Ayat
Terjemahan Per Kata
إِذۡ
(Ingatlah) ketika
قَالَتِ
berkata
ٱمۡرَأَتُ
isteri
عِمۡرَٰنَ
Imran
رَبِّ
Tuhanku
إِنِّي
sesungguhnya aku
نَذَرۡتُ
aku menadzarkan
لَكَ
kepada Engkau
مَا
apa
فِي
di dalam
بَطۡنِي
perutku
مُحَرَّرٗا
menjadi hamba yang berhidmat
فَتَقَبَّلۡ
maka/karena itu terimalah
مِنِّيٓۖ
dari padaku
إِنَّكَ
sesungguhnya Engkau
أَنتَ
Engkau
ٱلسَّمِيعُ
Maha Mendengar
ٱلۡعَلِيمُ
Maha Mengetahui
إِذۡ
(Ingatlah) ketika
قَالَتِ
berkata
ٱمۡرَأَتُ
isteri
عِمۡرَٰنَ
Imran
رَبِّ
Tuhanku
إِنِّي
sesungguhnya aku
نَذَرۡتُ
aku menadzarkan
لَكَ
kepada Engkau
مَا
apa
فِي
di dalam
بَطۡنِي
perutku
مُحَرَّرٗا
menjadi hamba yang berhidmat
فَتَقَبَّلۡ
maka/karena itu terimalah
مِنِّيٓۖ
dari padaku
إِنَّكَ
sesungguhnya Engkau
أَنتَ
Engkau
ٱلسَّمِيعُ
Maha Mendengar
ٱلۡعَلِيمُ
Maha Mengetahui
Terjemahan
(Ingatlah) ketika istri Imran berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu apa yang ada di dalam kandunganku murni untuk-Mu (berkhidmat di Baitulmaqdis). Maka, terimalah (nazar itu) dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Tafsir
(Dan ingatlah ketika istri Imran) yang bernama Hanah telah lanjut usia dan rindu untuk beroleh anak, ia pun berdoa dan merasa dirinya hamil, "Wahai (Tuhanku! Sesungguhnya aku menazarkan) untuk menjadikan (untuk-Mu kandungan yang berada di perutku ini sebagai anak yang saleh dan bebas) dari kepentingan-kepentingan dunia, semata-mata berkhidmat untuk rumah-Mu yang suci. (Karena itu terimalah dariku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar) akan doa (lagi Maha Mengetahui.") akan niat serta tujuan manusia. Pada waktu itu istrinya sedang mengandung dan Imran pun wafat.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 35-36
(Ingatlah) ketika istri Imran berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada Engkau bahwa anak yang dalam kandunganku ini menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis), maka terimalah nazarku ini. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melahirkan seorang anak perempuan.” Dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah memberinya nama Maryam dan aku mohon perlindunan-Mu untuknya dan anak keturunannya dari setan yang terkutuk."
Ayat 35
Istri Imran adalah ibu Siti Maryam a.s., namanya Hannah binti Faquz. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa Hannah adalah seorang wanita yang lama tidak pernah hamil, lalu pada suatu hari ia melihat seekor burung sedang memberi makan anak-anaknya, akhirnya ia menginginkan punya anak. Kemudian ia berdoa kepada Allah ﷻ agar Allah menganugerahinya seorang putra, dan Allah memperkenankan doanya itu. Setelah suaminya menggaulinya, maka hamillah ia.
Setelah masa hamilnya telah tua, maka ia bernazar bahwa anaknya kelak akan dipersembahkan untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Untuk itu ia berkata, seperti yang disebutkan firman-Nya: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada Engkau bahwa anak yang dalam kandunganku ini menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis), maka terimalah nazarku ini. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Ali Imran: 35) Yakni Engkau Maha Mendengar akan doaku lagi Maha Mengetahui niatku.
Ayat 36
Saat itu ia tidak mengetahui apakah anak yang dikandungnya itu laki-laki atau perempuan. Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melahirkan seorang anak perempuan.” Dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu. (Ali Imran: 36)
Lafal wada'at ada yang membacanya wada'tu karena dianggap sebagai ta mutakallim (anak yang aku lahirkan), dan menjadikannya sebagai kelanjutan dari perkataan (doa) istri Imran.
