Ayat
Terjemahan Per Kata
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
لَن
tidak
يَدۡخُلَ
mereka masuk
ٱلۡجَنَّةَ
surga
إِلَّا
kecuali
مَن
orang
كَانَ
adalah
هُودًا
Yahudi
أَوۡ
atau
نَصَٰرَىٰۗ
Nasrani
تِلۡكَ
itu
أَمَانِيُّهُمۡۗ
angan-angan mereka
قُلۡ
katakan
هَاتُواْ
tunjukkan
بُرۡهَٰنَكُمۡ
bukti kebenaranmu
إِن
jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
صَٰدِقِينَ
orang-orang yang benar
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
لَن
tidak
يَدۡخُلَ
mereka masuk
ٱلۡجَنَّةَ
surga
إِلَّا
kecuali
مَن
orang
كَانَ
adalah
هُودًا
Yahudi
أَوۡ
atau
نَصَٰرَىٰۗ
Nasrani
تِلۡكَ
itu
أَمَانِيُّهُمۡۗ
angan-angan mereka
قُلۡ
katakan
هَاتُواْ
tunjukkan
بُرۡهَٰنَكُمۡ
bukti kebenaranmu
إِن
jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
صَٰدِقِينَ
orang-orang yang benar
Terjemahan
Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang-orang yang benar.”
Tafsir
(Dan mereka, orang-orang Yahudi dan Kristen, mengatakan, "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beragama Yahudi atau Kristen.") Ucapan ini dikeluarkan oleh orang-orang Yahudi Madinah dan Kristen Najran tatkala mereka berbantahan di hadapan Nabi ﷺ Kata Yahudi, "Hanya orang Yahudilah yang akan masuk ke dalamnya." Orang Kristen menjawab, "Surga itu tidak akan dimasuki, kecuali oleh orang Kristen." (Demikianlah itu) yakni ucapan mereka itu (hanyalah angan-angan mereka saja) artinya keinginan kosong belaka. (Katakanlah) kepada mereka, (Tunjukkanlah bukti kebenaranmu) yaitu hujah atas yang demikian itu (jika kamu orang yang benar) mengenai hal tersebut.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 111-113
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani." Itu hanyalah angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah, "Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika kalian memang benar."
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.
Ayat 111
Allah ﷻ menjelaskan perihal orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani yang teperdaya oleh apa yang mereka berada di dalamnya, mengingat masing-masing pihak dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mengklaim bahwa tidak akan masuk surga kecuali hanya orang yang memeluk agamanya. Seperti yang diberitakan oleh Allah ﷻ di dalam Al-Maidah, menyitir perkataan mereka, yaitu: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” (Al-Maidah: 18) Maka Allah membantah mereka melalui berita yang Dia tujukan kepada mereka, bahwa Dia kelak akan mengazab mereka karena dosa-dosanya.
Sekiranya keadaan mereka adalah seperti apa yang mereka klaim, niscaya mereka tentu tidak akan diazab oleh Allah. Perihalnya sama saja dengan pengakuan mereka terdahulu, yaitu mereka tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja, setelah itu mereka pindah masuk ke dalam surga. Kemudian Allah membantah pengakuan mereka itu. Hal yang sama dilakukan pula oleh Allah dalam ayat ini sehubungan dengan klaim yang mereka ajukan tanpa dalil, tanpa hujah, dan tanpa bukti.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Itu hanyalah angan-angan kosong mereka belaka.” (Al-Baqarah: 111)
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna ayat ini ialah cita-cita yang mereka angan-angankan terhadap Allah tanpa alasan yang benar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Dalam firman selanjutnya disebutkan: Katakanlah (wahai Muhammad), "Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian." (Al-Baqarah: 111)
Menurut Abu Aliyah, Mujahid, As-Suddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, arti burhanakum ialah hujah (alasan) kalian, hingga kalian berani mengatakan demikian.
Sedangkan menurut Qatadah, artinya bukti kalian atas hal tersebut jika kalian memang benar (Al-Baqarah: 111) dalam klaim yang kalian ajukan itu.
