Ayat
Terjemahan Per Kata
مَّا
tidak
جَعَلَ
menjadikan
ٱللَّهُ
Allah
لِرَجُلٖ
bagi seorang laki-laki
مِّن
dari
قَلۡبَيۡنِ
dua hati
فِي
dalam
جَوۡفِهِۦۚ
lambungnya
وَمَا
dan tidak
جَعَلَ
Dia menjadikan
أَزۡوَٰجَكُمُ
isteri-isterimu
ٱلَّٰٓـِٔي
yang
تُظَٰهِرُونَ
kamu nyatakan
مِنۡهُنَّ
dari pada mereka
أُمَّهَٰتِكُمۡۚ
ibu-ibu kamu
وَمَا
dan tidak
جَعَلَ
Dia menjadikan
أَدۡعِيَآءَكُمۡ
anak angkatmu
أَبۡنَآءَكُمۡۚ
anak-anak laki-laki kalian
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
قَوۡلُكُم
perkataanmu
بِأَفۡوَٰهِكُمۡۖ
dengan mulutmu
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَقُولُ
mengatakan
ٱلۡحَقَّ
benar
وَهُوَ
dan Dia
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱلسَّبِيلَ
jalan
مَّا
tidak
جَعَلَ
menjadikan
ٱللَّهُ
Allah
لِرَجُلٖ
bagi seorang laki-laki
مِّن
dari
قَلۡبَيۡنِ
dua hati
فِي
dalam
جَوۡفِهِۦۚ
lambungnya
وَمَا
dan tidak
جَعَلَ
Dia menjadikan
أَزۡوَٰجَكُمُ
isteri-isterimu
ٱلَّٰٓـِٔي
yang
تُظَٰهِرُونَ
kamu nyatakan
مِنۡهُنَّ
dari pada mereka
أُمَّهَٰتِكُمۡۚ
ibu-ibu kamu
وَمَا
dan tidak
جَعَلَ
Dia menjadikan
أَدۡعِيَآءَكُمۡ
anak angkatmu
أَبۡنَآءَكُمۡۚ
anak-anak laki-laki kalian
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
قَوۡلُكُم
perkataanmu
بِأَفۡوَٰهِكُمۡۖ
dengan mulutmu
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَقُولُ
mengatakan
ٱلۡحَقَّ
benar
وَهُوَ
dan Dia
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱلسَّبِيلَ
jalan
Terjemahan
Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya, Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Tafsir
(Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya) firman ini sebagai sanggahan terhadap sebagian orang-orang kafir yang mengatakan, bahwa dia memiliki dua hati; yang masing-masingnya mempunyai kesadaran yang lebih utama daripada kesadaran yang dimiliki oleh Muhammad (dan Dia tidak menjadikan istri-istri kalian yang) lafal allaa-iy dapat pula dibaca allaa-i (kalian zihari) dapat dibaca tuzhhiruuna dan tuzhaahiruuna (mereka itu) misalnya seseorang berkata kepada istrinya, "Menurutku kamu bagaikan punggung ibuku," (sebagai ibu kalian) yakni mereka diharamkan oleh kalian seperti terhadap ibu kalian sendiri, hal ini di zaman jahiliah dianggap sebagai talak. Zihar hanya mewajibkan membayar kifarat dengan persyaratannya yang akan disebutkan di dalam surah Al-Mujadilah (dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian) lafal ad'iyaa adalah bentuk jamak dari lafal da'iyyun, artinya adalah anak angkat (sebagai anak kandung kalian sendiri) yakni anak yang sesungguhnya bagi kalian. (Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja.) Sewaktu Nabi ﷺ menikahi Zainab binti Jahsy yang dahulunya adalah bekas istri Zaid bin Haritsah, anak angkat Nabi ﷺ, orang-orang Yahudi dan munafik mengatakan, "Muhammad telah mengawini bekas istri anaknya sendiri." Maka Allah ﷻ mendustakan mereka. (Dan Allah mengatakan yang sebenarnya) (dan Dia menunjukkan jalan) yang benar.
Tafsir Surat Al-Ahzab: 4-5
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab: 4-5)
Ayat 4
Dalam pendahuluan ini sebelum mengemukakan maksud yang dikehendaki, Allah subhaanahu wa ta’aalaa mengemukakan suatu perkara yang telah dimaklumi oleh pancaindra. Yaitu bahwa sebagaimana tidak mungkin bagi seseorang memiliki dua buah hati dalam rongganya, maka tidak mungkin pula istri yang di-zihar oleh seseorang melalui ucapannya, "Engkau bagiku seperti punggung ibuku," sebagai ibunya.
Tidak mungkin pula terjadi seorang anak angkat menjadi anak kandung seseorang yang mengambilnya sebagai anak angkat. Untuk itu Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu. (Al-Ahzab: 4) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain: padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (Al-Mujadilah: 2), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. (Al-Ahzab: 4) Inilah yang dimaksud dengan penafian.
Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan Zaid ibnu Haritsah radhiyallaahu ‘anhu maulaNabi shallallaahu ‘alaihi wasallam Dahulu Nabi mengangkatnya sebagai anak sebelum beliau menjadi nabi, dan dahulu ia dikenal dengan sebutan 'Zaid anak Muhammad'. Maka Allah berkehendak akan menghapuskan penisbatan ini melalui firman-Nya: dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. (Al-Ahzab: 4) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa dalam pertengahan surat ini melalui firman-Nya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lelaki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzab: 40) Dan dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya: Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. (Al-Ahzab: 4) Yakni pengangkatan anak oleh kalian hanyalah dalam sebutan belaka, tidak menjadikan anak yang bersangkutan sebagai anak kandung orang yang bersangkutan, karena dia diciptakan dari sulbi orang lain.
