Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
قُل
katakanlah
لِّمَن
kepada orang
فِيٓ
dalam
أَيۡدِيكُم
tanganmu
مِّنَ
dari
ٱلۡأَسۡرَىٰٓ
tawanan
إِن
jika
يَعۡلَمِ
mengetahui
ٱللَّهُ
Allah
فِي
dalam
قُلُوبِكُمۡ
hati kamu
خَيۡرٗا
kebaikan
يُؤۡتِكُمۡ
Dia akan memberikan kepadamu
خَيۡرٗا
kebaikan/lebih baik
مِّمَّآ
dari apa
أُخِذَ
telah diambil
مِنكُمۡ
dari kamu
وَيَغۡفِرۡ
dan Dia akan mengampuni
لَكُمۡۚ
bagi kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
قُل
katakanlah
لِّمَن
kepada orang
فِيٓ
dalam
أَيۡدِيكُم
tanganmu
مِّنَ
dari
ٱلۡأَسۡرَىٰٓ
tawanan
إِن
jika
يَعۡلَمِ
mengetahui
ٱللَّهُ
Allah
فِي
dalam
قُلُوبِكُمۡ
hati kamu
خَيۡرٗا
kebaikan
يُؤۡتِكُمۡ
Dia akan memberikan kepadamu
خَيۡرٗا
kebaikan/lebih baik
مِّمَّآ
dari apa
أُخِذَ
telah diambil
مِنكُمۡ
dari kamu
وَيَغۡفِرۡ
dan Dia akan mengampuni
لَكُمۡۚ
bagi kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada para tawanan perang yang ada di tanganmu, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan di dalam hatimu, niscaya Dia akan menganugerahkan kepada kamu yang lebih baik daripada apa (tebusan) yang telah diambil dari kamu dan Dia akan mengampuni kamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu,) menurut suatu qiraat lafal al-asraa dibaca al-asaarii ("Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian) yakni keimanan dan keikhlasan (niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik daripada apa yang telah kalian berikan) artinya Dia pasti akan melipatgandakannya buat kalian di dunia ini dan kelak di akhirat Dia akan memberi kalian pahala (dan Dia akan mengampuni kalian.") dosa-dosa kalian (Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Tafsir Surat Al-Anfal: 70-71
Wahai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tangan kalian, "Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik daripada apa yang telah diambil dari kalian dan Dia akan mengampuni kalian.” Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Akan tetapi, jika mereka (tawanan-tawanan itu) bermaksud hendak berkhianat kepadamu, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini, lalu Allah menjadikan(mu) berkuasa terhadap mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat 70
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Abbas ibnu Abdullah ibnu Mugaffal, dari sebagian keluarganya, dari Abdullah ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ bersabda dalam Perang Badar: “Sesungguhnya aku telah mengetahui sejumlah orang dari kalangan Bani Hasyim dan lain-lainnya, mereka berangkat ke medan perang karena dipaksa, padahal tidak ada urusan bagi mereka untuk memerangi kita. Maka barang siapa di antara kalian menjumpai seorang dari mereka yakni dari kalangan Bani Hasyim, janganlah ia membunuhnya. Dan barang siapa yang menjumpai Abul Buhturi ibnu Hisyam, janganlah ia membunuhnya. Dan barang siapa yang menjumpai Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, janganlah ia membunuhnya, karena sesungguhnya dia berangkat ke medan perang karena dipaksa.” Maka Abu Ruiaifah ibnu Atabah berkata, “Apakah kami membunuh bapak-bapak kami, anak-anak kami, saudara-saudara kami, dan famili kami, lalu kami biarkan Al-Abbas? Demi Allah, jika aku bertemu dengannya, niscaya aku benar-benar akan membunuhnya dengan pedang." Ketika hal itu sampai kepada Rasulullah, maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada Umar ibnul Khattab, "Wahai Abu Hafs." Umar mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya hari itu merupakan hari pertama bagiku menerima julukan Abu Hafs dari beliau ﷺ." Rasulullah ﷺ bersabda, "Apakah wajah paman Rasulullah ﷺ pantas dipukul dengan pedang?" Umar berkata, "Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal lehernya. Demi Allah, dia telah munafik." Abu Huzaifah setelah peristiwa itu mengatakan, "Demi Allah, saya tidak merasa aman karena ucapan yang telah saya katakan itu; dan saya masih terus-menerus dicekam oleh rasa takut, kecuali jika Allah menghapusnya dengan menganugerahiku mati syahid." Akhirnya Abu Huzaifah mati syahid dalam Perang Yamamah, semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada dia.
Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa pada petang hari Perang Badar semua tawanan orang musyrik telah diikat, dan Rasulullah ﷺ tidak dapat tidur pada permulaan malam harinya. Maka para sahabat berkata."Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak tidur?" Saat itu Al-Abbas dalam keadaan ditawan oleh seorang lelaki dari kalangan Anshar. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku mendengar rintihan pamanku Al-Abbas dalam ikatannya, maka lepaskanlah dia." Beliau diam, lalu tidur.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, tawanan Perang Badar yang paling banyak tebusannya ialah tebusan Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib; karena dia adalah seorang hartawan, maka dia menebus dirinya dengan seratus auqiyah emas.
Di dalam Shahih Bukhari disebutkan melalui hadits Musa ibnu Uqbah.
Ibnu Syihab mengatakan, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik, bahwa sejumlah lelaki dari kalangan Anshar mengatakan, "Wahai Rasulullah, izinkanlah kami menggantikan Abbas dengan anak saudara perempuan kami sebagai tebusannya." Rasulullah ﷺ menjawab, "Jangan, demi Allah, kalian jangan mengeluarkan satu dirham pun untuknya."
