Ayat
Terjemahan Per Kata
هُمُ
mereka
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَقُولُونَ
(mereka) mengatakan
لَا
jangan
تُنفِقُواْ
kamu beri belanja
عَلَىٰ
atas
مَنۡ
orang
عِندَ
di sisi
رَسُولِ
Rasul
ٱللَّهِ
Allah
حَتَّىٰ
sehingga
يَنفَضُّواْۗ
mereka bercerai-berai
وَلِلَّهِ
dan bagi Allah
خَزَآئِنُ
perbendaharaan
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِ
dan bumi
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلۡمُنَٰفِقِينَ
orang-orang munafik
لَا
tidak
يَفۡقَهُونَ
mereka memahami/mengerti
هُمُ
mereka
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَقُولُونَ
(mereka) mengatakan
لَا
jangan
تُنفِقُواْ
kamu beri belanja
عَلَىٰ
atas
مَنۡ
orang
عِندَ
di sisi
رَسُولِ
Rasul
ٱللَّهِ
Allah
حَتَّىٰ
sehingga
يَنفَضُّواْۗ
mereka bercerai-berai
وَلِلَّهِ
dan bagi Allah
خَزَآئِنُ
perbendaharaan
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِ
dan bumi
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلۡمُنَٰفِقِينَ
orang-orang munafik
لَا
tidak
يَفۡقَهُونَ
mereka memahami/mengerti
Terjemahan
Merekalah orang-orang yang berkata (kepada kaum Ansar), “Janganlah bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah),” padahal milik Allahlah perbendaharaan langit dan bumi. Akan tetapi, orang-orang munafik itu tidak mengerti.
Tafsir
(Mereka orang-orang yang mengatakan) kepada teman-teman mereka dari kalangan kaum Ansar: ("Janganlah kalian memberikan perbelanjaan kepada orang-orang yang ada di sisi Rasulullah) yakni orang-orang Muhajirin (supaya mereka bubar") bercerai-berai dari sisinya. (Padahal kepunyaan Allahlah perbendaharaan langit dan bumi) yakni pemberian rezeki-Nya, Dia Maha Pemberi rezeki kepada orang-orang Muhajirin dan lain-lainnya (tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami).
Tafsir Surat Al-Munafiqun: 5-8
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling, sedangkan mereka menyombongkan diri. Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Allah tidak akan mengampuni mereka; sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Ansar), "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).
Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata, "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, menceritakan perihal orang-orang munafik semoga laknat Allah tertimpakan kepada mereka bahwa mereka itu: apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka. (Al-Munafiqun: 5) Yakni mereka menghalang-halangi dan berpaling dari apa yang dikatakan kepada mereka dengan perasaan sombong dan menghina.
Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: dan kamu lihat mereka berpaling, sedangkan mereka menyombongkan diri. (Al-Munafiqun: 5) Kemudian mereka diberi pembalasan atas sikapnya itu. Maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka; sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Al-Munafiqun: 6) Sama halnya dengan apa yang disebutkan di dalam surat At-Taubah yang telah diterangkan jauh sebelum ini dan juga telah disebutkan pula padanya hadits-hadits yang diriwayatkan mengenainya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar Al-Adani yang mengatakan bahwa Sufyan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka membuang muka mereka. (Al-Munafiqun: 5) Ibnu Abu Umar mengatakan bahwa Sufyan memalingkan mukanya ke arah kanan seraya melirikkan pandangan matanya dengan pandangan yang sinis, lalu berkata bahwa seperti inilah sikap mereka. Telah disebutkan dari bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, bahwa konteks semua ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, seperti yang akan kami terangkan berikut ini.
Muhammad ibnu Ishaq telah mengatakan di dalam kitab As-Sirah-nya, bahwa ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah sekembalinya dari Perang Uhud. Sedangkan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, menurut keterangan yang kuperoleh dari Ibnu Syihab Az-Zuhri, merupakan seorang yang mempunyai kedudukan di kalangan kaumnya. Setiap orang mengakui kedudukannya yang terhormat; dia dihormati di kalangan kaumnya. ApabilaNabi ﷺ duduk dalam khotbahnya di hari Jumat, maka Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berdiri, lalu mengatakan, "Wahai manusia, ini adalah utusan Allah berada di antara kalian, Allah telah memuliakan kalian dengan melaluinya dan menjadikan kalian berjaya karenanya.
Untuk itu maka tolonglah dia, dukunglah dia, dan tunduk patuhlah kalian kepadanya." Setelah itu ia duduk kembali. Ketika dia melakukan apa yang dilakukannya dalam Perang Uhud, yakni dia kembali ke Madinah dengan sepertiga pasukan, lalu pasukan kaum muslim kembali, maka berdirilah ia dan melakukan kebiasaan yang sebelumnya. Maka kaum muslim memegangi bajunya dari semua sisinya, dan mereka mengatakan, "Duduklah, wahai musuh Allah, kamu tidak pantas melakukan hal ini setelah apa yang engkau lakukan dalam Perang Uhud." Lalu ia keluar dengan melangkahi leher banyak orang seraya berkata, "Demi Allah, seakan-akan aku mengatakan ucapan yang tidak pantas, padahal aku berdiri untuk memperkuat urusannya." Di dekat pintu masjid ia bersua dengan sejumlah orang Ansar.
Mereka mengatakan, "Celakalah kamu, mengapa kamu ini?" Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul menjawab, "Aku berdiri untuk mendukung urusannya, lalu sejumlah orang dari sahabatnya menarikku dan bersikap kasar terhadapku, seakan-akan aku mengatakan hal yang tidak pantas, padahal sebenarnya aku bermaksud untuk mendukungnya." Mereka berkata, "Celakalah kamu ini, sekarang kembalilah kamu kepada Rasulullah ﷺ , beliau akan memohonkan ampunan bagimu." Ibnu Salul menjawab, "Demi Allah, aku tidak ingin dia memohonkan ampunan bagiku." Qatadah dan As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul.
Demikian itu karena ada seorang pemuda dari kalangan kerabatnya melapor kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan kepada beliau tentang kata-kata yang dikeluarkan oleh Ibnu Salul mengenai diri Rasulullah ﷺ , yakni mencaci maki beliau ﷺ Maka Rasulullah ﷺ memanggilnya, tetapi ternyata dia bersumpah dengan menyebut nama Allah bahwa dirinya tidak mengatakannya dan berlepas diri dari hal tersebut. Akhirnya orang-orang Ansar mendatangi pemuda tersebut dan mencacinya serta mengisolirnya. Lalu Allah menurunkan firman-Nya mengenai peristiwa ini, sebagaimana yang kalian dengar. Kemudian dikatakan kepada musuh Allah itu, "Sebaiknya kamu datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ ," tetapi dia memalingkan mukanya, dengan maksud bahwa dia tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi' Az-Zahrani, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa Rasulullah ﷺ apabila turun istirahat di suatu tempat tidak pernah meninggalkannya sebelum melakukan shalat padanya. Dan ketika Perang Tabuk, ada suatu berita yang sampai kepada beliau, bahwa Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul mengatakan, "Benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya (Madinah)." Maka Rasulullah ﷺ langsung kembali ke Madinah sebelum siang hari berakhir (tanpa shalat terlebih dahulu). Lalu dikatakan kepada Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, "Datanglah kamu kepada Nabi ﷺ agar beliau memohonkan ampunan bagimu," dan Allah menurunkan firman-Nya: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu. (Al-Munafiqun: 1) sampai dengan firman-Nya: Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka. (Al-Munafiqun: 5) Sanad hadits ini shahih sampai kepada Sa'id ibnu Jubair.
Tetapi perkataannya bahwa sesungguhnya hal tersebut terjadi dalam Perang Tabuk, masih perlu diteliti kembali. Bahkan kalimat tersebut tidaklah tepat, karena sesungguhnya Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul bukan termasuk orang yang keluar menuju medan Tabuk, bahkan dia kembali ke Madinah bersama sekelompok pasukan. Dan sesungguhnya menurut pendapat yang terkenal di kalangan para pemilik kitab Magazi dan Sirah, peristiwa ini terjadi dalam Perang Al-Muraisi', yaitu perang melawan Banil Mustaliq.
