Ayat
Terjemahan Per Kata
قَالُوٓاْ
mereka berkata
أَتَعۡجَبِينَ
apakah kamu merasa heran
مِنۡ
dari/tentang
أَمۡرِ
ketetapan
ٱللَّهِۖ
Allah
رَحۡمَتُ
rahmat
ٱللَّهِ
Allah
وَبَرَكَٰتُهُۥ
dan keberkatan-Nya
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
أَهۡلَ
ahlul/ahli
ٱلۡبَيۡتِۚ
bait/rumah
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia
حَمِيدٞ
Maha Terpuji
مَّجِيدٞ
Maha Mulia
قَالُوٓاْ
mereka berkata
أَتَعۡجَبِينَ
apakah kamu merasa heran
مِنۡ
dari/tentang
أَمۡرِ
ketetapan
ٱللَّهِۖ
Allah
رَحۡمَتُ
rahmat
ٱللَّهِ
Allah
وَبَرَكَٰتُهُۥ
dan keberkatan-Nya
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
أَهۡلَ
ahlul/ahli
ٱلۡبَيۡتِۚ
bait/rumah
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia
حَمِيدٞ
Maha Terpuji
مَّجِيدٞ
Maha Mulia
Terjemahan
Mereka (para malaikat) berkata, “Apakah engkau merasa heran dengan ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan berkah Allah (yang) dicurahkan kepada kamu, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”
Tafsir
(Para malaikat itu berkata, "Apakah kamu merasa heran tentang perintah Allah) yakni kekuasaan-Nya (itu adalah rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kalian) hai (ahlul bait) keluarga Nabi Ibrahim. (Sesungguhnya Allah Maha Terpuji) sangat terpuji (lagi Maha Pemurah") Maha Pengasih.
Tafsir Surat Hud: 69-73
Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, "Selamat." Ibrahim menjawab, "Selamat (juga untuk kalian)." Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.
Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata, "Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Lut.”
Dan istrinya berdiri (di sampingnya), lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya'qub.
Istrinya berkata, "Sungguh ajaib, bagaimana aku bisa melahirkan anak, padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan suamiku ini pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat ajaib."
Para malaikat itu berkata, "Mengapa kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kalian, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Ayat 69
Allah ﷻ berfirman: “Dan sesungguhnya telah datang utusan-utusan Kami.” (Hud: 69)
Mereka terdiri dari kalangan para malaikat.
“Kepada Ibrahim dengan membawa berita gembira.” (Hud: 69)
Menurut suatu pendapat, para malaikat itu datang menyampaikan berita gembira kepada Ibrahim tentang kelahiran Ishaq. Menurut pendapat lain, berita gembira tersebut ialah kebinasaan kaum Lut. Pendapat yang pertama diperkuat oleh firman-Nya yang mengatakan: “Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, dia pun bertanya jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Lut.” (Hud: 74)
Firman Allah ﷻ: “Mereka mengucapkan, ‘Selamat.’ Ibrahim menjawab, ‘Selamat (juga untuk kalian).’ (Hud: 69)
Maksudnya, semoga keselamatan terlimpahkan pula atas kalian.
Ulama Bayan mengatakan bahwa ungkapan ini merupakan ungkapan salam penghormatan yang baik, karena bacaan rafa menunjukkan pengertian tetap dan selamanya.
“Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.” (Hud: 69)
Nabi Ibrahim pergi dengan cepat, lalu segera kembali seraya membawa suguhan dan jamuan buat tamu-tamunya itu, yaitu berupa sapi muda yang dipanggang. Haniz artinya dipanggang di atas batu yang dipanaskan.
Demikianlah menurut makna yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, seperti juga yang disebutkan dalam ayat yang lain melalui firman-Nya: “Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim berkata, ‘Silakan kalian makan’.” (Adz-Dzariyat: 26-27) Ayat ini mengandung etika penghormatan kepada tamu dipandang dari berbagai segi.
Ayat 70
Firman Allah ﷻ: “Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka.” (Hud: 70) Yakni Nabi Ibrahim merasa keheranan dengan sikap mereka.