Ada pula yang membacanya wada'at dengan huruf ta yang di-sukun-kan dan menjadikannya sebagai firman Allah ﷻ “Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Ali Imran: 36) Yakni dalam hal kekuatan dan kesabaran dalam beribadah dan berkhidmat mengurus Masjidil Aqsa.
“Sesungguhnya aku telah memberinya nama Maryam.” (Ali Imran: 36)
Di dalam ayat ini terkandung makna boleh memberi nama anak di hari kelahirannya secara langsung, seperti yang tersirat dari makna lahiriah ayat. Mengingat hal ini merupakan syariat orang-orang sebelum kami, lalu menurut suatu riwayat diakui oleh syariat kita.
Hal yang sama disebutkan pula di dalam sunnah Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Telah dilahirkan untukku malam ini seorang anak laki-laki yang aku beri nama dengan nama Abi Ibrahim.” (Hadits diketengahkan oleh Al-Bukhari Muslim)
Hal yang sama disebutkan pula di dalam kitab Shahihain, bahwa sahabat Anas ibnu Malik berangkat membawa saudaranya yang baru dilahirkan oleh ibunya kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau ﷺ men-tahnik-nya dan memberinya nama Abdullah.
Di dalam hadits shahih Al-Bukhari disebutkan: Bahwa seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, telah dilahirkan seorang anak laki-laki untukku malam ini, maka nama apakah yang harus kuberikan kepadanya?" Nabi ﷺ menjawab, "Namailah anak laki-lakimu itu Abdur Rahman."
Disebutkan pula di dalam hadits shahih bahwa ketika datang Abu Usaid seraya membawa anaknya kepada Nabi ﷺ untuk di-tahnik, tetapi Nabi ﷺ sedang sibuk, lalu Abu Usaid memerintahkan agar dikembalikan ke rumahnya. Ketika Rasulullah ﷺ tidak sibuk lagi dan ingat di majelis yang sama, maka beliau ﷺ menamainya Al-Munzir.
Adapun hadits yang diriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Hasan Al-Basri, dari Samurah ibnu Jundub yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap anak tergadai oleh aqiqahnya yang disembelih untuk menebusnya pada hari yang ketujuh (dari kelahirannya), lalu diberi nama dan dicukur rambutnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan dan dinilai shahih oleh Imam At-Tirmidzi. Menurut riwayat yang lain disebutkan Yudma, hal ini lebih kuat dan lebih banyak dihafal.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Az-Zubair ibnu Bakkar di dalam Kitabun Nasab, yang bunyinya mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan aqiqah untuk anak lelakinya (yaitu Ibrahim), lalu beliau menamainya Ibrahim (dalam hari aqiqah-nya). Tetapi sanad hadits ini kurang kuat karena bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam hadits shahih. Seandainya hadits ini shahih, niscaya bisa diartikan bahwa Nabi ﷺ baru mengumumkan nama Ibrahim pada hari aqiqahnya itu (dan bukan pada pagi hari setelah malam hari kelahirannya).
Firman Allah ﷻ menceritakan doa ibu Maryam, yaitu: “Dan sesungguhnya aku telah memberinya nama Maryam dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak keturunannya dari setan yang terkutuk." (Ali Imran: 36) Yakni aku menyerahkannya kepada perlindungan Allah ﷻ dari setan yang terkutuk, dan aku menyerahkan pula anaknya (yaitu Isa a.s.) kepada perlindungan-Nya.
