Ayat
Terjemahan Per Kata
لَّا
jangan
يَتَّخِذِ
mengambil/menjadikan
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
orang-orang mukmin
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
أَوۡلِيَآءَ
pemimpin
مِن
dari
دُونِ
selain
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ
orang-orang mukmin
وَمَن
dan barang siapa
يَفۡعَلۡ
ia berbuat
ذَٰلِكَ
demikian
فَلَيۡسَ
maka bukan/tidak ada
مِنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
فِي
dalam
شَيۡءٍ
sesuatu/sedikitpun
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
تَتَّقُواْ
kamu memelihara diri
مِنۡهُمۡ
dari mereka
تُقَىٰةٗۗ
suatu yang ditakuti
وَيُحَذِّرُكُمُ
dan memperingatkan kamu
ٱللَّهُ
Allah
نَفۡسَهُۥۗ
diriNya
وَإِلَى
dan kepada
ٱللَّهِ
Allah
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
لَّا
jangan
يَتَّخِذِ
mengambil/menjadikan
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
orang-orang mukmin
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
أَوۡلِيَآءَ
pemimpin
مِن
dari
دُونِ
selain
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ
orang-orang mukmin
وَمَن
dan barang siapa
يَفۡعَلۡ
ia berbuat
ذَٰلِكَ
demikian
فَلَيۡسَ
maka bukan/tidak ada
مِنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
فِي
dalam
شَيۡءٍ
sesuatu/sedikitpun
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
تَتَّقُواْ
kamu memelihara diri
مِنۡهُمۡ
dari mereka
تُقَىٰةٗۗ
suatu yang ditakuti
وَيُحَذِّرُكُمُ
dan memperingatkan kamu
ٱللَّهُ
Allah
نَفۡسَهُۥۗ
diriNya
وَإِلَى
dan kepada
ٱللَّهِ
Allah
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
Terjemahan
Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai para wali dengan mengesampingkan orang-orang mukmin. Siapa yang melakukan itu, hal itu sama sekali bukan dari (ajaran) Allah, kecuali untuk menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya (siksa-Nya). Hanya kepada Allah tempat kembali.
Tafsir
(Janganlah orang-orang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin) yang akan mengendalikan mereka (dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barang siapa melakukan demikian) artinya mengambil mereka sebagai pemimpin (maka tidaklah termasuk dalam) agama (Allah sedikit pun kecuali jika menjaga sesuatu yang kamu takuti dari mereka) maksudnya jika ada yang kamu takuti, kamu boleh berhubungan erat dengan mereka, tetapi hanya di mulut dan bukan di hati. Ini hanyalah sebelum kuatnya agama Islam dan berlaku di suatu negeri di mana mereka merupakan golongan minoritas (dan Allah memperingatkanmu terhadap diri-Nya) maksudnya kemarahan-Nya jika kamu mengambil mereka itu sebagai pemimpin (dan hanya kepada Allah tempat kamu kembali) hingga kamu akan beroleh balasan dari-Nya.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 28
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri (azab)-Nya. Dan hanya kepada Allah tempat kembali (kalian).
Ayat 28
Allah ﷻ melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin berpihak kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka teman yang setia dengan menyampaikan kepada mereka berita-berita rahasia karena kasih sayang kepada mereka dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Kemudian Allah ﷻ mengancam perbuatan tersebut melalui firman-Nya:
“Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (Ali Imran: 28).
Dengan kata lain, barang siapa yang melakukan hal tersebut yang dilarang oleh Allah, maka sesungguhnya ia telah melepaskan ikatan dirinya dengan Allah. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka kabar berita (tentang Muhammad) karena rasa kasih sayang. (Al-Mumtahanah: 1) sampai dengan firman-Nya: “Dan barang siapa di antara kalian yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Mumtahanah: 1)
Demikian pula dalam firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kalian mau mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?” (An-Nisa: 144)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (pemimpin) kalian, sebagian dari mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.