Ayat 112
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat baik.” (Al-Baqarah: 112) Dengan kata lain, barang siapa yang ikhlas dalam beramal karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang disebutkan dalam firman lainnya, yaitu: "Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, ‘Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku’." (Ali Imran: 20), hingga akhir ayat.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' mengatakan, makna man aslama wajhahu lillah ialah barang siapa yang ikhlas kepada Allah.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa aslama ialah ikhlas, dan wajhahu artinya agamanya, yakni barang siapa yang mengikhlaskan agamanya karena Allah semata.
Wahuwa muhsinun artinya mengikuti Rasulullah ﷺ dalam beramal. Dikatakan demikian karena syarat bagi amal yang diterima itu ada dua; salah satunya ialah hendaknya amal perbuatan dilakukan dengan niat karena Allah semata, dan syarat lainnya ialah hendaknya amal tersebut benar lagi sesuai dengan tuntunan syariat (mengikuti petunjuk Rasul ﷺ). Karena itu, dikatakan oleh Rasulullah ﷺ dalam salah satu sabdanya: “Barang siapa mengerjakan suatu amal yang bukan termasuk urusan kami, maka amal itu ditolak.” Hadits riwayat Imam Muslim melalui hadits Siti Aisyah. Untuk itu amal para rahib dan orang-orang yang seperti mereka, sekalipun amal mereka dinilai ikhlas karena Allah, namun sesungguhnya amal tersebut tidak akan diterima dari mereka sebelum mereka mendasarinya karena mengikut kepada Rasulullah ﷺ yang diutus kepada mereka dan kepada segenap umat manusia.
Sehubungan dengan mereka dan orang-orang yang seperti mereka, Allah ﷻ berfirman: “Dan Kami hadapkan semua amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Al-Furqan: 23)
“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga; tetapi bila didatanginya, dia tidak mendapati sesuatu apa pun.” (An-Nur: 39)
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.” (Al-Ghasyiyah: 2-5)
Telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bahwa ia menakwilkan makna ayat ini ditujukan kepada para rahib, seperti yang akan dijelaskan nanti. Jika amal perbuatan yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan syariat dalam gambaran lahiriahnya, sedangkan niat pengamalnya tidak ikhlas karena Allah, maka amal ini pun tidak diterima dan dikembalikan kepada pelakunya.
Demikianlah keadaan orang-orang yang pamer (riya) dan orang-orang munafik, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa: 142)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dengan salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang bermanfaat.” (Al-Ma'un: 4-7)
Untuk itu, dalam firman Allah yang lain disebutkan: “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110)
Di dalam ayat ini disebutkan: “(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 112)
Melalui ayat ini Allah ﷻ telah menjamin bahwa mereka pasti mendapat pahala tersebut dan mengamankan mereka dari hal-hal yang mereka takuti.
Dengan kata lain, tiada kekhawatiran bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tiada pula kesedihan bagi mereka atas masa lalu mereka.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, la khaufun 'alaihim artinya tiada kekhawatiran bagi mereka, yakni di hari kemudian; wala hum yahzanuna, dan tiada pula mereka bersedih hati, yakni tiada kesedihan atas diri mereka dalam menghadapi kematiannya.
Ayat 113
Firman Allah ﷻ: Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113)
Melalui ayat ini Allah menjelaskan pertentangan, saling membenci, saling bermusuhan, dan saling mengingkari di antara kedua belah pihak, yaitu antara kaum Yahudi dan kaum Nasrani.
Seperti apa yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tatkala datang kepada Rasulullah ﷺ orang-orang Nasrani utusan penduduk negeri Najran, maka datanglah para rahib Yahudi (Madinah) menemui mereka, lalu mereka berdebat di hadapan Rasulullah ﷺ. Rafi ibnu Harmalah (dari kalangan Yahudi) berkata, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia mengingkari kenabian Isa dan kitab Injil-nya. Lalu salah seorang dari orang-orang Nasrani Najran mengatakan kepada orang-orang Yahudi, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia mengingkari kenabian Musa dan kitab Tauratnya.
Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113) Yakni masing-masing pihak dalam kitabnya membaca hal-hal yang membenarkan apa yang diingkarinya. Orang-orang Yahudi ingkar kepada kenabian Isa, padahal pada kitab Taurat mereka terdapat janji Allah yang diambil dari mereka melalui lisan Nabi Musa agar mereka membenarkan Nabi Isa. Di dalam kitab Injil terdapat keterangan yang dibawa oleh Isa, yang isinya membenarkan Nabi Musa dan apa yang diturunkan kepadanya dari sisi Allah (yaitu kitab Taurat). Akan tetapi, masing-masing pihak mengingkari keterangan yang ada dalam kitabnya masing-masing.
Mujahid mengatakan di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan tafsir ayat ini, memang pada awalnya para pendahulu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mempunyai pegangan.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Yahudi berkata, 'Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah mengatakan, "Tidak demikian, bahkan pada awalnya para pendahulu orang-orang Nasrani mempunyai pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dan bercerai-berai. Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Nasrani berkata, 'Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah berkata, "Tidak demikian, bahkan pada mulanya para pendahulu orang-orang Yahudi mempunyai suatu pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dari diri mereka sendiri dan bercerai-berai.
Dari Qatadah disebutkan pula riwayat lain yang sama dengan riwayat Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan tafsir ayat ini: Orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan." (Al-Baqarah: 113) Mereka adalah ahli kitab yang hidup di masa Rasulullah ﷺ. Akan tetapi, pendapat ini memberikan kesimpulan bahwa masing-masing pihak dari kedua golongan tersebut membenarkan tuduhan yang mereka lemparkan terhadap pihak lainnya. Akan tetapi, makna lahiriah konteks ayat menyimpulkan bahwa apa yang mereka katakan itu dicela, padahal pengetahuan mereka bertentangan dengan apa yang mereka katakan.
Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: “Padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab.” (Al-Baqarah: 113) Yakni mereka mengetahui syariat kitab Taurat dan Injil; masing-masing kitab pernah disyariatkan kepada mereka di suatu masa, tetapi mereka saling mengingkari apa yang ada di antara mereka (kedua belah pihak), karena keingkaran dan kekufuran mereka dan membalas kebatilan dengan kebatilan yang lain, seperti yang telah disebutkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah pada riwayat yang pertama sehubungan dengan tafsir ayat ini.
Firman Allah ﷻ: “Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu mengatakan seperti ucapan mereka itu.” (Al-Baqarah: 113)
Melalui ayat ini dijelaskan kebodohan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dalam ucapan yang mereka gunakan untuk saling menyerang pihak lainnya. Hal ini termasuk ke dalam pengertian isyarat yang menyindir kebodohan dan ketololan mereka. Mengenai orang-orang yang dimaksud dalam firman-Nya, "Orang-orang yang tidak berilmu" (Al-Baqarah: 113), masih diperselisihkan di kalangan Mufassirin.
Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu" ialah mereka akan mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani kepada masing-masing pihak (pengertiannya menyeluruh).
Ibnu Juraij mengatakan, ia pernah bertanya kepada ‘Atha’, "Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang tidak berilmu itu?" Ia menjawab bahwa mereka adalah umat-umat sebelum adanya agama Yahudi dan Nasrani, sebelum adanya kitab Taurat dan Injil.
As-Suddi mengatakan, yang dimaksud dengan orang-orang yang tidak berilmu dalam ayat ini ialah orang-orang Badui; mereka mengatakan bahwa Muhammad tidak mempunyai suatu pegangan.
Sedangkan Abu Ja'far ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini bersifat umum dan pengertiannya dapat mengena kepada semua orang. Akan tetapi, memang tidak ada dalil yang akurat yang mendukung salah satu dari pendapat-pendapat di atas.
Sebagai kesimpulannya ialah menginterpretasikan makna ayat ini dengan semua pengertian di atas adalah hal yang lebih utama.
