Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
janganlah
تَخُونُواْ
kamu mengkhianati
ٱللَّهَ
Allah
وَٱلرَّسُولَ
dan Rasul
وَتَخُونُوٓاْ
dan kamu mengkhianati
أَمَٰنَٰتِكُمۡ
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu
وَأَنتُمۡ
dan kalian
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
janganlah
تَخُونُواْ
kamu mengkhianati
ٱللَّهَ
Allah
وَٱلرَّسُولَ
dan Rasul
وَتَخُونُوٓاْ
dan kamu mengkhianati
أَمَٰنَٰتِكُمۡ
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu
وَأَنتُمۡ
dan kalian
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengkhianati Allah dan rasul-Nya dan) jangan pula (kalian mengkhianati amanat-amanat kalian) yakni apa-apa yang dipercayakan kepada kalian berupa agama dan hal-hal yang lain (sedangkan kalian mengetahui).
Tafsir Surat Al-Anfal: 27-28
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-(Nya) dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui.
Dan ketahuilah bahwa harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah sebagai ujian, dan sesungguhnya hanya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
Ayat 27
Abdur Razzaq ibnu Abu Qatadah dan Az-Zuhri mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah ibnu Abdul Munzir ketika Rasulullah ﷺ mengutusnya kepada Bani Quraizah untuk menyampaikan pesan beliau agar mereka tunduk di bawah hukum Rasulullah ﷺ. Lalu orang-orang Bani Quraizah meminta saran dari Abu Lubabah mengenai hal tersebut, maka Abu Lubabah mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya ke arah tenggorokannya, yang maksudnya ialah disembelih, yakni mati.
Kemudian Abu Lubabah sadar bahwa dengan perbuatannya itu berarti dia telah berbuat khianat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka ia bersumpah bahwa dirinya tidak akan makan hingga mati atau Allah menerima tobatnya. Lalu Abu Lubabah pergi ke masjid Madinah dan mengikat dirinya di salah satu tiang masjid. Dia tinggal dalam keadaan demikian selama sembilan hari hingga tak sadarkan dirinya karena kepayahan.
Maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya bahwa tobat Abu Lubabah diterima. Kemudian orang-orang datang kepadanya menyampaikan berita gembira bahwa Allah telah menerima tobatnya. Mereka bermaksud akan melepaskan ikatannya dari tiang masjid itu, tetapi Abu Lubabah bersumpah bahwa jangan ada seorang pun yang melepaskannya dari tiang masjid itu selain Rasulullah ﷺ dengan kedua tangannya sendiri. Akhirnya Rasulullah ﷺ melepaskan ikatannya, lalu berkatalah Abu Lubabah, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernazar bahwa seluruh hartaku akan aku habiskan untuk sedekah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Cukuplah bagimu dengan menyedekahkan sepertiga darinya.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnul Haris At-Taifi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Aun As-Saqafi, dari Al-Mughirah ibnu Syu'bah yang mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan terbunuhnya Usman , yaitu firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Anfal: 27), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Bisyr ibnu Ma'ruf, telah menceritakan kepada kami Syababah ibnu Siwar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Muharram yang mengatakan bahwa ia pernah berjumpa dengan ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, lalu ‘Atha’ menceritakan kepadanya bahwa Jabir ibnu Abdullah pernah menceritakan kepadanya bahwa Abu Sufyan keluar dari Mekah (mengadakan perjalanan).
Lalu Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah ﷺ dan menyampaikan kepadanya bahwa Abu Sufyan berada di tempat anu dan anu. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya Abu Sufyan sekarang telah berada di tempat anu dan anu. Maka berangkatlah kalian untuk menyerangnya, tetapi rahasiakanlah misi kalian." Tetapi ada seorang munafik berkirim surat kepada Abu Sufyan, bahwa Muhammad sedang mencarinya, maka dia diminta waspada. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul(Nya) dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian.” (Al-Anfal: 27), hingga akhir ayat.
