Ayat
Terjemahan Per Kata
ثُمَّ
kemudian
كَانَ
adalah ia
مِنَ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَتَوَاصَوۡاْ
dan mereka saling berwasiat/berpesan
بِٱلصَّبۡرِ
dengan kesabaran
وَتَوَاصَوۡاْ
dan mereka saling berwasiat/berpesan
بِٱلۡمَرۡحَمَةِ
dengan kasih-sayang
ثُمَّ
kemudian
كَانَ
adalah ia
مِنَ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَتَوَاصَوۡاْ
dan mereka saling berwasiat/berpesan
بِٱلصَّبۡرِ
dengan kesabaran
وَتَوَاصَوۡاْ
dan mereka saling berwasiat/berpesan
بِٱلۡمَرۡحَمَةِ
dengan kasih-sayang
Terjemahan
Kemudian, dia juga termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar serta saling berpesan untuk berkasih sayang.
Tafsir
(Kemudian dia adalah) lafal ayat ini di'athafkan kepada lafal Iqtahama; dan lafal Tsumma menunjukkan makna urutan penyebutan atau Tartiibudz Dzikr. Artinya dia sewaktu menempuh jalan yang sulit itu (termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan) yakni sebagian di antara mereka berpesan kepada sebagian yang lain (untuk bersabar) di dalam menjalankan amal ketaatan dan menjauhi perbuatan kemaksiatan (dan saling berpesan untuk berkasih sayang) terhadap semua makhluk.
Tafsir Surat Al-Balad: 11-20
Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang yang miskin yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan ini) adalah golongan kanan. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.
Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ismail ibnu Mujalid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, dari ayahnya, dari Abu Atiyyah, dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sulit. (Al-Balad: 11) Maksudnya, memasuki jalan yang mendaki lagi sulit, yaitu nama sebuah gunung di dalam neraka Jahanam. (Dengan demikian, berarti huruf lam di sini bukan lam nafi, melainkan lam taukid.
Sehingga makna ayat menjadi seperti berikut, "Maka sesungguhnya manusia itu akan menempuh jalan yang sulit lagi mendaki," pent). Ka'bul Ahbar mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sulit. (Al-Balad: 11) 'Aqabah adalah tingkatan yang terdiri dari tujuh puluh tingkatan di dalam neraka Jahanam. Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sulit. (Al-Balad: 11) Yaitu jalan yang mendaki lagi sulit di dalam neraka Jahanam.
Qatadah mengatakan bahwa sesungguhnya hal itu merupakan jalan mendaki, sulit, lagi keras, maka jinakkanlah ia dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah. Qatadah mengatakan bahwa selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya: Tahukah 'kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Al-Balad: 12) Lalu disebutkan pula bagaimana cara melaluinya dalam firman berikutnya: (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan. (Al-Balad: 13-14) Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? (Al-Balad: 11) Yakni tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang membawanya kepada keselamatan dan kebaikan.
Kemudian dijelaskan dalam firman berikutnya: Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu: (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan atau memberi makan. (Al-Balad: 12-14) Suatu qiraat ada yang membacanya fakku raqabatin dengan me-mudaf-kannya. Dan qiraat lain ada yang membacanya fakkun raqabatan. Lafal fakkun menjadi mudaf yang beramal dengan amal fiil-nya. Ia mengandung damir yang menjadi fa'il-nya, sedangkan raqabatan menjadi mafulnya. Kedua qiraat ini maknanya berdekatan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sa'id ibnu Abu Hindun, dari Ismail ibnu Abu Hakim pelayan keluarga Az-Zubair, dari Sa'id ibnu Marjanah; ia pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Barang siapa yang memerdekakan seorang budak yang mukmin. maka Allah memerdekakan tiap anggota tubuhnya dengan tiap anggota tubuh budak itu dari api neraka, sehingga sesungguhnya Allah memerdekakan tangan dengan tangan, kaki dengan kaki, dan kemaluan dengan kemaluan.
