Ayat
Terjemahan Per Kata
صِرَٰطَ
jalan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أَنۡعَمۡتَ
diberi nikmat
عَلَيۡهِمۡ
kepadanya
غَيۡرِ
bukan
ٱلۡمَغۡضُوبِ
orang yang dimurkai
عَلَيۡهِمۡ
kepadanya
وَلَا
dan tidak
ٱلضَّآلِّينَ
orang-orang yang sesat
صِرَٰطَ
jalan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أَنۡعَمۡتَ
diberi nikmat
عَلَيۡهِمۡ
kepadanya
غَيۡرِ
bukan
ٱلۡمَغۡضُوبِ
orang yang dimurkai
عَلَيۡهِمۡ
kepadanya
وَلَا
dan tidak
ٱلضَّآلِّينَ
orang-orang yang sesat
Terjemahan
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.
Tafsir
(Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka), yaitu melalui petunjuk dan hidayah-Mu. Kemudian diperjelas lagi maknanya oleh ayat berikut: (Bukan (jalan) mereka yang dimurkai) Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. (Dan bukan pula) dan selain (mereka yang sesat.) Yang dimaksud adalah orang-orang Kristen. Faedah adanya penjelasan tersebut tadi mempunyai pengertian bahwa orang-orang yang mendapat hidayah itu bukanlah orang-orang Yahudi dan bukan pula orang-orang Kristen. Hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui dan hanya kepada-Nyalah dikembalikan segala sesuatu. Semoga selawat dan salam-Nya dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ beserta keluarga dan para sahabatnya, selawat dan salam yang banyak untuk selamanya. Cukuplah bagi kita Allah sebagai penolong dan Dialah sebaik-baik penolong. Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan hanya berkat pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Tafsir Surat Al-Fatihah: 7
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.
Dalam hadits yang lalu disebutkan bahwa apabila seorang hamba mengucapkan,"Tunjukilah kami ke jalan yang lurus" sampai akhir surat maka Allah ﷻ berfirman: “Ini untuk Hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.” Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” (Al-Fatihah: 7) berfungsi menafsirkan makna shirathal mustaqim. Menurut kalangan ahli nahwu menjadi badal dan boleh dianggap sebagai 'athaf bayan.
Orang-orang yang memperoleh anugerah nikmat dari Allah ﷻ adalah mereka yang disebutkan di dalam surat An-Nisa melalui firman-Nya: ”Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui” (An-Nisa: 69-70).
Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna firman Allah ﷻ : "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7) adalah orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka berupa ketaatan kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu; mereka adalah para malaikat-Mu, para nabi-Mu, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: “Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, hingga akhir ayat” (An-Nisa: 69).
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya, "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7). Makna yang dimaksud adalah para Nabi.
Ibnu Juraij meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan ‘mereka’ adalah orang-orang beriman; hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid. Sedangkan menurut Waki', mereka adalah orang-orang muslim. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, mereka adalah Nabi ﷺ dan orang-orang yang mengikutinya. Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tadi mempunyai pengertian yang lebih menyeluruh dan lebih luas.
“Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat” (Al-Fatihah: 7). Menurut jumhur ulama, lafal ghairi dibaca jar berkedudukan sebagai na'at (sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan dibaca ghaira secara nasab karena dianggap sebagai hal (keterangan keadaan); ini merupakan bacaan Rasulullah ﷺ dan Khalifah Umar ibnul Khattab. Qiraah ini diriwayatkan oleh Ibnu Katsir. Sedangkan yang berfungsi sebagai zul hal adalah damir yang ada pada lafal 'alaihim, dan sebagai 'amil adalah lafal an'amta.
