Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
ٱلصَّدَقَٰتُ
sedekah
لِلۡفُقَرَآءِ
untuk orang-orang fakir
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
dan orang-orang miskin
وَٱلۡعَٰمِلِينَ
dan 'amil/pengurus
عَلَيۡهَا
atasnya (zakat)
وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ
dan para muallaf
قُلُوبُهُمۡ
hati mereka
وَفِي
dan didalam/untuk
ٱلرِّقَابِ
memerdekakan budak
وَٱلۡغَٰرِمِينَ
dan orang-orang yang berhutang
وَفِي
dan untuk
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
وَٱبۡنِ
dan orang-orang
ٱلسَّبِيلِۖ
dalam perjalanan
فَرِيضَةٗ
ketetapan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِۗ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
ٱلصَّدَقَٰتُ
sedekah
لِلۡفُقَرَآءِ
untuk orang-orang fakir
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
dan orang-orang miskin
وَٱلۡعَٰمِلِينَ
dan 'amil/pengurus
عَلَيۡهَا
atasnya (zakat)
وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ
dan para muallaf
قُلُوبُهُمۡ
hati mereka
وَفِي
dan didalam/untuk
ٱلرِّقَابِ
memerdekakan budak
وَٱلۡغَٰرِمِينَ
dan orang-orang yang berhutang
وَفِي
dan untuk
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
وَٱبۡنِ
dan orang-orang
ٱلسَّبِيلِۖ
dalam perjalanan
فَرِيضَةٗ
ketetapan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِۗ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
Terjemahan
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Sesungguhnya zakat-zakat) zakat-zakat yang diberikan (hanyalah untuk orang-orang fakir) yaitu mereka yang tidak dapat menemukan peringkat ekonomi yang dapat mencukupi mereka (orang-orang miskin) yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat menemukan apa-apa yang dapat mencukupi mereka (pengurus-pengurus zakat) yaitu orang yang bertugas menarik zakat, yang membagi-bagikannya, juru tulisnya, dan yang mengumpulkannya (para mualaf yang dibujuk hatinya) supaya mau masuk Islam atau untuk memantapkan keislaman mereka, atau supaya mau masuk Islam orang-orang yang semisal dengannya, atau supaya mereka melindungi kaum Muslimin. Mualaf itu bermacam-macam jenisnya; menurut pendapat Imam Syafii jenis mualaf yang pertama dan yang terakhir pada masa sekarang (zaman Imam Syafii) tidak berhak lagi untuk mendapatkan bagiannya, karena Islam telah kuat. Berbeda dengan dua jenis mualaf yang lainnya, maka keduanya masih berhak untuk diberi bagian. Demikianlah menurut pendapat yang sahih (dan untuk) memerdekakan (budak-budak) yakni para hamba sahaya yang berstatus mukatab (orang-orang yang berutang) orang-orang yang mempunyai utang, dengan syarat bila ternyata utang mereka itu bukan untuk tujuan maksiat; atau mereka telah bertobat dari maksiat, hanya mereka tidak memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya, atau diberikan kepada orang-orang yang sedang bersengketa demi untuk mendamaikan mereka, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan (untuk jalan Allah) yaitu orang-orang yang berjuang di jalan Allah tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan (dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan) yaitu yang kehabisan bekalnya (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan) lafal fariidhatan dinashabkan oleh fi'il yang keberadaannya diperkirakan (Allah; dan Allah Maha Mengetahui) makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) dalam penciptaan-Nya. Ayat ini menyatakan bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang-orang selain mereka, dan tidak boleh pula mencegah zakat dari sebagian golongan di antara mereka bilamana golongan tersebut memang ada. Selanjutnya imamlah yang membagi-bagikannya kepada golongan-golongan tersebut secara merata; akan tetapi imam berhak mengutamakan individu tertentu dari suatu golongan atas yang lainnya. Huruf lam yang terdapat pada lafal lilfuqaraa` memberikan pengertian wajib meratakan pembagian zakat kepada setiap individu-individu yang berhak. Hanya saja tidak diwajibkan kepada pemilik harta yang dizakati, bilamana ia membaginya sendiri, meratakan pembagiannya kepada setiap golongan, karena hal ini amat sulit untuk dilaksanakan. Akan tetapi cukup baginya memberikannya kepada tiga orang dari setiap golongan. Tidak cukup baginya bilamana ternyata zakatnya hanya diberikan kepada kurang dari tiga orang; demikianlah pengertian yang disimpulkan dari ungkapan jamak pada ayat ini. Sunah telah memberikan penjelasannya, bahwa syarat bagi orang yang menerima zakat itu, antara lain ialah muslim, hendaknya ia bukan keturunan dari Bani Hasyim dan tidak pula dari Bani Muthalib.
Tafsir Surat At-Taubah: 60
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Setelah Allah menyebutkan bantahan orang-orang munafik yang bodoh kepada Nabi ﷺ serta celaan mereka kepada Nabi ﷺ dalam pembagian harta zakat maka Allah menjelaskan bahwa Dialah yang membagikannya dan Dialah yang menjelaskan hukumnya serta mengatur urusannya, Dia tidak akan menyerahkan hal tersebut kepada siapa pun. Maka Allah membagi-bagikannya di antara mereka yang telah disebutkan di dalam ayat ini.
Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnah-nya telah meriwayatkan melalui hadits Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu An'am -yang berpredikat agak dha’if- dan Ziyad ibnu Na'im, dari Ziyad ibnul Haris As-Sadai yang menceritakan bahwa ia datang kepada Nabi ﷺ, lalu ia berbaiat (mengucapkan janji setia) kepadanya. Kemudian datanglah seorang lelaki dan lelaki itu berkata kepada Nabi ﷺ, "Berilah saya sebagian dari zakat itu." Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Sesungguhnya Allah tidak rela kepada keputusan seorang nabi pun, tidak pula orang lain dalam masalah zakat itu, melainkan Dia sendirilah yang memutuskannya. Maka Dia membagi-bagikannya kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk di antara delapan golongan itu, maka aku akan memberimu.”
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan delapan golongan ini, apakah pembagian harta zakat harus diberikan kepada delapan golongan itu secara penuh, ataukah hanya kepada yang ada saja di antara kedelapan golongan itu? Ada dua pendapat mengenainya.
Pendapat pertama mengatakan bahwa harta zakat harus dibagikan kepada semua golongan yang delapan itu. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii dan sejumlah ulama.
Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib membagikan harta zakat kepada semua golongan yang delapan itu, melainkan boleh diberikan kepada satu golongan saja di antara mereka. Semua harta zakat boleh diberikan kepadanya, sekalipun golongan yang lain ada. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Malik dan sejumlah ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, antara lain adalah Umar, Huzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Sa'id ibnu Jubair dan Maimun ibnu Mahran.
Ibnu Jarir memberikan komentarnya, bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh kebanyakan ahlul 'ilmi. Dengan demikian, penyebutan kedelapan golongan dalam ayat ini hanyalah semata-mata untuk menerangkan pengalokasiannya saja, bukan wajib memenuhi kesemuanya. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai alasan dan dalil masing-masing kedua golongan tersebut, uraiannya disebutkan di dalam kitab lain. Sesungguhnya kaum fakir miskin disebutkan lebih dahulu dalam ayat ini daripada golongan yang lain, karena mereka lebih memerlukannya ketimbang golongan lain, menurut pendapat yang terkenal; juga mengingat hajat dan keperluan mereka yang sangat mendesak.
Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin lebih buruk keadaannya daripada orang fakir. Pendapatnya ini seirama dengan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad yang menceritakan bahwa Umar pernah mengatakan. “Orang fakir bukan orang yang tidak mempunyai harta, tetapi orang yang miskin akhlak dan pekerjaan (usaha)." Ibnu Ulayyah mengatakan, “Menurut kami, istilah akhlak artinya pekerjaan, sedangkan menurut jumhur ulama kebalikannya."
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan Al-Basri, dan Ibnu Zaid; serta dipilih oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang, bahwa orang fakir ialah orang yang menjaga kehormatannya dari meminta-minta, dia tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain. Sedangkan orang miskin ialah orang yang meminta-minta, berkeliling mengemis dan mengikuti orang-orang untuk meminta darinya.
Qatadah mengatakan bahwa orang fakir ialah orang yang berpenyakit menahun, sedangkan orang miskin ialah orang (yang tidak punya, tetapi) tubuhnya sehat.
Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan fuqara dalam ayat ini ialah kaum fuqara Muhajirin. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang-orang Arab Badui tidak boleh diberi sesuatu pun dari harta zakat itu.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair dan Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza.
Ikrimah mengatakan. ''Janganlah kalian katakan kepada orang-orang muslim yang tidak punya bahwa mereka adalah orang-orang miskin. Sesungguhnya orang-orang miskin itu hanyalah kaum Ahli Kitab."
Berikut ini kami sebutkan hadits-hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut. Mengenai orang-orang fakir diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda. "Zakat itu tidak halal bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi bermata pencaharian.”
Hadits ini merupakan riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam At-Tirmidzi. Imam Ahmad, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hal yang serupa dari Abu Hurairah.
Dari Ubaidillah ibnu Addi ibnul Khiyar, disebutkan bahwa dua orang lelaki pernah menceritakan kepadanya; keduanya pernah datang kepada Nabi ﷺ meminta bagian harta zakat. Maka Nabi ﷺ memandang tajam kepada keduanya, dan Nabi ﷺ menilai keduanya adalah orang yang kuat lagi sehat. Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Jika kamu berdua menginginkannya, maka aku akan memberi kamu berdua; tetapi tidak ada bagian dari zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi mempunyai kasab (mata pencaharian).”
Hadits riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam An-Nasai dengan sanad yang jayyid (baik) lagi kuat.
Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarh Wat Ta'dil mengatakan bahwa Abu Bakar Al-Absi mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir.” (At-Taubah: 60) Lalu ia berkata bahwa mereka adalah Ahli Kitab. Umar ibnu Nafi meriwayatkannya dari dia, bahwa ia telah mendengar ayahnya mengatakan hal tersebut. Pendapat ini sangat aneh, sekalipun sanadnya dianggap shahih; karena sesungguhnya Abu Bakar Al-Absi ini sekalipun Abu Hatim tidak me-nas-kan predikat majhul (misteri)nya tetapi kedudukannya sama dengan orang yang majhul.
Adapun mengenai orang-orang miskin, haditsnya disebutkan melalui Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu ia pergi setelah diberi sesuap atau dua suap makanan dan setelah diberi sebiji atau dua biji buah kurma.” Mereka (para sahabat) bertanya, "Lalu siapakah orang yang miskin itu, wahai Rasulullah?” Nabi ﷺ bersabda: “Orang yang tidak menemukan kecukupan yang menjamin kehidupannya; dan keadaannya tidak dikenal, hingga sulit untuk diberi sedekah; dan ia tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain.” Hadits riwayat Syaikhain.
Adapun orang-orang yang menjadi pengurus zakat atau amilin, maka mereka adalah orang-orang yang ditugaskan menagih zakat dan mengumpulkannya: mereka mendapat hak dari sebagian zakat. Tetapi para 'amilin itu tidak boleh dari kalangan kerabat Rasulullah ﷺ yang haram memakan harta zakat karena berdasarkan apa yang disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim, dari Abdul Muttalib ibnu Rabi'ah ibnul Haris yang mengatakan bahwa ia pergi bersama Al-Fadl ibnu Abbas menghadap Rasulullah ﷺ untuk menawarkan dirinya menjadi amil zakat. Tetapi Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad, tidak pula bagi keluarga Muhammad. Sesungguhnya zakat itu hanyalah kotoran (harta) manusia.”
Adapun mengenai muallafah qulubuhum atau orang-orang yang dijinakkan hatinya untuk masuk Islam, mereka terdiri atas berbagai golongan. Antara lain ialah orang yang diberi agar mau masuk Islam, seperti apa yang pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ kepada Safwan ibnu Umayyah. Beliau ﷺ memberinya bagian dari ganimah Perang Hunain, padahal Safwan ibnu Umayyah ikut dalam Perang Hunain dalam keadaan masih musyrik. Safwan ibnu Umayyah mengatakan, "Rasulullah ﷺ terus-menerus memberiku," sehingga beliau menjadi orang yang paling ia sukai, padahal sebelumnya Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling ia benci.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yunus, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnu Musayyab, dari Safwan ibnu Umayyah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ memberinya bagian dalam Perang Hunain. Dan bahwa saat itu Rasulullah ﷺ merupakan orang yang paling tidak disukai olehnya. Tetapi Rasulullah ﷺ terus-menerus memberinya hingga Rasulullah ﷺ menjadi orang yang paling dia sukai.
Imam Muslim dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui hadits Yunus, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama.
Di antara mereka ada orang yang diberi agar Islamnya bertambah baik dan imannya bertambah mantap dalam hatinya, seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dalam Perang Hunain kepada sejumlah orang dari kalangan pemimpin dan orang-orang terhormat Mekah yang dibebaskan. Kepada setiap orang dari mereka, Rasulullah ﷺ memberinya seratus ekor unta. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku benar-benar memberi kepada seorang lelaki, padahal ada orang lain yang lebih aku sukai daripadanya, karena aku takut bila Allah menyeretnya dengan muka di bawah ke dalam neraka Jahanam.”
Di dalam kitab Shahihain disebutkan melalui Abu Sa'id, bahwa Ali mengirimkan bongkahan emas yang masih ada tanahnya dari negeri Yaman kepada Nabi ﷺ. Kemudian Nabi ﷺ membagi-bagikannya di antara empat orang, yaitu Al-Aqra' ibnu Habis, Uyaynah ibnu Badar, Alqamah ibnu Ilasah, dan Zaid Al-Khair, lalu beliau ﷺ bersabda: “(Aku memberi mereka untuk) aku jinakkan hati mereka (kepada Islam). Di antara mereka ada orang yang diberi dengan harapan agar orang-orang yang serupa dengannya mau masuk Islam pula. Dan di antara mereka terdapat orang yang diberi agar dia memungut zakat dari orang-orang yang berdekatan dengannya, atau agar dia mau membela negeri kaum muslim dari segala marabahaya yang datang dari perbatasan.”
Perincian keterangan mengenai hal ini disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih. Apakah kaum muallafah qulubuhum tetap diberi sesudah masa Nabi ﷺ? Hal ini masih diperselisihkan. Telah diriwayatkan dari Umar, Amir, Asy-Syabi dan sejumlah ulama, bahwa mereka tidak pernah memberi kaum muallafah qulubuhum sesudah Nabi ﷺ, karena Allah telah menguatkan Islam dan para pemeluknya serta menjadikan mereka berkuasa penuh di negerinya dengan mantap dan stabil, serta semua hamba tunduk kepada mereka.
Ulama lainnya mengatakan, "Bahkan mereka masih tetap diberi, karena Rasulullah ﷺ masih tetap memberi mereka sesudah kemenangan atas Mekah dan sesudah kalahnya orang-orang Hawazin. Hal ini merupakan suatu perkara yang terkadang diperlukan, maka sebagian dari harta zakat diberikan kepada mereka yang masih dijinakkan hatinya untuk memeluk Islam."
Adapun mengenai budak-budak, maka diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri, Muqatil ibnu Hayyan, Umar ibnu Abdul Aziz, Sa'id ibnu Jubair, An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Ibnu Zaid, bahwa mereka adalah budah-budak Mukatab.
Hal yang serupa telah diriwayatkan pula dari Abu Musa Al-Asy'ari. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dan Al-Laits.
Ibnu Abbas dan Al-Hasan mengatakan bahwa tidak mengapa budak dimerdekakan dari harta zakat. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Ishaq. Dengan kata lain, istilah ar-riqab lebih umum, mencakup mukatab dan lainnya. Harta zakat itu dibelikan budak, lalu dimerdekakan.
Telah disebutkan oleh banyak hadits tentang pahala memerdekakan budak dari belenggu perbudakan, dan bahwa Allah memerdekakan setiap anggota tubuh dari budak itu setiap anggota tubuh dari orang yang memerdekakannya, hingga kemaluan dengan kemaluan (yakni dari api neraka). Hal ini tiada lain karena pembalasan itu disesuaikan dengan jenis amalnya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:”Dan tidaklah kalian diberi pembalasan melainkan terhadap apa yang telah kalian kerjakan.” (Ash-Shaffat: 39)
Dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Ada tiga macam orang yang pasti ditolong oleh Allah, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, budak mukatab yang berniat untuk melunasinya, dan orang yang menikah dengan niat hendak memelihara kehormatannya.”
Hadits ini merupakan riwayat Imam Ahmad dan Ahlus Sunan, kecuali Imam Abu Daud.
Di dalam kitab Musnad disebutkan melalui Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pernah datang seorang lelaki, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah aku kepada suatu amal yang dapat mendekatkan diriku ke surga dan menjauhkan diriku dari neraka." Maka Nabi ﷺ bersabda: “Merdekakanlah budak dan lepaskanlah tanggungan (leher)nya.” Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah pengertian keduanya sama?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak. Memerdekakan budak artinya kamu memerdekakannya sendiri, sedangkan melepaskan tanggungannya ialah kamu membantu pelunasannya.”
Adapun istilah garimun atau orang-orang yang berutang, mereka terdiri atas beberapa golongan; di antaranya ialah orang yang menanggung suatu tanggungan atau menjamin suatu utang, hingga ia diharuskan melunasinya, lalu utangnya itu menghabiskan semua hartanya. Atau ia tenggelam dalam utangnya sehingga tidak mampu melunasinya, atau utang yang menghabiskan semua hartanya itu ia lakukan dalam maksiat, kemudian ia bertobat. Maka terhadap mereka semua itu diberikan sebagian dari harta zakat.
Dalil asal dalam bab ini adalah hadits Qubaisah ibnu Mukhariq Al-Hilali yang menceritakan bahwa ia menanggung suatu tanggungan utang, lalu ia datang menghadap Rasulullah ﷺ untuk meminta sebagian dari harta zakat guna melunasinya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tinggallah kamu hingga harta zakat datang kepada kita, maka akan kami perintahkan untuk memberikan sebagiannya kepadamu.” Selanjutnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Qubaisah, sesungguhnya meminta itu tidak halal kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu bagi seorang lelaki yang menanggung suatu tanggungan utang, maka dihalalkan baginya meminta hingga ia dapat melunasinya, kemudian menahan diri dari meminta-minta. Dan seorang lelaki yang tertimpa suatu musibah hingga semua hartanya habis, maka dihalalkan baginya meminta-minta hingga ia memperoleh pegangan bagi kehidupannya, atau kecukupan bagi kehidupannya. Dan seorang lelaki yang tertimpa kemiskinan, hingga ada tiga orang yang berakal (bijak) dari kalangan kerabat dalam kaumnya mengatakan bahwa sesungguhnya si Fulan telah jatuh miskin, maka dihalalkan baginya meminta-minta hingga beroleh pegangan kehidupan atau kecukupan bagi penghidupannya. Adapun meminta-minta yang bukan berdasarkan alasan tersebut, maka hal itu merupakan barang haram yang dimakan oleh pelakunya.”
Hadits ini merupakan riwayat Imam Muslim.
