Ayat
Terjemahan Per Kata
أَلَمۡ
apakah tidak
تَرَ
kamu perhatikan
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
نَصِيبٗا
bagian
مِّنَ
dari
ٱلۡكِتَٰبِ
Al Kitab
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
بِٱلۡجِبۡتِ
dengan/kepada Jibti
وَٱلطَّـٰغُوتِ
dan Tagut
وَيَقُولُونَ
dan mereka mengatakan
لِلَّذِينَ
kepada orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
هَٰٓؤُلَآءِ
mereka itu
أَهۡدَىٰ
lebih mendapat petunjuk
مِنَ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
سَبِيلًا
jalan
أَلَمۡ
apakah tidak
تَرَ
kamu perhatikan
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
نَصِيبٗا
bagian
مِّنَ
dari
ٱلۡكِتَٰبِ
Al Kitab
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
بِٱلۡجِبۡتِ
dengan/kepada Jibti
وَٱلطَّـٰغُوتِ
dan Tagut
وَيَقُولُونَ
dan mereka mengatakan
لِلَّذِينَ
kepada orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
هَٰٓؤُلَآءِ
mereka itu
أَهۡدَىٰ
lebih mendapat petunjuk
مِنَ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
سَبِيلًا
jalan
Terjemahan
Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang (Yahudi) yang telah diberi bagian (pengetahuan) dari Kitab (Taurat), (betapa) mereka percaya kepada jibt dan tagut serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.
Tafsir
(Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Alkitab, mereka percaya kepada jibt dan tagut) nama dua berhala Quraisy (dan mengatakan kepada orang-orang kafir) yaitu Abu Sofyan dan sahabat-sahabatnya ketika mereka menanyakan kepada orang-orang Yahudi itu siapakah yang lebih benar jalannya, apakah mereka sebagai penguasa Kakbah, pelayan makan-minum jemaah haji dan pembantunya orang yang berada dalam kesukaran ataukah Muhammad, yakni orang yang telah menyalahi agama nenek moyangnya, memutuskan tali silaturahmi dan meninggalkan tanah suci? (bahwa mereka itu) maksudnya kamu hai orang-orang Quraisy (lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman) artinya lebih lurus jalan yang kamu tempuh daripada mereka.
Tafsir Surat An-Nisa': 49-52
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci. Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.
Perhatikanlah, betapa mereka mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan tagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.
Mereka itulah orang yang dikutuk Allah. Barang siapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.
Ayat 49
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya berikut ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49) diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani ketika mereka mengatakan, "Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." Juga sehubungan dengan ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” (Al-Baqarah: 111) Mujahid mengatakan bahwa dahulu mereka menempatkan anak-anak di hadapan mereka dalam berdoa dan sembahyang sebagai imam mereka; mereka menduga bahwa anak-anak itu tidak mempunyai dosa.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Abu Malik. Ibnu Jarir meriwayatkan hal tersebut.
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49) Bahwa demikian itu karena orang-orang Yahudi mengatakan, "Sesungguhnya anak-anak kita telah meninggal dunia dan mereka mempunyai hubungan kerabat dengan kita. Mereka pasti memberi syafaat kepada kita dan mensucikan kita (dari dosa-dosa)." Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini kepada Nabi Muhammad ﷺ yaitu firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49), hingga akhir ayat. Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musaffa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Himyar, dari Ibnu Luhai'ah, dari Bisyr ibnu Abu Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang Yahudi menempatkan anak-anak mereka sebagai imam dalam sembahyangnya, juga menyerahkan korban mereka kepada anak-anak tersebut. Mereka berbuat demikian dengan alasan bahwa anak-anak mereka masih belum berdosa dan tidak mempunyai kesalahan. Mereka berdusta, dan Allah menjawab mereka, "Sesungguhnya Aku tidak akan mensucikan orang yang berdosa karena orang lain yang tidak berdosa." Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan hal yang serupa dari Mujahid, Abu Malik, As-Suddi, Ikrimah, dan Adh-Dhahhak. Adh-Dhahhak mengatakan bahwa orang-orang Yahudi selalu mengatakan, "Kami tidak mempunyai dosa sebagaimana anak-anak kami tidak mempunyai dosa." Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49) ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka itu.
Menurut pendapat lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan celaan terhadap perbuatan memuji dan menyanjung. Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Al-Miqdad ibnul Aswad yang menceritakan hadits berikut: Rasulullah ﷺ telah memerintahkan kepada kita agar menaburkan pasir ke wajah orang-orang yang suka memuji secara berlebihan. Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui jalur Khalid Al-Hazza, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya: bahwa Rasulullah ﷺ mendengar seorang lelaki memuji lelaki lainnya. Maka beliau ﷺ bersabda: “Celakalah kamu, kamu telah memotong leher temanmu.” Kemudian Nabi ﷺ bersabda: “Jika seseorang dari kalian diharuskan memuji temannya, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku menduganya demikian,’ karena ia tidak dapat mensucikan seseorang terhadap Allah.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir, dari ayahnya, dari Na'im ibnu Abu Hindun yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah berkata, "Barang siapa yang mengatakan, 'Aku orang mukmin,’ maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang yang jahil (bodoh). Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui jalur Musa ibnu Ubaidah, dari Talhah ibnu Ubaidillah ibnu Kuraiz, dari Umar, bahwa Umar pernah mengatakan, "Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian ialah rasa ujub (besar diri) seseorang terhadap pendapatnya sendiri. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya orang mukmin, maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang bodoh. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Hajaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Ma'bad Al-Juhani yang menceritakan bahwa Mu'awiyah jarang menceritakan hadits dari Nabi ﷺ. Ma'bad Al-Juhani mengatakan bahwa Mu'awiyah hampir jarang tidak mengucapkan kalimat-kalimat berikut pada hari Jumat, yaitu sebuah hadits dari Nabi ﷺ. Ia mengatakan bahwa Nabi ﷺ telah bersabda: “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya dia memberinya pengertian dalam masalah agama. Dan sesungguhnya harta ini manis lagi hijau, maka barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar, niscaya diberkati padanya; dan waspadalah kalian terhadap puji memuji, karena sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.”