Dan tidaklah mungkin bagi anak yang bersangkutan mempunyai dua orang ayah, sebagaimana tidak mungkin bagi seorang manusia mempunyai dua hati. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Al-Ahzab: 4) Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Dia mengatakan yang sebenarnya. (Al-Ahzab: 4) Yaitu keadilan belaka. Sedangkan menurut Qatadah, makna firman-Nya: dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Al-Ahzab: 4) Yakni jalan yang lurus. Tidak hanya seorang ulama menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Quraisy.
Dia disebut sebagai seseorang yang berhati dua, dan dia sendiri menduga bahwa dirinya mempunyai dua buah hati; masing-masing dari hatinya bekerja sendiri-sendiri, maka Allah menurunkan ayat ini sebagai sanggahan terhadapnya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Aufi dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, dan Qatadah mengatakan hal yang sama, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Zuhair, dari Qabus ibnu Abu Zabyan yang mengatakan bahwa sesungguhnya ayahnya pernah menceritakan kepadanya hadis berikut, ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. (Al-Ahzab: 4) Ibnu Abbas menjawab, pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berdiri mengerjakan salat, lalu kelihatan beliau memikirkan sesuatu, maka orang-orang munafik yang tadinya salat bersamanya mengatakan, "Tidakkah kalian lihat, dia mempunyai dua hati; satu hati bersama kalian dan hati yang lainnya bersama mereka." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. (Al-Ahzab: 4) Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darimi, dari Sa'id Al-Harrani, dari Abdu ibnu Humaid dan dari Ahmad ibnu Yunus, keduanya dari Zuhair ibnu Mu'awiyah dengan sanad yang sama.
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim melalui hadis Zuhair dengan sanad yang sama. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. (Al-Ahzab: 4) Telah sampai suatu berita kepada kami bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Zaid ibnu Harisah.
Dibuatkan baginya suatu perumpamaan, bahwa bukanlah anak orang lain itu adalah anakmu. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, dan Ibnu Zaid, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Zaid ibnu Haritsah radhiyallaahu ‘anhu Pendapat ini sesuai dengan apa yang telah kami kemukakan di atas.
Ayat 5
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah. (Al-Ahzab: 5) Ini adalah perintah yang me-mansukh apa yang biasa berlaku di masa permulaan Islam yang membolehkan memanggil anak angkat sebagai anak sendiri.
Melalui ayat ini Allah memerintahkan kepada mereka agar mengembalikan nisbat anak-anak angkat kepada bapaknya masing-masing yang sesungguhnya. Ketentuan ini merupakan suatu keadilan dan tindakan yang bajik. Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'la ibnu Asad, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Musa ibnu Uqbah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Salim, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa sesungguhnya kami terbiasa memanggil Zaid ibnu Haritsah maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan sebutan Zaid anak Muhammad, sehingga turunlah firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang mengatakan: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah. (Al-Ahzab: 5) Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai mengetengahkannya melalui berbagai jalur dari Musa ibnu Uqbah dengan sanad yang sama.
Dahulu mereka memperlakukan anak-anak angkat sebagaimana mereka memperlakukan anak-anak kandung sendiri dalam semua keadaan, misalnya dalam keadaan menyendiri disamakan dengan mahram dan lain sebagainya. Karena itulah Sahlah binti Suhail (istri Abu Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu) bertanya, "Wahai Rasulullah, kami terbiasa memanggil Salim sebagai anak sendiri, sedangkan Allah telah menurunkan wahyu yang menjelaskan hukumnya, sesungguhnya dia terbiasa masuk menemuiku, dan sesungguhnya saya mempunyai perasaan bahwa Abu Huzaifah merasa tidak enak dengan kebebasannya menemuiku itu." Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda menjawabnya: Susuilah dia, maka engkau menjadi mahramnya! Setelah adanya pe-nasikh-an hukum ini, maka Allah membolehkan seseorang mengawini bekas istri anak angkatnya; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengawini Zainab binti Jahsy yang telah diceraikan oleh Zaid ibnu Harisah radhiyallaahu ‘anhu Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman: supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. (Al-Ahzab: 37) Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah berfirman di dalam surat An-Nisa tentang mahram: (dan diharamkan bagimu) mengawini istri-istri anak kandungmu. (An-Nisa: 23) Sebagai pengecualian dari istri anak angkat, karena anak angkat bukan berasal dari sulbi orang yang bersangkutan.
Adapun mengenai anak persusuan (radha'), ia didudukkan sebagaimana anak sulbi menurut hukum syara' melalui hadis Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang termaktub di dalam kitab Sahihain yang mengatakan: Jadikanlah mahram karena persusuan sebagaimana kemahraman yang terjadi karena nasab (keturunan). Pengakuan terhadap anak orang lain yang diakui sebagai anak karena memuliakannya atau karena sayang, hal ini bukan termasuk hal yang dilarang oleh ayat ini karena berdasarkan apa yang disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali Imam At-Tirmidzi melalui hadis Sufyan Ats-Tsauri, dari Salamah ibnu Kahil, dari Al-Hasan Al Urani, dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan bahwa kami persilakan anak-anak kecil dari kalangan Bani Abdul Muttalib menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan membawa dupa-dupa kami dari Jama' (Arafah).
Dupa-dupa tersebut mengotori paha-paha kami, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Hai Anakku, janganlah kamu buang-buang dupa itu sebelum mentari terbit." Abu Ubaidah dan lain-lainnya mengatakan bahwa bunayya merupakan bentuk tasgir dari Ibnun. Hal ini jelas penunjukkan dalilnya, dan peristiwa ini terjadi pada haji wada' tahun sepuluh hijriah. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. (Al-Ahzab: 5) Berkenaan dengan Zaid ibnu Harisah radhiyallaahu ‘anhu Dia telah gugur dalam Perang Mu'tah pada tahun delapan Hijriah. Juga di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui hadis Abu Uwwanah Al-Waddah ibnu Abdullah Al-Yasykuri, dari Al-Ja'd Abu Usman Al-Basri, dari Anas ibnu Malik radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah memanggilnya dengan sebutan, "Hai Anakku." Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Al-Ahzab: 5) Allah subhaanahu wa ta’aalaa memerintahkan agar mengembalikan nisbat anak-anak angkat kepada bapaknya masing-masing yang sesungguhnya, jika bapak-bapak mereka diketahui.
