Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَن
dan barang siapa
يُهَاجِرۡ
berhijrah
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
يَجِدۡ
ia mendapat
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
muka bumi
مُرَٰغَمٗا
tempat perlindungan
كَثِيرٗا
banyak
وَسَعَةٗۚ
dan luas
وَمَن
dan barang siapa
يَخۡرُجۡ
keluar
مِنۢ
dari
بَيۡتِهِۦ
rumahnya
مُهَاجِرًا
berhijrah
إِلَى
kepada
ٱللَّهِ
Allah
وَرَسُولِهِۦ
dan RasulNya
ثُمَّ
kemudian
يُدۡرِكۡهُ
menemuinya
ٱلۡمَوۡتُ
kematian
فَقَدۡ
maka sungguh
وَقَعَ
telah tetap
أَجۡرُهُۥ
pahalanya
عَلَى
atas
ٱللَّهِۗ
Allah
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمٗا
Maha Penyayang
وَمَن
dan barang siapa
يُهَاجِرۡ
berhijrah
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
يَجِدۡ
ia mendapat
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
muka bumi
مُرَٰغَمٗا
tempat perlindungan
كَثِيرٗا
banyak
وَسَعَةٗۚ
dan luas
وَمَن
dan barang siapa
يَخۡرُجۡ
keluar
مِنۢ
dari
بَيۡتِهِۦ
rumahnya
مُهَاجِرًا
berhijrah
إِلَى
kepada
ٱللَّهِ
Allah
وَرَسُولِهِۦ
dan RasulNya
ثُمَّ
kemudian
يُدۡرِكۡهُ
menemuinya
ٱلۡمَوۡتُ
kematian
فَقَدۡ
maka sungguh
وَقَعَ
telah tetap
أَجۡرُهُۥ
pahalanya
عَلَى
atas
ٱللَّهِۗ
Allah
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمٗا
Maha Penyayang
Terjemahan
Siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang banyak dan kelapangan (rezeki dan hidup). Siapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian meninggal (sebelum sampai ke tempat tujuan), sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Dan siapa yang berhijrah di jalan Allah, maka mereka akan menemukan di muka bumi ini tempat hijrah yang banyak dan kelapangan) dalam rezeki. (Dan siapa yang keluar dari rumahnya dengan tujuan berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya lalu ia ditimpa oleh kematian) di tengah jalan seperti terjadi atas Junda bin Dhamrah Al-Laitsi (maka sungguh, telah tetaplah pahalanya di sisi Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Tafsir Surat An-Nisa': 97-100
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimanakah kalian ini?" Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali,
Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hij'rah).
Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.
Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 97
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Haiwah dan lainnya; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman Abul Aswad yang menceritakan, "Telah diputuskan untuk mengirimkan suatu pasukan kepada penduduk Madinah, lalu aku mendaftarkan diri pada pasukan itu. Aku berjumpa dengan Ikrimah maula Ibnu Abbas, lalu aku ceritakan hal tersebut kepadanya. Dia melarangku melakukan hal tersebut dengan larangan yang keras. Lalu ia berkata, 'Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa dahulu ada sejumlah kaum muslim bersama-sama kaum musyrik memperkuat pasukan mereka di masa Rasulullah ﷺ. Maka ada anak panah yang meluncur dan mengenai seseorang dari kaum muslim yang bergabung dengan pasukan kaum musyrik itu, lalu ia mati terbunuh, atau terpukul lehernya oleh pedang hingga mati.' Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: 'Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri'." (An-Nisa: 97) Al-Al-Laits meriwayatkannya melalui Abul Aswad.
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Ar-Ramadi, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad (yakni Az-Zubairi), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syarik Al-Makki, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa dahulu ada suatu kaum dari kalangan penduduk Mekah, mereka menyembunyikan keislamannya. Tetapi kaum musyrik memaksa mereka berangkat berperang dalam Perang Badar bersama-sama mereka, lalu ada sebagian dari mereka yang gugur. Maka orang-orang muslim berkata. "Mereka yang gugur di antaranya terdapat sahabat-sahabat kita, yaitu kaum muslim; mereka dipaksa mengikuti perang." Akhirnya mereka memintakan ampun buat mereka yang gugur. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri.” (An-Nisa: 97), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu dikirimkan surat kepada orang-orang muslim yang tersisa berisikan ayat ini, dan dikatakan kepada mereka bahwa tiada uzur yang dapat diterima dari mereka." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Kemudian kaum muslim yang tersisa (di Mekah) itu keluar, tetapi mereka dikejar oleh kaum musyrik, lalu kaum musyrik memberi mereka perlindungan. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah'." (Al-Baqarah: 8) hingga akhir ayat.
Ikrimah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan sejumlah pemuda dari kalangan kabilah Quraisy yang mengakui dirinya telah masuk Islam di Mekah, antara lain ialah Ali ibnu Umayyah ibnu Khalaf, Abu Qais ibnul Walid ibnul Mugirah, Abu Mansur ibnul Hajjaj, dan Al-Haris ibnu Zam'ah.
Adh-Dhahhak mengatakan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang dari kaum munafik yang tidak ikut berperang bersama Rasulullah ﷺ di Mekah, tetapi mereka keluar bersama-sama pasukan kaum musyrik dan memihak kepada mereka dalam Perang Badar, lalu di antara mereka ada yang mati dalam peperangan tersebut. Maka turunlah ayat yang mulia ini, yang maknanya umum mencakup semua orang yang bermukim di tengah-tengah kaum musyrik, padahal mereka mampu melakukan hijrah, namun mereka tidak dapat menegakkan agamanya; maka dia adalah orang yang menzalimi dirinya sendiri dan dinilai sebagai orang yang berbuat dosa besar menurut kesepakatan umat dan menurut nas ayat ini, karena Allah ﷻ telah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri.” (An-Nisa: 97)
Yakni karena ia tidak mau berhijrah ke Madinah.
“(Kepada mereka) malaikat berkata, ‘Dalam keadaan bagaimanakah kalian ini?’." (An-Nisa: 97)
Dengan kata lain, mengapa kalian tinggal di Mekah dan tidak mau hijrah ke Madinah?
“Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah) ini’.” (An-Nisa: 97)
Maksudnya, kami tidak mampu keluar meninggalkan negeri ini, tidak mampu pula bepergian keluar meninggalkannya.
“Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas?’." (An-Nisa: 97) hingga akhir ayat.
Imam Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Daud ibnu Sufyan, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Hissan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Musa (yaitu Abu Dawud), telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sa'd ibnu Samurah ibnu Yazid, telah menceritakan kepadaku Habib ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Sulaiman ibnu Samurah, dari Samurah ibnu Jundub: Amma Ba'du, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang bergabung dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka sesungguhnya ia sama dengannya.”