Firman Allah ﷻ: “Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah: 113)
Yakni di hari kemudian kelak Allah ﷻ akan menghimpun mereka semua dan memutuskan hukum di antara mereka dengan keputusan yang adil, yang tiada kezaliman, tiada penyimpangan padanya barang sekecil apa pun. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang ada dalam surat Al-Hajj, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Sabi-in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Hajj: 17)
Semakna pula dengan firman-Nya: Katakanlah, "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui" (Saba': 26)"
Dan mereka, kaum Yahudi dan Nasrani, berkata, Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani. Itu hanya angan-angan dan mimpi-mimpi mereka. Katakanlah kepada mereka, wahai Muhammad, Tunjukkan bukti kebenaranmu dengan alasan-alasan yang meyakinkan, jika kamu orang yang benar dalam anggapanmu itu. Ketahuilah, kamu tidak akan pernah dapat menunjukkan bukti itu! Tidak! Mereka berdusta. Yang akan memasuki surga bukan hanya Yahudi atau Nasrani, melainkan barang siapa yang menyerahkan diri, tunduk, patuh, taat, ikhlas sepe nuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, beriman, membenarkan, dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka di akhirat dan mereka tidak bersedih hati. Mereka kekal dalam kenikmatan.
Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, masing-masing menganggap bahwa tidak akan masuk surga kecuali golongan mereka sendiri. Orang-orang Yahudi beranggapan bahwa yang akan masuk surga hanyalah orang-orang Yahudi, demikian juga orang-orang Nasrani beranggapan bahwa yang akan masuk surga hanyalah orang-orang Nasrani.
Untuk menolak dan membatalkan anggapan mereka itu Allah memberikan penegasan bahwa anggapan mereka itu hanyalah angan-angan yang timbul dari khayalan mereka. Angan-angan mereka, meskipun disebutkan secara global, namun maknanya mencakup arti yang luas, yaitu angan-angan mereka agar terhindar dari siksa serta anggapan bahwa yang bukan golongan mereka akan terjerumus ke dalam siksa, dan tidak memperoleh nikmat sedikit pun. Itulah sebabnya maka dalam ayat itu angan-angan mereka dinyatakan dalam bentuk jamak. Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa suatu pendapat yang tidak didasarkan pada bukti-bukti yang benar tidak boleh diterima.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 111
“Dan mereka berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk ke surga melainkan siapa-siapa yang jadi Yahudi dan Nasrani.'"
Inilah perkataan sombong dari Yahudi dan Nasrani, yaitu mereka berkata bahwa yang akan masuk surga hanyalah siapa yang menjadi Nasrani atau Yahudi. Mengapa mereka berkata demikian? Inilah karena agama telah mereka jadikan golongan. Mereka tidak lagi menilai iman dan amal saleh seseorang sebab yang mereka pertahankan ialah golongan. Apatah lagi memang jelas dengan memakai nama Yahudi, yaitu nama suku yang terbesar dari dua belas suku Bani Israil dan nama Nasrani, negeri Nazaret tempat lahir Nabi Isa, maka agama sudah menjadi nama golongan. Sebab itu, dijelaskan oleh lanjutan ayat, “Yang begitu hanyalah angan-angan mereka." Yaitu satu ucapan yang tidak beralasan, yang hanya timbul dari angan-angan dan khayat belaka.
“Katakanlah, ‘Tunjukkan atasan kamu jika memang kamu orang-orang yang benar."
Apa sebabnya Yahudi mengatakan surga hanya untuk orang yang jadi Yahudi, apa alasannya dan buktinya.
Orang Nasrani berkata begitu pula, “Surga hanya untuk orang Nasrani." Apa sebabnya? Mengapa Yahudi tak boleh masuk?
Mereka diminta mengeluarkan alasan atau dalil yang masuk akal, bukan hanya amani, yaitu angan-angan, khayat-khayat yang bersimpang siur.
Tunjukkan alasanmu! Inilah satu pokok yang ditegakkan oleh ajaran Islam di dalam
menjunjung tinggi agama. Suatu dakwaan yang tidak ada alasan, tidaklah dapat diterima. Orang Yahudi mengatakan bahwa yang akan masuk surga hanya orang Yahudi! Orang Nasrani mengatakan begitu pula, surga hanya untuk orang Nasrani. Mana alasan? Apa sebab? Ayat yang selanjutnya membantah perkataan itu,
Ayat 112
“Sekali-kali tidak!"
Perkataan yang benar ialah, “Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, dan dia pun berbuat baik, maka untuknyalah pahalanya di sisi Tuhannya."