Dan Allah ﷻ berfirman sesudah menyebutkan masalah kasih sayang dan hubungan yang intim di antara orang-orang mukmin dari kalangan kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan orang-orang Arab, yaitu: “Adapun orang-orang kafir, sebagian dari mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (wahai kaum muslim) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfal: 73)
Adapun firman Allah ﷻ: “Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (Ali Imran: 28) Dengan kata lain, kecuali bagi orang mukmin penduduk salah satu negeri atau berada di dalam waktu tertentu yang merasa khawatir akan kejahatan mereka (orang-orang kafir). Maka diperbolehkan baginya bersiasat untuk melindungi dirinya hanya dengan lahiriahnya saja, tidak dengan batin dan niat. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu Darda yang mengatakan: “Sesungguhnya kami benar-benar tersenyum di hadapan banyak orang-orang musyrik (di masa lalu), sedangkan hati kami (para sahabat) melaknat mereka.”
Ats-Tsauri mengatakan bahwa sahabat Ibnu Abbas pernah mengatakan taqiyyah (tampak luar lain dengan dalam, sikap diplomasi) bukan dengan amal perbuatan, melainkan hanya dengan lisan saja. Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, yaitu bahwa sesungguhnya taqiyyah itu hanya dilakukan dengan lisan.
Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Abusy Sya'sa, Adh-Dhahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Pendapat mereka dikuatkan oleh firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah); kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa).” (An-Nahl: 106), hingga akhir ayat. Imam Al-Bukhari mengatakan, Al-Hasan pernah berkata bahwa taqiyyah akan terus berlangsung sampai hari kiamat.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri (azab)-Nya. (Ali Imran: 28)
Yakni Allah memperingatkan kalian terhadap pembalasan-Nya bila Dia ditentang dalam perintah-Nya, dan azab Allah akan menimpa orang yang memihak kepada musuh-Nya dan memusuhi kekasih-kekasih-Nya.
Firman Allah ﷻ: “Dan hanya kepada Allah tempat kembali (kalian).” (Ali Imran: 28)
Maksudnya, hanya kepada-Nyalah kalian dikembalikan, karena Dia akan membalas tiap-tiap diri sesuai dengan amal perbuatan yang telah dilakukannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Suwaid ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Sa'id, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, dari Ibnu Abu Husain, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Maimun ibnu Mihran yang menceritakan, "Sahabat Mu'az pernah berdiri di antara kami, lalu ia mengatakan, 'Wahai Bani Aud, sesungguhnya aku adalah utusan Rasulullah kepada kalian. Kalian mengetahui bahwa tempat kembali hanyalah kepada Allah, yaitu ke surga atau ke neraka'.”
Setelah ayat sebelumnya menjelaskan kekuasaan Allah yang tak terbatas, yang salah satunya memberi rezeki tanpa perhitungan, maka ayat ini melarang kaum mukmin untuk menjadikan orang kafir sebagai wali. Janganlah orang-orang beriman dengan sebenar-benarnya menjadikan orang kafir, baik kafir secara akidah maupun orang yang bergelimang dalam kedurhakaan, sebagai wali, yaitu orang terdekat yang menjadi tempat menyimpan rahasia yang menyangkut kemaslahatan umum, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, yaitu menjadikan orang kafir sebagai wali, niscaya dia tidak akan memperoleh perlindungan dan pertolongan apa pun dari Allah, kecuali apabila yang kamu lakukan itu karena untuk siasat menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka, terkait dengan keselamatan dirimu dan kaum muslim. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri, yakni siksa-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali semua makhluk-Nya. Ayat ini mengingatkan agar tidak seorang pun bersembunyi di balik kata-kata bohongnya untuk mengambil keuntungan pribadi, sebab semua pasti akan terungkap. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan, baik berupa ucapan maupun perbuatan, Allah pasti mengetahuinya dan akan membalasnya sesuai dengan apa yang dikatakan dan dilakukannya. Demikian, karena Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, sehingga dengan kekuasaan-Nya itu Allah mampu mengungkap rahasia hamba-Nya dan membalas segala perbuatannya dengan seadil-adilnya.