Kemudian Ali ibnul Husain bertanya, "Apakah engkau benar mendengar hadits ini dari Abu Hurairah?" Sa'id menjawab, "Benar." Maka Ali ibnul Husain berkata kepada salah seorang budaknya untuk memanggil budak yang paling disayanginya.Panggilah si Mutarrif!" Ketika Mutarrif telah berada di hadapan Ali ibnu Husain, maka Ali berkata kepadanya. Pergilah kamu, sekarang engkau merdeka karena Allah." Imam Bukhari dan Imam Muslim, juga Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai, telah meriwayatkan hadits ini melalui berbagai jalur dari Said ibnu Mirjanah dengan sanad yang sama.
Menurut lafal yang ada pada Imam Muslim budak yang dimerdekakan oleh Ali ibnul Husain alias Zainul Abidin ini adalah seorang budak yang sebelum dimerdekakan diberi uang sebanyak sepuluh ribu dirham (untuk bekalnya). Qatadah telah meriwayatkan dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Madan ibnu Abu Talhah, dari Abu Najih yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Orang muslim yang memerdekakan seorang budak laki-laki yang muslim, maka sesungguhnya Allah menjadikan imbalannya untuk setiap anggota tubuhnya dengan anggota tubuh budak yang dimerdekakannya itu dari neraka.
Dan wanita muslimah yang memerdekakan seorang budak perempuan, maka sesungguhnya Allah menjadikan imbalannya untuk setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak perempuan yang dimerdekakannya itu dimerdekakan dari api neraka, Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Dan Abu Najih ini adalah Amr ibnu Absah As-Sulami Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih. telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepadaku Bujair ibnu Sa'd. dari Khalid ibnu Ma'dan.
dari Kasir ibnu Murrah, dari Amr ibnu Absah; ia telah menceritakan kepada mereka bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang membangun masjid agar disebutkan nama Allah di dalamnya, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah gedung di dalam surga. Dan barang siapa yang memerdekakan seorang budak yang muslim, maka budak itu menjadi tebusannya dari neraka Jahanam. Dan barang siapa yang mengalami ubanan pada sehelai rambutnya di masa Islam, maka hal itu kelak akan menjadi nur (cahaya) baginya di hari kiamat.
Jalur lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Salim ibnu Amir, bahwa Syurahbil ibnus Simt pernah mengatakan kepada Amr ibnu Absah, "Ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang tidak panjang dan tidak mudah dilupakan." Maka Amr ibnu Absa berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa memerdekakan seorang budak yang muslim, maka budak itu menjadi kebebasannya dari neraka; setiap anggota tubuh dengan setiap anggota tubuh lainnya.
Dan barang siapa yang tumbuh ubannya sehelai dijalan Allah, maka hal itu akan menjadi cahaya baginya kelak di hari kiamat. Dan barang siapa yang membidikkan anak panahnya, lalu mencapai sasarannya atau meleset (di jalan Allah), maka dia bagaikan seorang yang memerdekakan seorang budak dari kalangan Bani Ismail. Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai telah meriwayatkan sebagian dari hadits ini. Jalur lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Faraj, telah menceritakan kepada kami Luqman, dari Abu Umamah, dari Amr ibnu Absah As-Sulami. Abu Umamah mengatakan kepadanya, "Ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang di dalamnya tidak mengandung kekurangan dan tidak pula hal yang sulit dicapai." Amr ibnu Absah menjawab, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa yang dilahirkan baginya tiga orang anak dalam masa Islam, lalu mereka semuanya mati sebelum mencapai usia balig, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga berkat kemurahan rahmat-Nya kepada mereka.
Dan barang siapa yang beruban sehelai rambutnya di jalan Allah, maka uban itu akan menjadi cahaya baginya kelak di hari kiamat. Dan barang siapa yang membidikkan anak panah di jalan Allah hingga mencapai musuhnya, baik mengenainya atau meleset, maka baginya pahala seperti memerdekakan seorang budak. Dan barang siapa memerdekakan seorang budak yang mukmin, maka Allah memerdekakan tiap anggota tubuhnya berkat tiap anggota tubuh budak yang dimerdekakannya dari api neraka.