Ibnu Majah meriwayatkan sebagian darinya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Gundar, dari Syu'bah dengan lafal yang sama yang bunyinya seperti berikut: “Hati-hatilah kalian terhadap puji-memuji, karena sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.”
Ma'bad adalah Ibnu Abdullah ibnu Uwaim Al-Basri Al-Qadri.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ibrahim Al-Mas'udi, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah mengatakan, "Sesungguhnya seorang lelaki berangkat dengan agamanya, kemudian ia kembali, sedangkan pada dirinya tidak ada sesuatu pun dari agamanya itu yang tertinggal. Dia menjumpai seseorang yang tidak mempunyai kekuasaan untuk menimpakan mudarat (kerugian) terhadap dirinya, tidak pula memberikan manfaat kepadanya; lalu ia berkata kepadanya, 'Sesungguhnya kamu, demi Allah, demikian dan demikian (yakni memujinya).' Dia berbuat demikian dengan harapan kembali memperoleh imbalan. Tetapi ternyata dia tidak memperoleh suatu keperluan pun darinya, bahkan ia kembali dalam keadaan Allah murka terhadap dirinya." Kemudian sahabat Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci.” (An-Nisa: 49), hingga akhir ayat.
Pembahasan ini akan diterangkan secara rinci dalam tafsir firman-Nya: “Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm: 32) Karena itulah dalam surat ini Allah ﷻ berfirman: “Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 49) Yakni segala sesuatu mengenai hal ini dikembalikan kepada Allah ﷻ. Dialah yang lebih mengetahui hakikat semua perkara dan rahasia-rahasianya.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” (An-Nisa: 49) Dia tidak akan membiarkan bagi seseorang sesuatu pahala pun tanpa dibalas. Betapapun kecilnya pahala itu, Dia pasti membalasnya. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, ‘Atha’, Al-Hasan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, yang dimaksud dengan fatil ialah sesuatu yang sebesar biji sawi.
Menurut suatu riwayat yang juga dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah sebesar sesuatu yang kamu pintal dengan jari jemarimu. Kedua pendapat ini saling berdekatan pengertiannya.
Ayat 50
Firman Allah ﷻ: “Perhatikanlah, betapa mereka mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (An-Nisa: 50)
Yaitu dalam pengakuan mereka yang menganggap diri mereka suci dari dosa-dosa, dan pengakuan mereka yang mengatakan bahwa diri mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Juga perkataan mereka yang disitir oleh firman-Nya: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” (Al-Baqarah: 111) Ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (Al-Baqarah: 80) Juga penyandaran nasib mereka kepada amal perbuatan nenek moyang mereka yang saleh.
Padahal Allah telah menentukan bahwa amal perbuatan nenek moyang tidak dapat menjamin anak keturunannya barang sedikit pun. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya, dan bagi kalian apa yang sudah kalian usahakan.” (Al-Baqarah: 134), hingga akhir ayat. Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).” (An-Nisa: 50) Artinya, cukuplah perbuatan mereka itu sebagai perbuatan dusta dan kebohongan yang nyata.
Ayat 51
Firman Allah ﷻ: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan tagut.” (An-Nisa: 51)
Makna al-jibti menurut riwayat Muhammad ibnu Ishaq, dari Hissan ibnu Qaid, dari Umar ibnul Khattab, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah sihir, sedangkan tagut ialah setan.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, dan Atiyyah, bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah setan. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas ditambahkan di Al-Habasyiyyah. Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa al-jibt artinya syirik, juga berarti berhala-berhala.
Menurut riwayat dari Asy-Sya'bi, al-jibt artinya juru ramal (tukang tenung). Dari Ibnu Abbas Iagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah Huyay ibnu Akhtab. Dari Mujahid, yang dimaksud dengan al-jibt ialah Ka'b ibnul Asyraf. Allamah Abu Nasr ibnu Ismail ibnu Hammad Al-Jauhari di dalam kitab sahihnya mengatakan bahwa lafal al-jibt ditujukan kepada pengertian berhala, tukang ramal, penyihir, dan lain sebagainya yang serupa.
Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Tiyarah, iyafah, dan tarq termasuk jibt.”
Selanjutnya Abu Nasr mengatakan bahwa kata al-jibt ini bukan asli dari bahasa Arab, mengingat di dalamnya terhimpun antara huruf jim dan huruf ta dalam satu kata, bukan karena sebab sebagai huruf yang dipertemukan.