Maka Allah memperkenankan doanya itu, seperti yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq: Telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah yang bercerita bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tiada seorang anak pun yang baru dilahirkan melainkan setan menyentuhnya ketika dilahirkan, lalu ia menjerit menangis karena setan telah menyentuhnya, kecuali Maryam dan anak laki-lakinya.” Kemudian Abu Hurairah mengatakan, "Bacalah oleh kalian jika kalian suka firman berikut," yaitu: “Dan sesungguhnya aku telah memberinya nama Maryam dan aku mohon perlindunan-Mu untuknya dan anak keturunannya dari setan yang terkutuk." (Ali Imran: 36)
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan pula hadits ini melalui jalur Abdur Razzaq, juga Ibnu Jarir, dari Ahmad ibnul Faraj, dari Baqiyyah, dari Az-Zubaidi, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang serupa.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Qais, dari Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tiada seorang bayi pun melainkan setan telah mencubitnya sekali atau dua kali, kecuali Isa ibnu Maryam dan Maryam sendiri.” Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Dan sesungguhnya aku telah memberinya nama Maryam dan aku mohon perlindunan-Mu untuknya dan anak keturunannya dari setan yang terkutuk." (Ali Imran: 36)
Juga dari hadits Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah. Imam Muslim meriwayatkannya dari Abut Tahir, dari Ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris, dari Abu Yunus, dari Abu Hurairah. Ibnu Wahb meriwayatkannya pula dari Ibnu Abu Zib, dari Ajlan maula Al-Musyma'il, dari Abu Hurairah. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkannya dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ dengan pokok hadisnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Al-Laits ibnu Sa'd, dari Ja'far ibnu Rabi'ah, dari Abdur Rahman ibnu Hurmuz Al-A'raj yang mengatakan, Abu Hurairah pernah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Semua anak Adam pernah ditusuk oleh setan pada lambungnya ketika dilahirkan oleh ibunya, kecuali Isa ibnu Maryam; setan pergi untuk menusuknya, tetapi yang ditusuknya hanyalah hijab (penghalang).”
Sebelum menjelaskan tentang peristiwa kelahiran Isa yang di luar kewajaran, Allah terlebih dahulu menuturkan siapa sebenarnya Maryam, sekaligus sebagai jawaban terhadap mereka yang memperdebatkan siapa sesungguhnya Isa itu. Ingatlah, ketika istri Imran sedang mengandung, ia berkata, Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepadaMu, bahwa apa yang dalam kandunganku, berupa janin, kelak menjadi hamba yang mengabdi kepada-Mu dengan mencurahkan segala kemampuan untuk mengurus rumah-Mu, maka terimalah nazar itu dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar segala perkataan hamba-Mu, termasuk nazarku, Maha Mengetahui segala apa yang diniatkan, termasuk niatku untuk mempersembahkan anakku demi mengabdi kepadaMu. Setelah bernazar untuk mempersembahkan anaknya untuk mengurus rumah-Nya, maka ketika istri Imran melahirkan anak-nya, dia bermunajat kepada Allah seraya berkata, Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan. Padahal Allah lebih tahu apa yang terbaik atas apa yang dia lahirkan, yakni perempan. Dan anak laki-laki yang diharapkan tidak sama dengan, yakni tidak lebih baik daripada, perempuan yang diberikan Allah. Istri Imran berkata, Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari gangguan setan yang terkutuk. Ini mengisyaratkan atas besarnya karunia yang diberikan kepada keluarga Imran, sekaligus misteri besar di balik kelahiran anak perempuannya, sementara ia berharap anak laki-laki karena terkait nazarnya.
Pada ayat yang lalu diterangkan bahwa antara dua keluarga besar itu yakni keluarga Ibrahim dan keluarga Imran yang satu sama lain jalin-menjalin, maka pada ayat ini diterangkan mengenai kisah salah seorang keturunan mereka yang terkemuka, yakni istri Imran yang sedang hamil. Ia menazarkan anak yang masih dalam kandungannya untuk dijadikan pelayan yang selalu berkhidmat dan beribadah di Baitulmakdis. Dia tidak akan membebani sesuatu pada anaknya nanti, karena anak itu semata-mata telah diikhlaskan untuk mengabdi di sana.
Pada akhir ayat 34 telah dijelaskan bahwa Allah mendengar apa yang diucapkan oleh istri Imran, mengetahui niat yang suci, dan mendengar pujiannya kepada Allah ketika ia bermunajat. Hal-hal inilah yang menyebabkan doanya terkabul, dan harapannya terpenuhi sebagai karunia dan kebaikan dari Allah.
Di dalam beberapa ayat ini dua kali disebut nama Imran. Yang pertama dalam ayat 33, yaitu Imran ayah Nabi Musa a.s.; sedang yang kedua adalah pada ayat 35, yaitu Imran ayah Maryam. Rentang waktu antara kedua orang itu sangat panjang. Ayat ini menunjukkan bahwa ibu boleh menazarkan anaknya, dan boleh mengambil manfaat dengan anaknya itu untuk dirinya sendiri. Pada ayat ini terdapat pula pelajaran, yaitu hendaknya kita berdoa kepada Allah agar anak kita menjadi orang yang rajin beribadah dan berguna bagi agamanya, seperti doa Nabi Zakaria yang dikisahkan dalam Al-Qur'an.
