Ayat
Terjemahan Per Kata
وَهَٰذَا
dan ini
ٱلۡبَلَدِ
negri
ٱلۡأَمِينِ
aman
وَهَٰذَا
dan ini
ٱلۡبَلَدِ
negri
ٱلۡأَمِينِ
aman
Terjemahan
dan demi negeri (Makkah) yang aman ini,
Tafsir
(Dan demi kota ini yang aman) yaitu kota Mekah, dinamakan kota aman karena orang-orang yang tinggal di dalamnya merasa aman, baik pada zaman jahiliah maupun di zaman Islam.
Tafsir Surat At-Tin: 1-8
Demi (buah) tin dan (buah) zaitun, dan demi Bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yanga man, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan tafsir surat ini, ada beberapa pendapat yang cukup banyak di kalangan mereka mengenainya.
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan tin adalah sebuah masjid di kota Dimasyq. Menurut pendapat yang lainnya adalah buah tin. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi adalah nama sebuah gunung penuh dengan buah tin. Al-Qurtubi mengatakan bahwa tin adalah nama masjid As-habul Kahfi. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Al-Aufi, bahwa tin di sini adalah masjid Nabi Nuh yang ada di puncak Bukit Al-Judi.
Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah pohon tin kalian ini. Sedangkan mengenai zaitun menurut Ka'bul Ahbar, Qatadah, Ibnu Zaid, dan yang lainnya hal ini adalah nama sebuah masjid yang terletak di kota Yerussalem (Baitul Maqdis). Mujahid dan Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah buah zaitun yang kalian peras ini. dan demi Bukit Sinai. (At-Tin: 2) Ka'bul Ahbar dan yang lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini adalah nama bukit yang di tempat itu Allah berbicara langsung kepadaMusa’alaihissalam
dan demi kota (Mekah) ini yang aman. (At-Tin: 3) Makna yang dimaksud adalah kota Mekah, menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Ibrahim An-Nakha'i, Ibnu Zaid, dan Ka'bul Ahbar; tiada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam hal ini. Sebagian para imam mengatakan bahwa ketiganya merupakan nama tiga tempat yang pada masing-masingnya Allah telah mengutus seorang nabi dari kalangan Ulul 'Azmi para pemilik syariat-syariat yang besar. Yang pertama ialah tempat yang dipenuhi dengan tin dan zaitun, yaitu Baitul Maqdis, Allah telah mengutus Isa putra Maryam padanya.
Yang kedua adalah Tur Sinai, yakni nama bukit yang padanya Allah berbicara langsung kepada Musa ibnu Imran. Dan yang ketiga ialah Mekah alias kota yang aman; yang barang siapa memasukinya, pasti dia dalam keadaan aman; di tempat inilah Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Muhammad ﷺ Mereka mengatakan bahwa pada akhir kitab Taurat nama ketiga tempat ini disebutkan, "Allah datang dari Bukit Sinai yakni tempat yang padanya Allah berbicara langsung kepada Musa a.s. ibnu Imran. Dan muncul di Sa'ir, nama sebuah bukit di Baitul Maqdis, yang padanya Allah mengutus Isa.
Dan tampak di bukit-bukit Faran, yakni bukit-bukit Mekah yang darinya Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Muhammad ﷺ Maka Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan nama-nama ketiga tempat itu seraya memberitakan tentang mereka yang diutus-Nya secara tertib dan menurut urutan zamannya. Untuk itulah hal ini berarti Allah bersumpah dengan menyebut yang mulia, lalu yang lebih mulia darinya, kemudian yang lebih mulia dari keseluruhannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (At-Tin: 4) Dan inilah subjek sumpahnya, yaitu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan rupa yang paling sempurna, tegak jalannya dan sempurna, lagi baik semua anggota tubuhnya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (At-Tin: 5) Yakni neraka, menurut Mujahid, Abul Aliyah, Al-Hasan, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Yakni kemudian sesudah penciptaan yang paling baik lagi paling indah itu, tempat kembali mereka adalah ke neraka, jika mereka tidak taat kepada Allah dan tidak mengikuti rasul-rasul-Nya.
Untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. (At-Tin:6) Sebagian ulama ada yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Kemudian Kami kembalikan dia ke tempatyang serendah-rendahnya. (At-Tin: 5) Yaitu kepada usia yang paling hina. Hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Ikrimah, sehingga Ikrimah mengatakan bahwa barang siapa yang hafal Al-Qur'an seluruhnya, maka ia tidak akan memasuki usia yang paling hina.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Seandainya hal itulah yang dimaksud oleh makna ayat, niscaya tidaklah menjadi indah pujian bagi kaum mukmin, mengingat sebagian dari mereka adalah yang mengalami usia pikun. Dan sesungguhnya makna yang dimaksud hanyalah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, yakni ke neraka, bukan ke usia yang paling hina alias pikun.
Dan ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, (Al-'Asr: 1-3) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (At-Tin: 6) Yakni tiada habis-habisnya, sebagaimana yang sering diterangkan sebelumnya. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya: Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan. (At-Tin: 7) wahai anak Adam. (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (At-Tin: 7) Maksudnya, pembalasan di hari kemudian. Sesungguhnya kamu telah mengetahui permulaan kejadianmu dan telah mengetahui bahwa Tuhan yang mampu menciptakan dari semula berkuasa pula untuk mengembalikannya jadi hidup, bahkan itu lebih mudah bagi-Nya.
Maka apakah yang mendorongmu mendustakan adanya hari pembalasan, padahal engkau telah mengetahui hal tersebut? Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Sufyan, dari Mansur yang mengatakan bahwa aku pernah bertanya kepada Mujahid mengenai makna firman-Nya: Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (At-Tin: 7) Apakah yang dimaksud adalah Nabi ﷺ? Maka Mujahid menjawab, "Ma'azallah, makna yang dimaksud adalah manusia." Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan lain-lainnya.
Firman Allah Swt: Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (At-Tin: 8) Yakni bukankah Dia Hakim yang paling adil, yang tidak melampaui batas dan tidak aniaya terhadap seseorang pun. Dan termasuk dari sifat adil-Nya ialah Dia mengadakan hari kiamat, lalu orang yang dianiaya di dunia dapat membalas kepada orang yang pernah berbuat aniaya kepadanya di hari itu. Dalam pembahasan yang lalu telah kami terangkan melalui hadits Abu Hurairah secara marfu': Apabila seseorang di antara kamu membaca Wat Tini Waz Zaituni (surat At-Tin), lalu sampai pada ayat terakhirnya, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala, "Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya, maka hendaklah ia mengucapkan, "Benar, dan aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi atas hal tersebut.
Demikianlah akhir tafsir surat At-Tin, dan segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-Nya."
1-3. Demi buah Tin dan Zaitun, demi gunung Sinai, dan demi negeri Mekah yang aman ini. Buah Tin dan Zaitun banyak tumbuh di Syam dan Baitul makdis, tempat para nabi diutus, antara lain Nabi Isa. Gunung Sinai adalah tempat Nabi Musa bermunajat, sedangkan Mekah adalah tem'pat kelahiran dan pengutusan Nabi Muhammad. Ketiga nabi ini memiliki misi yang sama, yaitu mengajak manusia menuju tauhid. 4. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk fisik yang sebaik-baiknya, jauh lebih sempurna daripada hewan. Kami juga bekali mereka dengan akal dan sifat-sifat yang unggul. Dengan kelebihan-kelebihan itulah Kami amanati manusia sebagai khalifah di bumi.
Selanjutnya Allah bersumpah dengan "negeri yang damai". Maksudnya adalah Mekah, tempat Nabi Muhammad lahir dan menerima wahyu. Bahwa Mekah adalah tempat asal Nabi Muhammad dinyatakan pula antara lain dalam Surah Muhammad/47: 13:
Dan betapa banyak negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka; maka tidak ada seorang pun yang menolong mereka. (Muhammad/47: 13)
Dalam ayat ini terdapat informasi bahwa beliau telah dipaksa meninggalkan negeri asalnya, yaitu tempat kelahirannya (Mekah) dan hijrah ke Medinah.
Berdasarkan ayat-ayat lain lebih tepat dipahami bahwa ketiga ayat di atas menyatakan tempat ketiga nabi itu lahir atau menerima tugas kenabian mereka. Di dalam ayat-ayat lain, ketiga nabi itu memang sering disebutkan bersamaan, misalnya dalam Surah as-saff/61: 5-6:
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Wahai kaumku! Mengapa kamu menyakitiku, padahal kamu sungguh mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?" Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, "Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Namun ketika rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, "Ini adalah sihir yang nyata." (as-saff/61: 5-6)
Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 33 ayat 2 juga dinyatakan tempat ketiga nabi itu, "Tuhan telah datang dari Sina, dan terbit kepada mereka di Seir, kelihatan Dia dengan gemerlapan cahayanya dari Gunung Paran." Sina adalah Sinai tempat Nabi Musa menerima wahyu, Seir adalah pegunungan di Baitul Maqdis tempat Nabi Isa lahir dan menerima kenabian, dan pegunungan Paran adalah pegunungan Mekah, tempat Nabi Muhammad lahir dan menerima kenabiannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AT-TIIN
(BERITA)
SURAH KE-95, 8 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
Ayat 1
“Demi buah Tin, demi buah Zaitun." (ayat 1) Terdapat berbagai tafsiran.