Makna ayat ‘tunjukilah kami ke jalan yang lurus’ adalah jalan orang-orang yang telah Engkau berikan anugerah nikmat kepada mereka yang telah disebutkan sifat dan ciri khasnya. Mereka adalah ahli hidayah, istiqamah, dan taat kepada Allah serta Rasul-Nya, dengan cara mengerjakan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Bukan jalan orang-orang yang dimurkai. Mereka adalah orang-orang yang telah rusak keinginannya; mereka mengetahui kebenaran, tetapi tetap menyimpang darinya. Bukan pula jalan orang yang sesat; mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama, akhirnya mereka bergelimang dalam kesesatan, tanpa mendapatkan hidayah ke jalan yang benar. Pembicaraan dalam ayat ini dikuatkan dengan huruf la untuk menunjukkan bahwa ada dua jalan yang kedua-duanya rusak, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Sebagian ulama nahwu ada yang menduga bahwa kata ghairi dalam ayat ini bermakna istisna (pengecualian). Berdasarkan takwil ini berarti istisna bersifat munqati', mengingat mereka dikecualikan dari orang-orang yang beroleh nikmat. Dan mereka bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beroleh nikmat. Akan tetapi, apa yang telah kami kemukakan di atas adalah pendapat yang lebih baik karena berdasarkan kepada perkataan seorang penyair, yaitu: “Seakan-akan engkau merupakan salah satu dari unta Bani Aqyasy yang mengeluarkan suara dari kedua kakinya di saat melakukan penyerangan”. Makna yang dimaksud ialah seakan-akan kamu mirip dengan salah seekor unta dari ternak unta milik Bani Aqyasy. Dalam kalimat ini mausuf dibuang karena cukup dimengerti dengan menyebutkan sifatnya. Demikian pula dalam kalimat ghairil magdhubi 'alaihim, makna yang dimaksud adalah ghairi shirathil maghdhubi 'alaihim (bukan pula jalan orang-orang yang dimurkai). Dalam kalimat ini cukup hanya dengan menyebut mudhaf ilaih-nya saja, tanpa mudhaf lagi; pengertian ini telah ditunjukkan melalui konteks kalimat sebelumnya, yaitu firman-Nya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” (Al-Fatihah: 6-7).
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Bukan (jalan) mereka yang dimurkai” (Al-Fatihah: 7). Di antara mereka ada yang menduga bahwa huruf la dalam firman-Nya, "Waladh dhallina," adalah la zaidah (tambahan). Bentuk kalam selengkapnya menurut hipotesis mereka adalah seperti berikut: "Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan orang-orang yang sesat." Mereka mengatakan demikian berdalilkan perkataan Al-Ajjaj (salah seorang penyair), yaitu: “Dalam sebuah telaga bukan telaga yang kering dia berjalan, sedangkan dia tidak merasakannya.” Makna yang dimaksud ialah bi-ri haurin. Akan tetapi, makna yang shahih adalah seperti yang telah kami sebutkan di atas. Karena itu, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Fadhail Al-Qur'an meriwayatkan sebuah atsar Abu Mu'awiyah, dari A'masy dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Umar ibnul Khattab di mana disebutkan bahwa Umar pernah membaca ghairil magdhubi 'alaihim wa ghairidh dhallina. Sanad atsar ini berpredikat shahih.
Demikian pula telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membacanya demikian, tetapi dapat diinterpretasikan bahwa bacaan tersebut dilakukan oleh keduanya (Umar dan Ubay) dengan maksud menafsirkannya. Dengan demikian, bacaan ini memperkuat apa yang telah kami katakan yaitu bahwa sesungguhnya huruf la didatangkan hanya untuk menguatkan makna nafi agar tidak ada dugaan yang menyangka bahwa lafal ini di-’athaf-kan kepada alladzina an'amta 'alaihim; juga untuk membedakan kedua jalan tersebut dengan maksud agar masing-masing terpisah jauh satu sama lain.
Karena sesungguhnya jalan yang ditempuh oleh ahli iman mengandung ilmu yang benar dan juga pengamalannya. Sedangkan orang-orang Yahudi telah kehilangan pengamalannya, dan orang-orang Nasrani telah kehilangan ilmunya. Karena itu dikatakan murka menimpa orang-orang Yahudi dan kesesatan menimpa orang-orang Nasrani. Orang yang mengetahui suatu ilmu lalu ia meninggalkannya, yakni tidak mengamalkannya, berarti ia berhak mendapat murka; lain halnya dengan orang yang tidak mempunyai ilmu.