Yunus ibnu Bukair telah meriwayatkan dari Ibnu Ishaq, bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dan Abdullah ibnu Abu Bakar dan Asim ibnu Umar ibnu Qatadah dalam kisah Banil Mustaliq, bahwa ketika Rasulullah ﷺ berada di tempat Banil Mustaliq, Jahjah ibnu Sa'id Al-Gifari seorang pekerja Umar ibnul Khattab berkelahi dengan Sinan ibnu Yazid, karena memperebutkan air. Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban, bahwa keduanya berdesakan untuk memperebutkan air dari suatu mata air, lalu keduanya berkelahi.
Akhirnya Sinan berkata, "Wahai orang-orang Ansar," sedangkan Al-Jahjah berkata, "Wahai orang-orang Muhajir." Saat itu Zaid ibnu Arqam dan segolongan kaum Ansar berada bersama Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. Ketika Abdullah ibnu Ubay mendengar hal tersebut, maka ia memberikan komentarnya, "Sesungguhnya mereka telah berani mengadakan pemberontakan di negeri kita. Demi Allah, perumpamaan kita dan sempalan orang-orang Quraisy ini (yakni Muhajirin) sama dengan peribahasa yang mengatakan 'gemukkanlah anjingmu, maka ia akan memakanmu'.
Demi Allah, sungguh jika kita kembali ke Madinah, orang-orang yang kuat benar-benar akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya." Kemudian dia menghadap kepada orang-orang yang ada di dekatnya dari kalangan kaumnya, lalu berkata kepada mereka, "Inilah akibat dari perbuatan kalian, kalian telah mengizinkan mereka menempati negeri kalian, dan kalian telah merelakan harta kalian berbagi dengan mereka.
Ingatlah, demi Allah, sekiranya kalian menghindari mereka, niscaya mereka akan berpindah dari kalian menuju ke negeri lain." Kemudian perkataan Abdullah ibnu Ubay itu terdengar oleh Zaid ibnu Arqam , maka ia melaporkannya kepada Rasulullah ﷺ yang pada saat itu Zaid ibnu Arqam masih berusia remaja. Ketika ia sampai kepada Rasulullah ﷺ , di sisi beliau terdapat Umar ibnul Khattab , lalu ia menceritakan kepada beliau apa yang telah dikatakan oleh Abdullah ibnu Ubay tadi.
Maka Umar berkata, "Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepada Abbad ibnu Bisyar agar memenggal kepala Ibnu Salul." Rasulullah ﷺ menjawab: Wahai Umar, bagaimanakah jawabanmu apabila orang-orang mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh temannya sendiri. Tidak, tetapi serukanlah, wahai Umar, kepada orang-orang untuk segera berangkat (pulang). Ketika hal itu sampai kepada Abdullah ibnu Ubay, maka ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan meminta maaf kepadanya serta bersumpah bahwa dia tidak mengatakannya, yakni tidak mengatakan seperti apa yang dilaporkan oleh Zaid ibnu Arqam. Sedangkan Abdullah ibnu Ubay adalah seorang lelaki yang mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan kaumnya, maka mereka mengatakan, "Wahai Rasulullah, barangkali anak remaja ini (yakni Zaid ibnu Arqam) hanya berilusi dan masih belum dapat menangkap pembicaraan yang dikatakan oleh seorang yang telah dewasa." Tetapi Rasulullah ﷺ pergi di tengah hari, yaitu di saat yang pada kebiasaannya beliau tidak pernah memerintahkan untuk berangkat.
Lalu Usaid ibnu Hudair datang menjumpai beliau ﷺ dan mengucapkan salam penghormatan kenabian kepada beliau ﷺ Kemudian Usaid berkata, "Demi Allah, engkau memerintahkan berangkat di saat yang tidak disukai dan yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Tidakkah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh temanmu. Ibnu Ubay. Dia mengira bahwa apabila aku sampai di Madinah, maka orang yang kuat akan mengusir orang yang lemah daripadanya. Usaid ibnu Hudair berkata, "Wahai Rasulullah, engkaulah orang yang kuat dan dia adalah orang yang hina (kalah)." Kemudian Usaid berkata pula, "Wahai Rasulullah, kasihanilah dia. Demi Allah, sesungguhnya ketika Allah mendatangkan engkau, sesungguhnya kami benar-benar telah menguntai manikam guna memahkotainya (menjadi pemimpin kami). Dan sesungguhnya dia memandang bahwa engkau telah merebut kerajaan itu dari tangannya." Kemudian Rasulullah ﷺ membawa pasukan kaum muslim berjalan hingga petang hari dan dilanjutkan pada malam harinya hingga pada pagi hari dan matahari meninggi hingga panasnya mulai terasa. Setelah itu beliau ﷺ memerintahkan kepada pasukan kaum muslim untuk turun istirahat,aguna mengalihkan perhatian mereka dari topik pembicaraan yang sedang menghangat di kalangan mereka.
Maka begitu orang-orang menyentuh tanah, mereka langsung tidur karena kecapaian, dan di tempat itulah diturunkan surat Al-Munafiqun. Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafidzh, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah mengatakan, "Ketika kami bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu peperangan, maka ada seorang lelaki dari kalangan Muhajirin mendorong seorang lelaki dari kalangan Ansar (karena memperebutkan sesuatu).
Maka orang Ansar mengatakan, 'Wahai orang-orang Ansar!' Sedangkan orang Muhajirin mengatakan, 'Wahai orang-orang Muhajirin!' Yakni meminta bantuan kepada temannya masing-masing. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Mengapa seruan jahiliah itu muncul lagi?Tinggalkanlah oleh kalian, karena sesungguhnya seruan jahiliah itu sudah usang (busuk)'." Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berkata, "Ternyata mereka melakukan seruan jahiliah itu. Demi Allah, sesungguhnya jika kita kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya." Jabir melanjutkan bahwa jumlah orang-orang Ansar di Madinah jauh lebih banyak daripada orang-orang Muhajirin di saat Rasulullah ﷺ baru tiba di Madinah, kemudian lama-kelamaan sesudah itu jumlah kaum Muhajirin bertambah banyak.
Maka Umar berkata, "Biarkanlah aku memenggal batang leher si munafik ini." Tetapi Rasulullah ﷺ bersabda: Biarkanlah dia, agar orang-orang tidak membicarakan bahwa Muhammad membunuh temannya sendiri. Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari Husain ibnu Muhammad Al-Marwazi, dari Sufyan ibnu Uyaynah. Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pula dari Al-Humaidi, Imam Muslim meriwayatkannya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan lain-lainnya, dari Sufyan dengan sanad dan lafal yang semisal. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Zaid ibnu Arqam yang mengatakan bahwa aku bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Tabuk, maka Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul mengatakan, "Sesungguhnya jika kita kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang yang lemah daripadanya." Zaid ibnu Arqam melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menceritakan hal itu kepada Nabi ﷺ Maka Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul bersumpah bahwa dirinya tidak mengatakan hal tersebut.
Akhirnya kaum Zaid ibnu Arqam mencela dirinya, dan mereka mengatakan, "Apakah tujuanmu dengan hal tersebut? Zaid ibnu Arqam pergi, lalu tidur dalam keadaan bersedih hati. Tidak lama kemudian Rasulullah ﷺ memanggilku dan bersabda kepadaku: Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang memaafkanmu dan membenarkanmu. Zaid ibnu Arqam mengatakan bahwa ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Ansar), "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).(Al-Munafiqun: 7) Sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya. (Al-Munafiqun: 8) Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam tafsir ayat ini melalui Adam ibnu Abu Iyas, dari Syu'bah.
Kemudian ia mengatakan bahwa Ibnu Abu Zaidah telah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Amr, dari Ibnu Abu Laila, dari Zaid, dari Nabi ﷺ Dan Imam At-Tirmidzi serta Imam An-Nasai meriwayatkan hadits ini sehubungan dengan tafsir ayat ini melalui hadits Syu'bah dengan sanad yang sama. Jalur lain dari Zaid ibnu Arqam. Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam dan Yahya ibnu Abu Bukair. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, bahwa ia pernah mendengar Zaid ibnu Arqam.