Dari Abu Sa'id, disebutkan bahwa di masa Rasulullah ﷺ pernah ada seorang lelaki yang tertimpa suatu musibah, karena buah-buahan yang dibelinya busuk semua, hingga ia berutang banyak. Maka Nabi ﷺ bersabda, "Bersedekahlah kalian untuknya." Maka orang-orang (para sahabat) memberikan sedekah mereka kepadanya, tetapi hal tersebut masih juga belum dapat melunasi utangnya. Lalu Nabi ﷺ bersabda kepada para pemilik piutangnya: “Ambillah apa yang kalian dapati, dan tidak ada lagi bagi kalian kecuali hanya itu.” (Riwayat Muslim).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Musa, dari Abu Imran Al-Juni, dari Qais ibnu Yazid, dari Qadi Masriyyain, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Allah menyeru orang yang berutang kelak di hari kiamat hingga orang itu diberdirikan di hadapan-Nya.”
Lalu Allah berfirman, "Wahai anak Adam, mengapa kamu mengambil utang ini, dan mengapa engkau sia-siakan hak-hak orang lain?” Maka ia menjawab, "Wahai Tuhanku. sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku telah mengambil utang itu dan aku tidak memakan dan meminum serta tidak menyia-nyiakannya, tetapi aku terkena kebakaran, dan adakalanya kecurian dan adakalanya kehilangan.”
Maka Allah berfirman, "Benarlah apa yang dikatakan hamba-Ku, Aku lebih berhak untuk melunaskannya pada hari ini daripada kamu.” Kemudian Allah memerintahkan kepada sesuatu, lalu sesuatu itu diletakkan pada salah satu sisi neraca orang itu sehingga kebaikan-kebaikannya lebih berat ketimbang keburukan-keburukannya, akhirnya dia masuk surga berkat karunia dan rahmat Allah.
Adapun mengenai sabilillah, di antara mereka adalah orang-orang yang berperang tetapi tidak memperoleh hak (gaji/bayaran) dari pemerintah. Menurut Imam Ahmad dan Al-Hasan ibnu Ishaq, melakukan ibadah haji termasuk sabilillah, karena berdasarkan hadits yang me-nas-kannya.
Ibnu Sabil ialah seorang musafir yang melewati suatu kota, sedangkan ia tidak lagi mempunyai suatu bekal pun untuk melanjutkan perjalanannya. Maka ia diberi dari harta zakat sejumlah bekal yang cukup untuk memulangkannya, sekalipun di negerinya dia adalah orang yang berharta. Demikian pula hukumnya terhadap orang yang hendak melakukan suatu perjalanan dari negerinya, sedangkan ia tidak mempunyai bekal; maka ia dapat diberi dari harta zakat untuk bekal yang mencukupinya pulang pergi.
Dalil yang menyatakan hal ini adalah ayat di atas, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui Ma'mar, dari Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yazar, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Zakat tidak halal bagi orang yang berkecukupan kecuali lima macam orang, yaitu orang yang mengurus zakat atau seorang lelaki yang membelinya dari hartanya, atau orang yang berutang, atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang miskin yang diberi bagian dari harta zakat, lalu ia menghadiahkannya kepada orang yang kaya.”
Kedua Sufyan telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam dari ‘Atha’ secara mursal.
Menurut riwayat Imam Abu Daud dari Atiyyah Al-Aufi dari Abu Sa'id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali bagi yang sedang berjuang di jalan Allah dan yang sedang menjadi ibnu sabil, atau tetangga yang fakir, lalu ia menghadiahkannya kepadamu atau mengundangmu (kepada jamuannya).”
Firman Allah ﷻ: “Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (At-Taubah: 60)
Yakni ketetapan yang telah dipastikan oleh Allah, Dialah yang memutuskan dan yang membagi-bagikannya.
“Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)
Maksudnya, mengetahui lahiriah semua perkara, juga batiniahnya serta mengetahui kemaslahatan hamba-hamba-Nya.
“Lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60) dalam semua ucapan-Nya, perbuatan-Nya, semua hukum serta syariat-Nya. Tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb kecuali Dia.
Setelah ayat sebelumnya menyatakan bagaimana orang-orang munafik telah mencela Rasul dalam persoalan pembagian harta, baik zakat maupun ganimah, maka ayat ini menjelaskan secara terperinci siapa sesungguhnya yang berhak menerima zakat itu. Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, yaitu orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga kebutuhan primernya tidak terpenuhi, orang miskin, yakni orang yang memiliki penghasilan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak, baik kedua kelompok itu meminta-minta maupun tidak, amil zakat, orang-orang yang ditugaskan untuk mengelola dana zakat, yang dilunakkan hatinya atau orang yang baru masuk Islam, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berutang demi memenuhi kebutuhan primernya yang jumlahnya melebihi penghasilannya, untuk orang yang aktivitasnya berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan dengan perjalanan yang mubah dan kehabisan bekal. Zakat itu sebagai kewajiban dari Allah bagi setiap muslim yang mampu. Allah Maha Mengetahui apa saja yang terkait dengan kemaslahatan hambahamba-Nya, Mahabijaksana atas segala aturan dan kebijakan-Nya.
Ayat sebelumnya menjelaskan tuduhan orang-orang munafik kepada Rasulullah yang dianggapnya telah berbuat curang atau tidak adil berkenaan dengan pembagian zakat atau ganimah, berikut ini diuraikan kembali ucapan dan gangguan orang-orang munafik ketika berada di tengah-tengah Rasulullah. Dan di antara mereka, orang-orang munafik, ada orang-orang yang menyakiti hati Nabi Muhammad padahal beliau adalah sosok yang agung. Mereka telah menuduh beliau tidak adil dan juga mengatakan kepada kaum mukmin atau sesama orang munafik, Nabi itu terlalu cepat untuk memercayai semua apa yang didengarnya hanya karena diperkuat dengan sumpah, padahal belum dicek kebenarannya. Namun, beliau hanya memercayai apa saja yang membawa kebaikan dan kemaslahatan umatnya. Karena itu, katakanlah, wahai Nabi Muhammad, kepada mereka, Memang benar, kalau dia selalu mendengarkan setiap informasi yang disampaikan kepadanya dengan penuh perhatian, namun, dia tidaklah seperti yang kamu tuduhkan itu, sebab dia hanya mempercayai semua atau apa saja yang baik bagi kamu, dia beriman kepada Allah dan tentunya juga malaikat yang menyampaikan informasi, memercayai orang-orang mukmin yang dengan iman itulah mereka terhalang untuk melakukan kebohongan dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu. Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah, baik di kala beliau masih hidup maupun sudah wafat, baik dengan ucapan maupun sikap, akan mendapat azab yang pedih di akhirat kelak. Sebab, perasaan cinta itulah yang akan melahirkan penghormatan yang tulus kepada yang dicintai dan tidak akan pernah menyakitinya.
.
Sadaqah yang dimaksud dalam ayat ini ialah sadaqah wajib yang dikenal dengan zakat sebagai kewajiban dari Allah terhadap kaum Muslimin yang telah memenuhi syarat-syaratnya untuk mengeluarkan kewajiban zakat, demi untuk memelihara kemaslahatan umat. Mengenai pensyariatan zakat ini diutarakan dalam firman Allah:
Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka. (at-Taubah/9: 103)
Dengan demikian jelaslah bahwa zakat disyariatkan untuk membersihkan diri dari harta yang mungkin didapat dengan cara yang kurang wajar, mendorong pemiliknya agar bersyukur kepada Allah atas rezki yang diberikan-Nya. Yang berhak menerima zakat dalam ayat ini ada 8 golongan sebagai berikut:
Pertama: Orang fakir, yaitu orang yang mempunyai harta dan mata pencaharian yang tidak mencukupi dan tidak meminta-minta, demikian menurut Imam Syafii.
Kedua: Orang miskin, yaitu orang yang mempunyai harta atau mata pencaharian tetapi tidak mencukupi kebutuhan sehingga meminta-minta merendahkan harga diri, demikian menurut Imam Syafii. Menurut Imam Abu Hanifah miskin ialah apa yang dikatakan fakir menurut pengertian Imam Syafii, dan yang dikatakan miskin menurut Imam Syafii adalah fakir menurut Imam Abu Hanifah.
Ketiga: Orang-orang yang menjadi amil zakat, yaitu orang-orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan, mengurus dan menyimpan harta zakat itu baik mereka yang bertugas mengumpulkan atau menyimpan harta zakat sebagai bendahara maupun selaku pengatur administrasi pembukuan, baik mengenai penerimaan maupun pembagian (penyaluran). Golongan amil ini menerima pembagian zakat sebagai imbalan pekerjaan mereka. Disebutkan dalam sebuah riwayat:
Ibnu as-Sadi al-Maliki berkata, "Umar mengangkat aku selaku petugas pengumpulan zakat. Setelah selesai dan aku serahkan kepadanya zakat yang terkumpul, ia memerintahkan agar aku diberi bagian, kemudian aku berkata, bahwasanya saya mengerjakan itu karena Allah, lalu beliau menjawab, 'Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu, bahwasanya aku pernah menjadi amil zakat pada masa Rasulullah, kemudian Rasulullah memberikan kepadaku upah, maka aku jawab sebagaimana jawabanmu, maka berkata Rasulullah kepadaku: "Apabila kamu diberikan sesuatu tanpa kamu minta maka makanlah (terimalah) dan bersedekahlah." (Riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).
Keempat: Muallaf, yaitu orang yang perlu dihibur hatinya agar masuk Islam dengan mantap atau orang-orang yang dikhawatirkan memusuhi dan mengganggu kaum Muslimin atau orang yang diharapkan memberi bantuan kepada kaum Muslimin.
