Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّا
sesungguhnya kami
كُنَّا
adalah kami
مِن
dari
قَبۡلُ
sebelum
نَدۡعُوهُۖ
kami menyembah-Nya
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia
هُوَ
Dia
ٱلۡبَرُّ
Yang Melimpahkan Kebaikan
ٱلرَّحِيمُ
Maha Penyayang
إِنَّا
sesungguhnya kami
كُنَّا
adalah kami
مِن
dari
قَبۡلُ
sebelum
نَدۡعُوهُۖ
kami menyembah-Nya
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia
هُوَ
Dia
ٱلۡبَرُّ
Yang Melimpahkan Kebaikan
ٱلرَّحِيمُ
Maha Penyayang
Terjemahan
Sesungguhnya kami menyembah-Nya sejak dahulu. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Mahaluas kebajikan-Nya lagi Maha Penyayang.”
Tafsir
("Sesungguhnya kami dahulu) sewaktu di dunia (menyeru-Nya) menyembah dan mengesakan-Nya. (Sesungguhnya Dia) kalau dibaca Innahuu dengan dikasrahkan huruf Hamzahnya, berarti merupakan jumlah Isti'naf atau kalimat permulaan, sekalipun maknanya mengandung 'Illat. Dan bila dibaca Annahuu dengan difatahkan huruf Hamzahnya, berarti lafalnya menunjukkan makna 'Illat (adalah yang melimpahkan kebaikan) Yang berbuat kebaikan dan menepati janji-Nya (lagi Maha.
Tafsir Surat Ath-Thur: 21-28
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini. Di dalam surga mereka saling memperebutkan piala (gelas) yang isinya tidak (menimbulkan) kata-kata yang tidak berfaedah dan tiada pula perbuatan dosa.
Dan berkeliling di sekitar mereka anak-anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan. Dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling bertanya. Mereka berkata, "Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang karunia dan pemberian-Nya kepada makhluk-Nya, juga kebaikan-Nya, bahwa orang-orang mukmin itu apabila anak cucu mereka mengikuti mereka dalam hal keimanan, maka anak cucu mereka itu akan diikutkan kepada mereka dalam kedudukan yang sama, sekalipun anak cucu mereka masih belum mencapai tingkatan amal mereka. Demikian itu agar hati dan pandangan para ayah merasa sejuk dengan berkumpulnya mereka bersama anak-anak mereka, sehingga mereka dapat bergabung bersama-sama dalam keadaan yang sebaik-baiknya dari segala segi.
Yaitu Allah telah melenyapkan kekurangan dari amal dan menggantinya dengan amal yang sempurna, tanpa mengurangi amal dan kedudukan yang sempurna, mengingat adanya kesamaan di antara mereka. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. (At-- Thur: 21) Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah benar-benar mengangkat anak cucu orang mukmin menjadi sederajat dengannya, sekalipun amal mereka berada di bawahnya agar dengan keberadaan mereka bersama hatinya menjadi senang.
Kemudian Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. (Ath-Thur: 21) Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri dengan sanad yang sama. Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui hadits Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah dengan sanad yang sama.
Al-Bazzar meriwayatkannya dari Sahl ibnu Bahr, dari Al-Hasan ibnu Hammad Al-Warraq, dari Qais ibnur Rabi', dari Amr ibnu Murrah, dari Said, dari Ibnu Abbas secara marfu'. Lalu ia mengetengahkannya, kemudian ia mengatakan bahwa Ats-Tsauri meriwayatkan hadits ini dari Amr ibnu Murrah, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas secara mauquf. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Walid ibnu Yazid Al-Bairuni, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sa'id, telah menceritakan kepadaku Syaiban, telah menceritakan kepadaku Al-Laits, dari Habib ibnu Abu Sabit Al-Asadi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah Swt: Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka. (Ath-Thur: 21) Bahwa mereka adalah keturunan orang mukmin yang mati dalam keadaan beriman.