Jika ternyata bapak-bapak mereka (anak-anak angkat itu) tidak diketahui, maka mereka adalah saudara-saudara seagama dan maula-maula kalian, yakni sebagai pengganti dari nisbat nasab mereka yang tidak diketahui. Ada suatu kasus yang terjadi sehubungan dengan masalah ini, yaitu berkenaan dengan kembalinya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Mekah seusai menunaikan umrah qada, lalu mereka diikuti oleh anak perempuan Hamzah radhiyallaahu ‘anhu yang menyeru, "Hai Paman, hai Paman, aku ikut!" Maka Ali radhiyallaahu ‘anhu menggendongnya dan berkata kepada Fatimah radhiyallaahu ‘anhu, "Peliharalah anak pamanmu ini," lalu Fatimah menggendongnya. Maka bertengkarlah memperebutkannya Zaid dan Ja'far radhiyallaahu ‘anhu mempermasalahkan siapa yang berhak memeliharanya di antara mereka. Masing-masing pihak mengemukakan alasannya. Ali radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Aku lebih berhak karena dia adalah anak pamanku." Zaid mengatakan, "Dia adalah anak saudaraku." Ja'far mengatakan, "Dia anak perempuan pamanku dan bibinya menjadi istriku," yakni Asma binti Umais. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memutuskan bahwa anak perempuan Hamzah radhiyallaahu ‘anhu harus berada di bawah asuhan bibinya, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Bibi sama kedudukannya dengan ibu. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ali: Engkau termasuk keluargaku, dan aku termasuk keluargamu. Kepada Ja'far radhiyallaahu ‘anhu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Rupa dan akhlakmu menyerupaiku. Dan kepada Zaid ibnu Harisah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Engkau adalah saudara kami dan maula kami. Di dalam hadis ini tersimpulkan banyak hukum yang terbaik ialah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memutuskan perkara yang hak dan membuat masing-masing dari pihak yang bersengketa merasa puas.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Zaid ibnu Harisah radhiyallaahu ‘anhu: Engkau adalah saudara kami dan maula kami. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Al-Ahzab: 5) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Uyaynah ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah; dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Al-Ahzab: 5) "Aku termasuk orang yang tidak diketahui bapaknya, maka aku termasuk saudara-saudara seagama kalian." Ayahku (si perawi yakni Abdur Rahman) mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya aku merasa yakin seandainya Abu Bakar mengetahui bahwa ayahnya adalah keledai, niscaya dia menisbatkan dirinya kepada keledai itu." Di dalam sebuah hadis disebutkan: Tiada seorang lelaki pun yang menisbatkan dirinya kepada bukan ayahnya sendiri, sedangkan dia mengetahuinya, melainkan ia kafir.
Ini merupakan kecaman dan peringatan yang keras ditujukan terhadap orang yang melepaskan dirinya dari nasabnya yang telah dimaklumi. Karena itu Allah subhaanahu wa ta’aalaa menyebutkan dalam firman-Nya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah; dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Al-Ahzab: 5) Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan: Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya. (Al-Ahzab: 5) Apabila kalian menisbatkan sebagian dari mereka bukan kepada ayah yang sebenarnya karena keliru sesudah berijtihad dan berusaha sebisamu, maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa menghapuskan dosa kekeliruan itu, sebagaimana yang ditunjukkan oleh-Nya melalui firman-Nya yang memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar dalam doanya mereka mengucapkan: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. (Al-Baqarah: 286) Di dalam hadis sahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (menjawab doa tersebut), "Kami luluskan.
Di dalam kitab Shahih Al-Bukhari disebutkan melalui Amr ibnul ‘Ash radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: Apabila seorang hakim berijtihad dan ternyata benar, maka dia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad dan ternyata keliru, maka baginya satu pahala. Di dalam hadis lain disebutkan: Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah memaafkan dari umatku perbuatan keliru, lupa, dan melakukan perbuatan yang dipaksakan kepada mereka. Dan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa dalam surat ini: Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab: 5) Yakni sesungguhnya yang dinilai dosa itu ialah melakukan perbuatan yang batil dengan sengaja, sebagaimana yang disebutkan pula oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Maidah: 89), hingga akhir ayat.
Di dalam hadis terdahulu telah disebutkan: Tiada seorang pun yang menisbatkan dirinya bukan kepada bapaknya sendiri, sedangkan dia mengetahuinya, melainkan ia telah kafir. Di dalam suatu ayat Al-Qur'an yang telah di-mansukh pernah disebutkan: bahwa sesungguhnya merupakan suatu kekufuran bagi kalian jika kalian membenci bapak-bapak kalian. -: ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Ibnu Abbas, dari Umar radhiyallaahu ‘anhu yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa mengutus Muhammad dengan sebenarnya dan menurunkan kepadanya Al-Qur'an, dan termasuk di antara ayat Al-Qur'an ialah ayat yang mengenai hukum rajam.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberlakukan hukum rajam, dan kami pun melakukannya pula sesudahnya." Kemudian Umar radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, "Dahulu kami sering membaca ayat ini (yang telah di-mansukh)," yaitu: Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian, karena sesungguhnya merupakan suatu kekufuran bagi kalian bila kalian membenci bapak-bapak kalian sendiri. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: Janganlah kalian menyanjung-nyanjung diriku sebagaimana Isa putra Maryam disanjung-sanjung (oleh kaum Nasrani), karena sesungguhnya aku ini hanyalah hamba Allah, maka sebutlah oleh kalian, "Hamba Allah dan rasul-Nya. Adakalanya Ma'mar (si perawi) mengatakan, "Sebagaimana kaum Nasrani menyanjung-nyanjung Isa Putra Maryam." Dalam hadis lain disebutkan: Ada tiga perkara bagi manusia merupakan kekufuran, yaitu mencela nasab (keturunan), melakukan niyahah (tangisan ala Jahiliah) karena ditinggal mati, dan meminta hujan kepada bintang-bintang.