Hadis yang disebutkan oleh Abu Nasr ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Auf ibnu Hayyan ibnul Ala, telah menceritakan kepada kami Qatn ibnu Qubaisah, dari ayahnya (yaitu Qubaisah ibnu Mukhariq), bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya 'iyafah, larq, dan tiyarah termasuk al-jibt.”
Auf mengatakan bahwa iyafah ialah semacam ramalan yang dilakukan dengan mengusir burung. At-Tarq yaitu semacam ramalan dengan cara membuat garis-garis di tanah. Menurut Al-Hasan, al-jibt artinya rintihan (bisikan) setan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud di dalam kitab sunannya, Imam An-Nasai, dan Ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya melalui hadits Auf Al-Arabi.
Dalam surat Al-Baqarah telah disebutkan makna lafal tagut. Jadi, dalam pembahasan ini tidak perlu diulangi lagi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnud-Daif, telah menceritakan kepada kami Hajaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Abuz-Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah ketika ditanya mengenai arti tawagit.
Maka Jabir ibnu Abdullah menjawab, "Mereka adalah para peramal yang setan-setan turun membantu mereka."
Mujahid mengatakan bahwa thaghut ialah setan dalam bentuk manusia, mereka mengangkatnya sebagai pemimpin mereka dan mengadukan segala perkara mereka kepada dia, dialah yang memutuskannya.
Imam Malik mengatakan bahwa tagut ialah semua yang disembah selain Allah ﷻ.
Firman Allah ﷻ: “Dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.” (An-Nisa: 51)
Mereka lebih mengutamakan orang-orang kafir daripada kaum muslim, karena kebodohan mereka sendiri, minimnya agama mereka, dan kekafiran mereka kepada Kitab Allah yang ada di tangan mereka.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang menceritakan bahwa Huyay ibnu Akhtab dan Ka'b ibnul Asyraf datang kepada penduduk Mekah, lalu mereka bertanya kepada keduanya, "Kalian adalah Ahli Kitab dan Ahlul Ilmi (orang yang berilmu). Maka ceritakanlah kepada kami perihal kami dan perihal Muhammad!" Mereka balik bertanya, "Bagaimanakah dengan kalian dan bagaimanakah pula dengan Muhammad?" Mereka menjawab, "Kami selalu bersilaturahmi, menyembelih unta, memberi minum air di samping air susu, membantu orang yang kesulitan dan memberi minum orang-orang yang melaksanakan haji. Sedangkan Muhammad adalah orang yang miskin lagi hina, memutuskan silaturahmi dengan kami, diikuti oleh jamaah haji pencuri dari Bani Ghifar. Manakah yang lebih baik, kami atau dia?" Keduanya menjawab, "Kalian jauh lebih baik dan lebih benar jalannya (daripada dia)." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab?” (An-Nisa: 51), hingga akhir ayat.
Hadis ini diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Abbas dan sejumlah ulama Salaf.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika Ka'b ibnul Asyraf tiba di Mekah, maka orang-orang Quraisy berkata, "Bagaimanakah menurutmu si miskin yang diasingkan oleh kaumnya ini? Dia menduga bahwa dirinya lebih baik daripada kami, padahal kami adalah ahli jamaah haji dan ahli yang mengurus Ka'bah serta ahli siqayah." Ka'b ibnul Asyraf menjawab, "Kalian lebih baik." Maka turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.” (Al-Kausar: 3)
Ayat 52
Turun pula firman-Nya yang mengatakan: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab?” (An-Nisa: 51) sampai dengan firman-Nya: “Niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (An-Nisa: 52)
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang yang membantu pasukan golongan bersekutu ialah dari kabilah Quraisy, Gatafan, Bani Quraisah, Huyay ibnu Akhtab, Salam ibnu Abul Haqiq, Abu Rafi", Ar-Rabi' ibnu Abul Haniq, Abu Amir, Wahuh ibnu Amir, dan Haudah ibnu Qais. Wahuh dan Abu Amir serta Haudah berasal dari Bani Wail, sedangkan sisanya dari kalangan Bani Nadir. Ketika mereka tiba di kalangan orang-orang Quraisy, maka orang-orang Quraisy berkata, "Mereka adalah para rahib Yahudi dan ahli ilmu tentang kitab-kitab terdahulu. Maka tanyakanlah kepada mereka, apakah agama kalian yang lebih baik, ataukah agama Muhammad?" Lalu mereka bertanya kepada orang-orang Yahudi tersebut, dan para rahib Yahudi itu menjawab, "Agama kalian lebih baik daripada agama Muhammad, dan jalan kalian lebih benar daripada dia dan orang-orang yang mengikutinya." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab?” (An-Nisa: 51) sampai dengan firman-Nya: “Dan Kami telah memberinya kerajaan yang besar.” (An-Nisa: 54) Hal ini merupakan laknat Allah bagi mereka, sekaligus sebagai pemberitahuan bahwa mereka tidak akan memperoleh penolong di dunia, tidak pula di akhirat.