Orang-orang Nasrani di saat mereka mengarah ke suatu tujuan tetapi mereka tidak mendapat petunjuk menuju ke jalannya, mengingat mereka mendatangi sesuatu bukan dari pintunya, yakni tidak mengikuti kebenaran, akhirnya sesatlah mereka. Orang-orang Yahudi dan Nasrani sesat lagi dimurkai. Hanya, yang dikhususkan mendapat murka adalah orang-orang Yahudi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah ﷻ : “yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah” (Al-Maidah: 60). Yang dikhususkan mendapat predikat sesat adalah orang-orang Nasrani, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “mereka telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus” (Al-Maidah: 77). Hal yang sama disebutkan pula oleh banyak hadits dan atsar.
Pengertian ini tampak jelas dan gamblang dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad. Dia mengatakan; telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa dia mendengar Sammak ibnu Harb menceritakan hadits berikut, bahwa dia mendengar Abbad ibnu Hubaisy menceritakannya dari Adiyy ibnu Hatim. Adiyy ibnu Hatim mengatakan, "Pasukan berkuda Rasulullah ﷺ tiba, lalu mereka mengambil bibiku dan sejumlah orang dari kaumku. Ketika pasukan membawa mereka ke hadapan Rasulullahﷺ , mereka berbaris ber-saf di hadapannya, dan berkatalah bibiku, 'Wahai Rasulullah, pemimpin kami telah jatuh. Dan aku tak beranak lagi, sedangkan aku adalah seorang wanita yang telah lanjut usia, tiada suatu pelayanan pun yang dapat kuberikan. Maka bebaskanlah diriku, semoga Allah membalasmu.' Rasulullah ﷺ bertanya, 'Siapakah pemimpinmu?' Bibiku menjawab, 'Adiyy ibnu Hatim.' Rasulullah ﷺ menjawab, 'Dia orang yang membangkang terhadap Allah dan Rasul-Nya,' lalu beliau membebaskan bibiku. Ketika Rasulullah ﷺ kembali bersama seorang lelaki di sampingnya lalu lelaki itu berkata (kepada bibiku), 'Mintalah unta kendaraan kepadanya,' lalu aku meminta unta kendaraan kepadanya dan ternyata aku diberi." Adiyy ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Setelah itu bibiku datang kepadaku dan berkata, 'Sesungguhnya aku diperlakukan dengan suatu perlakuan yang tidak pernah dilakukan oleh ayahmu. Sesungguhnya beliau kedatangan seseorang, lalu orang itu memperoleh darinya apa yang dimintanya; dan datang lagi kepadanya orang lain, maka orang itu pun memperoleh darinya apa yang dimintanya'." Adiyy ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Maka aku datang kepada beliau Rasulullah ﷺ, ternyata di sisi beliau terdapat seorang wanita dan banyak anak, lalu disebutkan bahwa mereka adalah kaum kerabat Nabi ﷺ. Maka aku kini mengetahui bahwa Nabi ﷺ bukanlah seorang raja seperti kaisar, bukan pula seperti Kisra. Kemudian beliau Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku, "Wahai Addi, apakah yang mendorongmu hingga kamu membangkang tidak mau mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan selain Allah'? Apakah ada Tuhan selain Allah? Apakah yang mendorongmu membangkang tidak mau mengucapkan, 'Allahu Akbar'? Apakah ada sesuatu yang lebih besar daripada Allah ﷻ?" Adiyy ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Maka aku masuk Islam. Dan kulihat wajah beliau tampak berseri-seri, lalu beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai itu adalah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang Nasrani’."
