Ayat
Terjemahan Per Kata
يَسۡتَفۡتُونَكَ
mereka akan meminta fatwa kepadamu
قُلِ
katakanlah
ٱللَّهُ
Allah
يُفۡتِيكُمۡ
memberi fatwa kepadamu
فِي
dalam/tentang
ٱلۡكَلَٰلَةِۚ
kalalah
إِنِ
jika
ٱمۡرُؤٌاْ
seseorang
هَلَكَ
binasa/meninggal
لَيۡسَ
tidak ada
لَهُۥ
baginya
وَلَدٞ
seorang anak
وَلَهُۥٓ
dan baginya
أُخۡتٞ
saudara perempuan
فَلَهَا
maka baginya
نِصۡفُ
seperdua
مَا
apa (harta)
تَرَكَۚ
tinggalkan
وَهُوَ
dan ia (saudara laki-laki)
يَرِثُهَآ
mewarisinya (harta saudara perempuan)
إِن
jika
لَّمۡ
tidak
يَكُن
adalah
لَّهَا
baginya/mempunyai
وَلَدٞۚ
anak laki-laki
فَإِن
maka jika
كَانَتَا
adalah keduanya
ٱثۡنَتَيۡنِ
dua orang
فَلَهُمَا
maka bagi keduanya
ٱلثُّلُثَانِ
dua pertiga
مِمَّا
daripada apa/harta
تَرَكَۚ
ia tinggalkan
وَإِن
dan jika
كَانُوٓاْ
adalah mereka
إِخۡوَةٗ
beberapa saudara
رِّجَالٗا
laki-laki
وَنِسَآءٗ
dan perempuan
فَلِلذَّكَرِ
maka bagi laki-laki
مِثۡلُ
seperti (sebanyak)
حَظِّ
bagian
ٱلۡأُنثَيَيۡنِۗ
dua saudara perempuan
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
أَن
supaya tidak
تَضِلُّواْۗ
kamu tersesat
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِكُلِّ
dengan/terhadap segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمُۢ
Maha Mengetahui
يَسۡتَفۡتُونَكَ
mereka akan meminta fatwa kepadamu
قُلِ
katakanlah
ٱللَّهُ
Allah
يُفۡتِيكُمۡ
memberi fatwa kepadamu
فِي
dalam/tentang
ٱلۡكَلَٰلَةِۚ
kalalah
إِنِ
jika
ٱمۡرُؤٌاْ
seseorang
هَلَكَ
binasa/meninggal
لَيۡسَ
tidak ada
لَهُۥ
baginya
وَلَدٞ
seorang anak
وَلَهُۥٓ
dan baginya
أُخۡتٞ
saudara perempuan
فَلَهَا
maka baginya
نِصۡفُ
seperdua
مَا
apa (harta)
تَرَكَۚ
tinggalkan
وَهُوَ
dan ia (saudara laki-laki)
يَرِثُهَآ
mewarisinya (harta saudara perempuan)
إِن
jika
لَّمۡ
tidak
يَكُن
adalah
لَّهَا
baginya/mempunyai
وَلَدٞۚ
anak laki-laki
فَإِن
maka jika
كَانَتَا
adalah keduanya
ٱثۡنَتَيۡنِ
dua orang
فَلَهُمَا
maka bagi keduanya
ٱلثُّلُثَانِ
dua pertiga
مِمَّا
daripada apa/harta
تَرَكَۚ
ia tinggalkan
وَإِن
dan jika
كَانُوٓاْ
adalah mereka
إِخۡوَةٗ
beberapa saudara
رِّجَالٗا
laki-laki
وَنِسَآءٗ
dan perempuan
فَلِلذَّكَرِ
maka bagi laki-laki
مِثۡلُ
seperti (sebanyak)
حَظِّ
bagian
ٱلۡأُنثَيَيۡنِۗ
dua saudara perempuan
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
أَن
supaya tidak
تَضِلُّواْۗ
kamu tersesat
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِكُلِّ
dengan/terhadap segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمُۢ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah, (yaitu) jika seseorang meninggal dan dia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai seorang saudara perempuan, bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya. Adapun saudara laki-lakinya mewarisi (seluruh harta saudara perempuan) jika dia tidak mempunyai anak. Akan tetapi, jika saudara perempuan itu dua orang, bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) beberapa saudara laki-laki dan perempuan, bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu agar kamu tidak tersesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Tafsir
(Mereka meminta fatwa kepadamu) mengenai kalalah, yaitu jika seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan bapak dan anak (Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah; jika seseorang) umru-un menjadi marfu' dengan fi'il yang menafsirkannya (celaka) maksudnya meninggal dunia (dan dia tidak mempunyai anak) dan tidak pula bapak yakni yang dimaksud dengan kalalah tadi (tetapi mempunyai seorang saudara perempuan) baik sekandung maupun sebapak (maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan dia) maksudnya saudaranya yang laki-laki (mewarisi saudaranya yang perempuan) pada seluruh harta peninggalannya (yakni jika ia tidak mempunyai anak). Sekiranya ia mempunyai seorang anak laki-laki, maka tidak satu pun diperolehnya, tetapi jika anaknya itu perempuan, maka saudaranya itu masih memperoleh kelebihan dari bagian anaknya. Dan sekiranya saudara laki-laki atau saudara perempuan itu seibu, maka bagiannya ialah seperenam sebagaimana telah diterangkan di awal surah. (Jika mereka itu) maksudnya saudara perempuan (dua orang) atau lebih, karena ayat ini turun mengenai Jabir; ia meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa orang saudara perempuan (maka bagi keduanya dua pertiga dari harta peninggalan) saudara laki-laki mereka. (Dan jika mereka) yakni ahli waris itu terdiri dari (saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang laki-laki) di antara mereka (sebanyak bagian dua orang perempuan." Allah menerangkan kepadamu syariat-syariat agama-Nya (agar kamu) tidak (sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) di antaranya tentang pembagian harta warisan. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Barra bahwa ia merupakan ayat yang terakhir diturunkan, maksudnya mengenai faraid.