Mereka berangkat menuju Mekah sebenarnya untuk meminta pertolongan dari kaum musyrik Mekah, dan sesungguhnya mereka mengatakan demikian untuk mendapatkan simpati dari kaum musyrik agar mereka mau membantunya. Ternyata kaum musyrik mau membantu mereka dan datang bersama mereka dalam Perang Ahzab, hingga memaksa Nabi ﷺ dan para sahabatnya untuk menggali parit di sekitar Madinah sebagai pertahanannya. Akhirnya Allah menolak kejahatan mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, karena mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Ahzab: 25)
Di samping mengada-ada kedustaan, mereka juga melakukan kedurhakaan yang lain, yaitu percaya kepada Jibt dan thagut. Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Kitab Taurat, yakni orang-orang Yahudi itu' Mereka percaya kepada Jibt yakni berhala atau penyihir, dan thagut, yakni selain syariat Allah, dan mengatakan kepada orang-orang kafir musyrik Mekah dengan penuh kesombongan, bahwa mereka itu lebih benar jalan-nya daripada orang-orang yang beriman dari kaum muslimin Mereka itulah orang-orang yang sangat jauh kedurhakaannya serta dilaknat oleh Allah. Dan barang siapa yang dilaknat oleh Allah, niscaya engkau tidak akan mendapatkan penolong baginya yang akan menyelamatkannya di mana pun dan kapan pun ia berada.
Ayat ini mengisahkan kembali perbuatan orang-orang Yahudi yang telah diberi kitab, telah memahami dan mendalami isi kitab yang pada dasarnya menyuruh berbakti dan menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi mereka masih juga mau bersujud dan menyembah berhala dan mempersekutukan Allah, memenuhi ajakan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kitab. Satu hal yang aneh dan mengherankan, mereka menyangka bahwa mereka orang-orang yang benar, yang mengikuti dan menempuh jalan yang lebih baik daripada jalan orang-orang mukmin pengikut Nabi Muhammad ﷺ
Bani Israil punya sejarah panjang dalam penyembahan berhala oleh nenek moyang mereka sampai generasi-generasi berikutnya. "Mereka meninggalkan Allah Tuhan mereka yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir, lalu mengikuti tuhan lain, dari antara tuhan bangsa-bangsa di sekeliling mereka, dan sujud menyembah kepadanya, sehingga mereka menyakiti hati Tuhan" (Kitab Hakim-hakim. 2.12) dan sekian banyak lagi kisah penyembahan berhala oleh mereka.
Alangkah kelirunya mereka, dan mereka sangat rugi. Seperti tersebut dalam firman Allah:
Katakanlah (Muhammad), "Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?" (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya `dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahf/18:103-104).
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JIBTI DAN THAGUT
Ayat 51
Kemudian diterangkan Allah dan dibuka lagi rahasia dari sebagian orang yang telah diberi Kitab, yaitu Taurat atau Injil. Adapun yang akan dituju pada ayat ini ialah Yahudi. “Tidakkah engkau lihat kepada orang-orang yang telah diberi sebagian dari Kitab?" Sebagaimana telah dimaklumi pada ayat-ayat yang telah lalu, dinamakan sebagian dari kitab karena Taurat yang asli dan lengkap tidak ada lagi sebab terbakar ketika Jerusalem diserang Raja Babil. Tiga setengah abad sesudah Musa meninggal, barulah ingatan-ingatan yang tinggal di dalam kepala ahli-ahli agama disusun kembali. Sebagian yang di dalam catatan itu adalah yang benar, dan sebagian lagi diragukan kebenarannya, dan sebagian pula sudah jelas ditambah dengan catatan orang lain. Catatan yang telah ada itu, sebagian pula yang mereka pegang, namun yang sebagian tidak mereka pedulikan, terutama yang menerangkan bahwa dalam kalangan keturunan Isma'il akan ada nabi. Sebab Nabi Muhammad ﷺ teranglah keturunan Isma'il. Lalu diterangkan setengah dari “wenangan". Di ayat ini terdapat dua perkataan sebagai kepercayaan mereka, pertama Jibti kedua Thagut. Telah kita artikan jibti dengan ‘kesesatan' dan thagut dengan ‘ke-sewenang-wenangan.'
Setengah ulama tafsir menyatakan maksud jibti ialah sihir. Tetapi setelah digali ke dalam rumpun-rumpun bahasanya, bertemulah bahwa segala kepercayaan yang tahayul, dongeng, khurafat, yang tidak dapat diterima oleh akal yang wajar, itulah dia jibti.
Kita misalkan, terdengar elang berkelit tengah hari, lalu orang berkata, “Ada orang besar akan mati!" Atau terdengar ayam berkokok di waktu senja, orang berkata, “Ada anak gadis mengandung dengan tidak terang siapa suaminyaAtau barang, seumpama keris. Dikatakan bahwa keris itu bertuah. Atau orang keluar dari rumah pagi-pagi hendak pergi bekerja. Di tengah jalan ada ular melintas jalan. Melihat itu dia kembali pulang karena menurut kepercayaannya akan bertemu bahaya kalau ditempuh juga. Atau kepercayaan manusia jadi harimau, orang jadi cindaku, atau palasik dan sebagainya.