Hadits ini gharib sekali, dan sanad serta teksnya masih perlu dipertimbangkan lagi.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan kisah mengenai Hatib ibnu Abu Balta'ah, bahwa ia menulis surat kepada orang-orang Quraisy untuk memberitahukan tentang rencana Rasulullah ﷺ terhadap mereka di tahun kemenangan atas kota Mekah. Maka Allah memperlihatkan hal itu kepada Rasul-Nya.
Lalu Rasulullah ﷺ mengirimkan suatu pasukan untuk mengejar pengirim surat tersebut, hingga surat itu berhasil dicegah dan dikembalikan, lalu Hatib dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ. Dan Hatib mengakui perbuatannya itu. Saat itulah Umar ibnul Khattab bangkit, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah saya memenggal batang lehernya, karena sesungguhnya dia telah berkhianat terhadap Allah dan Rasul-Nya serta kaum mukmin?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Biarkanlah dia karena sesungguhnya dia telah ikut dalam Perang Badar. Tahukah kamu, mudah-mudahan Allah memperhatikan ahli Badar dan Dia berfirman, "Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian."
Menurut kami, pendapat yang shahih ialah yang mengatakan bahwa ayat ini bermakna umum, sekalipun benar bahwa ayat ini diturunkan karena latar belakang yang bersifat khusus.
Menurut jumhur ulama, hal yang terpakai adalah keumuman dari makna yang dikandungnya, bukan latar belakangnya yang khusus. Perbuatan khianat bersifat umum mencakup semua dosa kecil dan dosa besar yang bersifat permanen dan yang tidak permanen.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan juga janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian.” (Al-Anfal: 27) Amanat artinya sesuatu yang dipercayakan oleh Allah kepada hamba-Nya, yakni hal-hal yang fardu.
Dikatakan la takhunu artinya janganlah kalian merusak amanat. Menurut riwayat lain disebutkan: “Janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-(Nya).” (Al-Anfal: 27) Yang dimaksud dengan amanat ialah meninggalkan perintah-Nya dan mengerjakan kemaksiatan.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, dari Urwah ibnuz Zubair sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu 'janganlah kalian menampakkan kebenaran di hadapan orang yang membuatnya rela kepada kalian, kemudian kalian menentangnya dalam hati kalian dan cenderung kepada selainnya; karena sesungguhnya hal tersebut merusak amanat kalian dan merupakan suatu pengkhianatan terhadap diri kalian sendiri.’
As-Suddi mengatakan bahwa apabila mereka mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, berarti mereka mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada diri mereka. Selanjutnya ia mengatakan pula bahwa dahulu mereka mendengar pembicaraan dari Nabi ﷺ, lalu mereka membocorkannya kepada kaum musyrik. Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan, Allah melarang kalian berbuat khianat terhadap Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang munafik.
Ayat 28
Firman Allah ﷻ: “Dan ketahuilah bahwa harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah sebagai ujian.” (Al-Anfal: 28)
Yakni merupakan cobaan dan ujian dari Allah bagi kalian, karena semuanya itu Dialah yang memberikannya kepada kalian untuk melihat secara nyata, apakah kalian bersyukur kepada-Nya atas semuanya itu dan menggunakannya dalam jalan ketaatan kepada-Nya, ataukah kalian sibuk dengan semuanya itu hingga kalian melalaikan-Nya dan menjadikan semuanya sebagai ganti-Nya.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: “Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian hanyalah ujian (bagi kalian); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)
“Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian (yang sebenar-benarnya).” (Al-Anbiya: 35)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Munafiqun: 9)
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal:28)
Yakni pahala-Nya, pemberian-Nya, dan surga-surga-Nya; semuanya lebih baik bagi kalian daripada harta-harta dan anak-anak kalian. Karena sesungguhnya adakalanya kalian menjumpai di kalangan mereka musuh bagi kalian sendiri, dan kebanyakan dari mereka tidak dapat memberikan manfaat apa pun kepada kalian. Sedangkan Yang mengatur lagi Yang memiliki dunia dan akhirat adalah Allah, hanya di sisi-Nya-lah pahala yang berlimpah kelak di akhirat.