Dan Abu Bukair telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Arqam. Disebutkan bahwa aku (Zaid ibnu Arqam) berangkat bersama pamanku di suatu peperangan, lalu aku mendengar Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul mengatakan kepada teman-temannya, "Janganlah kamu membelanjakan hartamu kepada orang-orang yang ada di sisi Rasulullah ﷺ Dan sesungguhnya ika kita kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya." Kemudian aku ceritakan hal itu kepada pamanku, dan pamanku melaporkannya kepada Rasulullah ﷺ Maka Rasulullah ﷺ memanggilku dan aku ceritakan hal tersebut kepadanya. Lalu Rasulullah ﷺ memanggil Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul dan teman-temannya, tetapi mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengatakannya. Akhirnya Rasulullah ﷺ tidak mempercayaiku dan membenarkan Ibnu Ubay, maka hal itu merupakan suatu pukulan yang berat bagiku yang tidak pernah kualami sebelumnya, hingga aku terpaksa menetap di dalam rumah, dan pamanku berkata, "Tiada yang engkau hasilkan selain dari ketidakpercayaan Rasulullah ﷺ kepadamu dan kemarahan beliau kepadamu." Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu. (Al-Munafiqun: 1) hingga akhir surat, lalu Rasulullah ﷺ memanggilku dan membacakan surat Al-Munafiqun kepadaku, kemudian beliau ﷺ bersabda: Sesungguhnya Allah telah membenarkanmu. Kemudian Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq, bahwa ia pernah mendengar Zaid ibnu Arqam mengatakan bahwa kami berangkat bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan, dan dalam perjalanan itu orang-orang mengalami keadaan yang genting.
Maka Abdullah ibnu Ubay berkata kepada teman-temannya, "Janganlah kamu membelanjakan harta kepada orang-orang yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar meninggalkannya." Dan Ibnu Ubay mengatakan pula, bahwa sesungguhnya jika kita kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya. Maka aku datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya, lalu beliau memanggil Abdullah ibnu Ubay dan menanyainya, tetapi Abdullah ibnu Ubay menyangkalnya dengan sumpah yang sekuatnya bahwa dia tidak mengatakan hal itu.
Dan mereka berkata, "Si Zaid itu dusta, wahai Rasulullah." Maka hatiku berduka cita karena ucapan mereka itu, dan Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu yang membenarkan diriku, yaitu: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu. (Al-Munafiqun: 1) Kemudian Rasulullah ﷺ memanggil mereka untuk memintakan ampunan kepada Allah bagi mereka, tetapi mereka memalingkan mukanya (menolak). Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. (Al-Munafiqun: 4) Bahwa mereka adalah orang-orang yang berpenampilan sangat baik. Pendapat ini telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam An-Nasai melalui hadits Zuhair. Imam Al-Bukhari telah meriwayatkannya pula, begitu juga Imam At-Tirmidzi melalui hadits Israil, keduanya dari Abu Ishaq alias Amr ibnu Abdullah As-Subai'i Al-Hamdani Al-Kufi, dari Zaid dengan sanad yang sama.
Jalur lain dari Zaid. Abu Isa At-At-Tirmidzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari As-Suddi, dari Abu Sa'd Al-Azdi, bahwa telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Arqam yang mengatakan bahwa kami ikut bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu peperangan. Bersama kami terdapat sejumlah orang Arab Badui, kami berebutan mengambil air dari mata air, dan orang-orang Badui itu mendahului kami menuju air mata air tersebut.
Salah seorang dari Arab Badui itu mendahului teman-temannya untuk membuat kolam dan memenuhinya dengan air, serta menambak sekeliling kolam dengan batu, lalu memasang kuda-kuda untuk tempat timba di atasnya sambil menunggu kedatangan teman-temannya. Kemudian datanglah seorang lelaki dari kalangan Ansar ke tempat lelaki Badui itu, dan orang Ansar itu langsung menundukkan tali kendali unta kendaraannya dengan maksud agar untanya dapat minum dari air kolam tersebut.
Akan tetapi, lelaki Badui itu menolaknya. Maka orang Ansar itu merasa jengkel, lalu ia membedah salah satu batu penahan kolam itu hingga airnya mengalir ke luar. Maka orang Badui itu mengangkat batang kayu miliknya dan memukulkannya ke kepala orang Ansar itu hingga membuatnya berdarah dan luka. Kemudian lelaki Ansar itu mendatangi Abdulllah ibnu Ubay dan menceritakan hal tersebut kepadanya, sedangkan dia adalah salah seorang dari teman Abdullah ibnu Ubay.
Maka Abdullah ibnu Ubay marah dan berkata, "Janganlah kamu membelanjakan hartamu kepada orang-orang yang ada di sisi Rasulullah ﷺ supaya mereka bubar meninggalkannya," Yang dia maksudkan adalah orang-orang Badui yang membantu Rasulullah ﷺ Merekalah yang menyediakan makanan buat Rasulullah ﷺ Abdullah ibnu Ubay berkata kepada teman-temannya, bahwa apabila mereka bubar dari sisi Rasulullah, maka datanglah kalian kepada Muhammad dengan membawa makanan, agar dia dan sahabat-sahabatnya makan. Kemudian Abdullah ibnu Ubay mengatakan pula, bahwa sesungguhnya jika kamu kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang yang lemah daripadanya. Zaid ibnu Arqam mengatakan bahwa saat itu ia membonceng pamannya. Dan ia mendengar apa yang telah dikatakan oleh Abdullah ibnu Ubay kepada teman-temannya itu, lalu ia menceritakan hal itu kepada pamannya.
Maka pamannya berangkat dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ , lalu Rasulullah ﷺ memanggil Abdullah ibnu Ubay, tetapi Abdullah ibnu Ubay mengingkari perkataannya dan bersumpah bahwa dia tidak mengatakannya. Rasulullah ﷺ membenarkan dia dan mendustakan aku. Pamanku datang, lalu berkata kepadaku, "Tiada lain yang kamu hasilkan selain kemurkaan Rasulullah ﷺ Beliau mendustakanmu dan juga kaum muslim." Hal itu membuat diriku merasa berduka cita yang sangat mendalam dan belum pernah kurasakan hal sesedih itu. Dan ketika aku sedang berjalan bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan, sedangkan kepalaku masih pusing disebabkan kesusahan itu, tiba-tiba Rasulullah ﷺ datang mendekatiku dan menjewer telingaku seraya tersenyum memandang wajahku. Hal tersebut membuat diriku meledak gembira, dan ingin rasanya kebahagiaan ini kekal dalam kehidupan duniaku. Kemudian sahabat Abu Bakar menyusulku dan mengatakan, "Apakah yang dikatakan oleh Rasulullah ﷺ kepadamu?" Aku menjawab, "Beliau tidak mengatakan apa pun kepadaku, hanya beliau menjewer telingaku dan tersenyum seraya memandang wajahku." Maka Abu Bakar berkata, "Bergembiralah kamu." Lalu Umar menyusulku dan menanyaiku, maka kukatakan kepadanya seperti apa yang kukatakan kepada Abu Bakar.
Dan pada pagi harinya Rasulullah ﷺ membacakan kepada kami surat Al-Munafiqun. Imam At-Tirmidzi mengetengahkan hadits ini secara munfarid, dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Hafrz Imam Baihaqi, dari Al-Hakim, dari Ubaidillah ibnu Musa dengan sanad yang sama. Tetapi dalam riwayatnya disebutkan sesudah kata-kata Zaid ibnu Arqam, bahwa lalu Rasulullah ﷺ membacakan surat Al-Munafiqun kepada kami, yaitu firman-Nya: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah. (Al-Munafiqun: 1) sampai dengan firman-Nya: Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Ansar), "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).(Al-Munafiqun: 7) hingga firman-Nya: benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya. (Al-Munafiqun: 8) Abdullah ibnu Lahi'ah telah meriwayatkan dari Abul Aswad ibnu Urwah ibnuz Zubair di dalam kitab Al-Magazi, dan juga Musa ibnu Uqbah di dalam kitab Magazi-nya kisah ini dengan konteks yang sama.