Muallaf ada tiga golongan:
a. Golongan orang-orang kafir yang berpengaruh dan diharapkan (masuk Islam) sebagaimana perlakuan Nabi Muhammad terhadap shafwan bin Umayah pada ketika penaklukan kota Mekah. Nabi memberi keamanan kepada shafwan dengan maksud agar ia dapat merasakan kebaikan agama Islam. Nabi memberikan pula kepadanya seekor unta beserta yang ada di punggung unta itu sehingga akhirnya shafwan tertarik masuk Islam dengan kesadaran. Dia berkata, "Sesungguhnya Muhammad banyak memberiku ketika aku memandangnya sebagai manusia yang paling kubenci, sehingga dengan perlakuan ramah-tamahnya kepadaku jadilah Muhammad menurut pandanganku sebagai manusia yang paling kucintai." Demikianlah shafwan akhirnya menjadi seorang Islam yang baik.
b. Golongan orang-orang kafir yang miskin kemudian masuk Islam sampai imannya mantap. Untuk memantapkan dan meneguhkan keimanan mereka Rasulullah pernah memberikan sebagian harta rampasan perang kepada mereka yang masih lemah imannya dari kalangan ahli Mekah meskipun di antara mereka ada yang munafik.
c. Golongan Muslimin yang mendiami daerah perbatasan dengan orang kafir. Mereka ini diberi zakat karena diharapkan kewaspadaan mereka dalam mempertahankan kawasan kaum Muslimin dan memperhatikan gerak-gerik musuh.
Kelima: Untuk usaha membebaskan perbudakan. Dengan cara yang bijaksana Islam memberantas perbudakan. Dalam rangka pembebasan budak, disediakan dana yang diambil dari zakat yang dipergunakan untuk membeli budak dan membebaskannya atau diberikan kepada seorang budak yang telah mendapat jaminan dari tuannya untuk melepaskan dirinya dengan membayar sebanyak harta yang ditentukan. Budak yang seperti ini dinamakan "mukatab". Seperti orang yang disandera, pekerja yang tertuduh membunuh dapat dibebaskan dengan uang.
Al-Bara' bin 'Azib berkata, "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata:
"Tunjukilah aku kepada amalan yang mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari api neraka." Maka Rasulullah menjawab, "Merdekakanlah budak atau berusahalah melepaskannya." Laki-laki itu berkata, "Hai Rasulullah, tidakkah kedua hal itu satu (serupa)?" Nabi menjawab, "Tidak, memerdekakan budak ialah engkau sendirian yang memerdekakannya, sedang melepaskan budak adalah engkau membantu membayar harganya (uang tebusannya)." (Riwayat Ahmad dan al-Bukhari dari al-Barra' bin 'Azib).
Keenam: Orang yang berhutang. Golongan ini terdiri dari dua tingkatan:
a. Orang yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada jalan yang bukan maksiat. Mereka ini berhak menerima zakat jika mereka tidak mempunyai kesanggupan untuk membayar hutang yang menjadi tanggungannya.
b. Golongan yang berhutang untuk kepentingan umum. Mereka ini berhak menerima zakat meskipun mereka orang-orang mampu (orang kaya).
Ketujuh: Sabilillah. Perkataan "sabilillah" mempunyai dua arti. Pertama, arti khusus, yaitu orang-orang yang secara suka-rela menjadi tentara melakukan jihad, membela agama Allah terhadap orang-orang kafir yang mengganggu keamanan kaum Muslimin. Kedua, arti umum, yaitu segala perbuatan yang bersifat kemasyarakatan yang ditujukan untuk mendapatkan keridaan Allah seperti: pengadaan fasilitas umum, beasiswa untuk pendidikan, dan untuk dakwah.
Para ulama empat mazhab berpegang kepada arti yang pertama, tetapi sebagian ulama mempunyai pendirian yang mencakup pengertian khusus dan pengertian umum atas dasar kaidah ushul fiqh
Yang menjadi pegangan ialah umumnya pengertian lafaz (sesuatu nash) tidak pada kekhususan sebab (nash diucapkan/diturunkan)."
Atas dasar ini, pembangunan atau pemeliharaan mesjid dan madrasah demikian juga untuk kegiatan ulama dan para mubalig dapat diambil dari harta zakat.
Kedelapan: Ibnu Sabil. Orang yang sedang musafir yang memerlukan pertolongan meskipun ia mempunyai kekayaan di negerinya. Kepada musafir yang seperti ini dapat diberikan bantuan dari harta zakat meskipun perjalanannya selaku turis selama ia tidak bertujuan maksiat dari perjalanannya itu.
Kedelapan golongan tersebut adalah ketentuan Allah yang wajib dipedomani oleh umat Islam. Allah Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui siapa di antara mereka yang mampu dan yang memerlukan pertolongan. Allah Mahabijaksana dalam mengatur ketentuan-ketentuan dan petunjuk-petunjuk yang ditujukan kepada orang-orang yang mampu sehingga jiwa mereka menjadi bersih dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada mereka. Kedelapan golongan yang telah diterangkan dalam ayat ini dapat dibagi atas dua golongan:
a. Pertama, golongan yang menerima zakat langsung menjadi milik pribadi, mereka ialah fakir miskin, amil, orang-orang yang menanggung hutang, muallaf dan musafir. Zakat yang diberikan kepada mereka ini adalah menjadi hak milik mereka.
b. Kedua, golongan yang menerima zakat untuk kepentingan umum. Golongan ini berupa instansi dan badan, terdiri dari:
1. Fi ar-Riqab, yaitu usaha membebaskan budak. Badan amil zakat secara langsung atau dengan perantaraan organisasi tertentu dapat membeli semua budak yang akan dijual oleh pemiliknya atau yang ada di pasar-pasar budak untuk dimerdekakan.
2. Fi Sabilillah, yaitu segala kepentingan agama yang bersifat umum sebagaimana diterangkan di atas.
Sebagian mufasir yang didukung oleh ulama Fiqih memandang hanya dari delapan golongan tersebut, empat golongan termasuk golongan pertama yaitu: fakir, miskin, amil, dan muallaf. Sedangkan empat golongan yang terakhir yaitu: pembebasan budak, pembebasan hutang untuk kepentingan umum, fi sabilillah dan ibnu sabil adalah termasuk golongan kedua yaitu untuk kemaslahatan umum.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
YANG MUSTAHIK MENERIMA ZAKAT
Ayat 60
“Sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakfo dan orang-orang miskin."
Yang mustahak atau yang berhak mendapat pembagian zakat (sedekah) itu adalah delapan jenis, sebagai tersebut dalam ayat ini atau tujuh jenis. Sebab para ulama banyak memperbincangkan tentang jenis-jenis fakir dan miskin ini. Kata setengah mereka, orang yang fakir dan miskin sama saja keadaannya. Yaitu sama-sama tidak mampu, tidak berke-cukupan, melarat, sengsara. Tetapi setengah mereka pula mengatakan bahwa fakir itu lebih melarat dari miskin. Ada yang memisalkan, jika seseorang memerlukan belanja hidup tiap hari misalnya 100 rupiah. Bagaimanapun dia berusaha, dia hanya mendapat kurang dari 50 rupiah. Itulah orang fakir. Dan ada orang yang berusaha mencari 100 rupiah, tetapi yang dapat dihasilkannya, hanya kurang dari 100 rupiah, tetapi tidak di bawah 50 rupiah, itulah orang yang miskin.
Demikian pendapat setengah penafsir.
Dan ada pula yang berkata bahwa miskin, lebih susah hidupnya dari fakir. Tetapi Al-Qur'an satu kali pernah memberi kita pedoman untuk menentukan bahwa orang miskin itu juga ada mempunyai perusahaan. Ayat 79 dari surah al-Kahf menerangkan jawaban hamba Allah yang diberi rahmat dan ilmu oleh Allah, yang menurut setengah ahli tafsir bernama Nabi Khidhir. Ketika dia menjawab kepada Nabi Musa apa sebab perahu itu dilubanginya, dia mengatakan bahwa perahu itu ialah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di lautan, sedang raja di negeri itu suka merampok perahu orang yang dipandangnya bagus. Ayat ini memberi petunjuk bahwa orang yang berusaha sebagai nelayan yang empunya perahu itu adalah orang-orang miskin.
Sebuah hadis Rasulullah ﷺ yang dira-wikan Bukhari, Muslim, dan beberapa ulama hadits yang lain dari Abu Hurairah. dapat juga memberi kita pedoman tentang arti miskin.
“Berkata Rasulullah satu, “Bukanlah orang miskin itu dengan berkeliling-keliling, meminta-minta kepada manusia, lalu ditolak akan dia oleh satu suap dua suap atau satu butir dua butir kurma." Lalu orang bertanya, ‘Kalau begitu apa yang miskin itu, ya Rasulullah satu.?' Beliau menjawab, ‘Ialah orang yang tidak memiliki orang kaya buat membantunya, dan orang tidak mengerti akan nasibnya, supaya orang bersedekah kepadanya; dan dia pun tidak pernah meminta-minta kepada orang lain.'" (HR Bukhari dan Muslim)
Sesudah memahamkan kedua dalil ini, baik surah al-Kahf ayat 79 itu, maupun sabda Rasulullah ﷺ pada hadits yang shahih itu, dapatlah kita menyimpulkan bahwa fakir dan miskin adalah sama. Kadang-kadang orang miskin itulah yang lebih susah, sebab dia malu meminta. Dia adalah berusaha sebagai nelayan dengan perahunya tadi, tetapi tidak mencukupi. Di luar kadang-kadang tidak kelihatan bahwa dia orang susah, sebab dia menjaga harga diri. Di dalam surah al-Baqarah ayat 273 diterangkan sikap hidup mereka, yaitu mereka tidak sanggup berusaha di muka bumi, disangka oleh orang-orang yang tidak tahu bahwa dia orang kaya juga, dari sebab dia pandai menahan diri, dan dia tidak mau meminta-minta kepada orang lain secara paksa, yaitu menyebut-nyebut kesusahannya supaya hati orang kasihan, atau orang terpaksa memberi karena pandainya berdiplomasi. Ayat 273 itu mengatakan orang yang berilmu dapat mengenal tanda-tanda orang yang demikian. Satu di antara tanda itu ialah, karena dia seorang Mukmin yang taat beribadah dan berjamaah, selalu dia ke masjid. Orang yang tajam mata akan dapat melihat bahwa kain baju yang dipakainya tidak bertukar-tukar, itu ke itu juga, sudah berbulan-bulan, tetapi tetap bersih. Dan telah ditambal-tambal, tetapi halus tambalannya. Itu adalah salah satu contoh tanda saja, yang dapat diketahui oleh orang yang arif budiman.