- Menurut Mujahid dan Hasan, kedua buah-buahan itu diambil jadi sumpah oleh Allah untuk diperhatikan. Buah tin diambil sumpah karena dia buah yang terkenal untuk dimakan, buah zaitun karena dia dapat ditempa dan diambil minyaknya.
- Kata Qatadah, “Tin adalah nama sebuah bukit di Damaskus dan Zaitun nama pula dari sebuah bukit di Baitul Maqdis." Tandanya kedua negeri itu penting untuk diperhatikan. Dan menurut sebuah riwayat pula, yang diterima dan Ibnu Abbas, “Tin adalah masjid yang mula didirikan oleh Nuh di atas Gunung al-Judi, dan Zaitun adalah Baitul Maqdis."
Ayat 2
“Demi Gunung Sinai." (ayat 2)
Di ayat ini disebut namanya Thurisinina, disebut juga Thursina, disebut juga Sinai dan disebut juga Thur saja. Kita kenal sekarang dengan sebutan Semenanjung Sinai.
Ayat 3
“Demi negeri yang aman ini." (ayat 3)
Negeri yang aman ini ialah Mekah, tempat ayat ini diturunkan. Berkata Ibnu Katsir, “Berkata sebagian imam-imam, inilah tiga tempat, yang di masing- masing tempat itu Allah telah membangkitkan nabi-nabi utusan-Nya, rasul-rasul yang terkemuka, mempunyai syari'at yang besar.
Pertama, tempat yang di sana banyak tumbuh tin dan zaitun. Itulah Baitul Maqdis. Di sanalah Allah mengutus Isa bin Maryam.
Kedua, Thurisinina, yaitu Thursina, tempat Allah bercakap-cakap dengan Musa bin Imran.
Ketiga, negeri yang aman, yaitu Mekah. Barangsiapa yang masuk ke sana, terjaminlah keamanannya. Di sanalah diutus Rasul-Nya Muhammad ﷺ.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Jawabus Shahih Li Man Baddala Din al-Masih (Jawaban yang Jitu untuk Siapa Yang Menukar-Nukar Agama al-Masih), menerangkan juga ayat di dalam Taurat ini, dalam Kitab Ulangan, pasal 33, ayat 2. Demikian bunyinya pada salinan Bible (Alkitab) cetakan terakhir dalam bahasa Indonesia, “Maka katanya: Bahwa Allah telah datang dari Torsina, dan telah terbit bagi mereka itu dari Seir; kelihatanlah Ia dengan gemerlapan cahayanya dari Gunung Paran." (Lembaga Alkitab Indonesia 1970).
Maka datanglah komentar dari ulama-ulama besar Islam, yang didapat dalam keterangan Abu Muhammad Ibnu Qutaibah, “Dengan ini tidak tersembunyi lagi bagi siapa yang sudi memerhatikan. Karena Allah datang dari Torsina ialah turunnya Taurat kepada Musa di Thursina; sebagaimana yang dipegangi oteh Ahlul Kitab dan oleh kita kaum Muslimin. Demikian juga tentang terbitnya di Seir, ialah turunnya Injil kepada al-Masih. Al-Masih berasal dari Seir, bumi Jalil di sebuah desa bernama Nashirah, dan dari nama desa itulah pengikut al-Masih menamakan diri mereka Nasrani. Maka sebagaimana sudah pastinya bahwa Dia terbit di Seir mengisyaratkan kedatangan al-Masih, maka dengan sendirinya gemerlapan cahayanya di bukit Paran itu ialah turunnya Al-Qur'an kepada Muhammad ﷺ di bukit-bukit Paran, yaitu bukit-bukit Mekah." Ibnu Taimiyah berkata selanjutnya, “Tidak ada pertikaian di antara Kaum Muslimin dengan Ahlul Kitab bahwa Gunung Paran itu ialah Mekah. Kalau mereka hendak memungkiri bahwa Paran itu ialah Mekah, dan itu bisa saja terjadi karena mereka tidak keberatan mengubah isi kitabnya atau membuat dusta; bukankah di dalam Taurat juga dinyatakan bahwa Ibrahim menempatkan Hajar dan Ismail di Paran? (Kejadian; Pasal 21; ayat 19 sampai 21). Dan Dia katakan; tunjukkanlah kepada kami suatu tempat lain yang gemerlapan cahaya di sana, adakah Paran yang lain? Dan adakah timbul di sana seorang Nabi gemerlapan cahayanya sesudah Al-Masih? Dan adakah suatu agama yang jelas timbulnya, gemerlapan cahayanya sesudah Isa al-Masih yang menyerupai tersebarnya Islam di Timur dan di barat?"