Yunus ibnu Bukair telah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Ruman dari Urwah dari Az-Zuhri dari sejumlah orang yang dia sebutkan nama-namanya; mereka telah menceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengirimkan tebusannya untuk menebus tawanan mereka yang ada di tangan kaum muslim, maka tiap-tiap kaum menebus orangnya masing-masing sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Al-Abbas berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang muslim sejak dahulu." Rasulullah ﷺ bersabda, "Allah lebih mengetahui keislamanmu. Jika keadaannya memang seperti yang engkau katakan, sesungguhnya Allah akan membalasmu. Tetapi dari lahiriahmu engkau melawan kami, maka tebuslah dirimu dan kedua keponakanmu, yaitu Naufal ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib dan Uqail ibnu Abu Thalib ibnu Abdul Muttalib serta teman sepaktamu (yaitu Atabah ibnu Amr, saudara lelaki Banil Haris ibnu Fihr).
Al-Abbas berkata, “Saya tidak memiliki sejumlah itu, wahai Rasulullah." Nabi ﷺ bertanya, “Maka di manakah harta benda yang engkau simpan bersama Ummul Fadl (istrinya), lalu engkau katakan kepadanya, 'Jika aku beroleh keuntungan dalam perjalanan niagaku ini, maka hasilnya harus di simpan untuk anak-anak kita, yaitu Al-Fadl, Abdullah dan Qasam’?"
Al-Abbas berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sekarang benar-benar mengetahui bahwa engkau adalah utusan Allah. Sesungguhnya hal tersebut merupakan suatu rahasia yang tidak ada seorang pun mengetahuinya selain aku sendiri dan Ummul Fadl. Maka masukkanlah ke dalam hitungan tebusanku apa yang telah engkau rampas dariku yang semuanya berjumlah dua puluh auqiyah emas." Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak, itu adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah kepadaku darimu." Lalu Ibnu Abbas menebus dirinya, dua keponakannya, dan teman sepaktanya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, ‘Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik daripada apa yang telah diambil dari kalian, dan Dia akan mengampuni kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Anfal: 70)
Al-Abbas mengatakan, "Maka Allah memberikan ganti dua puluh auqiyah emas itu dengan dua puluh budak dalam masa Islamku; masing-masing dari budak itu membawa harta yang berlipat ganda, selain dari ampunan Allah ﷻ kepadaku."
Ibnu Ishaq pun telah meriwayatkan hal yang serupa dengan hadits di atas dari Ibnu Abu Nujaih, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Al-Abbas (yakni ayahnya) mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan denganku, yakni firman-Nya: “Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuh di muka bumi.” (Al-Anfal: 67) Lalu aku menceritakan kepada Nabi ﷺ tentang keislamanku, dan aku meminta kepadanya agar dia memasukkan ke dalam tebusan jumlah dua puluh auqiyah emas yang telah diambilnya (dirampasnya sebagai ganimah) dariku, tetapi Nabi ﷺ menolak. Dan Allah menggantinya kepadaku dengan dua puluh orang budak, semuanya berdagang untukku dari hartaku yang berada di tangan masing-masing.
Ibnu Ishaq mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Jabir ibnu Abdullah ibnu Rabbab yang mengatakan, "Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib telah mengatakan bahwa berkenaan dengannyalah ayat ini diturunkan, yaitu di saat ia menceritakan keislamannya kepada Rasulullah ﷺ." Kemudian disebutkan kelanjutannya serupa dengan hadits di atas.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari ‘Atha’ Al-Khurasani, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Wahai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu.” (Al-Anfal: 70) Yang dimaksud dengan tawanan-tawanan dalam ayat ini ialah Abbas dan teman-temannya. Mereka berkata, "Kami telah beriman kepada apa yang engkau sampaikan, dan kami bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah, sesungguhnya kami benar-benar akan menasehati kaum kami demi engkau." Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik daripada apa yang telah diambil dari kalian.” (Al-Anfal: 70) Yang dimaksud dengan kebaikan ialah iman dan membenarkan Nabi ﷺ. Maka Allah akan memberikan gantinya yang lebih baik kepada kalian daripada apa yang telah diambil dari kalian.
“Dan Dia akan mengampuni kalian.” (Al-Anfal: 70)
Yaitu dari kemusyrikan yang dahulu kalian lakukan.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Al-Abbas sering mengatakan, "Saya tidak suka bila ayat yang diturunkan berkenaan dengannya ini ditukar dengan dunia dan seisinya karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: ‘niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik daripada apa yang telah diambil dari tangan kalian.’ (Al-Anfal: 70) Sesungguhnya Allah telah memberiku yang lebih baik daripada apa yang telah diambil dari tanganku, sebanyak seratus kali lipat.” Dan firman Allah ﷻ: “dan Dia akan mengampuni kalian.” (Al-Anfal: 70) Al-Abbas mengatakan bahwa dirinya berharap semoga Allah telah mengampuninya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Al-Abbas menjadi tawanan dalam Perang Badar, lalu ia menebus dirinya dengan harta sejumlah empat puluh auqiyah emas. Ketika ayat ini dibacakan kepada Al-Abbas, ia mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah memberinya dua perkara; jika dua perkara itu ditukar dengan dunia dan seisinya, ia tidak suka. Yaitu sungguh ketika dia menjadi tawanan Perang Badar, ia menebus dirinya dengan uang sejumlah empat puluh auqiyah, lalu Allah memberinya empat puluh orang budak. Dan sungguh dia benar-benar berharap mendapat ampunan Allah yang telah dijanjikan kepadanya.
Qatadah sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa ketika Rasulullah ﷺ menerima kedatangan harta ganimah dari Bahrain sejumlah delapan puluh ribu (dinar), saat itu Rasulullah ﷺ telah berwudu untuk menunaikan shalat Zuhur. Maka pada hari itu tidak ada seorang yang sakit pun melainkan beliau beri, dan tidak ada seorang peminta-minta pun melainkan diberi, dan pada hari itu beliau baru shalat sesudah membagi-bagikannya.
