Ayat
Terjemahan Per Kata
فَلَمَّآ
maka setelah
ءَاتَىٰهُمَا
(Allah) memberikan kepada keduanya
صَٰلِحٗا
anak saleh
جَعَلَا
keduanya menjadikan
لَهُۥ
bagiNya
شُرَكَآءَ
sekutu-sekutu
فِيمَآ
terhadap apa
ءَاتَىٰهُمَاۚ
Dia berikan kepada keduanya
فَتَعَٰلَى
maka Maha Tinggi
ٱللَّهُ
Allah
عَمَّا
dari apa
يُشۡرِكُونَ
mereka sekutukan
فَلَمَّآ
maka setelah
ءَاتَىٰهُمَا
(Allah) memberikan kepada keduanya
صَٰلِحٗا
anak saleh
جَعَلَا
keduanya menjadikan
لَهُۥ
bagiNya
شُرَكَآءَ
sekutu-sekutu
فِيمَآ
terhadap apa
ءَاتَىٰهُمَاۚ
Dia berikan kepada keduanya
فَتَعَٰلَى
maka Maha Tinggi
ٱللَّهُ
Allah
عَمَّا
dari apa
يُشۡرِكُونَ
mereka sekutukan
Terjemahan
Kemudian, setelah Dia memberi keduanya seorang anak yang saleh, mereka menjadikan sekutu bagi Allah dalam (penciptaan) anak yang telah Dia anugerahkan kepada mereka. Maka, Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Tafsir
(Tatkala Allah memberi kepada keduanya) seorang anak (yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah) dalam suatu qiraat dibaca dengan dikasrahkan syinnya dan tanwin pada huruf akhirnya; yakni sekutu (tentang anak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka berdua) dengan menamakannya Abdul Harits, sedangkan tidak boleh seorang hamba menjadi hamba selain kepada Allah. Yang dimaksud dalam penyekutuan di sini bukanlah dalam masalah ubudiah/ibadah, karena Nabi Adam telah dimaksum dari hal semacam itu. Samurah telah meriwayatkan dari Nabi ﷺ yang pernah bersabda bahwa ketika Hawa melahirkan seorang anak, iblis bertawaf mengelilingi Siti Hawa; sebelumnya anak Siti Hawa belum pernah ada yang hidup, kemudian iblis berkata kepadanya, "Namakanlah dia anakmu yang baru lahir itu Abdul Harits, maka ia kelak akan hidup." Anak itu ternyata dapat hidup, hal itu terjadi karena ada saran dari setan dan perintah darinya, demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Hakim. Al-Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih; Tirmizi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan gharib (Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan) yakni penduduk Mekah dengan menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan mereka. Jumlah ayat ini merupakan musabbab atau penyebab, dan diathafkan kepada lafal khalaqakum, dan di antara sabab dengan musababnya terhadap jumlah mu`taridhah.
Tafsir Surat Al-A'raf: 189-190
Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu, dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah Tuhannya seraya berkata, "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah termasuk orang-orang yang bersyukur." Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu.
Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan, sesungguhnya Dia telah menciptakan semua umat manusia dari Adam a.s. Dia pulalah yang menciptakan istrinya yaitu Hawa dari dirinya, kemudian Allah menyebarkan manusia dari keduanya, seperti yang disebutkan dalam ayat lain: Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan: dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (Al-Hujurat: 13) Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya. (An-Nisa: 1) Sedangkan dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya: dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya (Al-A'raf: 189) Maksudnya, agar dia cenderung dan merasa tenteram kepadanya, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. (Ar-Rum: 21) Tiada kecenderungan di antara dua jiwa yang melebihi kecenderungan antara sepasang suami istri.
Karena itulah Allah menyebutkan bahwa seorang penyihir adakalanya menggunakan tipu muslihatnya untuk memisahkan antara seseorang dengan istrinya. Maka setelah dicampurinya. (Al-A'raf: 189) Yakni setelah si lelaki menyetubuhi istrinya. istrinya itu mengandung kandungan yang ringan. (Al-A'raf: 189) Keadaan itu terjadi pada permulaan masa hamil, dalam masa ini seorang wanita yang mengandung tidak merasakan sakit apa pun karena sesungguhnya kandungannya itu hanya berupa nutfah, lalu 'alaqah, kemudian segumpal daging.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). (Al-A'raf: 189) Menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah si istri menjalani masa hamilnya selama beberapa waktu. Telah diriwayatkan pula dari Al-Hasan dan Ibrahim An-Nakha'i serta As-Suddi hal yang semisal. Maimun ibnu Mahran telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa makna yang dimaksud ialah si wanita menjalani kandungannya dengan ringan selama beberapa waktu. Ayyub mengatakan, "Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan mengenai firman-Nya: dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). (Al-A'raf: 189) Al-Hasan menjawab.Seandainya aku seorang ahli bahasa, tentu aku mengetahui apa makna yang dimaksud.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). (Al-A'raf: 189) Yakni hamilnya mulai jelas. Menurut Ibnu Jarir makna ayat tersebut ialah benih suami telah tertanam di dalam rahim si istri, si istri bangun dan tidur dengan mengandungnya selama beberapa waktu. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah si istri terus-menerus mengalami perubahan, hingga ia merasa ragu apakah dirinya sedang hamil atau tidak.