Setelah istri Imran melahirkan, dan ternyata yang lahir itu anak perempuan padahal yang diharapkan anak laki-laki, tampaklah diwajahnya kesedihan dan putuslah harapannya untuk melaksanakan nazarnya, dia berkata, "Ya Tuhanku, aku melahirkan anak perempuan." Seolah-olah dia memohon ampun kepada Tuhan, bahwa anak perempuan itu tidak patut memenuhi nazarnya yaitu berkhidmat di Baitulmakdis. Tetapi Allah lebih mengetahui martabat bayi perempuan yang dilahirkan itu, bahkan dia jauh lebih baik dari bayi laki-laki yang dimohonkannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KETURUNAN-KETURUNAN MULIA
Allah Subhanahu wa Ta'aala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad ﷺ Maka, kalau kamu cinta kepada Allah, ikutilah ke mana dibimbing dan dipimpin oleh Rasul itu, niscaya cintamu itu akan disambut Allah dengan cinta pula. Akan tetapi, kalau kamu berpaling dari pimpinan itu maka Allah tidaklah cinta kepada orang yang kafir. Adapun Muhammad sebagai rasul, ialah sambungan dari rasul-rasul yang telah lalu, yaitu manusia-manusia yang telah dipilih oleh Allah sejak Adam; mereka adalah utusan menghubungkan cinta Tuhan dengan cinta makhluk-Nya. Maka, pada lanjutan ayat ini diterangkan perihal rasul-rasul yang dipilih Allah itu.
Ayat 33
“Sesungguhnya, Allah telah memilih Adam dan Nuh dan keluarga Ibrahim dan keluanga Imran atas sekalian bangsa-bangsa."
Dipilih manusia yang utama di antara manusia yang banyak.
Ayat 34
“(Ialah) keturunan„ yang sebagiannya adalah dari yang sebagian. Dan, Allah Maha Mendengar, lagi Mengetahui."
Adam sebagai bapak manusia. Dialah yang terlebih dahulu terpilih menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada anak-cucu-nya. Tidaklah di sini kita akan masuk kepada perhitungan ulama, apakah Adam telah membawa syari'at ataukah belum. Akan tetapi, bahwa sudah dilimpahkan wahyu kepadanya, tidaklah ada pertikaian paham di antara ulama. Di sinilah timbul pendapat bahwa nabi dan rasul sama-sama mendapat wahyu. Akan tetapi, nabi hanya mendapat wahyu dan tidak membawa syari'at, sedangkan rasul mendapat wahyu dan di antara wahyu itu mengandung syari'at yang wajib disampaikannya kepada manusia. Itu sebabnya, seorang rasul dengan sendirinya adalah nabi, tetapi seorang nabi belumlah tentu bahwa dia merangkap jadi rasul.
Dari keturunan Adam ialah Nuh. Di antara Adam dan Nuh ada lagi seorang nabi, yaitu Idris. Akan tetapi, di dalam ayat ini lebih dikemukakan Nabi Nuh sebab dia telah mulai membawa syari'at yang tegas kepada umat manusia (lihat surah asy-Syura: 13), yang meskipun telah diajarkan oleh Adam, tetapi anak-cucunya telah mulai menyembah berhala. Nabi Nuh itulah yang disuruh membuat bahtera untuk melepaskan orang-orang yang percaya kepada Allah Yang Tunggal.
Di antara anak Nuh yang terkenal dalam catatan sejarah ialah Ham, Sam, dan Yafits, Dari keturunan Nuh yang bernama Sam itulah kemudian lahir Ibrahim. Ibrahim disebut pada ayat 33 ini, keluarga Ibrahim, sebab Ibrahim dengan beroleh kedua putranya, Ismail dan Ishaq, telah menurunkan keluarga yang besar. Ismail anak yang tertua telah mengembangkan bangsa Arab Adnani dan Ishaq telah mengembangkan Bani Israil. Berpuluh nabi dan rasul telah ditimbulkan pada Bani Israil. Kemudian timbullah dari keturunan Bani Israil itu keluarga Imran.