Sekalipun kedudukan ayah dan bapak mereka lebih tinggi daripada mereka, mereka tetap dihubungkan dengan ayah-ayah mereka, tanpa mengurangi pahala amal ayah-ayah mereka barang sedikit pun. Al-Hafidzh Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Salim Al-Aftas, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menurutnya Ibnu Abbas pasti dari Nabi ﷺ Disebutkan: Apabila seseorang masuk surga, maka ia ditanyai tentang kedua orang tuanya, istrinya, dan anak-anaknya.
Maka dikatakan, "Sesungguhnya mereka masih belum dapat mencapai derajatmu. Maka ia berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah beramal untuk diriku dan juga untuk mereka, maka diperintahkan agar mereka dihubungkan (digabungkan) bersamanya. Setelah itu Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan. (Ath-Thur: 21), hingga akhir ayat. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa orang-orang yang anak cucunya beriman, lalu mengerjakan amal ketaatan kepada-Ku, maka Aku akan menghubungkan keturunan mereka dengan mereka di dalam surga, begitu pula anak-anak kecil mereka.
Pendapat ini merujuk kepada tafsir yang pertama, karena pada tafsir yang pertama dijelaskan hal yang lebih gamblang daripada ini. Hal yang sama telah dikatakan oleh Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim, Qatadah, Abu Saleh, Ar-Rabi' ibnu Anas, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid; pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Us'man ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, dari Muhammad ibnu Us'man, dari Zazan, dari Ali yang mengatakan bahwa Khadijah pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang dua orang anaknya yang telah mati di masa Jahiliyah.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Keduanya berada di dalam neraka." Tetapi ketika beliau melihat roman muka yang tidak enak pada wajah Khadijah , maka beliau bersabda, "Seandainya engkau melihat kedudukan keduanya, niscaya engkau akan marah terhadap keduanya." Khadijah bertanya, "Lalu bagaimanakah dengan anak-anakku yang darimu?" Rasulullah ﷺ bersabda: (Mereka) berada di dalam surga. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu dan anak-anak mereka berada di dalam surga. Dan sesungguhnya orang-orang musyrik itu dan anak-anak mereka berada di dalam neraka. Lalu beliau ﷺ membacakan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan. (Ath-Thur: 21), hingga akhir ayat. Ini merupakan karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada para anak berkat amal bapak-bapak mereka. Adapun mengenai karunia Allah kepada para bapak berkat doa anak-anak yang saleh, maka dalilnya telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari ‘Ashim ibnu Abun Nujud, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya Allah benar-benar meninggikan derajat hamba yang saleh di dalam surga, lalu si hamba bertanya, "Ya Tuhanku, dari manakah semuanya ini buatku? Maka Allah subhanahu wa ta’ala menjawab, "Berkat permohonan ampun anakmu untukmu.
Sanad hadits ini shahih, mereka tidak mengetengahkannya dari jalur ini, tetapi mempunyai syahid di dalam kitab Shahih Muslim dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah yang mengalir (pahalanya), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Ath-Thur: 21) Setelah menerangkan tentang karunia yang telah diberikannya, yaitu derajat keturunan ditinggikan sampai mencapai derajat para bapak, tanpa amal kebaikan yang mengharuskannya.
Maka Allah menceritakan perihal keadilan-Nya, yaitu bahwa Dia tidak menghukum seseorang karena dosa orang lain. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Ath-Thur: 21) Yakni tergantung kepada amal perbuatannya sendiri, tidak menanggung dosa orang lain, baik bapaknya sendiri ataupun anaknya sendiri. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya-menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. (Al-Muddatstsir: 38-41) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini. (Ath-Thur: 22) Maksudnya, Kami beri mereka tambahan nikmat berupa buah-buahan dan daging dari segala jenis yang enak-enak dan disukai.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Di dalam surga mereka saling memperebutkan piala (gelas). (Ath-Thur: 23) Yakni mereka saling memberi minuman khamr, menurut Adh-Dhahhak. yang isinya tidak (menimbulkan) kata-kata yang tidak berfaedah dan tiada pula perbuatan dosa. (Ath-Thur: 23) Mereka tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak berguna setelah meminumnya, yakni tidak mengigau, tidak pula berkata kotor (jorok) sebagaimana yang dialami oleh para peminum (khamr) di dunia. Ibnu Abbas mengatakan bahwa al-lagwu artinya kata-kata yang batil, dan al-ismu artinya perkataan yang dusta. Mujahid mengatakan bahwa mereka tidak saling mencaci dan tidak pula saling berbuat dosa.