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (Al-Ahzab: 6)
Allah subhaanahu wa ta’aalaa mengetahui kasih sayang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya dan keikhlasan beliau kepada mereka, karena itulah maka Allah menjadikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Dan keputusan Allah terhadap mereka mendahului pilihan mereka untuk diri mereka sendiri, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa: 65) Di dalam hadis sahih disebutkan: Demi Tuhan Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidaklah seseorang dari kalian beriman sebelum diriku ini lebih dicintai olehnya daripada dirinya sendiri, harta bendanya, anak-anaknya, dan semua orang.
Di dalam kitab sahih disebutkan pula bahwa Umar radhiyallaahu ‘anhu pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, demi Allah, engkau benar-benar lebih aku cintai daripada segala sesuatu, terkecuali diriku sendiri." Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak, hai Umar, sebelum diriku lebih dicintai olehmu daripada dirimu sendiri. Maka Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri." Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Hai Umar, begitulah seharusnya."
Karena itulah disebutkan dalam ayat ini melalui firman-Nya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. (Al-Ahzab: 6) Imam Al-Bukhari mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Munzir, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Falih, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Hilal ibnu Ali, dari Abdur Rahman ibnu Abu Amrah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang telah bersabda: Tidak ada seorang mukmin pun melainkan aku adalah orang yang paling utama baginya di dunia dan di akhirat.
Bacalah oleh kalian bila kalian suka akan firman-Nya, "Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. (Al-Ahzab: 6). Maka siapa pun orang mukmin yang meninggalkan harta, maka diwariskan kepada para 'asabah (ahli waris)nya yang ada. Dan jika ia meninggalkan utang atau anak-anak yatim, maka datanglah kepadaku, akulah yang menjadi maulanya. Hadis diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari secara tunggal. Dia meriwayatkannya pula di dalam Bab "Istiqrad", demikian juga Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim melalui berbagai jalur dari Falih dengan sanad dan lafal yang semisal.
Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadis Abu Husain, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan lafal yang semisal. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. (Al-Ahzab: 6) Az-Zuhri menerima hadis ini dari Abu Salamah, dari Jabir ibnu Abdullah radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang pernah bersabda: Aku lebih utama bagi tiap orang mukmin daripada dirinya sendiri. Maka barang siapa yang mati meninggalkan utang, akulah yang akan membayarkannya; dan barang siapa yang meninggalkan harta, maka hartanya itu untuk ahli warisnya.
Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Hambal dengan sanad dan lafal yang semisal. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (Al-Ahzab: 6) Yakni dalam hal kemahraman dan kehormatan; mereka harus dimuliakan, dihormati, dan diagungkan, tetapi tidak boleh berkhalwat dengan mereka. Dan kemahraman ini tidak menjalar sampai kepada anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan mereka, menurut kesepakatan semua ulama. Sekalipun ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa anak-anak perempuan mereka dan saudara-saudara perempuan mereka adalah saudara-saudara perempuan semua kaum mukmin, seperti yang telah di-nas-kan oleh Imam Asy-Syafii radhiyallaahu ‘anhu di dalam kitab Al-Mukhtasar-nya.
Pendapat ini termasuk ke dalam Bab "Memutlakkan Ibarat Bukan Menetapkan Hukum". Dan apakah dapat dikatakan kepada Mu'awiyah dan lain-lainnya yang semisal dengan sebutan paman orang-orang mukmin? Ada dua pendapat di kalangan ulama mengenai masalah ini. Tetapi menurut apa yang di-nas-kan oleh Imam Syafii, tidak. Dan apakah istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu dapat disebut ibu-ibu kaum mukmin perempuan dengan pengertian dimasukkan ke dalam jamak muzakkar secara taglib. Ada dua pendapat mengenainya. Menurut riwayat yang sahih dari Siti Aisyah radhiyallaahu ‘anhu, Siti Aisyah pernah mengatakan tidak boleh disebut Ummahatul Mu-minat.