“Dan merasa takut kepada mereka.” (Hud: 70)
Demikian itu karena malaikat tidak membutuhkan makanan, tidak menginginkannya, tidak pula pernah memakannya. Melihat sikap mereka yang berpaling dari apa yang disuguhkannya kepada mereka, tanpa ada rasa keinginan sama sekali, maka pada saat itu: “Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka dan merasa takut kepada mereka.” (Hud: 70)
As-Saddi mengatakan bahwa ketika Allah mengutus sejumlah malaikat untuk membinasakan kaum Nabi Lut, maka para malaikat itu menyerupakan dirinya sebagai pemuda yang tampan-tampan; mereka berjalan dan mampir di rumah Nabi Ibrahim, bertamu kepadanya. Ketika Nabi Ibrahim melihat kedatangan mereka: “Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar).” (Adz-Dzariyat: 26)
Nabi Ibrahim menyembelih anak sapi, lalu dipanggangnya di atas bara api; setelah masak, dia menghidangkannya kepada mereka. Nabi Ibrahim duduk bersama mereka, sedangkan Sarah istrinya melayani tamu-tamu itu. Demikian itu terjadi di saat istrinya berdiri, sedangkan Ibrahim duduk (bersama mereka). Menurut qiraat Ibnu Mas'ud disebutkan: “Maka tatkala Ibrahim menghidangkan suguhannya kepada mereka, Ibrahim berkata, ‘Silakan kalian makan.’ Mereka menjawab, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kami tidak mau memakan sesuatu makanan kecuali dengan membayar harga (imbalan)nya.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya makanan ini pun ada harganya.’ Mereka bertanya, ‘Apakah harganya?’ Ibrahim berkata, ‘Kalian sebutkan asma Allah pada permulaannya, kemudian kalian memuji kepada-Nya di akhirnya.’ Maka Jibril melihat kepada Mikail seraya berkata, ‘Orang ini berhak bila dijadikan oleh Tuhannya sebagai kekasih-Nya’.”
“Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka.” (Hud 70)
Tatkala Ibrahim a.s. melihat bahwa mereka (tamu-tamunya) itu tidak mau menyantap hidangannya, ia terkejut dan timbullah rasa takut di hatinya terhadap mereka. Lain halnya dengan Sarah (istri Nabi Ibrahim). Ketika ia melihat bahwa Ibrahim a.s. telah menghormati mereka, ia bangkit melayani mereka dengan tersenyum ramah seraya berkata, "Sungguh aneh tamu-tamu kita ini, mereka kita layani secara langsung sebagai penghormatan kita kepada mereka, tetapi mereka tidak mau menyantap sajian kita ini."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu Qais, dari Usman ibnu Muhaisin sehubungan dengan kisah tamu-tamu Nabi Ibrahim, bahwa mereka terdiri atas empat malaikat, yaitu Jibril, Mikail, Israfil dan Rafa'il.
Nuh ibnu Qais mengatakan bahwa Nuh ibnu Abu Syaddad menduga bahwa ketika mereka masuk ke dalam rumah Nabi Ibrahim, dan Nabi Ibrahim menyuguhkan kepada mereka anak sapi yang dipanggang, maka Jibril mengusapnya dengan sayapnya. Lalu anak sapi itu hidup kembali dan bangkit menyusul induknya yang saat itu induk sapi berada tidak jauh dari rumah Nabi Ibrahim.
Firman Allah ﷻ yang menceritakan keadaan para malaikat itu: “Malaikat itu berkata, ‘Jangan kamu takut’!" (Hud: 70) Yakni mereka berkata bahwa janganlah kamu takut kepada kami, sesungguhnya kami adalah para malaikat yang diutus kepada kaum Nabi Lut untuk membinasakan mereka. Maka Sarah tersenyum mendengar berita gembira tentang akan dibinasakannya mereka, sebab mereka banyak menimbulkan kerusakan, dan kekufuran serta keingkaran mereka sudah terlalu berat. Karena itulah Sarah diberi pembalasan berita gembira, yaitu dengan kelahiran seorang putra, padahal sudah lama Sarah putus asa dari mempunyai anak.
Qatadah mengatakan bahwa Sarah tersenyum dan merasa heran bila suatu kaum kedatangan azab, sedangkan mereka dalam keadaan lalai.
Ayat 71
Firman Allah ﷻ: “Dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub.” (Hud: 71)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan fadahikat ialah fahadat yang artinya 'maka berhaidlah Sarah seketika itu juga'.
Menurut Muhammad ibnu Qais, sesungguhnya Sarah tertawa karena dia menduga bahwa tamu-tamunya itu akan melakukan hal yang sama dengan apa yang biasa dilakukan oleh kaum Lut.
