Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
هَادُواْ
yahudi
وَٱلنَّصَٰرَىٰ
dan Nasrani
وَٱلصَّـٰبِـِٔينَ
dan Shabi'in
مَنۡ
orang/siapa
ءَامَنَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَعَمِلَ
dan berbuat
صَٰلِحٗا
kebaikan
فَلَهُمۡ
maka bagi mereka
أَجۡرُهُمۡ
pahala mereka
عِندَ
disisi
رَبِّهِمۡ
Tuhan mereka
وَلَا
dan tidak
خَوۡفٌ
ada kekhawatiran
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
وَلَا
dan tidak
هُمۡ
mereka
يَحۡزَنُونَ
mereka bersedih hati
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
هَادُواْ
yahudi
وَٱلنَّصَٰرَىٰ
dan Nasrani
وَٱلصَّـٰبِـِٔينَ
dan Shabi'in
مَنۡ
orang/siapa
ءَامَنَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَعَمِلَ
dan berbuat
صَٰلِحٗا
kebaikan
فَلَهُمۡ
maka bagi mereka
أَجۡرُهُمۡ
pahala mereka
عِندَ
disisi
رَبِّهِمۡ
Tuhan mereka
وَلَا
dan tidak
خَوۡفٌ
ada kekhawatiran
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
وَلَا
dan tidak
هُمۡ
mereka
يَحۡزَنُونَ
mereka bersedih hati
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati.
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman) kepada para nabi di masa lalu (dan orang-orang Yahudi) (orang-orang Kristen dan orang-orang Shabiin) yakni segolongan dari orang-orang Yahudi atau Nasrani (siapa saja yang beriman) di antara mereka (kepada Allah dan hari akhir) di masa nabi kita (serta mengerjakan amal saleh) yaitu syariatnya (mereka akan memperoleh pahala) sebagai ganjaran dari amal perbuatan mereka itu (di sisi Tuhan mereka, tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka berduka cita). Dhamir atau kata ganti orang pada 'aamana', 'amila' dan sesudahnya hendaklah diartikan secara umum atau siapa saja.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 62
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Ayat 62
Setelah Allah ﷻ menyebutkan keadaan orang-orang yang menentang perintah-perintah-Nya, melanggar larangan-larangan-Nya, berbuat kelewat batas melebihi dari apa yang diizinkan, serta berani melakukan perkara-perkara yang diharamkan dan akibat azab yang menimpa mereka, maka Allah mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barang siapa yang berbuat baik dari kalangan umat-umat terdahulu dan taat, baginya pahala yang baik.
Demikianlah kaidah tetapnya sampai hari kiamat nanti, yakni setiap orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, maka baginya kebahagiaan yang abadi. Tiada ketakutan bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tidak pula mereka bersedih hati atas apa yang telah mereka lewatkan dan tinggalkan. Makna ayat ini sama dengan firman lainnya, yaitu: "Ingatlah, sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Yunus: 62) Seperti yang dikatakan oleh para malaikat kepada kaum mukmin di saat menghadapi kematiannya yang disitir oleh firman-Nya seperti berikut: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (sambil berkata), ‘Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian’." (Fushshilat: 30) .
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Bapakku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Umar Al-Adawi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Salman menceritakan hadits berikut: "Aku pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang pemeluk agama yang dahulunya aku salah seorang dari mereka, maka aku menceritakan kepada beliau tentang cara shalat dan ibadah mereka." Lalu turunlah firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian," hingga akhir ayat.
As-Suddi mengatakan bahwa firman-Nya yang mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh" (Al-Baqarah: 62) diturunkan berkenaan dengan teman-teman Salman Al-Farisi. Ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nabi ﷺ, lalu ia menyebutkan perihal teman-teman yang seagamanya di masa lalu, ia menceritakan kepada Nabi berita tentang mereka. Dia bercerita, "Mereka shalat, puasa, dan beriman kepadamu serta bersaksi bahwa kelak engkau akan diutus sebagai seorang nabi." Setelah Salman selesai bicaranya yang mengandung pujian kepada mereka, maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, "Wahai Salman, mereka termasuk ahli neraka." Maka hal ini terasa amat berat bagi Salman.
Lalu Allah menurunkan ayat ini. Iman orang-orang Yahudi itu ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s., maka imannya diterima hingga Nabi Isa a.s. datang. Apabila Nabi Isa telah datang, sedangkan orang yang tadinya berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s. tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikut kepada syariat Nabi Isa, maka ia termasuk orang yang binasa. Iman orang-orang Nasrani ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Injil dari kalangan mereka dan syariat-syariat Nabi Isa, maka dia termasuk orang yang mukmin lagi diterima imannya hingga Nabi Muhammad ﷺ datang. Barang siapa dari kalangan mereka yang tidak mau mengikut kepada Nabi Muhammad ﷺ dan tidak mau meninggalkan sunnah Nabi Isa serta ajaran Injilnya sesudah Nabi Muhammad ﷺ datang, maka dia termasuk orang yang binasa. Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami riwayat ini tidak bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian", hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 62).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa sesudah itu diturunkan oleh Allah firman berikut: "Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali Imran: 85) Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ini merupakan suatu pemberitahuan bahwa tidak akan diterima dari seseorang suatu cara dan tidak pula suatu amal pun, kecuali apa yang bersesuaian dengan syariat Nabi Muhammad ﷺ sesudah beliau diutus membawa risalah yang diembannya. Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul di zamannya, dia berada dalam jalan petunjuk dan jalan keselamatan.
Orang-orang Yahudi adalah pengikut Nabi Musa a.s., yaitu mereka yang berpegang kepada kitab Taurat di zamannya. Kata al-yahud diambil dari kata al-hawadah yang artinya kasih sayang, atau berasal dari kata at-tahawwud yang artinya tobat, seperti yang dikatakan oleh Musa a.s. dalam firman-Nya: "Sesungguhnya kami kembali kepada Engkau." (Al-A'raf: 156) Maksudnya, kami bertobat kepada Engkau. Seakan-akan mereka dinamakan demikian pada asal mulanya karena tobat dan kasih sayang sebagian mereka kepada sebagian yang lain.