Pada orang yang masih jauh dari peradaban, jibti sangat berpengaruh. Seumpama kepercayaan kalau ada orang sakit, bahwa dia sakit karena ditegur setan atau karena termakan atau karena dituju orang dengan sihir dan sebagainya. Ini pun termasuk jibti. Atau aminisme, yaitu bahwa roh nenek moyang berpengaruh terhadap orang yang masih hidup, sebab itu diadakan pemujaan. Atau dinamisme, yaitu bahwa barang-barang yang ada, entah beringin, batu besar, puncak gunung, keris, dan lain-lain, ada nyawanya. Atau di zaman kita ini ramalan bintang yang dimuat di surat-surat kabar, tentang melihat nasib, yaitu nasib seseorang karena melihat tanggal lahirnya. Itu pun jibti.
Kiaskanlah hal yang lain-lain, yaitu kepercayaan yang tidak dapat dipertanggungjawab kan dan diuji kebenarannya menurut akal yang sehat. Itulah dia jibti.
Thagut berumpun dari kalimat thaagiyah kita artikan kesewenang-wenangan, melampaui batas, terkhusus kepada manusia yang telah lupa atau sengaja keluar dari batasnya sebagai insan, lalu mengambil hak Allah. Atau manusia dianggap Tuhan oleh yang mempercayainya. Segala pemujaan kepada manusia sampai mendudukkannya jadi Tuhan, meskipun tidak diucapkan dengan mulut, tetapi bertemu dengan perbuatan, termasuklah dalam arti thagut.
Ada ulama besar yang disegani, akhirnya dipandang keramat, lama-lama diikuti sehingga segala fatwanya wajib dipandang suci seperti firman Allah saja. Maka ulama itu telah menjadi thagut bagi yang mempercayainya. Apatah lagi setelah dia mati, kuburnya pula yang dipuja-puja, diziarahi untuk meminta wasilah, menjadi orang perantara akan menyampaikan keinginan-keinginan kepada Allah, menjadi thagut pulalah dia sesudah matinya.
Atau ada penguasa negeri yang berkuasa besar. Orang takut akan murkanya dan orang menghambakan diri kepadanya. Barangsiapa yang mencoba menyatakan pikiran, bebas menyatakan yang benar, ada bahaya akan di-hukum, dipenjarakan, diasingkan, ditahan, dibuang, atau dibunuh. Tetapi barangsiapa yang tunduk, taat setia, sudi mengorbankan kemerdekaan pikiran, dan bersedia takut kepada yang berkuasa, bersedia jadi budak supaya bebas bergerak, bahkan kadang-kadang lebih takut daripada menakuti Allah, penguasa itu pun menjadi thagut.
Kadang-kadang bercampuraduklah di antara jibti dengan thagut, atau berpadu jadi satu. Di Mesir orang mengadakan Maulid Sayyid Badawi tiap-tiap tahun, berkumpul beribu-ribu manusia laki-laki dan perempuan ke kuburan beliau. Sebab beliau dipandang sangat keramat. Gadis tua minta suami ke sana, perempuan mandul minta anak ke sana.
Mahasiswa yang takut tidak lulus ujian pergi menuju ke sana. Di kuburan itu ada pula jibti-nya, yaitu ada serban beliau yang dipandang sangat membawa rezeki jika dapat dipegang.
Di tanah air kita pun banyak terdapat yang demikian. Kalau mau mempelajari campur aduknya jibti dengan thagut pergilah ziarah ke kubur sunan-sunan (Wali Songo), dan dengarkanlah dongeng-dongeng yang tidak masuk akal, kumpulan jibti dan thagut dari juru kunci.
Di dalam ayat ini diterangkanlah betapa sesatnya orang-orang yang telah diberi sebagian dari kitab. Kepercayaan tauhid yang asli telah hilang, di dalam lipatan jibti (kesesatan) dan thagut (menuhankan makhluk) Kalau ditanyakan, engkau pertuhankan si anu? Niscaya mereka akan menjawab juga, “Tuhan kami Allah!" Tetapi kalau ditanya lagi, mengapa perkataan si anu, fatwa si anu, tafsiran si anu, kamu terima saja dengan tidak mem-pergunakan akal, padahal kadang-kadang berjauhan sangat dengan firman Allah yang disampaikan Nabi kamu? Mereka tidak dapat memberikan jawaban yang tepat.
MENDUSTAI DIRI SENDIRI
Kemudian dikatakan lagi dalam sambungan ayat,
“Dan mereka berkata dilihat orang-orang yang kafir, ‘Mereka itu lebih betul jalannya daripada orang-orang yang beniman itu.'"
Tersebutlah dalam banyak riwayat bahwasanya beberapa pemuka yang terkenal, Ka'ab bin Asyraf, datang ke Mekah menemui pemuka-pemuka Quraisy, sampai bertemu dan bertukar pikiran dengan Abu Sufyan, Kedatangannya ke Mekah ialah menambah hasutan dan memengaruhi kaum musyrikin terus, jangan bosan dan jangan kendur memerangi Nabi Muhammad ﷺ dan sahabat-sahabatnya Muhajirin dan Anshar di Madinah, dan Ka'ab mfenyatakan bahwa dia dan kaumnya bersedia membantu mereka. Maka dalam pertukaran pikiran secara terbuka itu yang pendiriannya lebih benar dan pegangannya lebih teguh? Abu Sufyan berkata di antara lain, “Kami menjunjung tinggi pusaka nenek moyang. Kami memberi makan dan minum orang naik haji tiap tahun, kami menghormati berhala yang telah turun-temurun disembah nenek moyang. Sedang Muhammad menantang segala pekerjaan kami yang baik itu dan melanggar segala adat pusaka nenek moyang sehingga dia keluar dari lingkungan masyarakat sampai berpindah ke tempat lain. Mana kami yang lebih benar?"