Pendapat ini merupakan yang tersahih di antara dua pendapat yang ada di kalangan mazhab Imam Syafii radhiyallaahu ‘anhu Telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b dan Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka dan Nabi adalah bapak mereka. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mu'awiyah, Mujahid, Ikrimah, dan Al-Hasan. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada di kalangan mazhab Syafii radhiyallaahu ‘anhu Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Al-Bagawi dan lain-lainnya. Mereka mengatakan demikian dengan berlandaskan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad An-Nufaili, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Muhammad ibnu Ajian, dari Al-Qa'qa' ibnu Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: Sesungguhnya aku ini bagi kalian sama kedudukannya dengan seorang ayah yang mendidik kalian. Maka apabila seseorang di antara kalian mendatangi tempat buang air besarnya, janganlah menghadap ke arah kiblat, jangan pula membelakanginya, dan janganlah ia bercebok dengan memakai tangan kanannya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan istijmar dengan memakai tiga buah batu, dan melarang memakai kotoran hewan (yang telah kering) dan tulang. Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Majah mengetengahkan hadis ini melalui riwayat Ibnu Ajlan.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua di kalangan mazhab Imam Syafii, tidak boleh menyebut Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai ayah mereka. Mereka yang berpendapat demikian beralasan dengan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang menyebutkan: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. (Al-Ahzab: 40) Adapun firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah. (Al-Ahzab: 6) Maksudnya, menurut hukum Allah. daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin. (Al-Ahzab: 6) Yakni kaum kerabat seseorang itu lebih utama saling mewarisi satu sama lainnya daripada kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Ayat ini me-mansukh (merevisi) hukum yang sebelumnya berlaku dalam hal waris-mewaris, yang dapat dilakukan dengan halaf (sumpah pertahanan bersama) dan saudara angkat yang diadakan di antara sesama mereka.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Disebutkan bahwa dahulu kaum Muhajirin dapat mewarisi kaum Ansar bukan kaum kerabat dan saudara-saudara orang yang bersangkutan karena adanya persaudaraan angkat yang diadakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam di antara kedua golongan tersebut. Hal yang sama telah dikatakan oleh Said ibnu Jubair dan lain-lainnya, baik dari kalangan ulama Salaf maupun ulama Khalaf. Sehubungan dengan hal ini Ibnu Abi Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Az-Zubair ibnul Awwam.
Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abu Bakar Al-Mi'sabi (salah seorang ulama yang tinggal di Bagdad), dari Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Az-Zubair ibnul Awwam radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menurunkan firman berikut berkenaan dengan kami golongan orang-orang Quraisy dan kaum Ansar secara khusus, yaitu: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah. (Al-Ahzab: 6) Demikian itu pada mulanya kami orang-orang Quraisy ketika pertama kali tiba di Madinah, kami datang tanpa membawa harta, dan kami jumpai orang-orang Ansar adalah sebaik-baik saudara; maka kami mempersaudarakan diri dengan mereka dan saling mewarisi antara kami dan mereka.
Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu mempersaudarakan dirinya dengan Kharijah ibnu Zaid, Umar dengan si Fulan, dan Usman dengan seorang lelaki dari Bani Zuraiq anak Sa'd Az-Zurqi, yang menurut pendapat lain mengatakan bukan dari kalangan Bani Zuraiq. Az-Zubair radhiyallaahu ‘anhu melanjutkan kisahnya, bahwa ia mempersaudarakan dirinya dengan Ka'b ibnu Malik. Ketika ia mendatanginya, ternyata ia menjumpainya sebagai seseorang yang banyak memiliki senjata, yang menurut tradisi lebih dari apa yang biasanya dimiliki oleh seseorang. Az-Zubair melanjutkan, "Demi Allah, hai Anakku, seandainya Ka'b ibnu Malik meninggal dunia pada hari itu, tiada seorang pun yang akan mewarisinya selain aku sendiri, hingga Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan kami golongan orang-orang Quraisy dan kaum Ansar secara khusus, setelah itu barulah kami mengembalikan hak mewarisi kepada kaum kerabat masing-masing." Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). (Al-Ahzab: 6) Yaitu hak mewaris antara saudara angkat telah dihapus, dan yang ada hanyalah saling tolong-menolong, saling berbuat bajik, silaturahmi, saling berbuat baik, dan saling wasiat-mewasiatkan kebaikan.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (Al-Ahzab: 6) Hukum ini yang menyatakan bahwa orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lainnya lebih berhak waris-mewarisi merupakan hukum dari Allah yang telah ditetapkan dan telah tertulis di dalam Kitab Allah yang pertama, yang tidak dapat diganti dan tidak dapat pula diubah. Demikianlah menurut Mujahid dan lain-lainnya, sekalipun di suatu masa Allah subhaanahu wa ta’aalaa pernah mensyariatkan hukum yang berbeda dengan hukum yang terakhirnya ini. Karena di dalam hukum yang pertama itu terkandung hikmah yang tak terperikan, dan Dia mengetahui bahwa hukum tersebut kelak akan di-mansukh dan akan dikembalikan kepada ketetapan-Nya yang telah digariskan-Nya sejak zaman azali.
Beralih dari perintah bertakwa dan larangan menaati orang kafir, Allah melalui ayat ini kemudian berbicara tentang orang yang hatinya tidak istikamah, masalah zihar, dan anak angkat. Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya. Setiap manusia hanya memiliki satu hati dan darinya muncul kehendak atau keinginan. Karena itu, tidak mungkin di satu sisi ia beriman dan takut kepada Allah namun di sisi lain ia takut kepada selain Allah. Dan begitu juga, Dia tidak menjadikan istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu. Zihar adalah perkataan suami kepada istri, 'Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku,' atau yang sama maksudnya. Dan Dia juga tidak membenarkanmu menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Sejak saat itu hukum anak angkat dibatalkan. Dengan begitu nasab anak itu kembali ke nasab ayah kandungnya. Sesungguhnya yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja yang tidak dilandasi ilmu yang benar. Allah mengatakan dan menetapkan hukum yang sebenarnya dan Dia menunjukkan kepadamu jalan yang benar dan lurus. 5. Allah tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandung. Karena itu, panggillah mereka dengan dinisbatkan kepada nama bapak kandung mereka sendiri, bukan bapak angkatnya. Panggilan demikian itulah yang secara syariat dinilai adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak kandung mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu menisbatkan seorang anak kepada selain bapaknya jika kamu khilaf atau belum tahu hukum tentang hal itu, tetapi yang menimbulkan dosa adalah apa yang disengaja oleh hatimu dengan menetapkan sesuatu yang batil. Allah Maha Pengampun kepada siapa saja yang memohon ampunan-Nya, Maha Penyayang sehingga tidak serta-merta mengazab hamba-Nya yang bersalah.
