Ayat
Terjemahan Per Kata
بَدِيعُ
(Allah) pencipta
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِۖ
dan bumi
وَإِذَا
dan bila
قَضَىٰٓ
Dia memutuskan
أَمۡرٗا
suatu perkara
فَإِنَّمَا
maka sesungguhnya hanyalah
يَقُولُ
Dia berkata
لَهُۥ
kepadanya
كُن
jadilah
فَيَكُونُ
maka jadilah ia
بَدِيعُ
(Allah) pencipta
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِۖ
dan bumi
وَإِذَا
dan bila
قَضَىٰٓ
Dia memutuskan
أَمۡرٗا
suatu perkara
فَإِنَّمَا
maka sesungguhnya hanyalah
يَقُولُ
Dia berkata
لَهُۥ
kepadanya
كُن
jadilah
فَيَكُونُ
maka jadilah ia
Terjemahan
(Allah) pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah sesuatu itu.
Tafsir
(Penemu langit dan bumi) maksudnya penciptanya tanpa meniru pada contoh-contoh yang lain (dan bila Dia berkehendak) (akan sesuatu perkara) artinya menciptakannya (maka Dia hanya mengucapkan kepadanya, "Jadilah kamu!" Lalu jadilah ia) artinya sesuatu itu pun terjadilah. Menurut satu qiraat 'fayakuuna' dengan baris di atas sebagai 'jawaabul amr'.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 118
Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, "Mengapa Allah tidak (langsung) berkata dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?'' Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.
Ayat 118
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Raff ibnu Harimalah pernah berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Muhammad, jika engkau adalah seorang rasul dari Allah, seperti apa yang kamu katakan, maka katakanlah kepada Allah agar Dia berbicara langsung kepada kami hingga kami dapat mendengar kalam-Nya."
Maka sehubungan dengan hal ini Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, ‘Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya’." (Al-Baqarah: 118)
Mujahid mengatakan bahwa orang-orang yang mengatakan demikian adalah orang-orang Nasrani.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, mengingat konteks ayat sedang membicarakan perihal mereka. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Imam Qurtubi telah meriwayatkan sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami." (Al-Baqarah: 118) Yakni berbicara kepada kami mengenai kenabianmu, wahai Muhammad?
Menurut kami (penulis), memang demikianlah makna lahiriah konteksnya.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Suddi sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan bahwa bagian pertama dari ayat ini merupakan perkataan orang-orang kafir Arab.
Sedangkan firman-Nya: “Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu.” (Al-Baqarah: 118) Yang dimaksud dengan orang-orang yang sebelum mereka adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani.
Pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang yang mengatakan hal tersebut adalah kaum musyrik Arab diperkuat oleh firman-Nya: Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah" (Al-An'am: 124), hingga akhir ayat.
Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak akan percaya padamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami” sampai dengan firman-Nya "Katakanlah, 'Maha Suci Tuhan-ku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?’.” (Al-Isra: 90-93)
Berkatalah orang-orang yang tidak mengharap pertemuan dengan Kami, "Kenapa tidak diturunkan pada kita malaikat atau kenapa kita tidak melihat Tuhan kita?" (Al-Furqin: 21), hingga akhir ayat.
“Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka.” (Al-Muddatstsir: 52)
Masih banyak ayat lain yang menunjukkan kekufuran kaum musyrik Arab, keingkaran, dan kekerasan hati mereka. Permintaan yang mereka ajukan tanpa ada keperluan dengan permintaan itu hanyalah karena terdorong oleh kekufuran dan keingkaran mereka. Keadaan mereka sama dengan apa yang telah dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu dari kalangan Ahli Kitab dan lain-lainnya, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya: “Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, ‘Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata’." (An-Nisa: 153)
Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang." (Al-Baqarah: 55)
Adapun firman Allah ﷻ: “Hati mereka serupa.” (Al-Baqarah: 118) Maksudnya, hati orang-orang musyrik Arab serupa dengan hati para pendahulu mereka dalam hal kekufuran, keingkaran, dan melampaui batas. Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya: “Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, "Ia itu adalah seorang tukang sihir atau orang gila." Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu?” (Adz-Dzariyat: 52-53), hingga akhir ayat.