Kaum Muslimin dilarang menjadikan orang kafir sebagai kawan yang akrab, pemimpin atau penolong, karena yang demikian ini akan merugikan mereka sendiri baik dalam urusan agama maupun dalam kepentingan umat, apalagi jika dalam hal ini kepentingan orang kafir lebih didahulukan daripada kepentingan kaum Muslimin sendiri, hal itu akan membantu tersebarluasnya kekafiran. Ini sangat dilarang oleh agama.
Orang mukmin dilarang mengadakan hubungan akrab dengan orang-orang kafir, baik disebabkan oleh kekerabatan, kawan lama waktu zaman jahiliah, atau pun karena bertetangga. Larangan itu tidak lain hanyalah untuk menjaga dan memelihara kemaslahatan agama, serta agar kaum Muslimin tidak terganggu dalam usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh agamanya.
Adapun bentuk-bentuk persahabatan dan persetujuan kerja sama, yang kiranya dapat menjamin kemaslahatan orang-orang Islam tidaklah terlarang. Nabi sendiri pernah mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani Khuza'ah sedang mereka itu masih dalam kemusyrikan.
Kemudian dinyatakan bahwa barang siapa menjadikan orang kafir sebagai penolongnya, dengan meninggalkan orang mukmin, dalam hal-hal yang memberi mudarat kepada agama, berarti dia telah melepaskan diri dari perwalian Allah, tidak taat kepada Allah dan tidak menolong agamanya. Ini berarti pula bahwa imannya kepada Allah telah terputus, dan dia telah termasuk golongan orang-orang kafir.
Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka?(al-Ma'idah/5: 51)
Orang mukmin boleh mengadakan hubungan akrab dengan orang kafir, dalam keadaan takut mendapat kemudaratan atau untuk memberikan kemanfaatan bagi Muslimin. Tidak terlarang bagi suatu pemerintahan Islam, untuk mengadakan perjanjian persahabatan dengan pemerintahan yarg bukan Islam; dengan maksud untuk menolak kemudaratan, atau untuk mendapatkan kemanfaatan. Kebolehan mengadakan persahabatan ini tidak khusus hanya dalam keadaan lemah saja tetapi boleh juga dalam sembarang waktu, sesuai dengan kaidah:
Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan ke-maslahatan
Berdasarkan kaidah ini, para ulama membolehkan "taqiyah", yaitu mengatakan atau mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan kebenaran untuk menolak bencana dari musuh atau untuk keselamatan jiwa atau untuk memelihara kehormatan dan harta benda.
Maka barang siapa mengucapkan kata-kata kufur karena dipaksa, sedang hati (jiwanya) tetap beriman, karena untuk memelihara diri dari kebinasaan, maka dia tidak menjadi kafir. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh 'Ammar bin Yasir yang dipaksa oleh Quraisy untuk menjadi kafir, sedang hatinya tetap beriman. Allah berfirman:
Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar. (an-Nahl/16: 106)
Sebagaimana telah terjadi pada seorang sahabat yang terdesak ketika menjawab pertanyaan Musailamah, "Apakah engkau mengakui bahwa aku ini rasul Allah? Jawabnya, "Ya". Karena itu sahabat tadi dibiarkan dan tidak dibunuh. Kemudian seorang sahabat lainnya sewaktu ditanya dengan pertanyaan yang sama, ia menjawab, "Saya ini tuli" (tiga kali), maka sahabat tersebut ditangkap dan dibunuh. Setelah berita ini sampai kepada Rasulullah ﷺ beliau bersabda: "Orang yang telah dibunuh itu kembali kepada Allah dengan keyakinan dan kejujurannya, adapun yang lainnya, maka dia telah mempergunakan kelonggaran yang diberikan Allah, sebab itu tidak ada tuntutan atasnya".