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam At-Tirmidzi melalui hadits Sammak ibnu Harb, dan ia menilainya hasan gharib. Ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali dari Sammak ibnu Harb." Menurut kami, hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Salamah melalui Sammak, dari Murri ibnu Qatri, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai firman-Nya, “Bukan jalan orang-orang yang dimurkai," lalu beliau menjawab, "Mereka adalah orang-orang Yahudi"; dan tentang firman-Nya, “Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat" beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sufyan ibnu Uyaynah ibnu Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi, dari ‘Adiyy ibnu Hatim dengan lafal yang sama. Hadits Addi ini diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad dan mempunyai banyak lafal (teks), bila dibahas cukup panjang.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Badil Al-Uqaili; telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Syaqiq, bahwa dia mendapat berita dari orang yang mendengar Rasulullah ﷺ bersabda ketika beliau berada di Wadil Qura seraya menaiki kudanya, lalu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Qain bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?" Lalu beliau ﷺ bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang dimurkai, seraya menunjukkan isyaratnya kepada orang-orang Yahudi; dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani." Al-Jariri, Urwah, dan Khalid meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Syaqiq, tetapi mereka memursalkannya dan tidak menyebutkan orang yang mendengar dari Nabi ﷺ. Di dalam riwayat Urwah disebut nama Abdullah ibnu Amr.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui hadits Ibrahim ibnu Thahman, dari Badil ibnu Maisarah, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Abu Dzar yang menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang makna al-maghdubi 'alaihim. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Aku bertanya lagi, "(Siapakah) orang-orang yang sesat?" Beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani."
As-Suddi meriwayatkan dari Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dan dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud serta dari segolongan orang dari kalangan sahabat Nabi ﷺ. Disebutkan bahwa orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.
Dahhak dan Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, sedangkan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lainnya yang tidak hanya seorang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, dia belum pernah mengetahui di kalangan ulama tafsir ada perbedaan pendapat mengenai makna ayat ini. Bukti yang menjadi pegangan pada imam tersebut dalam masalah ‘orang-orang Yahudi adalah mereka yang dimurkai, dan orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat’ adalah hadits yang telah lalu dan firman Allah ﷻ yang mengisahkan tentang kaum Bani Israil dalam surat Al-Baqarah, yaitu: “Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan mengingkari apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu, mereka mendapat murka lagi sesudah (mendapat) murka. Dan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan” (Al-Baqarah: 90). Di dalam surat Al-Maidah Allah ﷻ berfirman: “Katakanlah (Muhammad), apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya (daripada orang-orang fasik itu) di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka yang dijadikan kera dan babi, dan menyembah thagut? Mereka ini lebih buruk tempatnya dan tersesat dari jalan yang lurus” (Al-Maidah: 60). “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam. Itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka kerjakan” (Al-Maidah: 78-79).
Di dalam kitab Sirah (sejarah) disebutkan oleh Zaid ibnu Amr ibnu Nufail, ketika dia bersama segolongan teman-temannya berangkat menuju negeri Syam dalam rangka mencari agama yang hanif (agama Nabi Ibrahim AS). Setelah mereka sampai di negeri Syam, orang-orang Yahudi berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak akan mampu masuk agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah." Maka Amr menjawab, "Aku justru sedang mencari jalan agar terhindar dari murka Allah." Orang-orang Nasrani berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak akan mampu masuk agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah." Maka Amr ibnu Nufail menjawab, "Aku tidak mampu." Amr ibnu Nufail tetap pada fitrahnya dan menjauhi penyembahan kepada berhala dan menjauhi agama kaum musyrik, tidak mau masuk, baik ke dalam agama Yahudi maupun agama Nasrani. Sedangkan teman-temannya masuk agama Nasrani karena mereka menganggap agama Nasrani lebih dekat kepada agama hanif daripada agama Yahudi pada saat itu. Di antara mereka adalah Waraqah ibnu Naufal, hingga dia mendapat petunjuk dari Allah melalui Nabi-Nya, yaitu di saat Allah mengutusnya dan dia beriman kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya. Semoga Allah melimpahkan ridha kepadanya.