Al-Kalbi mengatakan, sesungguhnya Sarah tertawa hanyalah karena ketika ia melihat Nabi Ibrahim dicekam oleh rasa takut karena usianya yang sudah lanjut dan keadaannya yang lemah. Sekalipun Ibnu Jarir telah meriwayatkan kedua pendapat di atas berikut sanadnya yang sampai pada keduanya, tetapi pendapat tersebut tidak usah diperhatikan.
Dan mengenai pendapat Wahb ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa sesungguhnya Sarah tertawa setelah mendapat berita gembira tentang kelahiran Ishaq, hal ini jelas bertentangan dengan konteks ayat. Karena sesungguhnya berita gembira itu jelas terjadi setelah Sarah tertawa.
“Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub.” (Hud: 71)
Yakni akan kelahiran putra, kelak putranya itu akan melahirkan anak pula yang merupakan cucu dan generasi penerusnya. Karena sesungguhnya Ya'qub adalah anak Ishaq, seperti yang disebutkan di dalam ayat surat Al-Baqarah: “Adakah kalian hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kalian sembah sepeninggalku?' Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 133)
Berdasarkan ayat inilah orang yang berpendapat bahwa anak yang disembelih itu sesungguhnya adalah Nabi Ismail. Mustahil bila yang dimaksudkan adalah Ishaq, mengingat kelahirannya adalah berdasarkan berita gembira yang antara lain menyebutkan bahwa kelak Ishaq akan mempunyai anak pula, yaitu Ya'qub. Maka mana mungkin Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelihnya, sedangkan ia masih bayi dan berita yang menjanjikan akan kelahiran anaknya yaitu Ya'qub masih belum terpenuhi. Janji Allah adalah benar dan tidak akan diingkari.
Dengan demikian, mustahillah bila Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Ishaq dalam keadaan seperti itu (yakni masih kecil dan belum mempunyai anak). Maka dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan putra yang disembelih adalah Ismail. Alasan tersebut merupakan dalil yang paling baik, paling sahih serta paling jelas.
Ayat 72
“Istrinya berkata, ‘Sungguh ajaib, bagaimana aku bisa melahirkan anak, padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan suamiku ini pun dalam keadaan yang sudah tua pula’?” (Hud: 72), hingga akhir ayat.
Ayat ini menceritakan tentang ucapan istri Nabi Ibrahim, perihalnya sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: “Istrinya berkata, 'Sungguh ajaib, bagaimana aku bisa melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua’?” (Hud: 72) Dan Firman-Nya di dalam surat Adz-Dzariyat ayat 29: “Kemudian istrinya datang seraya memekik (tercengang), lalu menepuk mukanya sendiri dan berkata, ‘(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul’.” Perihalnya sama dengan wanita lainnya bila merasa terkejut, baik dalam ucapan maupun sikapnya.
Ayat 73
“Para malaikat itu berkata, ‘Mengapa kamu merasa heran tentang ketetapan Allah’?” (Hud: 73)
Para malaikat itu berkata kepada istri Nabi Ibrahim, "Janganlah kamu merasa heran tentang kekuasaan Allah, karena sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu tinggal mengatakan kepadanya, 'Jadilah.' Maka jadilah ia. Karena itu, janganlah kamu merasa heran dengan hal ini, sekalipun kamu sudah lanjut usia serta mandul dan suamimu pun sudah lanjut usia. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
“(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kalian, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (Hud: 73)
Dia Maha Terpuji dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya, lagi Maha Terpuji dalam semua sifat dan zat-Nya. Di dalam sebuah hadis yang tertera dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa mereka (para sahabat) bertanya, "Sesungguhnya kami telah mengetahui cara mengucapkan salam penghormatan kepadamu, maka bagaimanakah cara mengucapkan salawat untukmu, hai Rasulullah?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Katakanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah salawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan salawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung’."