Sekarang kita jelaskan satu demi satu.
• “Fakir"
Asal artinya adalah dari membungkuk tulang punggung. Jadi, nama sebutan untuk orang yang telah bungkuk memikul beban berat kehidupan.
• “Miskin"
Dari kata sukuun, artinya berdiam diri saja, menahankan penderitaan hidup. Oleh sebab itu, tidaklah ada salahnya kalau sekiranya ada orang berpendapat bahwa fakir dan miskin itu adalah satu jenis. Inilah dua jenis pertama atau satu jenis pertama yang berhak menerima zakat.
• “Dan pengurus-pengurus atasnya"
Jika yang ketiga berhak menerima pula ialah pengurus yang ditugaskan memungut dan mengumpulkan zakat itu.
Sebagaimana dimaklumi, kalau negara berdiri menurut peraturan Islam, zakat dipungut negara. Negara menentukan pengurus atau pegawai yang akan memungutnya. Si pengurus atau pegawai, berhak pula mendapat bagian. Tetapi tentu kita maklum bahwa harta itu telebih dahulu wajib diserahkannya kepada negara semua, dengan tidak mengambil terlebih dahulu sesuka hatinya, kalau diambilnya terlebih dahulu sebagai panjar (porsekot), tentu diperhitungkan kelak pada waktu membagi.
Kalau si pemungut zakat itu menyembunyikan sebagian harta yang dipungutnya itu untuk kepentingan diri sendiri, dan tidak dilaporkannya, perbuatannya itu dinamai ghu-lut. Termasuk dosa besar, sama dengan mencuri; bahasa halus sekarang ialah korupsi. Sama haramnya dengan menyembunyikan harta rampasan dalam perang dengan tidak melaporkan kepada pimpinan perang.
Ketika orang membantai ternak kurban Hari Raya Haji, pernah juga terjadi ghulul. Daging-daging kurban tersebut akan dibagi sebaik-baiknya kepada yang berhak menerima. Tetapi kalau ada orang yang menyembunyikan daging itu sebelum dibagi, dan nanti dia akan menerima pembagian pula, maka yang disembunyikannya itu bernama ghulul pula, lebih hina dari mencuri.
Pada pendapat saya di dalam suatu negeri yang pemungutan zakat dikerjakan oleh umat Islam sendiri, karena kesadaran agama mereka, mereka boleh mengadakan panitia (komite) untuk memungut dan mengumpulkan. Dengan persetujuan bersama, anggota-anggota panitia itu pun berhak mendapat bagian. Sebab tanggung jawab panitia itu pun berat dan pekerjaan atau usahanya yang lain terhenti karena mengurus itu.
Sejalan dengan ini diterangkan pula dalam hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim bahwa Fadhl bin Abbas bin Abdul Muthalib dan al-Muthalib bin Rabrah bin Abdul Muthalib, yang termasuk keluarga terdekat dari Rasulullah ﷺ, pernah mengusulkan diri untuk menjadi amil pengurus zakat itu, supaya mereka mendapat pembagian. Lalu Rasulullah ﷺ berkata,
“Zakat itu tidak halal untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, sebab dia itu adalah dari daki-daki (sampah) manusia." (HR Muslim dan Imam Ahmad)
Dengan ini, sekaligus dijelaskan, keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, tidak boleh diberi zakat dan tidak boleh menjadi panitia atau menjadi amil pemungut zakat dengan maksud supaya mereka mendapat pembagian. Sampai kepada zaman kita sekarang ini, keturunan-keturunan Ali bin Abi Thalib yang tahu akan harga diri dan menjunjung tinggi kemuliaan agama, masih tetap mempertahankan itu. Sebab itu kalau ternyata ada mereka itu yang miskin, sebab keturunan Ali bin Abi Thalib itu telah tersebar-sebar di muka bumi ini, berilah mereka bantuan dari jalan lain, jangan dari zakat.
Ada lagi sebuah riwayat, ketika cucu beliau Hasan masih kecil-kecil, dia menjalar-jalar di lantai dan di dekat itu ada setumpuk besar kurma zakat yang akan dibagi-bagi. Hasan yang masih kecil itu menjalar ke dekat itu dan ingin hendak menjamah dan memakannya agak sebuah. Dia segera disuruh tarik dari tempat itu oleh Nabi ﷺ.
Inilah suatu didikan tinggi dan membawa pengertian pula bagi kita bahwa beliau men-dinding diri dan keluarga jangan sampai berebut pula menerima zakat. Lain dengan gha-nimah perang, sebab ghanimah perang adalah usaha perjuangan sendiri. Sampai beliau pernah bersabda,
“Rezekiku adalah di bawah bayang-bayang tombakku."
Dan pengaruh sikap begini, besar pula bagi umat Muhammad ﷺ, meskipun mereka bukan cucu Rasulullah ﷺ. Hendaklah mereka berusaha sehingga dapat mengeluarkan zakat bukan menerima zakat.
• “Dan orang-orang yang ditarik hati mereka."
Artinya, orang-orang yang ditarik-tarik agar mencintai Islam. Nabi ﷺ telah melakukan ini, mula-mula setelah selesai Peperangan Hunain dan penaklukan kabilah Hawazin. se-bagaimana yang telah kita ketahui pada tafsir yang dahulu. Meskipun terang, keuka terde-sak dari penyerbuan Hawazin dan Tsaqif di medan Perang Hunain banyak mereka yang lari tunggang langgang, namun setelah selesai perang dengan sangat royal Rasulullah ﷺ membagi-bagikan ghanimah yang berlimpah-limpah itu kepada mereka sehingga Anshar dan Muhajirin yang sama datang dari Madinah, tidak mendapat pembagian apa-apa. Padahal nyata bahwa di kalangan mereka itu ada yang lemah iman, bahkan ada yang masih munafik. Kita teringat pemberian kepada Abu Sufyan 100 unta, anaknya Mu'awiyah 100 unta, dan anaknya Yazid 100 unta. Demikian pula kepada yang lain-lain. Maka kebaikan hati dan tangan terbuka yang sedemikian rupa sangat mengesan kepada jiwa mereka sehingga mereka menjadi orang Islam yang baik.
Sayyidina Abu Bakar dalam masa pemerintahannya pernah pula memberikan bagian zakat yang besar kepada Adi bin Hatim dan Zabarqan bin Badar. Yang pertama ialah seorang pemuda Nasrani yang masuk Islam dan yang kedua pemuda Persia masuk Islam. Keduanya adalah orang-orang kaya yang mampu dan disegani dalam kaum mereka. Dan keduanya pun orang-orang Islam yang baik. Maksud Khalifah Rasulullah ﷺ memberikan zakat dengan jumlah besar kepada mereka itu ialah untuk dapat lebih memperdalam pengaruh mereka dalam kalangan kaum mereka, supaya kaum ini pun tertarik pada Islam.
Atas dasar-dasar ini maka ahli-ahli fiqih mengambil kesimpulan bahwa orang-orang yang ditarik-tarik itu adalah dua macam. Pertama dari kalangan Islam sendiri, kedua dari orang lain agama.
Dari kalangan Islam yang patut mendapat bantuan zakat besar itu pula ialah Muslimin yang tinggal di tapal batas di antara negeri kuasa Islam dengan negeri kuasa musuh. Oleh karena mereka itu bisa terombang-ambing, apakah akan masuk dalam perlindungan pemerintahan kafir atau akan tetap dalam perlindungan pemerintahan Islam. Setengah fuqaha mengatakan bahwa ini pun boleh termasuk dalam sabilillah'.
Dari kalangan orang Islam juga, yaitu orang yang berpengaruh dalam satu negeri atau desa Islam. Supaya karena pengaruhnya maka penduduk negeri itu dapat dengan lancar mengeluarkan zakatnya.
Yang ditarik hatinya dalam kalangan orang yang belum Islam. Ini telah dilaksanakan oleh Rasulullah ﷺ sendiri ketika menaklukkan Mekah terhadap Shafwan bin Umaiyah. Ketika Nabi ﷺ memasuki Mekah, dia lari ke luar Mekah. Tetapi Nabi berpesan kepadanya jika dia datang, dia akan diberi aman, tidak akan diapa-apakan, dan diberi janji empat bulan untuk berpikir dan bersedia masuk Islam. Maka setelah Rasulullah ﷺ pergi ke Peperangan Hunain, dia pun datang dan terus menggabungkan diri dalam tentara Islam, padahal ketika itu dia belum menyatakan diri masuk Islam. Dialah yang berkata, “Diwarisi oleh seorang laki-laki dari Quraisy, lebih aku sukai daripada aku diwarisi oleh seorang dari Hawazin," Maka dia pun turut berperang di pihak Nabi ﷺ, sebab Nabi ﷺ sama-sama Quraisy dengan dia, karena kalau Hawazin menang, dia akan di bawah kuasa Hawazin. Dia tidak suka. Ini pun membuktikan bahwa perangnya di pihak Nabi ﷺ di waktu itu belum karena iman, hanya karena kemegahan kabilah. Maka peperangan Nabi ﷺ itu pun menang. Setelah selesai perang, Rasulullah ﷺ memberikan kepadanya unta sepadang! Beratus ekor banyaknya. Dia sendiri tidak menyangka akan diberi sebanyak itu. Dia berkata, “Satu pemberian yang tidak mengingat persediaan buat diri sendiri." Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dan Tirmidzi dari jalan Said bin Musayyab; Shafwan berkata tentang pemberian Nabi itu, “Ketika Nabi memberiku itu, dia adalah orang yang paling aku benci. Tetapi setelah dia memberiku itu, dialah orang yang paling aku cintai, di antara sekalian manusia."