Kemudian beliau ﷺ memerintahkan kepada Al-Abbas untuk mengambil sebagian dari harta itu. Maka Al-Abbas mencedukkan kedua tangannya mengambil harta itu seraya berkata, "Ini jauh lebih baik daripada apa yang telah diambil dariku, dan aku masih mengharapkan ampunan."
Ya'qub ibnu Sufyan mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu ‘Ashim, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnul Mugirah, dari Humaid ibnu Hilal yang menceritakan bahwa Ibnul Hadrami mengirimkan sejumlah harta dari Bahrain yang berjumlah delapan puluh ribu dinar kepada Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ belum pernah menerima harta sebanyak itu, begitu pula sesudahnya. Humaid melanjutkan kisahnya, "Lalu harta itu digelarkan di atas sebuah tikar, saat itu bertepatan dengan didengungkannya azan untuk shalat.
Rasulullah ﷺ datang, beliau berdiri di depan tumpukan harta itu, ahli masjid pun berdatangan, maka dalam waktu yang singkat di hari itu penuh sesak dengan orang-orang. Kemudian Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib datang, lalu meraupkan tangannya ke harta itu dan memasukkannya ke dalam bajunya; kemudian ia bangkit dan berdiri, tetapi tidak kuat (karena keberatan). Lalu Al-Abbas mengangkat kepalanya ke arah Rasulullah ﷺ dan berkata, 'Wahai Rasulullah, bantulah aku untuk bangkit.' Rasulullah ﷺ tersenyum sehingga gigi gerahamnya kelihatan, lalu bersabda kepada Al-Abbas, 'Ambillah sejumlah harta dan bangkitlah dengan membawa apa yang engkau mampu membawanya.’ Al-Abbas melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi ﷺ, lalu ia berkata sambil pergi, 'Adapun salah satu dari kedua perkara yang telah dijanjikan oleh Allah kepada kami telah kami terima dari-Nya. Dan kami tidak mengetahui apa yang akan dilakukan-Nya terhadap perkara yang lainnya. “Wahai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu.” (Al-Anfal: 70), hingga akhir ayat. Kemudian Al-Abbas berkata, ini lebih baik daripada apa yang telah diambil dari kami, tetapi saya tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Allah terhadap perkara lainnya (yakni ampunan buat dia). Rasulullah ﷺ masih tetap berdiri di depan harta itu hingga tidak ada satu dirham pun yang tersisa, dan beliau tidak mengirimkan kepada keluarganya barang sedirham pun. Setelah itu beliau ﷺ mendatangi tempat salatnya, lalu mengerjakan shalat."
Hadits yang lain sehubungan dengan hal ini diriwayatkan oleh Al-Hafizh Abu Bakar Al-Baihaqi. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah An-Hafidzh, telah menceritakan kepadaku Abut Tayyib Muhammad ibnu Muhammad ibnu Abdullah As-Saidi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Tahman, dari Abdul Aziz ibnu Suhaib, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa pernah datang sejumlah harta kepada Rasulullah ﷺ dari negeri Bahrain lalu beliau bersabda, “Gelarkanlah di masjidku.”
Harta tersebut merupakan harta yang paling banyak yang pernah diterima oleh Rasulullah ﷺ. Kemudian Rasulullah ﷺ keluar (dari rumahnya) menuju tempat shalat tanpa menoleh kepada harta itu. Setelah beliau menyelesaikan shalatnya, beliau datang dan duduk di dekat kumpulan harta itu. Maka tidak ada seorang pun yang beliau lihat melainkan beliau memberinya harta itu. Tiba-tiba datanglah Al-Abbas dan berkata, "Wahai Rasulullah, berilah aku, karena sesungguhnya aku baru saja menebus diriku dan Aqil." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Ambillah." Maka Al-Abbas meraup harta itu dan memasukkannya ke dalam bajunya, lalu bangkit berdiri hendak pergi, tetapi tidak mampu karena keberatan. Lalu ia berkata, "Perintahlah seseorang untuk membantuku berdiri."Nabi ﷺ menjawab, "Tidak." Al-Abbas berkata, "Kalau begitu, bantulah aku olehmu." Nabi ﷺ menjawab, "Tidak." Lalu Al-Abbas menaburkan sebagian dari harta itu dan memanggulnya di atas pundaknya, lalu pergi. Sedangkan Rasulullah ﷺ hanya memandangnya, dan pandangan mata beliau mengikutinya hingga ia tidak kelihatan; beliau merasa heran dengan ketamakan Al-Abbas terhadap harta benda. Rasulullah ﷺ baru bangkit meninggalkan tempat itu setelah tidak tersisa barang sedirham pun dari harta itu.
Imam Bukhari telah meriwayatkan hadits ini di berbagai tempat dari kitab Shahih-nya secara ta'liq dan dengan siqat yang jazm. Ia mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Tahman mengatakan, lalu ia mengetengahkan hadits ini. Pada bagian teksnya terdapat hadits yang lebih lengkap daripada ini.
Ayat 71
Firman Allah ﷻ: “Akan tetapi, jika mereka (tawanan-tawanan itu) bermaksud hendak berkhianat kepadamu, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini.” (Al-Anfal: 71) Artinya, jika mereka bermaksud berbuat khianat kepadamu, melalui ucapan yang mereka kemukakan kepadamu.
“Maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini.” (Al-Anfal: 71) Yakni sebelum Perang Badar ini, karena mereka kafir kepada Allah.
“Lalu Allah menjadikan(mu) berkuasa terhadap mereka.” (Al-Anfal: 71)
Maksudnya, menjadikan mereka sebagai tawanan perangmu dalam Perang Badar.
“Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 71) Yaitu Dia Maha Mengetahui apa yang harus Dia perbuat dan Maha Bijaksana dalam perbuatan-Nya.
Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Sa'd ibnu Abu Sarh Al-Katib ketika ia murtad dan bergabung dengan orang-orang musyrik.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari ‘Atha’ Al-Khurasani, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abbas dan teman-temannya di saat mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami akan menasehati kaum kami untuk mengikutimu." Tetapi As-Suddi menafsirkannya dengan makna yang umum, dan apa yang dikemukakannya itu lebih mencakup dan lebih jelas.
Wahai Nabi Muhammad! Katakanlah kepada para tawanan perang yang ada di tanganmu, yakni kekuasaanmu dan sahabat-sahabatmu, Jika Allah mengetahui, baik pada saat ini maupun akan datang, ada kebaikan di dalam hatimu, berupa keimanan yang benar, tobat yang tulus, niat yang baik serta tekad yang kuat untuk taat kepada Allah dan RasulNya serta menolong agama-Nya, niscaya Dia akan memberikan, kamu wahai kaum musyrik, anugerah yang lebih baik, berupa ampunan dan surga, dari apa yang telah diambil dari kamu berupa tebusan, dan Dia akan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat dengan sebenar-benarnya, Maha Penyayang terhadap kaum mukmin dengan senantiasa memberi pertolongan, taufik dan kebahagiaan hakiki di akhirat kelak. Boleh jadi muncul rasa kekhawatiran dalam benak Rasullah jika di kemudian hari mereka berkhianat, maka ayat ini menguatkan jiwa beliau. Jika mereka, tawanan-tawanan itu, hendak mengkhianatimu, wahai Nabi Muhammad, dengan menunjukkan sikap seakan condong kepada Islam padahal mereka berbohong, maka jangan khawatir, sesungguhnya sebelum itu pun mereka telah berkhianat kepada Allah berupa kemusyrikan dan perbuatan-perbuatan dosa lainnya, maka Dia memberikan kekuasaan kepadamu atas mereka, yaitu kemenangan di Perang Badar meski dengan jumlah pasukan yang tidak seimbang. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, Mahabijaksana dalam segala ketetapan-Nya.
.
Ayat ini memerintahkan kepada Rasulullah agar mengatakan kepada para tawanan yang merasa berat hatinya mengeluarkan harta untuk penebus diri mereka bahwa Allah akan mengganti harta yang mereka serahkan itu dengan yang lebih baik dan lebih bersih serta beriman kepada Allah. Allah akan mengampuni segala dosa termasuk syirik, memusuhi kaum Muslimin, memusuhi Islam, agama yang diridai-Nya dan melakukan berbagai macam tindakan yang dimurkai-Nya. Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setelah selesai peperangan dengan kemenangan yang gemilang pada Peperangan Badar itu, timbul suatu soal lagi di samping soal harta rampasan. Yaitu soal orang-orang tawanan. Di dalam Peperangan Badar itu telah mati terbunuh 70 orang musyrikin dan tertawan 70 orang pula. Di antara yang tertawan itu terdapat paman Nabi ﷺ sendiri, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib. Terdapat juga saudara kandung dari Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu dari Nabi, yaitu Aqii bin Abi Thalib, dan terdapat juga Abui Ash, menantu Rasulullah ﷺ, suami dari Zainab putri beliau.
Diajaklah sahabat-sahabat bermusyawarah oleh Rasulullah ﷺ akan diapakankah orang-orang tawanan itu. Yang terutama diajak Rasul ialah dua sahabat yang amat utama. Abu Bakar dan Umar. Kita simpulkan kisah permusyawarahan itu dari berbagai hadits. Abu Bakar menyatakan pendapat bahwa orang-orang tawanan itu sebaiknya disuruh menebus diri mereka dari tawanan dengan uang. Sebab menurut pendapat Abu Bakar, seluruh tawanan itu adalah keluarga bertali-darah saja semua dari kaum Muhajirin. Moga-moga dengan kesempatan tebusan yang diberikan itu, masih terbuka jalan bagi mereka buat kelaknya insaf, lalu memeluk Islam. Sebab itu, kita tidak usah berlaku keras kepada mereka.
Tetapi Umar menyatakan pendapat yang sangat berbeda dengan pendapat Abu Bakar. Katanya seluruh tawanan itu hendaklah dibunuh. Meskipun ada pertalian keluarga di antara kita dengan mereka, yang terang ialah bahwa mereka telah mengusir Rasulullah ﷺ, mereka telah memerangi Islam. Sebab itu mereka tidak boleh diberi hati. Biarlah masing-masing Muslim membunuh keluarganya sendiri. Biarlah Ali bin Abi Thalib membunuh Aqil, dan dia sendiri, Umar bin Khaththab pun membunuh saudaranya yang ikut dalam peperangan itu. Pendeknya masing-masing membunuh keluarga mereka yang telah tertawan itu. Karena meskipun ada pertalian keluarga, namun mereka sudah terang-terang musuh kita.
Abdullah bin Rawahah, anak muda dari golongan Anshar cenderung kepada pendapat Umar. Katanya lebih baik diikat seluruh tawanan itu, dibawa ke sebuah tempat yang banyak semak-semak dekat situ, lalu dibakar semua. Sa'ad bin Mu'adz dari Anshar pun condong kepada pendapat Umar.
Akan tetapi golongan yang terbesar dari mujahidin condong kepada pendapat Abu Bakar. Cuma dasar pikiran sangat berbeda. Abu Bakar merasa lebih baik tawanan itu di-suruh menebus diri, ialah karena mengingat hubungan keluarga. Namun, golongan yang banyak yang menumpang usulnya itu bukanlah mengingat kekeluargaan, melainkan mengingat harta benda tebusan itu. Dengan alasan bahwa mereka yang pergi berperang umumnya miskin, kurang harta dan persiapan.