Di dalam sebuah atsar disebutkan seperti berikut: “Wahai anak Adam, carilah Aku, niscaya engkau akan menjumpai-Ku. Jika engkau menjumpai-Ku, niscaya engkau akan menjumpai segala sesuatu. Dan jika engkau tidak menjumpai-Ku, niscaya segala sesuatu tidak engkau dapati. Dan Aku (pahala Allah) adalah yang paling engkau sukai ketimbang segala sesuatu (yang ada).”
Di dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah ﷺ disebutkan bahwa beliau ﷺ pernah bersabda: “Ada tiga perkara, barang siapa yang di dalam dirinya terdapat ketiga-tiganya niscaya dia akan menjumpai manisnya iman, yaitu: orang yang Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada selain keduanya dan orang yang menyukai seseorang hanyalah karena Allah semata, dan orang yang lebih suka dilemparkan ke dalam api daripada dia harus kembali kepada kekufuran sesudah Allah menyelamatkannya dari kekufuran.”
Bahkan cinta kepada Rasulullah ﷺ harus lebih diprioritaskan daripada cinta kepada anak-anak dan harta benda serta diri sendiri, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahih, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Demi Tuhan Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaanNya, tidak beriman seseorang di antara kalian sebelum aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, keluarganya, harta bendanya, dan semua manusia.”
Bersyukur adalah sebuah keharusan, sebab aneka nikmat tersebut bersumber dari Allah. Tidak bersyukur berarti mengkhianati nikmat tersebut dari Pemberinya, karena itu Allah menyatakan, Wahai orangorang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati, yakni mengurangi sedikit pun hak Allah sehingga mengkufurinya atau tidak mensyukurinya, dan juga jangan mengkhianati Rasul, yakni Nabi Muhammad, tetapi penuhilah seruannya, dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu oleh siapa pun, baik amanat itu ada-lah amanat orang lain maupun keluarga; seperti istri dan anak, muslim atau non-muslim, sedang kamu mengetahui bahwa itu adalah amanat yang harus dijaga dan dipelihara. Segala sesuatu yang berada dalam genggaman manusia adalah amanat Allah yang harus dijaga dan dipelihara. Salah satu bentuk motivasi mengkhianati amanat Allah dan RasulNya adalah cinta kepada harta dan anak yang berlebihan. Maka pada ayat ini Allah menyatakan, Dan ketahuilah bahwa hartamu yang merupakan titipan Allah kepadamu dan anak-anakmu yang merupakan anugerah Allah itu hanyalah sebagai cobaan. Maka, ja-nganlah berlebihan dalam mencintai harta dan anak melebihi cinta pada Allah. Cinta harta dan anak yang berlebihan membuat seseorang enggan memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya karena takut atau kikir, sebab panggilan tersebut menuntut tanggung jawab dan pengorbanan. Dan ketahuilah, sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar, jauh lebih besar daripada harta dunia dan anak keturunan.
Abdullah bin Abi Qatadah berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Lubabah pada ketika Rasulullah saw, mengepung suku Quraidhah dan memerintahkan mereka untuk menerima putusan Saad. Sesudah itu Quraidhah berunding dengan Abu Lubabah tentang menerima putusan Saad itu, karena keluarga Abu Lubabah dan harta bendanya berada dalam kekuasaan mereka. Kemudian Quraidhah menunjuk ke lehernya (yakni sebagai tanda untuk disembelih). Abu Lubabah berkata, "Sebelum kedua telapak kakiku bergerak, aku telah mengetahui bahwa diriku telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya." Kemudian ia bersumpah tidak akan makan apa pun sehingga ia mati, atau Allah menerima taubatnya. Kemudian ia pergi ke mesjid dan mengikat dirinya ke tiang, dan tinggal beberapa hari di sana sehingga jatuh pingsan, karena badannya sangat lemah. Kemudian Allah menerima taubatnya. Dan ia bersumpah, bahwa dia tidak boleh dilepaskan dirinya dari ikatannya selain oleh Rasulullah sendiri. Kemudian ia berkata, "Hai Rasulullah! Saya bernazar untuk melepaskan hartaku sebagai sadaqah." Rasulullah bersabda, "Cukuplah bersadaqah sepertiganya." (Riwayat Saad bin Manshur dari Abdillah bin Abi Qatadah).
Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka tidak mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, yaitu mengabaikan kewajiban-kewajiban yang harus mereka laksanakan, melanggar larangan-larangan-Nya, yang telah ditentukan dengan perantaraan wahyu. Tidak mengkhianati amanat yang telah dipercayakan kepada mereka, yaitu mengkhianati segala macam urusan yang menyangkut ketertiban umat, seperti urusan pemerintahan, urusan perang, urusan perdata, urusan kemasyarakatan dan tata tertib hidup masyarakat. Untuk mengatur segala macam urusan yang ada dalam masyarakat itu diperlukan adanya peraturan yang ditaati oleh segenap anggota masyarakat dan oleh pejabat-pejabat yang dipercaya mengurusi kepentingan umat.
Peraturan-peraturan itu secara prinsip telah diberikan ketentuannya secara garis besar di dalam Al-Qur'an dan Hadis. Maka segenap yang berpautan dengan segala urusan kemasyarakatan itu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan. Karenanya segenap peraturan yang menyangkut kepentingan umat tidak boleh dikhianati, dan wajib ditaati sebagaimana mestinya. Hampir seluruh kegiatan dalam masyarakat ini berhubungan dengan kepercayaan itu. Itulah sebabnya maka Allah, melarang kaum Muslimin mengkhianati amanat, karena apabila amanat sudah tidak terpelihara lagi berarti hilanglah kepercayaan. Apabila kepercayaan telah hilang maka berarti ketertiban hukum tidak akan terpelihara lagi dan ketenangan hidup bermasyarakat tidak dapat dinikmati lagi.
Allah menegaskan bahwa bahaya yang akan menimpa masyarakat lantaran mengkhianati amanat yang telah diketahui, baik bahaya yang akan menimpa mereka di dunia, yaitu merajalelanya kejahatan dan kemaksitan yang mengguncangkan hidup bermasyarakat, ataupun penyesalan yang abadi dan siksaan api neraka yang akan menimpa mereka di akhirat nanti.
Khianat adalah sifat orang-orang munafik, sedang amanah adalah sifat orang-orang mukmin. Maka orang mukmin harus menjauhi sifat khianat itu agar tidak kejangkitan penyakit nifak yang dapat mengikis habis imannya.
Anas bin Malik berkata:
"Rasulullah ﷺ pada setiap khutbahnya selalu bersabda: "Tidak beriman orang yang tak dapat dipercaya, dan tidak beragama orang yang tak dapat dipercaya." (Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban dari Anas bin Malik)
Sabda Nabi saw:
"Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. Apabila menuturkan kata-kata ia berdusta, dan apabila berjanji ia menyalahi, dan apabila diberi kepercayaan ia berkhianat." (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 27
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu khianati Allah dan Rasul dan kamu khianati pula amanat-amanat kamu, padahal kamu mengetahui."
Maka, ayat ini adalah teguran keras kepada Abu Lubabah, sebab dia telah mengkhianati Allah dan Rasul. Dia telah membuka rahasia kepada Yahudi Bani Quraizhah itu ketika mereka disuruh saja turun dari benteng pertahanan yang tidak akan dapat lagi mereka pertahankan itu. Mengapa dia larang mereka turun? Mengapa dia membuka rahasia bahwa hukuman Sa'ad kelak ialah potong leher? Setelah ayat itu turun, terasalah oleh Abu Lubabah sesal yang sangat karena membuka rahasia, itu, goyang rasanya bumi ini dia pijakkan, sebab Allah sendiri telah menuduh-nya berkhianat, membuka rahasia.