Menurut pendapat lain, nama Yahudi itu dinisbatkan (dikaitkan) dengan Yahuda, nama anak tertua Ya'qub. Abu Amr ibnul Ala mengatakan, disebut demikian karena mereka selalu bergerak di kala membaca kitab Taurat. Ketika Nabi Isa diutus, kaum Bani Israil diwajibkan untuk mengikuti dan menaatinya. Sahabat-sahabat Nabi Isa dan pemeluk agamanya dinamakan Nasrani karena mereka saling menolong di antara sesama mereka. Mereka disebut pula Anshar, seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa a.s. dalam firman-Nya: "Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama) Allah? Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah’." (Ali Imran: 52) Menurut pendapat lain, mereka dinamakan demikian karena pernah bertempat tinggal di suatu daerah yang dikenal dengan nama Nasirah. Demikian menurut Qatadah dan Ibnu Juraij, serta diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas. Nasara adalah bentuk jamak dari nasran, sama halnya dengan lafal nasyawa bentuk jamak dari lafal nasywan, dan sukara bentuk jamak dari lafal sakran. Dikatakan Nasranah untuk seorang wanita Nasrani. Salah seorang penyair mengatakan, "Dan seorang wanita Nasranah yang tidak pernah ibadah."
Ketika Allah ﷻ mengutus Nabi Muhammad ﷺ sebagai pemungkas para nabi dan rasul kepada semua anak Adam secara mutlak, maka diwajibkan bagi mereka percaya kepada apa yang disampaikannya, taat kepada perintahnya, dan mencegah diri dari apa yang dilarangnya. Mereka adalah orang-orang yang beriman sebenar-benarnya. Umat Nabi Muhammad ﷺ dinamakan kaum mukmin karena banyaknya keimanan mereka dan keyakinan mereka yang sangat kuat, mengingat mereka beriman kepada semua nabi yang terdahulu dan perkara-perkara gaib yang akan datang. Mengenai orang-orang Sabi-in, para ulama berbeda pendapat mengenai hakikat mereka.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Al-Laits ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa mereka (yakni orang-orang Sabi-in) adalah suatu kaum antara Majusi, Yahudi, dan Nasrani; pada hakikatnya mereka tidak mempunyai agama. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid. Telah diriwayatkan dari ‘Atha’ dan Sa'id ibnu Jubair hal yang mirip dengan pendapat di atas.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Suddi, Abusy Sya'sa (yakni Jabir ibnu Zaid), Adh-Dhahhak, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu sekte dari kalangan ahli kitab, mereka mengakui kitab Zabur.
Karena itu, Imam Abu Hanifah dan Ishaq mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan sembelihan mereka dan menikah dengan mereka.
Hasyim meriwayatkan dari Mutarrif, "Ketika kami sedang bersama Al-Hakam ibnu Atabah, lalu ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Basrah bercerita kepadanya, dari Al-Hasan yang mengatakan tentang orang-orang Sabi-in, bahwa sesungguhnya mereka itu sama dengan orang-orang Majusi. Kemudian Al-Hakam berkata, 'Bukankah aku pun telah mengatakan hal yang sama kepada kalian?'."
Abdur Rahman ibnu Mahdi meriwayatkan dari Mu'awiyah ibnu Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan menceritakan tentang orang-orang Sabi-in. Dia mengatakan bahwa mereka adalah suatu kaum yang menyembah malaikat.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-Hasan yang menceritakan, "Diberitakan kepada Ziad bahwa orang-orang Sabi-in shalat menghadap ke arah kiblat, mereka shalat lima waktu. Ziad bermaksud membebaskan mereka dari pungutan jizyah, tetapi sesudah itu dia mendapat berita bahwa mereka menyembah malaikat."
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan, telah sampai berita kepadanya bahwa orang-orang Sabi-in adalah suatu kaum yang menyembah malaikat, percaya kepada kitab Zabur, dan shalat menghadap ke arah kiblat. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya yang mengatakan bahwa orang-orang Sabi-in adalah suatu kaum yang tinggal di sebelah negeri Irak. Mereka kaum yang suka menangis, beriman kepada semua nabi serta puasa selama tiga puluh hari setiap tahunnya, dan mereka shalat menghadap negeri Yaman setiap harinya sebanyak lima kali.
Wahb ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai Sabi-in. Ia menjawab bahwa mereka hanya mengenal Allah semata, tidak mempunyai syariat yang diamalkan, tidak pula berbuat kekufuran.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdur Rahman ibnu Zaid pernah berkata, "Sabi-in adalah pemeluk suatu agama yang tinggal di Mausul. Mereka mengatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tetapi mereka tidak mempunyai amal, kitab, dan nabi kecuali hanya ucapan 'tidak ada Tuhan selain Allah'." Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan pula bahwa mereka tidak beriman kepada rasul. Karena itulah orang-orang musyrik mengatakan kepada Nabi ﷺ dan para sahabatnya, bahwa Nabi ﷺ dan sahabatnya adalah orang-orang Sabi-in. Orang-orang musyrik menyerupakan Nabi ﷺ dan para sahabatnya dengan mereka dalam hal ucapan 'tidak ada Tuhan selain Allah'.
Al-Khalil mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum yang agamanya menyerupai agama Nasrani, hanya kiblat mereka mengarah kepada datangnya angin selatan; mereka menduga bahwa dirinya berada dalam agama Nabi Nuh a.s.
Al-Qurthubi meriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, dan Ibnu Abu Nujaih, bahwa mereka adalah suatu kaum yang agamanya merupakan campuran antara agama Yahudi dan agama Majusi; sembelihan mereka tidak boleh dimakan, dan kaum wanitanya tidak boleh dinikahi. Al-Qurthubi mengatakan, yang tersimpul dari pendapat mereka menurut sebagian ulama yaitu mereka adalah orang-orang yang mengesakan Tuhan dan meyakini akan pengaruh bintang-bintang, bahwa bintang-bintang tersebutlah yang melakukannya. Karena itulah Abu Sa'id Al Astakhri mengeluarkan fatwa bahwa mereka adalah orang kafir. Ia katakan demikian ketika Al-Qadir Billah menanyakan kepadanya tentang hakikat mereka.
Ar-Razi memilih pendapat yang mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum yang menyembah bintang-bintang, dengan pengertian bahwa Allah telah menjadikannya sebagai kiblat untuk ibadah dan doa, yakni Allah menyerahkan pengaturan urusan alam ini kepada bintang-bintang tersebut. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan bahwa pendapat ini dinisbatkan kepada orang-orang Kasyrani yang didatangi oleh Nabi Ibrahim a.s. untuk membantah pendapat mereka dan menunjukkan kebenaran.
Pendapat Mujahid dan para pengikutnya serta pendapat Wahb ibnu Munabbih menyatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum bukan pemeluk agama Yahudi, bukan Nasrani, bukan Majusi, bukan pula kaum musyrik. Sesungguhnya mereka adalah suatu kaum yang hanya tetap pada fitrah mereka, tiada agama tetap yang menjadi panutan dan pegangan mereka. Karena itulah maka kaum musyrik memperolok-olokkan orang yang masuk Islam dengan sebutan Sabi, dengan maksud bahwa dia telah menyimpang dari semua agama penduduk bumi di saat itu.