Dan barang siapa yang membelanjakan dua jenis keperluan di jalan Allah, maka sesungguhnya surga itu mempunyai delapan buah pintu, Allah akan memasukkannya ke dalam surga dari pintu mana pun yang disukainya. Semua sanad hadits-hadits di atas berpredikat jayyid lagi kuat; segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala Hadits lain. Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ais ibnu Muhammad Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Damrah, dari Ibnu Abu Ablah, dari Al-Arrif ibnu Iyasy Ad-Dailami yang mengatakan bahwa kami datang kepada Wasilah ibnul Asqa', dan kami berkata kepadanya, "Ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang tidak ada penambahan dan tidak pula pengurangan." Maka Wasilah marah dan berkata, "Sesungguhnya seseorang dari kamu benar-benar membaca Al-Qur'an dan mushaf yang dibacanya tergantung di rumahnya (tersimpan di dalamnya), maka apakah dia berani menambah-nambahi atau menguranginya?" Kami berkata, "Bukan itu kami maksudkan, sesungguhnya yang kami maksudkan hanyalah sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ yang pernah engkau dengar secara harfiah." Wasilah ibnu Asqa' mengatakan, "Kami datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ untuk menanyakan kepada beliau tentang seorang teman kami yang sudah dapat dipastikan akan masuk neraka karena bunuh diri, maka Rasulullah ﷺ menjawab: 'Merdekakanlah olehmu untuknya seorang budak, maka Allah akan memerdekakan setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka'.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam An-Nasai melalui hadits Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Al-Arrif ibnu Iyasy Ad-Dailami, dari Wasilah dengan lafal yang sama. Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Qais Al-Juzami, dari Uqbah ibnu Amir Al-Juhani, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa memerdekakan seorang budak yang muslim, maka budak itu menjadi penebus dirinya dari neraka.
Telah menceritakan pula kepada kami Abdul Wahhab Al-Khaffaf, dari Sa'd, dari Qatadah yang mengatakan bahwa pernah diceritakan kepada kami bahwa Qais Al-Juzami menceritakan hadits dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa memerdekakan seorang budak yang mukmin, maka budak itu menjadi pembebasnya dari neraka. Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid melalui jalur ini. Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam dan Abu Ahmad, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Abdur Rahman Al-Bajali, dari Bani Bajilah, dari Ibnu Sulaim, dari Talhah ibnu Muarrif, dari Abdur Rahman ibnu Ausajah, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pernah seorang lelaki Badui datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, ajarilah aku suatu amal yang dapat memasukkan diriku ke dalam surga." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Sesungguhnya aku telah berniat akan meringkas khotbah ini, tetapi ternyata engkau menjadikannya panjang.
Merdekakanlah budak dan bantulah untuk memerdekakannya. Lelaki Badui itu bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah keduanya itu sama?" Rasulullah ﷺ menjawab: Tidak, sesungguhnya yang pertama berarti engkau memerdekakan budak seutuhnya, sedangkan yang kedua berarti engkau hanya membantu memerdekakannya. Dan gemarlah berderma, berilah saudara yang zalim. Maka jika kamu tidak mampu mengerjakannya, berilah makan orang yang kelaparan, berilah minum orang yang kehausan, beramar ma'ruf dan bernahi munkarlah. Dan jika kamu tidak mampu mengerjakannya, maka cegahlah lisanmu kecuali terhadap kebaikan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Atau memberi makan pada hari kelaparan. (Al-Balad: 14) Ibnu Abbas mengatakan bahwa masgabah artinya kelaparan. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Adh-Dhahhak, Qatadah, dan selain mereka. As-sagab artinya kelaparan. Ibrahim An-Nakha'i mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah di hari makanan sulit dicari. Qatadah mengatakan di hari yang makanan sangat diminati. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: (kepada) anak yatim. (Al-Balad: 15) Yakni berilah makan anak yatim di hari seperti itu.
yang ada hubungan kerabat. (Al-Balad: 15) Yaitu mempunyai pertalian kekeluargaan dengan yang bersangkutan. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Hafsah binti Sirin, dari Salman ibnu Amir, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Bersedekah kepada (orang lain) yang miskin berpahala sedekah; dan kepada orang miskin yang ada hubungan kerabat dua pahala, pahala sedekah dan pahala silaturahmi.
Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai telah meriwayatkannya pula, dan sanad hadits ini shahih. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: atau orang miskin yang sangat fakir. (Al-Balad: 16) Yakni sangat miskin sehingga menempel di tanah, lagi tak punya apa-apa. Ibnu Abbas mengatakan bahwa za matrabah artinya orang miskin yang terlempar di jalan (gelandangan), tidak punya rumah, dan tidak punya sesuatu yang menghindarinya dari menempel di tanah. Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud ialah orang yang menempel di tanah karena fakir lagi berhajat dan tidak mempunyai apa-apa.