Kemudian tatkala dia merasa berat. (Al-A'raf: 189) Maksudnya, kandungannya sudah mulai terasa berat. Menurut As-Suddi, makna yang dimaksud ialah janin yang ada di dalam kandungannya mulai membesar. keduanya bermohon kepada Allah Tuhannya seraya berkata, "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, (Al-A'raf: 189) Yang dimaksud dengan pengertian kata 'saleh' dalam ayat ini ialah seorang manusia yang utuh. Demikianlah menurut Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas; Adam dan Hawa merasa takut bila anaknya lahir berupa hewan.
Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Abul Buhturi dan Abu Malik, bahwa keduanya merasa takut bila anak yang dikandungnya nanti bukan berupa manusia. Sedangkan menurut Al-Hasan Al-Basri, makna yang dimaksud ialah sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak laki-laki. tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur." Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu.
Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Al-A'raf: 189-190) Sehubungan dengan makna ayat ini ulama tafsir telah menuturkan banyak atsar dan hadits yang akan kami kemukakan berikut ini disertai keterangan hal-hal yang shahih darinya. Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa: telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Ketika Hawa melahirkan, iblis berputar-putar mengelilinginya, dan Hawa tidak pernah mempunyai anak yang tetap hidup.
Lalu iblis berkata, "Namailah dia Abdul Haris. maka sesungguhnya dia akan hidup. Lalu Hawa menamai anaknya Abdul Haris. dan ternyata anaknya tetap hidup. Hal tersebut berasal dari inspirasi dan perintah setan. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Bandar, dari Abdus Samad ibnu Abdul Waris dengan sanad yang sama.
Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkannya di dalam kitab Tafsir-nya sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Muhammad ibnul Musanna, dari Abdus Samad dengan sanad yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan, "Hadits ini hasan gharib. Kami tidak mengenalnya kecuali hanya melalui hadits Umar ibnu Ibrahim. Sebagian di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Abdus Samad tanpa me-rafa'-kannya." Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkannya melalui hadits Abdus Samad secara marfu'.
Kemudian ia mengatakan bahwa hadits ini shahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya di dalam kitab Tafsir, dari Abu Dzar'ah Ar-Razi, dari Hilal ibnu Fayyad, dari Umar ibnu Ibrahim dengan sanad yang sama secara marfu'. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh An-Hafidzh Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya melalui hadits Syaz ibnu Fayyad, dari Umar ibnu Ibrahim secara marfu'.
Menurut hemat kami, Syaz adalah Hilal itu sendiri, Syaz itu adalah nama julukannya. Tujuan utama dari pengetengahan jalur-jalur hadits ini untuk menunjukkan bahwa hadits ini ma'lul (ada celanya) dipandang dari tiga segi: Pertama, Umar ibnu Ibrahim adalah seorang Basri. Ia dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu'in, tetapi Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa Umar ibnu Ibrahim hadisnya tidak dapat dijadikan hujah. Tetapi Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui hadits Al-Mu'tamir, dari ayahnya, dari Al-Hasan, dari Samurah secara marfu'.
Kedua, hal ini telah diriwayatkan pula dari perkataan Samurah sendiri dan tidak marfu' seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir, dari ayahnya; telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Abdullah, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abul Ala ibnusy Syikhkhir, dari Samurah ibnu Jundub, bahwa Adam menamakan anaknya dengan nama Abdul Haris.