Dan, riwayat yang dibawakan oleh Abd bin Hurnaid, dari al-Kalbi bahwa Abu Lubabah itu diutus Nabi kepada Bani Quraizhah, sebab dia selama ini adalah sahabat baik dari persukuan Yahudi tersebut. Diriwayatkan pula bahwa dia pun menitipkan harta benda dan anak-anaknya pada Bani Quraizhah. Maka, setelah bertemu dengan pemuka-pemuka kaum Yahudi itu, dia sampaikanlah usulan Nabi supaya mereka turun dari benteng dan menyerah kepada keputusan hukum Sa'ad bin Mu'adz. Lalu, pemuka Yahudi bertanya, kalau mereka mau turun, apa kira-kira hukuman yang akan dijatuhkan Sa'ad kepada mereka. Lalu, dengan tidak pikir panjang Abu Lubabah membawa tangannya ke lehernya, mengisyaratkan akan dipotong leher semua. Kelantangannya inilah yang ditegur oleh ayat.
Ini adalah memang satu kelancangan, ataupun satu pengkhianatan. Abu Lubabah telah bertindak lancang berkata demikian, karena dia merasa kasihan kepada Bani Quraizhah, ataupun mempertakut-takuti, padahal kita tahu setelah membaca riwayat penghukuman Bani Quraizhah itu, bahwa sampai kepada saat itu Nabi sendiripun belum tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Sa'ad bin Mu'adz kepada mereka.
Tersebut dalam riwayat bahwa Rasulullah ﷺ, setelah ayat ini turun, segera memanggil istri Abu Lubabah lalu bertanya, “Apakah Abu Lubabah tetap mengerjakan puasa dan shalat dan adakah dia mandi junub sehabis setubuh?" Istrinya menjawab, “Dia puasa, shalat, dan mandi junub bahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya." Nabi sampai bertanya demikian, tandanya beliau syak ragu atas keimanannya, sehingga ditanyai istrinya tentang kehidupan sehari-hari, apakah dia betul-betul Islam atau Islam munafik. Istrinya menjawab dengan pasti bahwa dia puasa, dia shalat kalau habis setubuh dia tetap mandi junub. Menandakan amal keislamannya baik. Akan tetapi, dia telah berbuat perbuatan yang khianat, lancang dan membuka rahasia, yaitu perbuatan orang munafik.
Meskipun dia bukan munafik, kelan-cangannya menyebabkan dia telah berkhianat. Sebab, kita pun mendapat kesan bahwa walaupun orang telah tunggang-tunggit shalat, puasa Senin-Kamis, taat beribadah, belumlah yang demikian dapat dijamin kebersihannya, kalau dia tidak setia memegang amanah. Abu Lubabah telah menambah dengan kehendak sendiri suatu hal yang dipercayakan kepada dia, padahal dia adalah utusan. Menjadi peringatan kepada kita umat Muhammad ﷺ buat selanjutnya. Kekuatan ibadah wajib sejalan dengan kesetiaan dan keteguhan memegang disiplin.
Abu Lubabah memang bukan seorang munafik. Dia sangat menyesal atas kelancangan itu, sehingga tersebut di dalam riwayat bahwa dia bertobat. Taubatnya itu lain sekali caranya. Yaitu diikatkannya dirinya pada tonggak dan bersumpah tidak akan makan, tidak akan minum sampai mati, atau sampai diberi ampun oleh Allah. Dia berbuat demikian, mengikatkan diri di tonggak masjid, sampai tujuh hari tujuh malam, tidak makan tidak minum, sampai dia jatuh pingsan. Setelah dia siuman dari pingsannya, datanglah orang mengatakan kepadanya, “Kalau sudah sampai demikian keadaanmu karena menyesal, sudahlah Allah memberi tobat kepadamu, sebab itu lepaskanlah ikatan dirimu dan pulanglah!", tetapi Abu Lubabah menjawab, “Demi Allah! Aku tidak akan melepaskan ikatan diriku, sebelum Rasulullah sendiri yang membukakan." Lalu datanglah Rasulullah ﷺ. Dan, beliau sendiri yang melepaskannya, barulah Abu Lubabah merasa puas dan merasa bahwa dia telah diberi tobat.