“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.” (Al-Baqarah: 118) Yakni sesungguhnya Kami telah menerangkan tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran rasul-rasul itu yang dengan adanya bukti-bukti tersebut tidak diperlukan lagi adanya pertanyaan dan tambahan lainnya bagi orang yang yakin, percaya, dan mau mengikuti rasul-rasul serta mengerti bahwa apa yang didatangkan oleh mereka adalah dari sisi Allah ﷻ.
Mengenai orang yang hati serta pendengarannya telah dikunci mati, dijadikan gisyawah (penutup) pada pandangannya, maka mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat (ketentuan) Tuhanmu tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih.” (Yunus: 96-97)"
Allah pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan, mengadakan, dan mewujud kan sesuatu, tidak ada halangan sedikit pun bagi-Nya, Dia hanya berkata kepadanya, Jadilah! Maka jadi lah sesuatu itu.
Dan orang-orang yang tidak mengetahui, yaitu orang-orang bodoh dari kaum musyrik Mekah, berkata, Mengapa Allah tidak berbicara dengan kita dan tidak menurunkan wahyu kepada kita yang mengabarkan kerasulan Muhammad, atau datang tanda-tanda kekuasaan, alasan, dan penjelasan-Nya kepada kita tentang kebenaran kerasulan Muhammad' Sebelumnya, orang-orang kafir Mekah pernah berkata kepada Nabi Muhammad, Jika engkau betul-betul Rasul dari Allah seperti yang engkau katakan, maka katakanlah kepada Allah agar berbicara dengan kami sehingga kami mendengar ucapannya. Mereka berkata demikian sebagai tanda penentangan dan kesombongan mereka. Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah berkata seperti ucapan mereka itu. Hati mereka serupa dengan hati orang-orang sebelum mereka. Mereka menentang dan mendustakan para nabi dan rasul yang diutus Allah kepada mereka. Pernyataan Allah ini mengandung hiburan bagi Rasulullah. Allah menegaskan bahwa sesungguhnya telah Kami jelaskan tandatanda kekuasaan Kami kepada orang-orang yang yakin.
Allah adalah Mahapencipta. Dia menciptakan sesuatu dengan tidak mencontoh kepada apa yang telah ada, tidak menggunakan suatu bahan atau alat yang telah ada. Allah menciptakan dari yang tidak ada. Demikianlah Allah menciptakan langit dan bumi, dari yang semula tidak ada menjadi ada.
Menurut bunyi ayat, Allah menciptakan sesuatu dengan perkataan "kun" (jadilah), ungkapan ini adalah simplikasi atau penyederhanaan tentang Mahabesarnya kekuasaan Allah, apa saja yang dikehendaki untuk ditetapkan semua terjadi dengan mudah. Sedang yang dimaksud dengan menciptakan hanyalah sekadar misal saja, agar mudah dipahami oleh hamba-hamba-Nya. Tentang cara Allah mengadakan sesuatu dan bagaimana proses terjadinya sesuatu, hanya Allah Yang Mahatahu.
Firman Allah dalam ayat sebelumnya menjelaskan bahwa "apa-apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah dan semuanya itu tunduk dan patuh kepada Nya" merupakan pernyataan atas kekuasaan dan keperkasaan Nya. Dia yang menciptakan, Dia yang mengatur dan berkuasa atas segalanya.
Kata "fa yakun", yang berarti "maka jadilah" di sini tidak mesti diartikan bahwa sesuatu itu terjadi seketika itu juga, melainkan melalui tahapan proses yang memerlukan waktu. Setiap tahapan proses yang berlangsung dalam alam ini pasti akan berlaku hukum alam yakni ketentuan-ketentuan Allah atau sunatullah.
Proses rekayasa konstruktif dari bentuk ketersediaan bahan baku mentah menjadi bentuk barang jadi akan membutuhkan proses yang terkadang panjang dan perlu waktu. Proses terjadinya minyak bumi ataupun mineral-mineral berharga menelan waktu yang sangat lama menurut hitungan manusia.
Dalam proses penciptaan alam jagat ini, perhatikan firman Allah dalam Surah al-Anbiya'/21: 30, yang artinya:
?Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (al-Anbiya'/21: 30)
Ayat di atas menjelaskan, bahwa dahulunya langit dan bumi itu suatu yang padu kemudian Allah pisahkan keduanya menjadi yang satu langit dan yang satu lagi adalah bumi. Tetapi proses pemisahan ini tidak terjadi secara seketika. Proses ini berlangsung dalam jutaan tahun. Pembentukan yang satu padu tersebut pun mungkin memerlukan proses dan waktu, tidak seketika.