Menurut riwayat Ibnu Abu Syaibah dan at-Tirmidzi, yang mengatakan bahwa hadits yang dirawikannya ini hasan (baik) dan Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dan ath-Thabrani dan al-Hakim, yang mengatakan hadits ini shahih dan Ibnu Mardawaihi dan al-Baihaqi di dalam Dalailun Nubuwwah, diterima dari Ibnu Mas'ud, katanya, “Setelah tawanan-tawanan Badar itu dibawa ke hadapan Rasul, beliau ajaklah sahabat-sahabatnya bermusyawarah. Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah ﷺ! Semua adalah kaum engkau, semua adalah ahli keluarga engkau, biarkanlah mereka tinggal hidup, mudah-mudahan Allah memberi tobat kepada mereka." Berkata Umar, “Ya Rasulullah ﷺ! Mereka telah mendustakan engkau, mereka telah mengusir engkau dan mereka telah memerangi engkau. Bawa mereka semua ke hadapan engkau dan potong leher mereka." Berkata pula Abdullah bin Rawahah, “Cari satu lembah yang banyak kayu api di sana dan bakar mereka semua."
Abbas yang turut tertawan dan mendengar usul-usul yang keras itu berkata: “Apakah engkau hendak memutuskan silaturahim?"
Setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan tersebut, Rasulullah ﷺ pun masuk ke dalam kemahnya, sebelum memutuskan pertimbangan dan pendapat mana yang akan beliau pegang. Setengah orang menyangka bahwa beliau akan memilih pendapat Abu Bakar dan setengahnya lagi menyangka beliau akan memilih pendapat Umar.
Kemudian beliau pun keluar. Lalu beliau berkata, “Allah telah membuat lembut hati setengah manusia selembut susu, dan Allah pun membuat keras hati setengah manusia sekeras batu. Engkau hai Abu Bakar laksana Ibrahim yang berkata,
“Siapa yang mengikuti aku, maka dia itu adalah dari golonganku. Dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka Engkau—ya Tuhan adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang." (Ibraahiim: 36)
Dan engkau, hai Abu Bakar adalah laksana Isa yang berkata,
“Jika engkau siksa mereka, mereka itu adalah hamba-hamba Engkau semua. Dan jika Engkau beri ampun mereka, maka sesungguhnya Engkau adalah Mahagagah, lagi Bijaksana." (al-Maa'idah: 118)
Dan engkau hai Umar adalah laksana Nuh. Tatkala dia berkata,
“Ya Tuhanku! Janganlah Engkau biarkan di alas bumi ini, dari orang-orang kafir itu, seorang pun penduduk." (Nuuh: 26)
Dan, perumpamaan engkau hai Umar adalah laksana Musa, yang berkata,
“Ya Tuhan kami! Musnahkalah harta benda mereka, dan keras sangatkanlah hati mereka, maka tidaklah mereka mau beriman sehingga datang siksaan yang pedih." (Yuunus: 88)
Aku tahu kamu ini miskin. Sebab itu salah satu dari dua, yaitu tebusan atau potong leher.
Kemudian daripada itu tersebutlah bahwa Rasulullah ﷺ mengambil satu keputusan, yaitu menyetujui usul Abu Bakar, yaitu segala orang tawanan diberi kesempatan menebus diri. Tersebut pula bahwa masing-masing orang menebus dirinya dengan 40.000. Menurut keterangan Musa bin Uqbah, mereka menebus diri masing-masing dengan 40 uqiyah emas. Tetapi paman beliau sendiri, Abbas berlebih tebusannya dari yang lain, yaitu 100 uqiyah, dan dia pun diwajibkan membayar tebusan anak saudaranya Aqil dan Naufal bin al-Harits. Menurut riwayat Ibnu Abbas, putra beliau, menyatakan bahwa sudah lama beliau telah Islam dalam batin, tetapi beliau dipaksa oleh ketua-ketua yang lain supaya ikut berperang itu, itu sebabnya beliau ikut.
Maka dengan keputusan yang telah diambil oleh Rasulullah ﷺ dan telah dijalankan itu, puaslah Abu Bakar sebab hubungan keluarga terpelihara dan puas pula penyokong-penyokong usulnya, sebab mendapat harta tebusan yang menyebabkan mereka jadi kaya. Sebab selain dari harta rampasan, mereka pun mendapat pula harta tebusan. Umar bin Khaththab tunduk kepada keputusan itu.
Tetapi, besok paginya terjadilah hal yang mengharukan bagi Umar bin Khaththab. Dia datang ke kemah Rasulullah ﷺ; didapatinya beliau menangis dan Abu Bakar yang duduk di sisinya pun menangis (menurut riwayat Imam Ahmad dan Muslim dari Ibnu Abbas). Melihat mereka menangis, berkatalah aku (kata Umar), “Mengapa engkau menangis, ya Rasulullah ﷺ? Mengapa engkau menangis ya Abu Bakar? Kabarilah aku, apa sebab kamu keduanya menangis. Kalau aku diberi tahu sebabnya agar aku menangis pula, dan jika aku pandang tidak ada yang perlu ditangiskan, aku pun akan menangis juga bersama tangismu." Maka menjawablah Rasulullah ﷺ, “Aku menangisi kawan-kawanmu yang mengusulkan supaya tawanan itu menebus diri. Allah telah mengancam mereka dengan siksaan-Nya, lebih dekat dari pohon ini." (Pohon itu tumbuh di dekat situ). Dan telah turun ayat, “Tidaklah patut bagi seorang nabi bahwa ada baginya tawanan-tawanan, sebelum dia memporak-porandakan musuh di bumi."
Maka telah turunlah ayat ini pada malamnya,
Ayat 67
‘Tidaklah patut bagi semang nabi bahwa ada baginya beberapa orang tawanan, sampai dia porak-porandakan (musuh) di bumi."
Maka jelaslah bahwa ayat ini turun menyatakan bahwa keputusan yang diambil oleh Rasul ﷺ itu adalah satu kekhilafan. Karena maksud ayat ialah bahwa seorang nabi tidak boleh mengadakan tawanan dan meminta tebusan tawanan pada langkah pertama perang.