Mendengar pernyataan Sarah, mereka para malaikat berkata, Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah' Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu, tak ada yang mengherankan dalam semua keputusanNya. Itu adalah rahmat dan berkah Allah yang luas dan banyak, dicurahkan
kepada kamu, wahai ahlulbait keluarga Ibrahim! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji dalam nama, sifat, dan perbuatan-Nya, karena Dia melimpahkan karunia banyak kepada hamba-Nya, lagi Maha Pengasih memiliki kedudukan tinggi, karena Dialah Zat yang memiliki keagungan dan
kebesaran. Setelah mendengar berita gembira dan penjelasan tentang maksud
kedatangan para malaikat, maka ketika itu rasa takut pun hilang dari diri
Nabi Ibrahim karena penjelasan para malaikat tentang maksud kedatangan mereka, dan kabar gembira akan kelahiran Ishak dan Yakub telah
datang kepadanya, lalu dia pun berdiskusi dengan para malaikat Kami tentang kaum Nabi Lut yang akan diazab oleh Allah.
Akhirnya para malaikat itu berkata, "Apakah patut kamu merasa heran terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah?" Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaperkasa tidak akan sulit baginya bila Dia menghendaki akan menganugerahkan anak kepada siapa saja meskipun hal itu menurut adat dan kebiasaan tidak mungkin terjadi. Hal itu sungguh amat mudah bagi Allah sesuai dengan firman-Nya:
Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu. (Yasin/36: 82)
Selanjutnya malaikat mengatakan, "Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat kepada kamu, hai keluarga Ibrahim a.s. Dia-lah yang berhak disanjung dan dipuji."
Mendengar ucapan para malaikat itu mengertilah Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Sarah, bahwa mereka telah terlanjur dan terlalu lancang mengucapkan kata-kata padahal yang membawa berita gembira itu adalah para malaikat utusan Allah.
Tidaklah dapat dilukiskan bagaimana gembira dan bahagianya Nabi Ibrahim a.s. apalagi istrinya yang lain yang bernama Hajar telah melahirkan seorang putera bernama Ismail. Mereka mengucapkan syukur dan puji kepada Allah, yang telah memberi mereka karunia yang sudah lama mereka idam-idamkan dan hampir berputus-asa dalam hal ini karena mereka sudah tua.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
NABI IBRAHIM DENGAN UTUSAN-UTUSAN ALLAH
Ayat 69
“Dan sesungguhnya telah datang utusan-utusan Kami kepada Ibrahim dengan berita gembira."
Yang dimaksud dengan utusan-utusan di sini ialah beberapa orang Malaikat Allah datang kepada Nabi Ibrahim untuk menyampaikan sebuah berita yang amat menggembirakan, yaitu bahwasa istrinya yang mandul dan telah tua yang selama ini belum beroleh putra sekarang akan diberi Allah seorang putra laki-laki. Ibrahim sampai kawin lagi dengan Hajac seorang dayang yang dianugerahkan oleh Sarah kepadanya, supaya dia beroleh putra, karena dengan Sarah sendiri sudah berpuluh tahun bersuami-istri tidak juga beroleh anak. Maka dengan Hajar beliau beroleh putra laki-laki, yaitu Isma'il. Namun Sarah masih ingin diberi Allah putra juga. Maka diutus Allahlah malaikat-malaikat lebih rupanya dari dua sebab untuk dipakai lafal jamak, yaitu Ruhul.
“Mereka berkata, ‘Salami'" Artinya, sebaik mereka datang dan berhadapan dengan Ibrahim, langsunglah mereka mengucapkan salam “assalamu'alaikum", maka, “Dia pun menjawab, ‘Salam!" Artinya, ucapan salam dari para utusan itu beliau sambut pula dengan salam. Dan dengan ini terbuktilah bahwasanya sejak zaman dahulu, zaman nabi-nabi dan Rasulullah, ucapan salam, selamat sejahtera, damai dan selamat dan bahagia ini telah terpakai juga.
“Maka tidak berapa lama kemudian, datanglah dia membawa anak sapi dipanggang."
Artinya, tidak berapa lama kemudian setelah tetamu-tetamu itu duduk tenteram di dalam rumah, Ibrahim membawakan makanan yaitu anak sapi panggang atau singgang anak sapi. Memang sampai ke zaman kita sekarang ini pun anak sapi yang masih kecil di bawah usia setahun sangat enak jika dipanggang. Itulah hidangan yang dihidangkan oleh Nabi Ibrahim kepada tetamu itu. Dan tersebut di dalam kitab-kitab tafsir bahwa Nabi Ibrahim itu setelah menetap di Jerusalem, sangatlah kayanya dengan binatang ternak. Dan beliau senang sekali kalau ada tetamu yang akan bersama menghadapi hidangan beliau dan akan muram durja hatinya kalau hidangannya tidak diserati oleh tetamu.