Ketiga, Al-Hasan sendiri menafsirkan ayat ini dengan tafsiran lain. Seandainya hadits ini ada padanya dari Samurah secara marfu', niscaya dia tidak akan menyimpang darinya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Sahi ibnu Yusuf, dari Amr, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190) Bahwa hal ini terjadi di kalangan sebagian pengikut agama-agama lain, bukan Adam.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Tsaur, dari Ma' mar yang mengatakan bahwa Al-Hasan mengartikannya 'keturunan anak Adam dan orang-orang yang musyrik dari kalangan mereka sesudah Adam tiada', yakni makna firman-Nya: maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190) Ibnu Jarir pun mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang mengatakan, "Dahulu Al-Hasan sering mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mereka yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Allah memberi mereka anak-anak, lalu mereka menjadikannya sebagai orang Yahudi dan orang Nasrani. Semua sanad yang telah disebutkan di atas berpredikat shahih dari Al-Hasan, bahwa dia menafsirkan ayat ini dengan tafsiran tersebut. Tafsir yang dikemukakannya ini adalah yang terbaik untuk makna ayat ini. Seandainya hadits ini dinilai olehnya benar-benar dari Rasulullah ﷺ, niscaya Al-Hasan tidak mempunyai penafsiran yang menyimpang darinya, baik dia sendiri ataupun ulama lainnya; terlebih lagi bila mengingat takwa dan tingkatan wara'-nya.
Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini mauquf hanya, sampai kepada seorang sahabat. Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa Al-Hasan Al-Basri menerimanya dari sebagian Ahli Kitab yang telah beriman, seperti Ka'b atau Wahb ibnu Munabbih dan lain-lainnya, seperti yang akan kami jelaskan kemudian. Pada prinsipnya kami berlepas diri dari penilaian marfu' terhadap hadits ini. Adapun mengenai atsar-atsar, antara lain diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Hawa melahirkan banyak anak untuk Adam, lalu Adam menamakan mereka dengan nama depan Abdu, kemudian di-Mudaf-kan kepada lafal Allah, antara lain Abdullah dan Ubaidillah serta nama-nama lainnya yang semisal, tetapi ternyata mereka mati.
Kemudian datanglah iblis kepada keduanya, lalu berkata, "Sesungguhnya jika kamu berdua menamakan anakmu bukan dengan nama yang biasa kamu pakai, niscaya anakmu akan hidup." Selang beberapa lama Hawa melahirkan anak lagi untuk Adam, yaitu anak laki-laki. Maka Adam menamainya Abdul Haris. Hal inilah yang dikisahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya: Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu (Al-Araf: 189) Sampai dengan firman-Nya: maka keduanya menjadi sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya ituu. (Al-A'raf: 190) hingga akhir ayat.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas firman-Nya sehubungan dengan Adam: Dialah yang menciptakan kalian dari diri yang satu (Al Araf :189) sampai dengan firman-Nya: dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). (Al-A'raf: 189) Yakni Hawa merasa ragu apakah dirinya mengandung atau tidak. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya bermohon kepada Allah Tuhannya seraya berkata, "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur. (Al-A'raf: 189) Kemudian setan datang kepada keduanya dan mengatakan, "Tahukah kamu apakah yang akan dilahirkan bagi kamu berdua, atau tahukah kamu apa yang akan bakal lahir, berupa hewan ataukah bukan?" Setan membisikkan kepada keduanya hal yang batil, sesungguhnya setan itu penyesat yang nyata.
Sebelum itu Hawa melahirkan dua orang anak, lalu keduanya mati, maka setan berkata kepada keduanya (Adam dan Hawa), "Sesungguhnya kamu berdua jika tidak menamai anakmu bukan dengan namaku, niscaya dia akan keluar (lahir) dalam keadaan tidak sempurna, dan ia akan mati, sama dengan saudaranya yang terdahulu." Maka keduanya menamai anaknya dengan nama Abdul Haris. Yang demikian itulah hal yang disebutkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala: Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190) Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Syarik, dari Khasif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Tatkala Allah members kepada keduanya seorang anak yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah diamtgerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190); Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.
Maka setelah dicampurinya (Al-A'raf: 189) Yakni Adam telah mencampurinya. istrinya itu mengandung. (Al-A'raf: 189) Kemudian iblis datang kepada keduanya dan mengatakan, "Sesungguhnya aku adalah teman kamu berdua yang telah menyebabkan kamu berdua dikeluarkan dari surga, agar kamu berdua taat kepadaku atau aku akan menjadikan dua tanduk menjangan buat bayi yang ada dalam kandunganmu, lalu bayi itu akan keluar dari perutmu dengan membelah-nya." Iblis mengatakan bahwa ia akan melakukan anu dan anu seraya mengancam keduanya,'akhirnya keduanya menamai anaknya dengan nama Abdul Haris.
Adam dan Hawa membangkang, tidak mau menuruti kata-kata ibiis, maka anaknya lahir dalam keadaan mati. Kemudian Hawa mengandung untuk kedua kalinya, dan iblis datang lagi kepadanya, lalu berkata, "Sesungguhnya aku adalah teman kamu berdua yang telah melakukan anu dan anu, maka sesungguhnya kamu harus melakukan anu dan anu atau aku akan melakukan anu dan anu," seraya menakut-nakuti keduanya.
