Ayat
Terjemahan Per Kata
قَدۡ
sesungguhnya
سَمِعَ
mendengar
ٱللَّهُ
Allah
قَوۡلَ
perkataan
ٱلَّتِي
yang (wanita)
تُجَٰدِلُكَ
ia mengajukan gugatan kepadamu
فِي
pada/tentang
زَوۡجِهَا
suaminya/pasangannya
وَتَشۡتَكِيٓ
dan ia mengadukan
إِلَى
kepada
ٱللَّهِ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَسۡمَعُ
mendengar
تَحَاوُرَكُمَآۚ
soal jawab kamu berdua
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
سَمِيعُۢ
Maha Mendengar
بَصِيرٌ
Maha Melihat
قَدۡ
sesungguhnya
سَمِعَ
mendengar
ٱللَّهُ
Allah
قَوۡلَ
perkataan
ٱلَّتِي
yang (wanita)
تُجَٰدِلُكَ
ia mengajukan gugatan kepadamu
فِي
pada/tentang
زَوۡجِهَا
suaminya/pasangannya
وَتَشۡتَكِيٓ
dan ia mengadukan
إِلَى
kepada
ٱللَّهِ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَسۡمَعُ
mendengar
تَحَاوُرَكُمَآۚ
soal jawab kamu berdua
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
سَمِيعُۢ
Maha Mendengar
بَصِيرٌ
Maha Melihat
Terjemahan
Sungguh, Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Nabi Muhammad) tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah, padahal Allah mendengar percakapan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Tafsir
Al-Mujaadilah (Wanita yang Menggugat)
(Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu) yakni seorang wanita yang melapor kepadamu, hai nabi (tentang suaminya) yang telah mengucapkan kata-kata zihar kepadanya. Suami wanita itu berkata kepadanya, "Kamu menurutku bagaikan punggung ibuku." Lalu wanita itu menanyakan hal tersebut kepada Nabi ﷺ, maka beliau menjawab bahwa dia haram atas suaminya. Hal ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di kalangan mereka, bahwa zihar itu akibatnya adalah perpisahan untuk selama-lamanya. Wanita yang dimaksud bernama Khaulah binti Tsa'labah, sedangkan suaminya bernama Aus bin Shamit (dan mengadukan halnya kepada Allah) yakni tentang keadaannya yang tidak mempunyai orang tua dan famili yang terdekat, serta keadaan ekonominya yang serba kekurangan, di samping itu ia menanggung beban anak-anaknya yang masih kecil-kecil; apabila anak-anaknya dibawa oleh suaminya, niscaya mereka akan tersia-sia dan tak terurus lagi keadaannya tetapi apabila anak-anak itu di bawah pemeliharaannya, niscaya mereka akan kelaparan. (Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua) dialog kamu berdua. (Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat) artinya Maha Mengetahui.
Tafsir Surat Al-Mujadilah: 1
Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Tamim ibnu Salamah, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan, "Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya mencakup semua suara, sesungguhnya telah datang kepada Nabi ﷺ seorang wanita yang mengajukan gugatan, lalu wanita itu berbicara kepada Nabi ﷺ , sedangkan aku berada di salah satu ruangan di dalam rumah, aku tidak dapat mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu." Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya. (Al-Mujadilah: 1), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Kitabut Tauhid-nya secara ta'liq, dia mengatakan bahwa Al-A'masy telah meriwayatkan dari Tamim ibnu Salamah, dari Urwah, dari Aisyah, lalu disebutkan hal yang sama. Imam An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Jarir telah mengetengahkan hadits ini melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dari Al-A'masy, dari Tamim ibnu Salamah, dari Urwah, dari Aisyah, disebutkan bahwa ia pernah berkata, "Mahasuci Tuhan Yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu, sesungguhnya aku benar-benar mendengar suara pembicaraan Khaulah binti Sa'labah, tetapi sebagiannya tidak dapat kudengar, yaitu saat dia mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah ﷺ Dia mengatakan, 'Wahai Rasulullah, suamiku telah makan hartaku dan mengisap masa mudaku, serta kubentangkan perutku untuknya, hingga manakala usiaku telah menua dan aku tidak dapat beranak lagi, tiba-tiba dia melakukan zihar terhadapku.