As-Suddi mengatakan, "Tatkala Al-Abbas, Uqail, dan Naufal ditawan, maka Rasulullah ﷺ berkata kepada Al-Abbas: 'Tebuslah dirimu dan anak saudaramu!' Al-Abbas berkata, 'Wahai Rasulullah, bukankah kami shalat menghadap ke kiblatmu dan mengucapkan syahadatmu?' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Wahai Abbas, sesungguhnya kalian melawan, maka kalian dilawan.' Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan kepadanya ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Bukankah bumi Allah itu luas?'.” (An-Nisa: 97) hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ayat 98
Firman Allah ﷻ: “Kecuali mereka yang tertindas.” (An-Nisa: 98) hingga akhir ayat.
Hal ini merupakan pemaafan dari Allah ﷻ bagi mereka dalam meninggalkan hijrah. Itu karena mereka tidak mampu melepaskan dirinya dari tangan kekuasaan kaum musyrik. Seandainya mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan apa yang mereka ketahui, niscaya mereka akan menempuh jalan untuk hijrah. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah).” (An-Nisa: 98)
Menurut Mujahid, Ikrimah, dan As-Suddi, yang dimaksud dengan sabil dalam ayat ini ialah jalan untuk hijrah.
Ayat 99
Firman Allah ﷻ: “Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya.” (An-Nisa: 99)
Allah memaafkan ketidakikutan mereka dalam berhijrah, dan mudah-mudahan yang datang dari Allah berarti suatu kepastian, yakni mereka pasti dimaafkan oleh-Nya. “Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa: 99)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Yahya, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ sedang melakukan shalat Isya dan sesudah membaca: "Semoga Allah memperkenankan orang yang memuji-Nya," tiba-tiba beliau mengucapkan doa berikut sebelum sujud, yaitu: "Ya Allah, selamatkanlah Ayyasy ibnu Abu Rabi'ah. Ya Allah, selamatkanlah Salamah ibnu Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid ibnul Walid. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang yang tertindas dari kalangan kaum mukmin (di Mekah). Ya Allah, keraskanlah pembalasan-Mu terhadap Mudar. Ya Allah, jadikanlah kepada mereka (timpakanlah kepada mereka) musim paceklik sebagaimana musim paceklik Nabi Yusuf."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar Al-Muqri, telah menceritakan kepadaku Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ mengangkat tangannya sesudah salam dari shalatnya seraya menghadap ke arah kiblat, lalu berdoa: “Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid ibnul Walid, Ayyasy ibnu Abu Rabi'ah, Salamah ibnu Hisyam, dan orang-orang yang tertindas dari kaum muslim yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan hijrah dari tangan orang-orang kafir.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajaj, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ali ibnu Zaid, dari Abdullah atau Ibrahim ibnu Abdullah Al-Qurasyi, dari Abu Hurairah, bahwa dahulu Rasulullah ﷺ acapkali membaca doa berikut sesudah shalat Zuhur, yaitu: “Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid, Salamah ibnu Hisyam, Ayyasy ibnu Abu Rabi'ah, dan orang-orang muslim yang tertindas dari tangan kekuasaan orang-orang musyrik. Mereka yang tertindas itu tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah.”
Hadis ini mempunyai syahid (bukti) yang memperkuatnya di dalam kitab sahih yang diriwayatkan melalui jalur lain, seperti yang disebutkan di atas.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Uyaynah, dari Ubaidillah ibnu Abu Yazid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan, "Aku dan ibuku termasuk orang-orang yang tertindas dari kalangan kaum wanita dan anak-anak."
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nu'man, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub ibnu Abu Mulaikah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Kecuali mereka yang tertindas.” (An-Nisa: 98) Ibnu Abbas mengatakan, "Aku dan ibuku termasuk orang-orang yang dimaafkan oleh Allah ﷻ"
Ayat 100
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (An-Nisa: 100)
Ayat ini menganjurkan untuk berhijrah dan memberikan semangat untuk memisahkan diri dari orang-orang musyrik, bahwa ke mana pun orang mukmin pergi, niscaya ia dapat menemui tempat berlindung dan penghidupan yang menaunginya.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa al-muragham ialah berpindah dari suatu tempat ke tempat lain.
Hal yang sama dikatakan pula oleh riwayat yang bersumber dari Adh-Dhahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Sauri.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Tempat hijrah yang banyak.” (An-Nisa: 100) Yaitu tempat untuk menyingkir dari hal-hal yang tidak disukai.
Sufyan ibnu Uyaynah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Tempat hijrah yang luas.” (An-Nisa: 100) Yakni benteng-benteng perlindungan.
Makna lahiriah muragham, hanya Allah yang lebih mengetahui, ialah tempat yang kokoh untuk menyelamatkan diri dan membuat musuh-musuh tidak dapat berkutik.
Firman Allah ﷻ: “Dan rezeki yang banyak.” (An-Nisa: 100)
Yaitu rezeki yang berlimpah.
Banyak ulama antara lain ialah Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (An-Nisa: 100) yang menyelamatkannya dari kesesatan menuju jalan hidayah, dan menyelamatkannya dari kemiskinan kepada kecukupan.
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” (An-Nisa: 100)
Dengan kata lain, barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan niat untuk berhijrah, lalu di tengah jalan ia meninggal dunia, maka ia telah memperoleh pahalanya di sisi Allah, yaitu pahala orang yang berhijrah. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dan lain-lainnya baik kitab sahih ataupun kitab musnad atau kitab sunnah melalui jalur Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari, dari Muhammad ibnu Ibrahim At-Taimi dari Alqamah ibnu Abu Waqqas Al-Laisi, dari Umar ibnul Khattab yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung niat masing-masing, dan sesungguhnya masing-masing orang itu hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Maka barang siapa yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya untuk dunia, niscaya dia akan memperolehnya; atau untuk wanita, niscaya ia memperolehnya.”
Maka (pahala) hijrah seseorang itu tergantung kepada apa yang diniatkannya sejak semula. Hadis ini umum pengertiannya menyangkut masalah hijrah dan semua amal perbuatan.
Hadis lainnya ialah yang disebut di dalam kitab Sahihain, menceritakan seorang lelaki (dari kaum Bani Israil) yang membunuh sembilan puluh sembilan orang, kemudian melengkapi pembunuhannya dengan orang yang keseratus, yaitu seorang ahli ibadah (karena ketika ia bertanya tentang jalan tobat, maka si ahli ibadah mengatakan bahwa pintu tobat telah tertutup baginya).
Kemudian ia bertanya kepada seorang alim, "Apakah masih ada tobat bagiku?" Orang alim menjawab, "Tiada yang menghalang-halangi antara kamu dan tobat," hal ini diungkapkannya dengan nada balik bertanya. Kemudian orang alim itu menyarankan agar ia berpindah tempat dari negerinya menuju negeri lain yang di negeri tersebut penduduknya menyembah Allah. Ketika lelaki itu berangkat meninggalkan negerinya untuk berhijrah ke negeri lain tersebut, di tengah jalan kematian menimpanya.