Keduanya menolak, tidak mau taat kepada iblis, akhirnya anak keduanya lahir dalam keadaan mati. Kemudian Hawa mengandung lagi untuk ketiga kalinya, dan iblis datang kepada keduanya, lalu mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya. Karena keduanya ingin mempunyai anak, akhirnya keduanya menamakan anaknya dengan nama Abdul Haris (nama yang disarankan iblis). Hal itu disebutkan oleh firman-Nya: maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190) Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Asar ini telah diterima dari Ibnu Abbas oleh sejumlah murid-muridnya, seperti Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ikrimah. Sedangkan dari kalangan generasi berikutnya ialah Qatadah dan As-Suddi serta lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf dan sejumlah ulama Khalaf; dari kalangan ulama tafsir banyak sekali yang meriwayatkan atsar ini. Seakan-akan atsar ini hanya Allah yang lebih mengetahui dikutip dari kaum Ahli Kitab, mengingat Ibnu Abbas meriwayatkannya dari Ubay ibnu Ka'b.
Hal ini seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami Said yakni Ibnu Basyir, dari Uqbah, dari Qatadah, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa ketika Hawa mengandung, setan datang kepadanya dan berkata, "Maukah engkau menuruti nasihatku? Maka aku jamin anakmu lahir dengan selamat.
Namailah anakmu Abdul Haris." Tetapi Hawa tidak melaksanakannya. Maka ketika ia melahirkan, anaknya itu meninggal dunia. Kemudian Hawa mengandung untuk kedua kalinya, dan setan mengatakan kepadanya perkataan yang sama, tetapi Hawa tidak melakukannya. Kemudian Hawa mengandung lagi untuk yang ketiga kalinya, setan datang lagi dan mengatakan, Jika engkau menaatiku, niscaya anakmu selamat; jika tidak, maka kelak anakmu lahir berupa hewan." Akhirnya keduanya merasa takut, dan keduanya menaati saran setan (iblis).
Asar-atsar yang telah disebutkan di atas hanya Allah yang lebih mengetahui-merupakan kisah-kisah Ahli Kitab. Di dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah ﷺ disebutkan bahwa beliau ﷺ pernah bersabda: Apabila Ahli Kitab bercerita kepada kalian, maka janganlah kalian membenarkan mereka, jangan pula kalian mendustakan mereka. Kemudian kisah-kisah mereka terbagi menjadi tiga bagian, di antaranya ada kisah-kisah yang telah kita ketahui kebenarannya melalui apa yang ditunjukkan oleh dalil dari Kitabullah atau dari Sunnah Rasul ﷺ Ada kisah yang telah kita ketahui kedustaannya melalui dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ yang bersikap berbeda dengannya. Adapula yang tidak dibicarakan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul. Maka jenis kisah ini dibolehkan meriwayatkannya, karena ada sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: Berceritalah dari kaum Bani Israil, tidak mengapa. Jenis kisah inilah yang tidak dibenarkan, tidak pula didustakan, karena ada sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: Maka janganlah kalian membenarkan mereka, jangan pula kalian mendustakan mereka Kisah yang telah disebutkan di atas dapat dikatakan termasuk ke dalam bagian yang kedua, dapat pula dikatakan termasuk ke dalam bagian yang ketiga; tetapi anggapan bagian yang ketiga masih memerlukan pertimbangan.
Dengan kata lain, jika kisah itu datangnya dari seorang sahabat atau seorang tabi'in, maka dikategorikan ke dalam bagian yang ketiga. Kami pribadi lebih cenderung mengikuti pendapat yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri. Sehubungan dengan takwil ayat ini ia mengatakan makna yang dimaksud dari konteks ayat ini adalah bukan menyangkut Adam dan Hawa, melainkan berkenaan dengan orang-orang musyrik dari kalangan keturunannya.
Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman pada penghujung ayat ini. yaitu: Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Al-A'raf: 190) Selanjutnya Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa sebutan Adam dan Hawa pada permulaan merupakan pendahuluan yang mengawali perihal kedua orang tua yang akan disebutkan sesudahnya. Ungkapan seperti ini sama dengan kelanjutan sebutan seseorang dengan menyebutkan jenis atau predikatnya. Sama halnya dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang. (Al-Mulk: 5), hingga akhir ayat. Telah kita maklumi pula bahwa pelita-pelita tersebut yakni bintang-bintang yang dijadikan sebagai hiasan langit bukanlah merupakan sesuatu sarana untuk melempar. Sesungguhnya ungkapan ini merupakan kelanjutan dari penyebutan bintang-bintang, yaitu dengan beralih kepada penyebutan jenisnya. Hal seperti ini banyak didapat di dalam Al-Qur'an."