Menyerahkan diri kepada Tuhan, tunduk dengan segenap jiwa dan raga, tidak membantah dari tidak mendurhakai, tidak menolak kebenaran. Lalu dibuktikan dengan kemudian berbuat baik, beramal. Bukan mengakui menyerah kepada Tuhan dengan mulut saja, melainkan mesti ada bukti. Itulah yang akan beroleh pahala dan beroleh surga Allah. Tidak peduli apakah dia orang Arab atau Yahudi, Nasrani, atau Shabi'in. Pendirian ini pada ayat 62 pun telah diterangkan.
“Dan tidaklah ada ketakutan atas mereka." Artinya, tidak ada rasa takut akan mendapat adzab dan siksa dan murka Ilahi karena diri telah menyerah kepada-Nya sejak semula dan amal pun telah diperbuat.
“Dan tidaklah Mereka akan berduka cita."
Tidak akan berduka cita bahwa amalan tidak akan diterima dan usaha mereka akan sia-sia belaka sebab tujuan hidup telah disediakan untuk Tuhan.
Aslama wajhahu berarti mereka telah menyerahkan diri kepada Tuhan. Itulah yang pasti masuk surga. Aslama menjadi yuslimu dan mashdar-nya atau pokok kata ialah Islam. Sebab itu, orang yang Islamlah yang akan masuk surga walaupun tadinya dia dari Yahudi, dari Nasrani, atau dari musyrik penyembah berhala. Dia tinggalkan ikatan diri dengan yang lain itu, dia bebaskan diri darinya dan menyerah buat kepada Tuhan. Dibuktikan pula dengan perbuatan. Sehingga walaupun ada orang yang menyebut dirinya telah Islam, tetapi sebutan saja, tidak diikuti oleh amal yang baik, tidaklah akan masuk ke surga. Tidaklah akan bebas dia daripada rasa ketakutan dan duka cita. Lantaran itu, nama Islam bukanlah nama golongan, bukan nama satu keturunan, dan bukan nama satu negeri. Islam itu ialah sikap hidup!
Pendirian yang masuk akal ini bolehlah dibandingkan dengan pendakwaan dan amani mereka tadi, mana yang masuk akal dan mana yang benar.
Ayat ini telah menyumbat mulut orang yang mengakui dirinya Islam, tetapi hanya mulut saja, padahal ketaatan kepada Tuhan tidak ada. Bukti amal tidak ada. Pengertian tentang arti menyerah kepada Allah tidak ada. Mereka Islam hanya karena keturunan atau tanda peta belaka. Maka sama sajalah keadaan mereka, sama-sama amani atau angan-angan dan khayat sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani itu pula.
Dan menjadi pelajaran lagi bagi kita orang Islam; sekali-kali jangan mengemukakan suatu pendirian kalau tidak dengan alasan. Hatu burhanakum, keluarkan alasanmu, telah menutup pintu taklid turut-turutan dengan serapat-rapatnya. Beragamalah dengan berpikir, pergunakanlah akal. Jangan hanya beragama karena pusaka saja.
Ayat 113
“Dan berkata orang Yahudi, Tidak ada orang-orang Nasrani itu atas sesuatu."
Pendeknya orang Nasrani itu tidak sebuah juga; kamilah yang benar! “Dan berkata orang-orang Nasrani, ‘Tidak ada orang Yahudi itu atas sesuatu jua."‘ Kamilah yang benar! “Padahal mereka membaca Kitab." Orang Yahudi membaca kitab Taurat; di dalamnya dinyatakan bahwa akan ada nabi yang akan menyambung usaha nabi-nabi yang terdahulu. Orang Nasrani pun membaca kitab, yaitu kitab Injil. Di dalamnya pun tersebut bahwa kedatangan Isa al-Masih adalah menggenapkan isi Taurat dan tidak akan mengubah isi Taurat. Di antara kitab dengan kitab tidak selisih, tetapi pengikut menjadi berselisih. Yang satu mengatakan yang lain tidak berdasar, tidak sebuah juga. Yang lain berkata pula."Begitu jugalah orang-orang yang tidak berpengetahuan, berkata seumpama kata mereka itu (pula)" Mengatakan diri awaklah yang lebih, orang lain tidak ada yang benar. Orang musyrikin Arab begitu pula berkata kepada Yahudi dan Nasrani. Orang Majusi Persia niscaya begitu pula bicara terhadap pemeluk agama atau golongan yang lain, yaitu sudah menjadi kebiasaan yang merata dan umum di antara sekalian orang yang memeluk agama tidak dengan pengetahuan.