Tetapi ada satu hal yang ganjil pada tetamu-tetamu istimewa ini, yaitu hidangan yang begitu empuk dan enak tidak sampai mereka makan.
Ayat 70
“Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak sampai kepadanya."
Yaitu setelah Nabi Ibrahim menghidangkan anak sapi dipanggang itu terhadap tamu-tamu tersebut, beliau lihat tangan mereka tidak
sampai kepada hidangan itu. Mungkin setelah beliau perhatikan dengan saksama, tangan tamu-tamu lain bentuknya dari tangan-tangan biasa. Barangkali hanya semata-mata kelihatan tubuh pada lahir, tetapi setelah diperhatikan dengan saksama, tangan itu tidaklah menyentuh makanan yang dihidangkan.
Menurut riwayat dari Qadatah, “Menurut adatistiadatorangArabsejakzaman purbakala, bila tamu datang dihidangi makanan, maka dia pun makan. Itu adalah tanda yang baik. Itu adalah pertanda bahwa tamu datang dengan baik dan maksud baik. Tetapi jika mereka tidak mau makan itu adalah tanda yang sangat tidak baik. Mungkin tamu itu musuh atau orang yang akan membahayakan. Keadaan tamu tidak menyentuhkan tangan kepada hidangan itu sangat menjadi perhatian Ibrahim. Ada apa? “Dia pun tercengang terhadap mereka dan terasa takut dari mereka!' Tercengang sebab mereka masuk ke rumah dengan mengucapkan salam dan dia pun telah menyambut salam itu dengan baik; tandanya mereka bukan musuh. Tentu timbul curiga dan timbul ketakutan, berita apakah yang dibawa tamu-tamu ini dan sikap apakah yang akan mereka lakukan. Kekhawatiran itu jelas terbayang pada wajah Nabi Ibrahim.
“Lalu mereka berkata, janganlah takut! Sesungguhnya, kami ini diutus kepada kaum Luth."
Di dalam rangkaian ayat ini kita menemui makna-makna yang mendalam. Utusan-utusan itu dari mulai datang telah mengucapkan salam dan telah dibalas oleh Nabi Ibrahim—sebagai tuan rumah—dengan salam pula. Dengan sikap begini sudah terang bahwa datangnya utusan itu bukanlah sebagai musuh Ibrahim. Tetapi mengapa maka hidangan tidak mereka makan atau tangan mereka tidak menyentuhnya? Ada apa? Pertanyaan itu terbayang di wajah Nabi Ibrahim, meskipun tidak dikatakannya. Sebab itu, utusan-utusan Allah tadi segera menjawab, untuk menghilangkan kekhawatiran Ibrahim bahwa mereka mempunyai suatu tugas lain yang amat penting, yaitu menyelesaikan urusan kaum Nabi Luth, penduduk dari dua buah kampung yang jadi terkenal, yaitu Sadum (Sodom) dan Gamurrah.
Dengan jawaban demikian bertambah mengertilah Nabi Ibrahim bahwa tetamu yang mengakui dirinya utusan ini bukanlah bangsa insan, melainkan malaikat. Mereka hanya singgah sementara saja kepada Ibrahim, akan menyampaikan kabar berita gembira.
Ayat 71
“Dan istrinya sedang berdiri."
Istri itu ialah Sarah yang telah tua. Dia sedang berdiri di ruang tengah, turut menghormati tetamu-tetamu itu."Maka tertawalah dia." Kuranglah pantas seorang perempuan tua tertawa demikian saja, padahal tetamu sedang bertegur sapa dengan suaminya, tidak dengan dirinya sendiri. Ada apa pula?
MenuruttafsirdariIbnuAbbasdan Mujahid dan Ikrimah, Sarah tertawa bukan karena menertawakan tetamunya atau suaminya, tetapi menertawakan dirinya sendiri sebab di saat dia berdiri itu dia merasai hangatnya dari haidnya keluar setelah berpuluh tahun berhenti. Artinya menurut tafsir Ibnu Abbas itu, dapat diambil kesimpulan, kalau orang tua itu telah berhaid kembali, satu hal yang ganjil akan terjadi."Lalu Kamigembirakan dia dengan Ishaq" Di saat itulah Allah memerintahkan kepada malaikat-malaikat utusan itu supaya disampaikan kepada kedua suami-istri itu bahwa mereka akan diberi putra laki-laki. Sarah yang berpuluh-puluh tahun menjadi istri Ibrahim dalam keadaan mandul, akan segera mengandung. Dan disampaikan pula,
“Dan di belakang Ishaq ialah Ya'qub."