Apakah memang kejadian ini menjadi sebab turunnya ayat? Masih ada juga pertikaian pendapat ahli-ahli tafsir. Sebab, sebagai kita ketahui, hukum bunuh yang diterima Bani Quraizhah karena berkhianat, yang menyebabkan Abu Lubabah terlancang itu ialah setelah Peperangan Uhud, setahun sesudah Perang Badar. Riwayat Abu Lubabah memang kejadian dan terkenal dalam tarikh. Maka, meskipun memang Abu Lubabah yang menjadi sebab turun ayat, atau hal yang lain, sebagai tersebut pertama tadi, tetapi yang dipandang ialah maksud yang umum dari ayat bukan khusus yang menjadi sebab turunya ayat. Sebab, ketaatan kepada Allah dan Rasul, atau menyambut seruan Allah dan Rasul untuk membawa kepada anti hidup yang sejati, sebagai tersebut di ayat 20 dan 24, tidaklah boleh terpisah. Cobalah lihat contoh Abu Lubabah itu; dia taat kepada Allah, dia shalat dan puasa, dan tidak pernah lalai mandi junub, Akan tetapi, taatnya kepada Allah itu menjadi rusak, sebab dia khianat kepada Rasul, dengan sebab lancang membuka rahasia. Oleh sebab itu teguran ini masih ringan. Permulaan ayat masih dibuka dengan seruan kepada orang beriman! Ditegur tegas sebab dia masih beriman, belum tergolong orang munafik benar-benar. Kalau Abu Lubabah sudah munafik betul-betul, tentu dia tidak akan mengikatkan dirinya di tonggak masjid sampai tujuh hari tujuh malam. Ini meninggalkan kesan bahwa orang Mukmin itu sangat teguh memegang amanat dan tidak terpisah ketaatannya kepada Allah dengan ketaatan kepada Rasul. Di ujung ayat ditegaskan lagi, “Padahal kamu mengetahui." Yaitu kamu tahu sendiri betapa besar bahaya kalau kamu lalai memerhatikan amanat itu dan mem-perenteng-enteng amanat yang dipikulkan.
Rahasia pimpinan Rasul bisa terbuka atau kalau sekarangnya, rahasia negara bisa diketahui oleh musuh karena tidak berhati-hati. Dan, semua rencana bisa jadi gagal.
Ayat 28
“Dan, ketahuilah olehmu, sesungguhnya harta benda kamu dan anak-anak kamu hanyalah fitrah (ujian) dan bahwasanya Allah itut, di sisi-Nyalah pahala yang besar."
Dua kali kita bertemu dengan perkataan fitnah. Yang pertama fitnah yang umum bernegara dan bermasyarakat (ayat 25). Sekarang fitnah terhadap diri sendiri. Ayat ini menerangkan bahwa anak dan harta benda adalah fitnah, yang berarti percobaan. Sebagai orang tua yang bertanggung jawab, kita merasa berbahagia sekali dengan adanya anak keturunan. Siang malam kita berusaha mencarikan nafkah buat anak, termasuk istri. Minya rumah tangga tanggungan kita. Untuk itu kita pun perlu mempunyai kekayaan.
Kasih sayang kepada anak adalah termasuk naluri asli manusia, bahkan naluri dari seluruh yang bernyawa. Sebab, anak adalah pelanjut hidup dan penyambung turunan. Rasa bahagia di hari tua, kerelaan menghadapi maut, kalau anak sudah besar dan memenuhi harapan. Sebab itu, tidaklah heran jika kita lihat setengah manusia apabila telah beranak, tidak mengiri-menganan lagi, terus tertumpah segala kegiatan hidupnya untuk memikirkan anak. Mencari kekayaan buat membela dan membelanjai anak. Orang memikirkan hari depan anak. Siang malam memikirkan anak. Dan, anak!