Sebagian ulama mengatakan, Sabi-in adalah orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah seorang nabi pun.
Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui pendapat yang paling kuat di antara semuanya itu.
Ayat ini menunjukkan betapa Allah Maha Pengampun lagi Maha Pemberi rahmat bagi semua manusia, karena sesungguhnya orang-orang yang beriman, yaitu umat Nabi Muhammad, orang-orang Yahudi yang merupakan umat Nabi Musa, orang-orang Nasrani yang merupakan umat Nabi Isa, dan orang-orang Ša'biin, yaitu umat sebelum Nabi Muhammad yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang, tentunya siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari Akhir dengan sebenarbenar iman sebelum diutusnya Nabi Muhammad , dan selalu melakukan kebajikan yang memberikan manfaat bagi yang lainnya, mereka pasti akan mendapat pahala dari Tuhannya berupa surga, selain itu tidak ada rasa takut pada mereka dalam menghadapi kehidupan di dunia maupun akhirat, dan mereka tidak pula bersedih hati ketika menghadapi beragam cobaan. Pada ayat yang lalu dijelaskan tentang pahala bagi orang yang beriman. Selanjutnya pada ayat-ayat ini diterangkan tentang pelanggaran Bani Israil terhadap perjanjian yang diikrarkan dengan Tuhan. Karena itu, dalam kaitan dengan sikap dan keingkaran ini, ingatlah ketika Kami mengambil janji kamu dengan perantaraan Nabi Musa agar kamu semua melaksanakan tuntunan syariat yang terdapat dalam Taurat, dan Kami angkat gunung Sinai sejalan dengan kekuasaan Kami, atau Kami goncangkan gunung itu sehingga seperti akan terangkat di atasmu seraya berfirman, Pegang teguhlah apa yang telah Kami berikan kepadamu dengan kesungguhan yang sebenarnya dan ingatlah apa yang ada di dalamnya, yakni dalam Taurat yang merupakan petunjuk bagi kehidupanmu. Yang sedemikian ini agar kamu bertakwa, dengan selalu melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa tiap-tiap umat atau bangsa pada masa itu yang benar-benar berpegang pada ajaran para nabi mereka serta beramal saleh akan memperoleh ganjaran di sisi Allah, karena rahmat dan magfirah-Nya selalu terbuka untuk seluruh hamba-hamba-Nya.
"Orang-orang mukmin" dalam ayat ini ialah orang yang mengaku beriman kepada Muhammad Rasulullah ﷺ dan menerima segala yang diajarkan olehnya sebagai suatu kebenaran dari sisi Allah. sabi'in ialah umat sebelum Nabi Muhammad ﷺ yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang. Pengertian beriman ialah seperti yang dijelaskan Rasul ﷺ ketika Jibril a.s. menemuinya. Nabi berkata:
Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Kiamat, dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (Riwayat Muslim dari 'Umar r.a.).
Orang Yahudi ialah semua orang yang memeluk agama Yahudi. Mereka dinamakan Yahudi karena kebanyakan mereka dari keturunan Yahudi, salah seorang keturunan Yakub (Israil). Orang-orang Nasrani ialah orang-orang yang menganut agama Nasrani. Kata Nasrani diambil dari nama suatu daerah Nasirah (Nazareth) di Palestina, tempat Nabi Isa dilahirkan. Siapa saja di antara ketiga golongan di atas yang hidup pada zamannya, sebelum kedatangan Nabi Muhammad ﷺ dan benar-benar beragama menurut agama mereka, membenarkan dengan sepenuh hati akan adanya Allah dan hari Kiamat, mengamalkan segala tuntutan syariat agamanya, mereka mendapat pahala dari sisi Allah. Sesudah kedatangan Nabi Muhammad saw, semua umat manusia diwajibkan beriman kepadanya dan seluruh ajaran yang dibawanya, yakni dengan menganut lslam.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 62-66
Ayat 62
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman."
Yang dimaksud dengan orang beriman di sini ialah orang yang memeluk agama Islam, yang telah menyatakan percaya kepada Nabi Muhammad ﷺ dan akan tetaplah menjadi pengikutnya sampai Hari Kiamat, “Dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi'in," yaitu tiga golongan beragama yang percaya juga kepada Tuhan, tetapi telah dikenal dengan nama-nama yang demikian; “barang-siapa yang beriman kepada Allah," yaitu yang mengaku adanya Allah Yang Maha Esa, dengan sebenar-benar pengakuan, mengikut suruhan-Nya dan menghentikan larangan-Nya; “dan Hari Kemudian dan beramal yang saleh," yaitu Hari Akhirat.
Kepercayaan yang telah tertanam kepada Tuhan dan Hari Kemudian itu mereka buktikan pula dengan mempertinggi mutu diri mereka."Maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka." Inilah janjian yang adil
dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal saleh yang telah mereka kerjakan itu.
“Dan tidak ada ketakutan atas Mereka dan tidaklah Mereka akan berduka cita."
Di dalam ayat ini terdapAllah nama dari empat golongan:
• orang-orang yang beriman,
• orang-orang yang menjadi Yahudi,
• orang-orang Nasrani,
• orang-orang Shabi'in.
Golongan pertama, yang disebut orang-orang yang telah beriman, ialah orang-orang yang telah terlebih dahulu menyatakan percaya kepada segala ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, yaitu mereka-mereka yang telah berjuang karena imannya, berdiri rapat di sekeliling Rasul ﷺ, sama-sama menegakkan ajaran agama ketika beliau hidup. Di dalam ayat ini, mereka dimasukkan dalam kedudukan yang pertama dan utama.
Yang kedua ialah orang-orang yang jadi Yahudi atau pemeluk agama Yahudi. Sebagaimana kita ketahui, nama Yahudi itu dibangsa-kan atau diambil dari nama Yahuda, yaitu anak tertua atau anak kedua dari Nabi Ya'kub. Oleh sebab itu, mereka pun disebut juga Bani Israil. Dengan jalan demikian, nama agama Yahudi lebih merupakan agama “keluarga" daripada agama untuk manusia pada umumnya.