Maka berselisih pendapatlah malaikat rahmat dan malaikat azab. Para malaikat rahmat mengatakan bahwa lelaki ini datang untuk bertobat, sedangkan para malaikat azab mengatakan bahwa ia masih belum sampai ke negeri yang dituju. Akhirnya mereka diperintahkan untuk mengukur jarak di antara kedua tempat tersebut; mana yang lebih dekat dari lelaki itu, maka ia termasuk penghuninya. Maka Allah memerintahkan kepada bumi yang menuju ke negeri yang saleh agar mendekat, dan memerintahkan kepada bumi yang jahat (penduduknya) agar menjauh dari jenazah lelaki itu.
Akhirnya para malaikat menemukan bahwa jenazah lelaki itu lebih dekat satu jengkal ke negeri yang menjadi tujuan hijrahnya, kemudian ia dibawa oleh malaikat rahmat. Menurut riwayat yang lain, ketika maut datang menjemputnya, ia sempat membalikkan badannya ke arah negeri yang menjadi tujuan hijrahnya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Ibrahim, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Atik, dari ayahnya (yaitu Abdullah ibnu Atiq) yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang keluar untuk berjihad di jalan Allah, kemudian ia bertanya, ‘Di manakah orang-orang yang berjihad di jalan Allah?’ lalu dia terjungkal dari kendaraannya kemudian meninggal dunia, maka sungguh pahalanya telah ditetapkan Allah; atau ia disengat hewan berbisa, lalu mati, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah; atau ia mati dengan sendirinya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.
Yang dimaksud dengan hatfa anfihi ialah meninggal dunia di atas peraduannya. Abdullah ibnu Atik mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya ini benar-benar suatu kalimat yang pernah aku dengar dari seseorang Badui sebelum Rasulullah ﷺ mengatakan, 'Barang siapa yang mati secara cepat, maka sungguh surga ditetapkan baginya’."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdul Malik ibnu Syaiban Al-Khuzami, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnul Mugirah Al-Khuzami, dari Al-Munzir ibnu Abdullah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Az-Zubair ibnul Awwam pernah menceritakan, bahwa Khalid ibnu Hizam berhijrah ke negeri Habsyah, tetapi di tengah jalan ia digigit ular beracun hingga meninggal dunia, maka turunlah ayat berikut sehubungan dengannya, yaitu firman-Nya: “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 100) Az-Zubair mengatakan, "Aku merasa pasti akan kedatangannya dan menunggu-nunggunya, sedangkan aku telah berada di negeri Habsyah. Tiada sesuatu pun yang lebih menyedihkan diriku ketika berita kematiannya sampai kepadaku. Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang hijrah dari kalangan kabilah Quraisy, melainkan ia ditemani oleh seseorang dari keluarganya atau kaum kerabatnya. Sedangkan aku tidak mempunyai seorang teman pun dari kalangan Bani Asad ibnu Abdul Uzza (selain dia) dan aku tidak mengharapkan selainnya."
Atsar ini gharib (aneh) sekali, karena kisah ini adalah Makkiyah, sedangkan turunnya ayat ini adalah Madaniyah. Barangkali dia bermaksud bahwa hukum ayat ini umum mencakup hal yang lainnya juga, sekalipun asbabun nuzulnya bukan berlatar belakang kisah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud maula Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Asy'as (yaitu Ibnu Siwar), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Damrah ibnu Jundub keluar dengan maksud berhijrah kepada Rasulullah ﷺ, tetapi ia meninggal dunia di tengah jalan sebelum sampai kepada Rasulullah ﷺ. Maka turunlah firman-Nya: “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa: 100), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Salim, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Damrah ibnul Ais Az-Zurqi yang sedang sakit matanya; ketika itu ia masih di Mekah. Ketika turun ayat berikut, yakni firman-Nya: “Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak berdaya.” (An-Nisa: 98) Maka ia berkata, "Aku adalah orang yang kaya, dan sesungguhnya aku mampu berhijrah." Lalu ia bersiap-siap dengan maksud hendak pergi berhijrah kepada Nabi ﷺ. Tetapi baru saja sampai di Tan'im, ia meninggal dunia. Maka turunlah firman-Nya: “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud).” (An-Nisa: 100) hingga akhir ayat.
Imam Ath-Thabarani mengatakan: telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arubah Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih Al-Himsy, telah menceritakaa kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Sauban, dari ayahnya, telah menceritakan kepada kami Makhul, dari Abdur Rahman ibnu Ganam Al-Asy'ari, telah menceritakan kepada kami Abu Malik yang mengatakan, "Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya Allah telah berfirman bahwa barang siapa berangkat untuk berjuang di jalan-Ku, berperang untuk memperoleh rida-Ku, dan membenarkan janji-Ku serta iman kepada rasul-rasul-Ku, maka dia berada di dalam jaminan Allah. Adakalanya Allah mewafatkannya di dalam pasukan itu, maka Allah memasukkannya ke dalam surga. Dan adakalanya dia kembali dalam jaminan Allah, sekalipun ia mencari budak, maka Kami memberinya, hingga Allah mengembalikannya kepada keluarganya bersama dengan apa yang diperolehnya berupa pahala atau ghanimah. Dan ia telah memperoleh sebagian dari karunia Allah, lalu mati, atau terbunuh, atau ditendang oleh kudanya atau oleh untanya atau disengat oleh serangga atau mati di atas peraduannya dengan kematian apa pun yang dikehendaki oleh Allah, maka dia adalah orang yang mati syahid'."
Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Baqiyyah mulai dari "sebagian dari karunia Allah" hingga akhir hadits, dan ia menambahkan sesudah kalimat, fahuwa syahidun (maka dia adalah mati syahid), yaitu: "Dan sesungguhnya dia dimasukkan ke dalam surga."
Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Humaid ibnu Abu Humaid, dari ‘Atha’ ibnu Yazid Al-Laisi, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang berangkat haji, lalu ia meninggal dunia (sebelum sampai ke tujuannya), maka dicatatkan baginya pahala haji sampai hari kiamat. Dan barang siapa yang berangkat umrah, lalu ia meninggal dunia (di tengah jalan), maka dicatatkan baginya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang berangkat berjihad di jalan Allah, lalu ia mati (di tengah jalan), maka dicatatkan baginya pahala orang yang berjihad sampai hari kiamat.”
Bila ditinjau dari segi sanadnya, hadits ini gharib (asing).