“Maka, Allah akan memutuskan di antara mereka di Hari Kiamat pada barang yang telah Mereka perselisihkan itu."
Telah dapat dikira-kirakan apa keputusan yang akan diambil Tuhan terhadap mereka semuanya, baik dia bernama Yahudi, Nasrani, Majusi, orang Arab Mekah dan Madinah, orang Shabi'in, maupun yang lainnya, yang beragama tidak dengan pengetahuan itu, yang berkata bahwa yang benar adalah pihak mereka masing-masing saja. Yang lain ahli neraka semua. Hanya mereka yang akan masuk surga. Sudah tampak terlebih dahulu garis yang ditentukan Tuhan, yaitu siapa di antara mereka yang benar-benar berserah diri kepada Allah dan beramal yang baik?
Ayat 114
“Dan siapakah yang lebih aniaya dari orang-orang yang menghalang-halangi masjid-masjid Allah daripada akan disebut padanya nama-Nya seraya berusaha mereka pada meruntuhkannya?"
Meskipun Nabi Muhammad ﷺ telah datang membawa agama tauhid, membawa Islam, dan telah berdiri masjid Rasulullah di Madinah, perlindungan pada sekalian tempat beribadah menyembah Allah Yang Maha Esa dengan ayat ini telah dinyatakan. Masjid artinya ialah tempat sujud. Di ayat ini dipakai kata jamak yaitu masaajid, artinya semua tempat bersujud, semua tempat shalat (sembahyang). Dengan jalan pertanyaan yang bernama istifham-inkari yaitu pertanyaan berisi sanggahan keras, tempat-tempat beribadah itu telah dibela dengan ayat ini; siapa yang lebih zalim dari orang-orang yang menghalang-halangi masjid-masjid Allah? Artinya, tidak ada lagi orang yang lebih zalim dari orang yang berbuat demikian. Apatah lagi setelah menghalang-halang, berusaha pula meruntuh-nya. Orang-orang perusak masjid, penghancur rumah-rumah tempat beribadah itu memang jahat hatinya, jauh dari Tuhan, “Mereka itu tidaklah akan masuk ke dalamnya melainkan dengan ketakutan."
Padahal, apabila orang telah masuk ke sebuah tempat beribadah, baik dia masjid Islam, sinagog Yahudi, maupun gereja Nasrani, namun suasanadi dalamnya sudah lain. Orang-orang yang masuk ke dalamnya dengan hati lembut, telah menyediakan diri buat tafakur kepada Tuhan. Betapapun cara mereka beribadah, yang mereka seru hanya Yang Esa juga. Meskipun kadang-kadang bertemu ibadah yang bid'ah atau tambahan-tambahan, namun dia dapat diselesaikan apabila keinsafan beragama yang sejati sudah mendalam. Tetapi tidak boleh dihalangi, apatah lagi dirusak dan diruntuhkan.
“Untuk mereka di dalam dunia ini adalah kehinaan." Sebab mereka menjadi timbulan sumpah dan nista orang yang dianiaya. Orang menutup mulut hanyalah karena takut akan aniaya saja. Kadang-kadang apabila orang tidak tahan menderita lagi, orang akan me-renggutkan mereka dari kekuasaannya. Siang malam orang-orang yang zalim itu tidak akan bersenang diam karena hati kecil mereka sendiri telah merasa amat bersalah karena telah merusakkan tempat yang dimuliakan dan disucikan orang.
“Dan untuk mereka di akhirat adalah adzab yang besar."