Dan Shafwan itu bukan pula sembarang orang. Dia adalah di antara sepuluh bangsawan jahiliyyah yang setelah menjadi Islam, kebangsawanannya itu tersambung langsung setelah Islam. Menurut Ibnu Sa'ad, di zaman jahiliyyah dia terkenal karena suka memberi makan fakir miskin dan salah seorang yang fasih bijak lidahnya berkata-kata. Setelah Islam dia menjadi seorang Islam yang baik.
Ada lagi semacam kafir lain yang ditarik-tarik hati mereka untuk menutup mulut mereka. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ada satu kaum yang kalau datang kepada Rasulullah ﷺ diberi hadiah, dia pun memuji-muji.
Kemudian itu keluar pulalah pendapat ahli fiqih bahwa orang-orang agama lain yang menyatakan diri mau memeluk agama Islam, sedang orang itu miskin, hendaklah ditarik hatinya dengan memberinya keperluan hidup selayaknya. Karena kadang-kadang, putuslah hubungannya dengan keluarganya. Dia telah diusir oleh masyarakat kaumnya. Setelah dia masuk Islam. Hendaknya dirasainya nikmat ukhuwwah dalam Islam. Tetapi, meskipun hal ini telah berlaku sebagai suatu istiadat yang baik dalam masyarakat kita kaum Muslimin, cara melakukannya sudah menjadi buruk karena kurang merasakan maksud Islam. Orang-orang Tionghoa yang masuk Islam dari kalangan miskin, menjadi orang peminta-minta dengan diberi nama mualaf sehingga gelar mualaf tidak lagi suatu penghormatan, melainkan sebagai merendahkan, sehingga sudah kena oleh celaan dan larangan yang termaktub di dalam surah al-Hujuraat ayat 11,
“Dan janganlah kamu berpanggil-panggilan dengan gelar-gelaran yang buruk." (al-Hujuraat: 11)
Tentang orang yang ditarik-tarik hatinya ini (al-mualafatu qulubuhum) menjadi pembi-caraan juga di kalangan ulama. Menurut Imam Abu Hanifah, bagian ini hanya berlaku ketika Islam masih dalam taraf propaganda. Kalau Islam telah kuat, tidak perlu lagi. Imam Syafi'i pun berpendapat seperti itu. Alasan mereka ialah karena seorang musyrik pernah datang kepada Sayyidina Umar, bersedia masuk Islam dan minta pemberian harta. Dengan sangat murka Umar bin Khaththab berkata menurut ayat, “Siapa yang senang, berimanlah. Siapa suka, kafirlah!" Dan dalam riwayat lain, pada zaman Abu Bakar bahwa Uyainah bin Hasan dan al-Aqra' bin Habis, datang kepada beliau memohon diberi tanah. Lalu Abu Bakar memberi mereka sepucuk surat dan disuruh bawa kepada Umar (wazir beliau, ketika Abu Bakar jadi Khalifah). Setelah surat itu dilihat oleh Umar, beliau robek, dan beliau berkata, “Memang, dahulu Rasulullah ﷺ memberi kalian harta, untuk menarik hati kalian kepada Islam. Adapun hari ini, Islam telah kuat dan tidak memerlukan kalian lagi. Kalau kalian tetap teguh kepada Islam, terserahlah kepada kalian untuk kebaikan diri kalian sendiri. Tetapi kalau kalian murtad dari Islam, maka di antara kami dengan kalian ialah pedang!"
Mendengar penolakan setegas itu dari Umar bin Khaththab, mereka pun kembali kepada Abu Bakar dan berkata, “Siapa yang khalifah, engkaukah apa Umar? Engkau memberi, tetapi dia merobek surat engkau!"
Abu Bakar menjawab, “Dia berhak berbuat begitu!"
Dan, tidak ada para sahabat lain yang membantah Umar merobek surat itu. Karena kejadian inilah maka Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa saham jenis mualaf ini, sudah habis masanya. Dan, Imam Syafi'i pun pernah menyatakan pendapat yang sesuai dengan itu. Tetapi menilik kepada kejadian ini, tidak ada ulama yang tegas-tegas mengatakan bahwa mualaf ini telah mansukh. Jenis ini tetap ada, sebab Islam selalu dalam perkembangan. Tolakan Umar kepada kedua orang itu bukanlah berlaku untuk yang lain.
Umar menyalahkan kepada mereka berdua karena menyangka bahwa jika Nabi ﷺ dahulu telah memberi mereka lebih, di belakang hari mereka akan mendapat lebih juga, sehingga itu sajalah yang mereka harapkan.
Ini pun dapat menjadi pengajaran di dalam menghadapi orang lain yang masuk Islam di zaman kita ini, yang karena pemberian zakat yang mula-mula, karena salah berpikir, mereka merasa bahwa dengan memakai gelar mualaf, mereka sudah wajib diberi pembagian zakat selalu. Mualaf hanya bisa dipakai untuk orang yang baru masuk Islam. Lalu mereka diberi belanja, diberi modal, sampai mereka dapat tegak sendiri sebagai Muslim dan berusaha. Kalau mereka telah Islam, lalu miskin dan kalau mereka diberi juga zakat, bukanlah lagi karena mereka mualaf, melainkan karena miskin atau fakir.
• “Dan untuk melepaskan perbudakan"
Di waktu negeri-negeri di dunia ini masih memakai sistem perbudakan, maka agama Islam menyediakan lagi bagian harta zakat itu untuk menebus dan memerdekakan budak. Sebagian dari harta zakat itu dipergunakan pembeli budak, langsung budak itu dimerdekakan. Termasuk juga di dalamnya, misalnya seorang yang empunya budak memberikan janji kepada budaknya, asal engkau dapat membayar ganti kerugianku, membeli engkau sekian banyaknya, engkau aku merdekakan. Si budak melaporkan kepada pengumpul zakat, atau kepada pemberi zakat bebas, lalu uang itu diserahkan kepada penghulu tadi, dan si budak pun merdekalah. Ini yang dinamai budak mukaatab, artinya telah mengikat janji merdeka dengan surat-menyu-rat dengan tuannya. Atau bagian harta zakat digunakan untuk menebus orang yang dalam tawanan sehingga dia merdeka dari tawanan itu.
Sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari al-Bara' bin Azib bahwa datang seseorang kepada Rasulullah ﷺ lalu dia bertanya, “Tunjukilah aku, apakah amalan yang akan mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan daku dari neraka?" Lalu Rasulullah ﷺ menjawab,
“Merdekakan orang dan tanggalkan perbudakan."
Lalu orang itu berkata lagi, “Bukankah itu hanya satu saja?" Rasulullah menjawab pula,
“Tidak! (itu bukan satu). Memerdekakan budak ialah engkau sendiri memerdekakan budakmu, dan menanggalkan perbudakan ialah engkau tolong memerdekakan budak-budak lain dengan menentukan harganya." (HR Bukhari dan Imam Ahmad)
Lantaran itu dianjurkanlah kalau orang berzakat, mengeluarkan sebagian dari zakatnya itu buat membeli budak yang langsung dimerdekakan. Kalau pemerintahan diatur secara Islam, dia hendaknya segera melaporkan kepada penguasa tentang harga budak itu, sehingga harga itu tidak ditagih lagi buat dimasukkan ke baitul maal, untuk dibagi kepada yang lain.
• “Dua orang yang berutang"
Orang yang berutang dan sudah sangat terdesak, sedang dia tidak sanggup membayarnya, bolehlah melaporkan nasibnya kepada penguasa pembagian zakat sehingga utang itu dibayar dengan zakat. Atau kalau pada zaman kita ini ada panitia zakat, laporkanlah berapa utang itu kepada panitia. Panitia wajib membayar, setelah mengadakan penelitian dengan saksama.
Seorang sahabat Rasulullah ﷺ bernama Qubaishah bin Mukharriq dari Bani Hilal da-tang kepada Rasulullah ﷺ menyatakan nasibnya, berutang tetapi sudah lama dia ber-usaha, belum juga dapat terbayar. Bersabdalah Rasulullah ﷺ,
“Tunggulah, sampai datang zakat; akan kami suruhkan memberikan untuk engkau," Lalu beliau berkata pula, “Hai Qubaishah, meminta-minta ini tidaklah halal, kecuali dalam tiga hal. Seorang laki-laki memikul suatu beban, maka halallah dia meminta sampai lepas beban itu, kemudian hendaklah dia berhenti. Seorang laki-laki ditimpa suatu kesusahan yang sangat. Ketika itu boleh dia meminta, sampai susahnya hilang; maka berhentilah. Seorang laki-laki lagi yang sudah sangat melarat, sehingga sudah sampai bertiga kaumnya yang mampu-mampu mengatakan, bahwa dia memang sudah sangat melarat; maka ketika itu halallah dia meminta, sehingga dia dapat hidup. Lain dari itu, wahai Qubaishah kalau masih meminta-minta juga, adalah itu suatu perbuatan curang yang membawa mati dalam kehinaan." (HR Imam Ahmad, Muslim, dan an-Nasa'i)
Lain dari itu maka seorang yang hendak berzakat pun boleh mengatakan terus terang kepada orang yang berutang kepadanya bahwa dia bersedia membayar zakat kepadanya, asal saja dengan zakat itu utangnya dibayarkan.