Usai mengecam mereka yang enggan berhijrah, pada ayat ini Allah lalu memberi janji dan harapan kepada mereka yang berhijrah. Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah dengan niat dan hanya mengharap keridaan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan menemukan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya sebelum sampai ke tempat yang dituju dan sebelum kembali ke rumahnya, maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun atas segala dosa orangorang yang berhijrah atau siapa pun yang memohon ampunannya, dan Maha Penyayang yang senantiasa mencurahkan aneka rahmatnyaDan apabila kamu bepergian di bumi untuk melakukan peperangan atau melakukan perniagaan atau lainnya, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar salat, yaitu dengan cara memperpendek jumlah rakaat salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, seperti salat Zuhur, Asar, dan Isya, jika kamu takut diserang atau takut akan bahaya yang ditimbulkan oleh orang-orang kafir yang merupakan musuhmu. Sesungguhnya orangorang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Kemudian Allah menjanjikan kepada orang-orang yang hijrah meninggalkan kampung halamannya karena menaati perintah Allah dan mengharapkan keridaan-Nya, mereka akan memperoleh tempat tinggal yang lebih makmur, lebih tenteram dan aman dan lebih mudah menunaikan kewajiban-kewajiban agama di daerah yang baru, yaitu Medinah. Janji yang demikian itu sangat besar pengaruhnya bagi mereka yang hijrah. Sebab umumnya orang-orang Islam di Mekah yang tidak ikut hijrah menyangka bahwa hijrah itu penuh dengan penderitaan dan daerah yang dituju itu tidak memberikan kelapangan hidup bagi mereka.
Allah akan memberikan kelapangan hidup di dunia dan akan memberikan pahala yang sempurna di akhirat kepada orang-orang yang hijrah dan meninggal dunia sebelum sempat sampai ke Medinah. Amat jelas janji Allah kepada orang-orang yang hijrah dibandingkan dengan janji kepada mereka yang tidak hijrah karena uzur, sebab bagi golongan yang akhir ini pengampunan Allah tidak disebut secara pasti. Pengampunan dan kasih sayang Allah sangatlah besar terhadap kaum muhajirin yang dengan ikhlas meninggalkan kampung halaman mereka untuk menegakkan kalimah Allah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya'la dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas beliau berkata, "Damrah bin Jundub pergi dari rumahnya "Bawalah aku dan keluarkanlah aku dari bumi orang-orang musyrik ini (Mekah) untuk menemui Rasulullah ﷺ" Maka pergilah dia, dalam perjalanan dia meninggal sebelum berjumpa dengan Nabi Muhammad ﷺ lalu turunlah ayat ini.
Sebab-sebab Islam mensyariatkan hijrah pada zaman permulaan:
1. Untuk menghindarkan diri dari tekanan dan penindasan orang kafir Mekah terhadap Muslimin, sehingga mereka memiliki kebebasan dalam menjalankan perintah agama dan menegakkan syiarnya.
2. Untuk menerima ajaran agama dari Nabi Muhammad saw, kemudian menyebarkannya ke seluruh dunia.
3. Untuk membina negara Islam yang kuat yang dapat menyebarkan Islam, menegakkan hukum-hukumnya, menjaga rakyat dari musuh dan melindungi dakwah Islamiyah.
Ketiga sebab inilah yang menjadikan hijrah dari Mekah menjadi salah satu kewajiban bagi umat Islam. Sesudah umat Islam membebaskan Mekah tidak ada lagi kewajiban hijrah, karena ketiga sebab ini tidak ada lagi. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda:
"Tidak ada hijrah sesudah pembebasan Mekah, tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Jika kamu diperintahkan berperang, maka penuhilah perintah itu" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Abbas).
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Kemudian, sesudah menerangkan kelebihan derajat orang yang pergi berperang dari orang yang duduk, padahal halangan tidak ada, sekarang akan diceritakan lagi tentang orang yang tidak mau berhijrah dari kampung halamannya, padahal mereka tidak bebas mengerjakan agama di kampung halaman itu, sedang mereka sanggup hijrah. Kesanggupan hijrah, padahal satu penganiayaan kepada diri sendiri. Berkatalah ayat selanjutnya,
Ayat 97
“Sesungguhnya orang-orang yang akan diterima oleh malaikat."
Yaitu sesudah mereka mati akan ditanyai oleh malaikat. “Padahal mereka telah menganiaya diri mereka." Menganiaya diri sebab tidak mau turut hijrah, padahal perintah sudah datang dan mereka pun dapat, kalau kamu mau, menganiaya diri karena tekanan batin hidup bersama musuh-musuh. Akan bertanya (malaikat itu), “Dari hal apakah keadaan kamu?" Boleh diartikan bahwa ini sebagai pertanyaan pertama di dalam alam kubur oleh malaikat yang disebut di dalam hadits-hadits yang shahih, diberi nama Munkar dan Nakir, atau pada pertanyaan selanjutnya kelak. Mereka ditanyai mengapa keadaan kamu jadi begini, mengapa catatan agama kamu kurang sempurna? Mengapa kamu tidak bertemu dalam daftar orang-orang yang turut berjihad pada jalan Allah? Dan sebagainya. “Mereka menjawab, ‘Adalah kami ini orang-orang yang tertindas di bumi.'“ Kami tidak dapat berbuat apa-apa, tidak leluasa mengerjakan agama kami sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul ﷺkarena orang-orangyang berkuasa di negeri kami tidak memberikan peluang, sebab mereka adalah kafir, malahan kami ditindas tidak dapat bangun, sedang kami lemah. Jawaban mereka yang seperti itu dipertubikan lagi oleh malaikat itu dengan pertanyaan lain, “Bukankah bumi Allah itu lebar, buat kamu berhijrah padanya." Sudah demikian terang bahwa kamu ditindas di tempat itu dan agama kamu tidak boleh diamalkan sebab yang berkuasa ialah orang-orang musyrik, sedang
kamu masih bisa berhijrah, mengapa kamu tidak hijrah? Jika sempit keadaanmu di tempat itu, bukankah bumi Allah lapang dan kamu bisa pergi ke tempat yang lebih lapang? Kalau di Mekah kamu ditindas, mengapa tidak lekas berangkat ke Madinah?
Orang-orang yang lemah semangat ini tidaklah terlepas dari tanggung jawab, sebab mereka tertindas adalah dari salah mereka sendiri,
“Maka mereka itu, tempat kembali mereka adalah Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".
Mereka mengakui diri lemah atau tertindas, padahal mereka kuat, keadaan mereka tidak berubah dengan beratus-ratus muhajirin yang lain, yang meninggalkan rumah tangga dan harta benda di Mekah, lalu pindah ke Madinah. Kekurangan mereka bukan karena kelemahan diri, melainkan karena kelemahan iman. Itu sebabnya mereka tidak terlepas dari tanggung jawab dan mereka tetap berdosa. Padahal ada pula orang lemah yang lain, yang betul-betul lemah,
Ayat 98
“Kecuali orang-orang yang tertindas dari laki-laki dan penempaan dan kanak-kanak yang tidak sanggup berdaya-upaya dan mereka tidak mendapat suatu jalan pun."