Di dalam Al-Qur'an ada tersebut dua Imran, tetapi jaraknya lebih kurang 1.800 tahun, Imran yang pertama adalah ayah dari Nabi Musa, sedangkan Imran yang kedua ialah ayah dari Maryam, dan Maryam ini ibu dari Nabi Isa al-Masih. Adapun satu cabang dari keluarga Ibrahim yang dari putranya Ismail tadi, dari sanalah dipilih dan diutus pula Nabi Muhammad ﷺ Maka, keluarga-keluarga yang mulia ini telah diberikan kemuliaan nubuwwat dan risalah, mengatasi sekalian manusia. Sehingga, bolehlah dikatakan bahwasanya pimpinan ruhani sebagian terbesar dari umat manusia didatangkan Allah melalui keluarga-keluarga ini. Semua keluarga itu adalah satu dari keturunan, yaitu Nabi Adam dan Nuh. Itulah sebabnya, dijelaskan di ayat 33 bahwa yang sebagian adalah keturunan dari yang sebagian.
Penyebar-penyebar agama Kristen di zaman kita ini menuduh bahwa Al-Qur'an bukanlah wahyu Allah, melainkan karangan Muhammad saja. Cerita-cerita mengenai nabi-nabi yang dahulu itu menurut pendakwaan mereka hanya dicaplok saja oleh Muhammad dari kitab-kitab mereka, terutama Perjanjian Lama. Kalau ada persamaan cerita, mereka jadikanlah itu menjadi bukti bahwa Al-Qur'an hanya menyalin kitab suci mereka. Akan tetapi, kalau tidak ada persamaan itu, mereka tuduh pula Al-Qur'an itu wahyu palsu sebab tidak cocok dengan kitab mereka. Mereka menuduh Al-Qur'an itu berkacau saja tentang nama-nama orang. Jika terdapat dua Imran, yaitu Imran ayah Musa dan Imran ayah Maryam, mereka katakan Al-Qur'an telah salah catat. Kalau dalam Al-Qur'an pernah dipanggil orang Maryam itu “saudara perempuan Harun", mereka ketawakan lagi. Karena, kata mereka Harun itu ialah saudara Musa, bukan saudara Maryam, sedang jaraknya kurang lebih 1.800 tahun. Mereka batalkan lagi karena Al-Qur'an mengatakan Haman wazir dari Fir'aun, sebab di dalam Perjanjian Lama (Kitab Ester) tersebut bahwa Haman bukan wazir Fir'aun, melainkan wazir dan Raja Ahasyweros.
Kalau hal ini dipertengkarkan, tidaklah akan putus-putus karena masing-masing akan mempertahankan pihaknya dan mendustakan yang lain. Akan tetapi, kalau masuk ke gelanggang ilmiah, marilah dipersoalkan manakah yang lebih terjamin: keaslian isi Al-Qur'an ataukan keaslian kitab-kitab yang mereka pegang sekarang itu? Apakah Perjanjian Lama yang sekarang ini menurut asli yang diterima dari Musa? Bukankah “Perjanjian Lama" baru disusun kembali setelah empat ratus tahun setelah Musa meninggal? Dan itu terbukti dari jalannya riwayat dalam kitab-kitab itu bahwa Nabi Musa hanya diceritakan sebagai orang ketiga. Siapakah penulis kitab-kitab itu yang sebenarnya? Ada Kitab Ezra (Nabi Uzair) yang disebut mengumpulkan kitab-kitab itu kembali. Siapa yang menuliskan “Kitab Ezra" itu? Tidak terang siapa penulis semua kitab itu. Tidak terang sampai sekarang ini!
Menurut undang-undang berpikir secara ilmiah, dapatkah dibatalkan Al-Qur'an, wahyu Ilahi kepada Muhammad ﷺ yang dicatat lengkap pada waktu beliau hidup lalu disalin menjadi satu mushaf di zaman Abu Bakar dan disalin lagi Mushaf Abu Bakar itu di zaman Utsman oleh satu panitia yang terang nama-nama orangnya? Yang sepakat seluruh ahli pengetahuan sampai sekarang ini bahwa tidak pernah selama empat belas abad satu kalimat pun masuk kata-kata lain ke dalamnya?