Di dalam ayat ini disebutkan, demikian juga di ayat-ayat yang lain-lain, anak terlebih dahulu daripada harta. Karen betapa pun kaya melimpah-limpah harta benda, kalau anak tidak ada, hidup terasa masih kosong. Akan tetapi, kalau anak telah ada, kita pun giat mencari harta. Dan, kalau anak dan harta telah ada, timbullah kebanggaan hidup dan timbullah gembira. Di sinilah mulai datang fitnah, artinya cobaan. Orang bisa lupa kepada yang memberi nikmat karena dipukau oleh nikmat itu sendiri. Ada sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Ya'la dari Abu Said al-Khudri:
“Anak adalah buah hati dan sesungguhnya dia adalah menimbulkan pengecut, menimbulkan bakhil dan menimbulkan duka cita." (HR Abu Ya'la)
“Buah hati pengarang jantung," demikian ungkapan pepatah bangsa kita tentang anak. Lantaran anak orang bisa jadi pengecut, takut berjuang, takut mati, takut tampil untuk me-ngerjakan pekerjaan yang besar-besar. Sebab, anak mengikat kaki. Anak menimbulkan bakhil, tidak mau berkurban, tidak mau ber-derma, tidak mau membantu orang lain. Akan tetapi, anak pun kerap membawa duka cita. Setelah anak-anak itu jadi besar, akan ada saja anak yang membuat hati ayah bundanya jadi duka, makan hati berulam jantung. Dan, beranak berdua bertiga, berlain-lain saja perangai dan nasibnya. Gembiralah melihat yang jaya, pedih melihat yang gagal. Oleh sebab anak dan harta benda itu, orang bisa mendapat fitnah atau cobaan besar.
Orang bisa hanya menjuruskan segenap hidupnya untuk anak dan harta. Ini adalah bahaya. Karena di samping kewajiban kepada anak dan mengumpul harta, kita sekali-kali tidak boleh lupa kewajiban kita kepada Allah. Tiap-tiap orang tua mengurbankan hidup untuk anak, padahal anak-anak itu akan besar dan dewasa dan berumah tangga pula. Mereka pun akan beranak pula, sebagaimana kita beranak mereka. Satu waktu anak akan keluar dan anak perempuan akan menurutkan suaminya. Kalau umur panjang, kita akan tinggal dalam kesepian dan setelah itu mati. Apa bekal yang kita bawa untuk menghadap Allah? Oleh sebab itu di dalam memelihara anak dan mengumpul harta, ingatlah bahwa yang akan membalas hudi kepada kita hanyalah Allah saja. Anak dan harta kita tidak akan dapat membantu kita. Pahala yang besar hanyalah tersedia pada Allah.
Maka, uruslah anak dan harta itu baik-baik dalam lingkaran mencari pahala yang tersedia pada sisi Allah. Berikan kepada anak pendidikan yang baik, sehingga mereka menjadi syafaat di akhirat. Belanjakan harta benda untuk amal yang baik, sehingga menjadi bekal yang akan didapati di akhirat. Kalau tidak demikian maka anak dan harta itu akan membawa celaka sendiri, sebab terpisah dari Allah, Anak dan harta akan kita tinggalkan atau akan meninggalkan kita. Akan tetapi, kita terang akan kembali kepada Allah.
Ayat 29
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Altah, niscaya akan dijadikan-Nya untuk kamu suatu pembeda."