Ka'ab bin Asyraf sebagai seorang yang terkemuka dan mengerti isi Taurat, dengan tidak sedikit juga menghargai suara batinnya sendiri menjawab kepada Abu Sufyan, “Pendirian kalianlah yang benar, agama yang kalian pegang itulah yang benar, agama yang kalian pegang itulah yang betul, dan jalan yang kalian tempuh itulah yang lebih benar daripada jalan yang ditempuh Muhammad!"
Sejak lagi zaman jahiliyyah, orang-orang Arab penyembah berhala selalu mengakui bahwa orang keturunan Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, lebih ahli daripada mereka, dan pantas tempat bertanya dalam soal-soal keagamaan. Sekarang Ka'ab bin Asyraf, karena politik guna menarik kaum musyrikin memerangi Islam, telah berani memberikan jawaban yang bertentangan dengan suara hati kecilnya sendiri, yaitu bahwa musyrik lebih daripada Islam. Inilah maksud ujung ayat, dari perkataan Ka'ab, bahwa mereka yang musyrik lebih betul jalannya daripada orang-orang yang beriman. Padahal, kalau Ka'ab menuruti suara hati kecilnya, dan benar-benar mencintai kebenaran, meskipun orang Yahudi belum menyetujui Islam, namun pokok kepercayaan Bani Israil dengan kepercayaan yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ adalah sama, yaitu sama-sama menentang menyembah berhala. Di dalam Hukum Sepuluh, sebagai dasar utama dari Taurat, Allah telah berfirman, “Jangan dibuatkan aku patung!" Sebelum Nabi Muhammad ﷺ datang, orang Yahudi selalu menghinakan orang Arab karena menyembah berhala. Sekarang dia puji penyembah berhala karena benci kepada Muhammad ﷺ.
Berfirmanlah Allah selanjutnya,
Ayat 52
“Mereka itulah orang-orang yang mengutuk Allah akan mereka. “
Orang-orang yang telah kena kutuk sebab berani membuat dusta besar, yang bahkan bertentangan dengan agama mereka sendiri, sampai mengatakan musyrik lebih baik daripada Muslim, berhala lebih baik daripada tauhid. Bukan Muhammad lagi yang dimung-kirinya, bahkan inti ajaran sekalian rasul, termasuk Musa dan Harun.
“Dan baiangsiapayang dikutuk oleh Allah, maka sekali-kali tidaklah akan engkau dapati pembantu baginya."
Tidak akan ada yang membantu dan membela mereka dalam dusta curang yang demikian itu sebab mereka telah berhadapan dengan Allah. Mempertahankan pendirian dengan cara demikian, tidak lain daripada pertahanan yang kotor. Hanya ingin kemenangan sementara sehingga tidak memerhatikan lagi kebenaran itu sendiri untuk masa yang lama.
Di dalam ayat ini kita bertemu tiga kesalahan umat keturunan kitab karena memegang hanya sebagian dari isi kitab. Pertama, mencampur-aduk kebenaran agama dengan kesesatan, atau jibti. Sehingga dibangsakan kepada agama, hal-hal yang sama sekali ditolak oleh agama sehingga timbul bid'ah, khurafat, tahayul, dongeng-dongeng yang menunjukkan kebodohan atau menipu orang bodoh. Kedua, menuhankan manusia, sampai memberikan ke-padanya pemujaan yang mendekati pemujaan kepada Allah. Begitu mereka perbuat kepada ulama-ulama dan pimpinan mereka. Ketiga, berani memutar balik kebenaran karena mengharapkan kemenangan pengaruh dan politik.
Wajiblah kita memeriksa, mengoreksi masyarakat kita kaum Muslimin karena jarak masa kita dengan Nabi pun sudah jauh, apakah agaknya telah memindah penyakit orang yang menerima sebagian dari kitab ini kepada kita? Kalau sudah, hukum yang akan diterima tentulah sama juga, yaitu kutuk Allah. Ajaran asli Nabi Musa sama dengan ajaran asli Nabi Muhammad. Orang Yahudi di belakang Nabi Musa mengubah-ubah. Apakah kita telah mengubah-ubah pula sepeninggal Nabi Muhammad? Jika bertemu ayat begini, dengan girang kita menafsirkan bahwa ayat ini bukanlah menuju kita, hanya menuju Yahudi! La haula wala quwwata ilia billah
Adakah jibti pada kita? Adakah kita memuja thagutl Adakah kita memutar balik kebenaran karena mengharapkan kemenangan sementara?
Berkali-kali timbul dalam negeri Islam seorang pemimpin atau kepala negara yang dipuja dan diagungkan sebagaimana memuja dan mengagungkan Allah. Berkali-kali timbul jibti, pemujaan-pemujaan kepada benda yang tidak masuk sama akal. Berkali pula terlukis dalam perjuangan umat Islam bahwa mereka menyokong suatu politik yang palsu dan jahat.