Begitu pula dalam penciptaan manusia pertama, Adam as, Siti Hawa, Isa as dan kita serta mahluk-mahluk lain yang ada dalam alam jagat raya ini semuanya akan berlangsung dalam tahapan proses sesuai yang telah ditetapkan Nya, walaupun sesungguhnya Allah mampu merubah ketentuan-ketentuan Nya yang sudah ada menjadi ketentuan lain sesuai dengan kehendakNya.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 115
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat"
Ahli tafsir al-Jalal menafsirkannya demikian, “Maka kepunyaan Allah-lah seluruh jagat ini," sebab di mana-mana ada timur dan di mana-mana ada barat. Apabila kita tegak menghadap ketepatan matahari terbit (masyriq) maka yang di belakang kita adalah barat, yang di kanan kita adalah selatan dan di kiri kita adalah utara.
“Maka ke mana jua pun kamu menghadap, di sana pun ada wajah, Allah; sesungguhnya Allah adalah Mahaluas, lagi Maha Mengetahui."
Inilah hikmat yang sebenarnya; ke mana pun kita menghadapkan muka ketika beribadah kepada Allah, ketika shalat pun, asal hati telah dihadapkan kepada Allah, diterimalah ibadah itu oleh Allah sebab timur dan barat, utara ataupun selatan, Allah jua yang empunya. Memang kemudiannya telah diatur oleh Rasulullah, dengan perintah firman Allah menentukan Ka'bah Masjidil Haram sebagai kiblat tetap, namun sekali-sekali ketika hari sangat gelap misalnya, sehingga kita tidak tahu arah kiblat, ke mana pun saja muka terhadap, sah jualah shalat kita, asal hati khusyu. Malahan kalau hati tidak khusyu terhadap wajah Allah walaupun telah menghadap ke kiblat Masjidil Haram, belum juga tentu shalat itu akan diterima Allah. Imam Ghazali berpendirian tidak sah shalat kalau tidak khusyu.
Ketika menafsirkan ayat 106 tentang nasikh dan mansukh, telah kita bayangkan juga khilafiyah ulama tentang adakah atau tidak suatu hukum yang mansukh di dalam Al-Qur'an? Adakah satu ayat yang tulisannya masih ada, tetapi hukumnya tidak berlaku lagi? Maka ayat 115 ini menjadi salah satu khilafiyah tentang adanya nasikh dan mansukh. Golongan yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh mengatakan bahwa ayat 115 ini telah mansukh sebab kemudiannya telah datang ayat 144 dan 149 dan 150 yang menentukan Masjidil Haram sebagai kiblat.
Maka dengan demikian, tidaklah sah lagi menghadapkan shalat ke penjuru yang lain kecuali ke Masjidil Haram dan kecuali kalau tidak tahu arah kiblat.
Segolongan yang mengatakan tidak ada nasikh tidak ada mansukh menguatkan bahwa ayat 115 tidak mansukh. Walaupun pada riwayat yang diterima dari Amir bin Rabrah seakan-akan tampak bahwa ayat 115 kemudian turun daripada ayat 144 dan 149 dan 150, dan diragukan keshahihan hadits ini oleh Tirmidzi, tetapi setelah disambungkan dengan hadits riwayat Ibnu Umar dan Jabir dan Abdullah tadi, teranglah bahwa ayat 115 tidak mansukh, tetapi tetap berlaku, yaitu untuk shalat-shalat tathawwu' di atas kendaraan atau di waktu tidak jelas di mana arah kiblat sebab hari gelap, atau di zaman modern kita sekarang ini, kita shalat yang sunnah atau yang wajib sedang di dalam kereta api, bahkan di dalam kapal udara, datang waktu shalat, padahal yang dituju kendaraan itu tidak tepat mengarah ke kiblat. Tentu bila waktu shalat telah datang, kita pun shalat. Kalau Nabi ﷺ naik tunggangan unta lalu shalat menghadap kiblat, niscaya sedang di atas kapal udara kita tidak dapat berbuat demikian, sehingga shalat yang maktubat pun dapat kita kerjakan dengan tidak menghadap ke Masjidil Haram, melainkan kita berpegang kepada ayat 115 ini “ke mana saja pun muka menghadap, tetapi di sana ada wajah Allah. Yang pokok ialah khusyu.