Maka setelah Dia, yakni Allah memberi keduanya seorang anak yang sempurna, mereka menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya itu, yakni mereka tidak bersyukur. Orang-orang musy-rik menjadikan sekutu bagi Tuhan dalam menciptakan anak itu, yaitu bahwa kelahiran anak mereka itu bukan semata-mata karunia Allah, tetapi juga atas berkat berhala-berhala yang mereka sembah. Karena itulah mereka menamakan anak-anak mereka dengan 'Abdul 'Uzza, 'Abdul Mana't, Abdusy Syam dan sebagainya. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Begitu banyak bukti-bukti keagungan, ketinggian, dan kesucian Allah dari segala kekurangan dan sekutu, lalu mengapa mereka terus berada dalam kesesatan dan selalu mempersekutukan Allah dengan sesuatu berhala yang tidak dapat menciptakan dan melakukan sesuatu apa pun' Padahal berhala itu sendiri diciptakan oleh manusia.
Allah memperkenankan doa kedua suami-isteri itu dengan menganugerahkan anak yang saleh kepada keduanya. Tetapi kemudian mereka tidaklah bersyukur kepada Allah atas nikmat itu, bahkan mereka menisbahkan anak yang saleh itu kepada berhala-berhala dengan mengatakan bahwa anak itu hamba dari patung-patung, atau mereka hubungkan anak itu kepada binatang-binatang atau kepada alam. Mereka tidak mengatakan anak itu sebagai anugerah Allah. Oleh karena itu mereka tidak bersyukur kepada Allah. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEHIDUPAN SUAMI ISTRI
Ayat 189
“Dialah yang telah menciptakan kamu daripada diri yang satu, dan Dia jadikan daripadanya istrinya, supaya dia merasa tenang dengan dia."
Sudah kita ketahui ketika menerangkan surah al-Baqarah tentang kejadian Adam dan Hawa dan sudah kita ketahui pula tentang diri yang satu itu pada ayat yang pertama dari surah an-Nisaa'. Di sini tidak ada salahnya kalau kita ambil jalan yang kedua, yaitu bahwasanya manusia itu, baik laki-laki ataupun perempuan pada dasarnya adalah satu. Satu jiwa atau satu kejadian, yang bernama jiwa insan. Yang membedakan di antara laki-laki dan perempuan hanya sedikit perubahan pada kelamin saja. Sebab, itu, baik laki-laki ataupun perempuan, pada hakikatnya adalah satu pada asal kejadiannya. Kemudian daripada diri yang satu itulah dijadikan yang perempuan. Kita boleh berpendapat bahwa dari yang mula terjadi ialah Adam. Sesudah Adam terjadilah Hawa yang diambil dari sebagian badannya. Akan tetapi, kita pun boleh memahamkan bahwa yang dimaksud dengan ayat yang tengah kita bicarakan ini ialah seluruh manusia di dunia ini, bukan khusus Adam saja. Dari bagian diri atau jiwa atau kemanusiaan yang satu itulah diadakan bakal istrinya. Untuk bekal istri dari seorang laki-laki tidaklah dicarikan dari makhluk lain, melainkan dari sesama manusia juga, sekadar diubah kelaminnya menjadi penerima (pasif) dan jenis si laki-laki menjadi, pemberi (aktif). Sebelum manusia laki-laki itu mendapatkan jodohnya, gelisahlah hidupnya karena belum berteman. Akan tetapi, setelah mendapat jodoh atau istri, mulailah dia tenang. Di dalam ayat ini terdapat kata-kata yaskuna, yang kita artikan tenang atau tenteram. Di dalam surah ar-Ruum ayat 21, disebutkan juga bahwasanya salah satu ayat kebesaran Allah ialah mengadakan istri buat kamu, supaya kamu tenang, itaskunuu ilaihi" Ketenangan adalah lawan dari kegelisahan. Dia disebut juga sakinah. Rumah tangga tempat diam suami istri bahkan disebut “maskan", tempat bertenang. Seorang pemuda akan gelisah sebelum mendapat teman hidup. Seorang perempuan menunggu siapakah gerangan laki-laki yang akan menjadi teman hidupnya, sedang laki-laki mencari. Maka, Allah menakdirkan keduanya bertemu dan berjodoh, mendirikan “maskan" tempat diam dan tenang. Bersuami istri, bercampur gaul. Dari pergaulan dan percampuran mereka, didapatlah keturunan. Bunyi ayat selanjutnya pun demikian:
“Maka, tatkala dia telah mencampurinya, mengandunglah dia, suatu kandungan yang ringan lalu dia terus dengan dia." Artinya, dicampurilah si istri oleh si suami menurut lazimnya orang bersuami-istri. Karena percampuran atau persetubuhan mereka, si istri pun mulailah mengandung. Mulanya masih ringan saja, sekadar perubahan selera atau berhenti haidh. Di dalam ayat ini tersimpullah kata-kata yang halus sekali tentang permulaan hamil.