Ketika ditanyakan orang dapatkah disatukan ajaran Islam dengan Komunis? Ada pemuka Islam yang menjawab, “Dapat!" Ketika ditanyakan orang pula kepada satu golongan umat Islam, “Bagaimana hukumnya kalau ada orang Islam yang menentang Nasakom (Percobaan Soekarno menyatukan Nasional, dengan Agama dengan Komunis)?" Ada kalangan Islam sendiri yang menjawab, “Orang Islam yang menentang Nasakom adalah Kontra Revolusi!"
Apakah sebabnya mereka sampai hati berbuat demikian? Jawabnya mudah saja. Telah padam cahaya hati sanubarinya yang bersih oleh hawa nafsu akan kekuasaan. Sebagaimana padamnya rasa hati Ka'ab bin Asyraf orang Yahudi itu, yang dasar agamanya tetap tauhid. Sehingga saking takutnya kekuasaannya akan hilang dan bencinya akan kemajuan Nabi Muhammad, maulah dia mengatakan bahwa musyrik Mekah lebih baik daripada ajaran Muhammad.
Ayat 53
“Atau adakah bagi mereka bagian daril Kerajaan?"
Sebagai lanjutan pertanyaan dari Allah, sambungan dari pertanyaan di ayat 51, yang dapat diartikan, “Bagaimanalah agaknya ya, utusan-Ku, kalau sekiranya orang-orang ini mendapat bagian Kerajaan? Atau bagaimana agaknya kalau orang semacam ini berkuasa? Sedangkan tidak berkuasa, mereka sudah berani membuat dusta, mengatakan kafir lebih baik daripada iman, berhala lebih baik daripada tauhid.
“Mereka di kala itu," yaitu kalau mereka berkuasa, berkerajaan,
“Tidaklah akan memberi kepada manusia walaupun sebiji halus."
Kalau mereka berkuasa; mereka tidak akan mengenal belas kasihan. Mereka tidak akan memberi kesempatan kepada orang lain, walaupun semiang kelam, walaupun sena-qir. Anti naqir ialah biji yang sangat halus dari buah-buahan. Boleh diibaratkan jambu pe-rawas (bijinya) Boleh juga disebut menurut ungkapan bahasa Melayu, “Semiang kelam".
Demikianlah peringatan Allah tentang bahaya sikap orang keturunan Kitab ini, yang jadi sebabnya ialah sikap Ka'ab bin Asyraf dan kawan-kawannya. Orang Yahudi telah bertebaran di seluruh dunia dan cita-cita mereka yang terakhir ialah mendirikan kembali Kerajaan Dawud di Jerusalem. Dengan pertolongan kerajaan-kerajaan besar, baik Inggris, Perancis, atau Amerika ataupun Rusia, pada tahun 1948 telah berhasil mereka merebut sebagian tanah Jerusalem dan mendirikan negara Israel di sana. Apa yang dikatakan oleh ayat ini, tepat bertemu. Di tanah yang telah mereka kuasai, walaupun sebesar biji jambu perawas, tidaklah mereka memberikan kesempatan kepada penduduk asli yang telah menguasai tanah itu sejak 14 abad. Lebih satu juta orang Arab diusir keluar dari negeri itu dan tanah mereka dirampas. Sedang mereka Yahudi yang menguasai itu adalah manusia-manusia yang datang dari seluruh dunia, dari Amerika, Polandia, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan lain-lain. Yang mendakwakan tanah itu mereka punya, sebab 4.000 tahun yang telah lalu nenek moyang mereka datang dari sana.
Ayat 54
“Ataukah mereka ini hati kepada manusia atas apa yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dari kurunia-Nya?"
Lanjutan pertanyaan dari atas, bagaimana mereka menjadi demikian curang mendustakan kebenaran? Sampai memuji bahwa syirik lebih benar daripada tauhid? Padahal agama mereka sendiri berdasar tauhid? Apa gerangan sebabnya? Ataukah lantaran dengki dan iri hati? Hasad? Sebab Allah memberikan kurnia kepada bangsa Arab dengan diutusnya seorang Rasul? Dan Rasul itu pun telah dinyatakan juga dalam kitab mereka sendiri? Inilah bahaya penyakit iri hati. Hasad atau iri hati dapat menyebabkan orang gelap mata sehingga mau mengubah kebenaran dan menolaknya.
“Maka sesungguhnya telah Kami berikan kepada keluanga ibrahim Kitab dan Hikmat, dan telah Kami berikan kepada mereka Kerajaan yang besar."
Apa guna mereka iri hati lantaran itu? Mereka sendiri mengakui bahwa Bani Israil adalah keturunan Ya'qub dan Ishaq adalah putra Ibrahim. Orang Arab yang sekarang diberi Kitab dan hikmat pula ialah keturunan
Isma'il dan Isma'il adalah putra Ibrahim pula. Allah telah memberi anugerah keluarga Ibrahim. Di sebelah Bani Israil telah pernah diberi Kitab dan Hikmat. Kitabnya ialah Taurat dan Hikmatnya dianugerahkan kepada rasul-rasul, seperti Hikmat Dawud dan Sulaiman, putranya. Sekarang kurnia Allah kepada keluarga Ibrahim pun belum berhenti, bahkan bersambung lagi. Kalau dahulu kurnia berlimpah kepada Bani Israil, sekarang kurnia itu bergeler kepada Bani Isma'il, yang dari keluarga Ibrahim juga. Apa yang kamu dengkikan? Apa yang kamu iri hatikan? Padahal yang empunya kehendak ialah Allah Ta'aala? Kebesaran bukan khas kepunyaan kamu saja. Dia bergeler!
