkan hikmat ialah kebijaksanaan di dalam cara menjalankan perintah, baik di dalam perkataan maupun perbuatan atau sikap hidup Nabi itu sendiri, yang akan dijadikan contoh dan teladan bagi umatnya."Dan yang akan membersihkan mereka" Baik ayat-ayat maupun kitab itu, ataupun hikmat kebijaksanaan yang dibawakan oleh Rasul itu adalah maksudnya membersihkan mereka seluruhnya. Bersih daripada kepercayaan yang karut-marut, syirik dan menyembah berhala, dan bersih pula kehidupan sehari-hari daripada rasa benci, dengki, dan khianat. Yuzakkihim, untuk membersihkan mereka pada ruhani dan jasmani. Sehingga dapat memperbedakan mana kepercayaan yang kotor dengan yang bersih. Kebersihan itulah yang akan membuka akal dan budi sehingga selamat dalam kehidupan.
“Sesungguhnya, Engkau adalah Mahagagah, lagi Mahabijaksana."
Kepada Allah yang satu di antara sifat-Nya ialah Aziz, yaitu Mahagagah, Ibrahim telah menggantungkan pengharapan kepada Allah di dalam sifat kegagahan-Nya itu bahwa meskipun betapa besarnya rintangan dan halangan akan bertemu di dalam perjalanan sejarah, namun kehendak Allah mesti terjadi. Tetapi di samping sifat gagah perkasa itu, Allah pun mempunyai sifat bijaksana, yaitu bahwa kehendak-Nya mesti berlaku, tetapi menurut arah jalan yang masuk di akal dan mengagumkan.