Yang ketiga, yaitu Nashara dan lebih banyak lagi disebut Nasrani. Dibangsakan kepada desa tempat Nabi Isa al-Masih dilahirkan, yaitu Desa Nazaret (dalam bahasa Ibrani) atau Nashirah (dalam bahasa Arab). Menurut riwayat Ibnu Jarir, Qatadah berpendapat bahwa Nasrani itu memang diambil dari nama Desa Nashirah. Ibnu Abbas pun menafsirkan demikian.
Yang keempat Shabi'in; kalau menurut asal arti kata maknanya ialah orang yang keluar dari agamanya yang asal dan masuk ke agama lain, sama juga dengan arti asalnya ialah murtad. Sebab itu, ketika Nabi Muhammad mencela-cela agama nenek moyangnya yang menyembah berhala, lalu menegakkan paham tauhid, oleh orang Quraisy, Nabi Muhammad ﷺ itu dituduh telah shabi' dari agama nenek moyangnya. Menurut riwayat ahli-ahli tafsir, golongan Shabi'in itu memanglah satu golongan dari orang-orang yang pada mulanya memeluk agama Nasrani lalu mendirikan agama sendiri.
Menurut penyelidikan, mereka masih berpegang teguh pada cinta kasih ajaran al-Masih, tetapi di samping mereka pun mulai menyembah Malaikat. Kata setengah orang pula, mereka percaya akan pengaruh bintang-bintang. Ini menunjukkan pula bahwa agama menyembah bintang-bintang pusaka Yunani memengaruhi pula perkembangan Shabi'in ini. Di zaman sekarang penganut Shabi'in masih terdapat sisa-sisanya di negeri Irak. Mereka menjadi warga negara yang baik dalam Republik Irak.
Di dalam ayat ini dikumpulkanlah keempat golongan ini menjadi satu. Bahwa mereka semuanya tidak merasai ketakutan dan duka cita asal saja mereka sudi beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, golongan itu diikuti oleh amal yang saleh. Dan keempat-empat lalu iman kepada Allah dan Hari Akhirat itu akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka.
Ayat ini adalah suatu tuntunan bagi menegakkan jiwa, untuk seluruh orang yang percaya kepada Allah. Baik dia bernama Mukmin atau Muslim pemeluk agama Islam, yang telah mengakui kerasulan Muhammad ﷺ, atau orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in. Di sini kita bertemu syarat yang mutlak.
Syarat pertama iman kepada Allah dan Hari Pembalasan, sebagai inti ajaran dari sekalian agama. Syarat pertama itu belum cukup kalau belum dipenuhi dengan syarat yang kedua, yaitu beramal yang saleh atau berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik, yang berfaedah dan bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat.
Mafhum atau sebaliknya dari yang tertulis adalah demikian, “Meskipun dia telah mengakui beriman kepada Allah (golongan pertama), mengaku beriman mulutnya kepada Nabi Muhammad maka kalau iman itu tidak di-buktikannya dengan amalnya yang saleh, tidak ada pekerjaannya yang utama, tidaklah akan diberikan ganjaran oleh Tuhan,"
Demikian juga orang Yahudi, walaupun mulutnya telah mengakui dirinya Yahudi, penganut ajaran Taurat, padahal tidak diikutinya dengan syarat pertama iman sungguh-sungguh kepada Allah dan Hari Akhirat, dan tidak dibuktikannya dengan amal yang saleh, perbuatan yang baik, berfaedah dan bermanfaat bagi perikemanusiaan, tidaklah dia akan mendapat ganjaran dari Tuhan.
Begitu juga orang Nasrani dan Shabi'in. Hendaklah pengakuan bahwa diri orang Nasrani atau Shabi'in itu dijadikan kenyataan dalam perbuatan yang baik.
Iman kepada Allah dan Hari Akhirat! Inilah pokok pertama, sehingga pengakuan beriman yang pertama bagi orang Islam, pengakuan Yahudi bagi orang Yahudi, pengakuan Nasrani bagi orang Nasrani, pengakuan Shabi'in bagi pemeluk Shabi'in, belumlah sama sekali berarti apa-apa sebelum dijadikan kesadaran dan keyakinan dan diikuti dengan amal yang saleh.
Beriman kepada Allah niscaya menyebabkan iman pula kepada segala wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasui-Nya; tidak membeda-bedakan di antara satu rasul dengan rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang diturunkan.
Di dalam sejarah Rasul ﷺ berjumpalah hal ini. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat-sahabat yang utama, telah lebih dahulu menyatakan iman.
Kemudian baik ketika masih di Mekah maupun setelah berpindah ke Madinah, menyatakan iman pula beberapa orang Yahudi, sebagaimana Abdullah bin Salam, Ubay bin Ka'ab, dan lain-lain. Orang-orang Nasrani pun menyatakan pula iman kepada Allah dan Hari Akhirat yang diikuti dengan amal yang saleh, seumpama Tamim ad-Dari, Adi bin Hatim, atau Kaisar Habsyi (Negus) sendiri dan beberapa lagi yang lain. Cuma yang tidak terdengar riwayatnya ialah orang Shabi'in.
Salman al-Farisi pun berpindah dari agama Majusi lalu memeluk Nasrani. Kemudian dia menyatakan iman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan mengikutinya dengan amal yang saleh. Maka, semua orang yang telah menya-takan iman dan mengikuti dengan bukti ini, hilanglah dari mereka rasa takut, cemas, dan duka cita.
Apa sebabnya?
Apabila orang telah berkumpul dalam suasana iman, dengan sendirinya sengketa akan hilang dan kebenaran akan dapat dicapai. Yang menimbulkan cemas dan takut di dalam dunia ini ialah apabila pengakuan hanya dalam mulut, aku Mukmin, aku Yahudi, aku Nasrani, aku Shabi'in, tetapi tidak pernah diamalkan.
Maka, terjadilah perkelahian karena agama telah menjadi golongan, bukan lagi dakwah kebenaran. Yang betul hanya aku saja, orang lain salah belaka. Orang tadinya mengharap agama akan membawa ketenteraman bagi jiwa, namun kenyataannya hanyalah membawa onar dan peperangan, karena masing-masing pemeluk agama itu tidak ada yang beramal dengan amalan yang baik, hanya amal mau menang sendiri.
Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk sekalian agama dalam dunia ini, janganlah hanya semata-mata mengaku Islam, Yahudi, Nasrani, atau Shabi'in; penga-kuanyang hanya di lidah dan karena keturunan, lalu marah kepada orang kalau dituduh kafir, padahal iman kepada Allah dan Hari Akhirat tidak dipupuk, dan amal saleh yang berfaedah tidak dikerjakan.