Qatadah mengatakan bahwa hal tersebut selalu disertai oleh setan ketika di dunia, maka Allah subhanahu wa ta’ala menyucikan khamr akhirat dari kekotoran khamr dunia dan penyakitnya seperti yang telah disebutkan. Untuk itu khamr akhirat dibersihkan dari pengaruh negatif akibat meminumnya, seperti kepala pusing, perut mual, dan akal sehat tertutup. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pula bahwa khamr akhirat tidak merangsang mereka untuk mengeluarkan kata-kata kotor, kata-kata yang tiada gunanya, serta kata-kata yang tidak karuan. Dan Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan bahwa khamr akhirat di surga baik rupanya serta wangi aroma dan pengaruhnya. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamr itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya. (Ash-Shaffat: 46-47) mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk. (Al-Waqi'ah: 19) Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: Di dalam surga mereka saling memperebutkan piala (gelas) yang isinya tidak (menimbulkan) kata-kata yang tidak berfaedah dan tiada pula perbuatan dosa. (Ath-Thur: 23) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan berkeliling di sekitar mereka anak-anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan. (Ath-Thur: 24) Ini menceritakan tentang pelayan dan pembantu-pembantu mereka di dalam surga nanti, bahwa rupa mereka bagaikan mutiara yang tua lagi tersimpan dalam hal keindahan, wibawa, dan kebersihan serta keindahan pakaian yang dikenakan mereka.
Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka mutiara yang bertaburan. (Al-Insan: 19) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling bertanya. (Ath-Thur: 25) Maksudnya, sebagian dari mereka berbincang-bincang dan mengobrol dengan sebagian yang lain menceritakan tentang amal perbuatan dan keadaan mereka ketika di dunia.
Perihalnya sama dengan obrolan yang dilakukan oleh para peminum sebagian dari mereka kepada sebagian yang lainnya di dunia ini apabila minuman telah mempengaruhi mereka, yaitu obrolan tentang apa yang pernah mereka alami. Mereka berkata, "Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab)." (Ath-Thur: 26) Yakni kami dahulu di dunia ketika hidup di tengah-tengah keluarga kami selalu dicekam oleh rasa takut kepada Tuhan kami, takut terhadap siksa dan azab-Nya.
Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. (Ath-Thur: 27) Yaitu kemudian Allah memberikan karunia-Nya kepada kami dan menyelamatkan kami dari apa yang kami takuti. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. (Ath-Thur: 28) Yakni berendah diri memohon kepada-Nya. Maka Dia memperkenankan bagi kami dan memberi kami apa yang kami minta. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang. (Ath-Thur: 28) Sehubungan dengan hal ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab musnadnya.
Disebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sabih, dari Al-Hasan, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Apabila ahli surga telah memasuki surga, mereka merasa rindu kepada teman-teman mereka, maka datanglah (kepadanya) singgasana temannya itu hingga berhadapan dengan singgasananya. Lalu keduanya berbincang-bincang seraya bersandar di singgasananya masing-masing. Keduanya membicarakan masa lalu mereka ketika di dunia; salah seorangnya berkata kepada temannya, "Wahai Fulan, tahukah kamu hari apakah Allah memberikan ampunan kepada kita? Yaitu di hari ketika berada di tempat anu, lalu kita berdoa kepada Allah (memohon ampun), maka Dia memberi ampun bagi kita.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengenal hadits ini diriwayatkan kecuali melalui sanad ini. Menurut hemat saya (Ibnu Kasir), Sa'id ibnu Dinar Ad-Dimasyqi menurut Abu Hatim orangnya tidak dikenal, dan mengenai syaikhnya (gurunya) yaitu Ar-Rabi' ibnu Sabih dipertanyakan bukan hanya oleh seorang ulama ditinjau dari segi hafalannya, tetapi dia adalah seorang yang saleh lagi siqah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Abud Duha, dari Masruq, dari Aisyah, bahwa ia membaca firman-Nya: Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.
Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah Yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang. (Ath-Thur: 27-28) Lalu ia berdoa, '"Ya Allah, berilah kami anugerah (karunia), dan peliharalah kami dari azab neraka. Sesungguhnya Engkau Maha Pelimpah kebaikan lagi Maha Penyayang." Ditanyakan kepada Al-A'masy, "Apakah ia mengucapkannya dalam shalat?" Al-A'masy menjawab, "Ya.""
Sesungguhnya kami sebelum menerima anugerah ini selalu menyembah dan berdoa kepada-Nya sejak di dunia dahulu. Tuhan telah mengabulkan doa kami. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Melimpahkan kebaikan kepada orang yang bertakwa, lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya. '29. Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk melanjutkan dak-wahnya, 'Bila kesudahan manusia itu sesuai amal dan perbuatan masing-masing, maka peringatkanlah orang-orang kafir itu karena dengan nikmat dari Tuhanmu, engkau bukanlah seorang tukang tenung, seperti tuduhan mereka, yang menyampaikan berita gaib tanpa dasar yang jelas, dan engkau bukan pula orang gila yang berpikiran kacau.
Dalam ayat ini Allah ﷻ menerangkan bahwa penghunipenghuni surga itu telah memenuhi persyaratan seruan Allah dan Rasul-Nya sehingga mereka mendapat kemuliaan itu. Mereka berkata bahwa mereka dahulu menyembah Allah dan memohon kepada-Nya. Maka Allah memperkenankan dan mengabulkan permintaan mereka dan menerima ibadah mereka, karena Allah yang melimpahkan kebaikan, dan pemberi karunia, lagi Maha Penyayang. Setiap orang yang beriman dan setiap orang kafir tidak akan pernah lupa, akan apa yang telah mereka perbuat di dunia, kenikmatan orang-orang yang beriman akan bertambah bila mereka melihat bahwa mereka telah berpindah dari penjara dunia ke alam kesenangan akhirat, dan dari kesempitan kepada kelapangan. Sebaliknya bertambahlah siksa orang kafir bilamana ia melihat bahwa dirinya telah berpindah dari kemewahan dunia ke alam penderitaan, dan kesengsaraan neraka Jahanam di akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
APA YANG DIAMAL ITULAH YANG DIDAPAT
Ayat 21
“Dari orang-orang yang beriman dan dituruti pula oleh anak-cucu mereka dengan iman, akan Kami pertemukanlah dengan mereka anak-cucu mereka itu."
Ayat ini adalah menunjukkan kasih sayang Allah kepada manusia jika ayah tidak melupakan didikan kepada anak-cucunya. Bahwasanya usaha membela dan menegakkan hidup agama tidak terputus, bahkan dari ayah turun ke anak. Di dalam surah ‘Abasa, ayat 34 sampai ayat 37 diterangkan bahwa bila Kiamat telah datang, seseorang akan lari dari saudaranya dan dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anaknya karena setiap orang akan menghadapi urusannya sendiri-sendiri, yang akan membuatnya jadi sibuk, tidak ada waktu lagi buat mengurus istri, mengurus ibu atau orang-orang yang selama ini dipandang amat penting. Maka ayat-ayat dalam surah ‘Abasa ini tidaklah berlawanan dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Memang pada taraf pertama semua sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, menghadapi perhitungan sendiri. Kemudian apabila segala perhitungan selesai, ternyata hitungan masing-masing telah selesai pula, ayah beriman anak pun beriman, sudah wajar jika anak beriman dipertemukan kembali dengan ayah yang beriman.