Tafsir Surat An-Nisa': 176
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah (yaitu); Jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian supaya kalian tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Barra (Ibnu Azib ) berkata, "Surat yang paling akhir diturunkan adalah surat Al-Baraah (At-Taubah), dan ayat yang paling akhir diturunkan adalah firman-Nya: 'Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)'.” (An-Nisa: 176) hingga akhir ayat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Muhammad ibnul Munkadir yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah mengatakan: "Rasulullah ﷺ masuk ke dalam rumahku ketika aku sedang sakit dan dalam keadaan tidak sadar." Jabir melanjutkan kisahnya, "Lalu Rasulullah ﷺ berwudu, kemudian mengucurkan bekasnya kepadaku; atau perawi mengatakan bahwa mereka (yang hadir) menyiramkan bekas air wudunya kepada Jabir. Karena itu aku sadar, lalu aku bertanya, 'Sesungguhnya tidak ada yang mewarisiku kecuali kalalah. Bagaimanakah cara pembagiannya?' Lalu Allah menurunkan ayat faraid (pembagian harta warisan).”
Hadits diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Shahihain melalui Syu'bah.
Jama'ah meriwayatkannya melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir dengan lafal yang sama. Sedangkan dalam lafal yang lainnya disebutkan bahwa lalu turunlah ayat miras, yaitu firman-Nya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah’." (An-Nisa: 176) hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bahwa Abu Zubair (yakni Jabir) mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan diriku, yaitu firman-Nya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang katalah’." (An-Nisa: 176) Seakan-akan makna ayat hanya Allah Yang lebih mengetahui bahwa mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah.
“Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah’." (An-Nisa: 176)
Yakni perihal mewaris secara kalalah. Lafal yang disebutkan ini menunjukkan adanya lafal yang tidak disebutkan. Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan makna lafal kalalah dan akar katanya, bahwa kalalah itu diambil dari pengertian untaian bunga yang dikalungkan di atas kepala sekelilingnya. Karena itulah mayoritas ulama menafsirkannya dengan pengertian orang yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempunyai anak, tidak pula orang tua.
Menurut salinan yang lain, tidak mempunyai anak, tidak pula cucu. Sebagian ulama mengatakan bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak. Seperti yang ditunjukkan oleh pengertian ayat ini, yaitu firman-Nya: “Jika seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak.” (An-Nisa: 176) Sesungguhnya hukum masalah kalalah ini sulit dipecahkan oleh Amirul Muminin Umar ibnul Khattab seperti yang disebutkan di dalam kitab Ash-Shahihain darinya, bahwa ia telah mengatakan: “Ada tiga perkara yang sejak semula aku sangat menginginkan bila Rasulullah ﷺ memberikan keterangan kepada kami tentangnya dengan keterangan yang sangat memuaskan kami, yaitu masalah kakek, masalah kalalah, dan salah satu bab mengenai masalah riba.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ma'dan ibnu Abu Talhah yang menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah mengatakan bahwa ia belum pernah menanyakan kepada Rasulullah ﷺ suatu masalah pun yang lebih banyak dari pertanyaannya tentang masalah kalalah, sehingga Rasulullah ﷺ menotok dada Umar dengan jari telunjuknya seraya bersabda: “Cukuplah bagimu ayat saif (ayat yang diturunkan di musim panas) yang terdapat di akhir surat An-Nisa.”
Demikianlah riwayat Imam Ahmad secara singkat. Imam Muslim mengetengahkannya dengan lafal yang panjang dan lebih banyak daripada riwayat Imam Ahmad.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Malik (yakni Ibnu Magul) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Fadl ibnu Amr, dari Ibrahim, dari Umar yang mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang masalah kalalah.” Maka beliau ﷺ menjawab: "Cukuplah bagimu ayat saif.” Umar mengatakan, "Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang kalalah lebih aku sukai daripada aku mempunyai ternak unta yang merah."
Sanad hadits ini jayyid, hanya di dalamnya terdapat inqitha’' (mata rantai sanad yang terputus) antara Ibrahim dan Umar, karena sesungguhnya Ibrahim tidak menjumpai masa Umar.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ dan menanyakan kepadanya tentang masalah kalalah. Maka Nabi ﷺ menjawab: “Cukuplah bagimu ayat saif.”
Sanad hadits ini jayyid, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi melalui Abu Bakar ibnu Ayyasy dengan lafal yang sama. Seakan-akan yang dimaksud dengan ayat saif ialah ayat yang diturunkan pada musim panas. Mengingat Nabi ﷺ memberikan petunjuk kepadanya untuk memahami ayat tersebut, hal ini berarti di dalam ayat terkandung kecukupan yang nisbi untuk tidak menanyakannya kepada Nabi ﷺ tentang maknanya. Karena itulah maka Khalifah Umar mengatakan, "Sesungguhnya jika aku menanyakan kepada Rasulullah ﷺ tentang masalah kalalah ini, lebih aku sukai daripada aku mempunyai ternak unta yang merah."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Jarir, telah menceritakan kepada kami Asy-Syaibani, dari Amr ibnu Murrah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Umar pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang masalah kalalah. Maka Nabi ﷺ menjawab: “Bukankah Allah telah menjelaskan hal tersebut?” Lalu turunlah firman-Nya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).” (An-Nisa: 176) hingga akhir ayat.
Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq mengatakan di dalam khotbahnya: Ingatlah, sesungguhnya ayat yang diturunkan pada permulaan surat An-Nisa berkenaan dengan masalah faraid (pembagian harta warisan), Allah menurunkannya untuk menjelaskan warisan anak dan orang tua. Ayat yang kedua diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan suami, istri, dan saudara-saudara lelaki seibu. Ayat yang mengakhiri surat An-Nisa diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan saudara-saudara laki-laki dan perempuan yang seibu seayah (sekandung). Dan ayat yang mengakhiri surat Al-Anfal diturunkan berkenaan dengan masalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain yang lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitabullah sesuai dengan ketentuan asabah dari hubungan darah.
Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Pembahasan mengenai makna ayat. Hanya kepada Allah meminta pertolongan dan hanya kepada-Nya bertawakal.
Firman Allah ﷻ: “Jika seorang meninggal dunia.” (An-Nisa: 176)
Yang dimaksud dengan halaka (binasa) ialah meninggal dunia. Dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (Al-Qashash: 88) Maksudnya, segala sesuatu pasti binasa; tiada yang kekal kecuali hanya Allah ﷻ, seperti makna yang terkandung dalam ayat lainnya, yaitu: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 26-27)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan ia tidak mempunyai anak.” (An-Nisa: 176)
Ayat ini dijadikan pegangan oleh orang yang berpendapat bahwa bukan termasuk syarat waris-mewaris secara kalalah ketiadaan orang tua bahkan cukup bagi kalalah ketiadaan anak. Pendapat ini merupakan riwayat dari Umar ibnul Khattab yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang shahih sampai kepada Umar. Akan tetapi, hal yang dapat dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama dan peradilan As-Siddiq (Abu Bakar ) yang mengatakan bahwa kalalah itu adalah orang yang tidak mempunyai anak, tidak pula orang tua (yakni ayah). Pengertian ini diperkuat oleh makna firman selanjutnya yang mengatakan:
“Sedangkan dia mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” (An-Nisa: 176)
Dengan kata lain, seandainya saudara perempuannya itu dibarengi dengan ayah, niscaya ia tidak dapat mewarisi sesuatu pun karena hak warisnya di-mahjub (terhalang) oleh ayah, menurut kesepakatan semua ulama. Hal ini menunjukkan bahwa yang dinamakan waris-mewarisi secara kalalah ialah bagi orang yang tidak mempunyai anak atas dasar nas Al-Qur'an; dan tidak pula mempunyai ayah, juga berdasarkan nas Al-Qur'an, jika direnungkan secara mendalam. Karena saudara perempuan tidak memperoleh bagian seperdua bila ada ayah, bahkan dia tidak dapat mewarisi sama sekali.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abdullah, dari Makhul dan Atiyyah, Hamzah serta Rasyid, dari Zaid ibnu Sabit, bahwa ia pernah ditanya mengenai masalah suami, saudara perempuan seayah dan seibu (sekandung). Maka Zaid ibnu Sabit seperdua dan saudara perempuan seibu dan seayah seperdua. Lalu ia menceritakan hal tersebut, bahwa ia pernah hadir ketika Rasulullah ﷺ memutuskan hal seperti itu.
Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid bila ditinjau dari segi ini.
Ibnu Jarir dan lain-lainnya menukil dari Ibnu Abbas dan Ibnuz Zubair, bahwa keduanya pernah mengatakan sehubungan dengan masalah seorang mayat yang meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang saudara perempuan, bahwa saudara perempuan tidak mendapat apa-apa, karena berdasarkan firman-Nya: “Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” (An-Nisa: 176) Ibnu Jarir mengatakan, "Apabila ia meninggalkan anak perempuan, berarti sama saja dengan meninggalkan anak. Karena itu, saudara perempuan tidak mendapat warisan."
Tetapi jumhur ulama berpendapat berbeda. Mereka mengatakan bahwa dalam masalah ini anak perempuan mendapat seperdua karena bagian yang telah dipastikan untuknya, sedangkan bagi saudara perempuan seperdua lainnya secara ta'sib (yakni 'asabah ma'al ghair), karena berdasarkan ayat lain. Sedangkan makna yang terkandung dalam ayat ini menaskan adanya bagian yang dipastikan bagi saudara perempuan dalam gambaran seperti ini.
Cara mewaris dengan ta'sib, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui jalur Sulaiman, dari Ibrahim ibnul Aswad yang menceritakan bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal pernah memutuskan terhadap kami di masa Rasulullah ﷺ yaitu seperdua bagi anak perempuan dan seperdua lainnya bagi saudara perempuan. Kemudian Sulaiman mengatakan bahwa dia memutuskan hal tersebut terhadap kami tanpa menyebutkan di masa Rasulullah ﷺ. Di dalam kitab Shahih Bukhari juga disebutkan dari Hazil ibnu Syurahbil yang menceritakan bahwa Abu Musa Al-Asy'ari pernah ditanya mengenai masalah anak perempuan, anak perempuan anak laki-laki, dan saudara perempuan. Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Anak perempuan mendapat seperdua harta peninggalan si mayat, dan saudara perempuan mendapat seperdua lainnya." Lalu mereka datang kepada sahabat Ibnu Mas'ud untuk menanyakan masalah itu. tetapi terlebih dahulu diceritakan kepadanya tentang pendapat Abu Musa. Ibnu Mas'ud menjawab, "Kalau demikian, sesungguhnya aku menjadi sesat dan bukan termasuk orang yang mendapat petunjuk. Aku akan memutuskan perkara ini seperti apa yang pernah diputuskan oleh Nabi ﷺ, yaitu: Seperdua bagi anak perempuan, seperenam bagi anak perempuan anak laki-laki untuk menyempurnakan bagian dua pertiga, sedangkan sisanya bagi saudara perempuan." Kami datang kepada Abu Musa dan menceritakan perkataan Ibnu Mas'ud itu kepadanya. Ia menjawab, "Janganlah kalian bertanya kepadaku lagi selagi orang yang alim ini masih ada di antara kalian."