Ayat 35
“(Ingatlah) tatkala bermohon istri Imran, ‘Ya, Tuhanku! Sesungguhnya, aku telah … (anak) yang dalam perutku ini akan diperhambakan kepada Engkau."
Ada seorang laki-laki yang saleh namanya Imran, senama dengan ayah Nabi Musa yang hidup 1.800 tahun sebelumnya. Sebab, sejak zaman purbakala lagi, sampai kepada zaman kita ini orang-orang yang saleh dalam agamanya suka sekali memakai nama orang-orang yang mulia buat menjadi nama anaknya. Rupanya ayah Imran ini menamai anaknya demikian karena ayah Nabi Musa yang besar itu bernama Imran pula. Laki-laki yang bernama Imran ini mempunyai seorang istri yang saleh seperti dia pula. Lalu dia hamil. Dalam dia hamil itu, bernadzarlah dia, kalau lahir anaknya akan diserahkannya menjadi abdi Tuhan, menyelenggarakan Baitul Maqdis, karena di antara keluarganya sendiri pun ada orang yang menjadi penyelenggara rumah suci itu, yaitu Nabi Zakaria, suami dari kakaknya. Maka, berserulah dia dalam doanya agar nadzarnya itu dikabulkan Allah, “Sebab itu, terimalah dariku" perkenankanlah nadzar itu dapat terlaksana, “Sesungguhnya, Engkau adalah Maha Mendengar" akan permohonan hamba-Mu yang sangat mengharap ini,
“Lagi Mengetahui."
Betapa keinginan itu benar-benar tumbuh dari lubuk hatiku, nadzar yang tumbuh dari hati yang ikhlas.
Maka, lahirlah anak itu setelah genap bulannya,
Ayat 36
“Maka tatkala telah dilahirkan dia."
Ternyata anak itu perempuan. Tentu yang diharapkannya dari semua ialah anak laki-laki sebab penyelenggara rumah suci adalah orang laki-laki belaka, sedangkan nadzarnya sudah bulat."Dia pun berkata, ‘Tuhanku! Sesungguhnya, aku telah melahirkannya perempuan!" Di dalam perkataan itu tampaklah keterharuan hati perempuan yang saleh itu, bagaimana aku ini, nadzar telah dibulatkan, selahir anak akan diantar ke rumah suci, ternyata anaknya perempuan, Apakah Allah bisa menerimanya? Sebab kalau Allah terima, dia masih tetap akan memegang teguh nadzarnya.
Lalu datanglah keterangan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad ﷺ"Padahal Allah terlebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu" Meskipun anak itu dilahirkan perempuan, bukanlah dia perempuan biasa. Ibunya tidak mengerti hal itu. Yang diketahuinya hanya bahwa anak itu perempuan. Pada pendapatnya, niscaya tenaganya mengurus masjid Allah tidak akan sama dengan tenaga laki-laki, dan ada lagi beberapa hari dalam sebulan dia tidak boleh mendekat ke tempat beribadah yang agung itu. Dia tidak mengetahui apa yang diketahui Tuhan. Di kemudian hari baru ternyata bahwa dia akan dijadikan Allah suatu ayat bagi isi alam, bahwa sekali waktu seorang anak dara yang suci, bersih dan saleh akan melahirkan seorang putra, dan putra itu nabi Allah pula, yaitu Isa al-Masih, tidak menurut kebiasaan dunia yaitu dengan persetubuhan. Allah lalu menegaskan lagi, “Dan tidaklah laki-laki seperti perempuan!' Artinya tidaklah akan ada seorang laki-laki pun yang akan menjadi khadam rumah suci itu yang akan serupa dengan perempuan yang dilahirkannya itu.
Istri Imran lalu menyambung seruannya kepada Allah,
“Dan aku telah menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memperlindungkannya dan keturunan-keturunannya kepada Engkau dari setan yang terkutuk."
Dengan ujung doa yang demikian, tampak sekali lagi bagaimana salehnya perempuan itu. Dia merasa anaknya yang perempuan ini lemah tidak berdaya dibanding dengan laki-laki, tetapi nadzarnya akan diteruskannya juga. Sebab itu, dia memohonkan kepada Allah agar anak itu diperlindungi. Dan, kelak, sebab dia perempuan, moga-moga kalau ada keturunannya maka keturunan itu pun moga-moga kiranya diperlindungi Allah juga dari segala per-dayaan dan pengaruh setan yang terkutuk, yang dirajam oleh kutuk Tuhan ke mana saja pun dia mencoba memperdayakan.