Teringatlah saya di sini ketika sehari sebelum istri saya akan meninggal dunia, almarhumah telah bertanya kepada saya, pengarang ini, “Jika aku meninggal lebih dahulu, apakah kita akan bertemu lagi di akhirat?" Saya menjawab, “Saya akan berusaha!" Almarhumah bertanya, “Mengapa begitu?"
Saya jawab, “Empat puluh tahun lebih kita bergaul, saya rasakan bahwa adinda selalu setia, istri yang baik. Berat sangkaku bahwa adinda akan masuk surga. Sedang kakanda lebih banyak berdosa dan bersalah. Kakanda berharap kita bertemu lagi di akhirat. Karena kakanda percaya adinda akan masuk surga.
Maka kalau sepeninggal adinda kelak, kakanda menyeleweng dari jalan yang benar, tentu kakanda masuk neraka dan kita tidak bertemu lagi!"
“Dan tidaklah akan Kami kurangi dari amalan mereka sedikit pun." Lanjutan ayat ini pun jadi obat penawar dari anak-cucu yang datang kemudian.
Ats-Tsauri menerima riwayat dari Amr bin Murrah, dia ini menerima dari Sa'id bin Jubair dan dia ini menerima dari Ibnu Abbas,
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat anak-cucu seorang Mukmin, meskipun dalam hal amal si anak-cucu tidak mencapai sebagai amal ayahnya. Maksudnya ialah untuk menyenangkan hatinya."
Tersebut pula dalam riwayat lain, dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas juga,
“Mereka itu ialah keturunan orang-orang yang beriman, meskipun tingkat ayah mereka lebih tinggi danpada tingkat mereka, mereka pun masih dipertemukan dengan ayah-ayah mereka, tidak akan dikurangi dari sebab amalan yang mereka amalkan sedikit pun."
Di sinilah terasa betapa penting pendidikan orang tua terhadap putra-putrinya, anaknya dan cucunya.
Pusaka harta benda bisa habis karena dia bersifat benda, namun pusaka yang akan kekal, pertalian yang teguh dari dunia sampai ke akhirat, ialah pusaka agama. Itulah sebabnya maka seorang ayah berkewajiban mendidik agama pada anak-anaknya.
“Perintahkanlah keluarga engkau shalat dan suruhlah mereka sabar mengerjakannya." (Thaahaa: 132]
Ayat yang kita tafsirkan ini menunjukkan bahwa didikan iman yang diberikan oleh seorang ayah yang beriman kepada putra-putrinya, akan membawa faedah bagi putra-putrinya tadi.
Sungguhpun demikian kelapangan dan Mahamurah Allah Ta'aala kepada hamba-Nya, namun pada lanjutan ayat Allah berfirman dengan jelas,
‘Tiap-tiap manusia terkait dengan apa yang dia kerjakan."
Dengan ayat ini Allah memberi kejelasan lagi tentang sifat rahim dan bantuan-Nya itu. Tadi dikatakan bahwa anak-cucu yang beriman akan dipertemukan Allah kelak dengan ayahnya yang beriman, meskipun mutu iman si anak-cucu tidak sampai meningkat mutu iman si ayah.
Kita dapat memahami bahwa mutu iman itu bisa naik, bertambah-tambah,
“Maka adapun orang-orang yang beriman maka bertambahlah iman dan mereka pun bergembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit maka bertambahlah mereka kotor kepada kekotoran lagi." (at-Taubah: 124-125)
Berdasar kepada ayat ini jelaslah bahwa iman yang telah ada pada seseorang bisa bertambah tinggi mutunya. Begitu sebaiknya kalau dalam hati telah ada kekotoran, hendaklah orang berusaha segera membersihkannya. Kalau tidak segera dibersihkan, niscaya bertambah kotornya, kian lama kian penuh dengan kekotoran. Kalau sudah kotor hati itu sama sekali tentu tidak akan menolong lagi kepada iman dan amal shalih orang tuanya. Inilah yang dimaksud dengan bunyi ayat, “Tiap-tiap manusia terkait dengan apa yang dia kerjakan." Selanjutnya Allah berfirman lagi,
Ayat 22
“Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan."