Macam-macam pulalah riwayat ahli tafsir tentang sebab turun ayat ini. Kadang-kadang mereka bawakan hikayat seketika Nebukad-nesar menaklukkan Jerusalem lalu meruntuh dan menghancurkan Haikal Sulaiman atau Baitul Maqdis yang terkenal itu. Ada pula yang mengisahkan masuknya tentara Romawi ke Palestina 130 tahun setelah wafatnya Nabi Isa al-Masih lalu mereka hancurkan pula kembali bangunan-bangunan ibadah orang Yahudi. Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini adalah suatu bayangan bahaya besar yang akan datang kemudian hari dalam Islam sendiri, yaitu datangnya kaum Qaramithah menyerang Mekah merusak masjid dan mencungkil Hajarul Aswad (Batu Hitam) dan Ka'bah lalu membawanya ke Bahrain, pusat kedudukan mereka. Sampai 22 tahun lamanya batu mulia itu tertahan di sana. Dan ada juga menafsirkan ketika Tentara Salib menyerang negeri-negeri Islam dan meruntuhkan masjid-masjid.
Meskipun semuanya itu dipandang dari sanad riwayat tidaklah kuat untuk menjadi sebab turun ayat, ayat ini telah menjadi pendirian yang pokok dari Islam, yaitu membela dan mempertahankan serta menjaga kemuliaan tempat-tempat beribadah, baik tempat beribadah orang Yahudi mapun orang Nasrani, apatah lagi masjid-masjid Islam. Dengan pemeluk kedua agama itu pertukaran pikiran tentang itikad boleh diteruskan. Kepercayaan mereka yang salah boleh dibantah, akal dapat diadu dengan akal, tetapi sinagog, gereja, dan biara mereka tidak boleh diganggu. Tidak boleh diganggu adalah kata yang masih pasif. Melainkan lebih tegas lagi: wajib dibela dan dipertahankan. Malahan pembelaan terhadap tempat-tempat beribadah itulah yang menjadi dasar politik mendirikan pertahanan dalam Islam.
Artinya, membentuk tentara dalam Islam, menjadikan senjata dan kendaraan untuk perang. Semuanya itu tujuan pertama adalah guna mempertahankan dan membela sinagog, gereja, biara, dan masjid dari kezaliman luar. Pemeluk agama lain itu di dalam pemerintah Islam diberi jaminan dan dibela di dalam ibadah dan rumah suci mereka.
Sebab itu, ketika Sayyidina Abu Bakar akan menyuruh Usamah berperang atau menyuruh Khalid binal-Walid menaklukkan negeri-negeri taklukan Romawi yang beragama Nasrani, beliau pesankan yang terutama agar tumah-ru-mah ibadah jangan diganggu. Pendeta-pendeta yang sedang mengerjakan upacara agama jangan dihalangi. Itu pula sebabnya ketika Jerusalem ditaklukkan oleh tentara Islam, uskup Nasrani memohon Khalifah Umar bin Khaththab sendiri datang menerima penyerahan taktuk mereka dan langsung uskup itu diakui dalam jabatannya itu dengan tidak diganggu. Bahkan dalam Kerajaan Turki Ustmani, ketika Sultan Muhammad Penakluk (al-Fatih) menaklukkan Konstantinopel (1453), patrick Nasrani di sana beliau akui dan diangkat menjadi menteri untuk urusan agama mereka dalam perlindungan baginda. Sampai sekarang, Kerajaan Turki Utsmani telah habis dan Turki telah bertukar menjadi republik, namun Gereja Kristen Orthodox masih tetap berpusat di Konstantinopel. Patricknya yang tertinggi masih berkedudukan di negeri itu. Sebab yang terpenting ialah bahwa setelah negeri itu dikuasai oleh Kerajaan Turki Islam, kedudukan itu tidak diganggu sehingga tidak ada niat Gereja Orthodo x memindahkannya ke negeri lain sebab Konstantinopel dahulunya adalah pusat Kerajaan Byzantium.