Kalau bertemu musuh hendaklah bunuh terus, tidak ada tawanan, sebelum seluruh kekuatan musuh itu dipatahkan, sebelum pihak Islam mencapai kedudukan yang kuat kukuh. Artinya lagi, bahwasanya kemenangan Peperangan Badar belumlah berarti apa-apa sebab kedudukan Islam belum kuat. Kalau tawanan-tawanan itu dibiarkan menebus diri, mereka akan kembali lagi ke tempatnya menyusun diri. Maka sehendaknya mana yang telah ditawan itu dibunuh terus. Kalau Islam sudah kuat, barulah boleh bicara hal orang tawanan yang ingin menebus diri. Apatah lagi meskipun usul Abu Bakar diterima, demi mengingat hubungan darah dan kekeluargaan, namun golongan terbesar yang menyokong usul Abu Bakar bukanlah meminta tebusan karena mengingat hubungan kekeluargaan, melainkan karena mengingat banyaknya harta tebusan itu sendiri, sehingga mereka menjadi kaya raya. Sebab itulah maka lanjutan ayat berkata,
“Kamu menginginkan harta benda dunia, sedang Allah menghendaki akhirat. Dan Allah adalah Mahagagah, lagi Bijaksana."
(ujung ayal 67)
Harta benda dunia itu disebut di dalam ayat ini.'Ardh yang kita beri arti sementara karena tidak kekal, karena dia datang sementara dan sewaktu-waktu pergi lagi. Lantaran memikirkan yang demikian, kamu pun lupa kepada perjuangan selanjutnya, sedang Allah menghendaki akhirat yang kekal karena kemenangan yang lanjut, sebab perjuangan belum akan selesai pada hari ini.
Sebab itu maka dengan ayat ini, dinya-takanlah bahwa keputusan Nabi menerima tebusan itu pada hakikatnya tidaklah tepat. Pangkal firman Allah, “Tidaklah patut bagi se-orang nabi." Menunjukkan bahwa peraturan ini adalah peraturan yang sudah lama, yaitu sejak nabi-nabi yang dahulu. Sebelum umat tauhid mendapat kekuasaan yang kukuh di atas bumi, sebelum tenaga musuh itu patah sama sekali, belum boleh bicara soal tebusan tawanan. Tetapi sungguh pun demikian, datanglah sambungan ayat,
Ayat 68
‘Jikalau tidaklah keputusan dari Allah yang telah terdahulu, niscaya akan mengenallah kepada kamu, dari sebab apa yang telah kamu ambil itu, adzab yang besar."
Dengan ayat ini dijelaskan lagi bahwa keputusan itu tidak tepat. Tetapi karena sudah ada keputusan terlebih dahulu dari Allah, kesalahan mereka itu dimaafkan. Kalau tidak ada keputusan terlebih dahulu dari Allah, tentu mereka telah diadzab oleh Allah karena mereka mengambil tebusan itu. Keputusan Allah yang terlebih dahulu itu ialah bahwa seluruh pejuang yang ikut di dalam Perang Badar, dijanjikan Allah bahwa dosa mereka diampuni. Dan, dengan ayat 68 ini jelas lagi bahwa Rasulullah ﷺ tidak usah mencabut kembali keputusan yang telah diambilnya. Oleh karena itu adalah hasil ijtihad beliau di dalam soal peperangan dan siasat. Dan dasarnya pun adalah baik, yaitu karena yang beliau terima ialah usul Abu Bakar. Abu Bakar mengemukakan usul bukan karena beliau mengharapkan kekayaan dari uang tebusan, bukan karena mengharapkan kekayaan dunia sementara, tetapi karena hendak bersikap lunak kepada keluarga dan karena mengharapkan moga-moga mereka masuk Islam juga kelaknya.
Ahli-ahli hukum dan sejarah dalam Islam memperkatakan soal ini. Di sinilah pangkal jalan pikiran para ahli bahwasanya dalam hal yang tidak ada nash dari wahyu, Nabi boleh berijtihad sendiri. Dan, ijtihadnya itu kadang-kadang juga tidak tepat, meskipun maksud beliau tetap baik. Ingatlah bahwa dalam Peperangan Badar juga, ijtihadnya memilih tempat berkemah tentara Islam telah dibanding oleh sahabat al-Habbab, sebab tidak tepat. Al-Habbab pun dengan segala hormat bertanya, apakah beliau memilih tempat itu karena tuntunan wahyu atau termasuk siasat perang saja? Beliau jawab, “Siasat perang saja." Setelah al-Habbab mengemukakan pendapat bahwa tempat itu tidak baik, karena sukar da-pat menambah air, beliau pun menurut kepada pendapat al-Habbab itu.
Maka dalam perkara tebusan tawanan ini beliau telah musyawarah lebih dahulu dengan ahli-ahli dan penasihat-penasihat beliau. Ada pendapat Abu Bakar dan ada pendapat Umar. Setelah beliau dengar kedua pendapat, beliau ambil keputusan, yaitu menurut pendapat Abu Bakar, demi menjaga hubungan keluarga dan mengharap mereka akan tobat juga kelak. Golongan terbesar tidak mementingkan alasan yang dikemukakan Abu Bakar, melainkan karena ingin kekayaan, harta dunia sementara. Kemudian turunlah ayat. Ternyata pendapat Umar lebih sesuai dengan kehendak ayat. Tetapi Umar sendiri tidak membuka mulut lagi buat meminta supaya keputusan yang telah berjalan itu ditinjau kembali, sebab bahaya menyanggah keputusan Rasul ﷺ dalam siasat perang adalah lebih besar dari bahaya yang lain. Dan Rasul ﷺ bersama Abu Bakar menangis setelah ayat turun; yang mereka tangisi adalah sahabat-sahabat yang menyokong usul Abu Bakar karena mengharapkan harta, bukan karena mengingat kekeluargaan.