Ya Allah, aku mengadu kepada Engkau masalah yang menimpaku ini'." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa sebelum Khaulah bangkit pulang, Jibril turun dengan membawa ayat ini, yaitu: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya. (Al-Mujadilah: 1) Siti Aisyah mengatakan bahwa suami Khaulah adalah Aus ibnus Samit. Ibnu Lahi'ah telah meriwayatkan dari Abul Aswad, dari Urwah ibnus Samit, bahwa Aus adalah seorang lelaki yang emosional. Tersebutlah bahwa apabila emosinya memuncak, maka ia men-zihar istrinya. Jika emosinya telah reda, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun (terhadap istrinya). Maka istrinya datang menghadap Rasulullah ﷺ , meminta fatwa tentang masalahnya itu dan mengadu kepada Allah subhanahu wa ta’ala Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. (Al-Mujadilah: 1), hingga akhir ayat. Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya bahwa pernah ada seorang lelaki yang pemarah, lalu disebutkan seperti hadits di atas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail alias Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazm yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Yazid menceritakan hadits berikut, bahwa pernah ada seorang wanita bersua dengan Umar, wanita itu dikenal dengan nama Khaulah binti Sa'labah, sedangkan Umar saat itu sedang berjalan dengan orang-orang banyak.
Lalu wanita itu meminta agar Umar berhenti. Maka Umar berhenti dan mendekatinya, kemudian mendengar apa yang dikatakannya dengan mendekatkan kepalanya dan meletakkan kedua tangannya ke pundak wanita itu, hingga wanita itu selesai dari keperluannya, lalu pergi. Maka ada seorang lelaki berkata kepada Umar, "Wahai Amirul Muminin, teganya engkau menahan banyak lelaki dari Quraisy demi nenek-nenek ini." Umar menjawab, "Celakalah kamu, tahukah kamu siapakah wanita ini?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Umar berkata, "Wanita inilah yang pengaduannya didengar oleh Allah dari atas langit yang ketujuh, wanita ini adalah Khaulah binti Sa'labah.
Demi Allah, seandainya dia tidak pergi dariku sampai malam hari, aku tidak akan pergi meninggalkannya hingga ia selesai dari keperluannya; terkecuali bila datang waktu shalat, maka aku kerjakan salatku lebih dahulu kemudian kembali lagi kepadanya, hingga ia menyelesaikan keperluannya dariku." Sanad hadits ini munqati' antara Abu Yazid dan Umar ibnul Khattab. Telah diriwayatkan pula hadits ini melalui jalur lain.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Ya'la, telah menceritakan kepada kami Zakaria, dari Amir yang mengatakan bahwa wanita yang memajukan gugatan tentang suaminya adalah Khaulah bintis Samit, ibunya bernama Mu'azah yang berkenaan dengannya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri mengingini kesucian. (An-Nur: 33) Yang benar adalah Khaulah binti Sa'labah, istri Aus ibnus Samit."
Pada akhir Surah al-Had'd Allah menyeru orang-orang beriman agar taat kepada Rasul-Nya, niscaya Allah akan memberikan cahaya dan mengampuni mereka. Pada ayat ini dijelaskan, sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, yang telah menzihar dirinya, yaitu menganggap dirinya sama dengan ibu kandungnya sehingga haram digauli, dan dia pun mengadukan keadaan itu kepada Allah agar Allah memberikan kepastian hukum tentang kasus zihar tersebut dan Allah mendengar percakapan di antara kamu berdua bersama perempuan yang bernama Khaulah binti 'a'labah yang dizihar suaminya tersebut. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar semua jenis percakapan yang terbuka maupun tertutup, Maha Melihat yang tampak maupun yang tersembunyi. 2. Orang-orang, yakni para suami, di antara kamu yang menzihar istrinya, yaitu menyamakan status hukum istrinya dengan ibunya, yaitu memandang keduanya sama-sama haram digauli, karena tidak lagi menyukainya. Suami yang memperlakukan istrinya demikian telah berbuat kesalahan yang berat, karena istri mereka itu bukanlah ibunya sehingga tidak haram digauli. Mereka tidak menyadari bahwa ibu-ibu mereka adalah perempuan yang telah melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka, para suami yang menzihar istrinya, benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar karena ucapan itu hanya alasan bahwa ia tidak lagi menyukai istrinya dan merupakan ucapan dusta, karena tidak sesuai dengan fakta bahwa istri itu berbeda dengan ibu kandungnya. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf kepada siapa saja yang menyadari kesalahannya bahwa ia telah menzihar istrinya; Maha Pengampun kepada yang bertobat dengan tulus.
Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menerima gugatan seorang perempuan yang diajukan kepada Rasulullah ﷺ tentang tindakan suaminya. Ia merasa dirugikan oleh suaminya itu, karena dizihar yang berakibat hidupnya akan terkatung-katung. Allah telah mendengar pula tanya jawab yang terjadi antara istri yang menggugat dengan Rasulullah ﷺ Oleh karena itu, Allah menurunkan hukum yang dapat menghilangkan kekhawatiran istri itu.
Zihar adalah ucapan suami kepada istrinya, "Anti 'alayya ka dhahri ummi (Engkau menurutku haram aku campuri, seperti aku haram mencampuri ibuku)." Zihar termasuk hukum Arab Jahiliah yang kemudian dinyatakan berlaku di kalangan umat Islam dengan turunnya ayat ini. Akan tetapi, hukumnya telah berubah sedemikian rupa sehingga telah hilang unsur-unsur yang dapat merugikan pihak istri.
Menurut hukum Arab Jahiliah, bila seorang suami menzihar istrinya maka sejak itu istrinya haram dicampurinya. Maka sejak itu pula istrinya hidup dalam keadaan terkatung-katung. Setelah zihar, perkawinannya dengan suaminya belum putus, tetapi ia tidak boleh dicampuri lagi oleh suaminya. Biasanya istri yang dizihar tidak lagi diberi nafkah oleh suaminya, dan untuk kawin dengan orang lain terhalang oleh masih adanya ikatan perkawinan dengan suaminya.
Zihar dilakukan suami kepada istri di zaman Arab Jahiliah biasanya karena suami tidak mencintai istrinya lagi atau karena marah kepada istrinya, tetapi ia bermaksud mengikat istrinya. Perbuatan yang demikian biasa di zaman Arab Jahiliah karena memandang rendah derajat perempuan. Sedangkan agama Islam menyamakan derajat perempuan dengan pria.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-MUJAADILAH
(PEMBANTAHAN)
SURAH KE-58, 22 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
Surah ini diturunkan di Madinah. Namanya terkadang disebut al-Mujaadalah, yang artinya terjadi suatu perbantahan. Sebab itu nama ini diambil dari kalimat masdhar jaadala, yujaadilu, mujaa dalatan dan jidaalan. Tetapi bisa juga disebut al-Mujaadilah, artinya ialah perempuan yang mengajukan gugatan. Sebab asal-usul turunnya ayat ialah karena ada seorang perempuan yang datang bertanya kepada Rasulullah ﷺ lalu jawaban dari Rasulullah itu belum diterimanya dengan puas hati, sampai dia bertanya kembali kepada Rasulullah seakan-akan dia membantah atau membanding perkataan Nabi ﷺ Surah ini mengandung 22 ayat dan ia adalah surah yang ke-58 dalam susunan Mushaf al-‘Utsmani.
***
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
ZHIHAAR
Satu kebiasaan yang sangat ganjil dan buruk di zaman jahiliyyah di tanah Arab ialah perlakuan terhadap seorang istri yang tidak disukai lagi dengan ucapan yang disebut zhihaar. Pokok asal arti zhihaar ialah diambil dari kalimat punggung, atau bagian belakang dari istri. Yaitu seorang laki-laki yang tidak suka lagi kepada istrinya, dia mengucapkan kalimat berikut kepada istrinya,“Kau bagiku adalah sama dengan punggung ibuku." Dipahamkan dari ucapan itu ialah dia telah memandang istrinya itu sama dengan punggung ibunya. Niscaya kalau istri telah disamakan dengan punggung ibu, samalah artinya tidak akan dipegang lagi, tidak akan disentuh lagi seperti lazimnya sentuhan terhadap seorang istri. Dengan demikian samalah artinya bahwa dia telah disisihkan, meskipun tidak diucapkan lafazh cerai atau talak.
Niscaya adat buruk jahiliyyah itu tidak patut terjadi dalam kalangan orang Islam yang telah sadar bahwa maksud agama ialah tidak membuat kaum perempuan jadi terlantar. Namun hukum yang pasti belum ada, karena sejak pindah ke Madinah orang men-zhihaar istri itu belum pernah kejadian. Tiba-tiba pada suatu hari ada kejadian orang yang men-zhihaar itu. Dari Khaulah binti Tsalabah, “Terjadi demi Allah pada diriku dan diri Aus bin Shamit, Allah menurunkan pangkal dari surah al-Mujaadilah." Katanya selanjutnya, “Saya adalah istri dari Aus bin Shamit itu. Dan dia adalah seorang laki-laki yang telah tua dan perangainya sudah mulai buruk. Pada suatu hari dia pulang ke rumah, lalu aku tanyakan suatu hal, tetapi disambutnya dengan marah-marah, sehingga keluarlah ucapannya, ‘Kau bagiku adalah seperti punggung ibuku.'"