Firman Allah ﷻ: “Dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak.” (An-Nisa: 176)
Yakni saudara laki-laki mewarisi semua harta saudara perempuannya jika saudara perempuannya meninggal dunia secara kalalah dan tidak mempunyai anak. Dengan kata lain, tidak bersama ayah dan tidak bersama anak mayat; karena sesungguhnya jika saudara perempuannya itu mempunyai orang tua (ayah), maka saudara laki-laki tidak dapat mewarisinya barang sedikit pun.
Jika ternyata saudara laki-laki ada bersama orang yang mempunyai bagian yang pasti, maka bagian itu diberikan kepadanya seperti suami atau saudara laki-laki seibu, sedangkan sisanya diberikan kepadanya. Ditetapkan demikian karena berdasarkan sebuah hadits di dalam kitab Shahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Berikanlah bagian-bagian yang pasti itu kepada pemiliknya masing-masing, sedangkan sisa dari bagian-bagian yang pasti itu diberikan kepada lelaki yang lebih berhak menerimanya dari ahli waris (asabah) yang ada.”
Firman Allah ﷻ: “Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (An-Nisa: 176)
Artinya, jika orang yang mati secara kalalah mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagian yang pasti bagi keduanya adalah dua pertiga.
Hukum yang sama berlaku bila bilangan saudara perempuan si mayat lebih dari dua orang. Dari pengertian ini segolongan ulama menarik kesimpulan hukum waris dua anak perempuan, sebagaimana dapat ditarik kesimpulan pula hukum saudara-saudara perempuan dari hak waris anak-anak perempuan, yaitu yang ada dalam firman-Nya: “Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (An-Nisa: 11)
Firman Allah ﷻ: “Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara lelaki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.” (An-Nisa: 176)
Demikianlah hukum asabah dari anak-anak lelaki, cucu laki-laki, dan saudara-saudara lelaki, jika lelaki dari mereka berkumpul dengan perempuannya, yakni bagian lelaki sama dengan bagian dua orang perempuan.
Firman Allah ﷻ: “Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian.” (An-Nisa: 176)
Yakni menetapkan kepada kalian fardu-fardu-Nya, meletakkan untuk kalian batasan-batasan-Nya serta menjelaskan kepada kalian syariat-syariat-Nya.
Firman Allah ﷻ: “Supaya kalian tidak sesat.” (An-Nisa: 176)
Maksudnya, agar kalian tidak sesat dari kebenaran sesudah penjelasan ini.
“Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa: 176)
Yaitu Dia mengetahui semua akibat segala perkara dan kemaslahatannya, serta kebaikan bagi hamba-hamba-Nya yang terkandung di dalam perkara-perkara tersebut, dan apa yang berhak diterima oleh masing-masing dari kaum kerabat sesuai dengan kedekatan nasabnya dengan si mayat.
Abu Ja"far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yaqub, telah menceritakan kepadaku Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa ketika mereka (para sahabat) berada dalam suatu perjalanan, sedangkan kepala kendaraan Huzaifah berada di belakang Rasulullah ﷺ dan kepala kendaraan Umar berada di belakang Huzaifah. Muhammad ibnu Sirin melanjutkan kisahnya, bahwa kemudian turunlah firman-Nya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah’." (An-Nisa: 176) hingga akhir ayat. Maka Rasulullah ﷺ membacakannya kepada Huzaifah, dan Huzaifah membacakannya pula kepada Umar. Sesudah kejadian tersebut Umar bertanya kepada Huzaifah mengenai maknanya. Huzaifah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya engkau ini dungu jika engkau menduga bahwa Nabi ﷺ telah memberitahukan maknanya kepadaku, lalu aku mengajarkannya kepadamu sebagaimana Rasulullah ﷺ mengajarkannya kepadaku. Demi Allah, aku tidak menambahi sesuatu pun padanya untuk selama-lamanya." Muhammad ibnu Sirin melanjutkan kisahnya, bahwa Umar mengatakan, "Ya Allah, jika Engkau telah menjelaskan makna ayat ini kepadanya, maka sesungguhnya makna ayat ini belum dijelaskan kepadaku."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Al-Hasan ibnu Yahya, dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin dengan makna yang sama. Hadits ini munqathi’' antara Ibnu Sirin dan Huzaifah.
Al-Hafidzh Abu Bakar Ahmad ibnu Amr Al-Bazzar mengatakan di dalam kitab musnadnya: Telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Hammad Al-Ma'anni dan Muhammad ibnu Marzuq; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hissan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Ubaidah ibnu Huzaifah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ayat kalalah diturunkan kepada Nabi ﷺ ketika beliau sedang dalam perjalanan.
Nabi ﷺ berhenti, dan tiba-tiba beliau mendapatkan Huzaifah berada di belakang unta kendaraannya sedang menaiki unta kendaraannya; maka Nabi ﷺ membacakan ayat itu kepadanya. Lalu Huzaifah melihat ke belakang. Tiba-tiba ia melihat Umar, maka Huzaifah membacakan ayat itu kepadanya. Ketika sahabat Umar memegang jabatan khalifah, ia memperhatikan masalah kalalah. Maka ia memanggil Huzaifah dan menanyakan tentang makna ayat tersebut. Huzaifah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah mengajarkannya kepadaku, lalu aku mengajarkannya kepadamu, sebagaimana aku menerimanya dari Rasulullah. Demi Allah, aku benar-benar jujur. Demi Allah, aku sama sekali tidak menambahkan sesuatu pun dari hal itu." Kemudian Al-Bazzar mengatakan, "Dalam hadits ini kami tidak mengetahui seorang pun yang meriwayatkannya kecuali Huzaifah, dan kami tidak mengetahui hadits ini mempunyai jalur sampai kepada Huzaifah kecuali jalur ini. Tiada yang meriwayatkannya dari Hisyam, kecuali Abdul A'la."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui hadits Abdul A'la.