Artinya, Ishaq yang akan dikandung itu kelak kemudian hari akan menurunkan keturunan yang besar.
Berita yang disampaikan utusan ini meskipun menggembirakan, ia mencengangkan, terutama bagi Sarah,
Ayat 72
“Dia berkala, ‘Wahai, ganjilnya! Apakah aku akan beranak, padahal aku sudah tua dan ini suamiku pun sudah tua pula.'"
Sarah sebagai istri dari Ibrahim bukanlah tidak percaya bahwa Allah berbuat sekehendak-Nya. Tetapi orang beriman yang bagaimana jua pun akan tetap memandang bahwa ini adalah suatu hal yang ajaib, yang mencengangkan. Sebab itu, dia berkata,
“Sesungguhnya, ini adalah satu hal yang ajaib"
Dia tertawa dengan tiba-tiba tadi karena dengan tiba-tiba merasa darah haidnya keluar, itu pun karena perasaan keajaiban jua. Lalu,
Ayat 73
“Mereka berkata, ‘Apakah engkau menata ajaib dari ketentuan Allah.'"
Artinya, malaikat-malaikat utusan itu menyatakan kepada Sarah bahwa tidaklah layak memandang ajaib apa yang telah ditentukan oleh Allah. Sebab kalau kita suka merenungkan dengan penuh iman, semua perbuatan Allah itu adalah ajaib belaka.
Sebab itu, terimalah ketentuan Allah itu dengan rasa syukur dan terima kasih, tidak usah merasa ajaib, “Moga-moga rahmat AHah dan berkat-Nya atas kamu, wahai ahli rumah ini" Artinya, ucapan salam ketika mereka mulai masuk ke rumah itu hendak membawa berita gembira, sekarang setelah mereka terangkan isi dari berita gembira itu, salam yang tadi mereka sempurnakan lagi dengan iringan harapan kepada Allah, moga-moga seisi rumah Ibrahim dilimpahi rahmat, kasih sayang dan berkah, artinya membawa keten-teraman dan bahagia,
“Sesungguhnya, Dia adalah Maha Terpuji, lagi Maha Karuniawan."
Terpujilah Dia, karena Ibrahim sebagai seorang pemimpin dan pendiri rumah tangga, sejak dari masa kecil telah selalu menyatakan taat setia kepada Allah dan tahan serta tabah walaupun betapa banyaknya ujian yang dia tempuh. Karena Dia dapati Ibrahim menghadapi segala ujian itu, dia pun lulus dengan selamat. Yang terpuji bukanlah Ibrahim karena kelulusannya ini, yang terpuji adalah Allah. Yang karuniawan pun adalah Allah. Karunia-Nya itu tidak ada batasnya. Orang tua usia 85 tahun berbini muda, diberi-Nya putra pertama (Isma'il). Kemudian setelah usianya 100 tahun diberi karunia yang lebih dahsyat lagi, yaitu istri tua usia 80 tahun diberi pula anak laki-laki.
Maka dari rumah tangga Ibrahim yang berbahagia, mendapat rahmat dan berkah itulah turun dua suku bangsa besar, yaitu Bani Isma'il yang terkenal dengan sebutan Arab, dan Bani Israil keturunan Ishaq itu. Rahmat dan berkat ini berkembang terus karena dari dua keturunan inilah datang berpuluh nabi dan rasul serta rasul menutup, Muhammad ﷺ, dari turunan Isma'il.
Kita kaum Muslimin disuruh terus-menerus memperingati rahmat dan berkat yang dianugerahkan Allah kepada Ahlul Bait Ibrahim yang bahagia ini pada tiap-tiap penutup shalat kita, dengan mengucapkan shalawat, dan berkat kepada Muhammad ﷺ dan kaum keluarganya sebagaimana yang dikaruniakan kepada Ibrahim dan kaum keluarganya.