Kalau pemeluk sekalian agama telah bertindak zahir dan batin di dalam kehidupan menurut syarat-syarat itu tidaklah akan ada silang sengketa di dunia ini tersebab agama. Tidak akan ada fanatik buta, sikap benci dan dendam kepada pemeluk agama yang lain. Nabi Muhammad sendiri meninggalkan contoh teladan yang amat baik dalam pergaulan antaragama. Beliau bertetangga dengan orang Yahudi lalu beliau beramal saleh terhadap mereka. Pernah beliau menyembelih binatang ternaknya lalu disuruhnya lekas-lekas antarkan sebagian daging sembeiihannya itu ke rumah tetangganya orang Yahudi.
Ketika datang utusan Najran Nasrani menghadap beliau ke Madinah, ketika utusan-utusan itu hendak menghadap di waktu yang ditentukan, semuanya memakai pakaian-pakaian kebesaran agama mereka (sebagaimana yang kita lihat pada pendeta-pendeta Katolik sekarang ini), sehingga mereka terlalu terikat dengan protokol-protokol yang memberatkan dan kurang bebas berkata-kata, lalu beliau suruh tanggalkan saja pakaian itu dan mari bercakap lebih bebas. Yahudi dan Nasrani itu beliau ucapkan dengan kata hormat, “Ya Ahlal-Kitab." Wahai orang-orang yang telah menerima kitab-kitab suci.
Dalam kehidupan kita di zaman modern pun begitu pula. Timbul rasa cemas di dalam hidup apabila telah ada di antara pemeluk agama yang fanatik. Yang kadang-kadang saking fanatiknya, imannya bertukar dengan cemburu, “Orang yang tidak seagama dengan kita adalah musuh kita." Dan ada lagi yang bersikap agresif, menyerang, menghina, dan menyiarkan propagarda agama mereka dan kepercayaan yang tidak sesuai ke dalam daerah negeri yang telah memeluk suatu agama.
Ayat ini sudah jelas menganjurkan persatuan agama, jangan agama dipertahankan sebagai suatu golongan, melainkan hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan otak dingin, manakah dia hakikat kebenaran. Iman kepada Allah dan Hari Akhirat diikuti oleh amal yang saleh.
Kita tidak akan bertemu suatu ayat yang begini penuh dengan toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam Al-Qur'an! Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern. Kalau nafsu loba manusia di zaman modern telah menyebabkan timbul perang-perang besar dan senjata-senjata pemusnah, maka kaum agama hendaklah menciptakan perdamaian dengan mencari dasar kepercayaan kepada Allah dan Hari Akhirat serta membuktikannya dengan amal yang saleh, bukan amal merusak.
Kerap kali menjadi kemusykilan bagi orang yang membaca ayat ini karena disebut yang pertama sekali ialah orang-orang yang telah beriman. Kemudiannya baru disusuli dengan Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in. Setelah itu, disebutkan bahwa semuanya akan diberi ganjaran oleh Tuhan apabila mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat lalu beramal yang saleh. Mengapa orang yang beriman disyaratkan beriman lagi?
Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud di sini barulah iman pengakuan saja. Misalnya mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat, mereka telah mengaku dengan mulut bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Akan tetapi, pengakuan itu baru pengakuan saja, belum diikuti oleh amalan, belum mengerjakan rukun Islam yang lima perkara. Maka, iman mereka itu masih sama saja dengan iman Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in. Apatah lagi orang Islam peta bumi saja atau Islam turunan. Maka, Islam yang semacam itu masih sama saja dengan Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in. Barulah keempatnya itu berkumpul menjadi satu apabila semuanya memperbarui iman kembali kepada Allah dan Hari Akhirat serta mengikutinya dengan perbuatan dan pelaksanaan.
Apabila telah bersatu mencari kebenaran dan kepercayaan, pemeluk segala agama itu akhir kelaknya pasti bertemu pada satu titik kebenaran. Ciri yang khas dari titik kebenaran itu ialah berserah diri dengan penuh ke-ikhlasan kepada Allah yang satu; itulah Tauhid, itulah Ikhlas, dan itulah Islam! Maka dengan demikian, orang yang telah memeluk Islam sendiri pun hendaklah menjadi Islam yang sebenarnya.
Untuk lebih dipahamkan lagi maksud ayat ini, hendaklah kita perhatikan berapa banyaknya orang-orang yang tadinya memeluk Yahudi atau Nasrani di zaman modern ini lalu pindah ke Islam. Mereka yang memeluk Islam itu bukan sembarang orang, bukan orang awam. Seumpama Leopold Weiss, seorang wartawan dan pengarang ternama dari Austria; dahulunya dia beragama Yahudi lalu masuk Islam. Pengetahuannya tentang Islam, pandangan hidup dan keyakinannya, ditulisnya dalam berbagai buku.
Di antara buku yang ditulisnya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab untuk diketahui oleh orang-orang Islam sendiri di negeri Arab, yang telah Islam sejak turun-temurun. Bahkan di waktu dia menyatakan pendapatnya tentang Dajjal di dalam suatu majelis yang dihadiri oleh Mufti Besar Kerajaan Saudi Arabia, Syekh Abdullah bin Bulaihid, beliau ini telah menyatakan kagumnya dan mengakui kebenarannya. Namanya setelah Islam ialah Mohammad Asad.
Pada Mei 1966, seorang ahli ruang angkasa Amerika Serikat bernama Dr. Clark telah menyatakan dirinya masuk Islam lalu memakai nama Dr. Ibrahim Clark. Apa yang menarik hatinya memeluk Islam, kebetulan setelah dia tiba di Indonesia pula? Sebagai seorang ahli ruang angkasa dia bergaul dengan beberapa sarjana Indonesia, beliau mendapat suatu pendirian hidup yang baru dikenalnya, yang tidak didapatnya di Barat, yaitu bahwa sarjana-sarjana beragama Islam itu, yang berkecimpung di dalam bidangnya masing-masing, selalu berpadu satu antara pendapat akal dan ilmu (science)nya dengan kejiwaan. Kesan inilah yang memikat minatnya untuk menyelami Islam sehingga bertemulah dia dengan hakikat yang sebenarnya; memang begitulah ajaran Islam. Akhirnya dengan segenap kesadaran hati, dia memilih Islam sebagai agamanya dengan meninggalkan agama Kristen (Protestan).
Dalam minggu pertama dalam bulan Mei itu juga datang lagi seorang sarjana perempuan bangsa Austria, pergi beriktikafke dalam Masjid Agung Al-Azhar selama tiga hari tiga malam, sambil berdoa kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala moga-moga tercapailah perdamaian di dunia ini dan berdamailah kiranya Perang Vietnam. Dia shalat dengan khusyunya dan dia mengatakan bahwa dia telah memeluk Islam sejak tujuh tahun dan telah tujuh kali mengerjakan puasa Ramadhan. Namanya Dr. Barbara Ployer.