Tetapi keduanya menceritakan bahwa yang menyampaikan ucapan Abdullah ibnu Ubay kepada Rasulullah ﷺ adalah Aus ibnu Aqram dari kalangan Banil Haris ibnul Khazraj. Barangkali dia adalah penyampai yang lain, atau kekeliruan dari pihak pendengar (hadits); hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Aziz Al-Aili, telah menceritakan kepadaku Salam, telah menceritakan kepadaku Aqil, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Muslim, bahwa Urwah ibnuz Zubair dan Umar ibnu Sabit Al-Ansari pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ berangkat ke medan perang Al-Muraisi', yang dalam perang itu Rasulullah ﷺ menghancurkan berhala Manat yang terletak di antara Musyallal dan pantai. Rasulullah ﷺ mengirimkan Khalid ibnul Walid, lalu Khalid menghancurkan berhala Manat tersebut. Dalam perang tersebut yang Rasulullah ﷺ ikut di dalamnya, terjadi suatu perselisihan antara dua orang; salah seorangnya dari kalangan Muhajirin, sedangkan yang lainnya dari Bani Bahzyang merupakan teman sepakta orang-orang Ansar.
Ternyata dalam perkelahian itu orang dari Muhajirin dapat mengalahkan orang dari Bani Bahz, maka lelaki yang dari Bani Bahz mengatakan, "Wahai orang-orang Ansar, tolonglah aku," maka beberapa orang dari kalangan Ansar membantunya. Akhirnya lelaki Muhajirin itu berkata pula, "Wahai orang-orang Muhajirin, tolonglah aku," maka beberapa orang Muhajirin membantunya, hingga terjadilah perang kecil di antara sekelompok orang-orang Ansar dan orang-orang Muhajirin.
Tetapi pada akhirnya mereka dapat dipisahkan dan bisa dilerai. Kemudian tiap orang munafik atau orang yang ada penyakit dalam hatinya pulang melapor kepada Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, lalu dilaporkan kepadanya, "Dahulu engkau merupakan harapan dan tempat untuk berlindung bagi kami, tetapi kini engkau tidak dapat membuat mudarat dan tidak pula manfaat. Sesungguhnya para imigran itu telah bersatu menentang kami." Mereka menyebut kaum Muhajirin dengan istilah pira imigran.
Maka Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya jika kita kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya." Kemudian Malik ibnud Dukhsyun mengatakan (dia adalah salah seorang munafik), "Bukankah telah kukatakan bahwa janganlah kalian membelanjakan harta kepada orang-orang yang ada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar meninggalkannya." Umar ibnul Khattab mendengar perkataan tersebut, lalu ia datang dengan jalan kaki menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, izinkanlah kepadaku terhadap lelaki yang telah menghasut banyak orang ini, aku akan memenggal batang lehernya." Umar bermaksud Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul.
Maka Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah engkau benar akan membunuhnya jika kuperintahkan kepadamu untuk membunuhnya?" Umar menjawab, "Ya, jika engkau perintahkan kepadaku untuk membunuhnya, niscaya kupenggal kepalanya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Sekarang duduklah kamu (bersabarlah)." Kemudian datanglah Usaid ibnu Hudair, salah seorang pemimpin orang Ansar dari kalangan Bani Abdul Asyhal, dan ia menghadap kepada Rasulullah ﷺ , lalu berkata, "Wahai Rasulullah, izinkanlah kepadaku terhadap lelaki ini yang telah menghasut banyak orang, aku akan memenggal batang lehernya." Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah engkau akan membunuhnya jika aku perintahkan kamu membunuhnya?" Usaid menjawab, "Jika engkau perintahkan aku untuk membunuhnya, niscaya aku benar-benar akan memenggal batang lehernya dengan pedang ini." Rasulullah ﷺ bersabda, "Duduklah kamu." Selanjutnya Rasulullah ﷺ bersabda, "Perintahkanlah kepada orang-orang agar segera berangkat." Maka Rasulullah ﷺ berangkat membawa pasukan kaum muslim di tengah hari. Perjalanan itu terus berlanjut sampai malam hari hingga keesokan harinya di saat matahari mulai meninggi, setelah itu beliau perintahkan kepada orang-orang untuk turun istirahat.
Kemudian beliau ﷺ membawa mereka berangkat meneruskan perjalanan di siang harinya saat matahari sedang terik-teriknya, perjalanan ditempuhnya sama dengan masa yang sebelumnya, hingga pagi hari sampai di Madinah. Jarak perjalanan ditempuh dalam waktu tiga hari dari Al-Musyallal. Setelah sampai di Madinah, Rasulullah ﷺ memanggil Umar, lalu bersabda kepadanya, "Wahai Umar, apakah engkau akan membunuhnya jika kuperintahkan untuk membunuhnya?" Umar menjawab, "Ya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Demi Allah, seandainya engkau membunuhnya saat itu, niscaya akan banyak kaum lelaki yang terhina olehmu. Seandainya aku perintahkan pada hari itu untuk membunuhnya, niscaya mereka akan membunuhnya, maka orang-orang akan membicarakan bahwa aku telah menganiaya sahabat-sahabatku sendiri dan membunuh mereka dalam keadaan tidak berdaya.
Dan Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Ansar), "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah). (Al-Munafiqun: 7) sampai dengan firman-Nya: Mereka berkata, "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah. (Al-Munafiqun: 8), hingga akhir ayat. Konteks riwayat ini gharib (aneh), tetapi di dalamnya terkandung banyak hal yang berharga berupa informasi yang tidak dijumpai dalam riwayat lainnya. Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan, telah menceritakan kepadaku Asim ibnu Umar ibnu Qatadah, bahwa anak Abdullah Ibnu Ubay ibnu Salul (yaitu Abdullah) ketika mendengar berita tentang ayahnya, lalu ia datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya telah sampai suatu berita kepadaku bahwa engkau hendak membunuh Abdullah ibnu Ubay karena ucapannya terhadap dirimu.
Jika engkau hendak melaksanakannya, maka perintahkanlah kepadaku untuk mengeksekusinya, dan akulah yang akan membawakan kepalanya ke hadapanmu. Demi Allah, semua orang Khazraj telah mengetahui bahwa tiada seorang pun yang iebih berbakti kepada orang tuanya selain aku. Sesungguhnya aku merasa khawatir ika engkau perintahkan orang lain untuk mengeksekusinya, maka aku tidak dapat menahan diri melihat pembunuh ayahku berjalan bebas di tengah orang banyak, dan aku membunuhnya, sehingga kesimpulannya berarti aku membunuh seorang mukmin karena dia membunuh seorang yang kafir, dan akhirnya akan menjerumuskan diriku ke dalam neraka." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Tidak, bahkan kami berbelaskasihan terhadapnya dan tetap berhubungan baik dengannya selama dia tetap bersama kami.
Ikrimah dan Ibnu Zaid serta selain keduanya mengatakan bahwa ketika orang-orang (pasukan kaum muslim) kembali ke Madinah, maka Abdullah ibnu Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berdiri di depan pintu gerbang kota Madinah seraya menghunus pedangnya, dan orang-orang pun melewatinya. Tetapi ketika ayahnya (yaitu Abdullah ibnu Ubay) datang, maka ia berkata kepadanya, "Mundurlah, wahai ayah!" Ayahnya bertanya, "Celakalah kamu, mengapa kamu bersikap seperti itu." Abdullah ibnu Abdullah ibnu Ubay berkata, "Demi Allah, engkau tidak boleh melewati pintu gerbang ini sebelum Rasulullah ﷺ mengizinkan dirimu masuk, karena sesungguhnya dialah orang yang menang dan engkau adalah orang yang kalah." Ketika Rasulullah ﷺ datang karena beliau berada di barisan belakang sebagai penggiring pasukan, maka Abdullah ibnu Ubay mengadu kepada beliau tentang perlakuan putranya.