Menurut pendapat yang shahih di kalangan para ulama, dimaafkan melakukan suatu kekurangan karena mengucapkan huruf antara dhad dan dzha, mengingat makhraj keduanya berdekatan. Itu karena dhad makhrajnya mulai dari bagian pinggir lidah dan daerah sekitarnya dari gigi geraham, sedangkan makhraj dzha dimulai dari ujung lidah dan pangkal gusi gigi seri bagian atas. Juga mengingat kedua huruf tersebut termasuk huruf majhurah, huruf rakhawah, dan huruf muthbaqah. Karena itu, dimaafkan bila menggunakan salah satunya sebagai ganti dari yang lain bagi orang yang tidak dapat membedakan di antara keduanya. Adapun hadits yang mengatakan: "Aku adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan huruf dhad", maka hadits ini tidak ada asalnya.
Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, berupa keimanan, hidayah, dan rida-Mu. Mereka itu, seperti dijelaskan dalam Surah an-Nisa' /4: 69, adalah: 1) para nabi yang telah dipilih Allah untuk memperoleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi; 2) siddiqin, yaitu orang-orang yang selalu benar dan jujur, tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran; 3) syuhada', yaitu mereka yang bersaksi atas kebenaran dan kebajikan, melalui ucapan dan tindakan mereka, walau harus mengorbankan nyawa sekalipun, atau mereka yang disaksikan kebenaran dan kebajikannya oleh Allah, para malaikat, dan lingkungan mereka; dan 4) salihin, yaitu orang-orang saleh yang tangguh dalam kebajikan dan selalu berusaha mewujudkannya. Jalan yang kami mohon itu bukan jalan mereka yang dimurkai, yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mengikuti dan mengamalkannya, bahkan menentangnya, seperti sebagian kelompok Yahudi dan yang mengikuti jalan mereka, dan bukan pula jalan mereka yang sesat dari jalan kebenaran dan kebaikan, seperti sebagian kelompok Nasrani dan yang sejalan dengan mereka, sebab mereka enggan beriman dan mengikuti petunjuk-Mu.
Setelah Allah ﷻ mengajarkan kepada hamba-Nya untuk memohon agar selalu dibimbing-Nya menuju jalan yang lurus dan benar, pada ayat ini Allah menerangkan apa jalan yang lurus itu. Sebelum Al-Qur’an diturunkan, Allah telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya yang lain, dan sebelum Nabi Muhammad diutus, Allah telah mengutus rasul-rasul, karena sebelum umat yang sekarang ini telah banyak umat terdahulu.
Di antara umat-umat yang terdahulu itu terdapat nabi-nabi, ṣiddīqīn yang membenarkan rasul-rasul dengan jujur dan patuh, syuhadā’ yang telah mengorbankan jiwa dan harta untuk kemuliaan agama Allah, dan orang-orang saleh yang telah membuat kebajikan dan menjauhi larangan Allah.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, dan kita diajari agar memohon kepada-Nya, agar diberi-Nya taufik dan bimbingan sebagaimana Dia telah memberi taufik dan membimbing mereka. Artinya sebagaimana mereka telah berbahagia dalam aqā’id, dalam menjalankan hukum-hukum dan peraturan-peraturan agama, serta telah mempunyai akhlak dan budi pekerti yang mulia, maka demikian pula kita hendaknya. Dengan perkataan lain, Allah menyuruh kita agar mengambil contoh dan teladan kepada mereka yang terdahulu.
Timbul pertanyaan: mengapa Allah menyuruh kita mengikuti jalan mereka yang terdahulu itu, padahal dalam agama kita ada pelajaran-pelajaran, hukum dan petunjuk-petunjuk yang tak ada pada mereka. Jawabnya: sebetulnya agama Allah itu adalah satu. Kendatipun ada perbedaannya, tetapi perbedaan itu pada bagian-bagiannya, sedang pokok-pokoknya serupa, sebagaimana telah disebutkan.