Usman ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Asy-Syaibani, dari Amr ibnu Murrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Umar pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai warisan secara kalalah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).” (An-Nisa: 176) hingga akhir ayat. Maka seakan-akan Umar kurang mengerti maknanya, lalu ia berkata kepada Hafsah, "Jika kamu melihat Rasulullah ﷺ sedang dalam keadaan baik-baik saja, tanyakanlah masalah ini kepadanya." Pada suatu waktu Hafsah melihat Rasulullah ﷺ sedang dalam keadaan senang hati, maka ia menanyakan masalah kalalah itu kepadanya. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, "Ayahmu yang menyuruhmu menanyakan masalah ini. Aku berpendapat bahwa ayahmu pasti tidak mengetahuinya." Tersebutlah bahwa Umar selalu mengatakan, "Aku pasti tidak mengetahuinya karena Rasulullah ﷺ telah mengatakannya demikian."
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya, kemudian ia meriwayatkan lagi melalui jalur Ibnu Uyaynah, dari Umar ibnu Tawus, bahwa Umar menyuruh Hafsah menanyakan masalah kalalah kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ mengimlakan kepada Hafsah untuk ditulis pada sebuah tulang paha, lalu Nabi ﷺ bersabda. "Siapakah yang menyuruhmu menanyakannya? Apakah Umar? Aku pasti menduga bahwa dia tidak dapat memahaminya dan dia tidak merasa puas dengan ayat saif." Sufyan berkata: “Yang dimaksud dengan ayat saif ialah yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu firman-Nya: ‘Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak’.” (An-Nisa: 12) Tatkala mereka menanyakan kalalah kepada Rasulullah ﷺ, turunlah ayat yang ada di akhir surat An-Nisa. Maka Umar meletakkan tulang paha tersebut. Demikianlah yang dikatakannya (Umar ibnu Tawus) dalam hadits ini. Dengan demikian, berarti hadits ini mursal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Assam, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa Umar mengambil tulang paha (yang ada catatannya), lalu ia mengumpulkan semua sahabat Rasulullah ﷺ. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku akan memutuskan terhadap perkara kalalah dengan suatu keputusan yang kelak akan menjadi bahan pembicaraan kaum wanita di tempat pingitannya." Ketika itu juga muncul seekor ular dari rumah itu, maka mereka bubar. Umar berkata, "Seandainya Allah ﷻ menghendaki untuk menyempurnakan urusan ini, niscaya Dia menyempurnakannya."
Sanad atsar ini shahih.
Al-Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Uqbah Asy-Syaibani di Kufah, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Talhah ibnu Yazid ibnu Rukanah menceritakan atsar berikut dari Umar ibnul Khatib yang mengatakan, "Sesungguhnya jika aku menanyakan kepada Rasulullah ﷺ tentang tiga perkara, hal ini lebih aku sukai daripada ternak unta yang merah," yang dimaksud ialah menjadi khalifah sesudahnya.Yaitu mengenai masalah suatu kaum yang mengatakan bahwa zakat dikurangi dari harta benda kami, dan kami tidak mau menunaikannya kepadamu, apakah boleh memerangi mereka? Masalah lainnya tentang kalalah"
Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih sanadnya dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Kemudian Imam Hakim meriwayatkan atsar ini dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Umar ibnu Murrah, dari Umar yang mengatakan: “Ada tiga perkara jika Nabi ﷺ berada di antara kami yang lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, yaitu khilafah, kalalah, dan masalah riba.” Kemudian Imam Hakim mengatakan atsar ini shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Masih dalam atsar yang sama sampai kepada Sufyan ibnu Uyaynah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sulaiman Al-Ahwal menceritakan sebuah atsar dari Tawus yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan: “Aku adalah orang yang paling akhir berjumpa dengan Umar, maka aku pernah mendengarnya mengatakan perkataan seperti yang kamu katakan itu.” Aku (Tawus) bertanya, "Apakah yang telah kukatakan?" Sulaiman Al-Ahwal menjawab, "Engkau telah mengatakan bahwa kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak."
Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih dengan syarat keduanya (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur Zam'ah ibnu Saleh, dari Amr ibnu Dinar dan Sulaiman Al-Ahwal, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang paling akhir berjumpa dengan Umar ibnul Khattab. Umar mengatakan bahwa ia pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar mengenai masalah kalalah. Sedangkan pendapat yang dikatakannya adalah seperti pendapatmu. Disebutkan bahwa dalam hal mewaris Umar mempersekutukan antara saudara-saudara lelaki seibu seayah dengan saudara-saudara lelaki seibu dalam sepertiga, bila mereka semuanya berkumpul dalam suatu warisan. Tetapi Abu Bakar berpendapat berbeda.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid Al-Umra, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Khalifah Umar menulis suatu masalah sehubungan dengan masalah kakek dan kalalah ke dalam suatu catatan, lalu ia beristikharah kepada Allah seraya mengatakan, "Ya Allah, jika Engkau mengetahui dalam masalah ini ada kebaikan, maka langsungkanlah." Ketika ia ditusuk, sambil kesakitan menahan lukanya yang parah ia memerintahkan agar catatannya itu diberikan kepadanya, lalu ia menghapus catatannya, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui apa isinya. Lalu ia berkata, "Sesungguhnya aku pernah menulis suatu catatan sehubungan dengan masalah kakek dan kalalah, lalu aku beristikharah kepada Allah mengenainya, akhirnya aku berpendapat membiarkan kalian seperti apa yang kalian jalankan sekarang."