Dan Abdullah putranya berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, dia tidak boleh masuk sebelum engkau mengizinkannya masuk." Maka Rasulullah ﷺ mengizinkannya untuk memasuki Madinah. Dan putranya berkata, "Sekarang Rasulullah telah memberimu izin untuk masuk, maka silakan masuk." Abu Bakar alias Abdullah ibnuz Zubair Al-Humaidi telah mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepada kami Abu Harun Al-Madani, bahwa Abdullah berkata kepada ayahnya, "Demi Allah, engkau tidak boleh masuk Madinah sebelum engkau katakan bahwa Rasulullah ﷺ adalah orang yang kuat dan aku adalah orang yang kalah." Dan Abdullah datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ , lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya telah sampai kepadaku suatu berita yang mengatakan bahwa engkau hendak membunuh ayahku.
Maka demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, aku belum pernah menatap wajah ayahku karena segan kepadanya. Tetapi sesungguhnya jika engkau menghendaki agar aku mendatangkan kepalanya ke hadapanmu, aku sanggup membawakannya ke hadapanmu (dalam keadaan telah terpenggal). Karena sesungguhnya aku tidak suka melihat orang lain membunuh ayahku.""
Mereka itulah, yakni orang-orang munafik di Madinah yang berkata dengan pentuh hasutan kepada orang-orang Ansar, 'Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang yang ada di sisi Rasulullah yaitu kaum Muhajirin sampai mereka bubar, meninggalkan Rasulullah agar umat Islam pecah dan lemah. ' Padahal milik Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi yang menjamin rezeki setiap orang, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami bahwa rezeki, hidup, dan mati setiap makhluk berada di tangan Allah.
8. Mereka berkata kepada sesama orang munafik, 'Sungguh, jika kita kembali ke Madinah seusai perang Bani Mustalik, yaitu perang yang diiikuti orang-orang munafik bersama kaum muslim, pastilah orang yang kuat, yaitu orang-orang munafik akan mengusir orang-orang yang lemah, yakni kaum muslim dari sana, Madinah. ' Padahal kekuatan itu hakikatnya hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan milik orang-orang mukmin, selama mereka bersatu dan memiliki mental kejuangan, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui bahwa yang lemah itu mereka dan yang kuat itu Rasulullah bersama para sahabat.
Allah menjelaskan bahwa orang-orang munafik itu selalu menganjurkan agar orang-orang Ansar tidak memberi nafkah kepada orang-orang Muhajirin yang datang bersama-sama Muhammad ﷺ dari Mekah dan membiarkan mereka menderita kelaparan, sehingga mereka akan meninggalkan Nabi ﷺ Anjuran dan anggapan orang-orang munafik itu keliru. Mereka tidak mengetahui bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah. Di tangan-Nya-lah kunci perbendaharaan rezeki manusia. Tidak seorang pun yang dapat memberikan sesuatu kepada yang lain kecuali dengan kehendak-Nya. Mereka tidak mau memahami sunatullah yang berlaku bagi makhluk-makhluk-Nya. Allah telah menjamin rezeki hamba-hamba-Nya di mana pun mereka berada. Setiap mereka bekerja dan berusaha, mereka akan memperoleh rezekinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ada tersebut beberapa hadits yang mengenai Asbabun Nuzuul (sebab-sebab dari turunnya) ayat-ayat ini. Yaitu berkenaan dengan diri Abdullah bin Ubay bin Salul, yang dianggap sebagai perancang dari segala kemunafikan ini.
Ibnu Ishaq menguraikan hal ini dalam rangkaian kejadian ketika terjadi peperangan (ghazwah) yang dipimpin oleh Rasulullah ﷺ sendiri dalam menaklukkan Bani Mushthaliq pada tahun keenam di suatu tempat bernama Almuyasayi' pada sebuah telaga tempat mengambil air minum. Yaitu ketika Rasulullah kembali dari Peperangan Bani Mushthaliq tersebut, beliau dan sahabat-sahabat yang mengiringkan singgah di tempat berhenti pengambilan air minum tersebut. Di situ berhenti buat berlepas lelah sambil menyauk air minum. Umar bin Khaththab sendiri pun ikut dalam rombongan itu. Dia diiringkan oleh seorang bernama Jahjaah bin Masud dari Bani Ghifaar yang kerjanya ialah menjaga dan memberi makan kuda Sayyidina Umar.
Ketika berebut-rebut mengambil air dan berdesak-desak, berebut-rebutlah mengambil air di antara Jahjaah tukang Sayyidina Umar itu dengan Sinan bin Wabar al-Jihniy yang jadi pengikut dari Bani Uun bin Khazraj. Mereka berdua berebut dan mengadu kekuatan dalam mengambil air. Sedang Si Jahjaah adalah anak semang dari Umar bin Khaththab dari Muhajirin dan Si Sinan anak semang pula dari Bani Uun bin Khazraj dari Anshar. Dalam memperebutkan air itu rupanya telah bermarah-marahan di antara Jahjaah dengan Sinan, sama-sama anak semang, sampai berkelahi. Tiba-tiba karena terdesak, Si Sinan bersorak, “Tolonglah saya, hai kaum Anshar!" Dengan sekuat suaranya. Mendengar dia bersorak demikian Si Jahjaah pun bersorak pula, “Tolonglah saya, hai Muhajirin!`
Mendengar perkelahian itu telah terjadi, sedang Si Sinan membangkit-bangkit nama golongan, saat itulah yang dirasa pantas oleh Abdullah bin Ubay hendak membuat suasana lebih kacau. Dia berkata dengan sangat marah di hadapan beberapa kaumnya, sedang di sana ada hadir seorang pemuda dari golongan Muhajirin, bernama Zaid bin Arqam (anak dari Arqam yang tatkala Islam masih sembunyi-sembunyi di Mekah dahulu menyediakan rumahnya untuk rapat rahasia di antara Nabi ﷺ dengan orang-orang yang telah menyatakan beriman, tetapi belum berani menyatakan diri di muka umum).
Dengan murkanya Abdullah bin Ubay mulailah melakukan hasutannya, “Apakah memang telah mereka mulai? Mereka telah mendesak kita, maka telah menandingi kita di kampung halaman kita sendiri. Demi Allah, pada pandanganku di antara kita dengan petualang-petualang Quraisy itu adalah sebagai pepatah orang tua-tua juga, ‘Gemukkan anjingmu, akhirnya engkau dimakannya.' Demi Allah kalau kita pulang segera ke Madinah pastilah orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah itu."
Dia belum merasa puas lalu diteruskannya ucapannya kepada kaumnya yang hadir, “Inilah yang telah kalian lakukan selama ini? Kalian halalkan kampung halaman kalian untuk orang-orang itu, kalian serahkan harta benda kalian kepada mereka. Padahal, demi Allah, kalau kalian pegang teguh harta kalian itu, tidak seboros itu kalian kepada mereka, niscaya mereka akan pindah ke tempat lain."
Semuanya itu didengar oleh anak muda Zaid bin Arqam. Lalu dengan segera dia tinggalkan tempat itu dan dia pergi menemui Rasulullah ﷺ. Ketika Zaid bin Arqam sampai di hadapan Rasulullah kebetulan sayyidina Umar bin Khaththab sedang ada dalam majelis Rasulullah ﷺ.
Mendengar berita yang dibawa Zaid itu yang lebih dahulu menyatakan sambutan ialah Umar bin Khaththab. Dia berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Perintahkanlah Ubbaad bin Bisyr, suruh dia membunuhnya."
Tetapi dengan tenangnya Rasulullah bersabda, “Bagaimana kata orang nanti, ya Umar! Mereka akan mengatakan Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya. Tidak, bukan begitu! Perintahku ialah sekarang juga kita berangkat, tinggalkan tempat ini!'"
Dengan segera disampaikanlah kepada seluruh perintah Rasulullah itu, berangkat semua sekarang juga, padahal belumlah hilang lelah perjalanan.
Rupanya telah ada yang memberitahu Abdullah bin Ubay, bahwa percakapannya itu telah disampaikan oleh Zaid bin Arqam kepada Rasulullah. Entah karena takut atau memang begitu perangai orang munafik, segeralah Abdullah bin Ubay menemui Rasulullah ﷺ, lalu bersumpahlah dia di hadapan beliau, bahwa tidaklah pernah dia bercakap seperti itu.