Di dalam ayat dikatakan, kalau bukanlah Allah telah menentukan terlebih dahulu suatu ketentuan,yaitu memberi ampun dosa pejuang Badar, adzab besarlah yang akan menimpa. Itulah konon yang ditangisi Nabi.
Tetapi ada lagi sebuah hadits yang dira-wikan oleh an-Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim yang diterima dari Ali bin Abi Thalib bahwa setelah Rasulullah ﷺ mengambil keputusan menerima tebusan tersebut, Jibril datang. Kemudian, dia berkata kepada Rasul ﷺ, “Sahabat-sahabat engkau disuruh memilih di antara menerima tebusan atau membunuhi tawanan itu! Mereka telah memilih menerima tebusan; tetapi untuk itu mereka menebusnya pula di tahun depan."
Apa yang terjadi di tahun depan? Ialah 70 kaum Muslimin syahid di dalam Peperangan Uhud!
Melihat rentetan kejadian selanjutnya itu, beranilah kita menyatakan bahwa apa yang ditakuti memang kejadian. Meskipun kaum Muslimin menang di Peperangan Badar, namun salah satu sebab kaum musyrikin menuntut bela dan membalas dendam dalam Peperangan Uhud, ialah karena sebagian besar orang-orang yang menebus diri dari tawanan itu menyusun kekuatan kembali. Dan, pihak Muslimin di waktu Perang Uhud, ada yang tidak teguh memegang disiplin taat setia kepada Rasul, sehingga mendapat kekalahan.
Ini dapat kita baca kembali pada surah Aali ‘Jmraan,
Ayat yang selanjutnya memberi kejelasan lagi bahwa meskipun keputusan itu tidak begitu tepat, tidaklah perlu dia dibatalkan kembali sebab kalau dibatalkan juga, bahayanya akan lebih besar lagi. Dan, diakui dalam soal kenegaraan dan peperangan, suatu yang telah diputuskan mesti dijalankan terus, dengan bertawakal kepada Allah. Akibat apa yang akan terjadi akan ditanggungkan bersama. Kalau tidak begitu, niscaya hilang wibawa pemerintahan. Ayat selanjutnya berfirman,
Ayat 69
“Maka makanlah dari apa yang telah kamu rampas itu, sebagai barang yang halal lagi baik."
Maka samalah halalnya harta uang tebusan itu dengan ghanimah yang memang telah dihalalkan pada ayat 41 di atas, yaitu yang empat perlima untuk bersama dan seperlima untuk Allah dan Rasul ﷺ. Harta tebusan tawanan itu pun halal dan baik, tidak haram dan tidak jahat;
“Dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Takwalah kepada Allah, takutlah dan bersyukurlah kepada-Nya. Karena selain telah dihalalkan-Nya harta rampasan, sekarang dihalalkan-Nya pula harta tebusan itu. Karena harta tebusan itu bukanlah haram, hanya disesali sebab di antara kamu ada yang berbeda niatnya dengan niat Abu Bakar, meskipun menyokong usul Abu Bakar. Ini hanya sekadar peringatan buat masa depan saja. Dan, Allah adalah Maha Pengampun kalau ada kekhilafan dan Maha Penyayang, sebab tujuanmu yang sebenarnya tetap diketahui Allah, yaitu mempertahankan agama Allah, membela Nabi-Nya, walaupun sebagai manusia kadang-kadang ada juga keinginan-keinginan pribadi.
Memang, pada surah lain yang diturunkan di Madinah juga, yaitu surah Muhammad, mengenai tebusan tawanan itu dijelaskan lagi, “Maka apabila kamu bertemu dengan mereka yang kafir itu, maka pancunglah leher-leher mereka, sehingga apabila kamu telah memorak-porandakan mereka, maka keras-kanlah penawanan. Maka sesudah itu bolehlah kamu bebaskan mereka, dan (boleh juga) menerima tebusan, sampai perang menghentikan segala kesengsaraannya." (Sampai akhir surah).
Dengan ayat ini lebih jelas lagi ketentuan ayat yang tengah kita bicarakan ini. Jelas, sebelum Muslimin kuat tidak ada tebusan tawanan, semua mesti dibunuh. Tetapi kalau Muslimin telah kuat, musuh sudah porak-poranda, kucar-kacir, dan tidak bisa bangun lagi, bolehlah menawan, boleh menerima tebusan, bahkan boleh memberi maaf dan mem-bebaskan mereka dengan tidak usah menebus diri lagi. Dan selanjutnya, tentu boleh pula menjadikan tawanan itu menjadi budak terus atau mengangkat mereka jadi mauloa, sebagai terhadap diri Abbas sendiri. Beliau pada hakikatnya amat kasih kepada anak saudaranya Muhammad ﷺ.
Bahkan beliau turut hadir seketika Baiat Aqabah, tatkala kaum Anshar membuat janji setia dengan Rasulullah ﷺ, sampai beliau hijrah ke Madinah. Pertemuan rahasia itu dihadiri oleh Abbas dan beliau rahasiakan terus. Tetapi oleh karena menjaga kedudukan keluarga, beliau tidak segera menyatakan diri memeluk Islam. Rasulullah ﷺ hijrah, be-liau tetap tinggal di Mekah, dan dijaganya hubungan yang baik dengan pemuka-pemuka Quraisy. Tetapi beliau dipaksa oleh kaumnya turut dalam Perang Badar. Rupanya beliau pun tertawan. Tebusan tawanan untuk dirinya dikenakan lebih berat oleh anak saudaranya daripada tebusan orang lain. Orang lain kena 40 uqiyah emas, beliau kena 100. Lalu, diwajibkan pula membayar tebusan Aqil dan Naufal. Kemudian disuruh dia membayar te-busan kawan setianya Utbah bin Rabi'ah. Ketika itu membenarlah Abbas bahwa uangnya telah habis. Dengan senyum Rasulullah ﷺ bertanya, “Bukankah ada lagi uang Bapak, yaitu yang Bapak tanamkan di bawah tanah bersama Ummul Fadhal (nama istri beliau). Bukankah paman berkata kepadanya waktu itu, ‘Kalau aku ditimpa celaka dalam perang ini, maka uang yang aku sembunyikan ini adalah untuk anakku.'"