Kita kemukakan ketiga contoh ini di samping beratus-ratus contoh yang lain sebagai Malcolm X, negro dari Amerika, dan lain-lain di seluruh perjuangan dunia ini,
Menurut sabda Nabi ﷺ kepada sahabat beliau Amr bin al-'Ash, ketika beliau ini yang tadinya amat benci kepada Nabi ﷺ lalu masuk Islam dan meminta maaf kepada beliau atas kesalahan-kesalahan yang telah lalu, Nabi ﷺ telah bersabda kepadanya, “Hai, Amr Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu." Artinya, mulai dia memeluk Islam itu habislah segala kesalahan yang lama, dimulailah hidup baru.
Kalau setelah mereka memeluk Islam, mereka melanjutkan studi mereka dan mereka perdalam iman kepada Allah dan Rasul, mereka insafi akan Hari Akhirat, lalu mereka ikuti dengan amal yang saleh, niscaya tinggilah martabat mereka di sisi Tuhan daripada orang-orang yang Islam sejak kecil, Islam karena keturunan, tetapi tidak tahu dan tidak mau tahu hakikat Islam, tidak menyelidiki terus-menerus dan tidak memperdalam.
Telah bertahun-tahun penulis ini mencoba mencari tafsir dari ayat ini, tetapi hasilnya belumlah memuaskan hati penafsir sendiri, apatah lagi yang mendengarnya. Tetapi setelah bertemu suatu riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dari Salman al-Farisi, barulah terasa puas dan tafsir yang telah kita tafsirkan ini adalah berdasarkan kepada riwayat itu.
“Telah meriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari Salman, berkata Saiman bahwasanya aku telah bertanya kepada Rasulullah ﷺ dari hal pemeluk-pemeluk agama yang telah pernah aku masuki lalu aku uraikan kepada beliau bagaimana cara shalat mereka masing-masing dan cara ibadah mereka masing-masing. Lalu aku minta kepada beliau manakah yang benar. Maka beliau jawablah pertanyaanku itu dengan ayat, ‘Innalladzina amanu wal-ladzina hadu.' dan seterusnya itu."
Artinya, bahwa perlainan cara shalat atau cara ibadah adalah hal lumrah bagi berbagai ragam pemeluk agama karena syari'at berubah sebab perubahan zaman. Akan tetapi, manusia tidak boleh membeku di satu tempat, dengan tidak mau menambah penyelidikannya, sehingga bertemu dengan hakikat yang sejati lalu menyerah kepada Tuhan dengan sebulat hati. Menyerah dengan hati puas, itulah dia Islam.
Lantaran itu, tidaklah penulis tafsir ini dapat menerima saja suatu keterangan yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim yang mereka terima dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini telah mansukh, tidak berlaku lagi. Sebab dia telah di-nasikh-kan oleh ayat 58 dari surah Aali ‘Imraan yang berbunyi,
“Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima darinya. Dan dia di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." (Aali ‘Imraan: 85)
Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini, melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad ﷺ dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh.
Kalau dikatakan bahwa ayat ini di-nasikh-kan oleh ayat 85 surah Aali ‘Imraan itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja. Akan tetapi, kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi, pintu dakwah senantiasa terbuka dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetapi dalam kemurniannya sesuai dengan jiwa asli manusia.
Nabi ﷺ menegaskan menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Musa al-Asy'ari,
“Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorang pun dari umat sekarang ini, Yahudi dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka."‘
Dengan hadits ini, jelaslah bahwa kedatangan Nabi Muhammad ﷺ sebagai penutup sekalian nabi (khatimil-anbiyaa) membawa Al-Qur'an sebagai penutup sekalian wahyu bahwa kesatuan umat manusia dengan kesatuan ajaran Allah digenap dan disempurnakan. Dan, kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka orang yang mengaku beriman kepada Allah pasti tidak menolak kedatangan nabi dan rasul penutup itu dan tidak pula menolak wahyu yang dia bawa.
Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian, mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Kalau keterangan telah sampai, tetapi mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. Sebab, iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang dari nabi Allah.
Janganlah orang mengira bahwa ancaman masuk neraka itu suatu paksaan di dunia ini karena itu adalah bergantung pada kepercayaan. Dan, neraka bukanlah lubang-lubang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama tauhid, lalu di-galikan lubang (ukhdtid) dan diunggunkan api di dalamnya lalu dibakar orang-orang yang ingkar itu sampai 20.000 orang banyaknya. Neraka adalah ancaman di hari Akhirat esok karena menolak kebenaran.
Agama Islam telah berkembang luas selama empat belas abad, tetapi pihak kepala gereja-gereja Yahudi dan Nasrani sendiri berusaha besar-besaran menghambat perhatian pemeluknya terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan agama Islam, membuat berbagai kata bohong lalu dinamai ilmiah sehingga terjadilah batas jurang yang dalam di antara mereka dan Islam, dan selalu menganggap bahwa Islam itu musuhnya. Padahal Islam selalu membahasakan mereka dengan hormat, yaitu Ahlul Kitab—pemegang kitab-kitab suci. Dan kedatangan mereka senantiasa ditunggu, bukan dengan paksaan, sebagaimana kelak akan dijelaskan di dalam ayat 256 surah al-Baqarah ini (permulaan Juz 3), melainkan dengan pikiran jernih dan akal yang terbuka.
Dengan sebab itu pula, Bani Israil dengan rentetan ayat-ayat ini tidak terlepas dari seruan dakwah, agar mereka berpikir.
Ayat 63
“Dan (Ingatlah) tatkala telah Kami ambil perjanjian dengan kamu, dan telah Kami angkatkan gunung di atas kamu, ‘Peganglah apa yang telah Kami berikan kepada kamu dengan sungguh-sungguh.'"
Diperingatkan lagi janji yang telah diikat di antara mereka dan Tuhan bahwa mereka akan beriman kepada Allah Yang Tunggal, tidak mempersekutukan dan tidak membuat berhala, hormat kepada kedua ibu bapak, jangan berzina dan mencuri. Lalu diangkatkan gunung ke atas kepala mereka. Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa benar-benar gunung itu diangkat, tetapi setengah penafsiran lagi menolak penafsiran demikian. Karena Allah Mahakuasa berbuat demikian dan itu tidak mustahil bagi Allah, namun yang begitu adalah berisi paksaan. Tentu saja paksaan begitu akan hilang bekasnya kalau gunung itu tidak terangkat lagi. Tetapi ayat yang lain, yaitu ayat 171 dari surah al-A'raaf (surah ke-7), memberikan kejelasan apa arti gunung diangkat di atas mereka itu.