Dalam kalangan orang Anshar masih ada yang segan kepadanya. Maka adalah di antara mereka yang membelanya di hadapan Rasulullah. Yang membela itu berkata, “Ya Rasulullah, Zaid ini masih anak-anak, mungkin tidak begitu terang baginya perkataan Abdullah, mungkin dia tidak bercakap sampai seperti itu."
Ibnu Ishaq menceritakan lagi selanjutnya, “Setelah siap segala persiapan, mulailah Rasulullah berangkat meninggalkan tempat itu. Seorang sahabat muda dari Anshar bernama Usaid bin Hudhair datang menemui beliau, mengucapkan salam kenabian kepada beliau (Assalamu'alaika ya Rasulullah!). Setelah itu dia pun bertanya, “Ya Rasulullah, Tuan berangkat tidak seperti biasanya; biasanya pada saat-saat begini engkau tidak berangkat, apakah sebabnya?"
Lalu Rasulullah ﷺ bertanya pula kepada Usaid bin Hudhair, “Belumkah sampai kepada engkau apa yang diucapkan oleh kawanmu itu?"
Usaid bertanya, “Kawan yang mana ya Rasul Allah?"
“Abdullah bin Ubay," kata beliau.
“Apa ucapannya itu, ya Rasulullah?"
“Dia mengatakan bahwa apabila dia telah kembali ke Madinah, maka orang-orang yang mulia akan mengusir orang-orang yang hina."
Lalu Usaid menjawab, “Engkaulah ya Rasul Allah, demi Allah yang akan mengusirnya dari Madinah, kalau Tuan menghendaki demikian. Demi Allah dialah yang hina dan Tuanlah yang mulia."
Kemudian itu Usaid menyambung perkataannya pula, “Ya Rasulullah, kasihanilah dia! Demi Allah, Allah telah mendatangkan Tuan kepada kami, di saat-saat kaumnya akan melantiknya menjadi raja! Kepalanya akan diberi mahkota! Tiba-tiba Tuan datang, maka kehormatan yang dia inginkan itu tidak jadi didapatnya!"
Kemudian itu berjalanlah Rasulullah bersama orang banyak sejak pagi sampai petang, dan pada malamnya sampai pagi, dan terus juga berjalan, sampai matahari hampir terbenam pula, barulah di saat itu berhenti dan orang banyak pun turut berhenti. Maka oleh karena terlalu lelah berjalan sejauh itu tidak berhenti-henti, selesai mengerjakan shalat mereka pun istirahat, dan baru saja tercercah kepala ke tanah, semuanya tertidur dengan nyenyaknya, sehingga tercapailah maksud Rasulullah membawa berjalan jauh-jauh lebih dari sehari semalam itu, yaitu orang tidak mempunyai kesempatan lagi memperbincangkan isi ucapan Abdullah bin Ubay yang sangat menyinggung perasaan itu.
Berkata Ibnu Ishaq, “Waktu itulah turun surah al-Munaafiquun, tepat menuju Abdullah bin Ubay dan orang-orang yang seumpama dia. Setelah selesai menerima wahyu itu Rasulullah memanggil Zaid bin Arqam, lalu dengan penuh kasih sayang dijewernya telinga anak muda itu seraya berkata kepadanya, ‘Inilah diakui Allah pendengaran telinganya!'"
Maka sampailah kepada anak Abdullah bin Ubay yang bernama Abdullah pula, Abdullah bin Abdullah bin Ubay, berita tentang ucapan-ucapan ayahnya itu.
Berkisah Abu Ishaq seterusnya, bahwa menurut berita yang disampaikan kepadanya oleh Aashim bin Umar bin Qatadah, bahwa Abdullah (anak) itu datang menghadap Rasulullah ﷺ lalu disampaikanlah perasaan hatinya, “Ya Rasulullah, aku mendengar berita bahwa Tuan bermaksud hendak membunuh Abdullah bin Ubay karena ucapannya itu. Kalau memang demikian maksud Tuan, kepada akulah perintahkan mengerjakan pembunuhan itu. Aku akan bawa kepalanya ke hadapan Tuan. Demi Allah, seluruh Khazraj tahu bagaimana hormatnya aku kepada ayahku. Kalau Tuan menyuruhkan orang lain menjalankan perintah itu terhadap ayahku, lalu ayahku dibunuhnya, aku takut tidak akan tahan hati melihat orang itu berjalan di muka orang banyak, lalu aku bunuh pula dia. Niscaya aku telah bersalah membunuh seorang beriman karena menuntut bela atas pembunuhannya atas orang kafir. Dengan demikian aku pun masuk neraka pula."
Rasulullah menjawab, “Engkau teruskan berlaku hormat kepada orang tuamu. Kami tetap menganggapnya seorang sahabat, selama dia masih ada di antara kita."
Tetapi apa yang terjadi sesudah itu? Di mana-mana saja orang berkumpul dan sampai kepada pembicaraan ucapan Abdullah bin Ubay, maka kaumnya yang tadinya menghormatinya telah bertukar jadi mencelanya, menyesalinya dan menghinakannya. Sehingga ke mana saja Abdullah bin Ubay itu pergi, orang menunjukkan muka yang tidak senang. Maka berkatalah Rasulullah ﷺ kepada Umar bin Khaththab, “Bagaimana pendapatmu sekarang, hai Umar! Kalau aku kabulkan permintaanmu supaya dia dibunuh di waktu itu, niscaya akan bangunlah serentak membelanya sekalian orang yang menyesalinya, mencelanya dan memburukkannya sekarang ini. Yaitu orang-orang yang kalau aku suruhkan mereka membunuhnya sekarang, mereka segera melakukannya."
Lalu Umar bin Khaththab menjawab, “Tahulah aku bahwasanya siasat yang dipakai Rasulullah lebih besar berkahnya daripada apa yang aku pikirkan."
Selanjutnya menurut riwayat dari Ikrimah dan Ibnu Zaid, setelah orang banyak itu kembali ke Madinah berduyun-duyun, maka Abdullah bin Abdullah berdiri di muka pintu kota Madinah dengan pedang terhunus. Tiap-tiap orang yang lalu di hadapannya, dibiarkannya berlalu dengan tidak ditegurnya. Tetapi setelah dilihat ayahnya sendiri yang datang dan bermaksud hendak masuk ke dalam kota melalui pintu itu, Abdullah (sang anak) menegur, “Mundur!"
Dengan tercengang ayahnya menjawab, “Apa yang terjadi? Mengapa engkau larang aku masuk? Mengapa engkau suruh aku mundur?"
Anaknya menjawab dengan tegas, “Ayah tidak boleh melampaui pintu ini untuk masuk ke dalam Kota Madinah sebelum Rasulullah ﷺ memberimu izin! Karena Rasulullah adalah orang yang mulia, sedang ayah adalah orang yang hina!"
Maka terpaksalah ayahnya itu berhenti di muka pintu itu menunggu Rasulullah ﷺ datang. Karena biasanya dalam perjalanan demikian Rasulullah berjalan di belakang-belakang untuk menjaga kalau ada yang tersesat atau ketinggalan.
Setelah tidak berapa lama, Rasulullah muncul. Abdullah (si ayah) terus menghadap Rasulullah mengadukan perbuatan putranya terhadap dirinya.
Maka tampillah Abdullah (anak) ke muka Rasulullah memberikan penjelasan, bahwa ayahnya itu tidak akan diberinya izin masuk ke dalam kota Madinah, kalau tidak Rasulullah yang mengizinkannya.
“Sekarang aku izinkan," ujar Rasulullah.
“Kalau sudah Rasulullah mengizinkan, bolehlah ayah melalui pintu itu.`
Dalam ayat-ayat selanjutnya ini diterangkan pulalah perangai-perangai buruk mereka itu.
Ayat 5
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Matilah kamu semua supaya dimohonkan ampun untuk kamu oleh Rasulullah' mereka membuang muka mereka."