Ibnu Jarir mengatakan, telah diriwayatkan dari Umar bahwa ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku merasa malu bila berselisih pendapat dalam masalah ini dengan Abu Bakar." Tersebutlah bahwa Abu Bakar mengatakan bahwa kalalah itu ialah ahli waris selain anak dan ayah. Pendapat yang dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq ini dijadikan pegangan oleh jumhur sahabat, tabi'in dan para imam sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Pendapat ini merupakan pegangan mazhab yang empat, ahli fiqih yang tujuh orang, dan pendapat para ulama di kota-kota besar. Pendapat inilah yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan dijelaskan melalui firman-Nya: “Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa: 176)
Pada ayat yang lalu Allah berjanji menuntun umat manusia dan menunjukkan kepada mereka jalan yang membawa kepada kebahagiaan, di dunia dan akhirat. Pada ayat ini dipenuhi sebagian dari janji Allah itu, yaitu berupa jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan. Mereka meminta fatwa kepadamu, Nabi Muhammad, tentang kala'lah, yaitu seorang yang mati tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak. Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu tentang kala'lah, yaitu jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya, yakni bagian dari saudara perempuan itu, adalah seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi seluruh harta saudara perempuan, jika saudara perempuan itu mati dan saudara laki-laki itu masih hidup, ketentuan ini berlaku jika dia, saudara perempuan yang mati itu, tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan yang mewarisi itu berjumlah dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka, ahli waris itu, terdiri atas saudarasaudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Demikian Allah menerangkan hukum tentang pembagian waris kepadamu, agar kamu tidak sesat, dalam menetapkan pembagian itu. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang membawa kebaikan bagimu dan yang menjerumuskan kamu ke dalam kesesatan, maka taatilah segala perintah-Nya dan jauhilah segala larangan-NyaSurah ini diawali dengan perintah kepada setiap orang yang beriman agar memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia. Wahai orang-orang yang beriman!
Penuhilah janji-janji, yaitu janji-janji antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan dirinya sendiri, selama janji-janji itu tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Di antara janji Allah itu ialah hukum-hukum-Nya yang ditetapkan kepadamu, yaitu bahwasanya hewan ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dihalalkan bagimu sesudah disembelih secara sah, kecuali yang akan disebutkan kepadamu haramnya, yaitu yang disebut pada ayat ketiga dari surat ini, dan juga dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram haji atau umrah. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum halal dan haram sesuai dengan yang Dia kehendaki, menurut ilmuNya dan hikmah-Nya.
Pada akhir ayat 12 surah ini, ada pula hukum waris kalalah, maka al-Khattabi berkata tentang kedua ayat kalalah ini: Allah telah menurunkan dua ayat kalalah pada permulaan Surah an-Nisa' namun ayat itu masih bersifat umum dan belum jelas, kalau dilihat dari bunyi ayat itu saja, maka Allah menurunkan lagi ayat kalalah di musim panas yaitu ayat terakhir dari Surah an-Nisa'.
Pada ayat ini terdapat tambahan keterangan mengenai apa yang belum dijelaskan pada ayat pertama, karena itu ketika Umar bin al-Khattab ditanya tentang ayat kalalah yang turun pertama kali, ia menyuruh penanya itu untuk memperhatikan ayat kalalah kedua.
Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ supaya menjawab pertanyaan yang dikemukakan orang kepadanya mengenai pusaka kalalah, seperti halnya Jabir bin Abdullah yang tidak lagi mempunyai bapak dan anak, sedang dia mempunyai saudara-saudara perempuan yang bukan saudara seibu. Karena saudara perempuan yang bukan seibu belum ada ditetapkan untuk mereka bagian tertentu dalam harta pusaka, sedang saudara seibu ditetapkan bagiannya yaitu seperenam jika saudara perempuan itu seorang saja, sepertiga bila lebih dari seorang. Pusaka yang sepertiga itu dibagi rata antara saudara-saudara perempuan seibu, berapa pun banyaknya mereka, karena pusaka itu adalah pusaka yang menjadi hak ibu mereka kalau ibunya masih hidup.
Jawaban yang diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya tentang masalah ini ialah bahwa bila seseorang meninggal, sedang ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja maka saudara perempuan itu mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkannya, jika saudara itu seorang saja.
Bila saudara perempuannya itu mati lebih dahulu, dan tidak pula mempunyai bapak yang menghijab (menghalanginya) dia berhak mewarisi harta yang ditinggalkannya. Dia berhak mewarisi seluruh harta peninggalan saudara perempuannya bila tidak ada orang yang berhak atas pusaka itu yang telah ditentukan bagiannya (ashabul furudh). Tetapi bila ada orang yang berhak yang telah ditentukan bagiannya seperti suami, maka diberikan lebih dahulu hak suami itu dan selebihnya menjadi haknya sepenuhnya. Kalau saudara perempuan itu ada berdua, maka kedua saudaranya itu mendapat dua pertiga. Dan bila saudara-saudaranya yang perempuan itu lebih dari dua orang, maka yang dua pertiga itu dibagi rata (sama banyak) antara saudara-saudara itu. Kalau yang ditinggalkannya itu terdiri dari saudara-saudara (seibu sebapak atau sebapak saja) terdiri saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka harta pusaka yang ditinggalkan itu dibagi antara mereka dengan ketentuan bahwa bagian yang laki-laki dua kali bagian yang perempuan, kecuali bila yang ditinggalkannya itu saudara-saudara seibu, maka saudara-saudara seibu mendapat seperenam saja, karena hak itu pada asalnya adalah hak ibu mereka. Kalau tidak karena itu, tentulah mereka tidak berhak sama sekali karena bukan ahli-ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta pusaka.