Dan menurut riwayat lainnya yang juga dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah orang yang jauh rumahnya. Menurut Ibnu Abu Hatim, makna yang dimaksud dari ucapan Ibnu Abbas ialah orang yang mengembara, jauh dari negeri asalnya. Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang fakir yang banyak utangnya lagi memerlukan bantuan. Sa'id ibnu Jubair mengatakan, yang dimaksud ialah orang yang hidup sebatang kara.
Ibnu Abbas, Sa'id, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hauyyan mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang miskin yang banyak anaknya. Semua pendapat di atas mempunyai makna yang berdekatan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan dia termasuk orang-orang yang beriman. (Al-Balad: 17) Yaitu selain dari semua sifat tersebut yang baik lagi suci, dia adalah seorang yang mukmin hatinya dan mengharapkan pahala amalnya itu hanya karena Allah subhanahu wa ta’ala Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (Al-Isra: 19) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala Dan barang siapa mengerjakan amal yang saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia dalam keadaan beriman. (Al-Mukmin: 40), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (Al-Balad: 17) Yakni dia termasuk orang-orang mukmin yang gemar mengerjakan amal saleh lagi saling berpesan untuk bersabar dalam menghadapi gangguan manusia dan tetap bersikap penyayang kepada mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadits: Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Tuhan Yang Maha Penyayang. Sayangilah orang-orang yang ada di bumi, maka orang-orang yang ada di langit akan menyayangimu.
Di dalam hadits lain disebutkan: Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi manusia. Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Najih, dari Ibnu Amir, dari Abdullah ibnu Amr yang meriwayatkan hadits ini: Barang siapa yang tidak menyayangi orang-orang kecil kami dan tidak menghormati hak orang-orang besar kami, maka dia bukan dari golongan kami.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Mereka adalah golongan kanan. (Al-Balad: 18) Yaitu orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut di atas adalah golongan kanan. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya: Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. (Al-Balad: 19) Yakni termasuk golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat. (Al-Balad: 20) Mereka dimasukkan ke dalamnya, lalu ditutup rapat-rapat sehingga tidak ada jalan selamat bagi mereka dan tidak pula ada jalan keluar bagi mereka darinya.
Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Atiyyah Al-Aufi, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Suddi telah mengatakan sehubungan dengan makiia firman Allah subhanahu wa ta’ala: yang ditutup rapat. (Al-Balad: 20) Maksudnya, ditutup rapat; Ibnu Abbas mengatakan bahwa semua pintunya ditutup. Mujahid mengatakan bahwa asuddul bab dengan dialek Quraisy artinya aku menutup pintu. Hal ini kelak akan dijelaskan hadits yang menerangkannya dalam tafsir surat Al-Humazah.
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa firman-Nya: yang ditutup rapat. (Al-Balad: 20) Yakni diberi tembok di sekelilingnya, tidak ada jalan keluar darinya. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang ditutup rapat. (Al-Balad: 20) Yaitu tertutup rapat, sehingga tidak ada cahaya, tidak ada celah, dan tidak ada pula jalan keluar darinya untuk selama-lamanya. Abu Imran Al-Juni mengatakan bahwa apabila hari kiamat terjadi, maka Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Malaikat Zabaniyah untuk menghimpunkan semua orang yang bertindak sewenang-wenang dan semua setan serta semua orang yang dahulunya ketika di dunia kejahatan-nya ditakuti oleh manusia.
Lalu mereka diikat dengan rantai besi. Kemudian Allah memerintahkan (kepada malaikat-Nya) untuk memasukkan mereka ke dalam neraka Jahanam, setelah itu neraka Jahanam ditutup rapat-rapat menyekap mereka di dalamnya. Abu Imran Al-Juni melanjutkan, bahwa maka demi Allah, telapak kaki mereka sama sekali tidak dapat menetap selama-lamanya. Dan demi Allah, mereka di dalam neraka Jahanam sama sekali tidak dapat melihat langit selama-lamanya.