Betapa penting buah-buahan selama di dunia ini telah kita rasakan. Maka buah-buahan di akhirat, tegasnya di surga itu lebih lagi pentingnya. Di dalam surah al-Baqarah ayat 25 dijelaskan bahwa buah-buahan di akhirat, kalau dilihat sepintas lalu serupa saja dengan buah-buahan yang dilihat di dunia. Tetapi setelah dirasai, dicicipi ternyata lain, maklumlah buah-buahan surga.
“Dan daging dari segala yang mereka ingini."
(ujung ayai 22)
Di sini dijelaskan pula bahwa di dalam surga itu pun ada sedia makanan daging. Disediakan daging dari segala macam yang diingini oleh hamba Allah yang telah mendapat nikmat itu. Maka tidaklah layak kita bertanya apakah daging-daging yang akan kita makan di surga itu dari daging binatang? Apakah penyembelihan itu bukan suatu kekejaman? Pantaskah di dalam surga masih ada lagi binatang yang menderita kekejaman manusia?
Pertanyaan seperti ini boleh saja dikemu-kakan. Bertanya tidak dapat dihalangi. Tetapi persangkaan kita kepada Allah hendaklah selalu baik! Dan sebagai penjawab pertanyaan yang musykil itu dapat pula kita bertanya yang lain. Misalnya, “Apakah bagi Allah Yang Mahakuasa di surga itu tidak mungkin menghasilkan daging dari yang tidak binatang yang disembelih?" Kalau di dunia ini saja, Allah telah memberi ilham kepada manusia sehingga manusia itu telah dapat membuat karet atau getah tiruan, yang mutunya kadang-kadang lebih tinggi dari karet alam, getah yang tumbuh, apakah suatu yang mustahil jika Allah menciptakan daging dengan jalan lain yang bukan disembelih? Kita hanya merasa heran karena hasilnya daging bagus tetapi tidak dari binatang yang disembelih, belum pernah kita alami di dunia zaman sekarang. Tetapi bukan berarti bahwa yang demikian tidak bisa terjadi di dunia ini karena kemajuan teknologi. Apatah lagi di akhirat, sesuai dengan sabda Nabi ﷺ.
“Barang-barang mata belum pernah melihat dan telinga belum pernah mendengar dan tidak pernah terkhatir (terlintas) dalam hati manusia."
Ayat 23
“Berebut-rebutlah mereka piala padanya."
Berebut-rebut mereka mempergantikan piala yang berisi air minum karena semua ada keinginan meminum air itu, yaitu air minuman yang sangat enak, tetapi tidak memabukkan. Dan berebut-rebut bukan pula karena sempitnya tempat. Melainkan berebut-rebut karena semuanya ingin hendak meminum nikmat istimewa dari Allah, maka berebut-rebutan itu bukanlah karena sempitnya tempat berkumpul, melainkan kerinduan yang memenuhi hati semua orang akan merasakan nikmat yang utama itu.
‘Tak ada pertengkaran kosong dan tidak ada pembuatan dosa."
Maka jelaslah bedanya perebutan di dunia karena hendak mengejar kedudukan dan pangkat, sikut-menyikut, merekan bahu orang
lain biar tertindas, asal diri mendapat kedudukan yang bagus. Dalam menerima nikmat Ilahi dalam surga itu, tidak ada pertengkaran sampai diri tidak terkendalikan lagi dan tidak puia ada perbuatan yang akan merugikan orang lain. Tidak mungkin kejadian seperti itu sebab nikmat bagi tiap-tiap orang mencukupi disediakan.
Ayat 24
“Dan berkeliling … mereka anak-anak muda …."
Di ayat 20 di atas tadi disebut bahwa mereka, yaitu orang laki-laki akan diberi anak bidadari, anak bidadari itu tentu saja orang perempuan yang sangat cantik jelita. Maka di ayat 24 ini dijelaskan lagi bahwa di sekitar mereka disediakan anak-anak muda remaja tentu saja anak laki-laki. Diterangkan pula keistimewaan mereka, yaitu
“Yang seakan-akan mutiara tersimpan."