Demikianlah yang ditetapkan Allah mengenai pusaka kalalah, maka wajiblah kaum Muslimin melaksanakan ketetapan-ketetapan itu dengan seksama, agar mereka jangan tersesat dan jangan melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Hukum-hukum yang ditetapkan Allah itu adalah untuk kebaikan hamba-Nya, dan ilmu-Nya amat luas meliputi segala sesuatu di dalam alam ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Kadang-kadang kita dibawa membubung tinggi kepada puncak cita-cita, supaya jelas ke mana jalan yang kita tuju. Maka diterangkan di ayat yang sebelum ini Muhammad sebagai burhan, keterangan yang hidup dari Allah untuk menuntun manusia, dan diterangkan pula bahwa Al-Qur'an adalah cahaya yang akan menyinari jalan itu, sehingga ash-shirathal mustaqim-lah yang bertemu, bukan jalan yang buntu ujung. Tetapi di dalam menunjukkan cita-cita yang tinggi itu, manusia akan bertemu dengan kejadian sehari-hari yang segera wajib diselesaikan. Di antara banyak hal sehari-hari itu ialah urusanfaraidh atau peninggalan harta pusaka orangyang mati; penambah keterangan yang belum begitu jelas dipahamkan, atau ada lagi kejadian lain, sesudah ayat-ayat faraidh yang dahulu turun.
Ayat 176
“Mereka meminta fatwa kepada engkau."
Ada beberapa riwayat tentang sebab turunnya fatwa Allah tentang harta waris bagi orang yang mati dalam keadaan kalalah ini. Menurut sebuah hadits riwayat Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan keempat penyusun as-Sunnah dan lain-lain lagi, asal mula turun ayat waris berasal dari kalalah yang kedua ini ialah ketika Jabir bin Abdullah sedang sakit, dia diziarahi oleh Rasulullah ﷺ. Ketika itu sakit jabir sedang amat keras sehingga dia tidak sadarkan dirinya lagi. Rasulullah ﷺ yang datang berziarah itu langsung mengambil wudhu, kemudian dipercikkannya air ke muka Jabir sehingga sadarlah dia akan dirinya. Waktu Jabir sadar, bertanyalah dia kepada Rasulullah ﷺ, “Tidak ada yang mewarisku kecuali kalalah, bagaimana cara pembagian warisnya?' Lalu turunlah ayat faraidh ini.
Hadits yang lain dari an-Nasa'i dan al-Baihaqi, dan Ibnu Sa'ad, dari Jabir juga, menegaskan pula bahwa Jabir bertanya, “Bolehkah aku mewariskan untuk saudara-saudaraku sepertiga?" Nabi menjawab, “Amat baik!" Kemudian tanya Jabir lagi, “Bagaimana kalau separuh?" Nabi jawab, “Amat baik!" Kemudian Rasulullah ﷺ pun keluar, kemudian dia masuk kembali dan berkata, “Pada penglihatanku engkau belum akan mati karena sakitmu yang ini. Allah telah menurunkan firman-Nya bahwa saudara-saudaramu itu mendapat dua pertiga." Inilah kata riwayat lain yang menjadi sebab turunnya ayat ini."
Berkata al-Khathaby, “Allah menurunkan ayat kalalah ini dua buah. Yang satunya diturunkan di musim dingin, yaitu ayat yang tersebut di permulaan surah an-Nisaa'. Di sana masih ijmal dan ibham, belum jelas benar maknanya menurut zahirnya. Kemudian itu turun ayat yang sebuah lagi, pada musim panas, yang tertera di akhir surah an-Nisaa'. Di sana diberi tambahan keterangan yang belum begitu jelas pada ayat yang terdahulu yang disebut ayat musim dingin tadi."
Tentang kalalah, menurut riwayat Abd bin Humaid, dan Abu Dawud dan al-Baihaqi, dari Abu Salamah, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan anak dan tidak pula bapak, maka pewarisnya itu adalah kalalah."
Lanjutan ayat, “Katakanlah, ‘Allah akan memberi fatwa kepada kamu dari hal kalalah."‘ Mereka telah meminta fatwa kepada engkau hai Rasul, tentang kalalah, yaitu seorang yang sebagaimana Jabir bin Abdullah itu, kalau dia mati, dia tidak beranak dan ayahnya pun sudah tidak ada lagi, sebab mati terlebih dahulu dari dia. Tetapi dia ada mempunyai beberapa orang saudara, padahal di dalam keterangan-keterangan yang sudah tentang faraidh belum ada tersebut bahwa saudara-saudara itu mendapat bagian. Yang tersebut barulah saudara seibu saja, kalau saudara seibu seorang dapatlah seperenam.
Kalau lebih dari seorang dapatlah dia sepertiga, lalu dibagi-bagi. Itu yang tersebut dalam ayat kalalah yang dahulu, yakni ayat musim dingin. Sekarang bagaimana tentang saudara yang bukan seibu hanya sebapak? Maka datanglah fatwa Allah sebagai jawaban pertanyaan itu, “Jika seseorang meninggal, tidak ada baginya anak, padahal baginya ada seorang saudara perempuan, maka untuk dia separuh dari apa yang dia tinggalkan itu."
Inilah fatwa bagian pertama dari ayat kalalah musim panas. Si mati tidak ada meninggalkan anak, yang ada hanya seorang saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja. Maka saudara perempuan itu mendapat separuh dari harta peninggalannya.
Di sini hanya disebut tidak meninggalkan anak, tidak tersebut tidak meninggalkan bapak! Sebab meskipun tidak disebut, sudah terang arti kalalah, ialah bapaknya sudah meninggal lebih dahulu. Apatah lagi kebanyakan harta si mati yang akan dibagi itu pun, adalah warisan dari ayahnya yang telah mati terlebih dahulu. Dan sudah nyata bahwa kalau ayah ada niscaya saudara-saudara terdinding.