Dan demi Allah, kelopak mata mereka sama sekali tidak dapat dikatupkan dan tidak dapat merasakan tidur untuk selama-lamanya. Dan demi Allah, mereka di dalamnya sama sekali tidak pernah merasakan sejuknya minuman untuk selama-lamanya. Demikianiah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Demikianlah akhir tafsir surat Al-Balad dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya."
Kemudian, bila dia mau menempuh jalan yang mendaki dan sukar itu maka dia termasuk orang-orang yang beriman dengan kukuh dan saling berpesan untuk bersabar dalam berbuat baik, menjauhi maksiat, serta menghadapi kesusahan hidup, dan saling berpesan untuk berkasih sayang kepada sesama makhluk. 18. Apabila mereka berkenan menempuh jalan yang sukar, beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan berkasih sayang, mereka adalah golongan kanan yang akan menemui kebahagiaan di akhirat berupa surga dengan segala kenikmatan di dalamnya.
Pekerjaan berat lainnya adalah beriman dan saling menasihati untuk sabar dan menyayangi antara sesama Muslim. Sabar adalah kemampuan menahan diri, tabah menghadapi kesulitan, dan usaha keras mengatasi kesulitan tersebut. Kaum Muslimin harus mampu membuktikan imannya dengan melaksanakan sikap sabar itu, dan mendorong kaum Muslimin lainnya untuk melaksanakannya.
Juga yang berat melaksanakannya adalah menyayangi orang lain seperti menyayangi diri sendiri atau keluarga sendiri. Akan tetapi, umat Islam harus mampu membuktikan imannya dengan melaksanakan sikap saling menyayangi itu, sebagaimana juga diperintahkan Rasulullah:
Orang yang penyayang disayang oleh Yang Maha Penyayang. Sayangilah orang yang ada di bumi, maka yang ada di langit akan menyayangi kalian. (Riwayat at-Tirmidhi, Abu Dawud, dan Ahmad dari Abdullah bin 'Amr).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 17
“Kemudian." Artinya, di samping amalan lahir yang kelihatan “Adalah dia termasuk orang-orang yang beriman." Kalau hanya mencari pujian dan riya, dia akan terhenti di tengah jalan. “Dan berpesan-pesan dalam kesabaran" karena banyaknya cobaan hidup seperti paceklik, kemiskinan, kelaparan, dan keyatiman.
“Dan berpesan-pesan dalam kasih-kasihan." (ujung ayat 17)
Yaitu bahwa yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya memberi yang miskin.
Ayat 18
“Orang-orang begitu adalah golongan kanan.` (ayat 18)
Dan di akhirat kelak surah keputusan nasibnya pun akan diterimanya dari sebelah kanan.
Ayat 19
“Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami."
Yaitu tidak mau percaya segala keterangan dan bimbingan yang diberikan Allah dengan perantaraan rasul-rasul-Nya.
“Mereka itulah golongan kiri." (ujung ayat 19)
Dan dari kiri atau dari belakang pulalah mereka akan menerima surah keputusan nasibnya di Hari Akhirat kelak.
Ayat 20
“Untuk mereka adalah mereka yang dikunci rapat." (ayat 20)
Tak ada harapan buat keluar lagi, sampai secukupnya adzab siksaan yang diterima.
Dari sini mengertilah kita bahwa dalam istilah Islam “golongan kanan" dan “golongan kiri" itu berbeda dengan istilah kaum politisi Barat yang telah diistilahkan ke dalam bahasa Indonesia. Asalnya ialah dari tradisi parlemen di negeri-negeri Barat, wakil-wakil rakyat yang menyokong pemerintah duduk di sebelah kanan, dan yang menentang (oposisi) duduk di sebelah kiri dari posisi Ketua Parlemen. Orang-orang komunis di negeri-negeri yang belum mereka kuasai, senantiasa mengadakan oposisi kepada pemerintah yang ada, lalu menyebut diri mereka “kaum kiri". Demikian pandai mereka memengaruhi masyarakat dengan semboyan-semboyan, sehingga orang merasa megah kalau menyebut diri “golongan kiri". Sedangkan yang disebut “golongan kanan" ialah golongan borjuis atau kaum kapitalis, orang yang tidak progresif, dan banyak kata-kata ejekan yang lain. Golongan beragama yang telah menerima tuntunan dari Allah, yang hidup bertakwa dan iman yang disebut Allah dalam wahyu-Nya sebagai “golongan kanan" menjadi terdesak dan malu; sedang orang-orang keras kepala, yang selalu membangkang, yang merebut kekuasaan dengan serba kekerasan, merasa bangga dengan menyebutkan dirinya “kaum kiri".