Oleh karena ayat ini, alhamdulillah, bersihlah sejarah perjuangan dan perkembangan Islam daripada meruntuhkan sinagog, gereja, atau biara. Malahan ketika Khalifah Umar bin Khaththab datang ke Syam menerima penyerahan takluk kaum Nasrani itu, hari telah petang, waktu asar sudah hampir habis, pada hal beliau sedang dalam pekarangan Gereja Qiyamat, yang menurut kepercayaan orang Nasrani dari sanalah Nabi Isa naik ke langit setelah dia bangkit dari kubur. Setelah beliau menyatakan bahwa beliau hendak shalat, pendeta di gereja itu mempersilakan beliau masuk saja agar beliau shalat secara Islam di pekarangan dalam itu. Tetapi beliau menolak dengan alasan, kalau beliau shalat ke dalam, takut kalau-kalau datang orang Islam yang di belakang hari yang mendengar beliau pernah shalat di sana, mereka pun meminta pula diizinkan shalat di situ sehingga orang Nasrani sendiri yang hendak beribadah cara agamanya jadi terganggu karenanya. Sebab itu, beliau shalat di luar pekarangannya saja. Sungguhpun begitu, sampai sekarang ini, kepada turis Islam yang berziarah ke gereja itu, pendeta-pendeta yang di sana masih dengan bangganya menunjukkan bahwa di tempat ini pernah Umar bin Khaththab shalat.
Namun, toleransi yang demikian luas dalam Islam telah disalahgunakan oleh pemeluk agama lain, terutama Nasrani. Di mana-mana negeri yang mereka merasa kuat, berebutlah mereka mendirikan gereja di daerah orang Islam sehingga ulama fiqih mengeluarkan berbagai hasil fiqih yang mengatur bahwa di daerah Islam tidak boleh didirikan gereja yang baru. Ulil amri Islam berhak mengaturnya.
Dan, di tanah air kita Indonesia, setelah negeri ini bebas dari penjajahan Belanda-Kristen, perlombaan mendirikan gereja di tanah-tanah orang Islam, meskipun di tempat itu tidak ada orang Kristen, bertambah hebat daripada waktu penjajahan sendiri meskipun golongan penduduk yang terbesar (mayoritas) adalah kaum Muslimin.
Apa sebabnya?
Karena umumnya, pemegang kekuasaan adalah orang yang mendapat pendidikan Belanda khususnya dan Barat umumnya, yang bagi mereka tidak peduli dan tidak jadi perhatian, apakah yang banyak itu gereja atau masjid. Dan, pendidikan Barat yang telah ber-urat-berakar itu menyebabkan timbulnya satu perasaan bahwa kalau mereka mempertahankan hak kaum Muslimin, mereka akan dituduh fanatik. Oleh karena takut dituduh fanatik itu, mereka akan marah dan sangat murka kepada orang Islam sendiri kalau orang Islam itu saja menentang orang mendirikan gereja di pekarangan kaum Muslimin.
Keluasan dada Islam yang ditanamkan oleh ayat yang bertuah ini adalah suatu peringatan keras yang wajib dipegang teguh oleh penguasa-penguasa Islam. Itu sebabnya, sampai sekarang orang Nasrani minoritas di negeri-negeri Islam, sebagaimana di Mesir, Suriah, Irak, dan di Transjordaria, masih tetap ada. Mereka itu telah diakui dan dilindungi (dzimmi) sejak empat belas abad yang telah lalu. Di Lebanon, mereka dapat mendirikan negara sendiri, di mana mereka dapat menjadi presiden menurut undang-undang dasar yang disokong oleh Prancis di waktu Lebanon mencapai kemerdekaannya. Tetapi orang Islam di Spanyol setelah pertahanan terakhir kerajaan Islam di Granada (Banil Ahmar) kalah, mereka yang tinggal di Spanyol dipaksa masuk Nasrani dengan keras dan masjid-masjid mereka dijadikan gereja. Yang masih saja berkeras memegang agamanya diusir besar-besaran berjuta banyaknya. Sebab itu, habis musnahlah minoritas Islam dari negeri Spanyol, Portugal, dan juga Prancis.
Ketika hebat peperangan Turki Utsmani dengan Rusia-Tsar di dalam abad kesembilan belas, Kerajaan Tsar menuntut Kerajaan Turki memberikan hak bagi Rusia memperlindungi umat Kristen di negeri Turki, padahal per-lindungan yang diberikan Turki kepada minoritas Kristen itu telah cukup baik. Malahan sampai sekarang ini, sebagaimana kami tuliskan di atas tadi, Gereja Orthodox Yunani yang banyak tersebar di Eropa Timur dan Rusia masih tetap berpusat di Istanbul dan Gereja Koptik masih tetap berpusat di Iskandariyah.