Si perempuan merasa bahwa dia telah mulai mengandung, dia telah berhenti membawa bulan (haidh) dan mulai berubah-ubah selera, tetapi itu dirasanya masih ringan saja. Sekalian perempuan yang mulai mengandung mengetahui dan melihat setiap hari sesamanya perempuan mengandung, terutama kandungan yang telah tua, lebih dari tujuh bulan. Perempuan yang telah mengandung dekat melahirkan itu kelihatan payah, lebih payah dari dia yang mulai mengandung, tetapi hal itu masih dirasanya ringan saja, bahkan dia perempuan itu masih tetap dengan suaminya, bertambah kasih sayangnya dan perasaan bahagianya. Bertambahlah kedua belah pihak menunjukkan kasih sayang dan cinta mesra, demi karena anak yang mulai dikandung. Demikianlah sejak bulan-bulan pertama, kedua dan ketiga dan selanjutnya, sehingga kian bertambah bulannya, menjelang tujuh bulan, kian beratlah kandungan itu, sampai nanti dekat lahirnya pada masuk bulan kesepuluh. Maka, tersebutlah dalam lanjutan ayat:
“Maka, tatkala telah benar, bendoalah keduanya kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Engkau anugerahi kami seorang anak laki-laki yang baik, akan jadilah kami daripada orang-orang yang bensyukur.'"
Wahyu Allah ini telah menggambarkan benar-benar keinginan suami istri, terutama yang baru berumah tangga. Pada umumnya, orang terlebih dahulu menginginkan anak laki-laki. Akan tetapi, meskipun dapat anak perempuan, mereka pun bersyukur juga. Dan, ayat ini sesuai pula dengan perasaan orang Arab pada masa ayat ini diturunkan, yaitu lebih menginginkan anak laki-laki. Kalau kandungan istri telah tua, telah berat, macam-macamlah niat yang dipasang. Ada orang yang sejak dari bulan-bulan pertama istri mulai mengandung sudah menyediakan tempat tidur kecil, pakaian anak-anik, bahkan ada yang telah menyediakan nama si “buyung" atau si “upik" yang akan lahir. Macam-macam pula angan-angan misalnya kalau anak itu laki-laki, hendaknya menjadi pahlawan yang berjasa, menjadi seperti si anu dan si fulan, menjadi orang besar atau yang alim. Kadang-kadang disediakan nama anak dengan mengambil nama orang besar yang jadi pujaan di masa itu. Dan, kalau kehendak mereka dikabulkan Allah, mereka akan bersyukur.
Kemudian berfirmanlah Allah tentang tingkah-laku setengah manusia,
Ayat 190
“Maka, tatkala Dia telah memberikan kepada keduanya putra yang baik, mereka adakanlah bagi-Nya sekutu-sekutu dalam hal apa yang telah Dia berikan itu."