Ketika revolusi hebat terjadi di Bukittinggi sekitar tahun 1947, ayat-ayat dari surah al-Balad inilah yang diselidiki lebih mendalam dan diambil nilai-nilainya untuk dasar perjuangan Partai Masyumi oleh pemimpin Masyumi di Sumatera Barat waktu itu, saudara Darwis Thaib, yang telah menyandang gelar adat pusaka, Datuk Sidi Bandoro. Di zaman pergerakan menantang penjajahan sebelum Perang Dunia II, Darwis Thaib adalah salah seorang kader penting Partai Pendidikan Nasional Indonesia, yang didirikan dan dipimpin oleh Muhammad Hatta. Darwis Thaib mempelajari sosialisme dengan mendalam. Menurut beliau, ayat-ayat dalam surah al-Balad ini adalah dasar yang teguh dari ajaran Keadilan Sosial yang bersumber dari wahyu. Orang dididik memperdalam iman dan sanggup menempuh jalan mendaki yang sukar (‘aqabah), mengeluarkan harta benda dan tenaga buat; (1), Memberantas segala macam perbudakan, pemerasan manusia atas sesama manusia; (2). Memberi makan pada saat orang sangat memerlukan makanan, baik terhadap anak-anak yatim karena ayah-ayahnya yang gugur dalam perjuangan, atau orang-orang miskin dan melarat yang tidak mempunyai apa-apa; (3). Semuanya itu terlebih dahulu mesti timbul dari iman dan keyakinan hidup sebagai Muslim, yang masyarakatnya dibentuk oleh jamaahnya sendiri. Yaitu jamaah yang hidup dalam gotong royong, hidup berpesan-pesan tentang kesabaran dan berpesan-pesan supaya selalu hidup berkasih sayang, bantu- membantu, tolong-menolong. Itulah yang dinamai hidup dalam masyarakat Marhamah.
Dan oleh Darwis Thaib konsep itu diberi nama Marhamisme; suatu istilah yang jauh lebih populer di kalangan kaum Muslimin daripada Marhaenisme ciptaan Soekarno. Sayang sekali karena perhubungan se-Indonesia belum lancar di waktu itu, maka doktrin Marhamisme dari kalimat marhamah ini belum sempat tersiar jauh, dan oleh gangguan kesehatan Darwis Thaib tidak dapat membawa cita-cita dan kupasannya terhadap surah al-Balad ini ke pusat Masyumi waktu itu, di Yogya atau Jakarta, untuk diperdalam lagi setelah didiskusikan dengan pemimpin- perrimpin yang lain. Apakah lagi setelah selesai penyerahan kedaulatan, Partai Masyumi telah menghadapi perjuangan-perjuangan yang dahsyat, menghadapi lawan-lawan politik yang ingin menghancurkannya, yang dipelopori oleh Soekarno sendiri, yang akhirnya sampai membubarkan partai tersebut. Dan setelah itu pemimpin-pemimpinnya dihalau masuk penjara bertahun-tahun lamanya. Kemudian barulah diketahui bahwa Soekarno memang sudah lama dibina dan digarap oleh kaum komunis; sampai dia jatuh tersungkur dari kemegahannya yang demikian teguh dipertahankannya.
Darwis Thaib penggali doktrin marhamisme itu di tahun 1947 menerbitkan sebuah brosur kecil bernama Marhamisme. Dalam penggalian membentuk ajaran marhamisme untuk ideologi Masyumi ini, Darwis Thaib telah menggabungkan penyelidikannya yang mendalam terhadap Al-Qur'an dengan ajaran kedaulatan rakyat dan keadilan sosial yang diterimanya dari kursus-kursus yang diberikan Muhammad Hatta, lebih menekankan aspek pendidikan. Oleh karena kekecewaan yang dirasakan Hatta setelah Gerakan Nasional coba dihancurkan oleh Belanda, sampai Soekarno ditangkap dan dibuang (1930), lalu Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan oleh Mr. Sartono, diganti dengan Partai Indonesia. Hatta tak setuju dengan pembubaran dan menukar nama itu; lalu didirikannya Pendidikan Nasional Indonesia. Karena menurut Hatta rasa kebangsaan itu bergantung juga kepada pembentukan karakter.