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia tidak menjadikan dua hati dalam satu tubuh sehingga tidak mungkin pada diri seseorang berkumpul iman dan kafir. Jika seseorang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tentu di dalam hatinya tidak ada kekafiran dan kemunafikan, walaupun sedikit, dan ia tentu mengikuti Al-Qur'an dan sunah Rasulullah, menyeru manusia mengikuti jalan Allah, mengikuti hukum-hukum-Nya dan berserah diri hanya kepada Allah. Sebaliknya jika seseorang itu kafir atau munafik, tentu di dalam hatinya tidak ada iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan dia tidak akan bertawakal kepada Allah. Dengan kata lain, mustahil berkumpul pada diri seseorang dua buah keyakinan yang berlawanan, sebagaimana tidak mungkin ada dua hati di dalam satu tubuh manusia.
Pada masa Jahiliah sering terjadi pada bangsa Arab, untuk maksud dan dengan ucapan tertentu, mereka menjadikan istrinya sebagai ibunya. Maka bila dia mengucapkan kepada istrinya ucapan tertentu itu, jadilah istrinya sebagai ibunya yakni tidak dapat dicampurinya.
Menurut kebiasaan orang-orang Arab di masa Jahiliah, apabila seorang suami mengatakan kepada istrinya, "Anti 'alayya kadhahri ummi" (punggungmu haram atasku seperti haramnya punggung ibuku), maka sejak suami mengucapkan perkataan itu, istrinya haram dicampurinya, seperti dia haram mencampuri ibunya. Tindakan suami seperti itu di zaman Jahiliah disebut "dhihar". Dalam Islam hukum ini diganti dengan hukum yang diterangkan dalam surah al-Mujadalah/58 ayat 3.
Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (al-Mujadilah/58: 3)
Kemudian dalam ayat ini, Allah mencela satu lagi kebiasaan orang-orang Arab di masa Jahiliah, karena hal itu termasuk mengada-adakan sesuatu yang tidak benar dan tidak mempunyai dasar yang kuat, yaitu mengangkat anak (adopsi). Apabila seseorang mengangkat anak orang lain menjadi anaknya pada masa Jahiliah, maka berlakulah bagi anak itu hukum-hukum yang berlaku atas anak kandungnya sendiri, seperti terjadinya hubungan waris-mewarisi, hubungan mahram, dan sebagainya. Kebiasaan bangsa Arab Jahiliah ini pernah dilakukan Nabi Muhammad sebelum turunnya ayat ini. Beliau pernah mengangkat Zaid bin harisah menjadi anak angkatnya.
Zaid ini adalah putra harisah bin Syarahil dan berasal dari Bani thayyi' di Syam. Ketika terjadi peperangan antara salah satu kabilah Arab dengan Bani thayyi', Zaid kecil tertawan dan dijadikan budak. Kemudian Khalil dari suku Tihamah membeli Zaid dan lalu menjualnya kepada hakim bin ham bin Khuwailid. hakim memberikan Zaid sebagai hadiah kepada Khadijah, saudara perempuan ayahnya. Setelah Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau tertarik kepada Zaid, maka Khadijah menghadiahkan Zaid kepada suaminya itu.
Mendengar kabar bahwa Zaid berada pada Muhammad, harisah, ayah Zaid, pergi dengan saudaranya ke Mekah dengan maksud menebus anaknya yang tercinta itu. Ia pun meminta kepada Muhammad agar menyerahkan Zaid. Nabi Muhammad lalu memberi keleluasaan kepada Zaid untuk memutuskan sendiri, bahkan beliau tidak mau menerima tebusan. Setelah ditanyakan kepadanya, maka Zaid memilih untuk tetap bersama Nabi Muhammad, tidak mau ikut dengan bapaknya ke negeri Syam. harisah dan saudaranya lalu berkata kepada Zaid, "Celakalah engkau Zaid, engkau lebih memilih perbudakan dari kemerdekaan." Zaid menjawab, "Sesungguhnya aku melihat kebaikan pada laki-laki ini (Muhammad), yang menjadikanku tidak sanggup berpisah dengannya, dan aku tidak sanggup memilih orang lain selain dia untuk selama-lamanya."
Nabi ﷺ kemudian keluar menemui orang banyak dan berkata, "Saksikanlah oleh kamu sekalian bahwa Zaid adalah anakku, aku akan mewarisinya, dan ia akan mewarisiku..." Mendengar hal yang demikian, hati harisah dan saudaranya menjadi senang, maka dipanggillah Zaid dengan "Zaid bin Muhammad" sampai turun ayat ini.
Menurut Qurthubi, seluruh ahli tafsir sependapat bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan Zaid bin harisah itu.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan imam-imam hadis yang lain dari Ibnu 'Umar bahwa ia berkata, "Kami tidak pernah memanggil "Zaid bin harisah", tetapi kami memanggilnya "Zaid bin Muhammad" hingga turunnya ayat ini (al-Ahzab ayat 5)." Dengan turunnya ayat ini, Nabi ﷺ berkata, "Engkau Zaid bin harisah."
Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan lagi bahwa perkataan suami bahwa istrinya haram dicampurinya sebagaimana ia haram mencampuri ibunya, dan perbuatan mengangkat anak dan menjadikan kedudukannya sama dengan anak sendiri (kandung) adalah ucapan lidah saja, tidak mempunyai dasar agama atau pikiran yang benar. Oleh karena itu, ucapan tersebut tidak akan menimbulkan akibat hukum sedikit pun. Allah mengatakan yang benar, sehingga mustahil istri dapat disamakan dengan ibu, sebagaimana mustahil pula orang lain dihukum sama dengan anaknya sendiri. Semua anak itu menasabkan (membawa nama ayah sesudah nama sendiri) dirinya kepada ayah dan ibunya. Tidak mungkin seseorang mengatakan orang lain ayah dari seorang anak jika bukan keturunannya, sebagaimana tidak mungkin pula seseorang ibu mengatakan ia adalah ibu dari seorang anak, padahal ia tidak pernah melahirkannya. Oleh karena itu, Allah mengatakan perkataan yang benar dan lurus, maka ikutilah perkataan itu dan turutilah jalan lurus yang telah dibentangkan-Nya.