Di sinilah Allah menjelaskan lagi setengah daripada benih syirik yang ada pada jiwa setengah manusia. Ketika si istri dalam hamil sarat, mereka merasa cemas, mereka merasa takut kalau-kalau mendapat bahaya ketika melahirkan. Sebab itu, sangat-sangat mereka bermohon kepada Allah, moga-moga dapat anak laki-laki, moga-moga selamat tidak kurang suatu apa. Akan tetapi, setelah anak itu lahir dengan selamat, mulailah mereka membuat pujaan, tanda syukur, atau bernadzar. Mau mengantarkan sajian (sajen) kepada berhala atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Di zaman jahiliyyah, nenek moyang Nabi Muhammad ﷺ sendiri, yaitu Qushai, yang bertahun-tahun lamanya mengasingkan diri di negeri Qudha'ah, pulang kembali ke Mekah lalu meramaikan Ka'bah. Dia beroleh putra empat orang. Dia sangat bangga dengan ada-nya empat anak itu, untuk tanda syukurnya maka keempat anaknya diberinya nama, yang pertama Abdu Manaf (Manaf) adalah nama berhala. Kedua Abdu Syams (Syams) artinya matahari. Ketiga dinamainya Abdul Uzza, yaitu nama berhala Uzza yang terkenal sebagai per-sembahan orang Quraisy, dan anak keempat dinamainya Abdud Daar. Daar artinya rumah, yaitu Darun Nadwah, rumah tempat ketua-ketua Quraisy berkumpul bermusyawarat, sebagai balairung. Jadi keempat anaknya disebut sebagai hamba manaf, hamba matahari, hamba berhala Uzza dan hamba balairung. Ayat ini mencela kemusyrikan yang demikian. Ketika dalam kesusahan Allah yang dipuja dan setelah terlepas dari kesusahan, mulailah perbuatan syirik. Kalau ini dicela sebagai perbuatan orang Arab jahiliyyah, bukan berarti bahwa sisa jahiliyyah itu tidak terdapat lagi di zaman sekarang. Manusia mendapat putra kadang-kadang adalah laksana seorang yang masih cerdik pikirannya sebelum mendapat keuntungan lotre. Akan tetapi, setelah uang keuntungan itu datang, dia tidak dapat lagi mengendalikan diri lalu memporak-porandakan uang itu. Ada orang yang karena telah selamat melahirkan anak, lalu pergi ke kuburan keramat melepaskan nadzar. Padahal, bernadzar kepada yang selain Allah adalah syirik. Ada pula yang pergi memberi makan monyet-monyet di suatu tempat yang telah ditentukan, sebagai monyet di Gunung Padang, atau monyet di Perdagangan, dekat Pematang Siantar dan di banyak tempat yang lain. Padahal, mereka bukanlah penganut ajaran Darwin yang mengatakan asal usul manusia adalah dari monyet!
Termasuk jugalah dalam ini, orang yang melekatkan macam-macam azimat tangkal bala pada leher atau tangan anaknya; sebagai timbarah, timah putih inggu, kain hitam dan benang tujuh warna. Katanya supaya anak itu jangan diganggu jin dan setan. Semuanya itu adalah bekas dari kepercayaan animisme kuno. Semasa penulis tafsir ini masih kecil di kampung, masih mendapati beberapa upacara animisme itu dilakukan orang setelah anak lahir. Mesti sedia penyembur, terdiri daripada lada hitam, lengkuas dan jahe (sepedas), untuk menyembur ke kiri kanan anak itu, supaya setan pelesit atau jin permaya yang lain jangan mendekat dan mengganggu anak itu. Dan, upacara yang lucu terjadi seketika membawa anak turun mandi ke pancuran, disediakan sebuah lakar (alas periuk dari rotan) yang oleh dukun yang membawa anak itu pergi mandi, disepakkan ketika turun tangga.
Di jalan diserakkan beras kunyit dan selalu dipasangkan pelita, walaupun tengah hari. Dan, seketika dia dibawa pulang dari pancuran, disirami lagi dengan beras kunyit, lalu ketika akan naik tangga rumah, yang di atas rumah bertanya kepada dukun yang membawa bayi itu, ‘Apa yang dibawa?" Dukun menjawab, “Beras dan padi." Kemudian ditanya lagi, ‘Apa yang dibawa?" Dukun menjawab, “Emas perak!"
Sedang uri, bali, ketuban dan saudara bayi diletakkan ke dalam belanga lalu dikuburkan di dekat rumah, di atasnya dicoreng dengan sadah (kapur sirih) memakai rajah silang empat, seperti tanda salib.
Ini pun semuanya adalah sisa jahiliyyah, pemujaan kepada hantu dan semangat, supaya mereka jangan mengganggu. Setelah maju cara berpikir dan agama bertambah didalami, hilanglah sendirinya upacara-upacara yang ganjil itu. Maka, berfirmanlah Allah di akhir ayat,
“Mahasucilah Allah dari apa yang mereka persekutukan itu."
Cocoklah ujung ayat ini kepada perbuatan orang zaman jahiliyyah tadi, dan cocok juga terhadap perbuatan jahiliyyah di negeri kita sendiri, dengan contoh yang penulis tafsir lihat di kala masih kecil itu. Padahal, di dalam Islam sendiri, Nabi kita Muhammad ﷺ telah menunjukkan beberapa upacara yang tidak kurang indahnya dalam penyambutan kelahiran anak, yang semuanya itu tidak lepas dari dalam rangka tauhid. Di antaranya ialah memilihkan nama yang baik buat dia, misalnya nama Hasan, Husain, Zain, Muhammad, Ahmad atau memakai salah satu nama Allah di dalam Asma'ul Husna dengan dipangkali Abd, artinya hamba. Misal Abdullah (hamba Allah), Abdul ‘Aziz (hamba dari Yang Maha Bijaksana) dan seterusnya. Dan, setelah cukup usianya tujuh hari, sangatlah dianjurkan agar disembelihkan aqiqah, tanda bersyukur, dengan memanggil makan keluarga dan fakir miskin, untuk memaklumkan pada seluruh keluarga dan tetangga bahwa anggota rumah tangga telah bertambah.