Kelonggaran itu disebabkan keadaan darurat yang dihadapi, dan bukan menyangkut pokok-pokok agama yang harus selalu ditaati. Dalam hal ini diwajibkan bagi Muslim hijrah dari tempat ia tidak dapat menjalankan perintah agama dan terpaksa di tempat itu melakukan "taqiyyah". Adalah termasuk tanda kesempurnaan iman bila seseorang tidak merasa takut kepada cercaan di dalam menjalankan agama Allah. Allah berfirman:
..karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman? (Ali 'Imran/3: 175)
Allah berfirman:
.. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. ?. (al-Ma'idah/5: 44).
Termasuk dalam "taqiyah", berlaku baik, lemah lembut kepada orang kafir, orang zalim, orang fasik, dan memberi harta kepada mereka untuk menolak gangguan mereka. Hal ini bukan persahabatan akrab yang dilarang, melainkan cara itu sesuai dengan tuntunan peraturan:
"Suatu tindakan yang dapat memelihara kehormatan seorang mukmin, adalah termasuk sedekah". (Riwayat ath-thabrani).
Dalam hadis lain dari Aisyah r.a.:
Seseorang datang meminta izin menemui Rasulullah dan ketika itu aku berada di sampingnya. Lalu Rasulullah berkata, "(Dia adalah) seburuk-buruk warga kaum ini". Kemudian Rasulullah mengizinkannya untuk menghadap, lalu beliau berbicara dengan orang tersebut dengan ramah- tamah dan lemah-lembut. Rasulullah berkata, "Hai, 'Aisyah sesungguhnya di antara orang yang paling buruk adalah orang yang ditinggalkan oleh orang lain karena takut kepada kejahatannya." (Riwayat al-Bukhari)
Terhadap mereka yang melanggar larangan Allah di atas, Allah memperingatkan mereka dengan siksaan yang langsung dari sisi-Nya dan tidak ada seorang pun yang dapat menghalanginya. Akhirnya kepada Allah tempat kembali segala makhluk. Semua akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 28
“Janganlah mengambil orang-orang yang Mukminin akan orang-orang kafir jadi pemimpin, lebih daripada orang-orang yang beriman."
Di sini terdapat perkataan aulia. Dahulu pun pernah kita uraikan arti kata wali. Dan, berarti pemimpin atau pengurus atau teman karib, ataupun sahabat ataupun pelindung.
Di surah al-Baqarah ayat 256 kita telah diberikan pegangan bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung, dan pengurus orang yang beriman hanya Allah. Di ayat itu Allah memberikan jaminannya sebagai wali bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang. Dan, di dalam ayat itu juga diterangkan bahwa wali orang yang kafir adalah thaghut dan thaghut itu akan mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap. Kemudian di dalam ayat yang lain kita telah bertemu pula dengan keterangan bahwasanya orang beriman sesama beriman yang sebagian menjadi wali dari yang lain, sokong-menyokong, bantu-membantu, sehingga arti wali di sini ialah persahabatan. Maka, di dalam ayat yang tengah kita bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman agar mereka jangan mengambil orang kafir menjadi wali. Jangan orang yang tidak percaya kepada Allah dijadikan wali sebagai pemimpin atau wali sebagai sahabat. Karena, akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut. Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya menyembah thaghut. Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim bahwa Ibnu Abbas berkata, “Al-Hajjaj bin Amr mengikat janji setia kawan dengan Ka'ab bin al-Asyraf (pemuka Yahudi yang terkenal penafsir), Ibnu Abi Haqiq, dan Qais bin Zaid. Ketiga orang ini telah bermaksud jahat hendak mengganggu kaum Anshar itu lalu ditegur oleh Rifa'ah bin al-Mundzir, Abdullah bin jubair, dan Sa'ad bin Khatamah supaya mereka menjauhi orang-orang Yahudi yang tersebut itu. Hendaklah mereka berawas diri dalam perhubungan dengan mereka, supaya agama mereka jangan difitnah oleh orang-orang Yahudi itu. Akan tetapi, orang-orang yang diberi peringatan itu tidak memedulikannya." Inilah kata Ibnu Abbas yang menjadi sebab turunnya ayat ini.