Ada juga orang-orang Mukmin di Mekah itu yang tidak dapat pindah, dan dimaklumi oleh Rasulullah ﷺ sebab-sebab mereka tidak dapat pindah. Misalnya kehidupan mereka sangat bergantung kepada induk semang (ma-jikan) yang masih musyrik, yang selalu mengincarkan mata kepada gerak-gerik mereka, dan hidup mereka sendiri sangat melarat, anak banyak dan istri pun lemah. Mereka bukan lemah hati, melainkan lemah keadaan. Kekeluargaan pun sangat mengikat mereka. Tetapi meskipun mereka lemah sangat, kebanyakan di antara mereka, laki-laki ataupun perempuan, banyak juga yang dengan berbagai macam jalan berusaha hendak hijrah. Misalnya mula-mula mereka berelok-elok laku saja di hadapan orang yang mengawasi mereka, tidak mereka tampakkan keislaman mereka sehingga dipercaya dan dilengahkan pengawasan terhadap mereka. Tiba-tiba mereka pun lari. Sampai soal orang-orang yang disebut lemah ini menjadi perbincangan juga pada perdamaian Hudaibiyah. Sampai kaum musyrikin mengusulkan, kalau ada orang Mekah menggabungkan diri ke Madinah sesudah Perjanjian Hudaibiyah, hendaklah dikembalikan. Tetapi kalau ada orang Madinah pergi ke Mekah, orang Mekah tidak wajib mengembalikan mereka. Oleh karena Rasulullah ﷺ tahu benar akan semangat iman umatnya, beliau sanggupi perjanjian itu. Akhirnya orang Quraisy sendirilah yang meminta agar perjanjian sefasal itu dicabut saja sebab yang rugi ialah mereka, bukan Rasul dan bukan Islam.
Sesudah Perjanjian Hudaibiyah, ada pemuda Mekah yang menggabungkan diri ke Madinah. Namanya Abu Basyir. Dia tidak tahan lagi akan penindasan kaum musyrikin di Mekah, dia selalu menunggu peluang akan lari. Setelah kesempatan terbuka, dia pun keluarlah dari negeri itu. Melihat dia tidak ada lagi dalam negeri Mekah, kaum musyrikin mengutus orang ke Madinah, pergi menjemputnya, berdasar kepada perjanjian yang telah diperbuat dengan Rasulullah ﷺ, bahwa kalau ada orang Mekah melindungkan diri ke Madinah, wajiblah Nabi mengembalikan. Rasulullah ﷺ pun teguh memegang janji itu sehingga seketika Abu Basyir dijemput, Rasulullah menyuruhnya segera menyerahkan diri lalu berangkat bersama-sama orang yang menjemputnya ke Mekah. Tetapi di tengah jalan sedang kedua orang utusan yang menjemputnya tertidur, Abu Basyir bangun. Lalu dibunuhnya yang seorang, dan yang seorang lagi ditawan dan diikatnya, lalu dibawanya tawanan itu kembali ke Madinah, langsung dia melaporkan dirinya kepada Rasulullah ﷺ dan menyerahkan tawanannya.
Kepada beliau dia berkata, “Perintah Rasulullah telah hamba laksanakan, dan hamba telah mengikuti orang-orang ini pulang ke Mekah. Tetapi di tengah jalan yang seorang hamba bunuh dan yang seorang hamba tawan, lalu dengan tawanan itu hamba kembali kepada engkau, ya Rasulullah. Sebab hamba tidak mau lagi kembali dari dalam suasana terang iman ke dalam gelap gulita jahiliyyah!"
Rasulullah ﷺ menyatakan dengan tegas bahwa beliau tidak mau memungkiri perjanjian yang telah ditandatangani sendiri dengan kaum Quraisy. Kalau Abu Basyir tidak mau pulang ke Mekah, itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Namun dia tidak boleh tinggal di Madinah. Sebab Nabi tidak mau orang Quraisy akan menuduhnya memperlindungi pelarian dan memungkiri janji. Abu Basyir mesti keluar dari Madinah.
Abu Basyir taat kepada keputusan Rasulullah itu. Dia pun berangkat meninggalkan Madinah dan tidak pulang ke Mekah. Dia pergi ke Rabigh, suatu desa kecil di tepi taut, di sana dia menghubungi pemuda-pemuda lain yang sepaham. Tidak berapa lama kemudian, tersusunlah suatu gerombolan kecil.
Kerja mereka adalah mengadakan pencegatan kepada kafilah-kafilah perniagaan Quraisy yang akan pergi ke Syam atau kembali dari Syam. Mereka rampok kekayaan kafilah-kafilah itu sehingga lalu lintas perdagargan Quraisy tidak aman lagi. Akhirnya perutusan Quraisy sendirilah yang datang menghadapi Nabi ﷺ ke Madinah, memohon supaya fasal perjanjian yang sebuah itu ditiadakan saja atau dibatalkan. Sebab yang rugi dari perjanjian itu bukanlah kaum Muslimin, melainkan orang Quraisy sendiri.
Setelah fasal perjanjian itu dibatalkan oleh kedua belah pihak, Rasulullah ﷺ mengutus beberapa orang ke Rabigh, menemui Abu Basyir dan memberitahukan kepadanya bahwa dia sudah boleh pulang ke Madinah. Tetapi malang, seketika utusan Rasulullah ﷺ Itu datang, didapati Abu Basyir sedang menderita luka parah karena satu pertempuran dengan kafilah Quraisy. Utusan datang mendapatinya tengah terbaring menunggu ajalnya. Gembira wajahnya menerima berita itu dari para utusan. Akhirnya dia bertanya, “Marahkah Rasulullah kepadaku?"
“Kalau beliau marah, niscaya kami tidak akan diutus kepadamu."
“Jadi beliau tidak marah?" tanya Abu Basyir,
“Beliau senang dan ridha kepadamu, dan berkirim salam!"
Tersenyum Abu Basyir menerima kabar itu, dan tidak berapa saat kemudian dia pun mencapai syahidnya, dan suatu senyum tersungging di bibirnya.
Apabila kita tilik kejadian Abu Basyir ini dan kita hubungkan dengan kedua ayat yang tengah kita tafsirkan, ternyatalah bahwa Abu Basyir tidak segera pindah ke Madinah, bukanlah karena dia lemah hati, melainkan selama ini berdiam diri menunggu kesempatan. Selain dia terdapatlah orang-orang lemah yang lain, yang benar-benar lemah sehingga tidak dapat hijrah. Baik laki-laki atau perempuan-perempuan dan kanak-kanak mereka tidak disalahkan karena Nabi tahu bahwa kelemahan itu bukanlah mereka bikin-bikin untuk mengelakkan diri. “Hijrah Jiwa" yang mereka derita di tengah-tengah kaum musyrikin, tidak kurang beratnya daripada penderitaan orang-orang yang benar-benar hijrah mengikuti Nabi ke Madinah.
Oleh sebab itu, lanjutan ayat memberikan maaf kepada mereka,
Ayat 99
“Maka meieka itu, mudah-mudahan Allah akan memaafkan mereka, dan adalah Allah itu Pemaaf, lagi Penyayang."