Dengan turunnya ayat ini, maka hilanglah akibat-akibat buruk yang dialami oleh istri-istri karena zihar suaminya dan haramlah hukumnya mengangkat anak dan menjadikannya mempunyai hukum yang sama dengan anak kandung. Adapun memelihara anak orang lain sebagai amal sosial untuk diasuh dan dididik dengan izin orang tuanya sendiri, tanpa waris-mewarisi, tidak menjadikannya sebagai mahram sebagaimana status anak kandung, dan masih dinasabkan kepada orang tuanya, maka hal itu tidak diharamkan, bahkan mendapat pahala.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Surah al-Ahzaab
(GOLONGAN-GOLONGAN)
SURAH KE-33
73 AYAT
DITURUNKAN DI MADINAH
Bismillahirrahmanirrahim
Ayat 1
“Wahai Nabi Takwalah engkau kepada Allah."
Nabi akan selalu mengacak orang lain supaya bertakwa. Namun ajakan beliau kepada orang lain itu tidak akan ada artinya, cuma akan jadi cemoohan orang kalau beb.au hanya menyuruh padahal dia sendin tidak tertakwa. Sebab itu maka Allah ﷻ menasihatkan ke-padanya supaya takwa itu ditanamnya teguh terlebih dahulu dalam dirinya, sehingga orang lain yang diajak bertakwa akan mematuhi dengan baik dan setia, sebab mereka melihat contohnya pada tingkah laku beliau sendiri. “Dan janganlah engkau ikuti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik."
Tentu saja ajakan dari orang kafir dan munafik tidak boleh dituruti. Ini pun suatu perintah mawas diri dari Ailah kepada Rasul-Nya. Karena kadang-kadang kafir dan munafik itu akan menyusun juga ajakan-ajakan yang pada lahirnya manis, padahal dalam batinnya berisi ajakan yang pahit.
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
Orang yang kafir, apatah lagi orang munafik kerap kali mengeluarkan perkataan yang manis, padahal mengandung maksud hendak menyeret Rasul ke dalam perangkap yang telah mereka pasang.
Ayat 2
“Dan ikutilah apa yang telah diwahyukan kepada engkau dari Tuhan engkau."
Di ayat pertama melarang mengikuti kehendak kafir dan munafik, di ayat kedua dijelaskan, bahwa jalan yang akan ditempuh hanya satu, yaitu mengikuti wahyu yang di-turunkan Allah ﷻ dari Alif sampai Yaa.
“Sesungguhnya Allah terhadap apa yang kamu kerjakan adalah Mahatahu."
Oleh karena Allah Mahatahu dan Maha-teliti atas segala perbuatan yang dikerjakan oleh manusia, jelaslah bahwa hati sanubari manusia pun dalam kontrol Allah ﷻ selalu. Dia tidak boleh menyeleweng dari garis yang ditentukan-Nya.
Ayat 3
“Dan bertawakallah kepada Allah."
Artinya ialah supaya beliau, Rasulullah ﷺ menyerahkan dirinya sebulat-bulatnya kepada Allah SWT, penuh kepercayaan, jangan bimbang. Harus yakin bahwasanya jalan yang ditunjukkan Allah ﷻ itulah yang benar, yang lain tidak ada.
“Dan cukuplah kepada Allah saja bertawakal."
Kesimpulan dari ketiga ayat ini adalah pegangan hidup bagi Rasul dan bagi setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul. Agama Islam bukanlah semata-mata anutan dan pelukan. Dia bukan semata-mata aqidah yang masuk akal atau yang disebut rasional. Dan bukanlah semata-mata beribadah, melakukan shalat, puasa, zakat dan haji menurut peraturan, rukun dan syarat yang tertentu. Al-Islam bukanlah semata-mata mempertengkarkan soal-soal khilafiyah hasil ijtihad ulama-ulama terkemuka. Islam adalah kumpulan dari itu semuanya yang dijiwai oleh rasa kesadaran, bahwa kita melangkah dalam arena kehidupan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab berhadapan dengan Allah ﷻ
Ayat 4
“Tidaklah Allah menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongganya."
Pangkal ayat ini adalah dasar hidup untuk jadi pegangan bagi orang yang mempunyai aqidah tauhid.
“Dan tidaklah istri-istri kamu yang telah kamu serupakan punggungnya dari kalangan mereka menjadi ibumu."
Kebiasaan orang Arab di zaman jahiliyah jika mereka tidak suka lagi kepada istri mereka, maka mereka katakanlah bahwa punggung istri itu serupa dengan punggung ibunya. Tentu saja kalau punggung istri telah diserupakan dengan punggung ibu sendiri kasih sayang kepada istri sudah disamakan dengan kasih sayang kepada ibu. Kalau istri sudah dianggap ibu, tentu dikacaubalaukan kasih kepada ibumu yang tidak boleh dikawini sudah dikacaubalaukan dengan kasih kepada istri yang menjadi teman tidur. Sikap demikian adalah termasuk kekacauan jiwa juga, tidak dapat dibiarkan, istri tetap istri dan kasih kepada istri ialah disetubuhi dan menghasilkan anak. Ibu tetap ibu dan kasih kepada ibu adalah buat dikhidmati. Sebab itu maka kebiasaan menyerupakan punggung istri dengan punggung ibunya itu adalah perbuatan yang salah dan tidak benar.