Ada lagi suatu riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa jalan riwayat bahwasanya tafsir ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman bersikap lemah lembut terhadap orang kafir dan mengambil mereka jadi teman akrab melebihi sesama orang beriman kecuali kalau orang-orang kafir itu lebih kuat daripada mereka. Kalau demikian, tidaklah mengapa memperlihatkan sikap lunak, tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama orang yang beriman dan agama mereka.
“Dan barangsiapa yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Aiiah sesuatu jua pun." Tegasnya, dengan sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan atau persahabatan, niscaya lepaslah dari perwalian Allah, putus dari pimpinan Allah maka celakalah yang akan mengancam."Kecuali bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas,"
Beratus-ratus tahun lamanya negeri-negeri Islam banyak yang dijajah oleh pemerintahan yang bukan Islam karena terpaksa, karena tergagah, karena senjata untuk melawan dan kekuatan untuk bertahan tidak ada lagi. Maka, tetaplah larangan pertama, yaitu tidak menukar wali dari Allah kepada mereka. Kalau ini tidak dapat dinyatakan keluar, hendaklah disimpan terus di dalam hati dan hendaklah selalu awas sebenar-benar awas, supaya dengan segala daya upaya bahaya mereka itu untuk membelokkan dari Allah kepada thaghut dapat ditangkis. Pendeknya, sampai kepada saat terakhir wajib melawan walaupun dalam hati.
“Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diri-Nya" Di sambungan ayat ini Allah Ta'aala memberi peringatan dengan keras bahwa di dalam urusan ini, khusus dalam taqiyah, janganlah dipandang enteng. Jangan sampai sikap taqiyah itu dijadikan tempat lari untuk melepaskan diri dari tanggung jawab menghadapi lawan. Hendaklah awas dan jangan sekali-kali lupa bahwa diri Allah Ta'aala senantiasa ada, senantiasa mengawasi, dan menilik sepak terjang yang kamu lakukan. Karena, kalau taqiyah itu akan membawa agama Allah jadi lemah, bukanlah dia taqiyah lagi, melainkan beralih menjadi sikap pengecut. Itu sebabnya, ujung ayat lebih menjelaskan pula bahwa baik di waktu kamu sedang kuat lalu menolak kerja sama dengan musuh yang akan melemahkan agamamu atau sedang lemah sehingga terpaksa kamu mengambil sikap taqiyah, tetapi ingatlah,
“Dan kepada Allah-lah tujuan kamu."
Akhir ayat ini mengingatkan kita akan perumpamaan hidup kita yang tengah berlayar di tengah lautan besar, menaiki sebuah bahtera. Tujuan bahtera hidup beragama ialah Allah.
Ayat 29
“Katakanlah, ‘Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam dada kamu ataupun kamu tampakkannya, tetapi Allah mengetahuinya juga. Dan Dia pun mengetahui apa yang ada di semua langit dan apa yang di bumi."
Ayat ini adalah pengikat jiwa yang halus sekali bagi orang-orang yang beriman. Dia adalah sebagai sambungan dari Allah yang memperingatkan tentang diri-Nya tadi. Mereka pada pokoknya dilarang keras lebih mementingkan pimpinan orang kafir dan mengangkat mereka jadi wali sehingga melebihkan pandangan kepada mereka daripada memandang sesama Mukmin. Cuma di saat yang terpaksa dan menilai keadaan, baru boleh me-lakukan taqiyah.
“Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu Mahakuasa."
Hanya orang Mukmin yang dapat merasai hal yang seperti ini. Betapa kekuasaan Allah atas isi dada manusia serta betapa kekuasaan Allah atas seluruh langit dan bumi. Kadang-kadang kita bertemu dengan kemenangan, padahal menurut perhitungan kita belum tampak pintunya. Kadang-kadang kita merasa bahwa rencana kita akan berjalan menurut yang kita gariskan. Tiba-tiba datang saja kejadian lain yang tidak pula kita sangka-sangka sehingga rencana Allah jualah yang berjalan. Oleh sebab itu, baik di waktu susah maupun di waktu senang, sekali-kali janganlah lupa memperhitungkan Mahakuasanya Allah.