BANTAHAN IBRAHIM TENTANG LUTH
Ayat 74
“Maka tatkala telah tulang dari Ibrahim lasa takut, dan telah sampai kepadanya berita gembira itu"
Mulanya Ibrahim belum merasa apa-apa; datang tetamu dihormati. Tetapi setelah tetamu tidak mau menyentuh hidangannya, timbul tercengang dan timbul takut. Lalu Malaikat menjawab, mulanya kedatangan
mereka bukan ke negeri Ibrahim, melainkan akan menjatuhkan hukuman kepada kaum Luth. Adapun urusan mereka dengan Ibrahim bukanlah hendak membawa ancaman apa-apa, melainkan membawa berita gembira. Setelah disampaikan kepadanya bahwa dia akan dianugerahi putra dari Sarah, takut pun hilang. Tetapi urusan kaum Luth itu masih menjadi perhatiannya. Sebab itu, datanglah lanjutan ayat,
“Dia pun membantah Kami tentang kaum Luth."
Yujadilu kita artikan membantah. Kita insaf bahwa arti ini kurang tepat sebab kalimat jaadala, yujaadilu, mujaadalatan bisa juga diartikan mengemukakan pikiran dan bandingan, sedangkan membantah bisa juga diartikan tidak sesuai, tidak setuju. Padahal Ibrahim bukanlah tidak menyetujui kehendak Allah. Dia cuma ingin bertanya untuk menghilangkan suatu kemusykilan dalam hatinya sendiri. Kemusykilan itu dapat kita lihat dalam surah al-'Ankabuut: 22. Ketika malaikat utusan itu menyatakan bahwa mereka hendak membinasakan negeri Sadum dan Gamurrah itu Ibrahim menyatakan rasa hatinya, “Di negeri itu ada Luth." Utusan-utusan itu menjawab, “Kami lebih tahu siapa yang ada di dalamnya. Kami akan menyelamatkannya serta keluarganya kecuali istrinya." Di dalam surah adz-Dzaariatayat35—36 sudah dinyatakan penyelesaiannya, yaitu orang-orang yang beriman dikeluarkan dari negeri itu dengan selamat, sedangkan rumah tangga yang beriman itu atau tegasnya yang benar-benar Islam terdapat hanya satu saja, yaitu rumah tangga Luth.
Dengan jalan menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an pula atau pencari rahasia sesuatu ayat dengan menilik hubungannya dengan ayat lain, terlepaslah kita dari meng-agak-agak atau tafsiran Israiliyat.
Satu tafsiran dari Qatadah tentang bantahan Nabi Ibrahim itu ialah, “Jika di negeri itu ada lima puluh orang beriman, apakah akan dibinasakan juga?" Utusan itu menjawab, “Kalau ada lima puluh Mukmin, negeri itu tidak dirusakkan." “Bagaimana kalau empat puluh?" tanya Ibrahim pula. Mereka menjawab, “Kalau ada empat puluh, tidak akan dirusakkan." “Bagaimana kalau ada tiga puluh?" Mereka menjawab, “Ada tiga puluh pun tidak akan dihancurkan!" “Bagaimana kalau ada dua puluh orang?" Mereka jawab, “Ada dua puluh pun tidak akan dihancurkan negeri itu." Ibrahim bertanya lagi, “Bagaimana kalau ada sepuluh Mukmin?" Mereka jawab, ‘Ada sepuluh pun tidak akan dirusakkan." Ternyata yang beriman itu masih kurang dari sepuluh orang. Semua yang beriman yang kurang dari sepuluh orang itu adalah anak-anak Luth belaka, sedangkan istrinya sendiri tidak masuk. Semuanya diselamatkan bersama Luth.
Untuk menambah pengetahuan, penafsiran Qatadah dan Said bin Jubair ini boleh juga kita bandingkan dengan Perjanjian Lama (Kitab Ulangan: 18, 23 sampai 33).
Kemudian disebutkan sifat-sifat Nabi Ibrahim, mengapa dia menyatakan bantahan atau bandingan atas maksud utusan-utusan Allah itu. Allah berfirman tentang diri Ibrahim,
Ayat 75
“Sesungguhnya, Ibnahim itu adalah seorang yang penyabar."