Kalau karakter lemah, orang akan lari kesana-sini apabila musuh datang menghalau. Sebab itu dalam Pendidikan Nasional, Hatta menitik-beratkan kepada pendidikan politik, memperdalam kesadaran nasional, dan kesediaan berkorban untuk cita-cita. Karena untuk mencapai kemerdekaan tanah air bukan soal mudah. Penjajah pasti tidak bersedia menyerahkan kemerdekaan itu dalam dulang emas. Itulah yang ditanamkan Hatta dalam partainya tersebut. Temannya di waktu itu ialah Sutan Syahrir. Belanda memandang partai yang tidak banyak berpidato itu amat berbahaya. Akhirnya Hatta dan Syahrir dibuang ke Digul, namun kader-kader yang mereka tinggalkan tetap menjadi teladan keteguhan pendirian. Darwis Thaib adalah seorang di antara mereka.
Setelah Masyumi berdiri di Sumatera Barat di awal kemerdekaan, tidak ayal lagi, Darwis Thaib yang mendapat didikan Islam yang mendalam terus memasuki partai tersebut. Sebagai seorang pemikir, dialah yang menimbulkan cita marhamisme yang digali dari surah al-Balad itu. Marhamisme menjadi populer sehingga hilanglah pengaruh marhaaenisme dan murbaisme yang suku-suku katanya hampir sembunyi dari daerah Sumatera Tengah. Demi perjuangan politik Islam, Masyumi mesti mem-bentuk kader dan memberikan pendidikan kehidupan marhamisme itu. Pendidikan yang dia maksudkan ialah supaya pemimpin dan calon-calon pemimpin benar-benar dididik atau mendidik diri, dilatih atau melatih diri agar benar-benar hidup secara Islam. Mendidik diri menerima dan menjalankan secara mutlak bunyi ayat dan bunyi hadits Rasulullah ﷺ. Darwis Thaib mendapatkan dalam renungannya bahwa apabila kemerdekaan ini telah tercapai dengan sempurna kelak, dan kita telah mendapat de jure akan tiba masanya kaum yang tidak terdidik dalam Islam, kaum komunis atau kaum nasionalis menyingkirkan Islam dari arena perjuangan. Walaupun secara curang. Karena suatu politik yang tidak berakar kepada agama berpendapat bahwa kecurangan adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan politik. Tujuan politik ialah kekuasaan.
Sebab itu Darwis Thaib memperingatkan bahaya masuknya kaum oportunis, sarjana- sarjana dan cendakiawan yang tertarik masuk partai karena melihat partai mendapat dukungan massa yang amat hebat. Yang mereka harapkan ialah mendapat kedudukan yang empuk dengan perantaraan Masyumi. Padahal kehidupan pribadi mereka tidaklah menurut Islam. Rukun Islam tidak pernah mereka kerjakan, mereka tidak shalat. Tidak tampak Islam, baik pada dirinya-ataupun dalam rumah tangganya. Soal shalat lima waktu, puasa, zakat fitrah, zakat harta, pendidikan agama pada kanak-kanak, bagi Darwis Thaib adalah syarat mutlak untuk mencapai masyarakat Marhamisme. Darwis Thaib percaya, kalau satu waktu kelak partai ini dikejar-kejar pula dan pemimpin-pemimpinnya dihina, disiksa dan dibuang, ataupun dibunuh, mana yang batinnya tidak kuat, niscaya akan lari tunggang-langgang pula. Waktu dia membuka soal ini di kantor Masyumi Jalan Lurus Bukittinggi, banyak orang yang tertawa saja, dan menuduh bahwa semuanya itu hanyalah kata-kata orang sakit demam!