Lalu Khaulah melanjutkan ceritanya, “Setelah dia mengucapkan kata-kata itu, dia pun keluar dari rumah dan pergi duduk-duduk ke tempat berkumpul kaumnya sesaat lamanya. Setelah itu dia pun pulang kembali. Setelah itu rupanya dia ingin mendekatiku, hendak menyentuhku. Lalu dia aku tolak dan kataku, ‘Jangan dekat kepadaku! Demi Allah yang Khaulah ada dalam tangan-Nya. Engkau tidak boleh lagi mendekatiku setelah engkau mengucapkan kata-kata tadi itu, sampai datang hukum Allah dan Rasul-Nya pada kita.'"
Kata Khaulah selanjutnya, “Lagi dicobanya hendak menyerang dan memegangku, tetapi aku mengelak. Lalu terjadilah dia menarik dan aku mengelak, bersitegang. Akhirnya dia aku tendang, yaitu tendangan seorang perempuan yang masih kuat terhadap seorang laki-laki tua, sampai dia terjatuh. Maka segeralah aku pergi ke rumah tetangga, aku pinjam selendangnya, lalu aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ. Dan duduklah aku di hadapan beliau, aku ceritakan kepadanya apa yang telah aku alami itu dan aku mengeluh mengadukan kepada beliau tentang buruknya perangai suamiku itu, lalu berkatalah Rasulullah,“Anak pamanmu itu sudah tua sangat, takwalah kepada Allah dan rukunlah dengan dia."
Khaulah berkata selanjutnya, “Lalu aku jawab, aku belum akan pulang ke rumah, ya Rasulullah, sebelum datang ketentuan al-Qur'an tentang diriku."
Tiba-tiba datanglah keadaan yang biasa pada Rasulullah ketika wahyu turun, yaitu beliau seakan-akan pingsan sejenak, lalu beliau bangun. Lalu dia berkata kepadaku, “Hai Khaulah! Telah turun Al-Qur'an yang mengenai diri kau ini dan diri suamimu."
Lalu beliau bacalah ayat ini, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan seorang perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau." sampai kepada firman Allah,“Dan bagi orang-orang yang tidak mau percaya ada siksaan yang pedih." (al-Mujaadilah: 1-4)
Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Pulanglah dan beritahukan kepadanya supaya dia memerdekakan seorang budak!" Lalu kata Khaulah, “Aku berkata kepada beliau, Ya Rasulullah, tidaklah ada padanya harta untuk membeli budak yang akan dimerdekakan."
Maka kata Rasulullah ﷺ pula, “Kalau tak sanggup memerdekakan seorang budak, hendaklah dia puasa dua bulan berturut-turut."
Berkata Khaulah, “Aku berkata, Demi Allah, dia sudah tua, dia tidak kuat lagi mengerjakan puasa."
Maka sabda Rasulullah ﷺ pula, “Maka hendaklah dia memberi makan enam puluh orang miskin."
Berkata Khaulah selanjutnya, “Aku jawab kepada Nabi ﷺ untuk memberi makan enam puluh orang miskin itu tidak pula ada padanya."
Lalu Rasulullah bersabda, “Biar aku bantu separuh dari makanan itu." Khaulah menyambut, “Ya Rasulullah, kalau demikian, biarlah aku juga membantu untuk yang separuh lagi."
Akhirnya bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Kau telah berlaku benar dan berbuat baik. Pulanglah segera dan beri makanlah enam puluh orang miskin itu. Setelah itu berlaku baiklah seterusnya kepada suamimu."
Sekianlah hadits yang dibawakan oleh Imam Ahmad tentang kisah Khaulah dengan suaminya, Aus bin Shamit, dia adalah saudara dari Ubadah bin Shamit.
Setelah Aus pulang kembali dari tempat pertemuan dengan kaumnya itu dan sampai di rumah, marahnya sudah turun dan dia sudah menyesal. Dia berkata, “Pada persangkaanku ucapanku tadi itu telah menyebabkan kita bercerai."