Ayat 116
“Dan mereka berkata, ‘Allah telah mengambil anak.'"
Ayat ini adalah pertaliannya dengan ayat-ayat yang sebelumnya. Tempat beribadah kepada Allah hendaklah dimakmurkan dan jangan dihalang-halangi. Timur dan barat, utara dan selatan, seluruhnya kepunyaan Allah dan kepada-Nyalah menghadap yang sebenarnya. Tetapi hendaklah menetapkan benar-benar dalam hati siapa dan bagaimana yang sebenarnya Allah itu. Dia Tunggal, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Hendaklah bersihkan kepercayaan kepada-Nya. Jangan dikatakan Dia beranak karena Allah itu bukan makhluk yang memerlukan keturunan untuk meneruskan atau menyambung kekuasaan-Nya kalau Dia mati. Allah itu hidup terus, tidak akan mati-mati."Mahasuci Dia." Tidak masuk dalam akal yang murni bahwa Dia beranak.
“Bahkan kepunyaan-Nyalah apa yang ada di semua langit dan bumi; semuanya kepada-Nyalah bertunduk."
Hanya satu Dia. Tidak ada anak-Nya. Yang selainnya ini, segala kandungan semua langit, segala kandungan bumi, semuanya di bawah kekuasaan-Nya. Dan semua patuh, menekur bertunduk kepada-Nya. Sama saja di antara makhluk yang beku dengan makhluk bernyawa. Malaikat bukan anak-Nya, manusia pun bukan anak-Nya, tetapi makhluk-Nya, yang terjadi karena diciptakan-Nya. Kamu orang musyrikin; kamu katakan malaikat anak Allah lalu kamu ambil kayu atau batu menjadi berhala dan patung lalu kamu sembah sebab katamu dia anak Allah! “Mahasuci Dial" Kamu orang Nasrani; Isa al-Masih yang lahir dengan kuat-kuasa Ilahi menurut jalan yang tidak terbiasa, kamu katakan pula anak Allah. Kalau kamu pikirkan hal itu dalam-dalam, kamu sendiri akan bingung dengan kepercayaanmu itu. Isa al-Masih itu makan dan minum sebagaimana manusia biasa, padahal Allah tidak makan dan tidak minum. Dan Isa al-Masih itu kalau mengantuk matanya, dia pun tidur, sedangkan Allah tidak pernah tidur.
Ayat 117
“yang menciptakan semua langit dan bumi dengan tiada bandingan".
Di sana terdapat kalimat badi'. Arti badi' ialah penciptaan, yang mengeluarkan suatu ciptaan belum pernah didahului oleh orang lain. Sebab itu, ilmu ungkapan kata-kata yang indah dinamai dalam bahasa Arab: ilmu badi Allah mencipta alam adalah atas kehendak-Nya dan bentuknya pun atas piiihan-Nya sendiri. Tidak dapat didahului oleh siapa pun dan tak dapat disamai oleh siapa pun. Sebab itu pula, kalau ada seorang mencipta satu lukisan yang belum dicapai oleh orang lain, ciptaannya itu disebut juga badi'. Bahkan kata-kata bid'ah yang biasa terpakai dalam agama, juga ambilan dari kata badi'. Kalau ada orang menambah-nambah suatu amalan agama, yang tidak menurut teladan daripada Rasulullah, disebut pembuat bid'ah atau mubtadi'.
Itu pula sebabnya maka tidak mendapat kata lain buat menyatakan maksud dari ayat badi'us-samawati wal-ardhi “menciptakan semua langit dan bumi dengan tiada bandingan". Diberi ujung dengan “tiada bandingan" supaya jelas apa yang dimaksud dengan kata pencipta.
“Dan apabila Dia telah menentukan sesuatu, Dia hanya berfirman kepadanya, Jadilah!' Maka dia pun terjadi."
Dengan ayat ini jelas siapa Allah dan siapa makhluk-Nya. Allah berkekuasaan mutlak dan langsung, tidak memakai perantaraan. Bila Dia menghendaki sesuatu, diperintahkan-Nya saja supaya terjadi maka sesuatu itu pun terjadi. Bagaimana rahasia kejadian itu, berapa lamanya dan bila masanya, tidaklah kuat otak manusia buat berpikir sampai ke sana. Yang terang dengan ayat ini ialah bahwa Allah yang seperti itu Mahabesar kekuasaan-Nya tidaklah memerlukan anak.