Ayat 37
“Maka diterimatah (permohonannya itu) oleh Tuhannya dengan penerimaan yang baik."
Maksudnya mengantarkan anaknya itu ke rumah suci diterima Allah. Kebetulan untung baik baginya sebab penyelenggara rumah suci itu adalah suami saudara perempuan ibunya, yaitu Nabi Zakaria. Maka, tersebutlah di dalam wahyu kepada Nabi kita bahwasanya berundi-undianlah di antara khadam-khadam Allah itu siapa yang akan menjadi pengasuh Maryam itu (lihat nanti ayat 44) sebab masing-masing orang-orang saleh itu ingin, biarlah dia yang mengasuh anak itu. Untung baik, jatuh undian kepada Zakaria."Dan Dia pertumbuhkan dia dengan pertumbuhan yang baik." Artinya, tumbuhlah badannya, bertambah besarlah dia."Dan mengasuh akan dia ZakariaTuhan menyebutkan pengasuhan Zakaria bagi menambah penjelasan bagaimana terjaminnya keselamatan dan pertumbuhan anak itu, ruhani dan jasmani. Pertama, sebab Zakaria bukan orang lain bagi dia, malahan bapaknya juga, dan Zakaria itu pun seorang rasul Allah yang amat saleh sehingga kesalehannya itu berpengaruh juga kepada pertumbuhan diri anak itu.
Dua kata penting terdapat untuk kita jadikan dasar dalam pendidikan kanak-kanak di dalam ayatini. Pertama ialah dari keturunan ayah-bundanya yang saleh sehingga badannya bertambah besar dalam darah keturunan yang baik. Kedua, perhatian kepada siapa yang mengasuh dan mendidik. Sehingga, walaupun si anak lepas dari tangan kedua orang tuanya, sebab guru yang menyambutnya pun orang baik maka pertumbuhan jiwa anak itu pun di dalam keadaan baik pula. Lantaran itu, meskipun orang dan keturunan baik-baik, kalau guru yang mendidik kurang baik, pertumbuhan anak itu pun kurang wajar meskipun dasar ada. Atau meskipun mendapat guru yang baik, kalau kedua orang tua tidak menjadi dasar tumbuh jiwa kesalehan maka agama anak itu hanyalah sehingga otaknya saja. Belum tentu tumbuh dari jiwanya. Sebab itu, syarat utama ialah orang tua yang baik dan pendidik yang baik pula.
Maka, bertambah besarlah Maryam dalam asuhan Zakaria dan ditempatkannya anak gadis kecil itu dalam tempatnya sendiri di mihrab, yaitu ruang yang khas tempat beribadah menurut agama Nabi Musa."Tiap-tiap masuk Zakaria ke tempatnya di mihrab, didapatinya ada makanan di sisinya."
Ada setengah tafsir mengatakan bahwa ketika Zakaria masuk, selalu didapatinya ada saja makanan yang cukup untuk Maryam. Yang lebih mengherankan lagi, kata tafsir itu, di musim panas ada saja makanan musim dingin dan di musim dingin ada saja makanan musim panas. Tercengang Zakaria melihat,
“Berkata dia, ‘Wahai, Maryam! Dari mana engkau dapat ini?'Dia menjawab, Dia adalah dari Allah, karena sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dengan tidak berkira."
Namun, karena penafsiran makanan musim panas ada saja di musim dingin dan makanan musim dingin ada saja di musim panas, meskipun elok bunyinya, tetapi sanad dan dasar riwayatnya kurang kuat, apatah lagi tidak ada penafsiran yang shahih dari Rasulullah ﷺ tentang hai yang sepenting ini, tidaklah mengapa jika kita turuti sebagaimana bunyi ayat itu saja. Yakni tiap-tiap Zakaria masuk ke mihrab itu didapatinya sudah ada saja makanan. Padahal Zakaria sendiri kadang-kadang sudah mencarikan makanan buat dia. Ketika ditanya, dia jawab bahwa itu adalah pemberian Allah.