Lalu Khaulah menjawab, “Demi Allah, pada pendapatku yang serupa itu bukan talak." Kejadian di antaranya dengan suaminya itu, katanya, “Suamiku, Aus, telah mengawiniku di kala aku masih muda, di waktu itu aku masih cantik dan banyak yang suka kepadaku. Sebab ketika itu pun aku kaya, ada harta, ada keluarga besar. Tetapi setelah aku tua macam begini dan telah punah mudaku dan telah berserak-serak keluargaku, dilakukannyalah zhihaar kepada diriku, sekarang rupanya dia telah menyesal. Masih adakah harapan buat kami berkumpul kembali?"
Rasulullah ﷺ menjawab, “Pada pendapatku engkau telah haram baginya." Dan tak ada sesuatu pun ayat turun kepadaku mengenai soalmu ini."
Menurut riwayat yang disalinkan Syekh Syaltut itu, meskipun telah diberi keterangan demikian oleh Nabi ﷺ, namun Khaulah masih tetap duduk juga di hadapan Rasulullah. Dan dengan tidak merasa bosan dicobanya juga menanyakan sekali lagi kepada Nabi ﷺ, namun jawaban Nabi masih tetap seperti yang semula juga, yaitu pada pendapat beliau, Khaulah sudah haram atas Aus sebab sudah di-zhihaar-nya dan mengenai itu tidak ada turun ayat satu pun.
Lalu akhirnya Khaulah menghadapkan wajahnya ke langit, ditadahkannya tangannya dan dia berseru kepada Allah,“Tuhanku, kepada Engkaulah aku keluhkan kepapaan diriku dan kesepianku sendirian. Berat bagiku, ya Tuhan, akan berpisah dengan suamiku, ayah dari anak-anakku dan orang yang paling aku kasihi. Tuhanku, Engkau tahu, bahwa dan dia aku mempunyai beberapa anak-anak yang masih kecil-kecil. Jika aku yang mengasuh anak-anak itu akan kelaparanlah mereka, jika ayahnya yang pergi, akan hilanglah mereka."
Lalu diangkatnya mukanya sekali lagi dan berseru, “Tuhanku, hanya kepada Engkau saja aku keluhkan nasibku ini. Turunkanlah kiranya ke dalam lidah Nabi-Mu suatu firman yang akan melepaskan daku dari kesulitan ini."
Tidaklah berapa lama di antaranya, lalu bersabdalah Rasulullah menyuruh Khaulah menjemput suaminya pulang. Khaulah pun pergi dan suaminya pun terbawa, lalu Rasulullah ﷺ membaca keempat ayat yang telah disalinkan di atas. Lalu beliau bertanya, “Sanggupkah engkau memerdekakan seorang budak?"
Aus menjawab, “Aku tidak sanggup, demi Allah!"
Lalu Rasulullah bertanya pula, “Sanggupkah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut?"
Aus pun menjawab, “Demi Allah, ya Rasulullah, jangankan berpuasa, sedangkan terlambat makan saja satu kali atau dua kali satu hari, gelaplah mataku dan hendak mati aku rasanya."
Lalu Rasulullah bertanya pula, “Sanggupkah engkau memberi makan enam puluh orang miskin?"
Lalu Aus menjawab, “Tidak ada yang akan aku berikan, ya Rasulullah, kecuali jika engkau sudi membantu aku."
Lalu Rasulullah memberikan bantuan kepadanya, sejalan dengan yang diceritakan oleh Imam Ahmad di atas tadi. Maka dengan bantuan Rasulullah ﷺ itu dapatlah Aus membayar kafarat zhihaar-nya yaitu dengan memberi makan enam puluh orang miskin.
Said bin Jubair mengatakan bahwa ada dua buah perceraian cara jahiliyyah yang kurang baik. Pertama ialah zhihaar ini, dendanya ialah kafarat. Kedua ialah ilaa', yaitu mengucil tidak pulang-pulang kepada istri sampai berlarut-larut. Setelah masyarakat Islam diatur dengan peraturan Allah, maka ilaa' itu pun diberi batas, yaitu empat bulan. Sesampai empat bulan si laki-laki mesti mengambil kepastian, berdamai kembali atau menjatuhkan cerai. Kalau lebih empat bulan melakukan ilaa', tidak juga diceraikan, maka hakim berhak menceraikan keduanya.