Dia menjawab dengan penuh keharuan dan tercengang, “Demi Allah, ya Rasulullah! Tidak seorang jua yang tahu rahasia itu selain aku dan dia."
Dia pun pulang dengan keyakinan yang sangat dalam tentang kerasulan anak sauda-ranya. Sejak itu beliau bertekadlah menjadi orang Islam yang baik, meskipun masih ber-sembunyi-sembunyi. Dari Mekah selalu dia mengirim berita tentang gerak-gerik orang-orang Quraisy terhadap Nabi dan ketika Rasulullah menaklukkan Mekah pada tahun kedelapan, tiba-tiba di tengah jalan menuju Mekah itu bertemulah beliau di tengah jalan bersama dengan anak-anak dan istrinya, yang akan hijrah menuju Madinah. Dan sebelum itu, seketika Umrah Qadha di tahun ketujuh, beliau telah menyambut Rasulullah ﷺ dengan baik dan menyediakan seorang istri buat beliau, yaitu ibu kita, Maimunah, adik dari istrinya Ummu Fadhal, jadi Makcik dari Ibnu Abbas, dan saudara pula dari ibu Khalid bin Walid.
Kerapkali Abbas di hari tuanya menyebut, meskipun dia dikenakan uang tebusan lebih banyak dan menebus juga kedua anak saudaranya, Aqil dan Naufal, namun ayat Allah yang menyatakan akan diberi ganti yang lebih baik asal tobat dan beriman, semuanya itu telah terjadi atas dirinya. Setelah dia memeluk Islam, kekayaannya bertambah-tambah. Keturunan beliau pada akhirnya telah mendirikan Kerajaan Bani Abbas.
Satu hal yang mengharukan lagi ialah ketika menantu Rasul ﷺ suami dari putri beliau Zainab, yang bernama Abui Ash diminta pula uang tebusannya. Dia tidak mempunyai uang untuk menebus diri. Istrinya, Zainab binti Rasulullah ﷺ, ada di Mekah, tidak turut hijrah karena suaminya belum I siam, walaupun dia sendiri sudah Islam sejak hidup ibunya. Setelah disampaikan berita bahwa suaminya tertawan dan tidak ada uang untuk penebus, Zainab mengirimkan kalung emasnya untuk penebus suaminya. Padahal kalung emas itu adalah pusaka ibunya, ibu kita, Siti Khadijah.
Al-Hakim dan al-Baihaqi, membawakan riwayat ini dari ibu kita, Aisyah. Setelah kalung itu disampaikan kepada Rasulullah ﷺ, benar-benarlah beliau sangat terharu dan titik air matanya. Sungguh pun begitu tidak juga beliau lupa musyawarah dengan sahabat-sahabatnya, lalu beliau berkata, “Kalau tuan-tuan pandang ada baiknya, pulangkanlah dokoh (kalung)nya ini dan lepaskanlah tawanannya." Maka Abui Ash dilepaskan oranglah dan dokoh itu dikirimkan kembali kepada Zainab. Tetapi berapa lama kemudian Abui Ash dan Zainab istrinya telah tiba di Madinah. Abui Ash masuk Islam dan Zainab bertemu kembali dengan ayahnya, Nabi kita Muhammad ﷺ.
Kemudian datanglah lanjutan ayat,
Ayat 71
“Dan jika mereka hendak mengkhianati engkau, maka sesungguhnya mereka pun telah khianat kepada Allah sebelumnya."
Kemungkinan itu ada dan memang ada, yaitu penyerbuan mereka ke Madinah ketika Perang Uhud dan seketika Perang Khan-daq, tidaklah itu hal yang diherankan. Sebab bukankah sejak semula mereka telah meng-khianati Allah? Bukankah mereka telah mem-pertahankan berhala? Dan bukankah mereka telah mengusir Rasul?
“Tetapi Allah akan menundukkan mereka. Dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Bijaksana."
Meskipun mereka telah kalah di Perang Badar, 70 mati dan 70 tertawan, dan yang tertawan telah menebus diri, kemungkinan mereka berkhianat lagi masih tetap ada, yaitu selain dari yang telah menyatakan diri masuk islam seperti Abbas dan Abui Ash itu. Niscaya Allah menyebutkan kemungkinan ini ialah menyuruh kaum Muslimin tetap awas dan waspada. Dan menjelaskan pula bahwa betapapun mereka berkhianat, tetapi mereka pasti kalah. Allah Maha Mengetahui gerak-gerik dan maksud jahat di kalangan mereka. Namun begitu, Allah pun bijaksana. Bukti kebijaksanaan Allah ialah setelah mereka me-nebus diri dari tawanan, mereka masih diperbolehkan pulang. Sebab kaum Muslimin kian lama kian kuat.
Perhatikanlah bahwa dengan ayat 70, Allah telah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap usul Abu Bakar tadi, yaitu membuka jalan tebusan dari tawanan karena mengingat hubungan keluarga. Dan, itu pun telah berhasil sebagian besar dengan Islamnya Abbas dan Abui Ash dan yang lain-lain. Tetapi penghargaan Umar dihargai pula dengan tinggi. Kepada Rasul pada ayat 71 telah dibayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, yang telah diperingatkan oleh Umar, yang mengusulkan suruh bunuh saja seluruh tawanan itu.
Semakin kita selidiki isi ayat-ayat ini, bertambah nyatalah betapa penghargaan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada sahabat-sahabat beliau dan bertambah jelas semangat Islam. Gagah perkasa mempertahankan hak dan banyak memberi maaf di kala mencapai kejayaan. Dendam tidak ada. Yang ada hanyalah kasih sayang dan cinta.