Di ayat ini diterangkanlah kepada orang yang beriman faedah takwa. Sebagai telab kita ketahui, arti takwa ialah memelihara hubungan yang baik dengan Allah. Kalau kita telah bertakwa, kita akan dianugerahi pembeda, yaitu al-Furqan. Di sini kita mendapat tiga deretan. Pertama: iman, berarti percaya. Kedua: takwa, berarti bakti atau memelihara hubungan dengan Allah. Ketiga: al-Furqan, berarti kesanggupan membedakan mana yang buruk dengan yang baik, yang mudharat dengan yang manfaat, yang hak dengan yang batil. Sebab, itu, al-Furqan, adalah buah dari takwa dan takwa adalah akibat dari iman. Al-Furqan, pembeda adalah alat utama dalam mencapai hidup yang bernilai. Apalah arti hidup kita, kalau kita tidak dapat membedakan di antara buruk dengan baik? Bertambah iman, bertambahlah tinggi takwa maka bertambah halus pulalah kekuatan al-Furqan yang ada dalam jiwa kita. Kalau kita pakai ungkapan secara modern ialah bahwa orang yang Mukmin dan yang muttaqin itu mempunyai penilaian yang sangat halus dan tinggi terhadap segala soal. Dia seorang yang tinggi kecerdasannya dan tinggi pula kebudayaannya. Jiwanya laksana mempunyai pesawat radar, untuk mengetahui ada bahaya di hadapannya yang harus dihindarkan, sehingga kelak apabila dibandingkan kata hatinya (emosinya) dengan ayat Allah, akan terdapat kecocokan. Itu sebabnya maka Umar bin Khaththab diberi oleh Rasulullah gelar yang mulia, yaitu al-Faruq; sebab pada jiwanya terdapat radar al-Furqan itu.
Tadi diterangkan bahwa baru timbul buah al-Furqan atau pembeda ialah dengan takwa, berarti memelihara hubungan dengan Allah, menjaga diri, awas, dan waspada.
Termasuk juga di dalamnya pengertian takut. Memelihara diri dari syirik, maksiat, dan dari memasuki fitnah yang umum. Daiam kemasyarakatan awas dan waspada terhadap musuh yang akan mengganggu agama, awas dan waspada dari perdayaan setan, awas dan waspada dari rayuan perempuan, awas dan waspada dari pengaruh anak dan fitnah harta, awas dan waspada dalam segala lapangan kehidupan. Dengan demikian, jiwa menjadi lebih terlatih dan dengan demikian al-Furqan pun datang, jiwa jadi bersinar terang, tampak mana yang berbahagia dan mana yang berbahaya.
“Dan, akan Dia hapuskan daripada kamu kesalahan-kesalahan kamu dan akan Dia ampuni bagi kamu." Niscaya memang inilah lanjutan daripada timbulnya al-Furqan dalam jiwa itu. Meskipun akan timbul kesalahan-kesalahan dengan sendirinya kesalahan itu akan berangsur hapus. Orang Mukmin tidak akan mengulangi kesalahan yang serupa dua kali. Sebab itu, kenaikan jiwanya dari sebab al-Furqan itu akan menyebabkan perjuangan dalam hidupnya, kesalahannya akan berkurang dan hapus, sebab yang baik lebih banyak dikerjakannya daripada yang jahat. Lalu, diberi ampun dan dipimpin oleh tangan Allah sendiri menuju hidup yang lebih mulia.
“Dan Allah adalah mempunyai kanunia yang besar."
Pada ayat-ayat yang telah terdahulu telah banyak disebut berbagai macam karunia itu; ada yang bernama rahmat, ada yang bernama maghfirah, ada yang bernama harakat, dan ada lagi yang bernama derajat. Dan, semuanya ini adalah karena pokok pertama ialah iman dan iman menimbulkan takwa dan takwa membuahkan al-Furqan. Maka, al-Furqan itu sudah dapat diambil hasilnya dalam dunia sekarang ini juga. Oleh sebab itu kalau orang-orang yang berminat kepada filsafat kerap kali memperkatakan bahagia sebagai tujuan hidup manusia, sebagai kepuasan batin maka kebahagiaan ruhani yang disenandungkan oleh ahli filsafat itu dapat dicapai oleh seorang beragama karena imannya diiringi takwanya, lalu dia mendapat hasil yang gemilang, yaitu pembeda atau al-Furqan. Al-Furqan adalah lebih tinggi daripada kebanggaan karena anak dan kekayaan karena harta. Anak bisa mati dan harta bisa licin tandas. Namun, kebahagiaan tidak akan mati dan tidak akan tandas karena dia adalah al-Furqan, yang akan kita bawa sampai kita diberi karunia oleh Allah dapat menghadap wajah-Nya.