Sekarang kita kembali menafsirkan ayat,
“Sesungguhnya Allah telah mendengari perkataan seorang perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu kepada Allah." Di sini Allah menjelaskan bahwa pengaduan perempuan itu didengar oleh Allah, keluhannya jadi pertimbangan oleh-Nya. Dan ini pun jadi peringatan bagi kita bahwa segala percakapan kita berdua saja dengan te-man, didengar juga oleh Allah.
“Dan Allah mendengar soal-jawab di antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat." (ujung ayat 1) Ini pun peringatan bagi kita:
1. Supaya dalam bertukar pikiran dengan sesama, hendaklah berhati-hati. Karena Allah selalu mendengarkannya dan selalu melihat segala gerak-gerik kita.
2. Bahwa pertukaran pikiran yang baik, perbantahan dalam mencari kebenaran, keluhan tulus ikhlas kepada Allah, setelah didengar dan dilihat oleh Allah, di dalam pertimbangan Allah Yang Mahabijaksana akan dapat diberi penyelesaian yang baik oleh Allah.
“Orang-orang yang menzjuhar istrinya di antara kamu, tidaklah istri-istrinya itu jadi ibu-ibu mereka." Artinya, meskipun mereka itu telah berkata bahwa istrinya itu baginya adalah serupa punggung ibunya, yang di zaman jahiliyyah berarti telah memandang istri itu haram disetubuhi karena telah diserupakan punggung ibunya. Namun istri itu tidaklah benar-benar statusnya menjadi seorang ibu baginya. “Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan kata-kata yang mungkar dan dusta." Dengan bunyi ayat yang setegas ini, jelaslah bahwa perbuatan menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu, itu suatu perbuatan yang mungkar, yang dicela dan tidak patut, lagi dusta atau bohong. Dan dengan demikian jelas pulalah bahwa perbuatan ini haram hukumnya menurut hukum Islam. Oleh sebab itu tidaklah layak bagi seorang yang beriman berbuat perbuatan jahiliyyah itu, padahal awak seorang Muslim. Berlakulah yang sopan menurut kesopanan Islam.
Tidaklah layak menurut kesopanan Islam menyerupakan bagian badan istri yang menarik syahwat dan nafsu birahi, dengan bagian badan ibu. Misalnya menyamakan pinggulnya, halus perutnya, atau bentuk susunya. Tetapi kalau tidak mengandung nafsu birahi tidaklah mengapa, misalnya dikatakan budi pekertimu sama benar dengan budi pekerti ibuku. Engkau penyantun seperti ibuku. Masakanmu enak seenak masakan ibuku dan sebagainya.
Untuk kita camkan, hendaklah kita perhatikan sebuah hadits shahih yang dirawikan oleh Abu Dawud bahwa Rasulullah pernah mendengar seorang laki-laki memanggil istrinya dengan ucapan, “Ya ukhti, wahai saudara perempuanku." Lalu Rasulullah ﷺ bertanya, “Saudara perempuan kaukah dia?" Padahal sudah terang bahwa saudara perempuan haram dikawini. Rasulullah bertanya demikian menunjukkan bahwa beliau tidak suka istri dipanggil dengan ucapan saudara perempuan, meskipun dengan demikian nikahnya tidak batal. Ialah melanggar sopan santun perkataan.
Dan pada kita yang berbahasa Indonesia (Melayu) biasa kita ucapkan kepada istri kita sendiri adinda dan kepada adik kandung perempuan seibu sebapa kita ucapkan adinda juga, itu pun tidaklah terlarang. Tetapi kalau memang diniatkan dalam hati hendak menyerupakan istri dari pihak bagian tubuh yang menerbitkan nafsu birahi dengan ibu, atau dengan saudara perempuan yang haram dinikahi (mahram), memang haramlah jadinya dan jauhilah perbuatan itu. Adapun kalau terlanjur sebelum mengetahui hukumnya, mudah-mudahan diberi ampunlah oleh Allah. Seperti tersebut di ujung ayat, “Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Pemberi maaf lagi Pemberi ampun." (ujung ayat 2)
Sekarang dijelaskan kafaratnya, dendanya. “Dan orang-orang yang menzhihar terhadap setengah dari istri-istri mereka, kemudian mereka itu hendak menarik apa yang pernah mereka ucapkan itu." Kata Imam Syafi'i ialah bahwa mereka telah sadar dan menyesal. Imam Ahmad bin Hambal memberinya arti lebih tegas lagi, “Yaitu jika dia ingin bersetubuh kembali dengan istrinya yang telah di-zhihaar-nya itu." Imam Malik juga mengartikan demikian.