Sebagaimana halnya dalam umat-umat yang terdahulu itu terdapat orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, juga terdapat di antara mereka orang yang dimurkai Allah dan orang yang sesat. Orang yang dimurkai Allah itu mereka yang tak mau menerima seruan Allah yang disampaikan oleh rasul-rasul, karena berlainan dengan kebiasaan mereka, atau karena tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, kendatipun telah jelas bahwa yang dibawa oleh rasul-rasul itu adalah benar. Termasuk juga ke dalam golongan ini, mereka yang mulanya telah menerima apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, tetapi kemudian karena suatu sebab mereka membelok, dan membelakangi pelajaran yang dibawa oleh rasul-rasul itu.
Di dalam sejarah banyak ditemukan orang yang dimurkai Allah, sejak di dunia mereka telah diazab Allah, sebagai balasan yang setimpal bagi keingkaran dan sifat angkara murka mereka. Umpamanya kaum ‘Ād dan Ṡamud yang telah dibinasakan oleh Allah. Sampai sekarang masih ada bekas-bekas peninggalan mereka di Jazirah (semenanjung) Arab. Begitu juga Fir‘aun dan kaumnya yang telah dibinasakan Allah di Laut Merah. Mumi Fir‘aun sampai sekarang masih tersimpan di museum di Mesir.
Orang-orang yang sesat ialah mereka yang tidak betul kepercayaannya, atau tidak betul pekerjaan dan amal ibadahnya serta rusak budi pekertinya. Bila akidah seseorang tidak betul, atau pekerjaan dan amal ibadahnya salah, dan akhlaknya telah rusak, akan celakalah dia, dan kalau suatu bangsa berada pada situasi seperti itu akan jatuhlah bangsa itu.
Maka dengan ayat ini Allah mengajari hamba-Nya untuk memohon kepada-Nya agar terjauh dari kemurkaan-Nya, dan terhindar dari kesesatan. Di dalamnya juga tersimpul perintah Allah agar manusia mengambil pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa yang terdahulu. Alangkah banyaknya dalam sejarah kejadian-kejadian yang dapat dijadikan iktibar dan pelajaran. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang berkenaan dengan kisah umat dan bangsa-bangsa yang dahulu. Memang tak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya kepada jiwa manusia daripada contoh-contoh orang dan perbandingan-perbandingan yang terdapat dalam kisah-kisah dan sejarah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Fatihah: 7
Ayat 7
“Jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat atas mereka."
Kita telah mendengar berita bahwa terdahulu dari kita, Allah pernah mengaruniakan nikmat-Nya kepada orang-orang yang telah menempuh jalan yang lurus itu. Karena itu, kita mohon kepada Allah agar kepada kita di-tunjukkan pula jalan itu. Telah ada nabi-nabi dan rasul-rasul yang diutus Allah, dan telah ada pula orang-orang yang menjadi syahid dan telah ada pula orang-orang yang shalih; semuanya dikaruniai bahagia oleh Allah karena menempah jalan itu. Bekasnya kita rasakan dari zaman ke zaman. Oleh sebab itu, kita mohonkan pulalah agar kepada kita diberikan pula petunjuk supaya kita menempuh jalan itu dengan selamat.
Inilah yang kita mohonkan dengan isti'anah kepada Allah, dengan berpedoman kepada Al-Qur'an. Kita mohonkan, tunjuki kiranya kami mana yang benar karena yang benar hanya satu, tidak berbilang. Metode atas rencana yang benar di dalam menegakkan akhlak, budi bahasa, pergaulan hidup, filsafat, iqtishad (perekonomian), ijtima' (kemasyarakatan), siasah (politik), dan sebagainya. Sebab, jalan di atas dunia ini terlalu banyak simpang siurnya, jangan sampai kita menjadi “datuk segala iya" atau sebagai pucuk aru yang mudah dicondongkan angin ke mana ia berkisar. Minta ditunjuki jalan tengah yang lurus yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma, “arang habis, besi binasa".
Kami memohon, pimpin kiranya kami ke jalan itu, jalan bahagia yang pernah ditempuh oleh manusia-manusia yang Engkau cintai dan mencintai Engkau, yang menegakkan jalan terang di dunia ini.
“Bukan jalan mereka yang dimurkai atasnya."