Abu Hasyim bin Thafar berkata, “Seir adalah sebuah bukit di Syam, tempat lahirnya al-Masih." Kataku, “Di dekat Beitlehem, desa tempat al-Masih dilahirkan, sampai sekarang ada sebuah desa bernama Seir. Di sana pun ada sebuah bukit bernama Bukit Seir. Berdasar kepada ini telah tersebutlah tiga bukit, yaitu Bukit Hira, yang di sekeliling Mekah, tidak ada bukit yang lebih tinggi dari dia. Di sanalah mula turunnya wahyu kepada Muhammad ﷺ. Dan bertali-tali dengan bukit-bukit itu terdapat lagi banyak bukit yang lain. Kumpulan semuanya dinamai Paran, sampai kini. Di sanalah mula turunnya Al-Qur'an, dan daratan luas di antara Mekah dengan Thursina itu dinamai dataran Paran. Kalau akan dikatakan bahwa di daratan itulah Nabi yang dimaksud, maka sampai sekarang tidaklah ada Nabi lain yang timbul di sana."
Selanjutnya ada pula penafsir-penafsir zaman sekarang sebagaimana disebutkan oleh al-Qasimi di dalam tafsirnya berpendapat bahwa sumpah Allah dengan buah tin yang dimaksud ialah pohon Bodhi tempat bersemadinya Budha Gaotama ketika mencari hikmah tertinggi. Budha adalah pendiri dari agama Budha yang di kemudian harinya telah banyak berubah dari ajarannya yang asli. Sebab ajarannya itu tidak ditulis pada zamannya melainkan lama sesudah matinya. Dia hanya diriwayatkan seperti riwayat-riwayat dalam kalangan kita Muslimin, dari mulut ke mulut lama kemudian baru ditulis, setelah pemeluk-pemeluknya bertambah maju.
Menurut penafsir ini pendiri agama Budha itu nama kecilnya ialah Sakiamuni atau Gaotama. Mula kebangkitannya ialah ketika dia berteduh di bawah pohon kayu Bodhi yang besar. Di waktu itulah turun wahyu kepadanya, lalu dia diutus menjadi rasul Allah. Setan berkali-kali mencoba memperdayakannya, tetapi tidaklah mempan. Pohon Bodhi itu menjadi pohon yang suci pada kepercayaan penganut Budha, yang mereka namai juga Acapala.
Besar sekali kemungkinan bahwa penafsir menafsirkan buah tin dalam Al-Qur'an itu dengan pohon Bodhi tempat Budha bersemadi, belum mendalami benar-benar filsafat ajaran Budha. Menurut penyelidikan ahli-ahli, Budha itu lebih banyak mengajarkan filsafat menghadapi hidup ini, dan tidak membicarakan ketuhanan. Lalu pengikut Budha yang datang di belakang memuaskan hati mereka dengan menuhankan Budha itu sendiri.
Tetapi seorang ulama besar dari Arabia dan Sudan, Syekh Ahmad Soorkati yang telah mustautin di Indonesia ini pernah pula menyatakan perkiraan beliau, kemungkinan yang dimaksud seorang rasul Allah yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an Dzulkifli, itulah Budha! Asal makna dari Dzulkifli ialah yang empunya pengasuhan, atau ahli dalam mengasuh. Mungkin mengasuh jiwa manusia. Maka Syekh Ahmad Soorkati menyatakan pendapat bahwa kalimat Kifli berdekatan dengan nama negeri tempat Budha dilahirkan, yaitu Kapilawastu.
Dan semuanya ini adalah penafsiran. Kebenarannya yang mutlak tetaplah pada Allah sendiri.