Perumpamaan “mutiara tersimpan"adalah ungkapan untuk keistimewaan pemuda remaja itu. Tabiat perempuan hakikatnya sama juga dengan tabiat laki-laki. Mereka amat tertarik kepada mutiara yang terletak di simpanan istimewa. Ayat Al-Qur'an yang memakai bahasa yang sangat tinggi mutunya, dengan memakai kalimat “mutiara tersimpan" sudah cukup memberi paham, bahwa kalau bagi laki-laki disediakan bidadari cantik jelita, maka bagi perempuan disediakan pula muda remaja yang laksana “mutiara tersimpan “, remaja yangbelum pernah disentuh orang lain. Bukan sedikit gadis yang mati dalam usia patut bersuami. Sebelum mereka sempat kawin, mereka telah meninggal dunia. Dapatlah kita maklumi bahwa bagi mereka telah disediakan Allah “mutiara yang tersimpan" itu. Mereka tidak akan dikecewakan.
Ayat 25
“Dan menghadaplah yang sebagian mereka kepada yang sebagian."
Pangkal ayat ini mengisahkan apalagi yang akan mereka kerjakan di dalam surga itu. Yaitu bahwa penduduk surga cari-mencari untuk duduk berhadap-hadapan dan untuk bercakap-cakap.
“Tanya bertanya."
Tanya bertanya tentang kebahagiaan yang dirasakan dan dinikmati oleh masing-masing. Apa asal mulanya maka bernasib baik sehingga dapat masuk surga.
Ayat 26
“Mereka berkata, ‘Sesungguhnya adalah kami sebelum ini, di kalangan keluarga kami merasa cemas.'"
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya."Di waktu hidup di dunia, tidaklah mereka merasa akan diberi nikmat oleh Allah akan masuk surga, memikirkan serba kekurangan yang ada pada diri, amalan berkurang-kurang. Ketika hidup di dunia, hidup di antara kaum keluarga, terasa takut akan siksa dan adzab-Nya."
Ayat 27
“Maka memberikanlah Allah karunia kepada kami."
Mereka rasakanlah bahwa nikmat surga itu hanya semata-mata karunia belaka dari Allah. Sebab nikmat surga yang dirasakan di akhirat itu pada hakikatnya tidaklah sepadan dengan amal yang dikerjakan. Orang akan mendapat yang tidak berbatas, padahal amalan di dunia dikerjakan dalam waktu yang terbatas sekali.
"Dan Dia memelihana kami dari adzab neraka yang amat panas."
Kalau dipikir-pikirkan dengan saksama, tidaklah sepadan nikmat surga yang akan diterima itu dengan usaha kita dalam hidup. Tidaklah seluruh hari diperintah buat beribadah. Kita pun diperintah mencari makan supaya kita jangan mati kelaparan. Kita tidak boleh melupakan bagian atau nasib kita dari
dunia ini. Namun Allah masih menyediakan karunia.
Ayat 28
“Sesungguhnya kami dahulu berdoa kepada-Nya."
Kami dahulu berdoa kepada-Nya, yaitu dengan harapan dan permohonan yang timbul dari hati yang tutus dan ikhlas. Oleh karena permohonan itu betul-betul tertuju kepada Allah, tidak bercampur dengan yang lain maka permohonan itu pun diperkenankan oleh Allah, “Sesungguhnya Dialah yang berbuat kebajikan kepada kami." Ucapan ini pun adalah keinsafan dan kejujuran berpikir dari seorang yang di dalam dirinya telah tumbuh iman. Semuanya ini tidak lain adalah karunia Allah belaka,
“Lagi Maha Penyayang."
Dalam ayat-ayat ini dibayangkanlah ke-syukuran orang-orang yang beriman itu atas karunia yang diberikan Allah kepada mereka. Tidaklah sepadan amal yang dikerjakan dengan anugerah yang diterima, laksana pepatah orang-orang tua, “Laksana lautan anugerah yang diterima, hanya ember kecil saja yang menyambutnya."