Orang-orang yang mengajak mereka mendekati Rasulullah itu, agar beliau memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka, ialah orang-orang yang masih mengharap, moga-moga mereka dapat menjadi baik kembali, tetapi dasar orang munafik, mereka tidak mau mendengarkan ajakan itu, bahkan mereka memalingkan muka. “Dan engkau lihat mereka menghalangi." Bukan saja mereka tidak mau diajak berunding, diajak mendekati Rasul agar dimohonkan ampun untuk mereka, malah orang-orang lain yang hendak mendekati Rasul atau mendekati Islam, mereka halang-halangi. Tiap-tiap langkah yang akan menuju kepada pendekatan kepada jalan Allah mereka rintangi jalannya,
“Sedang mereka membesarkan diri."
Mereka menjauhkan diri karena merasa dalam hati kecilnya jika berhadapan dengan kebenaran, dalam hal ini dengan Rasul, pendirian yang mereka pertahankan itu akan cair dengan sendirinya. Tidak ada jalan buat mempertahankan pendirian yang salah itu, yang lebih baik ialah menjauh. Menjauh itu disertai dengan membesarkan diri. Mengapa diri dibesarkan? Karena diri itu adalah kecil, itulah sebab maka dibesar-besarkan. Buat membungkus diri yang berjiwa kerdil, tidak ada jalan lain daripada membesarkan diri. Dan biasanya membesarkan diri itu di hadapan orang yang lebih rendah, lebih bodoh. Atau ketika berkumpul sesama sendiri. Nanti kalau bertemu dengan orang yang berpendirian tegas yang sudi mempertaruhkan jiwa karena memperjuangkan pendirian itu, orang yang membesarkan diri itu menjadi sangat kecil, mati kutu, tidak dapat mengangkat muka.
Ayat 6
“Sama saja atas mereka, apakah engkau mohonkan ampun untuk mereka, ataukah tidak engkau mohonkan ampun, sekali-kali tidaklah Allah akan mengampuni mereka."
Mengapa Allah tidak akan memberi ampun lagi, walaupun Nabi sendiri yang bersedia memohonkan kepada Allah supaya mereka diampuni? Sebabnya ialah karena kekotoran jiwa itu sudah sangat mendalam, sudah menjadi sikap, hidup. Serupa juga dengan sehelai kain yang telah lama terbenam dalam lumpur, lalu dikeluarkan dan dicuci dengan segala macam cucian, direbus dengan air panas, dibanyak-banyakkan sabun, namun setelah kain itu kering di atas jemuran, warna kain itu tidaklah mungkin seperti aslinya lagi. Karena sari lumpur itu telah masuk dan telah lekat pada tiap-tiap helai benangnya.
“Sesungguhnya Allah tidaklah memberi petunjuk kepada kaum yang fasik."
Fasik artinya ialah melanggar peraturan-peraturan yang baik menurut ukuran akal yang murni dan perintah agama yang benar, hanya sengaja hendak melanggar. Seakan-akan menantang Allah karena membesarkan diri tadi. Di antara kefasikan itu ialah yang disebutkan dalam ayat selanjutnya,
Ayat 7
“Merekalah yang berkala, Janganlah kamu memberikan penbelanjaan kepada mereka yang di sisi Rasulullah itu, sehingga bercerai-berailah mereka.'"
Asal kata ini ialah dari hasutan Abdullah bin Ubay kepada kaum Anshar yang membantu Rasulullah dan kaum Muhajirin yang berhijrah ke Madinah. Tegasnya ialah supaya kaum Anshar menghentikan bantuan kepada orang-orang yang hijrah itu. Kalau bantuan telah dihentikan, mereka tidak akan bisa bergerak lagi. Mereka akan bercerai-berai dari negeri Madinah ini, karena tidak ada sumber hidup mereka.
Beginilah kasar jiwa orang munafik dan orang kafir. Mereka sangka orang yang memperjuangkan agama dengan keyakinan, amat bergantung kepada bantuan mereka. Kalau bantuan distop, tentu pejuang-pejuang itu akan kelaparan. Kalau sudah lapar niscaya mereka tidak dapat bergerak lagi, bahkan akan kocar-kacir, cerai-berai.
Inilah taktik kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim di Mekah sebelum Rasulullah berpindah ke Madinah. Sampai mereka boikot Bani Hasyim, keluarga terdekat kepada Rasulullah ﷺ dua tahun lamanya. Kalau sudah lapar semuanya tentulah akhirnya tunduk. Namun Rasulullah tidak tunduk. Melainkan mereka sendiri, Quraisy sesama Quraisy yang bertengkar, sehingga akhirnya pemboikotan itu dibuka kembali dan Nabi keluar dengan semangat lebih mantap.
Cara yang beginilah yang dipakai oleh bangsa-bangsa penjajah ketika mereka menjajah di negeri-negeri Islam, sebagaimana yang dilakukan Belanda ketika menjajah Indonesia; yaitu kalau ada orang Islam murtad dan agamanya, pindah ke agama Kristen, gajinya sebagai pegawai akan dinaikkan, dan kalau masih tetap dalam Islam gajinya tetap rendah.
Cara yang begini juga yang dipakai di negeri-negeri Islam yang dikuasai komunis, dalam usaha menghapuskan pengaruh Islam di negeri itu. Tidak ada istirahat pada hari Jum'at, untuk shalat, tetapi hanya ada di hari Minggu. Maksud dari semuanya itu ialah hendak menghilangkan kekuatan Islam, hendak membuat Islam cerai-berai, kocar-kacir.
Dan di dalam negeri-negeri Islam sendiri, yang pemerintahnya tidak lagi berpikir menurut garis Islam, tidaklah diberi kesempatan Islam berbangkit, kecuali kalau pihak penguasa memandang ada keuntungan yang diharapkan dari mereka. Tetapi ujung ayat ini telah memberikan ingat bahwa usaha hendak membendung sumber rezeki Islam itu tidaklah akan berhasil, sebab “Dan bagi Allah-lah perbendaharaan-perbendaharaan di semua langit dan bumi." Artinya, bahwa yang menentukan rezeki itu bukanlah manusia, bukan orang semacam Abdullah bin Ubay. Rezeki Allah yang menentukan. Rezeki dari Allah itu tidak diketahui di mana pintunya, dia akan turun kalau Allah menghendaki.
“Tetapi orang-oramg munafik tidaklah mengerti."
Teringatlah saya ketika menyusun tafsir sampai di sini, nasib seorang teman sangat karib dengan saya ketika zaman perjuangan dahulu. Untuk kepentingan pembangunan negara, dia masuk jadi pegawai negeri. Di samping jadi pegawai negeri dia pun meneruskan cita-citanya dalam perjuangan fi sabilillah. Oleh karena pengaruhnya karena cita-cita perjuangan itu bertambah besar, tumbuhlah rasa curiga bagi pihak penguasa, sehingga dia disuruh memilih satu di antara dua: pertama, tetap jadi pegawai negeri tetapi hentikan kegiatan perjuangan, atau teruslah berjuang dalam cita-cita, tetapi mesti herhenti den pegawai.
Ketika datang “kata dua" seperti itu dari penguasa tertinggi, yang diajaknya musyawarah terlebih dahulu ialah istrinya mana yang akan dia pilih? Istrinya sangat-sangat memberinya dorongan, “Kita bukan keturunan pegawai negeri! Kalau disuruh memilih, pilihlah perjuangan bersama umat!"
“Bagaimana jaminan hidup kita?" tanyanya kepada istrinya.
Lalu dengan nada kesal istrinya menjawab, “Apakah Kakanda sekarang sudah berubah? Sudah terlalu enak jadi pegawai? Bukankah selama ini Kakanda memfatwakan di mana-mana, bahwa kalau kita berjuang karena Allah, pastilah Allah akan menjamin hidup kita. Apakah Kakanda tidak yakin lagi akan apa yang Kakanda ucapkan kepada orang lain itu?"
Bukan main gembira hatinya bercampur terharu mendengar jawaban tegas dari istrinya itu. Dan ketika teman-temannya seperjuangan datang menanyakan kepadanya bagaimana sikapnya? Dia telah menjawab dengan tegas padat: dia memilih tetap berjuang untuk agama dan meletakkan jabatan jadi pegawai negeri!