Ayat ini telah memberikan isyarat bagi kita bahwasanya meskipun telah dimaklumi kelemahan mereka sehingga mereka tidak dapat hijrah, sikap mereka itu diberi izin adalah karena memang tidak ada jalan lain lagi. Sebab itu maka dikatakan dalam ayat mudah-mudahan diberi maaflah mereka atas kelemahan itu. Tandanya bahwa hijrah lebih baik.
Di dalam surah al-Fath ayat 25 lebih jelaslah lagi bahwa orang-orang lemah yang tinggal di Mekah itu mendapat perhatian istimewa. Dalam ayat itu disyukuri sikap tenang dan disiplin umat Muslimin yang mengikuti Nabi dalam Perjanjian Hudaibiyah. Kalau mereka tidak disiplin, niscaya mereka serbu Mekah sebab mereka dihalangi naik haji. Kalau penyerbuan itu terjadi, tentu Muslimin yang lemah dan sembunyi-sembunyi di Mekah akan turut menjadi korban sia-sia. Disangka musuh oleh kaum Muslimin, padahal mereka adalah teman. Atau dicurigai oleh kaum Quraisy sendiri, lalu dibunuh pula.
Ayat 100
“Dan bcnangsiapayang benhijnah pada jalan Allah, niscaya dia akan bertemu di bumi ini tempat berlindung yang banyak, dan kelapangan."
Manusia memang amat berat meninggalkan kampung halaman dan rumah tangga. Tarikan kampung halaman dan rumah tangga itu pun satu ujian jiwa manusia. Sedangkan ketika kita akan berangkat musafir ke mana-mana lagi berat meninggalkan rumah, betapa lagi kalau hendak ditinggalkan untuk selama-lamanya. Apatah lagi keadaan di tempat yang baru masih belum diketahui. Di sinilah iman mendapat ujian yang berat sekali. Itu sebabnya Mukmin harus memilih, manakah yang lebih dipentingkan?
Apakah mengasihi tempat tinggal yang lama atau hijrah karena jalan Allah? Apalah artinya tempat tinggal yang lama, kalau di sana jalan Allah tidak dapat didirikan? Kalau hijrah karena jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan. Di ayat inilah Allah memberikan jaminan-Nya yang tegas. Jika takut di dalam perjalanan hijrah—misalnya dari Mekah ke Madinah—maka di antara Mekah dan Madinah itu terhamparlah bumi tempat berlindung. Sesampai di tempat kediaman yang baru, kesempitan yang ditakuti akan berganti dengan kelapangan. Kalau selama ini dada tertekan dan siang malam selalu terancam, di tempat kediaman yang baru semuanya akan hilang.
Contohnya teramat banyak.
Shuhaib adalah seorang pedagarg miskin, sampai menjadi orang kaya raya. Setelah Rasulullah ﷺ diutus membawa ajaran Islam, dia pun menjadi Muslim yang setia. Dia memeluk Islam dengan tidak ragu-ragu sehingga akhirnya dia terhitung sebagai salah seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka. Ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan hijrah ke Madinah, Shuhaib pun memutuskan turut pindah. Orang Quraisy lalu mencaci makinya, dituduh tidak mengenal jasa penduduk Mekah kepadanya. Setelah dia kaya raya, dia hendak pindah. Apa jawab Shuhaib mendengar caci maki itu? Jangan sangkut-pautkan di antara harta kekayaanku dengan imanku kepada Allah. Aku harus pindah dan harta kekayaan ini kalian ambil semuanya untuk kalian, asal kalian bebaskan daku berangkat meninggalkan negeri ini. Dan dia pergi hijrah dengan hati bulat. Di Madinah tidaklah dia mati kelaparan.
Abdurrahman bin ‘Auf bernasib demikian pula. Kaum keluarganya yang masih musyrik mencopot habis segala kekayaannya karena dia akan ikut hijrah. Dia datang ke Madinah hanya membawa badan sebatang kara saja. Dahulu dia telah diperintah Nabi hijrah ke Habsyi, dan itu telah dilaksanakannya. Kemudian dia pulang ke Mekah. Sesampai di Mekah, datang perintah hijrah pula ke Madinah. Itu pun ditaatinya pula, habis harta benda, licin tandas. Dari hijrah ke hijrah. Tetapi dia tidak peduli, dia berangkat juga ke Madinah. Sampai di Madinah dia dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan seorang Mukmin Anshar sebaya dia pula bernama Sa'ad bin Rabi. Demikian kasih saudara angkatnya itu kepadanya sehingga Sa'ad pernah berkata, “Istriku ada berdua. Boleh engkau pilih satu mana yang engkau sukai. Aku akan ceraikan dia untukmu. Di Madinah ini aku termasuk orang mampu. Engkau boleh ambil separuh dari kekayaanku dan mulailah berdagarg!"
Abdurrahman bin ‘Auf menjawab, “Semoga Allah memberikan berkah untukmu, baik pada hartamu maupun pada keluargamu. Tunjukkan saja kepadaku, di mana pasar. Aku tahu apa yang akan aku kerjakan.
Mulai dia masuk pasar, mulai dia berniaga, membeli dan menjual, dalam sedikit waktu saja dia telah ada uang. Belum berapa lama berselang, dia pun datang ke dalam majelis Rasulullah ﷺ. Dia memakai pakaian serba baru, dengan tersebar bau wangi-wangian, dan mukanya pun berseri-seri dan rambutnya disisir licin. Lalu Rasulullah ﷺ bertanya, “Lama tak muncul, ke mana engkau selama ini Abdurrahman?"
Dengan senyum simpul Abdurrahman menjawab, “Telah kumulai hidup baru di negeri yang bersinar gemilang ini, ya Rasul Allah! Dan aku baru saja kawin!"
“Kawin?" tegur Rasulullah ﷺ dengan wajah ridhanya. “Dengan apa engkau membayar maharmu?"
“Dengan biji emas, ya Rasulullah!" jawabnya dengan gembira.
“Mudah-mudahan Allah melimpahkan berkahnya kepada engkau, ya Abdurrahman," ujar Rasulullah ﷺ pula. Dan kemudian tidak berapa lama, dia telah terkenal sebagai salah seorang sahabat Rasulullah yang terkaya di seluruh Madinah.
Seluruh Muhajirin yang datang ke Madinah itu demikianlah halnya. Orang-orang yang dahulunya hidup siang malam dalam tekanan batin dari musuh-musuh, sehingga sempit alam tempat tegak, orang-orang itulah yang
kemudiannya yang menjadi pahlawan penegak Islam dan penyebarnya ke seluruh dunia ini. Menjadi khalifah Rasulullah ﷺ, menjadi panglima perang penakluk Mesir, Syam, dan Iran. Ingatlah nama-nama Abu Bakar dan Umar, Utsman, Ali. Ingatlah Khalid bin Walid, Sa'ad bin Abu Waqqash, Amer bin Ash, dan banyak lagi yang lain-lain. Mereka dan beribu-ribu sahabatyang lain mendapat perlindungan di muka bumi dan mendapat hidup yang lebih lapang. Janji Allah telah mereka terima penuh.