“Dan (Ingatlah) tatkala Kami angkat gunung itu di atas mereka, seakan-akan suatu penudung dan mereka sangka bahwa dia akan jatuh ke atas mereka, ‘Ambillah apa yang Kami datangkan kamu, dan Ingatlah apa yang ada padanya, supaya kamu terpelihara.'" (al-A'raaf: 171)
Ayatini telah menafsirkan ayat yang tengah kita perkatakan ini, yaitu bahwa mereka berdiam di dekat gunung yang tinggi, yang selalu mereka lihat seakan-akan menudungi mereka dan sewaktu-waktu rasa-rasakan jatuh juga menimpa mereka. Mungkin dari gunung itu selalulah menguap asap, tandanya dia berapi. Menjadi peringatan kepada mereka, demikian pun kepada kita umat manusia yang tinggal di lereng-lereng gunung berapi bahwa ancaman Allah selalu ada. Sebab itu, peganglah agama yang didatangkan Allah dengan teguh.
“Dan Ingatlah kamu apa yang ada di dalamnya, yaitu syari'at yang tersebut di dalam kitab Tamat itu, “supaya kamu semuanya takwa."
Yakni terpelihara dari bahaya.
Pendeknya, asal betul-betul kamu pegang isi Taurat, pastilah tidak akan ada selisihmu dengan ajaran Muhammad ﷺ ini.
Peganglah apa yang Kami berikan kepadamu itu dengan sungguh-sungguh, dengan bersemangat dan dengan hati-hati, jangan sebagai menggenggam bara panas, terasa hangat dilepaskan. Pegang benar-benar dari hati sanubari, jangan hanya pegangan mulut. Ingat baik-baik apa yang tertulis di dalamnya; jangan hanya mengaku beragama, padahal isi agama tidak diamalkan. Dengan demikian, barulah ada faedahnya beragama. Barulah mereka akan menjadi orang yang terpelihara atau orang yang takwa.
Ayat ini dilanjutkan kepada Bani Israil,
Ayat 64
“Kemudian, kamu pun berpaling sesudah itu."
Janjimu dengan Tuhan telah kamu lupakan. Kesungguhan telah kamu ganti dengan main-main. Agama hanya menjadi permainan mulut, tidak berurat ke hati.
“Maka, kalau bukanlah karena karunia Allah dan belas-kasihan-Nya atas kamu, sesungguhnya telah jadilah kamu dari orang-orang yang merugi."
Belas kasihan dan karunia Tuhanlah yang menyebabkan kamu masih ada sekarang, masih ada anak-cucu yang akan melanjutkan keturunan. Kalau tidak, sudah lamalah kamu hancur. Maka selama kamu sebagai anak-cucu masih ada, keadaan yang telah hancur karena kesia-siaan nenek moyangmu itu masih dapat kamu perbaiki, yaitu dengan mengakui kebenaran yang dibawa oleh Muhammad ﷺ. Sejarah berjalan terus. Undang-undang Tuhan berlaku terus buat umat manusia. Di saat kini, kaum Bani Israil itu telah dapat mendirikan kembali kerajaannya di tengah-tengah Tanah Arab, di Palestina yang telah dipunyai oleh orang Arab Islam sejak 1.400 tahun dan beratus-ratus tahun sebelum itu telah dikuasai negeri itu oleh orang Romawi dan Yunani. Sudah lebih dari dua ribu tahun tidak lagi orang Yahudi mempunyai negeri itu. Tetapi dengan uang dan pengaruh, mereka menguasai pendapat dunia untuk tidak mengakui negeri Islam itu. Tujuh negara Arab, hanya satu yang tidak resmi negara Islam, yaitu negara Lebanon. Ketujuh Negara Islam itu kalah berperang dengan mereka (1948) dan langsung juga negeri Israel berdiri.
Maka, setelah ditanyai orang kepada Presiden Negeri Mesir (ketika itu Republik Arab Persatuan) Gamal Abdel Nasser, apa sebab tujuh negara Arab dapat kalah oleh satu negara Israel, Nasser menjawab, “Kami kalah ialah karena kami pecah jadi tujuh, sedangkan mereka hanya satu."
Pada 1948, peperangan hebat di antara orang Islam Arab dan Yahudi itu, yang menyebabkan kekalahan Arab, negara-negara Arab baru tujuh buah. Kemudian, tengah buku Tafsir al-Azhar ini masih dalam cetakan yang pertama (Juni 1967), negara Arab tidak lagi tujuh, tetapi telah menjadi tiga belas. Waktu itu, sekali lagi Israel mengadakan serbuan besar-besaran, sehingga dalam enam hari saja lumpuhlah kekuatan Arab Islam, hancur segenap kekuatannya. Beratus buah pesawat terbang kepunyaan Republik Arab Mesir dihancurkan sebelum sempat naik ke udara. Belum pernah negeri-negeri Arab khususnya dan umat Islam umumnya menderita kekalahan sebesar ini walaupun dibandingkan dengan masuknya tentara kaum Salib dari Eropa, sampai dapat mendirikan Kerajaan Palestina Kristen selama 92 tahun, sepuluh abad yang lalu.
Maka, dikaji oranglah apa sebab sampai demikian?
Setengah orang mengatakan karena persenjataan Israel lebih lengkap dan lebih modern. Setengah orang mengatakan bahwa bantuan dari negara-negara Barat terlalu besar kepada Israel, sedangkan Republik Arab Mesir sangat mengharapkan bantuan Rusia. Tetapi di saat datangnya penyerangan besar Israel itu, tidak datang bantuan Rusia itu.
Setengahnya mengatakan bahwa Amerika dan Rusia menasihati Republik Arab Mesir agar jangan menyerang lebih dahulu; kalau sudah diserang, baru membalas. Tetapi Israellah yang memang menyerang lebih dahulu, sedangkan pihak Arab telah taat kepada anjuran Rusia dan Amerika itu.
Akan tetapi, segala analisis itu tidaklah kena-mengena akan jadi sebab-musabab kekalahan. Kalau dikatakan persenjataan Israel lebih lengkap, senjata Republik Arab Mesir tidak kurang lengkapnya. Kalau bukan lengkap persenjataan Mesir, tentu Presiden Gamal Abdel Nasser dan terompet-terompetnya di radio tidak akan berani mengatakan bahwa kalau mereka telah menyerang Israel pagi-pagi, sore harinya mereka sudah bisa menduduki Tel Aviv.