Dalam ilmu faraidh, kalalah ini menarik hati kita perbahasan. Ulama mengurai dan mengijtihad pemecahan dari ayat-ayat faraidh itu. Ulama bermacam pendapat tentang anak di sini. Sebab dikatakan tidak meninggalkan anak; apakah termasuk juga anak perempuan atau anak laki-laki saja? Yang menjadi sebab pertikaian pendapat ialah karena saudara perempuan sama sekali tidak mendapat pusaka kalau ada anak laki-laki, tetapi kalau ada anak perempuan saudara perempuan mendapat. Ulama yang berkata bahwa perkataan anak itu meliputi anak laki-laki dan anak perempuan, tidak melihat jalan bahwa saudara perempuan mendapat pembagian beserta dengan adanya anak perempuan akan jadi penghalang dari syarat tidak adanya anak perempuan; karena dia telah mati mendapat pembagian separuh. Karena kemestian separuh untuk dia itu disyaratkan dengan tidak adanya anak perempuan. Karena kalau anak perempuan ada, maka dialah ‘ashabah yang mewarisi segala yang sisa dari segala pembagian yang diterima oleh yang berhak menerima.
Tetapi kalau tidak ada waris yang lain, melainkan seorang anak perempuan dari seorang saudara perempuan, maka yang separuh untuk anak perempuan sebagai pembagian yang sudah tentu. Adapun yang selebihnya—tegasnya yang separuh lagi—untuk saudara perempuan sebagai ‘ashabah, bukan sebagai ketentuan.
Karena kalau beserta anak perempuan ada pula istri, si istri mendapat ketentuan seperdelapan, maka yang selebihnya adalah untuk saudara perempuan, yang sudah kurang dari separuh. Dan kalau dia mendapat ketentuan separuh, dan ada pula seorang anak perempuan dan ada pula istri, maka masalah menjadi di-'au/-kan, dan kekurangan pembagian dihubungkanlah kepada yang berhak menerima, sehingga yang didapat oleh seorang saudara perempuan tidak kurang dari yang diterima oleh seorang anak perempuan. Lantaran itu dapatlah disimpulkan bahwasanya kata ayat “tidak meninggalkan anak," meliputi akan anak laki-laki dan anak perempuan sekali.
“Dan dialah," yaitu si saudara laki-laki, “yang mewarisinya,"yaitu mewarisi saudara perempuan itu, jika ditakdirkan saudara perempuan itu yang mati terlebih dahulu, tentu saja dalam keadaan kalalah pula (bapak sudah mati terlebih dahulu) “Jika dia itu tidak beranak."
Tegasnya, ada dua orang bersaudara, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ayah mereka telah mati terlebih dahulu, tiba-tiba mati saudara yang perempuan itu, sedang dia tidak meninggalkan anak. Maka saudara-laki-laki itulah yang mewarisi seluruh harta perempuan yang mati itu. Berbeda dengan saudara laki-laki yang mati tidak meninggalkan anak, sebagaimana tersebut di pangkal ayat, maka saudara perempuannya itu mendapat se-paruh. “Maka jika adalah mereka itu berdua," yaitu saudara perempuan itu berdua, sedang yang mati ialah saudara laki-laki, “Maka untuk keduanya itu dua pertiga dari apa yang dia tinggalkan." Kalau seorang dapat separuh, kalau berdua dapat dua pertiga; bahkan kalau mereka lebih dari berdua pun mendapat dua pertiga itu, sebagaimana saudara-saudara Jabir bin Abdullah itu, menurut setengah riwayat mereka ada bertujuh, tetapi ada lagi riwayat, mereka adalah sembilan.
Yang selebihnya, tegasnya yang sepertiga lagi, diserahkan kepada ‘ashabah, kalau tidak didapati waris yang ada ketentuan menerima, sebagaimana istri. “Dan jika adalah mereka itu bersaudara-saudara ada laki-laki dan ada perempuan-perempuan, maka untuk yang laki-laki adalah seumpama bagian dua orang perempuan." Kecuali saudara yang hanya seibu, sebab mereka sudah mendapat seperenam, sebagaimana yang telah ditentukan pada ayat kalalah yang pertama di pangkal surah; sebab yang seperenam yang mereka terima itu adalah menggantikan pembagian dari ibu mereka yang sudah meninggal lebih dahulu. Kalau bukan begitu, niscaya mereka tidak mendapat, sebab mereka bukan ‘ashabah si mati. (Keterangan yang lebih terperinci dan pertikaian sedikit-sedikit di antara ulama-ulama fiqih lebih baik dibaca pada kitab-kitab faraidh yang khas; sebagaimana yang telah dikarang oleh Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah dan Syekh Ahmad Hassan Bangil dan di Malaysia oleh Almarhum Syekh Thaher Jalaluddin, dan kitab-kitab yang lain)
“Allah menyatakan kepada kamu, supaya kamu tidak tersesat." Maka segala pernyataan yang diberikan Allah; berkenaan dengan hukum-hukum terutama hukum faraidh yang tersebut ini ialah supaya kita jangan tersesat, dan khusus dalam faraidh supaya jangan teraniaya orang yang telah ditentukan mesti mendapat pembagian. Apatah lagi keterangan pada ayat kalalah di awal surah. Sedangkan yang di awal surah itu barulah lebih jelas bagi kita, bahwa saudara yang menjadi waris di situ yang dimaksud ialah saudara yang seibu saja, setelah membaca keterangan dari sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ, terutama dari hadits Sa'ad bin Abu Waqqash; sedang ayat yang ini, yang disebut ayat musim panas, sebab diturunkannya di musim panas (shaif) ialah mengenai saudara yang seibu dan sebapak, “Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mengetahui."
Dan inilah yang dituju sejak dari permulaan surah an-Nisaa' sampai ke akhirnya sekali, kepada ayat ini, yang menjadi penutup kepada surah yang banyak membicarakan hak, kewajiban dan nasib dari kaum perempuan itu adanya.