Berfirman Allah selanjutnya, “Dan barang-siapa yang keluar dari rumahnya, berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya." Alangkah indahnya ungkapan ayat ini! Orang keluar dari dalam rumah tempat tinggalnya, yang telah didiaminya bertahun-tahun karena dia telah hijrah, telah pindah. Ke mana dia pindah? Ialah kepada Allah dan Rasul! Meskipun tempat kediaman yang baru belum tampak, jiwa telah mendapat kediamannya yang tetap, yaitu Allah dan Rasul. “Kemudian dicapai dia oleh maut" Rumah tangganya telah ditinggalkannya sebab hatinya telah pindah kepada Allah dan Rasul, meskipun tempat kediaman rumah entah gubuk reot dan belum tentu, dia telah merasa tenteram sebab rumah itu telah ada dalam hatinya, yaitu Allah dan Rasul. Tiba-tiba sebelum sampai ke tempat kediaman yang baru, dia pun mati. Mati di dalam perjalanan! “Sesungguhnya telah tersedia pahalanya atas Allah" Inilah janji Allah untuk orang yang telah bulat menghijrahkan hatinya kepada Allah. Rumah tangganya yang indah tak diingatnya lagi, yang diingatnya hanyalah janjinya dengan Allah. Laksana Asiyah istri Fir'aun yang tersebut kisahnya di akhir surah at-Tahrim, Karena hatinya telah hijrah kepada Allah, dia tidak merasa senang lagi dengan istana Fir'aun. Bahkan dia memohon kepada Allah agar dibikinkan sebuah rumah di surga.
“Dan adalah Allah itu Pengampun lagi Penyayang,"
Allah akan memberi ampun dosa dan kelalaian selama ini sebab si muhajir telah menentukan sikap hidup yang baru. Dia telah menang atas dirinya sendiri. Dan Allah Maha-sayang kepadanya sehingga dia akan selalu dituntun kepada hidup yang lebih baik.
HIJRAH
Oleh sebab itu, menjadi perbincangan yang utamalah di dalam kalangan ulama tentang hijrah itu.
Di dalam surah al-Anfaal ayat 7 akan bertemu kelak betapa teguhnya Islam karena tali yang berpilin tiga yaitu Iman, Hijrah, dan Jihad. Kalau Iman sudah tumbuh, harus sanggup Hijrah. Sebab Allah dan Rasul lebih penting daripada negeri tempat diam. Apa artinya negeri tempat diam itu, kalau di sana tidak dapat menegakkan kehendak Allah dan Rasul. Kalau sudah sanggup hijrah ke tempat yang cocok, di sana sanggup menyusun kekuatan buat menumpas kembali kemungkaran itu. Itulah Jihad. Sebab itu hijrah bukanlah lari, melainkan rentetan perjuangan.
Hadits terkenal, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Nabi ﷺ bersabda,
“Tidak ada lagi hijrah sesudah penaklukkan. “
Maksudnya ialah bahwa orang Muhajirin hijrah dari Mekah ke Madinah, sebab waktu itu Mekah negeri orang kafir. Kemudian di tahun ke-8 Mekah telah dapat ditaklukkan dan sekalian berhala telah dihancurkan. Sejak waktu itu, tidak ada lagi artinya kalau masih ada orang Mekah hijrah ke Madinah.
Tetapi menilik inti sebab, hijrah itu sewaktu-waktu akan terjadi.
Berkata ahli tafsir Jarullahaz-Zamakhsyari, “Ayat ini menunjukkan bahwasanya apabila seseorang merasa tidak bebas lagi melakukan agamanya di negeri kediamannya, sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah, karena berbagai-bagai sebab, dan memang penghalang mengerjakan agama itu tidak terhitung banyaknya; dan dia pun mengetahui bahwa di negeri lain itu dia akan lebih bebas mengerjakan agama dan lebih tenteram beribadah, sudah wajiblah dia hijrah."
Imam Malik pun menyatakan dengan tegas bahwa pintu hijrah tidak pernah tertutup. Kalau sempit mengerjakan agama dan menegakkan keyakinan di suatu negeri dan ada kebebasan di tempat yang lain, bolehlah hijrah ke negeri lain itu.
Menurut al-Qasim bin Ibrahim, salah seorang ulama Ahlul Bait, “Apabila kefasikan telah berterang-terang di satu negeri, sehingga tidak mungkin lagi melakukan amar ma'ruf, hijrah telah menjadi wajib."
Di sini timbullah tiga pembahagiaan: Darul Islam, Darul Fisq, dan Darul Harb.
Darul Islam ialah yang di sana telah berlaku hukum dan syari'at Islam. Darul Fisq, yaitu yang di negeri itu telah leluasa saja kemaksiatan, korupsi, kejahatan sehingga pemerintahan negeri itu sendiri pun tidak berwibawa lagi. Dari Darul Islam tadi tidak boleh pindah. Tetapi dari negeri yang penuh fasik itu hendaklah segera pindah, kalau tidak dapat lagi mengerjakan amar ma'ruf nahi mungkar. Adapun Darul Harb ialah negeri yang dalam berperang.
Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir ai-Manar, menerangkan bahwa hijrah disyari'at-kan karena tiga sebab. Yang dua berhubungan dengan pribadi tiap Muslim dan yang satu lagi berhubungan dengan Jamaah.
Pertama ialah bahwa tidak boleh seorang Muslim berdiam di suatu negeri kalau di sana tertekan kemerdekaannya beragama atau kemerdekaan pribadi. Tiap-tiap orang Islam yang difitnah (dihalang-halangi) pada agamanya atau dilarang mendirikan agama menurut keyakinannya, hendaklah dia pindah ke negeri yang lain yang di sana ada kemerdekaannya beragama. Kalau dia tidak segera pindah, menetapnya di negeri itu adalah maksiat. Yang akan dituruti lagi oleh berbagai-bagai maksiat yang lain. Tetapi kalau kemerdekaan beragama ada di sana, walaupun negeri itu bukan negeri Islam, bolehlah dia tinggal di negeri itu.
Kata Sayyid Rasyid Ridha, “Yang dimaksud dengan ujung ayat ini, yaitu boleh tinggal di negeri orang yang bukan Islam asal di sana ada kemerdekaan beragama, ialah seumpama orang Islam tinggal di negeri Inggris. Sebab di sana ada jaminan kemerdekaan beragama.
Kedua—kata beliau selanjutnya—ialah mempelajari agama dan memperdalam paham tentang syari'at. Yang demikian itu hanya berlaku di zaman Nabi. Orang-orang Islam yang tinggal di tempat terpencil hendaklah berkumpul ke Madinah. Di zaman Nabi beliau kirimkan guru-guru dan muballigh -muballigh untuk memberi petunjuk kepada yang belum tahu. Maka seorang yang telah masuk Islam tidak boleh berdiam di satu tempat yang di sana tidak ada guru atau ulama yang akan mengajarkan agama kepadanya, melainkan dia wajib hijrah mencari negeri yang ada guru.