Kalau dikatakan bahwa orang Yahudi Israel itu lebih cerdas dan pintar, sejarah dunia sejak zaman Romawi sampai zaman Arab menunjukkan bahwa bangsa yang lebih cerdas kerap kali dapat dikalahkan oleh yang masih belum cerdas. Bangsa Jerman yang waktu itu masih biadab, telah dapat mengalahkan Romawi. Bangsa Arab yang dikatakan belum cerdas waktu itu, telah dapat menaklukkan Kerajaan Romawi dan Persia.
Sebab, yang utama bukan itu. Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batin yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang-orang Arab yang berperang menangkis serangan Israel atau ingin merebut Palestina sebelum tahun 1967 itu, tidak lagi menyebut-nyebut Islam. Islam telah mereka tukar dengan nasionalisme jahiliyyah atau sosialisme ilmiah ala Marx. Bagaimana akan menang orang Arab yang sumber kekuatannya ialah imannya lalu meninggalkan iman itu, malahan barangsiapa yang masih mempertahankan ideologi Islam dituduh reaksioner.
Nama Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pembangun dari bangsa Arab telah lama ditinggalkan lalu ditonjolkan nama Kari Marx, seorang Yahudi. Jadi, untuk melawan Yahudi, mereka buangkan pemimpin mereka sendiri dan mereka kemukakan pemimpin Yahudi. Dalam pada itu, kesatuan aqidah kaum Muslimin telah dikucar-kacirkan oleh ideologi-ideologi lain, terutama mementingkan bangsa sendiri. Sehingga dengan tidak bertimbang rasa, di Indonesia sendiri, di saat orang Arab bersedih karena kekalahan, negara Republik Indonesia yang penduduknya 90% pemeluk Islam tidaklah mengirimkan utusan pemerintah buat mengobat hati negara-negara itu, tetapi mengundang Kaisar Haile Selassie, seorang kaisar Kristen yang berjuang dengan gigihnya menghapuskan Islam dari negaranya.
Ahli-ahli pikir Islam modern telah sampai kepada kesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul-Maqdis tidaklah akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi (Zionis) itu sebelum orang Arab khususnya dan orang-orang Islam seluruh dunia umumnya mengembalikan pangkalan pikirannya kepada Islam. Sebab, baik Yahudi dengan Zionisnya maupun negara-negara kapitalis dengan Christianisme-nya, yang membantu dengan moril dan materil berdirinya negara Israel itu, keduanya bergabung jadi satu melanjutkan Perang Salib secara modern, bukan untuk menantang Arab karena dia Arab, melainkan menantang Arab karena dia Islam.
Ayat 65
“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar perintah pada hari Sabtu."
Diperingatkan lagi bagaimana sekumpulan Bani Israil melanggar perintah memuliakan hari Sabtu. Memuliakan hari Sabtu, istirahat bekerja pada hari itu dan sediakan dia buat beribadah. Memuliakan hari Sabtu adalah salah satu janji mereka dengan Tuhan. Akan tetapi, mereka mencari helah, memutar hukum dengan cerdik sekali. Kata setengah ahli tafsir, kejadian ini ialah di Danau Thabriah, kata setengah di Ailah dan kata setengah di Madiyan. Di mana pun tempat kejadian tidaklah penting sebab perangai begini bisa saja terjadi di mana-mana karena hendak menghelah-helah (memutar-mutar) hukum.
Mereka tinggal di tepi pantai. Mereka dilarang mengail atau memukat di hari Sabtu. Segala pekerjaan mesti dihentikan di hari itu. Mereka dapat akal buruk; mereka pasang lukah pada hari Jum'at petang hari lalu mereka bangkitkan pada hari Ahad pagi. Sabtu itu sangat banyak ikan keluar. Rupanya ikan sudah mempunyai naluri bahwa mereka tidak akan dipancing dan dipukat pada hari Sabtu.
Mereka merasa bangga sebab telah dapat mempermainkan Allah, tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka telah celaka besar lantaran itu.
“Maka, Kami firmankan. Jadilah kamu kera-kera yang dibenci."
Mereka dikutuk Tuhan sehingga menjadi kera atau beruk semua. Kata setengah penafsir, ada yang jadi babi. Kata setengah penafsir pula, ada yang jadi keledai. Tetapi kalau kita lanjutkan merenungkan ayat itu, jika mereka dikutuk Tuhan menjadi kera, monyet, beruk, atau babi dan keledai, bukan berarti bahwa mesti mereka bertukar bulu, berubah rupa. Akan tetapi, perangai merekalah yang telah berubah menjadi perangai binatang. Rupa masih rupa manusia, tetapi perangai, perangai beruk, adalah lebih hina daripada disumpah menjadi beruk langsung. Sebab kalau beruk berperangai beruk tidaklah heran dan bukanlah adzab. Yang adzab ialah jika manusia berperangai beruk. Orang tidak benci kepada beruk berperangai beruk. Yang orang benci ialah manusia beruk.
Ayat 66
“Maka, Kami jadikanlah dianya sebagai suatu teladan bagi Mereka yang semasa dengannya dan bagi yang di belakangnya."
Itulah orang-orang yang merasa bangga karena telah banyak mendapat keuntungan, tetapi tidak insaf bahwa mereka telah tersisih dari masyarakat manusia yang berbudi.
“Dan pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa."
Karena bagi orang yang bertakwa, biarlah sedikit mendapat asal halal. Asal jangan meng-helah-helah agama dengan cerdik beruk.
Sebab itu, penafsir ini tidaklah berpegang pada setengah ahli tafsir yang menafsirkan bahwa mereka disumpah Tuhan sehingga langsung bertukar jadi beruk, jalan dengan kaki empat, gigi berganti dengan saing. Tetapi lebih hebatlah adzab itu; tubuh tetap tubuh manusia, tetapi perangai sudah menjadi perangai beruk dan kera.
Di dalam riwayat yang lain dari Ibnu Mundzir juga disertai riwayat dari Ibnul Abi Hatim, yang mereka terima dari Mujahid, “Yang disumpah Tuhan sehingga menjadi kera dan monyet itu ialah hati mereka, bukan badan mereka." Kejadian ini adalah sebagai suatu perumpamaan sebagaimana tersebut dalam ayat,
“Laksana keledai memikul kitab-kitab." (al-Jum'ah: 5)
Maka, penafsiran Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir inilah yang lebih dekat pada paham saya sebagai penafsiran sekarang ini.