Siapakah yang dimurkai Allah? Ialah orang yang telah diberi kepadanya petunjuk, telah diutus kepadanya rasul-rasul telah diturunkan kepadanya kitab-kitab wahyu, tetapi dia masih saja memperturutkan hawa nafsunya. Telah ditegur berkali-kali, tetapi teguran itu, tidak juga dipedulikannya. Dia merasa lebih pintar dari Allah, rasul-rasul dicemoohkannya, petunjuk Allah diletakkannya ke samping, per-dayaan setan diperturutkannya.
“Dan bukan jalan mereka yang sesat."
Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri di luar yang digariskan Allah. Tidak mengenal kebenaran atau tidak dikenalnya menurut maksudnya yang sebenarnya.
Sayyid Rasyid Ridha di dalam al-Manar-nya menguraikan penafsiran gurunya Syekh Muhammad Abduh tentang orang yang tersesat, terbagi atas empat tingkat.
Pertama-. Orang yang tidak sampai kepadanya dakwah atau dakwah sampai, tetapi hanya didapat dengan pancaindra dan akal, tidak ada tuntunan agama. Meskipun di dalam soal-soal keduniaan mungkin mereka tidak sesat, mereka pasti sesat dalam mencari kelepasan jiwa dan kebahagiaannya di akhirat. Siapa yang tidak menikmati agama tidaklah dia akan merasakan nikmat dari kedua kehidupan itu. Akan berjumpalah bekas kekacauan dan ke-goncangan dalam kepercayaannya sehari-hari, diikuti oleh macam-macam bahaya dan krisis yang tidak dapat diatasi. Yang demikian adalah sunnatuliah dalam alam ini, yang tidak didapat jalan lain untuk mengelakkannya. Adapun nasib mereka di akhirat kelak, nyatalah bahwa kedudukan mereka tidak sama dengan orang yang beroleh hidayah dan petunjuk. Mungkin juga diberi maaf oleh Allah karena Dia berbuat sekehendak-Nya.
Kedua:. Orang yang sampai kepada mereka dakwah, atas jalan yang dapat membangun minat pikiran; mereka pun telah mulai tertarik oleh dakwah itu, tetapi sebelum sampai menjadi keimanannya, dia pun mati.
Bagian ini terdapat pada orang-orang seorang dalam satu-satu bangsa, tidak umum, sehingga tidak ada kesan kepada masyarakat banyak. Adapun nasib orang-orang seperti ini kelak, menurut pendapat ulama-ulama Madzhab Asy'ari, diharapkan juga moga-moga mereka mendapat rahmat belas kasihan Tuhan. Abui Hasan Asy'ari sendiri berpendapat demikian. Akan tetapi, menurut pendapat jumhur (golongan terbesar) ulama, tidaklah diragukan bahwa persoalan mereka lebih ringan daripada persoalan orang yang mengingkari sama sekali, yakni orang yang tidak percaya akan nikmat akal dan yang lebih senang dalam kejahilan.
Ketiga:. Orang yang sampai kepada mereka dakwah. Dan, mereka akui dakwah itu, tetapi tidak mereka pergunakan akal buat berpikir dan menyelidiki dari pokoknya, mereka berpegang teguh juga pada hawa nafsu atau kebiasaan lama, atau menambah-nambah. Inilah tukang-tukang bid'ah tentang aqidah, inilah orang yang iktikadnya telah jauh menyeleweng dari Al-Qur'an dan dari teladan yang ditinggalkan salaf. Inilah yang membawa per-pecahan umat.
Keempat: Orang yang sesat dalam beramal atau memutarbalikkan hukum dari maksud yang sebenarnya. Seumpama orang yang menghela supaya jangan sampai dia mengeluarkan zakat. Setelah dekat habis tahun, di-pindahkannya pemilikan harta itu kepada orang lain, misalnya kepada anaknya. Dan, setelah lepas masa membayar zakat itu, dengan persetujuan berdua, anak itu menyerahkan pula kembali kepadanya. Dengan demikian, dia merasa bangga karena merasa telah berhasil mempermainkan Allah, disangkanya Allah bodoh!