• “Dan pada jalan Allah “
Sebagai sambungan dari mengeluarkan zakat untuk menolong kemerdekaan manusia dari perbudakan tadi. Inilah bagian yang amat luas sekali. Memang, ulama-ulama fiqih zaman dahuiu banyak sekali memberi arti bahwa dengan harta zakat, disediakan juga untuk perbelanjaan perang karena pada masa itu sabilillah, lebih banyak kepada perjuangan perang.
Dan di negeri kita sendiri, terutama di Aceh, ketika bangsa kita di Aceh berjuang me-nangkis serangan Belanda yang hendak memerkosa kemerdekaan Aceh, ulama-ulama seluruh Tanah Aceh telah sepakat menggerak dan mengerahkan orang kaya-kaya agar mengeluarkan zakat untuk membelanjai peperangan melawan Belanda. Tetapi, setelah Belanda menguasai Aceh karena segala perlawanan telah patah makasalahseorangpahlawan Aceh, yaitu Teuku Panglima, menyerah kepada Belanda, Beliau dirajakan kembali di negerinya, XXII Mukim Aceh Besar. Setelah tenteram me-merintah, beliau dirikanlah sekolah-sekolah agama dan beliau kirimlah para pemuda dalam mukim yang diperintahnya pergi belajar agama ke Mekah dan ke Mesir dan ke Aceh Barat (Tapak Tuan) dan ke Padang Panjang. Beliau katakan terus terang kepada orang besar-besarnya bahwa sekarang kita tidak kuasa dan tidak sanggup lagi menggunakan bagian sabilillah buat memerangi Belanda, sebab kita sudah kalah. Syukur aku masih dapat memerintah. Sebab itu hak sabilillah itu karena aku masih mempunyai sedikit kuasa, aku gunakan untuk membelanjai segala usaha menegakkan dan mengembangkan agama dan memperbanyak orang alim dalam negeri ini.
Meskipun Teuku Panglima Polim Setia Muda Perkasa itu bukanlah seorang yang alim, tetapi memang seorang raja yang saleh, namun pendapatnya ini sesuai dengan perkataan Imam Malik r.a. tentang sabilillah.
Berkata Imam Malik,
“Jalan-jalan Allah itu banyak, tetapi aku tidak menampak ada perselisihan pendapat bahwa yang dimaksud dengan sabilillah di ayat ini ialah berperang menegakkan agama."
Ada juga ulama sebagai Imam Ahmad yang mengatakan, sabilillah itu, termasuk juga pergi haji.
Pendapat Imam Ahmad bin Hambal bahwa naik haji pun termasuk sabilillah, itulah yang menjadi perhatian bagi orang yang beriman. Memang, orang baru wajib naik haji apabila dia sendiri telah mempunyai kesanggupan dan kemampuan (isti-tha'ah). Oleh sebab itu, sebaiknyalah dia berusaha sendiri mencukupkan ongkos belanja pergi haji. Tetapi orang lain yang beriman pula, sepatutnya memberi bantuan kepadanya dengan zakat, baik oleh karena memang dengan mengerjakan haji itu dia telah melakukan sabilillah, maupun karena naik haji itu dia telah terhitung ibnus sabil.
Berkatalah pula setengah ulama, dan kata ini amat memuaskan hati kita, “Perkataan ini adalah umum: sebab itu tidaklah boleh dia dibatasi pada satu macam saja. Termasuk di dalamnya segala usaha-usaha yang baik, seumpama memberi kafan jenazah orang miskin, membuat jembatan penghubung dua pinggir sungai, membangun benteng, mendirikan masjid, dan lain-lain."
Pendapat ini dikuatkan oleh Sayyid Hasan Shadiq Khan Bahadur di dalam kitab tafsirnya, Fathul Bayan. Dan, di dalam kitab fiqih beliau yang bernama ar-Raudhatun-Nadiyah. Beliau pun menyatakan pendapat bahwa ulama-ulama yang telah mengorbankan seluruh waktunya untuk memperdalam pengetahuan agama dan memimpinkannya kepada orang banyak, itu pun berhak mendapat bagian zakat dari sabilillah; biarpun dia kaya apalagi kalau dia miskin.
Mau terima atau tidak, terserahlah kepada ulama itu sendiri, tetapi dia berhak menerima, menurut pendapat Sayyid Hasan Shadiq Khan Bahadur (suami dari Maharatu negeri Bophal. Sekarang termasuk wilayah negara India). Sebab beliau itu telah menjadikan dirinya untuk khusus rrtenghadapi ilmu pengetahuan
dan memimpinkan agama. Sebab ulama itu di dalam Islam, bukan semata-mata sarjana, tetapi juga sebagai pemimpin umat.
Dan sebagian besar ulama salaf, di antaranya Imam Ghazali mengatakan bahwa lebih baik ulama-ulama yang merangkap menjadi pemimpin jiwa umat itu menerima zakat dari sabilillah, daripada mengharapkan pemberian sultan. Karena harta yang dari sultan itu sudah bercampur aduk di antara yang halal dan yang haram. Apalagi takut akan hilang kemerdekaan jiwa ulama itu mengatakan yang hak karena terhimpit lidah oleh pemberian sultan.
• “Dan orang-orang perjalanan"
Sependapat pula ulama-ulama menyatakan bahwa orang yang terputus hubungannya dengan kampung halamannya karena suatu perjalanan, berhak menerima zakat. Meskipun dia seorang yang kaya di negerinya, namun dalam musafir adalah dia miskin. Sebagaimana telah kita uraikan juga pada penafsiran-penafsiran yang telah lalu, ini menunjukkan bahwa Islam sangat menganjurkan supaya orang banyak musafir untuk menambah penge-tahuan, menambah pengalaman, menambah persahabatan dan perbandingan. Tentu saja ulama pun berhati-hati di dalam menentukan perjalanan itu, bukan perjaianan untuk maksiat. Sehingga seorang musafir yang telah membuat maksiat dalam perjalanan, meskipun orang tidak tahu, memakan harta haramlah dia kalau zakat orang di tempatnya singgah itu diterimanya juga.
Teringatlah Penulis tatkala melawat ke Semenanjung Tanah Melayu pada tahun 1955. Sebagaimana dimaklumi pengiriman yang dari Indonesia amat sulit pada waktu itu. Maka berfatwalah Almarhum Syekh Thaher Jalaluddin kepada murid-muridnya di Kuala Lumpur dan Kuala Kangsar (Perak) dan Pulau Pinang, agar saya diberi bantuan belanja de-ngan zakat, supaya perjalanan saya jangan tertegun-tegun. Saya ingat kata beliau, “Hamka itu kaya di negerinya, tetapi dia fakir dalam perjalanan."
Di beberapa negeri besar di India, baik sebelum berpisah menjadi dua negara, India dan Pakistan, atau sesudahnya, ada didapat rumah-rumah yang bernama Musafir Khanah, yaitu tempat bermalam bagi orang-orang Muslim yang tengah musafir. Makan-minum dan tempat menginap, mereka sediakan selama tiga hari. Biasanya rumah-rumah itu adalah wakaf dari orang-orang hartawan. Di Semenanjung Tanah Melayu telah terdapat pula rumah-rumah buat musafir itu pada beberapa masjid di kota-kota besar, terutama di Kuala Lumpur.
Semuanya ini “(Ialah) sebagai kewajiban daripada Allah." Artinya, semuanya ini wajib dilakukan menurut ketentuan Allah, delapan atau tujuh jenis, yang tidak boleh diganggu gugat lagi. Semuanya untuk muslihat umat dan agama.
“Dan Allah adalah Mahatahu, lagi Maha-bijaksana."
Allah Mahatahu bahwa keinginan manusia kepada harta benda tidaklah dapat dibendung. Dia menjadi salah satu ciri tabiat manusia. Oleh sebab itu maka membenci harta benda dan mengutuknya tidaklah ada dalam ajaran Islam. Bahkan disuruh dan selalu dianjurkan mencari banyak-banyak kekayaan, tetapi jangan hanya dipergunaikan untuk kepentingan diri sanderi. Carilah sebanyak-banyaknya, supaya banyak pula zakat yang akan dikeluarkan. Sehingga zakat menjadi salah satu daripada lima tiang (rukun) dari Islam. Maka dengan secara bijaksana, dengan secara sifat Allah yang bernama Al-Hakim keinginan manusia mengumpulkan harta itu disalurkan sebaik-baiknya, disuruh mengeluarkan. Baik yang berupa uang emas dan perak dan nilainya, atau dari perniagaan yang beredar, atau dari binatang ternak, atau dari pertanian, ataupun dari hasil penggalian logam dari dalam bumi (tambang), sebagaimana yang telah diaturkan beberapa bagian-bagiannya masing-masing dalam syara' Allah Mahabijaksana, sebab pemungutan itu tidak banyak dan memberati. Misalnya, zakat uang emas dan perak atau nilainya hanya dua setengah persen, dua setengah dari seratus.