Ayat 30
“(ingatlah) akan mati yang tiap-tiap orang akan menerima ganjaran amal baik yang telah tersedia."
Di sini diberikan ketegasan dan jaminan bagi setiap orang yang beramal baik bahwa ganjarannya akan diterimanya kontan, telah tersedia di hadapan matanya. Akan mengobati hatinya yang sudah gundah dan akan menghilangkan segala kepenatan serta akan menghabiskan segala kecewa."Dan amalan-amalan yang buruk pun!' Artinya, amalan yang buruk pun akan menerima ganjaran yang telah tersedia pula, sebagai akibat dari perbuatannya sendiri, sehingga, “Inginlah dia (kiranya) di antara balasan amal buruknya itu dengan dirinya di antarai oleh masa yang jauh!'
Tegasnya, baik dan buruk (amalan) akan menerima ganjaran Allah dengan kontan serta tersedia nyata di hadapan mata (muh-dharan). Orang yang berbuat baik tentu akan merasai gembira yang sangat tinggi dan rasa bahagia yang tiada taranya ketika berhadapan langsung dengan balasan amalnya. Akan tetapi, bagaimana orang yang beramal buruk? Dia pun akan menerima ganjaran kontan pula, hadir pula di hadapan matanya. Niscaya perasaan di waktu itu akan lain. Niscaya kalau hal itu dapat dielakkan, akan dia elakkan atau dia minta supaya diperlambat, diundur-undur. Dia takut menghadapi kenyataan sehingga dia mengharap supaya di antara dia dan ganjaran amalnya itu diadakan jarak yang jauh. Dia pasti kalah dan dia tahu itu. Akan tetapi, dia minta supaya kekalahan itu diundurkan. Akan tetapi, benarlah apa yang dikatakan oleh seorang pujangga, “Hidup ialah menunda kekalahan."
Sebab itu, Allah memperingatkan lagi sebagaimana telah diperingatkan-Nya di ayat yang di atas tadi, “Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diri-Nya!' Sebab itu, janganlah kamu abaikan tugas hidupmu. Pilih-lah sendiri jalan yang benar dan jauhilah yang salah, jujurlah terhadap Allah sebab Dia ada dan Dia mengawasi kamu. Ingatlah itu benar-benar dan awaslah.
“Dan Allah amatlah sayang kepada hamba-hamba-Nya."
Dengan peringatan hati-hati dan awas yang agak keras di atas semuanya tadi, terasalah bahwa masing-masing kita yang mengakui dirinya hamba Allah, tidak pernah lepas dari tilikan Allah. Maka, kita pun berhati-hatilah, baik dalam isi dada yang dirahasiakan maupun dalam sikap hidup yang ditampakkan. Akan tetapi, di dalam kehati-hatian itu kita pun insaf bahwa kita ini manusia, ada saja kelemahan kita masing-masing. Lautan ini amat luas, di mana akan berlabuh belum tahu. Sedang berjalan menuju tujuan yang dituju itu, entah putus nyawa di tengah jalan, entah mati jauh karena kehausan. Kadang-kadang terasa betapa banyak halangan yang wajib dilalui, banyak duri dan onak.
Semuanya itu diketahui oleh Allah. Oleh sebab itu, di samping kerasnya peringatan yang Dia berikan, Dia pun tetap sayang dan belas kasihan akan semua hamba-Nya yang memang membina tujuan hidupnya mencapai ridha Allah. Oleh sebab itu, jika dalam perjalanan sulit itu, sekali-sekali bertemu dengan luluk dan lumpur yang mengotori baju, lekaslah bersihkan. Dan, membersihkan batin dari daki-daki kedosaan ialah dengan bertobat dan beristighfar.