Pada surah al-Mujaadilah yang diturunkan di Madinah juga, kebiasaan jahiliyah ini telah dibanteras dan dilarang. Barangsiapa melakukannya dikenakan denda (kaffarah). Yaitu memerdekakan budak, atau memberi makan enam puluh orang miskin atau puasa dua bulan berturut-turut. (Lihat surah pertama dari Juz 28).
“Dan tidaklah Dia menjadikan anak yang kamu angkat jadi anakmu benar-benar." Biasa juga di zaman jahiliyah orang memungut anak orang lain lalu dijadikannya anaknya sendiri. Anak yang diangkat itu berhak membangsakan diri kepada orang yang mengangkatnya itu. Bahkan hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Seorang budak, (hamba sahaya) yang dihadiahkan oleh istrinya Khadijah untuk merawat beliau, bernama Zaid anak Haritsah. Karena sayangnya kepada anak itu beliau angkat anak dan ha-mi diketahui umum. Di ayat 37 kelak akan lebih jelas lagi bahwa Nabi Muhammad ﷺ sendirilah yang disuruh melepaskan diri terlebih dahulu dari kebiasaan yang buruk itu, yaitu mengambil anak orang lain jadi anak angkat. “Itu hanyalah ucapanmu dengan mulutmu." Yaitu bahwa mengatakan anak orang lain jadi anak sendiri itu hanyalah ucapan mulut, bukan keadaan yang sebenarnya. Sebab yang sebenarnya anak ialah aliran dari air dan darah sendiri. “Dan Allah mengatakan yang benar," yaitu anak orang lain bukanlah jadi anakku, walaupun engkau sorakkan di muka umum. Kalau cara sekarangnya walaupun engkau kuatkan dengan kesaksian notaris, dengan surah-surah pemerintah yang sah. Yaitu sah menurut peraturan yang bukan dari Allah SWT,
“Dan Dia akan menunjuki jalan."
Jalan yang ditunjukkan oleh Allah ﷻ itu ialah syari'at Islam. Maka segala peraturan yang lain, termasuk peraturan orang kafir yang dijalankan dalam dunia Islam, mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri, bukanlah jalan yang benar. Islam telah mengadakan aturan sendiri dalam menjaga nasab dan keturunan, sehingga apabila seseorang meninggal dunia sudah ada ketentuan pembagian harta pusaka (faraidh). Namun meng-angkat anak orang lain jadi anak sendiri, lalu mengatur pula agar harta pusaka setelah mati diserahkan pula kepada anak angkat itu melanggar pula kepada ketentuan hak milik yang telah ditentukan syari'at. Di Indonesia sebagai sebuah negeri yang 350 tahun lamanya dijajah diakui pula peraturan mengangkat anak itu, sebagai sisa dari peraturan Belanda.
Ayat 5
“Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka."
Dahulu Zaid budak yang dimerdekakan dan diangkat anak di zaman jahiliyah oleh Nabi itu dipanggilkan Zaid bin Muhammad. Dengan ayat ini datanglah ketentuan supaya dia dipanggil kembali menurut yang sewajarnya, yaitu Zaid bin Haritsah.
“Dan jika tidak kamu ketahui siapa bapak-bapak mereka, maka adalah mereka saudara-saudara kamu seagamaOrang yang tidak terang siapa bapak-bapak mereka ini ialah orang yang biasa ditawan dalam peperangan ketika dia masih kecil, orang tuanya telah mati dan dia telah hidup dalam masyarakat Islam. Atau orang seagama dari negeri lain yang belum kita kenal keturunannya. Ayat ini menunjukkan hendaklah mereka dipanggil sebagai saudara. Maka kalau orang itu masih muda, panggil sajalah dia sebagai saudara.
“Dan maula-maula kamu." Maula mengandung arti perlindungan dan pimpinan timbal balik. Pokok kata ialah dari wilayah, menjadi wali, menjadi maula. Dia dapat diartikan pelindung, raja, tuanku, tetapi dia pun dapat diartikan orang yang diperlindungi. Setelah agama Islam berkembang luas dan negeri yang ditaklukkan oleh tentara Islam bertambah jauh, banyaklah anak muda-muda kehilangan keluarga lalu diambil dan dipelihara oleh tentara Islam yang menang. Mereka dibawa ke negeri Islam dididik dalam Islam. Diakui termasuk kekeluargaan dari kaum yang memeliharanya. Dalam Islam, maula-maula (jamaknya mawaali) diberi didikan yang tinggi. Mereka memperdalam pengetahuan tentang Islam. Imam Bukhari ahli hadits yang masyhur itu adalah seorang maula dari Bani Jula, yaitu Kabilah Arabi yang diperintahkan Khalifah menaklukkan Bukhara di zaman Bani Umayyah. Banyak ulama-ulama Islam di zaman tabi'in adalah maula. Malahan ada di antara mereka yang jadi sahabat Rasulullah, sebagaimana Bilal bin Rabah, Salim Maula Abu Huzaifah, dan lain-lain. Ulama tabi'in yang besar, yaitu Imam Atha di Mekah, al-Hasan al-Bishri di Basrah, keduanya adalah maula. Tuan-tuan besar dari Arab berjuang jadi pahlawan dalam perang, sedang maula-maula jadi pahlawan ilmu pengetahuan Islam.
“Tetapi tidaklah kamu berdosa jika kamu bersalah dengan dia." Yaitu salah yang bukan disengaja karena tidak tahu. “Melainkan jika disengaja oleh hati kamu." Misalnya mem-bangsakan orang kepada yang hina, atau menghinakan orang karena warna kulitnya. Itu sangatlah disalahkan oleh Rasulullah ﷺ.
“Dan Allah adalah Maha Pengampun Maha Penyayang."
Memberi ampun atas kesalahan tempo dulu yang telah terlanjur, Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang patuh sehingga Dia beri petunjuk jalan yang benar dan langkah yang betul.