Bagi beliau waktu itu, kerjasama di antara Masyumi dengan Muhammadiyah mestilah sangat dieratkan. Sebab Muhammadiyah itu salah satu alat penting untuk membentuk kader perjuangan Islam, yang mesti selalu ditingkatkan untuk mencapai Marhamisme. Dia tertarik kepada pergerakan Muhammadiyah, terutama di bawah pimpinan Abuya Ahmad Rasyid Sutan Mansur, karena Muhammadiyah telah dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin partai yang gigih memperjuangkan Islam dalam Masyumi, terutama di Sumatara. Sebab Abuya Sutan Mansur memang sejak lama telah membentuk kader-kader Islam. Dan pada masa itu (1945-1948) Abuya Sutan Mansur membentuk gerakan jihad yang giat mengadakan amal, mengerjakan sawah ladang, membangun madrasah, surau, langgar dan lain-lain yang berkenaan juga dengan pertanian dan ekonomi. Semua digerakkan setelah selesai shalat Shubuh, dan hanya dikerjakan satu jam saja. Menurut teori beliau, kemenangan, politik Islam mesti dimulai dan ditanamkan dari bawah, dari satu jamaah kecil di satu surau kecil, dengan imamnya yang merangkap jadi pemimpin.
Dengan sendirinya dari dasar yang di bawah itu, kepada jamaah, keyakinan politik Islam sudah mulai ditanamkan. Karena sudah nyata bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara politik atau kenegaraan, dengan agama. Langgar ataupun masjid adalah lembaga tempat pertumbuhan politik. Beliau pandang pula pembagian isi surah al-Balad itu dengan kacamata perjuangan politik. Al-Balad berarti negeri; dan dia akan meningkat menjadi negara. Tiap jamaah mempunyai imam, bahkan dalam perjalanan musafir, bila bilangan anggota safar itu telah sampai tiga orang, sudah mesti seseorang dijadikan imam. Imam atau pemimpin yang di atas sekali ialah Nabi Muhammad ﷺ.
Muhammad sebagai pemimpin tertinggi mesti melalui pengalaman-pengalaman pribadi yang pahit, sampai dipandang halal darahnya di negerinya sendiri, sehingga terpaksa hijrah. Namun hijrah bukanlah lari, tetapi pergi menyusun kekuatan lahir dan batin, untuk merebut negeri itu kembali, yaitu Mekah al-Mukarramah. Karena dari sana, dari Mekah, yang bernama juga Ummul-Qura (ibu dari negeri-negeri) akan dipancarkan rahmat ke seluruh dunia. Sebab Muhammad diutus ialah untuk enjadi rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘Alamin).
Ketika diadakan ulang tahun ke-11 berdirinya Partai Politik Islam Masyumi di Gedung Nasional (bekas Gedong Belvedere) pada 7 November 1947, di Bukittinggi, Wakil Presiden Muhammad Hatta hadir dan turut mendengarkan keterangan dan uraian bekas murid atau kadernya itu dalam ceramahnya yang brilian tentang Marhamisme. Dalam memberikan keterangan yang luar biasa mengagumkan saya itu, kelihatan bahwa beliau agak payah karena sakit. Dalam sakitnya itu pidatonya bertambah indah; ada-ada saja penemuan baru tentang ideologi Islam yang ditemuinya. Sehabis dia berpidato ketika akan pulang, Wakil Presiden mengatakan kepada saya rasa sayang karena ideolog yang genius itu sakit.
Sayangnya cita-cita dan penelitian yang indah itu belum sampai diratakan ke seluruh Indonesia. Penyerbuan Belanda yang kedua terjadi. Kami kocar-kacir, Darwis Thaib pun pulang ke Maninjau, kampung halamannya. Dan kami pun berserak-serak. Setelah perang berhenti dan sampai kepada penyerahan kedaulatan, terbukalah segala hubungan. Jalan ke Jawa telah terbuka. Tetapi Masyumi telah masuk ke dalam lapangan praktis politik yang hebat. Bergolak menegakkan cita-cita di tengah hebatnya pukulan lawan-lawan. Apa yang dikira-kirakan oleh Darwis Thaib ketika di Jalan Lurus Bukittinggi yang ketika itu ada yang menertawakan atau menyangka “katai-katai"orang sakit yang tengah mengigau, benar-benar terjadi; Masyumi sesudah tiga kali memegang Perdana Menteri dan dua kali menjadi Wakil Perdana Menteri, akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Tetapi pokok dan dasar paham Marhamisme yang digali oleh Darwis Thaib dari dalam surah al-Balad ini masih tercantum dengan baik dan segar, dan masih dapat saja memberikan inspirasi penjuangan untuk tiap-tiap masa, untuk keturunan (generasi) demi keturunan.