Kita ambil arti dari sifat haliim, yaitu orang yang tidak lekas marah dan dapat menahan kemarahannya itu dan tenang sikapnya. Pengiba, iba kasihan melihat orang yang sengsara, kita ambil sebagai arti dari kalimat awwaahun yang berasal dari ungkapan apabila orang mengeluh tidak sampai hati melihat orang dapat susah."Suka kembali." Kita ambil arti dari kalimat murtiib, yaitu orang yang di dalam sikap hidupnya selalu mengembalikan urusannya kepada Allah, yang sadar bahwa sejauh-jauhnya berjalan dalam kehidupan ini, namun semua langkah itu akan kembali kepada Allah juga (itulah arti dari ayat 75).
Digambarkanlah di dalam ketiga kalimat itu sifat-sifat sejati dari Nabi Ibrahim, yang menyebabkan memang patutlah dia diangkat Allah menjadi rasul-Nya. Dia adalah seorang yang haliim, sangat penyabar, tidak lekas marah. Sifat ini menunjukkan ketetapan hati. Dia adalah seorang yang awwaah, pengiba kasihan melihat orang susah. Kalau dapat, janganlah ada orangyangditimpa bahaya. Maka ketika utusan-utusan itu menyatakan maksud kedatangan mereka hendak membinasakan kaum Luth di negeri Sadum itu, yang teringat lebih dahulu oleh Nabi Ibrahim ialah anak saudaranya atau kemenakannya, Luth. Beliau kasihan kalau-kalau Luth turut tertimpa bahaya dan dia meminta kepada malaikat kalau-kalau orang yang kafir itu tidak banyak, janganlah negeri itu dihukum. Dan kalau ada orang yang beriman walaupun hanya sepuluh orang, janganlah negeri itu dihancurkan karena beliau kasihan kalau-kalau malapetaka menimpa mereka. Tetapi sayang sekali, se-puluh orang pun tidak cukup yang beriman itu atau hanya satu rumah tangga saja, yaitu rumah tangga Nabi Luth itu sendiri. Kemudian tersebut sifatnya yang ketiga, yaitu bahwa dia adalah muniib, yaitu bagaimana sabar beliau dan bagaimanapun belas kasihannya kepada orang yang akan dihukum, namun semua urusan dikembalikannya kepada Allah jua.
Sebab itu, lanjutan ayat ialah jawaban terakhir dari utusan-utusan tersebut,
Ayat 76
“Wahai, Ibrahim! Berpalinglah dari ini."
Artinya, tidak usah kita membicarakan soal itu lagi, yang engkau persoalkan karena engkau sangat penyabar dan sangat berbelas kasihan kepada orang lain, “Karena sesungguhmu telah datang ketentuan Allahmu." Maka jika ketentuan Allah itu telah datang, tidak ada jalan lain lagi, engkau niscaya akan kembaii (muniib) atau tunduk kepada keputusan itn. Keputusan yang tegas itu dijelaskan,
“Dan sesungguhnyalah akan mengenai kepada mereka suatu adzab yang tidak dapat ditolak."
Maka sebagai seorang rasul yang menjadi kunci sifat penyabar dan penyedih, pengiba, dan pengasih, dan sebagai seorang yang selalu mengembalikan urusan kepada Allah, hendaklah dia menerima keputusan itu, tidak usah dibantah lagi.
Mendengar keterangan yang sejelas itu, Ibrahim pun tunduklah dan kembali kepada hukum yang telah diputuskan Allah. Dan utusan-utusan itu pun berangkat, pergi me-lanjutkan tugasnya.
Kita gali-gali rahasia tiap ayat menurut kadar pengetahuan dan pengalaman yang ada pada kita, maka seakan-akan tampaklah di mata kita pribadi dari ayah atau nenek nabi-nabi dan rasul-rasul Allah yang besar itu, Ibrahim. Dia seorang yang lemah lembut, tetapi sangat keras pada pendirian. Dalam sifat yang lemah lembut itu, di waktu kecilnya, dia berani menghancurkan berhala-berhala yang disembah orang. Dan di waktu disuruh melompati unggun api, dengan tenang dia melangkah menuju api unggun yang besar itu.
Dan ketika Malaikat Jibril datang, di saat yang sangat gawat itu, menanyakan apakah dia memerlukan suatu pertolongan, dia jawab pula dengan tenang, “Kalau kepada engkau, tidak!"
Patutlah Allah memberi gelar kehormatan tertinggi “Khalil Allah". Artinya, orang yang sudah sangat dekat hubungannya dengan Allah sehingga Allah membahasakannya sebagai “ sahabat-Nya".