Padahal waktu itu dia telah mendapatkan kedudukan pegawai tertinggi. Memang setelah beberapa bulan kemudian seorang teman yang lain bertanya kepadanya, “Mengapa berhenti jadi pegawai? Dari mana akan dapat ganti jaminan yang diterima tiap-tiap hari ke-28?" (Ketika itu menerima gaji tiap-tiap tanggal 28), Dengan tegas dia menjawab, “Sejak saya berhenti jadi pegawai, alhamdulillah, hampir setiap hari menjadi hari ke-28!"
Kemudian tidak juga orang merasa puas! Disusun satu fitnah dan dituduhkan kepadanya, lalu dia ditangkap dan ditahan selama dua tahun empat bulan (28 bulan). Maka dia pun merasa beruntung karena dalam masa 28 bulan itu dapatlah dia waktu yang selapang-lapangnya buat tafakur, beribadah, membaca, muthala'ah dan memahamkan Al-Qur'an, yaitu suatu hal yang sangat perlu, yaitu memperkaya dan memperlengkap jiwa di dalam menegakkan agama Allah, yang tidak akan dicapainya kalau dia tidak diasingkan dengan paksa selama 28 bulan.
Tepatlah firman Allah itu “Bagi Allah-lah perbendaharaan-perbendaharaan di semua langit dan di bumi; tetapi kebanyakan orang munafik tidak mengerti."
Sepuluh tahun kemudian, setelah orang-orang yang memfitnahkan itu hancur semua laksana Qarun yang tenggelam ke dalam bumi bersama hartanya, teman yang difitnahkan itu masih meneruskan perjuangan menegakkan agama Allah, sekadar kekuatan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Perbelanjaan hidupnya benar-benar tercurah dari perbendaharaan Allah sendiri.
Ayat 8
“Mereka katakan, ‘Sesungguhnya jika kita kembali ke Madinah, pastilah orang-orang yang mulia (kuat) akan mengusil dari sang terhadap orang-orang yang lemah'"
Sebagaimana kita ketahui dari riwayat Ibnu Ishaq yang telah kita salinkan, inilah ucapan beracun yang dikeluarkan oleh Abdullah bin Ubay, yang didengar oleh Zaid bin Arqam dan disampaikannya kepada Rasulullah, dan ketika ditanyai di hadapan Rasulullah, Abdullah bin Ubay bersumpah tidak pernah berkata demikian.
Arti perkataannya ini ialah bahwa dia merasa bahwa dialah yang kuat bersama pengikutnya, sebab dia penduduk asli di Madinah. Dan yang lemah itu ialah Nabi dan para Muhajirin yang hijrah ke Madinah. Tegasnya kalau orang Madinah bersatu di bawah pimpinannya, maka “petualang-petualang" dari Quraisy itu bisa diusir semua.
Perkataan itu sungguh-sungguh menyakitkan hati, sehingga karena menjaga jangan sampai semua Muhajirin tahu perkataan ini, lekas-lekas Rasulullah berjalan meninggalkan tempat pangkal sengketa itu. Di sini Allah menjawab, “Dan bagi Allah sajalah kemuliaan dan bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman,"
Sungguh perkataan Abdullah bin Ubay itu suatu racun, yang kerap kali juga menjalar, melebar dan jadi penyakit turun-temurun. Dia merasa lebih mulia dari orang-orang Muhajirin, bahkan dari Nabi sendiri, karena dia penduduk yang asli di negeri Madinah. Sebab dia penduduk asli, dialah yang lebih mulia.
Penyakit seperti ini menjalar berlarut-larut, dari zaman ke zaman, menghinggapi orang-orang yang berbangga karena dalam dirinya mengalir darah biru bangsawan. Penduduk yang lain adalah pendatang, sedang mereka adalah penduduk yang nenek moyangnya mencencang melatih dan mem-buka tanah itu. Tetapi Allah telah memberikan keterangan yhng sebenarnya, yang mulia sejati ialah Allah, dari Dia datang kemuliaan, diberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.
“Katakanlah ya Tuhanku, Yang Empunya Kerajaan; Engkau anugerahkan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki; di tangan Engkaulah sekalian kebaikan; sesungguhnya Engkau adalah Maha Menentukan atas tiap-tiap sesuatu." (Ali Imraan: 26)
Dalam kata-kata Abdullah bin Ubay, sesampai di Madinah dia sebagai orang yang mulia sanggup akan mengusir orang-orang yang hina, orang pendatang Quraisy, yang sampai diberinya gelar “petualang-petualang" Quraisy, tampak bagaimana keras nafsu kekuasaan yang ada pada dirinya. Jelas apa yang dikatakan oleh Usaid bin Hudhair kepada Nabi, bahwa sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, disebut-sebut bahwa dia hendak dirajakan orang. Rupanya dia telah memimpikan kebesaran dan kemuliaan itu, rupanya gagal tersebab kedatangan Rasul. Namun budi pekerti yang agung dari Rasul menyebabkan beliau tetap bersikap hormat kepadanya. Rupanya sikap hormat Rasul itu dianggapnya sebagai kelemahan. Maka satu pukulan yang hebat bagi dirinya ketika putranya sendiri menghambatnya masuk kota Madinah, kota yang dipandangnya bahwa dialah penduduk asli dan yang termulia di dalam kota itu, dihambat dia tidak boleh masuk oleh putranya sendiri, dan putra itu menyentak pedang di hadapannya. Dia baru boleh masuk kalau Rasulullah ﷺ memberinya izin. Anak itu menjelaskan di hadapan ayahnya, “Rasulullah yang mulia, sedang ayah adalah orang yang hina. Ayah tidak boleh masuk ke dalam kota melalui pintu kota ini, sebelum orang yang mulia, Rasulullah ﷺ memberi ayah izin."
Dan setelah Rasulullah memberi izin, anaknya mengucapkan kata yang lebih pedih, “Sekarang karena Rasulullah telah mengizinkan, bolehlah ayah lalui garis ini!"
Apa yang membuat anak itu begitu berani! Sebabnya ialah firman Allah tadi, yaitu bahwa bagi Allah-lah kemuliaan itu, dan bagi Rasul-Nya, dan bagi orang yang beriman.
Abdullah bin Abdullah bin Ubay adalah orang yang mulia karena imannya. Sebab itu dia berani menghambat ayahnya masuk kota, kalau tidak diizinkan oleh manusia paling mulia, yaitu Nabi Muhammad. Dan si Abdullah (sang ayah) yang selama ini merasa lebih mulia dan membesarkan diri, menjadi “tikus kecil" di hadapan kebesaran dan kemuliaan putranya sendiri.
Di akhir ayat datang lagi firman Allah,
“Namun orang-orang yang munafik tidaklah mengetahui akan rahasia itu."
Mereka masih merasa bahwa merekalah yang lebih mulia. Kalau mereka tahu niscaya mereka akan tunduk dan tahu diri.
Di dalam ayat ini kita mendapat kata-kata izzah yang di sini berarti kemuliaan. Pada Allah ﷻ izzah itu menjadi sifat Aziz, yang diartikan gagah perkasa. Kata-kata ini dapat kita bandingkan dengan ujung ayat 5, yaitu tentang orang munafik yang “mustakbiruun", yang berarti membesarkan diri.
Orang yang tidak beriman, terutama orang yang munafik mustakbir atau mutakabbir atau takabbur. Pokok kata dari kibr. Mustakbir, atau mutakabbir berarti membesarkan diri. Timbul sikap membesarkan diri, karena diri itu tidak besar. Dalam pepatah Melayu disebut, “Katak hendak jadi lembu" akhirnya badannya meletus sendiri.
Sebaliknya dengan orang yang beriman dan tidak munafik. Mereka itu adalah tawadhu, artinya merendahkan diri. Orang yang beriman insaf bahwa dia kecil di hadapan Allah. Oleh karena dia insaf bahwa dirinya kecil, dan hanya Allah yang besar, tidaklah dia menyombong. Karena itu dengan tidak disadarinya dia pun dimuliakan Allah, diberikan kepadanya izzah, yaitu kemuliaan, harga diri, prestise.
Nabi ﷺ bersabda,
“Tidaklah, bertawadhu (merendah diri) seorang hamba karena Allah, melainkan akan ditambah Allah untuknya kemuliaan." (HR Imam Ahmad)
Sebaliknya Abdullah bin Ubay (sang ayah) karena membesarkan diri jadi kecil!