Di dalam ayat ini kita bertemu lagi suatu basyarah, yaitu kabar selamat. Meskipun ketika ayat ini turun, kaum Muslimin di bawah pimpinan Nabi Muhammad ﷺ di Madinah masih kecil jumlahnya, namun ayat ini telah membayangkan bahwa sebagai keluarga Ibrahim, orang Arab keturunan Isma'il itu pun akan diberi kerajaan besar!
Dengan ayat ini Allah mempertautkan kedua keturunan Ibrahim ini karena mereka satu keturunan. Tidaklah patut mereka hasad, dengki, iri hati, sebab Arab dan Bani Israil adalah satu nenek jua. Dahulu pernah mempunyai kerajaan besar, sekarang pun akan ber-kerajaan besar. Patutlah disokong bersama-sama dan dipercayai.
Tetapi apalah hendak dikata. Soalnya bukan soal benar atau salah, melainkan soal hasad dan dengki, memang benarlah pepatah Arab yang terkenal, bahwasanya iri hati atau dengki atau hasad adalah membakar kayu penanak yang sangat kering.
Berkata ar-Razi di dalam tafsirnya, “Ha-sad dan dengki tumbuh ialah ketika suatu keutamaan telah muncul. Apabila keutamaan seorang manusia telah lebih sempurna, dengkinya si pendengki pun bertambah besar pula. Sudah barang tentu, nubuwwat adalah pangkat yang paling puncak dalam agama. Kemudian keutamaan tertinggi itu dianugerahkan Allah kepada Muhammad ﷺ. Tambahan lagi setiap hari kekuasaannya bertambah-tambah dan kewibawaannya bertambah besar dan pembela dan penolongnya kian lama kian banyak. Oleh karena semua nikmat inilah yang menyebabkan tumbuh hasad mereka, di-nyatakanlah oleh Allah telah memberikan Kitab dan Hikmat dan Kerajaan Besar kepada Ibrahim. Artinya, “Pada keturunan-keturunan Ibrahim, pada anak-anaknya telah .timbul jamaah yang besar yang terkumpul pada diri mereka nubuwwat dan daulat, agama dan kekuasaan, sedang kamu tidak takjub melihat itu dan kamu tidak hasad dan dengki. Mengapa sekarang setelah nubuwwat dan daulat itu diberikan Allah kepada Muhammad kamu pun hasad?" Sekian tafsiran ar-Razi.
Ayat 55
“Maka di antara mereka ada yang pencaya kepadanya dan di antara mereka ada (pula) yang membelok daripadanya".
Artinya, di antara nenek moyang mereka yang dahulu memang ada juga yang menerima baik segala Kitab dan Nubuwwat atau Hikmat kebijaksanaan memerintah, yang telah dianugerahkan Allah kepada nabi-nabi besar sebagaimana Musa yang membebaskan Bani Israil dan melepaskan mereka dari tindasan Fir'aun, atau Yusyayang membawa mereka ke Palestina mengambil tanah yang dijanjikan, yang penuh berisi susu dan madu, atau Dawud yang telah sanggup mengalahkan Jalut dan membangun Kerajaan Israel yang besar, atau Sulaiman, putranya. Tetapi di samping yang percaya dan menerima ada pula yang menolak, “Dan di antara mereka ada pula yang menghalang darinya." Apabila ada orang yang mencoba mendekati kebenaran kitab dan hikmat itu, mereka halang-halangi karena kebencian dan dengki.
Sedang nabi-nabi yang dahulu itu sekaum dengan mereka dan satu keturunan, sama-sama Bani Israil. Setelah semuanya itu menjadi kenyataan, betapa lagi terhadap engkau, ya Muhammad. Padahal mereka sudah memandang engkau orang lain, tidak seketurunan, tidak sedarah dengan mereka, meskipun sama-sama keturunan Ibrahim. Niscaya tidak heran kalau kepada engkau mereka lebih benci, lebih dengki. Meskipun ajaran yang engkau bawa ini sama saja isinya dengan apa yang diturunkan kepada Ibrahim dan anak-anak keturunannya. Maka ayat ini adalah sebagai penawar pengobat hati bagi Nabi Muhammad ﷺ bahwa selama dia masih berjuang menegakkan kebenaran ini, selama itu pula dia akan didengki dan dibenci oleh mereka itu. Selanjutnya Allah berfirman,
“Padahal cukuplah Jahannam jadi pembakal."
Artinya, karena sikap hasad, dengki itu, tidak ada lagi jalan lain, melainkan sudah cukup kalau Jahannam menjadi tempat mereka, yang tidak mau menyetujui Kitab Allah dan rasul-rasul utusan Allah. Betapa pedihnya siksaan neraka Jahannam ditegaskan Allah pada ayat berikutnya.