Dari jenis-jenis yang disebut berhak menerima zakat di dalam ayat telah dapat kita lihat bahwa pengeluaran zakat itu dihadapkan untuk dua keperluan. Pertama keperluan umum, kedua untuk kepentingan perseorangan. Sabilillah dan kemerdekaan budak adalah keduanya untuk kemaslahatan umum. Kata sabilillah mengandung daerah yang luas sekali. Kemerdekaan budak pun bukanlah untuk kepentingan pribadi budak yang dimerdekakan itu saja, tetapi membersihkan masyarakat dari adanya manusia yang dipandang rendah, melainkan hendaklah duduk sama rendah dan tegak sama tinggi. Adapun kepentingan fakir dan miskin, orang yang bertanggung jawab mengurus zakat, orang yang ditarik hatinya dan orang yang tengah musafir dalam perjalanan, adalah untuk kepentingan pribadi orang yang dibantu itu itu sendiri, sebagai akibat dari ukhuwwah atau persaudaraan yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya. Tetapi memberi zakat kepada fakir miskin pun boleh diartikan mengandung kepada kedua maksud tadi juga, pertama kepentingan pribadi orang yang dibantu itu, kedua membersihkan masyarakat umum dari kemelaratan dan kemiskinan, sebagai tujuan dari satu masyarakat yang adil dan makmur.
Niscaya yang berhak menerima itu, ialah fakir miskin yang masih beragama Islam. Yang murtad dari Islam atau yang mempunyai ideologi tidak percaya ada Tuhan, (komunis dan ateis), tidak berhak menerima zakat itu. Sedangkan orang Yahudi dan Nasrani yang taat memegang agama mereka, tetapi miskin, kalau yang empunya zakat menimbang patut diberi, bolehlah mereka diberi sesudah mendahulukan fakir miskin kalangan Islam sendiri.
Di negeri-negeri yang berjalan peraturan Islam, dan seratus persen berdasar Islam, tentu sajalah al-Imam (kepala negara), yang berkuasa tertinggi, memungut dan menyuruh bagikan zakat. Adapun di negeri Islam yang dasar hukumnya belum seratus persen Islam, tentulah mengeluarkan zakat menjadi kewajiban bagi tiap-tiap anggota umat, sebagaimana wajibnya mengerjakan shalat, puasa, dan haji. Apabila kesadaran beragama telah mendalam, niscaya dengan tenaga sendiri masyarakat Islam itu, akan mengatur pemungutan dan pembagian zakatnya. Di negeri kita Indonesia ini, Undang-Undang Dasar 1945 dijiwai oleh Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter itu ada tertulis bahwa umat Islam diberi kekuasaan yang luas menjalankan syari'at agamanya. Bunyi kata yang demikian, artinya penting artinya bagi kaum Muslimin untuk mendirikan yayasan-yayasan zakat di bawah tilikan pemerintah. Sebagaimana di bawah tilikan pemerintah pula telah diatur yayasan-yayasan bagi mengatur perjalanan haji dengan kementerian sendiri pula. Apabila keinsafan umat Islam Indonesia tentang mengatur, mengumpul, dan membagikan zakat ini telah berjalan dengan lancar, banyaklah usaha dan amal muslihat umum yang dapat dibangun, dari satu pos yang bernama “sabilillah" itu. Dengan pos sabilillah, kita dapat membangun masjid-masjid, rumah-rumah sakit, membelanjai mubaligh Islam untuk menyebarkan Islam kepada warga negara Indonesia yang belum beragama atau memberi pengertian umat Islam yang buta agama tentang ajaran agamanya, atau memberi beasiswa (studiesfonds), dan membelanjai pemuda-pemuda Islam yang berbakat untuk menambah ilmu pengetahuan, supaya layak menjadi bangsa yang duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa yang lain.
Apalah lagi, apakah mesti diisi penuh kedelapan jenis atau ditilik mana jenis yang ada saja, adalah masalah khilafiyah di kalangan para ulama. Maka sebagian terbesar para ulama berpendapat bahwa pembagian itu adalah bergantung kepada kebijaksanaan imam (kepala negara) atau kebijaksanaan yang akan memberikan. Sudah terang bahwa di zaman kita sekarang pos kemerdekaan budak sudah tidak ada lagi. Tentu sudah tinggal 7 (tujuh) atau 6 (enam) saja. Dan, itu pun dapat pula dibagikan dengan bijaksana, ke mana yang lebih perlu. Atau semua perlu, tetapi jumlah bagian tidak sama.
Wajiblah kita akui bahwasanya beratus tahun cara kita berpikir telah mundur, dan pikiran tentang zakat telah membeku. Bersamaan dengan itu sebagian besar negeri Islam pun beberapa lamanya jatuh ke dalam cengkeraman penjajahan Barat. Akhirnya, kita melihat kenyataan yang sangat memilukan hati. Negeri-negeri Islam yang dijajah itu, terutama Indonesia, menjadi sasaranlah dari penyebaran agama Kristen. Bahkan setelah Indonesia merdeka sekarang ini pun, usaha Kristen Internasional lebih giat berpuluh kali lipat daripada sebelum kemerdekaan. Mereka telah mendirikan rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, sejak dari taman kanak-kanak sampai sekolah-sekolah tinggi. Sudah berduyun-duyun anak-anak orang Islam dalam hitungan ribuan, bertukar agama karena pendidikan yang mereka terima.
Kita orang-orang Islam mengeluh melihat hal-hal yang demikian. Kiai H.A. Dahlan, di kala hidupnya melihat bahaya ini. Maka beliaulah ulama Indonesia yang pertama sekali meng-ambil langkah baru dengan mendirikan Muhammadiyah, guna menandingi usaha Zending dan Misi Kristen itu. Beliaulah yang mula-mula dengan memakai perkumpulan yang beliau dirikan, Muhammadiyah, mencoba mengumpulkan zakat kaum Muslimin. Karena incaran mata penjajahan yang sangat tajam dan fitnah-fitnah yang disiarkan dari kalangan Islam sendiri yang beku pahamnya, beliau terpaksa membatasi hanya dapat me-ngumpulkan zakat fitrah saja untuk fakir miskin. Itu pun membawa hasil yang baik dan lumayan juga. Beliau suruh adakan panitia pengumpul zakat fitrah dan panitia penggerak penyembelihan kurban dan membagi-bagikan dagingnya kepada fakir miskin. Dengan kedua gerakan kecil ini saja sudah banyak tampak hasilnya. Apatah lagi pada zaman sekarang ini, zaman kemerdekaan bangsa dan tanah air, zaman kita mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai Undang-Undang Dasar 1945 yang dijiwai oleh Jakarta Charter supaya umat Islam menjalankan syari'at agamanya, niscaya kalau zakat harta dikumpulkan dan dibagikan menurut mustahaknya secara modern, pastilah keluhan umat Islam karena kehilangan anak-anak telah pindah agama akan dapat dihilangkan.
Pada 1963 HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di Surabaya bermaksud hendak mendirikan sebuah Rumah Sakit Islam yang besar dan layak dan teratur. Pekerjaan ini telah dimulai, meskipun tidak cepat. Belanja untuk mendirikan rumah sakit itu seluruhnya dari zakat hartawan-hartawan Islam di Surabaya. Demi, jika bertambah kesadaran-beragama, niscaya akan cepat Rumah Sakit Islam itu berdiri dan cepat pula selesai, kemudian menyusul pula yang lain-lain.
Almarhum Tjokroaminoto pernah mencetuskan satu cita, yaitu mendirikan Bank Shadaqah. Cita beliau itu sederhana saja kalau dijalankan. Sebagian dari zakat dijadikan modal bank, untuk membantu orang-orang miskin yang hendak berusaha. Bank Shadaqah itu, masyarakat Muslimin yang empunya. Meskipun dipungut rente sekadarnya, bukanlah dia jadi keuntungan seseorang yang memberikan modal, tetapi untuk memperkaya modal pokok itu sendiri, bagi muslihat bersama, yang dapat digunakan untuk
membangun amal-amal yang besar. Cita beliau itu pun hanya tinggal cita. Sebab Bank Shadaqah kalau terjadi, niscaya merugikan kolonial. Sebab itu maka cita itu tenggelam pula dalam arsip cita-cita.
Dengan demikian, cita-cita dari kedua pemimpin Indonesia ini, Kiai H.A. Dahlan dan H.O.S. Tjokroaminoto, belumlah cita-cita yang basi untuk diperhatikan, tetapi meminta tinjauan kembali buat dilaksanakan. Sebab jumlah kaum terpelajar Islam di zaman kemer-dekaan ini, sudah beratus kali lipat daripada masa beliau beliau hidup.
Kalau sekiranya kaum Muslimin atau sebagian kaum Muslimin telah sadar akan guna zakat sebagai salah satu tiang (rukun) dari Islam dan dipungut serta dibagikan dengan teratur, kita percaya dengan zakat itu kita akan bisa membangun Islam yang mulia, Islam yang layak sebagai anutan dan satu bangsa yang merdeka. Padahal jumlah itu tidak banyak hanya sekadar dua setengah persen. Dan kita pun telah mulai melihat di tanah air kita timbulnya kesadaran itu dengan berangsur-angsur.
Insyaa Allah kita akan jaya, sebab penjajahan tidak ada lagi!!! Dan orang-orang fakir miskin tidak lagi akan menjadi medan yang subur dari hasut-hasutan gerakan interna-sional tertentu (komunis) yang mengem-bus-embuskan rasa pertentangan kelas dan kebencian dari yang melarat kepada yang mampu.
Sebab setiap orang yang mampu, bila hartanya telah sampai satu nishab dan sampai haulnya (tahunnya), dia sudah mengeluarkan bagian untuk fakir miskin dan dan lain-lain. Sedangkan harta satu nishab itu tidak usah menyebut berjuta-juta dan bermiliar. Dengan uang kira-kira 65 rupiah (sebelum perang), cukup setahun, orang sudah wajib mengeluarkan zakat. Dengan hasil padi dari sawah 100 ketiding (bakul) saja, dia sudah wajib mengeluarkan zakat.
Moga-moga kita menjadi umat yang sadar. Amin!!