“Maka hendaklah dia merdekakan seorang budak sebelum keduanya bersentuh-sentuhan." Artinya, janganlah mendekat dahulu kepada istri itu, janganlah dipegang badannya sebelum memerdekakan seorang budak. Sudah terang bahwa arti yang hakiki dari bersentuh-sentuhan ialah bersetubuh. “Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia." Dengan menjadikan kafarat (denda), pertama memerdekakan budak, mengertilah kamu bahwa hal ini munkar dan dusta, serta tidak patut dilakukan oleh orang yang beriman. “Dan Allah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui." (ujung ayat 3). Islam sangat memujikan jika orang memerdekakan budak-budak itu, sehingga denda atau kafarat banyak yang disangkutkan dengan memerdekakan budak.
“Maka barangsiapa yang tidak mendapatnya." Artinya, tidak didapatnya budak yang akan dimerdekakan. Baik karena dia sendiri tidak mempunyai budak yang akan dimerdekakan, atau tidak mempunyai uang untuk pembeli budak yang akan dimerdekakan, atau memang budak itu sendiri tidak ada lagi seperti di zaman kita sekarang ini, “Maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut." Berturut-turut sebagaimana berturut-turutnya mengerjakan puasa bulan Ramadhan. Kalau Ramadhan hanya sebulan, kafarat ini jadi dua bulan. “Maka barangsiapa yang tidak kuat, maka hendaklah memberi makan enam puluh orang miskin." Tidak mendapat artinya ialah tidak sanggup. Mungkin karena kelemahan badan atau penyakit. Atau pekerjaannya yang selalu mendesak, sehingga waktu untuk beristirahat puasa sampai dua bulan, seorang diri, tidak beramai-ramai seperti dalam bulan Ramadhan, bolehlah digantinya dengan memberi makan enam puluh orang miskin.
“Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah dia batas-batas yang ditentukan Allah." Sebagai orang yang telah mengakui beriman kepada Allah dan Rasul, kita ada mempunyai batas-batas sendiri, undang-undang sendiri yang langsung datang dari Allah, bukan buatan manusia. Orang yang beriman mestilah tunduk dan setia memegang peraturan itu. “Dan bagi orang-orang yang kafir;" yaitu yang tidak mau menjalankan salah satu daripada ketiga tingkat kafarat itu menurut kesanggupannya, atau mengatakan bahwa peraturan itu tidak berlaku lagi sekarang karena sekarang dunia sudah modern, atau berkata bahwa peraturan dari Al-Qur'an itu lebih baik dibekukan saja; orang-orang yang bersikap demikianlah yang termasuk dalam sebutan orang yang kafir! Bagi mereka, “Ada adzab yang pedih." (ujung ayat 4)
Sungguhlah kisah Khaulah binti Tsalabah yang pergi bertukar pikiran dengan Nabi ﷺ ini suatu kisah yang meninggalkan kesan mendalam tentang kedudukan perempuan dalam Islam. Khaulah pun tahu bahwa orang tidak boleh bersuara agak keras di hadapan Nabi. Suaranya penuh keikhlasan, hatinya penuh kejujuran, sadar ataupun tidak sadar, dia menginginkan perubahan dalam nasib se-samanya kaum perempuan di zaman yang akan datang dengan adanya peraturan Islam yang lebih baik, dan lebih sempurna menjamin keutuhan rumah tangga daripada peraturan adat jahiliyyah. Semuanya itu didengar oleh Allah, sampai Dia menurunkan wahyu-Nya dan menetapkan peraturan yang Dia kehendaki.
Untuk mengenangkan kejadian yang sangat berkesan ini, surah ini pun diberi nama sebagai al-Mujaadalah, sebagai ingatan kepada perbantahan atau pertanyaan sanggah terhadap adat istiadat zhihaar yang buruk itu. Dan Nabi tidaklah membela aturan buruk itu, tetapi belum dapat menentukan sendiri hukumnya, karena beliau tidak mau mendahului wahyu! Setelah ayat pun turun, tegas dinyatakan bahwa pertukaran pikiran itu didengarkan oleh Allah ﷻ Tegas dinyatakan bahwa pengaduannya didengar oleh Allah. Tegas dinyatakan bahwa keluhannya didengar oleh Allah.