Di dalam beberapa kitab tafsir ada bertemu sebuah riwayat, bahwa kedua ayat 189 dan ayat 190 ini diturunkan Allah menceritakan asal mula pertemuan nenek moyang kita, Adam dan Hawa, setelah mereka datang ke dunia. Kata riwayat itu, kedua nenek kita ingin dapat anak. Maka, dapatlah anak laki-laki lalu mereka namai Abdullah, tetapi anak itu mati ketika masih kecil. Kemudian dapat lagi anak laki-laki lalu mereka namai ‘Ubaidullah, tetapi masih kecil telah mati pula. Maka, bersedihlah kedua nenek kita itu, sebab tiap beranak tiap mati juga. Akhirnya Hawa mengandung lagi dan dapat pula anak laki-laki. Waktu itu datanglah iblis, musuhnya yang sama-sama disuruh keluar dari dalam surga itu. Kata riwayat itu, si iblis datang memberi nasihat kepada keduanya supaya anak itu diberi nama Abdul Harits. Setelah nasihat iblis itu diikuti oleh kedua nenek kita dan anak itu diberi nama Abdul Harits, barulah anak itu hidup, tidak mati-mati lagi.
Abdul Harits artinya hamba dari yang menyuburkan segala yang subur. Meskipun saudara pembaca bukan ahli penyelidik sha-hih dan dhaifnya sesuatu Hadits, tentu dengan pikiran tauhid yang sehat saudara telah membantah dengan sendirinya riwayat ini, walaupun siapa yang merawikannya, Terupakah di akal saudara bahwa Nabi Adam dan Hawa yang telah dikeluarkan dari dalam surga mau lagi menuruti perdayaan setan dan iblis, padahal Adam adalah seorang nabi? Percayakah saudara bahwa anak Adam mati karena anak itu bernama Abdullah dan ‘Ubaidullah? Sedang yang menasihati itu iblis pula?
Penafsir Ibnu Katsir telah membantah ayat ini. Ini pun adalah satu dongeng israiliyat yang dimasukkan orang ke dalam tafsir. Sanad-sanad dan perawi haditsnya mendapat jarah (cacat) dari ahli-ahli hadits. Dan, dari sini pulalah sumber dari satu kebiasaan orang awam menukar nama anak, sebentar tukar, sebentar tukar karena dia sakit-sakitan saja. Katanya, nama yang dahulu itu terlalu berat buat dia. Sehingga karena kurang hati-hati sebuah ayat yang mencela syirik, telah menjadi sebab buat orang berbuat syirik.
Oleh sebab itu, di antara banyak penafsir, yang lebih cocok dengan maksud ayat ialah penafsiran dari Imam Hasan al-Bishri, yang mengatakan bahwa ayat 189 dan 190 ini, terutama ayat 190 bukanlah untuk menceritakan Nabi Adam dan Hawa menuruti nasihat iblis, melainkan, pelajaran bagi kaum yang beriman supaya jangan berbuat syirik setelah anaknya lahir.
Kemudian datanglah lanjutan ayat:
Ayat 191
“Apakah mereka persekutukan apa-apa yang tidak menjadikan sesuatu, padahal merekalah yang dijadikan?"
Siapakah yang menciptakan anak dalam kandungan dari pertemuan dua mani dan pe-rempuan, kalau bukan Allah? Mengapa mereka pergi memuja berhala di zaman jahiliyyah dahulu atau jahiliyyah sekarang memuja monyet, memuja kubur, memuja keramat? Padahal bukan berhala, bukan monyet, bukan keramat itu yang menjadikannya? Bahkan segala yang dipuja itulah yang dijadikan, baik bahan bendanya yang dijadikan Allah ataupun dia diberi nama suatu berhala karena dijadikan oleh manusia. Suatu tempat dianggap sakti atau angker. Dia jadi sakti dan angker karena manusia mengatakan demikian sedang tempat lain di tempat itu juga yang tidak disaktikan diangkerkan, tidaklah sakti dan angker.
Ayat 192
“Dan, tidaklah mereka sanggup menolong mereka."
Baik berhala atau benda, monyet, gunung, pohon beringin, atau barang-barang lain yang dijadikan sekutu bagi Allah itu tidaklah dapat menolong kepada mereka yang datang meminta tolong itu.
“Dan diri mereka sendiri pun tidak bisa mereka tolong."