“Mahasuci Dia." Dia Tunggal, Dia Khaliq! Yang selain-Nya adalah makhluk. Dengan ini maka bulatkanlah ibadah dan persembahan kepada-Nya saja karena Dia memang Esa, mustahil berbilang, mustahil beranak. Kepercayaan yang pecah, yang tidak tunggal, akan memecah pikiran sendiri. Dan pikirkanlah agama itu baik-baik sehingga dapat dikerjakan dengan pikiran murni.
Dengan kalimat kun artinya jadilah atau adalah, Allah berfirman “maka apa yang di-kehendaki-Nya pun terjadi". Kalimat itu Dia tujukan kepada yang belum ada supaya ada atau kepada yang telah ada supaya lebih sem-purna. Sebelum datang kalimat kun, barang itu belum ada. Maka takluk adanya sesuatu ialah kepada iradat-Nya (kehendak-Nya), Jika tidak dengan iradat-Nya, tidaklah jadi.
Ayat 118
“Dan berkata orang-orang yang tidak berpengetahuan itu, ‘Mengapa tidak bercakap-cakap Allah itu dengan kita, atau datang kepada kita satu tanda."
Selain dari mengatakan bahwa Allah beranak, satu waktu datang lagi kepada Rasulullah ﷺ suatu usul, yaitu kalau memang Allah itu ada dan Mahakuasa, mengapa Allah itu tidak datang bercakap-cakap dengan mereka atau Allah membuktikan bahwa Dia ada dengan menunjukkan suatu tanda. Di pangkal ayat sudah dinyatakan bahwa usul seperti ini timbulnya ialah dari orang-orang yang tidak berpengetahuan. Kalau orang itu berilmu, berpikir mendalam, tidak mungkin timbul usul seperti itu.
Maka, di sambungan ayat Allah berfirman, “Seperti itu jugalah kata-kata orang-orang yang sebelum mereka, seperti kata mereka itu pula." Artinya, usul kaum musyrikin Arab atau Yahudi yang sekarang, meminta supaya Tuhan Allah bercakap dengan mereka, bukanlah usul datang sekarangsaja. Umat-umat yang dahulu pun meminta demikian pula. Umat Nabi Musa mengemukakan berbagai permintaan kepada Musa; setengah permintaan itu dikabulkan Allah, tetapi mereka tetap keras kepala dan yang kafir bertambah kafir juga. Umat Nabi Shalih meminta didatangkan seekor unta sebagai mukjizat. Unta itu didatangkan, tetapi mereka langgar janji dan mereka bunuh unta itu. Maka datanglah sambungan ayat, “Bersamaan hati mereka" Baik Yahudi yang dahulu maupun Yahudi yang sekarang, baik umat yang dahulu maupun musyrikin yang sekarang, namun hati mereka sama saja, yaitu kekufuran kepada Allah, yang menyebabkan timbulnya berbagai usul yang tidak-tidak, yang bercakap asal bercakap. Sepintas lalu timbul pertanyaan, “Apakah permohonan mereka itu tidak akan dikabulkan Allah?" Allah telah menjawab, dengan ujung ayat,
“Sesungguhnya, telah Kami jelaskan ayat-ayat itu kepada kaum yang yakin."
Bagi orang yang yakin, ayat-ayat itu sudah tampak. Tidak perlu lagi menurunkan ayat baru. Tidak perlu lagi tercipta di tengah padang belantara sebuah istana indah bertatahkan emas dan ratna mutu manikam lalu tercipta lagi taman sari indah berseri, sungai mengalir laksana ular gerang; tidak perlu lagi ayat-ayat yang lain yang diminta itu, sebab bagi orang yang yakin, segala yang tampak ini adalah ayat belaka.
Dan pada tiap-tiap sesuatu adalah tanda bagi-Nya; yang menunjukkan bahwa Dia Esa adanya.
Orang-orang yang yakin pun telah bercakap-cakap dengan Allah di dalam munajatnya, di dalam doanya, di dalam shalatnya yang khusyu, dan di dalam segala tingkah laku perbuatannya. Dia selalu merasai bahwa dirinya tidak lepas dari tilikan Allah. Tetapi orang-orang yang bodoh, walaupun berapa banyaknya terbentang di hadapan matanya, tidak juga dia akan yakin.