Ketiga ialah bersangkutan dengan jamaah kaum Muslimin sendiri. Jamaah Muslimin hendaklah mempunyai suatu kekuasaan atau pemerintahan yang kuat guna menyebarkan dakwah Islam dan menegakkan hukum-hukum dan undang-undangnya dan untuk memelihara kesuciannya, mempertahankan dari serbuan orang luar yang hendak merampas kemerdekaannya, dan aniaya orang yang aniaya. Kalau pemerintahan ini lemah, sehingga takut kalau-kalau diserbu musuh tiba-tiba karena lemahnya, wajiblah atas seluruh Muslimin, di mana saja mereka berada, tegak membela kemerdekaan Daulah Islamiyah.
Kalau pertahanan itu bergantung kepada hijrah, hendaklah ke sana, wajiblah segera hijrah. Kalau tidak niscaya leluasalah musuh-musuh Islam menyekat kemajuan Islam dan mematahkan kekuasaannya.
Sebab yang tiga macam ini bertemu semua sebelum Mekah ditaklukkan. Tetapi setelah Mekah takluk, kuatlah Islam dan kalahlah syirik di jazirah tanah Arab seluruhnya dan manusia pun masuklah ke dalam agama Islam berduyun-duyun. Setelah itu Nabi pun mengirim utusan-utusannya ke segala penjuru mengajarkan syari'at dan peraturan Islam sehingga Islam pun telah tersebar. Dengan sebab yang demikian, perintah yang mewajibkan hijrah tak ada lagi. Karena orang telah aman dari fitnah dan orang telah sanggup menegakkan agama. Hijrah yang wajib karena hendak mencari guru agama yang ahli, dengan sendirinya tidak begitu penting lagi. Hilang pula sebab yang mewajibkan hijrah karena untuk membela jamaah Muslimin dan karena hendak memperkuatnya dan menyokongnya terhadap orang yang hendak memeranginya. Itulah sebabnya ada sabda Nabi bahwa setelah Mekah takluk, hijrah tidak ada lagi. Tetapi yang ada terus ialah jihad dan niat. Kalau datang perintah berperang, hendaklah siap, (sabda Nabi itu diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dari Ibnu Abbas dan seumpama itu pula dari Aisyah) Tidak ada lagi pertikaian pendapat ulama bahwa hijrah selalu diwajibkan kalau bertemu salah satu sebab yang tiga itu. Sebagaimana juga diwajibkan pergi musafir untuk berjihad apabila sebab-sebab itu telah bertemu. Salah satu sebab yang paling kuat untuk mewajibkannya ialah apabila orang-orang kafir telah menyerang ke atas negeri-negeri orang Islam dan mulai hendak menguasainya." Demikian Sayyid Rasyid Ridha.
Dalam sejarah Islam lama dan modern
kerap kali terjadi hijrah besar-besaran. Setelah kaum Muslimin kalah mempertahankan kedaulatannya di Andalusia (Spanyol) dalam abad kelima belas, berjuta-juta kaum Muslimin terpaksa hijrah ke Afrika Utara. Berjuta-juta pula yang hilang lalu tersangkut di negeri lain dan berjuta sisa yang tinggal di tanah Spanyol sendiri dipaksa memeluk agama Nasrani.
Di zaman modern kita ini terkenallah hijrah kaum Muslimin penduduk Turkistan karena serbuan komunis Cina merebut kekuasaan.
Yang terlebih hebat lagi ialah pengungsi Arab karena berdirinya negeri Yahudi yang bernama Israel pada tanah air bangsa Arab yang direbut dengan paksaan dan senjata, dengan mendapat pengakuan dari kerajaan-kerajaan Barat (Kristen)
Hijrah yang paling dahsyat pula ialah berjuta kaum Muslimin di daerah kekuasaan orang Hindu di Hindustan, pindah ke wilayah Pakistan untuk turut membangun negara Islam yang baru, yang di sana mereka merasa lebih bebas menanamkan cita-cita hidup menurut sepanjang ajaran agama Islam.
Di tanah air kita Indonesia nyaris saja akan terjadi hijrah besar-besaran itu kalau sekiranya jadi negeri ini jatuh ke bawah kekuasaan kaum Komunis, kalau tidak gagal perebutan kekuasaan mereka pada 30 September 1965.
Agama membuka pintu hijrah jika kita merasa bahwa kemerdekaan melakukan agama di tanah tempat tinggal kita sendiri tidak ada lagi. Itu sebabnya Syekh Muhammad Abduh menyatakan pendapat sebagaimana yang di-salinkan oleh Sayyid Rasyid Ridha di atas tadi, orang Islam boleh tinggal di negeri Inggris sendiri, negeri orang kafir (Darul Kuffar), asal saja di negeri itu ada kemerdekaan beragama. Memang bagi pribadi sendiri ada kebebasan melakukan agama, kebebasan shalat di rumah, kebebasan puasa dengan tidak usah diketahui orang, jika kita tinggal di negeri orang kafir itu. Tetapi kalau kita di sana bukan membawa dakwah Islam, artinya kalau kita seorang Muslim yang bukan berkaliber besar, akan lebih besarlah bahayanya berhijrah ke negeri-negeri yang demikian.
Orang-orang Islam yang tinggal di Eropa dan Amerika di zaman sekarang menghadapi suatu masalah atau problem baru. Yaitu hilang merosotnya agama Islam pada anak-anak keturunan mereka sendiri. Sebab si ayah tidak sanggup mendidik dan menunjukkan kehidupan Islam terhadap anaknya dalam negeri orang lain yang seluruh suasananya ialah suasana Kristen.
Sebab itu apabila seorang Muslim merasa tertekan perasaannya di dalam negerinya sendiri, hanya jika hijrah ke Mekahlah barangkali yang lebih aman, daripada jika dia hijrah ke negeri-negeri Kristen. Sebab jika hidup di Mekah anak cucu masih dapat terus-menerus jadi orang Islam.
Lantaran itu dalam suasana Islam zaman sekarang, hendak hijrah dari satu negeri karena tidak ada kekuasaan beragama haruslah melalui pertimbangan yang mendalam terlebih dahulu. Hijrah janganlah karena semata-mata hendak menyelamatkan diri, melainkan ingatlah tujuan hidup menyelamatkan jalan Allah. Kalau perlu jangan hijrah; melainkan menyusun kekuatan apa yang ada, dengan teman-teman yang sepaham, guna memperjuangkan terus cita-cita Islam di tempat kediaman sendiri. Karena kalau hendak mencari suatu negeri yang sunyi dari kemaksiatan dalam dunia yang sebagaimana sekarang, adalah suatu usaha yang sangat sukar. Mungkin hijrah yang hanya ke... Akhirat!